Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 38

Petualang Asmara Jilid 038

<--kembali

Naik sedu-sedan dari dada Bi Kiok. Sejenak dia menggigil seolah-olah perasaan kewanitaannya akan meronta, akan tetapi kemudian dia menjadi lemas, merangkul dan menyembunyikan muka di dada Kun Liong sambil terisak, “Kun Liong...”

Ketika dia mendekap tubuh dara itu, merasa betapa kepala dengan rambut halus itu menempel ketat di dadanya, berulah Kun Liong sadar akan perbuatannya. Dia tidak menyesal, akan tetapi timbul rasa heran mengapa dia sekarang menjadi suka sekali mencium sesuatu yaog disenanginya! Dia tadi mencium sepasang mata indah yang terpejam itu di luar kesadarannya, seperti otomatis tanpa dikehendakinya, terdorong oleh rasa tertarik yang luar biasa, kemesraan yang memenuhi hatinya sehingga sekarang pun kedua lengannya tanpa disadarinya mendekap tubuh itu dengan kuat. Hal ini baru disadarinya pula ketika Bi Kiok terengah-engah dan merintih lirih, “Kun Liong...”

Kun Liong mengendurkan dekapannya dan berbisik, “Bi Kiok, betapa baiknya hatimu... betapa buruknya nasibmu, setelah kehilangan segalanya engkau menjadi murid seorang datuk kaum sesat...”

“Aku menerima nasib, Kun Liong... dan kuanggap nasibku amat baik, karena bukankah masih ada engkau yang mencintaku?”

Perasaan hati Kun Liong tersentuh oleh pertanyaan ini. Dia balas bertanya, “Bi Kiok, apakah engkau cinta kepadaku?”

Gadis itu menarik napas panjang. “Entahlah, aku belum tahu apa itu cinta. Akan telapi semestinya aku cinta kepadamu karena aku senang sekali berada di dekatmu, aku ingin selamanya tidak akan terpisah dari sampingmu, aku kasihan kepadamu, aku suka kepadamu. Ya, kukira aku cinta kepadamu, Kun Liong.”

“Hemm... sayang sekali. Sebaiknya kalau kau tidak cinta kepadaku.”

“Heh? Mengapa?”

“Karena... aku tidak bisa membohongimu dengan pengakuan cinta. Tidak! Aku memang suka dan kasihan kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, cintakah ini? Kurasa bukan...”

“Tapi... tapi... kau telah menciumku!”

Kun Liong tersenyum pahit. Presis seperti Hwi Sian! Seperti inikah anggapan semua wanita yang menentukan bahwa ciuman adalah tanda cinta? Apakah orang yang hanya suka, tanpa cinta yang dimaksudkan itu, tidak boleh mencium? Biarpun yang mencium dan yeng dicium sama-sama rela dan suka?

“Bi Kiok, aku suka padamu, dan aku suka menciummu, terutama sekali kedua matamu yang amat indah. Matamu luar biasa sekali, Bi Kiok, seolah-olah aku melihat telaga bening yang amat dalam di situ, seolah-olah aku melihat angkasa biru cerah yang amat tinggi... dan aku melihat keindahan terkandung di dalamnya. Aku suka menciummu, apakah hal ini harus kujadikan alasan membohong bahwa aku cinta kepadamu?”

“Kun Liong...!” Bi Kiok merintih dan dua titik air mata mengalir turun dari matanya.

“Bi Kiok, jangan menangis...!” Kun Liong meraih kepala itu, didekapnya dan kembali dia mencium kedua mata itu, mengisap dua butir air mata yang menetes di pipi. “Aku tidak bisa melihat kau menangis. Maafkan aku kalau aku menyakiti hatimu. Aku lebih suka berterus terang daripada membohongimu.”

Bi Kiok merenggutkan kepalanya, menggeser duduknya agak menjauh, kemudian menarik napas panjang sambil menatap wajah Kun Liong. “Aku mengerti... dan aku menerima nasib. Mungkin aku cinta kepadamu, mungkin juga tidak. Kau lebih tegas dan jujur. Adapun tentang cium tadi... kau tidak bersalah karena aku pun senang menerimanya, dan...”

“Ssssttt...!” Kini Kun Liong yang menaruh telunjuk di depan mulutnya. Kini dia yang merasa khawatir kalau-kalau Bi Kiok akan celaka karena dia. Tidak boleh hal ini terjadi. Seribu kali tidak boleh! Kalau seorang di antara dua datuk itu, atau keduanya, menemukan mereka, dia akan melindungi Bi Kiok. Kalau perlu dia akan melawan mereka untuk menyelamatkan Bi Kiok.

Akan tetapi yang terdengar adalah suara derap kaki kuda dan ringkik banyak kuda. Suara kaki kuda itu berhenti di depan guha dan terdengarlah bentakan nyaring seorang wanita, jelas bukan suara Bu Leng Ci, “Pemberontak yang berada di dalam guha! Keluarlah!”

“Ssst...!” Kembali Kun Liong memberi isyarat kepada Bi Kiok untuk tidak bergerak.

“Hayo keluar, kalau tidak kami akan membakar dan mengasapi kamu! Kami sudah tahu bahwa kau berada di dalam guha, ada tapak tangan kakimu di luar!” Kembali suara wanita yang nyaring itu membentak dari luar guha.

“Bi Kiok, biarkan aku keluar. Kau bersembunyi di sini saja, setelah aman kau keluar dan kalau bertemu subomu, bilang saja bahwa kau tidak melihatku atau kaukarang cerita lain.”

Bi Kiok menggeleng kepala dan kembali dua titik air matanya menetes. Kun Liong cepat mencium kembali kedua mata itu, lalu berseru keras sambil melangkah keluar. “Jangan bakar! Aku keluar dan tidak akan melawan!”

Ketika dia tiba di depan guha, Kun Liong melihat banyak sekali tentara pemerintah, memenuhi tempat itu kelihatan gagah, menunggang kuda pilihan dan di belakang masih tampak pasukan berjalan kaki. Yang berada di depan guha agaknya adalah perwira-per-wiranya, akan tetapi semua itu tidak menarik perhatiannya karena segera matanya melekat pada tubuh seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa yang duduk di atas seekor kuda besar, berpakaian indah dan gagah sekali. Gadis itu takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, tubuhnya ramping dan padat dan jelas mengandung isi tenaga yang kuat. Pakaiannya adalah pakaian seorang pendekar wanita, seorang perantau dan petualang wanita yang membumbui kejelitaannya dengan kegagahan yang membuat orang menjadi segan. Kedua pergelangan tangannya dilindungi oleh pelindung dari kulit dengan tombol-tombol besi. Mantel berwarna merah jingga membuat bajunya yang kuning tampak gemilang. Rambutnya digelung ke atas, tinggi, dengan hiasan untaian mutiara. Wajah dara ini amat jelita, dan bagi Kun Liong, begitu memandang segera saja dia terpesona oleh kecantikan itu, terutama sekali oleh bentuk dagu yang meruncing dan agak menjulur ke depan seperti menantang, dan leher yang panjang berkulit putih kuning itu.

Ketika dara itu melihat munculnya Kun Liong, dia segera memerintah para perwira yang berada di dekatnya, “Tangkap dan belenggu dia!”

“Wah, wah, nanti dulu Nona yang cantik jelita! Apa salahku...?”

Sepasang mata dara yang gagah itu terbelalak, terheran-heran mendengar suara dan ucapan Kun Liong yang penuh keberanian itu, kemudian pandang matanya berhenti pada kepalanya yang gundul.

“Jadi engkaukah ini...?” Dia menegur, alisnya berkerut dan dagunya makin ke depan. Manis bukan main bagi Kun Liong!

“Engkau Kun Liong!”

Kun Liong melebarkan matanya yang sudah besar, alisnya yang tebal berbentuk golok itu bergerak-gerak, otak di dalam kepala gundulnya mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengenal nona yang dagu dan lehernya membuat dia terpesona itu. “Nona... siapa-kah...?”

Dara itu merengut. “Huhh! Sungguh memalukan! Yang tidak berubah hanya kepala gundulmu akan tetapi watakmu sudah berubah seperti bumi dengan langit. Betapa akan malu dan menyesalnya hati Bun Hoat Tosu kalau melihat bahwa pemuda yang diaku murid itu ternyata sekarang telah gulung-gulung dengan segala macam pemberontak dan orang jahat!”

“Eh-eh-eh, nanti dulu, Nona! Enak saja memaki-maki orang!”

“Kou terlihat sebagai sahabat seorang seperti Toat-beng Hoat-su, melakukan perjalanan bersama. Masih hendak kausangkalkah itu?”

“Memang benar, akan tetapi bukan sahabat. Aku hanya hendak mengantarkannya ke tempat bokor... ehh...” Kun Liong terkejut. Sikap gadis itu membuat dia penasaran dan marah sehingga dalam memberikan keterangan untuk membela diri, dia sampai lupa dan menyebut-nyebut tentang bokor.

Gadis itu dan para perwira jelas kelihatan terkejut mendengar ini. “Tangkap dia!” Gadis itu membentak.

Para perwira segera melompat turun dari kuda dan ada lima perwira mengulur tangan mencengkeram pundak dan lengan Kun Liong, seorang yang membawa tali kuat segera mengikat kedua lengan pemuda itu. Akan tetapi Kun Liong membentak, “Mundurlah kalian!” Sekali dia menggerakkan kedua lengan, tali itu putus dan lima orang itu terjengkang ke belakang!

“Hemmm, Yap Kun Liong! Kau hendak melawan pasukan pemerintah? Pemberontak rendah!”

“Aku bukan pemberontak dan aku tidak melawan siapa-siapa. Kalau kau betul-betul hendak menawan aku, katakan sebab-sebabnya dan apa kesalahku!”

“Pertama, kau berhaul dengan datuk kaum sesat, berarti kau tentu anak buahnya dan karena kaum sesat menjadi pemberontak, kaupun kucurigai menjadi pemberontak. Kedua, kau mengaku sendiri bahwa kau hendak menunjukkan tempat penyimpanan bokor emas milik Suhu, maka kau harus kutangkap, selain untuk menunjukkan tempat bokor, juga untuk diadili sebagai seorang pembantu pemberontak!”

“Apa...? Bokor emas milik... suhumu...?” Aihhh, sekarang aku ingat! Kau adalah anak perempuan yang berani dahulu itu, murid Panglima Besar The Hoo! Kau... kau Souw Li Hwa!”

Gadis itu mencibirkan bibir yang kecil mungil dan di dagunya timbul lesung pipit. Manis sekali!

“Kalau sudah tahu, apakah engkau masih juga hendak melawan?”

“Wah, untungku...! Aku tidak akan melawan, akan tetapi karena engkau yang hendak menangkap aku, harus engkau sendiri pula yang membelengguku. Kalau orang lain, aku tidak mau!”

“Kurang ajar! Hayo, tangkap dia!” Dia itu memang benar adalah Souw Li Hwa, murid Panglima Besar The Hoo yang kini telah menjadi seorang dara dewasa yang amat lihai. Dia mendapat tugas dari suhunya untuk membantu pemerintah, mengawal sepasukan tentara ikut mengepung para pemberontak yang menurut suhunya berpangkal di Ceng-to dan di sepanjang Sungai Huang-ho dekat muara.

Mendengar perintah nona itu, sepuluh orang tentara dan perwira meloncat turun dari atas kuda masing-masing dan menubruk maju. Akan tetapi berturut-turut sepuluh orang ini terlempar dan Kun Liong masih berdiri tegak di depan guha sambil tersenyum memandang kepada Souw Li Hwa!

Para perwira marah sekali. Seorang perwira tinggi besar yang brewok, sudah menggerakkan goloknya membacok kepala pemuda itu.

“Heii, jangan...!” Li Hwa terkejut dan membentak ketika melihat betapa pemuda berkepala gundul itu tidak mengelak dan dia melihat betapa golok besar yang tajam berkilau itu menyambar ke arah kepala itu. Namun terlambat seruannya, karena golok itu sudah menyambar, tepat mengenai kepala Kun Liong yang sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.

“Krookk!”

Perwira brewok tinggi besar itu melongo memandang goloknya yang telah rompal seolah-olah tadi telah dipakai membacok sebuah bola baja! Tangan Kun Liong mendekap mukanya yang melongo itu dan sekali Kun Liong mendorong, perwira itu terjengkang ke belakang!

“Mundur semua!” Li Hwa membentak marah bukan main akan tetapi diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian kepala gundul itu. Semua perwira sudah marah dan mencabut senjatanya terpaksa mundur lagi mendengar bentakan Li Hwa dan mereka hanya mengurung dan memandang dengan marah.

Li Hwa meloncat turun dari udara, tangan kanan meraba gagang pedang dan dia menghampiri Kun Liong. Sambil tersenyum Kun Liong merangkap kedua tangannya dan menjulurkan kedua lengan itu ke depan, ke arah Li Hwa!

“Kenapa kalau kepadaku kau tidak melawan, dan kepada orang lain melawan?” Li Hwa tidak dapat menahan keinginan tahunya, bertanya.

“Banyak sebabnya,” kata Kun Liong dan diam-diam merasa bersyukur bahwa Bi Kiok yang berada di dalam guha tidak mengeluarkan suara. “Pertama, karena kita sudah saling mengenal, ke dua karena agaknya aku tidak tega menolak permintaan seorang gadis cantik, dan ke tiga, aku hendak membuktikan bahwa semua tuduhanmu itu kosong.”

“Bawa tali ke sini!” Li Hwa memerintah.

Seorang perwira datang berlari membawa sehelai tali panjang yang kuat! Dengan gerakan cepat Li Hwa membelenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong.

“Bawa seekor kuda ke sini!” Kembali dia memerintah.

Setelah seekor kuda dituntut dekat dia berkata kepada Kun Liong, “Sekarang kaunaiklah ke kuda ini.”

“Wah, terima kasih. Seperti tamu agung saja, disediakan kuda untukku!” Kun Liong tersenyum sambil memandang dagu yang manis itu.

“Cerewet kau! Sekarang engkau menjadi tawananku, tahu?” Li Hwa menggunakan sisa tali untuk mengikat kedua kaki Kun Liong yang berada di kanan kiri perut kuda, kemudian sisanya dia ikatkan di leher pemuda itu, agak kendur lalu melempar ujung tali ke arah perwira brewok yang tadi membacok kepala Kun Liong.

“Kwan-ciangkun, kautuntun dia!” katanya. Gadis itu lalu melompat ke atas kudanya dan memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk meninggalkan tempat itu.

“Aihh!” Perwira brewok itu berseru kaget dan tali yang dipegang ujungnya tadi terlepas dari tangannya. Dia meloncat turun lagi dari kuda, menyambar tali dan begitu dia naik ke atas kudanya, Kun Liong menggerakkan kepalanya dan... tali itu kembali terlepas dari tangan Si Perwira Brewok. Tentu saja dia marah sekali dan setelah dia meloncat turun dan menyambar tali, dia melibatkan ujung tali itu di tangan kanannya sebelum dia melompat naik ke atas kuda. Kembali Kun Liong menggerakkan kepalanya, Si Perwira mempertahankan sehingga terjadi tarik-menarik dan akhirnya tubuh perwira itu terpelanting dari atas kuda, jatuh berdebuk. Sial baginya, dia jatuh dengan pinggul menimpa sebutir batu sebesar kepalan tangan, maka dia mengaduh dan meringis kesakitan. Beberapa orang perwira lainnya yang tadinya ikut marah, kini hampir tak dapat menahan ketawa menyaksikan perwira yang aneh akan tetapi juga lucu itu.

“Yap Kun Liong, apakah kau benar-benar hendak memberontak dan melawan?” Li Hwa membentak marah.

“Terserah penilaianmu, akan tetapi karena kau yang mencurigai aku, kau yang menawan dan membelengguku, maka harus kau pula yang menuntunku.”

“Manusia aneh dan gila!” Li Hwa mengomel, akan tetapi karena dia tahu bahwa para perwira bawahannya tidak ada yang mampu menandingi Si Gundul ini, agar tidak menghambat perjalanan dia lalu menyambar ujung tali, meloncat naik ke atas kuda den dengan demikian menuntun Kun Liong yang duduk sambil tersenyum di atas kudanya dan pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah dara yang menawannya itu.

“Tunjukkan aku di mana tempat bokor itu,” kata Li Hwa. “Memang aku hendak mengembalikan bokor itu kepada gurumu...”

“Bohong! Siapa percaya omonganmu?”

“Percaya atau tidak terserah.”

“Kau tadi bilang hendak menyerahkannya kepada Toat-beng Hoat-su.”

“Siapa bilang aku hendak menyerahkan? Aku hanya bilang bahwa aku hendak menunjukkan dia tempat di mana aku menyembunyikan bokor itu.”

“Hemmm... omongan plintat-plintut! Bukankah itu sama saja?”

“Sama sekali tidak sama. Kalau sudah kutunjukkan tempatnya, belum tentu aku membiarkan dia mengambilnya.”

“Hemm, kalau begitu mengapa kau hendak menunjukkan tempatnya kepada iblis tua itu?”

“Karena... perjanjian!”

Li Hwa menoleh dan memandang Kun Liong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda itu tetap tenang dan kini dia memperoleh kesempatan banyak untuk menikmati keindahan dagu dan leher itu.

“Kau cantik, Li Hwa...”

Li Hwa mendengus. “Huh! Lagakmu tiada ubahnya seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat golongan hitam yang cabul dan hina!”

“Wah-wah-wah, mengatakan kau cantik apakah merupakan perbuatan jahat, Li Hwa? Kau memang cantik, habis bagaimana? Apakah kau lebih senang kalau aku membohong dan mengatakan bahwa kau buruk?”

“Jangan mengatakan apa-apa!” Li Hwa membentak dan Kun Liong hanya mengangkat pundak dan alis, menggelengkan kepalanya yang gundul, di dalam hatinya makin heran terhadap sikap wanita. Mahluk yang aneh memang, pikirnya. Setiap berjumpa dengan seorang wanita, lain lagi wataknya dan makin lama makin aneh!

“Hayo jawab!” Setelah agak lama berdiam, Li Hwa membentak. Dengan tangan kirinya dia membetot tali sehingga kuda yang ditunggangi pemuda itu tersentak maju ke depan. Hal ini adalah karena Kun Liong menggunakan tenaga sin-kang untuk menjepit perut kuda sehingga biarpun dia yang dibetot ke depan, yang merasakan adalah kuda yang ditungganginya!

Dia diam saja.

“Kun Liong, hayo jawab pertanyaaiiku tadi, di mana tempat bokor itu. Tunjukkan kepadaku!”

Tiada jawaban. Li Hwa menengok marah dan matanya mendelik ketika dia melihat pemuda gundul itu duduk tenang di atas kudanya dan tersenyum kepadanya.

“Mesam-mesem jual lagak kau! Ditanya tidak menjawab malah tersenyum-senyum. Memangnya kau gagu?”

“Hayaaa... sudah nasibku, jatuh dari tangan dara manis yang satu kepada tangan dara cantik yang lain, makin lama makin aneh dan makin menarik! Souw Li Hwa, baru saja kau bilang kepadaku bahwa aku jangan mengatakan apa-apa, setelah aku diam tidak berkata apa-apa, kau marah-marah dan memaki aku gagu. Sebetulnya bagaimana sih kehendakmu, Nona cantik?”

Li Hwa menggigit bibirnya. Ingin dia memaki-maki akan tetapi takut kalau didengar oleh para perwira yang berada di belakang. Dia memang mendahului mereka dengan jarak antara sepuluh meter.

“Kun Liong, jangan main-main kaul! Memang kaukira aku ini siapa?”

“Engkau adalah Souw Li Hwa, seorang dara remaja yang cantik jelita seperti bidadari dan gagah perkasa seperti Hoan Lee Hwa (tokoh dalam dongeng Sie Jin Kwi), murid panglima besar yang sakti The Hoo.”

“Kalau sudah tahu, mengapa kau berani kurang ajar?”

“Aihhh... benar-benar aku menjadi bingung menghadapimu, Li Hwa, ataukah aku harus menyebutmu Li-hiap, atau Li-ciangkun? Apa sih kekurangajaranku?”

“Beberapa kali kau menyebut aku nona cantik!”

“Lagi-lagi itu! Habis kalau memangnya engkau cantik jelita...”

“Sudahlah... sudahlah!” Li Hwa berkata kewalahan. “Katakan saja di mana adanya bokor emas milik Suhu itu.”

“Kaupimpin pasukanmu melalui sepanjang pantai Sungai Huang-ho sampai... eh, ingatkah kau ketika kau ditawan? Nah, di dekat sanalah, di pantai Huangho yang airnya tidak begitu dalam, banyak batu-batu besar.”

Li Hwa mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, tidak jauh lagi dari sini” Dia lalu memberi aba-aba kepada pasukannya dan pasukan itu bergerak menuju ke tepi Sungai Huang-ho, kemudian melanjutkan perjalanan di sepanjang sungai. Dalam perjalanan ini, Kun Liong diminta menceritakan bagaimana dia dapat menemukan bokor itu. Pemuda itu menceritakannya dengan singkat tanpa menyebut nama Bi Kiok dan yang lain-lain. Hanya diceritakan bahwa bokor itu tadinya tercuri oleh Phoa Sek It kemudian hilang di sungai dan secara kebetulan ia menemukannya, betapa kemudian hampir terjatuh ke tangan Phoa Sek It kembali, akan tetapi dia berhasil melarikannya dan menyembunyikannya di tempat itu.

Li Hwa merasa terheran-heran mendengar cerita itu. Semua orang di dunia kang-ouw mencari bokor itu. Dan suhunya juga menyebar orang untuk mencarinya karena suhunya khawatir bahwa kalau bokor terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan membahayakan. Siapa kira, bokor yang menimbulkan heboh itu ditemukan oleh bocah gundul aneh yang lalu menyimpannya begitu saja di pinggir sungai membiarkannya sampai sepuluh tahun!

“Engkau telah salah menangkap orang, Li Hwa. Bukan aku tidak suka menjadi tawananmu, akan tetapi engkau sungguh keliru kalau menyangka aku pemberontak. Apakah Paman Cia Keng Hong tidak melaporkan ke kota raja?”

Mendengar disebutnya nama pendekar ini, Li Hwa terkejut. “Kami mendengar tentang pemberontakan dari beliau.”

“Ha-ha! Dan tahukah engkau dengan siapa Paman Cia Keng Hong tiba di Ceng-to dan menyaksikan para pemberontak mengadakan perundingan? Dengan aku! Cia-supek (Paman Guru Cia) berpisah dariku setelah kami berhasil menyelamatkan seorang gadis yang tentu kau kenal karena dia mengaku masih cucu murid gurumu, orangnya cantik manis seperti engkau, terutama bibirnya.”

Li Hwa membelalakkan matanya. “Siapa percaya omonganmu? Yang jelas menurut penyelidikan orangku, engkau melakukan perjalanan bersama Toat-beng Hoat-su, dan kau bermaksud menyerahkan bokor kepadanya.”

“Hanya untuk menyelamatkan seorang gadis.”

“Hemm... gadis lagi!”

“Ya, seorang gadis lain, juga cantik jelita, dibandingkan dengan engkau... hemmm, sukar juga mengatakan siapa lebih manis, seperti bunga mawar dengan bunga seruni!” Tentu saja yang dimaksudkan bunga seruni adalah Bi Kiok (seruni cantik) sesuai dengan namanya.

“Engkau memang mata keranjang!”

Kun Liong tertawa. “Semua laki-laki mata keranjang kalau dimaksudkan suka melihat wanita cantik! Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita cantik?”

“Yang kaukatakan cucu murid guruku itu, siapakah namanya?”

“Gadis dengan bibir manis sekali itu? Liem Hwi Sian...”

“Wah, murid Gak-suheng (Kakak Seperguruan Gak) di Secuan?”

“Mungkin masih ada lagi dua orang suhengnya, kalau tidak salah namanya Poa Su It dan Tan Swi Bu. Dan Liem Hwi Sian itu, selain manis sekali bibirnya, juga dia suka kepada... kepalaku yang gundul. Mungkin kau benci kepada kepalaku, ya?”

“Di mana dia sekarang?” Li Hwa tidak mempedulikan pertanyaan yang dianggapnya kurang ajar itu.

“Sudah diselamatkan Tan Swi Bu. Nah, apakah engkau masih menuduh aku seorang pemberontak?”

“Kita lihat saja nanti keputusan pengadilan di kota raja.”

“Wah-wah, setelah kutunjukkan kepadamu tempat bokor emas, engkau masih hendak menawanku dan membawaku ke kota raja?”
“Tentu saja!”

“Biarpun sudah kuceritakan semua kepadamu?”

“Aku tidak percaya ceritamu.”

“Biarpun aku sudah menunjukkan tempat aku menyimpan bokor kepadamu?”

“Tadinya kau pun menunjukkan kepada datuk kaum sesat.”

“Ha-ha, Nona manis! Mengapa engkau masih menggunakan segala macam alasan kosong? Bilang saja bahwa engkau senang sekali dengan kehadiranku dan tidak ingin segera berpisah dari sampingku. Bukan demikiankah sesungguhnya? Aku pun suka sekali berdampingan denganmu, Li Hwa.”

Li Hwa marah sekali, menahan kudanya sehingga kuda Kun Liong menyusul dekat, lalu tangannya menampar kepala Kun Liong. Pemuda ini dapat mengukur dari tamparan itu bahwa Li Hwa bukan menyerangnya, hanya sekedar melepas kemarahan dengan menamparnya dan hanya menggunakan tenaga biasa, maka dia pun sama sekali tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang. Akan tetapi, kalau tadi dia menggunakan Pek-in-sin-kang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang sehingga kepalanya mampu menahan bacokan golok, sekarang dia menggunakan sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, yang diciptakan oleh kakek sakti itu untuk melawan Thi-khi-i-beng, yaltu yang mengandung tenaga membetot berdasarkan Im-kang lemas.

“Plakkk!” Dan telapak tangan kiri dara itu melekat pada kulit kepala Kun Liong!

Li Hwa berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi benar-benar telapak tangannya telah melekat ketat sehingga waiahnya berubah pucat karena baru sekarang dia mengalami hal seaneh ini!

“Heh-heh, engkau pun agaknya amat suka dengan kepala gundulku, seperti Hwi Sian, maka kau mengelusnya tiada hentinya.”
Li Hwa menjadi merah sekali mukanya dan dia mengerling ke belakang. Kalau para perwire melihat hal ini, tentu mengira bahwa dia benar-benar membelai Si Kepala Gundul! Maka dia cepat menggunakan jari tangan kirinya untuk menotok ke arah pundak Kun Liong.
“Wahhh... begini kejamkah engkau, Li Hwa?” Kun Liong berkata dan melepaskan pengerahan sin-kangnya sehingga telapak tangan kanan gadis itu terlepas kembali dan mendengar ucapan ini, Li Hwa mengurungkan niatnya menotok. Dia tadi menggunakan Ilmu Menotok It-ci-sian yang amat hebat dari gurunya, yaitu ilmu menotok dengan sebuah jari yang dilakukan dengen pengerahan sin-kang khas sehingga totokan itu mengeluarkan angin dingin yang luar biasa!

lanjut ke Jilid 039-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar