Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 31

Petualang Asmara Jilid 031

<--kembali

Akan tetapi Biauw Eng segera menghampiri puterinya dan membangunkannya. “Kau telah menyedot banyak hawa beracun.”

“Aku tadi mengejar Liong-koko ketika kami melihat berkelebatnya orang-orang jahat. Aku masuk ke kamar perpustakaan, akan tetapi begitu meloncat ke tengah kamar itu, lantainya terjeblos dan aku terguling ke dalam sumur. Sebelum sempat meloncat ke luar, ada yang melempar sesuatu ke dalam sumur, baunya wangi dan aku tidak ingat apa-apa lagi.”

“Untung Kun Liong menolongmu. Sudablah, mari kubantu engkau membersihkan paru-parumu,” Biauw Eng berkata. Ibu dan anak itu lalu duduk bersila. Biauw Eng di belakang anaknya, menempelkan kedua telapak tangan di punggung gadis itu yang mengatur napasnya, menyedot hawa murni untuk mengusir sisa-sisa hawa beracun dari dalam dadanya.

Keng Hong dan Kun Liong segera menghampiri para hwesio yang mengadakan pemeriksaan. Thian Kek Hwesio menarik napas panjang. “Untung kebakaran di ruang perpustakaan tidak melenyapkan kitab-kitab penting, dan heran sekali. Tidak ada pusaka yang lenyap biarpun keadaannya kacau-balau. Agaknya mereka mencari sesuatu, dan tidak mereka temukan yang mereka cari. Betapapun juga, untuk kedua kalinya,sahabat muda Yap Kun Liong telah menyelamatkan Siauw-lim-si.”

“Ah, Locianpwe harap jangan bersikap sungkan. Bukankah teecu adalah orang sendiri? Bahkan dua buah benda pusaka yang dahulu tercuri belum dapat teecu cari. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa mereka tadi datang membikin ribut dan tidak tahu apa yang dicari, akan tetapi teecu mengenal yang memimpin para perampok tadi.”

Semua orang memandang kepada Kun Liong. “Benarkah itu, Liong-ji (Anak Liong)? Kau mengenal pemimpin mereka?” Keng Hong bertanya, kagum, bangga dan heran melihat putera sahabat baiknya ini yang selain ujudnya aneh karena kepala gundulnya, ternyata banyak mengalami hal aneh-aneh. Pertama diambil murid Bun Hoat Tosu, ke dua digembleng sukongnya sendiri, dan kini mengenal pimpinan para perusuh itu, pada saat tidak ada orang lain yang dapat mengenalnya.

“Teecu pernah berjumpa dengan dia sepuluh tahun yang lalu, Supek. Dia itulah yang dahulu menyerang teecu dengan jerum merah sehingga kepala teecu tidak mau tumbuh rambut lagi. Dia adalah Ouwyang Bouw, putera dari Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok.”

Tentu saja semua orang terkejut mendengar ini.

“Omitohud...! Kaum sesat sudah berani memusuhi Siauw-lim-pai!” Thian Kek Hwesio berkata nyaring, “Sute Thian Le Hwesio terbunuh, dan kini kuil Siauw-lim-si diserbu perampok. Kita harus memperslarpkan diri!” Kalimat terakhir ini ditujukan kepada para anak murid Siauw-lim-pai.

Kun Liong segera melangkah maju dan berkata, “Locianpwe, teecu sudah menyanggupi tugas untuk mencari dan mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu tercuri. Juga teecu sudah menyanggupi untuk menyelidiki tentang kematian Thian Le Losuhu. Biarlah sekarang teecu berjanji akan mencari Ouwyang Bouw dan menyelidiki apa yang dicarinya di kuil itu sehingga dia dan kaki tangannya menimbulkan kekacauan.”

“Omitohud... tidak percuma mendiang Suhu mengangkatmu menjadi ahli waris tunggal, Yap-sicu. Siauw-lim-pai telah banyak menerima budi dan tidak akan melupakan budi itu.”

“Teecu tidak mau menganggapnya sebagai budi, karena bukankah teecu juga menerima kebaikan dari mendiang sukong? Pula, teecu tidak mempunyai pekerjaan tertentu dan akan berkelana mencari Ayah dan Ibu, maka sekalian teecu dapat melakukan semua tugas itu.”

Para hwesio Siauw-lim-si sibuk mem-bereskan dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh kebakaran itu, para tamu sudah mengundurkan diri dan berpamit. Kun Liong juga berangkat menunaikan tugasnya, ditemani oleh Cia Keng Hong!

“Engkau pulanglah bersama Giok Keng.” Pendekar sakti ini berkata kepada isterinya, ”Aku akan membantu Kun Liong mencari orang tuanya.”

Demikianlah, Kun Liong dan Keng Hong meninggalkan kuil Siauw-lim-si, sedangkan Biauw Eng mengajak Giok Keng pulang ke Cin-ling-san karena dara itu masih perlu beristirahat dan minum obat. Cia Giok Keng masih penasaran sekali karena dia tidak diberi kesempatan memperlihatkan kepandaiannya di kuil Siauw-lim-si itu, karena sebelum dia dapat menyerang para penjahat, dia telah terjeblos ke dalam perangkap rahasia dan dipaksa pingsan oleh lemparan benda meledak yang mengandung hawa beracun oleh seorang di antara penjahat.

“Liong-ko, kalau kau bertemu dengan Ouwyang... siapa tadi namanya?”

“Ouwyang Bouw,” jawab Kun Liong.

“Kalau kau, bertemu dengan dia, jangan kau bunuh dia.”

“Mengapa?” Kun Liong bertanya heran. “Aku tidak berniat membunuh siapa-siapa, hanya ingin bertanya mengapa dia mengacau Siauw-lim-si dan apa yang dicarinya.”

“Bagiankulah untuk membunuhnya!” kata dara itu.

“Sebaiknya kita pergi ke Ceng-to untuk melakukan penyelidikan,” di tengah jalan Keng Hong berkata kepada Kun Liong.

Kun Liong menoleh dan memandang wajah tampan dan berwibawa itu. Maka bertanyalah dia, pertanyaan yang sudah ditahannya sejak mereka meninggalkan Siauw-lim-si. “Supek, kalau boleh teecu bertanya, dalam menemani teecu dalam perjalanan ini, apakah yang Supek kehendaki?”

Cia Keng Hong menoleh, memandang dan mengangkat alisnya yang tebal.

“Maaf, Supek. Teecu merasa yakin bahwa ada sesuatu yang hendak Supek sampaikan kepada teecu.”

Kini pandang mata pendekar sakti itu menjadi terheran-heran dan bertanyalah dia dengan kekaguman yang tidak disembunyikan. “Kun Liong, bagaimana engkau bisa menduga demikian?”

“Supek dan Supek-bo pernah mencari Ayah dan Ibu tanpa hasil, demikian pula teecu. Sekarang pun, teecu mencari dengan mengawur karena memang tidak ada yang mengetahui di mana adanya mereka. Kalau memang Supek hendak mencari mereka, karena kita sama-sama tidak tahu, tentu lebih baik kalau berpencar. Akan tetapi Supek menemani teecu, berarti bahwa Supek menyembunyikan niat lain. Dugaan ini akan selalu membayangi teecu kalau belum Supek jelaskan.”

Keng Hong tersenyum dan mengangguk-angguk. “Engkau cerdik, dan jujur. Memang sesungguhnyalah. Mendengar betapa mungkin pencuri pusaka Siauw-lim-si adalah orang-orang Kwi-eng-pang, dan kini mendengar pula bahwa penyerbu kuil itu adalah putera Ban-tok Coa-ong, maka engkau yang bertugas mencarinya berarti akan berhadapan dengan datuk-datuk kaum sesat yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Sedangkan ayah bundamu pun belum diketahui ke mana perginya, kalau engkau sebagai putera tunggalnya terancam bahaya, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Aku akan menghadapi mereka dan membantumu, itulah tujuanku menemanimu sekarang. Dan kalau kau beruntung bertemu dengan orang tuamu, aku pun ingin sekali bicara dengan mereka.” Tentu saja Keng Hong tidak mengaku bahwa dia akan bicara tentang perjodohan puterinya!

Kun Liong segera membungkuk dengan hormat. “Terima kasih banyak atas perhatian dan pembelaan Supek kepada teecu. Akan tetapi, Supek. Tugas ini sudah teecu sanggupi, bagaimana teecu berani membawa-bawa Supek dan melibatkan diri Supek? Supek adalah seorang ketua yang terhormat dan terkenal, kalau sampai pusaka-pusaka Siauw-lim-pai itu didapatkan kembali mengandalkan tenaga bantuan Supek. bukankah hal itu akan membuat Siauw-lim-pai menjadi tertawaan orang? Tentu Siauw-lim-pai dianggap lemah dan hanya berani minta bantuan seorang sakti seperti Supek. Berbeda lagi dengan teecu. Teecu sama sekali tidak terkenal, dan teecu juga murid dari Sukong, apalagi ayah teecu pun murid Siauw-lim-pai. Sudah sepatutnya kalau teecu mewakili Siauw-lim-pai menghadapi para pencuri.”

Keng Hong memandang dengan mata bersinar dan wajah berseri. Dia kagum kepada pemuda gundul itu. Biarpun belum dia saksikan, namun agaknya kepandaian Kun Liong tentu tinggi. Wajahnya tampan biarpun kepalanya gundul, dan pandangannya jauh dan luas, wataknya pemberani, cerdik dan jujur sehingga terhadap dia berani bicara terang-terangan seperti itu tanpa takut menyinggung perasaan. Soal kepandaian, dapat dia selidiki kelak, biarpun agaknya tak mungkin kalau murid Bun Hoat Tosu dan Tiang Pek Hosiang tidak lihai. Hanya ada dua hal yang masih meragukan hati pendekar sakti ini apakah pemuda ini sudah patut menjadi jodoh puterinya, yaitu pertama sikap lunak Kun Liong yang tidak hanya dinyatakan dengan mulut bahwa dia tidak suka melukai orang, juga dinyatakan dalam peristiwa keributan di Siauw-lim-si, Kun Liong berhasil menolong Giok Keng dari dalam sumur, mengapa dia tidak dapat menangkap seorang pun dari para perampok itu? Hal ke dua adalah cara pengobatan yang dilakukan Kun Liong terhadap Giok Keng. Biarpun meniupkan hawa dari mulut ke mulut merupakan pertolongan darurat, akan tetapi mengapa berani lancang melakukannya dan tidak memberi tahu kepada dia atau isterinya lebih dulu?

“Pandanganmu memang tepat, Kun Liong. Aku hanya bertindak karena kekhawatiranku terhadap tugasmu yang berat. Akan tetapi sedikitnya aku harus melihat dulu sampai di mana tingkat kepandaianmu, apakah kiranya sudah cukup kuat untuk menghadapi datuk-datuk kaum sesat seperti mereka? Kalau perlu, aku dapat melatihmu beberapa macam ilmu sebagai bekal.”

“Terima kasih atas kebaikan Supek. Teecu bukan bermaksud untuk menghadapi para datuk itu dalam pertandingan atau permusuhan. Teecu hanya akan minta kembali pusaka dan mereka tentu akan melihat muka para pimpinan Siauw-lim-pai untuk membalikkan pusaka-pusaka dengan baik. Adapun Ouwyang Bouw akan teccu tanya, apa yang dicari di Siauw-lim-si.”

Berkerut alis pendekar sakti itu. Kembali pemuda yang mengagumkan hatinya itu mengemukakan pendapatnya yang mengecewakan, yang dianggapnya sebagai pencerminan watak penakut.

“HEMM, Kun Liong. Engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat, terutama sekali lima tahun di Ruang Kesadaran bersama mendiang sukongmu, sebetulnya hendak kaupergunakan untuk apakah ilmu-ilmu itu?”

“Tentu saja untuk... untuk kesehatan, dan untuk menjaga diri, Supek.”

“Menjaga diri dari apa?”

“Dari kesukaran-kesukaran yang menimpa tubuh teecu ini. Dari serangan binatang buas, manusia-manusia yang suka menggunakan ilmu untuk menindas dan lain-lain.”

“Dan kau tidak akan memukul orang, biarpun orang itu jahat terhadapmu?”

“Kalau bisa... sedapat mungkin teecu tidak akan menggunakan ilmu silat untuk menyerang orang lain, hanya untuk mempertahankan diri.”

“Bukan karena kau takut?”

“Tidak, Supek.”

“Nah, kalau begitu aku hendak menyerangmu. Hendak kulihat sampai di mana engkau dapat mempertahankan dirimu!”

Bukan main kagetnya Kun Liong mendengar ini. “Tapi... Supek...”

“Awas!” Keng Hong sudah berseru nyaring dan menyerang dengan tamparan ke arah kepala yang gundul ini.

Kun Liong merasa betapa ada angin dahsyat menyambar, biarpun tangan itu masih jauh, sudah terasa angin pukulannya, membuat kulit kepala yang kena sambar terasa dingin. Cepat dia secara otomatis menundukkan kepalanya dan menyelinap ke kiri. Keng Hong sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan-pukulan dahsyat yang datangnya bertubi-tubi dan setiap pukulan mengeluarkan angin dahsyat.

Bukan main kagum dan kagetnya hati Kun Liong. Belum pernah selamanya dia melihat gerakan serangan yang demikian dahsyatnya. Namun dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir karena serangan itu terus datang bertubi-tubi. Kun Liong mengerahkan gin-kangnya dan mengelak ke sana ke mari dengan kecepatan laksana seekor burung walet. Tubuhnya mencuat ke sana-sini untuk menghindarkan diri. Akan tetapi ternyata kecepatan gerakannya dapat diimbangi oleh Keng Hong sehingga akhirnya, mau tidak mau Kun Liong dipaksa untuk menangkis, karena kalau hanya mengandalkan kecepatan mengelak saja tidak cukup dan tentu dia akan kena dipukul.

“Duk! Plak! Dukkk!” Tiga kali berturut-turut Kun Liong menangkis dan karena dia maklum bahwa pukulan-pukulan yang membawa angin dahsyat itu tentu mengandung sin-kang yang amat kuat, maka dia pun mengerahkan sin-kangnya dan menggunakan ilmu Pek-in--ciang (Tangan Awan Putih) yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang. Ketika kedua tangan bertemu, dari tangan Kun Liong mengepul uap putih dan benturan tangan itu hanya membuat Kun Liong tergoyang-goyang tubuhnya, akan tetapi Keng Hong juga merasa betapa tangannya tergetar.

“Bagus!” Dia memuji dengan kagum dan kini ilmu silatnya berubah. Tadi pendekar sakti itu telah mainkan San-in-kun-hoat yang ampuh, akan tetapi karena ilmu silat ini hanya delapan jurus, biarpun merupakan ilmu silat tinggi namun masih kurang dapat untuk dipakai mendesak agar pemuda itu balas menyerang! Inilah yang dikehendaki Keng Hong. Dia masih tidak percaya apakah Kun Liong akan sanggup mempertahankan pen-diriannya, tidak akan menyerang orang! Maka dia berusaha memaksa pemuda itu untuk mengeluarkan kepandaian, selain bertahan, juga balas menyerang. Dan ternyata San-in-kun-hoat tidak berhasil memaksa pemuda itu membalas.

“Aihhh...!” Kun Liong terkesiap ketika melihat perubahan gerakan supeknya. Ilmu silat yang dimainkan supeknya ini aneh sekali, gerakannya sederhana, akan tetapi daya serangnya ampuh dan dahsyat sekali. Kadang-kadang gerakan supeknya lambat saja, namun angin pukulan yang datang lebih dahsyat daripada tadi. Itulah Thai -kek-sin-kun!

Namun Keng Hong benar-benar dibuat kaget. Pemuda itu masih mampu mem-pertahankan diri dan dia mengenal dasar-dasar Pat-hong-sin-kun dari Bun Hoat Tosu, kemudian Im-yang Sin-kun yang hanya dia kenal dasarnya saja karena kedua ilmu itu agaknya telah diubah dan diperbaiki oleh kedua orang kakek sakti itu sehingga menjadi ilmu yang amat hebat. Hawa yang kuat sekali berputaran di sekitar diri Kun Liong ketika pemuda itu mainkan ilmu-ilmu itu dengan kedua tangan selalu diisi dengan sin-kang Pek--in-ciang. Selama seratus jurus Keng Hong menyerang, dan uap putih yang tadi hanya mengepul dari kedua tangan Kun Liong, kini mengepul dari tubuh dan kepalanya yang gundul, mendatangkan kekuatan yang makin dahsyat. Hebatnya, sampai seratus jurus lebih, belum pernah satu kali pun Kun Liong membalas!

Keng Hong maklum bahwa kalau dia menggunakan gerakan maut, tentu pemuda itu terpaksa akan membalas untuk mempertahankan diri, akan tetapi percobaan ini terlalu berbahaya bagi pemuda itu. Maka dia menggunakan akal terakhir, yaitu Ilmu Thi-khi-i-beng! Sebagai seorang ahli yang memiliki kesaktian, tentu saja tidak ada bahayanya lagi bagi pendekar ini menggunakan Thi-khi-i-beng. Dahulu, sebelum dia menjadi ahli, ilmu ini amat mengerikan. Siapa saja yang terkena betotan ilmu Thi-khi-i-beng, sin-kangnya akan tersedot dan Keng Hong sendiri tidak mampu menghentikannya sampai lawan tersedot habis tenaganya dan tewas! Kini tentu saja dia dapat menggunakan sesuka hatinya dan mengaturnya sehingga sewaktu-waktu dapat menghentikan daya sedot ilmu itu.

“Awassss...!” Serunya lagi sambil memukul dengan kecepatan yang tidak memungkinkan Kun Liong mengelak, kecuali menangkis.

“Plakkk! Hyaaaat!” Kun Liong mengeluarkan teriakan melengking ketika merasa betapa lengannya menempel pada lengan lawan dan tenaga sin-kanghya molos keluar. Sambil melengking itu dia menggunakan sin-kang yang dipelajarinya dari Bun Hoat Tosu dahulu, yaitu yang mempunyai tenaga membotot dan yang oleh kakek sakti itu sengaja diciptakan untuk menghadapi Thi-khi-i-beng yang kabarnya tidak ada lawannya di dunia ini.

“Eiiihhhh...!!” Kini Keng Hong yang berteriak saking kaget dan herannya.

Pemuda itu mampu membebaskan lengannya dari sedotan Thi-khi-i-beng! Bukan main! Sukar untuk dapat dipercaya! Saking kaget dan herannya, dia menghentikan serangannya dan meloncat mundur.

Kun Liong merasa lega sekali. Napasnya sudah senin kemis, dan dia harus mengakui bahwa kalau saja yang menyerangnya seperti itu bukan supeknya, sudah sejak tadi dia terpaksa balas menyerang untuk menyelamatkan diri. Dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan supeknya dan berkata, “Terima kasih atas kemurahan Supek dan maafkan teecu.”

Dengan sinar mata penuh selidik Keng Hong bertanya, “Siapakah yang mengajarkan kepadamu cara membetot seperti tadi? Apakah mendiang Tiang Pek Ho-siang?”

Kun Liong menggeleng kepala. “Bun Hwat Totiang-locianpwe yang mengajar teecu.”

Keng Hong mengangguk-angguk dan hatinya lega. Kakek sakti bekas Ketua Hoa-san-pai itu memang seorang yang berilmu tinggi sekali, dan agaknya kakek itu dalam usia tuanya masih merasa penasaran akan keampuhan Thi-khi-i-beng yang tidak ada lawannya maka diam-diam telah menciptakan sin-kang untuk menghadapi Thi-khi-i-beng dan menurun-kan ilmu mujijat itu kepada Kun Liong! Untung kepada Kun Liong!

“Pernahkah dia menyebut tentang Ilmu Thi-khi-i-beng kepadamu?”

Kun Liong tidak berani membohong. “Pernah, Supek, dan memang sin-kang tadi dimaksudkan oleh beliau untuk menghadapi Thi-khi-i-beng.”

Keng Hong tertawa. “Orang tua itu benar-benar tidak mau mengalah! Kun Liong, ilmu yang kaumiliki itu memang hebat, akan tetapi tenagamu masih belum cukup untuk melawan aku jika aku benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dalam ilmu Thi-khi-i-beng. Akan tetapi engkau telah berhasil memiliki dasar ilmu itu, berarti engkau memang berbakat baik sekali dan sekarang aku mengerti siapa yang dapat kuberi ilmu Thi-khi-i-beng, yaitu engkau sendiri!”

Kun Liong serkejut. Dia mendengar bahwa ilmu Thi-khi-i-beng adalah ilmu mujijat yang hanya dikuasai oleh supeknya ini dan tiada taranya di seluruh dunia persilatan. Dan kini supeknya hendak menurunkannya kepadanya!

“Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan Supek. Akan tetapi... bukankah semestinya ilmu ini supek berikan kepada Adik Giok Keng?”

Kembali di dalam hatinya, Keng Hong kagum. Ucapan itu saja sudah membuktikan behwa pemuda gundul itu benar-benar berani dan jujur. Berani karena ucapan itu dapat diartikan menolak! Dan jujur karena penolakan itu berdasarkan perasaaan tidak adil terhadap Giok Keng.

“Tidak, dia masih kurang berbakat dan tidak akan kuat menerimanya. Ilmu Thi-khi-i-beng bukan sembarangan ilmu. Akan membahayakan dunia, dan membahayakan orang itu sendiri kalau pemiliknya tidak memiliki dasar yang amat kuat, dan tidak memiliki watak pendekar sejati!”

Kun Liong merasa makin jerih. “Supek... bukan teecu menolak, hanya teecu... teecu takut kalau-kalau teecu bukan pendekar sejati seperti yang Supek maksudkan... dan teecu tidak berani kelak menyia-nyiakan ilmu itu. Harap Supek pertimbangkan baik-baik.”

Keng Hong tertawa. Bocah ini memiliki bakat dan watak yang baik sekali, sayang sekali kurang kepercayaan kepada diri sendiri. Sikap ini memang baik, membuat orang tidak menyombongkan diri dan selalu rendah hati, akan tetapi juga menjadikannya seorang yang kurang tegas dan berani. Betapapun juga, dia tidak mempunyai pandangan orang lain dan agaknya memang tepat kalau dia menurunkan ilmunya kepada putera sumoinya dan sahabat baiknya ini.

“Bersiaplah engkau menerima ilmu Thi-khi-i-beng. Engkaulah pewaris satu-satunya karena ilmu ini tidak boleh dimiliki orang lain kecuali engkau dan kelak pun kalau engkau menurunkan ilmu ini tidak boleh kepada lebih dari satu orang saja.”

Kun Liong bertutut dan tidak membantah ketika disuruh duduk bersila di depannya. Di dalam hutan yang sunyi itu, Keng Hong memberikan ilmu yang mujijat itu kepada Kun Liong. Selain cara untuk mengemudikan hawa mujijat di dalam tubuh ini, Keng Hong harus mengoperkan sebagian dari hawa mujijat itu ke dalam tubuh Kun Liong, seperti yang dahulu dilakukan oleh gurunya kepadanya (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Dia menyuruh pemuda itu “membuka” tubuh-nya, yaitu siap menerima dan sedikit pun tidak boleh melawan, kemudian dia meletakkan kedua tangan di atas ubun-ubun kepala yang gundul dan mengerahkan sin-kang dan bagaikan air bah membanjir memasuki tubuh Kun Liong. Pemuda gundul ini sampai roboh pingsan ketika pertama kali Keng Hong mengoperkan sin-kangnya. Kemudian sedikit demi se-dikit dia dilatih mengemudikan hawa mujijat yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya sampai dia dapat menguasainya dan mengurung hawa ini ke dalam pusarnya, membangkitkannya sewaktu-waktu. Juga dia dilatih cara bersamadhi untuk mengumpulkan hawa murni sebagai penambah kekuatan tenaga mujijat Thi--khi-i-beng di tubuhnya.

Sampai dua pekan lamanya dia berlatih di dalam hutan, sedangkan Keng Hong juga bersamadhi terus menerus untuk mengisi kembali tenaga mujijat yang sebagian dia “operkan” kepada Kun Liong.

Dua pekan kemudian, dua orang itu melanjutkan perjalanannya. Kun Liong masih agak pening oleh pengaruh kekuatan mujijat yang dimilikinya, mukanya agak kemerahan, sedangkan Keng Hong kelihatan agak pucat.

“Supek, mengapa kita pergi ke kota Ceng-to? Ada apakah di sana?” di tengah perjalanan Kun Liong bertanya.

“Kota Ceng-to berada di tepi Laut Timur, dan tempat itu kabarnya adalah menjadi tempat tinggal seorang di antara datuk-datuk kaum sesat vang menguasai bagian timur, yaitu Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu. Mengingat betapa Siauw--lim-si diganggu dua kali, pertama oleh orang Kwi-eng-pang dan kedua kalinya oleh putera Ban-tok Coa-ong, sangat boleh jadi kalau Lima Datuk kaum sesat yang tersohor itu sekarang mengadakan persekutuan. Hek-bin Thian-sin seorang di antara mereka, maka kiranya dia akan dapat memberi keterangan, karena tempatnya yang terdekat dari sini. Kedua kalinya, di Ceng-to terdapat banyak tokoh persilatan golongan putih maupun hitam, dan menjadi cabang besar dari Pek-lian-kauw, maka tepatlah kalau kita menyelidiki orang tuamu di sana. Di antara mereka agaknya tentu ada yang mendengar tentang ayah bundamu.”

Mendengar ucapan ini, giranglah hati Kun Liong dan ia makin kagum dan suka kepada supeknya. Tahulah dia bahwa supeknya adalah seorang yang budiman, gagah perkasa dan mulia. Pantas kalau ayah dan ibunya menjunjung tinggi supeknya ini!

Di dalam perjalanan, berkali-kaii Keng Hong mengajak Kun Liong berlatih dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu telah dapat menguasai Thi-khi-i-beng, sungguhpun tenaga menyedot itu belum sekuat dia. Melihat bakat pemuda itu, banyak harapan kelak pemuda ini akan lebih kuat daripada dia sendiri! Apalagi pemuda itu telah memiliki ilmu-ilmu tinggi dan pilihan dari dua orang kakek sakti.

“Kun Liong, apakah dahulu ayah bundamu tidak pernah bicara denganmu tentang perjodohan?”

“Perjodohan siapa, Supek?”

“Perjodohanmu, siapa lagi.”

“Ah, belum pernah, Supek.” Muka Kun Liong menjadi merah sampai ke kulit kepalanya.

“Jadi jelas bahwa engkau belum ditunangkan?”

“Belum.”

“Dan engkau sendiri, apakah telah mempunyai pilihan seorang dara untuk kelak menjadi jodohmu?”

Diberondong oleh pertanyaan-pertanyaan yang terus terang ini, Kun Liong menjadi gugup dan malu sekali. “Be... belum, Supek. Teecu sama sekali tidak memikirkan tentang jodoh.”

“Hemm, usiamu sudah dua puluh tahun, sudah waktunya memikirkan soal jodoh,” kata Keng Hong dan pendekar ini tidak melanjutkan percakapan tentang jodoh itu sehingga membikin lega hati Kun Liong. Diam-diam pemuda yang cerdik ini menduga-duga. Mengapa supeknya bicara tentang jodoh? Dan menurut Giok Keng, dara itu pun belum ada jodohnya dan orang tuanya selalu mendesak dan membujuknya. Ah, agaknya ada udang di balik batu, pikirnya, ada maksud di balik pertanyaan-pertanyaan supeknya itu. Dia membayangkan wajah Giok Keng. Cantik jelita, manis dan menggairahkan. Teringat dia akan mulut yang berkali-kali bertemu dengan mulutnya ketika dia menolong Giok Keng. Betapa bibir yang lunak dan halus itu bertemu dengan bibirnya. Baru sekarang dia dapat membayangkan kenikmatan yang luar biasa mengingat pengalaman dahulu itu, padahal ketika dia melakukan hal itu, sama sekali dia tidak ingat apa-apa! Kini ter-bayanglah kesemuanya itu. Bahkan teringat akan hal-hal yang sekecil-kecilnya. Akan lidah kecil meruncing, ingat akan betapa giginya beradu dengan gigi Giok Keng dalam usahanya yang tergesa-gesa dan gugup waktu itu. Jantungnya berdebar, tubuhnya seperti kemasukan getaran panas. Nafsu berahinya terusik oleh kenangan dan bayangan ini.

“Hemmm...”

“Ada apa, Liong-ji?” Keng Hong menoleh.

Kun Liong kaget sekali. Tak disadarinya, mulutnya mengeluarkan suara mengeram tadi! “Ohh... ah, tidak apa-apa, Supek.”

Tolol kau, dia memaki diri sendiri. Pikiranmu busuk, kotor! Akan tetapi kotorkah mengenangkan seorang dara jelita bagi seorang pemuda? Mengenangkan seorang dara memang tidak kotor, bantahnya sendiri, akan tetapi kalau sudah berlarut-larut memikirkan hal yang bukan-bukan, bisa berbahaya!

Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di jalan besar yang menuju ke kota Ceng-to di tepi lautan timur. Dari jauh sudah tampak perahu-perahu di tepi pantai, bukan hanya perahu nelayan, akan tetapi juga perahu-perahu besar yang aneh dan asing tampaknya. Kun Liong terpesona melihat laut. Belum pernah dia pergi ke pantai laut. Melihat dari tempat yang agak tinggi ke arah lautan bebas yang tiada bertepi itu, melihat gelombang ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya, dia menahan napas saking kagumnya.

Akan tetapi telah mereka tiba di pintu gerbang, Kun Liong merasa penasaran dan tidak senang. Pintu gerbang itu dijaga oleh perajurit-perajurit yang bersenjata tombak. Baru sekarang dia melihat keadaan seperti ini. Dan setiap orang yang memasuki kota itu diperiksa, ditanyai dan dicatatkan namanya di atas sehelai kertas!

Ketika Keng Hong dan Kun Liong tiba di pintu gerbang, di situ sedang ada rombongan penari silat yang diperiksa, dan terjadi perselisihan kecil.

“Kami sudah merantau dan mengadakan pertunjukan silat hampir di seluruh daerah, akan tetapi baru sekarang ini kami diperiksa dan dicurigai!” Pemimpin rombongan itu, seorang kakek berusia lima puluh tahun memprotes.

“Tak perlu banyak cerewet! Di sini berkeliaran banyak mata-mata pemberontak dan orang jahat. Kalau kau tidak diperiksa, apakah kalian ini termasuk orang jahat atau pemberontak?” bentak kepala penjaga.

Biarpun sambil mengomel, rombongan penari silat yang terdiri dari tujuh orang itu diperiksa, dicatat nama-nama mereka, bahkan alat-alat permainan mereka diperiksa dan digeledah. Yang membuat Kun Liong penasaran adalah ketika dia melihat dua orang asing yang aneh pakaiannya, aneh pula keadaannya karena matanya biru, kulitnya pucat seperti mayat, rambutnya dipotong sampai di pundak dan ada yang kuning warna rambutnya, memasuki pintu gerbang tanpa diperiksa sama sekali!

Keng Hong juga melihat hal ini, akan tetapi dia diam saja. Hanya diam-diam dia memperhatikan dua orang itu dan mendapat kenyataan bahwa dua orang itu sebangsa dengan orang asing lihai yang ditemuinya di Leng-kok, di rumah Ma-taijin, hanya mereka ini lebih muda. Benarlah dongeng orang bahwa kini banyak terdapat bangsa asing yang aneh itu, terutama di sepanjang pantai selatan dan timur. Tentu mereka datang dengan perahu-perahu besar itu.

lanjut ke Jilid 032-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar