Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 41

Petualang Asmara Jilid 041

<--kembali

Tangis Li Hwa makin mengguguk. Dengan tubuh terendam air sampai ke leher, dara itu menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya.

“Li Hwa, jangan menangis. Aku hahya main-main... wah, maafkan aku. Jangan menangis, tak tahan aku melihatnya. Nah, ini pakaianmu. Aku akan berdiri membelakangimu kalau kau malu. Padahal tidak semestinya malu. Kalau aku memiliki tubuh seperti engkau, hemmm... sebaliknya daripada malu, aku malah akan merasa bangga sekali, Li Hwa.”

Melihat pemuda itu sudah berdiri membelakanginya, Li Hwa melangkah keluar dari air, matanya tidak pernah berkejap memandang punggung pemuda itu dan untuk mencegah pemuda itu menoleh, dia cepat berkata sambil menyambar pakaiannya. “Jadi engkau menjadi penggembala itu?”

“Heh-heh!” Kun Liong terkekeh dan mengangguk.

“Pantas kau berbau kerbau.” Li Hwa berkata saja, karena maksudnya untuk menarik perhatian Kun Liong agar jangan menoleh sebelum dia selesai berpakaian. Akan tetapi karena tergesa-gesa, kedua tangannya menggigil dan dia menjadi panik. Baru sekali ini selama hidupnya dia merasa betapa sukarnya berpakaian! Seolah-olah pakaiannya membantu Kun Liong menggodanya, mencekik di bagian leher, buntu ketika dimasuki kaki tangannya.

“Sudah selesaikah?” Kun Liong bertanya.

“Nanti dulu...!”

AKAN tetapi dengan ketajaman pendengarannya, Kun Liong maklum bahwa dara itu telah selesai mengenakan pakaian dalamnya, maka dia lalu memutar tubuhnya. Dengan penuh kagum dia memandang dara yang kini telah memakai pakaian dalam yang serba ketat dan berwarna merah muda itu.

“Betapa cantiknya engkau, Li Hwa...”

Li Hwa makin panik. Dia membalikkan tubuh dan karena paniknya, dia mengenakan pakaian luarnya dengan terbalik! Setelah selesai, dia melibat Kun Liong tertawa bergelak, maka marahlah dia.

“Jahanam keparat!”

“Ha-ha-ha, pakaian luarmu terbalik. Ho-ho, lucunya! Jahitannya di luar... eh, lucu benar... ha-ha!”

Li Hwa memandang pakaiannya dan merapatkan giginya ketika melihat bahwa benar-benar pakaian luarnya terbalik. “Hihhh... kubunuh kau...!” Gerutunya dan direnggutnya terlepas pakaian luarnya lagi, kini saking marahnya tidak peduli lagi kepada Kun Liong, tidak membalikkan tubuh sehingga Kun Liong dapat menikmati tubuh depan yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis merah muda itu. Setelah mengenakan pakaian luarnya, Li Hwa menggelung rambutnya dan memandang Kun Liong dengan mata bernyala. Kun Liong terpesona. Baru sekarang dia melihat seorang dara menggelung rambut di depannya. Gerakan kedua tangang sepasang lengan diangkat di atas kepala. Betapa manisnya!

“Li Hwa, tahukah engkau akan dongeng penggembala dan puteri yang mandi? Setelah Si Penggembala melarikan pakaian Si Puteri, puteri itu menangis, Si Penggembala merasa kasihan, mengembalikan pakaian dan akhirnya mereka... kawin!”

“Kau... kau...” Muka Li Hwa merah sekali.

“Aahh, jangan marah, Li Hwa. Penggembala itu mengawini Si Puteri Mandi, akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mengawinimu. Tidak, kita tidak akan menjadi suami isteri seperti mereka.”

Alangkah kaget dan heran hati Kun Liong ketika dia melihat betapa kata-katanya ini malah membuat dara itu marah bukan main. Li Hwa melangkah maju dan dengan mata berapi-api dia berkata, “Kun Liong, penghinaanmu kepadaku sudah tiada taranya, dan hanya dapat ditebus dengan nyawa! Biarpun engkau mencurigakan dan mungkin bersekutu dengan pemberontak, dan biarpun engkau telah berkhianat dengan menyerahkan bokor kepada Kwi-eng Niocu, namun mengingat engkau murid Bun Hoat Tosu, aku masih segan untuk membunuhmu dan akan menyerahkanmu kepada Suhu. Akan tetapi, penghinaan-penghinaan yang kaulakukan kepadaku merupakan urusan kita pribadi dan harus diselesaikan sekarang juga!”

“Aihh, Li Hwa. Apa maksudmu?”

“Aku tahu bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian dan sebagai murid Bun Hoat Tosu, kiranya engkau tidak diajar menjadi seorang pengecut oleh kakek terhormat itu. Mungkin engkau bukan pemberontak, akan tetapi yang jelas, engkau sudah bersikap kurang ajar dan menghinaku. Mari kita bereskan persoalan antara kita dengan mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, aku berjanji tidak akan menawanmu lagi dan bokor itu akan kucari sendiri.”

“Kalau aku yang kalah?”

“Engkau harus berlutut minta ampun atas kekurangajaranmu, selanjutnya menurut segala kehendakku tanpa membantah, atau kau akan kubunuh.”

“Hemm, keputusan yang adil juga. Dan memang aku mempunyai banyak urusan dan sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat ini. Engkau tentu akan penasaran kalau belum berhasil memukul jatuh aku, biarpun kau sudah beberapa kali menampar dan memaki. Nah, aku sudah siap!” Kun Liong bangkit berdiri lalu meloncat ke belakang, ke tempat yang datar.

Li Hwa juga menyusul dengan loncatan ringan, akan tetapi dara ini tidak mencabut pedangnya yang sudah diikat di punggungnya. Bahkan dia tidak menyerang, hanya memandang pemuda gundul itu, kemudian berkata, “Dekatkan kedua tanganmu, akan kubuka dulu belenggumu.”

Akan tetapi Kun Liong menggelengkan kepalanya. “Biarlah, Li Hwa, kukira hal itu tidak perlu.”

“Hemm, kaukira aku berwatak pengecut, melawan orang yang kedua tangannya terbelenggu? Akan kubebaskan dulu kau.”

“Tidak usah, aku dapat membebaskan kedua tanganku sendiri.” Kun Liong menggerakkan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang. “Krekkrekkk...!” Belenggu kedua tangannya itu patah-patah!

Li Hwa memandang dengan kaget dan kagum, akan tetapi juga marah sekali karena dia tahu bahwa selama ini, Kun Liong sengaja membiarkan dirinya ditawan dan dibelenggu sehingga diam-diam tentu mentertawakannya dan hal itu sama dengan mempermainkannya.

“Bagus! Sekarang tidak perlu kau berpura-pura lagi. Sambutlah!”

Li Hwa menerjang maju, gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet menyambar, tangan kirinya menampar ke arah ubun-ubun kepala lawan sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung. Sebuah serangan yang amat dahsyat dan berbahaya karena selain cepat, juga mengandung hawa pukulan yang antep dan kuat. Tidaklah mengherankan karena memang dia telah mengeluarkan jurus ampuh dari Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat dan menggunakan tenaga sakti Im-yang-sin-kang.

“Hayaaa...!” Kun Liong terkejut sekali, cepat membuang tubuh ke kanan untuk menghindarkan tamparan, kemudian lengan kirinya menangkis cengkeraman tangan kanan lawannya yang lihai.

Akan tetapi, begitu jurus pertama gagal, Li Hwa dengan kecepatan mengagumkan sudah menerjang dengan jurus susulan yang lebih ampuh lagi. Gerakan dara ini memang gesit sekali dan ilmu silat yang dimainkannya adalah limu silat tinggi yang dipelajarinya dari gurunya, The Hoo yang sakti, maka tentu saja semua serangannya merupakan serangan maut yang berbahaya. Kun Liong tidak sempat main-main lagi karena dia mak-lum bahwa tingkat kepandaian dara ini sudah amat tinggi dan sekali saja dia terkena cium tangan dara itu, tentu kekebalannya akan dapat melin-dunginya baik-baik. Maka dia pun lalu mengimbangi semua terjangan dara itu dengan permainan Ilmu Silai Pat-hong--sin-kun. Dia sengaja memilih Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) ini karena ilmu inilah yang paiing cepat gerakannya di antara semua ilmu yang diketahuinya dan paling tepat untuk mengimbangi gerakan Li Hwa yang demi-kian gesitnya. Betapapun juga, dia terus terdesak karena memang Kun Liong tidak pernah membalas dan tidak mau membalas, hanya menjaga diri dengan elakan dan tangkisan.

Setelah lewat lima puluh jurus belum juga dapat merobohkan lawan, apalagi merobohkan bahkan satu kali pun belum pernah dia dapat memukul tubuh Kun Liong, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah membalas serangannya, Li Hwa menjadi terkejut heran, kagum dan juga penasaran! Dia sudah menduga bahwa sebagai murid Bun Hoat Tosu, pemuda gundul itu tentu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan dapat melawannya tanpa balas menyerang, padahal dia sudah mempergunakan seluruh sin-kang dan gin-kang yang dilatihnya bertahun-tahun, dan mainkan Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat ciptaan suhunya yang amat dahsyat!

Sesungguhnya tidak mengherankan kalau saja Li Hwa mengetahui bahwa lawannya selain menerima latihan dari Bun Hoat Tosu yang sakti selama lima tahun, juga sudah digembleng secara hebat di dalam kamar rahasia oleh tokoh utama Siauw-lim-pai, yaitu Tiang Pek Hosiang! Dari kakek luar blasa ini, selain ilmu-ilmu kbusus seperti Im-yang Sin-kun dan Pek-in-ciang-hoat, juga Kun Liong telah digembleng dengan ilmu yang menjadi inti sari dari semua ilmu Siauw-lim-pai, yaitu Ilmu Mujijat I-kin-keng!

I-kin-keng adalah ilmu silat mujijat yang dahulunya diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, pendiri Siauw-lim-pai. Mula--mula I-kin-keng diajarkan oleh Tat Mo Couwsu untuk mendatangkan kesehatan dan kekuatan kepada para pendeta yang
menjadi muridnya ketika dia melihat murid-murid ini lesu dan mengantuk selagi mendengarkan pelajaran kebatinan.

Maklumlah Tat Mo Couwsu betapa pentingnya olah raga untuk menjaga kesehatan para pendeta itu, maka mulailah Tat Mo Couwsu mengajarkan olah raga yang dinamakan I-kin-keng dan yang harus dilatih oleh semua anak murid setiap pagi.

Pada mulanya, hanya ada dua belas gerakan atau jurus saja yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu, akan tetapi dua belas jurus ini kemudian berkembang biak menjadi delapan belas, bahkan kemudian oleh pendeta Chueh Yuan dikembangkan menjadi tujuh puluh dua jurus, yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Kemudian, bersama-sama dua orang kakek sakti yang bemama Li Cheng dan Pai Yu Feng, dari Kansu dan Shansi, Chueh Yuan mengembangkan lagi, dari tujuh puluh dua jurus menjadi seratus tujuh puluh gerakan. Semua ini dibagi menjadi lima kelompok yang disebut Gaya Naga, Gaya Harimau, Gaya Macan Tutul, Gaya Ular dan Gaya Bangau. Gaya Naga Melatih Semangat, Gaya Harimau Melatih Tulang, Gaya Macan Tutul Melatih Kekuatan, Gaya Ular Melatih Khi-kang, Gaya Bangau Melatih Otot.

Kun Liong telah digembleng dengan I-kin-keng yang aseli oleh Tiang Pek Hosiang sehingga selain tubuhnya kuat, juga dia memiliki kecepatan yang didasari khi-kang dan gin-kang. Karena inilah, biarpun Li Hwa adalah murid The Hoo yang sakti, dia tetap dapat mengimbangi gerakan dara itu. Kalau dibuat perbandingan, biarpun gerakan Li Hwa kelihatan lebih lincah dan indah, namun dia kalah gemblengan! Kun Liong digembleng oleh dua orang kakek sakti terus-menerus selama sepuluh tahun, sebaliknya Li Hwa hanya kadang-kadang saja bertemu dengan gurunya yang mempunyai kedudukan tinggi dan tugas yang amat berat, dan banyak. Apalagi karena berhubung dengan tugasnya, The Hoo sering kali mengadakan pelayaran ke negeri-negeri jauh di seberang lautan sehingga Li Hwa harus berlatih sendiri.

Saking penasaran dan marah, Li Hwa mengeluarkan lengking panjang kemudian dia menyerang dengan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu ilmu It-ci-san yang ampuh. It-ci-san adalah ilmu tiam-hiat-boat (menotok jalan darah) menggunakan sebuah jari, hebat bukan main karena dengan totokan satu jari ini dia dapat merobohkan orang, bahkan kalau mengenai sasaran jalan darah kematian, bisa mendatangkan maut. Dua tangan yang mungil itu kini seolah-olah memegang senjata yang amat ampuh dan berbahaya, dan tusukan-tusukannya sampai mengeluarkan desir angin dingin!

“Waduhhh, kau memang hebat, Li Hwa...!”

Li Hwa tidak mempedulikan pujian Kun Liong yang mengelak ke sana-sini, dia terus mengejar dan mengambil keputusan untuk merobohken lawan dengan cara apapun juga, karena kalau tidak, dia tidak akan berhenti merasa penasaran sekali.

“Plak-plak-plak!” bertubi-tubi datangnya serangan totokan Li Hwa, akan tetapi dapat ditangkis oleh Kun Liong dan sekali ini pemuda itu mengerahkan sin-kangnya sehingga kedua tangannya mengandung tenaga Pek-in-ciang-hoat, uap putih mengepul dari kedua telapak tangannya sehingga ketika dia menangkis, tubuh Li Hwa terdorong ke belakang dan hampir terjengkang.

“Aihhh...!” Li Hwa menjadi marah sekali.

“Singgg...!” Dia sudah mencabut pedang.

“Nah, ini dia... dia lari ke sini...!”

Lima belas orang perajurit muncul dan serta-merta mengepung dan mengeroyok Kun Liong. Mereka adalah orang-orang ying tadi ditugaskan untuk menjaga Kun Liong ketika Li Hwa pergi mandi. Melihat mereka, timbul rasa gemas di hati dara itu dan dia bertanya kepada perwira yang mempimpin pasukan kecil itu. “Bagaimana dia sampai dapat lolos?”

“Maaf, Li-hiap. Dia bilang ingin ken-cing, terpaksa kami antar ke pinggir sungai, dan tiba-tiba dia meloncat ke atas pohon, ketika kami mencarinya, dia telah lenyap. Tahu-tahu berada di sini dan untung ada Li-hiap yang menahan-nya...”

“Sudahlah, kalian semua tolol!” Li Hwa membentak dan dengan hati kesal dia menyimpan kembali pedangnya. Dia merasa malu kalau harus mengeroyok, bahkan dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan tadi, biarpun dia tidak sampai roboh, akan tetapi terang bahwa dia kalah lihai oleh Kun Liong. Kalau tadi dia mencabut pedang hanya karena dorongan kemarahannya, akan tetapi setelah dia menyadari bahwa dia tidak mampu menang, dia pun teringat janjinya untuk membebaskan Kun Liong, maka dia menyimpan pedangnya dan tidak mau ikut mengeroyok.

Setelah Li Hwa tidak menyerangnya, legalah hati Kun Liong. Biarpun kini ada lima belas orang perajurit yang mengeroyoknya dengan bermacam senjata, dengan enak saja dia dapat mengelak ke sana-sini, meloncat tinggi melampaui kepala mereka, turun ke depan Li Hwa, menjura dan berkata, “Terima kasih atas kebaikanmu, Li Hwa. Kulihat Yuan de Gama itu amat baik terhadapmu akan tetapi berhati-hatilah terhadap Hendrik. Nah, selamat tinggal dan sampai jumpa pula!”

Setelah berkata demikian, melihat para perajurit sudah mengejarnya lagi, Kun Liong lalu melompat jauh dan lari dari tempat itu.

Para perajurit mengejar, akan tetapi Li Hwa lalu kembali ke perkampungan pemberontak yang telah mereka duduki. Dia bertemu dengan Tio Hok Gwan yang mengatakan bahwa lebih dari lima puluh orang pemberontak tertawan, termasuk lima orang asing. “Apa yang harus kita lakukan dengan mereka?” tanya Tio Hok Gwan. “Jumlah mereka terlalu banyak dan kiranya hanya akan mendatangkan kesukaran saja bagi kita.”

“Habis, apakah kita harus membunuh mereka begitu saja?” Li Hwa berkata, “Tio-lopek, tawanan tetap tawanan apalagi kalau diingat bahwa mereka itu pun adalah perajurit-perajurit pemerintah. Kalau mereka dapat diinsyafkan, tentu tidak akan melanjutkan penyelewengan mereka. Sebaiknya Lopek memimpin sebagian pasukan Lopek, mengawal para tawanan ke kota raja. Terserah bagaimaria keputusan pengadilan di kota raja. Adapun aku sendiri akan memimpin pasukan untuk mengejar orang yang telah merampas bokor emas.”

“Hehh? Siapa dia?”

“Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang.” Li Hwa lalu menceritakan pengakuan Kun Liong tentang bokor yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.

“Memang harus cepat dikejar dan dirampas kembali bokor itu,” kata kakek pengantuk yang lihai ini, “Akan tetapi amatlah berbahaya kalau kau mengejar ke sana, Nona Souw, Kwi-eng Niocu amat lihai, anak buahnya juga banyak, belum lagi dengan adanya Siang-tok Mo-li yang juga tinggal di Kwi-ouw.”

“Aku tahu, Lopek. Aku pun tidak akan bertindak sembrono. Kalau Lopek sudah selesai mengawal tawanan sampai ke kota raja, Lopek dapat segera menyusul aku dan membantu pencarian kembali bokor yang terampas oleh mereka.”

Terpaksa kakek itu setuju dan Li Hwa lalu memasuki tempat tawanan. Ketika dia berjalan-jalan memeriksa, di sudut terdengar ribut-ribut.

“Manusia biadab, apa engkau sudah bosan hidup? Kubunuh engkau!” seerang penjaga berteriak marah sambil mengacungkan goloknya di luar sebuah kerangkeng tahanan.

“Hemm, mau bunuh boleh saja. Siapa takut mati? Setelah aku berada di dalam cengkeraman kalian, memang terserah kepada kalian akan mati hidupku. Akan tetapi jangan mengira bahwa setelah tertawan aku boleh diperlakukan sembarangan saja! Aku bukan anjing dan aku tidak sudi makan makanan anjing!” Terdengar suara berkerontangan ketika piring dilempar ke luar dari tempat tahanan itu.

“Bedebah, mampuslah!” Penjaga yang marah itu hendak membacok ke dalam kerangkeng.

“Tahan...!” Li Hwa meloncat dan memegang lengan penjaga itu, kemudian mendorongnya mundur. Penjaga yang marah-marah itu penasaran akan tetapi tidak berani membantah dan segera pergi ketika Li Hwa menyuruhnya.

Seperti telah diduga oleh Li Hwa ketika mendengar suara tawanan yang menolak makanan tadi, ketika dia tiba di depan kerangkeng, dia melihat Yuan de Gama berdiri di situ dengan sikap angkuh! Pemuda asing yang tampan itu terluka dadanya dan lukanya dibalut dengan robekan bajunya sendiri. Tubuh atasnya tidak berbaju, telanjang memperlihatkan kulit yang putih kemerahan, dada yang bidang dan terhias bulu-bulu pirang yang lembut, kedua lengannya berotot dan lehernya masih terbelit kain leher, tubuh bawahnya memakai celana dengan sabuk kulit, rambutnya yang pirang itu masih rapi, matanya penuh semangat, mata yang biru warnanya itu memandang tajam dan dengan sikap angkuh melirik ke arah Li Hwa. Akan tetapi begitu dia mengenal gadis itu, sikap angkuhnya segera berubah. Kedua lengah yang tadinya bersedakap dengan sikap tak acuh segera terlepas dan dia membalikkan tubuh memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan bibirnya membentuk senyum, dagunya yang terbelah dua itu bergerak-gerak menandakan bahwa perasaannya bergelora ketika dia bertemu dengan dara ini.

“Nona Souw...! Ahhh, betapa gembira hatiku melihat nona dalam selamat dan tidak terluka dalam perang yang dahsyat itu.”

Kedua pipi Li Hwa menjadi merah. Betapa anehnya pemuda asing ini, dalam keadaan terluka dan tertawan masih menyatakan kegembiraannya bahwa dia selamat! Padahal dialah yang memimpin pasukan yang menghancurkan pemberontakan dan yang menawan pemuda itu.

“Kau... kau terluka...!” Li Hwa melirik ke arah dada yang terbalut, akan tetapi segera mengalihkan pandangan. Tidak kuat dia memandang terlalu lama dada telanjang yang terhias bulu pirang halus itu.

“Aku...? Ah, hanya terluka sedikit. Kau hebat sekali, Nona. Baru saja dikalahkan, sudah cepat sekali dapat menyusun kekuatan dan sebaliknya menghancurkan kami. Bonar-benar aku kagum!” Sepasang mata biru itu benar-benar memandang penuh kagum, tanpa disembunyikan lagi penuh kagum dan penuh sayang yang dirasakan benar oleh Li Hwa, membuat dia makin tertunduk dan bingung.

“Mengapa kau menolak makanan? Dalam keadaan seperti ini, menyesal sekali kami tidak dapat menyediakan hidangan yang lebih baik.”

Muka pemuda itu menjadi marah dan dia kelihatan tersipu malu, kemudian menjawab, “Maafkan aku Nona. Sebetulnya bukan hidanganya yang menjadi soal, akan tetapi ada dua hal yang membuat aku sengaja bersikap buruk menolak makanan. Pertama, karena sikap para penjaga yang amat menghina sehingga aku lebih senang kelaparan daripada menerima hidangan seperti orang memberi kepada anjing. Ke dua, dalam keadaan tertawan dan tidak berdaya seperti ini, apalagi yang kuharapkan? Tidak urung aku akan dihukum mati dan aku tidak ingin memperpanjang hidup seperti ini. Kalau pintu kamar ini dibuka, aku akan mengamuk sampai mati. Aku telah meninggalkan kapalku di mana aku menjadi kaptennya, berarti aku akan mati konyol di sini. Ah... semua ini adalah karena Ayah telah keliru menyewakan kapal kepada petualang-petualang seperti keluarga Selado itu.”

Li Hwa merasa tertarik sekali. Pemuda ini bukanlah orang biasa, bukan pula orang jahat.

“Di mana kapalmu?”

“Di tepi teluk Po-hai. Ahh, betapa ingin aku mati di atas kapalku sebagai seorang kapten yang tak terpisahkan dari kapal yang dikuasainya.”

Hening sejenak dan beberapa kali mereka saling berpandangan.

“Yuan...”

Wajah pemuda itu berseri mendengar namanya disebut oleh bibir yang dikaguminya itu.

“Apa yang hendak kaukatakan, Li Hwa?”

“Kau pernah menyelamatkan aku, membebaskan dari tawanan bangsamu. Maka jangan kau khawatir, aku pasti akan berusaha untuk membebaskanmu untuk membalas budimu itu.”

“Jangan...!” Yuan de Gama cepat memegang kedua tangan Li Hwa yang memegangi ruji besi. “Jangan kaukorbankan dirimu untukku, Li Hwa!”

Sejenak Li Hwa membiarkan jari-jari tangan pemuda asing itu menggenggam kedua tangannya yang kecil. Kemudian perlahan-lahan dia menarik kedua tangannya dan berkata, “Jangan khawatir, aku tidak akan membebaskanmu dengan menggelap, akan tetapi terang-terangan.”

“Akan tetapi... ada empat orang temanku yang tertawan juga. Aku tidak takut mati terhukum, kalau engkau membebaskan aku dan empat orang temanku itu tidak dibebaskan, tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, Li Hwa, terima kasih atas kebaikanmu...”

Li Hwa makin kagum. Tepat persangkaannya bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Seorang yang halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, tampan dan gagah serta memiliki setia kawan yang besar.

“Kalau begitu, aku akan membebaskan pula empat orang temanmu itu.”

Yuan de Gama membelalakkan matanya dan memandang Li Hwa yang sudah melangkah pergi dari tempat itu. “Wanita yang hebat... betapa aku cinta kepada-mu....” bisiknya. Lapat-lapat dia mendengar perintah diucapkan oleh dara itu kepada kepala penjaga, dan agaknya dara itu menegur para penjaga yang bersikap kasar karena buktinya, tak lama kemudian kepala penjaga sendiri datang membawa hidangan dengan sikap biasa, tidak memperlihatkan sikap menghina seperti yang sudah-sudah. Karena maklum bahwa semua ini adalah hasil usaha dara yang dicintanya, biarpun hidangan itu masih serupa, amat sederhana, Yuan de Gama lalu makan dengan lahapnya, kadang-kadang tersenyum dan matanya bersinar-sinar penuh bahagia. Dia bukan girang mengingat bahwa dia akan dibebaskan sungguhpun hal ini merupakan berita yang amat mengejutkan dan baik. Akan tetapi yang amat menggirangkan hatinya adalah bahwa yang akan membebaskannya adalah Souw Li Hwa, dara yang telah menjatuhkan hatinya karena kegagahan dan kecantikannya. Bukankah hal itu mendatangkan harapan di hatinya bahwa cinta kasihnya tidak sia-sia, bahwa setidaknya dara itu juga menaruh perhatian terhadap dirinya? Tentu saja dia belum berani mengharapkan bahwa Li Hwa mencintanya. Hal ini merupakan ketidakmungkinan. Li Hwa adalah murid Panglima Besar The Hoo, mana mungkin jatuh cinta kepadanya, seorang pemuda asing yang dianggap bangsa “biadab” oleh para pribumi? Akan tetapi belum tentu, bantah suara hatinya. Cinta kasib mengalahkan apa pun di dunia ini!

Sementara itu, di dalam pondok yang dipergunakan sebagai pusat komando dan ditinggali untuk sementara oleh para pemimpin pasukan termasuk Li Hwa dan Tio Hok Gwan, dara itu bercakap-cakap dengan pengawal tua pengantuk itu.

“Nona Souw, apakah sudah kaupikir baik-baik keputusanmu untuk membebaskan para orang asing yang menjadi tawanan itu?” Tanya Tio Hok Gwan sambil mengerutkan alisnya.

“Sudah saya pertimbangkan masak-masak, Lopek, dan saya berani menanggung semua akibatnya. Dalam penyerbuan pertama, saya kurang hati-hati, pingsan oleh ledakan dan tertawan musuh. Dalam keadaan tidak berdaya sama sekali itu, saya telah ditolong oleh Yuan de Gama. Kini dia sendiri menjadi tawanan kita, maka sudah sepatutnya kalau saya membalas kebaikannya dan membebaskannya.”

“Akan tetapi empat yang lain?”

“Lopek, andaikata engkau menjadi tawanan musuh, saya akan rela menukarkan Lopek dengan sepuluh orang tawanan dari pihak musuh. Maka, saya menganggap bahwa saya telah ditukar dengan Yuan de Gama dan empat orang temannya. Saya kira hal itu tidak terlalu merugikan kita. Selain itu, kita hanya berurusan dengan para pemberontak. Merekalah yang harus kita hukum. Orang-orang asing itu hanya pedagang-pedagang, kalau kita menawan mereka, berarti kita melibatkan pemerintah ke dalam permusuhan dengan bangsa dan negara lain.”

Tio Hok Gwan mengelus dagunya dan menarik napas panjang. “Hemm, semenjak dahulu aku tidak mengerti tentang urusan pemerintah. Yang jelas saja, andaikata engkau tertawan musuh, aku tentu dengan rela akan menukar pembebasanmu dengan pembebasan sepuluh orang musuh yang tertawan olehku, Nona. Terserah, lakukan apa yang kaukehendaki.”

Lega hati Li Hwa setelah mendapat persetujuan rekannya itu, sungguhpun dia tahu bahwa perbuatan membebaskan tawanan ini adalah tanggung jawabnya sendiri. Malam hari itu dia sendiri mengawal lima orang tawanan keluar dari tempat tahanan dan menuju ke luar kota. Setiba mereka di luar pintu gerbang dusun itu, empat orang teman Yuan de Gama mendahului pergi sedangkan Yuan de Gama berhenti dan bicara dengan Li Hwa.

“Nona Souw... tak tahu aku bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu...”

“Yuan, tak perlu berterima kasih. Aku hanya membalas budimu.”

“Li Hwa, ketika aku membebaskanmu, hal itu lain lagi kedudukannya. Engkau terancam oleh kekejian niat Hendrik, maka aku harus membebaskanmu atau membebaskan wanita mana saja yang terancam olehnya. Akan tetapi aku adalah seorang tawanan resmi...”

“Sudahlah, tidak perlu kita bicara tentang itu.”

“Li Hwa, betapa akan kagum hati Ayah dan adik perempuanku kalau mendengar penuturanku tentang dirimu. Mereka akan datang menyusul dengan kapal lain.”
“Engkau punya adik perempuan? Tentu cantik sekali...”
“Cantik jelita seperti bidadari, Li Hwa. Akan tetapi... ahh, tidak secantik engkau...”
“Hemmm, ceritakan tentang dia.” Li Hwa memotong dan mukan terasa panas.
“Ayahku adalah Richardo de Gama, seorang duda yang sudah tua dan seorang juragan kapal di negara kami. Adikku bernama Yuanita de Gama, berusia sembilan belas tahun. Kapal Kuda Terbang milik Ayah telah disewa oleh Legaspi Selado...”
“Hemm, pimpinan orang asing yang membantu pemberontak?”
Yuan menarik napas panjang. “Demikianlah. Akan tetapi... dia adalah guruku. Legaspi Selado adalah seorang bekas panglima di negeri kami, seorang perantau yang sudah menjelajah banyak negara dan sudah belasan tahun tinggal di India dan Nepal, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hendrik Selado adalah puteranya. Ketika guruku itu menyewa kapal Ayah, tentu saja Ayah tidak tahu bahwa kapalnya dan anaknya akan dibawa oleh Legaspi Selado terlibat dalam urusan pemberontakan di negeri ini. Aku merasa menyesal sekali karena sebagai muridnya, aku pun tidak dapat membantah perintahnya. Aku merasa menyesal bahwa guruku bersekutu dengan pemberontak di negeri yang indah dengan rakyatnya ramah. Akan tetapi aku pun merasa bahagia karena hal ini memungkinkan aku berjumpa dengan engkau, Li Hwa.”

lanjut ke Jilid 042-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar