Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 29

Petualang Asmara Jilid 029

<--kembali

“Manis, cantik jelita... ahhh... hemm... aughhh!!” Hek-bin Thian-sin berteriak den cepat mengerahkan sin-kang ke ulu hatinya, tangannya dengan jari tangan miring menghantam kepala Cui Lin.

“Trakkk!” Tanpa dapat mengeluh lagi, tubuh Cui Lin yang telanjang bulat itu terpelanting dan roboh dengan kepala retak den tewas seketika. Hek?bin Thian-sin menyumpah-nyumpah ketika dia mencabut tusuk konde yang hampir saja membunuhnya itu dari ulu hatinya. Untung dia cepat mengerahkan sin-kang sehingga tusuk konde itu hanya masuk sedalam tiga senti saja. Sambil mengobati lukanya dia memaki-maki.

“Perempuan jahat! Curang! Ahhh, mana anak kecil itu? Harus dibunuh sekali!!” teriaknya sambil mencak-mencak.

Kwi-eng Nio-cu dan Siang-tok Mo-li tertawa terkekeh-kekeh dengan hati girang sekali.

“Rasakan kau sekarang, laki-laki kotor!” Bu Leng Ci bersorak.

“Wah, sayang. Kalau tidak mati, mau rasanya aku mngambil dara ini sebagai murid!” kata Si Bayangan Hantu.

Orang-orang berkerumun di depan rumah keluarga Kakek Theng ketika lima orang aneh ini meninggalkan rumah itu. Tadi Phoa-ma yang membawa lari In Hong, setelah tiba di luar dan bertemu dengan orang-orang, tidak dapat berkata apa-apa kecuali suara lirih, “Pembunuhan...! Pembunuhan...!” tanpa berhenti menoleh dan tidak peduli pertanyaan orang, melainkan terus melarikan diri, memeluk anak itu erat-erat. Karena inilah, mika orang-orang berkumpul di depan rumah itu. Ketika mereka melihat lima orang aneh itu keluar dengan sikap angkuh dan seenaknya, tidak ada yang berani bertanya. Setelah lima orang itu pergi, barulah berbondong-bondong mereka memasuki rumah.

Dapat dibayangkan betapa gegernya ketika mereka melihat bahwa rumah itu penuh dengan darah dan mayat berserakan! Mayat-mayat dalam keadaan mengerikan sekali, terutama Cui Lin yang mati dalam keadaan telanjang bulat dan kepala pecah! Banyak yang tidak kuat menyaksikan dan ada yang jatuh pingsan, ada pula yang jatuh berlutut karena kedua kaki terasa lemas dan lumpuh. Akan telapi ada beberapa orang yang cepat lari keluar untuk mengejar lima orang aneh itu. Setibanya di luar, tidak ada nampak bayangan seorang pun di antara dua orang wanita dan tiga orang kakek yang menyeramkan tadi. Tentu saja mereka segera lari melapor kepada yang berwajib dan gegerlah kota Taigoan, apalagi karena Kakek Theng terkenal sebagai orang terhormat, bekas pengawal kaisar!

“Kejam sekali!”

“Bukan manusia!”

“Lebih kejam daripada iblis!”

Demikian komentar para penduduk Taigoan. Dan agaknya ada pula para pembaca yang memberi komentar seperti itu.

Kejamkah Lima Datuk kaum sesat itu? Tentu saja kejam sekali. Akan tetapi marilah kita menyelidiki keadaan kita manusia hidup ini. Bukankah kita ini dengan cara masing-masing, menurutkan pendapat masing-masing, juga merupakan orang-orang yang kejam? Mari kita tengok di sekeliling kita. Bukankah hidup manusia ini penuh dengan segala macam kejahatan? Pembunuhan terjadi di mana-mana. Ada pembunuhan karena perkelahian, karena perampokan, karena kebencian, karena permusuhan, karena iri dan sebagainya. Banyak pula pembunuhan masal karena perang. Perang antar bangsa yang pada hakekatnya mencerminkan perang dan pertentangan antar kelompok, antar perorangan, dan akhirnya bersumber pada pertentangan dalam diri kita masing-masing! Tidak kejamkah kita kalau kita mengiri kepada atasan dan menghina kepada bawahan? Kalau kita suka kepada yang baik dan jijik terhadap yang buruk, termasuk manusia? Tidak kejamkah kita kalau milik kita berlimpah dan berlebihan dan hati kita tidak terusik sama sekali melihat sesama manusia kurang makan kurang pakaian dan tiada tempat tinggal seperti kaum jembel dan gelandangan? Tidak kejamkah kita kalau untuk sebuah kedudukan saja kita sampai hati untuk saling jegal, saling fitnah, saling benci, dan saling bunuh?

Kalau kita mau belajar mengalihkan pandangan kita ke dalam diri sendiri, mau mengenal keadaan hati dan pikiran sendiri secara jujur, akan tampaklah bahwa selain kejam, kita pun munafik-munafik besar. Mulut bicara tentang saling kasih antar manusia, namun mata memandang penuh iri dan benci, tangan dikepal siap saling hantam, hanya untuk memperebutkan uang, kedudukannya, nama dan juga memperebutkan... kebenaran bukan lain hanyalah kebenaran diri sendiri masing-masing dan karenanya menjadi kebenaran palsu.

Mari kita ingat betapa kejamnya kita ini! Digigit seekor nyamuk ingin membunuh semua nyamuk, berdasarkan dendam dan kebencian. Berdasarkan jijik dan takut terkena penyakit, kalau bisa semua lalat dibasmi! Berdasarkan nafsu makan enak yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesehatan, kita membunuh segala binatang untuk kita makan bangkainya. Tidak kejamkah kita? Apakah alasan bahwa “semua itu sudah umum” dapat dipakai untuk menghapus kekejaman ini?

Dapatkah kita berusaha menghapus kekejaman? Dengan ilmu apa pun tidak dapat! Karena keadaan bebas dari kekejaman bukanlah keadaan yang dibuat dan diusahakan. Orang tidak akan mungkin dapat berhasil kalau dia berusaha menjadi orang baik! Usaha menjadi baik hanya menjadikan orang munafik yang merasa diri baik, dan segala usaha dan keinginan selalu mengandung pamrih atau tujuan yang kesemuanya bersumber kepada keuntungan lahir maupun batin bagi diri pribadi. Kekejaman akan terhapus apabila kita mengerti sampai ke akarnya mengapa kita kejam, apabila kita mengenal keadaan diri kita pribadi, mengenal gerak pikiran dan hati kita pribadi.

Marilah kita bersama mulai dari detik ini juga. Karena hidup adalah dari detik ke detik. Hidup adalah sekarang ini. Perubahan adalah saat ini, bukan ingin mengubah namun perubahan yang terjadi dengan sendirinya setelah kita membuka mata, waspada penuh kesadaran mengenai keadaan kita lahir batin, keadaan sekeliling kita. Apa kemarin? Sudah lalu! Hanya menimbulkan kenangan yang mengeruhkan pikiran. Apa besok? Bukan urusan kita! Hanya menimbulkan bayangan khayal yang melahirkan kekhawatiran dan ketakutan. Yang panting sekarang, saat ini!

Mari kita kembali ke Siauw-lim-si. Di kuil itu telah dipersiapkan untuk menerima tamu yang diduga tentu akan membanjiri kuil itu untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio.

Yap Kun Liong masih berada di kuil itu karena dia mau membantu sampai upacara pembakaran jenazah dan penguburan selesai. Selain ini, dia pun hendak menanti ayah bundanya karena menduga bahwa sekali ini ayah bundanya pasti akan datang ke Siauw-lim-si. Tiang Pek Hosiang adalah guru ayahnya, mustahil kalau ayahnya tidak datang mendengar gurunya meninggal dunia. Dan ayahnya pasti akan mendengarnya karena berita ini tentu tersiar luas di dunia kang-ouw. Juga dia ingin bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang diduga akan membanjiri kuil itu.

KASIHAN sekali pemuda ini. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ayah bundanya yang dirindukannya itu telah tewas kurang lebih tiga tahun yang lalu! Kun Liong merasa gembira sekali melihat tokoh-tokoh kang-ouw mulai berdatangan. Dia telah menjadi seorang pemuda ber-usia dua puluh tahun yang bertubuh tegap dengan dada bidang penuh kesehatan dan kekuatan. Wajahnya tampan dan ke-pala gundulnya sama sekali tidak me-nyuramkan ketampanan wajahnya bahkan memberi ciri ketampanan yang khas! Sinar matanya berubah-ubah, kadang--kadang lembut seperti mata kanak-kanak, kadang-kadang bersinar tajam dan keras. Mata itu lebar, sesuai dengan dahinya yang lebar dan kepalanya yang bulat. Alisnya hitam tebal berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulut serta dagunya membayangkan watak kuat dan kemauan membaja. Perangainya juga aneh dan berubah-ubah. Kadang-kadang dia pelamun, pendiam seperti orang pemurung, akan tetapi ada kalanya dia lincah jenaka penuh kegembiraan dan kalau sudah begini, muncul pula kenakalannya seperti ketika masih kanak-kanak. Karena dia berdiri seperti orang berjaga di ruangan tamu di mana Ketua Siauw-lim-pai sendiri menerima tamu, maka dengan jelas dia dapat melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang disebutkan namanya setiap kali menghadap Ketua Siauw-lim-pai kemudian bersembahyang di depan kedua peti jenazah. Yang datang adalah tokoh-tokoh besar, utusan partai-partai Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan yang terkenal. Juga banyak dari perkumpulan-perkumpulan silat, dari perorangan yang sudah mengenal pribadi kedua orang tokoh Siauw-lim-pai yang meninggal dunia atau yang datang untuk menghormati Siauw-lim-pai. Akan tetapi hatinya kecewa sekali karena dia tidak melihat ayah bundanya.

“Locianpwe, mengapa ayah bunda teecu belum juga tiba?” Akhimya dia tidak sabar lagi, bertanya lirih kepada Thian Kek Hwesio.

Hwesio ketua Siauw-lim-pai ini menarik napas panjang. “Ayahmu bukan lagi murid Siauw-lim-pai, andaikata berhalangan datang pun tidak mengapa. Lihat, Cia-taihiap datang!” Hwesio tua itu bangkit berdiri menyambut dengan wajah berseri. Mendengar disebutnya Cia-taihiap, jantung Kun Liong berdebar keras dan cepat dia mengangkat muka memandang.

Sinar matanya berseri dan dia menahan senyumnya ketika dia mengenal dara cantik jelita dan gagah perkasa yang berjalan di belakang suami isteri setengah tua itu. Mana mungkin dia pangling? Wajah itu masih sama cantik jelita dan berseri-seri penuh kenakalan seperti dahulu, bahkan makin cantik dan matang! Cia Giok Keng, siapa lagi? Dan dara itu pun memandang kepadanya, kelihatan terkejut dan terheran yang dapat dilihat dari diangkatnya sepasang alis yang seperti bulan muda itu, sepasang mata yang jernih itu berkilat, akan tetapi dara itu segera membuang muka mengalihkan pandang dengan alis berkerut! Hampir saja Kun Liong tertawa karena dia ter-ingat akan pertemuannya yang pertama dahulu dengan gadis itu. Mengertilah dia bahwa gadis itu tentu merasa khawatir melihat Kun Liong di situ, khawatir kalau-kalau pemuda ini akan membuka rahasianya dahulu akan wataknya yang buruk menyambut tamu dengan kurang ajar! Teringat ini, Kun Liong tersenyum penuh kemenangan. Sedikitnya, ada se-suatu yang dia kuasai, yang membuat dara itu tidak akan berani lagi berkurang ajar seperti dahulu, memandang rendah kepadanya!

Bagaimana Giok Keng dapat muncul di Siauw-lim-si? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini disuruh menjaga adiknya di Cin-ling-pai. Akan tetapi, dasar anak manja, sehari kemudian sete-lah ayah bundanya pergi, dia tak dapat menahan keinginannya untuk pergi.

Karena gadis ini melakukan perjalanan mengejar ayah bundanya dengan cepat, maka tiga hari kemudian dia dapat me-nyusul mereka.

Cia Keng Hong akan menegur, akan tetapi kembali isterinya yang membela anaknya.

“Dia sudah menyusul, biarlah dia ikut dengan kita.”

“Hmm... disuruh menjaga rumah malah nekat menyusul! Seperti anak kecil saja engkau, Keng-ji!”

Giok Keng memegang lengan ayahnya dan berkata halus manja, “Maaf, Ayah. Saya ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw untuk menambah penga-laman.”

“Hemm...!” Terpaksa Keng Hong tidak melarang lagi dan berangkatlah mereka ke Siauw-lim-si bertiga.

Setelah melalui basa-basi upacara penyambutan di mana Ketua Siauw-lim-pai mengucapkan selamat datang dan pendekar sakti itu menyatakan duka cita atas kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio, suami isteri dan puteri-nya itu lalu memberi hormat dengan me-masang hio (dupa wangi) dan bersembah-yang di depan peti mati. Kemudian me-reka dipersilakan duduk di tempat kehor-matan sejajar dengan beberapa orang ketua partai yang berkenan hadir dan tidak mewakilkan kepada murid-muridnya.

Kun Liong memperhatikan dengan pandang matanya. Pendekar sakti yang amat dikagumi dan dijunjung tinggi oleh ayah dan ibunya itu kelihatan seorang laki-laki sebaya dengan ayahnya sekarang, setengah tua dan pakaiannya sederhana sekali. Sama sekali tidak seperti para ketua partai yang datang diiringkan anak buahnya yang membawa-bawa bendera tanda partai segala. Ketua Cin-ling-pai ini datang seperti orang biasa bersama isteri dan puterinya, pakaiannya seperti sastrawan sederhana atau lebih tepat se-perti seorang petani terpelajar, tidak membawa senjata dan kelihatannya biasa saja. Tubuhnya memang tegap berisi, wa-jahnya tampan dan kumis serta jenggot-nya pendek, masih hitam semua. Wajah itu membayangkan kesabaran, dan hanya sepasang alisnya yang membayangkan kegagahan, alis yang tebal dan bentuknya keren. Rambutnya masih hitam, digelung ke atas dan diikat dengan saputangan sutera berwama kuning tua. Bajunya yang longgar berwarna kuning muda dan celananya hitam, ikat pinggangnya juga kuning tua. Sungguh di luar persangkaan Kun Liong yang membayangkan supeknya itu sebagai seorang tokoh yang hebat dan luar biasa! Kiranya seorang yang seder-hana sekali, baik pakaian, gerak-gerik maupun sikapnya.

Isterinya lebih istimewa. Cantik dan penuh semangat, pakaiannya serba putih dengan hiasan warna merah dan biru di sana-sini, sikapnya agak dingin namun menambah kekerenannya. Pribadi nyonya ini jelas membayangkan kegagahan penuh, yang membuat orang merasa sungkan dan jerih untuk berurusan dengannya. Sam-baran sinar matanya penuh wibawa. Me-lihat wajah nyonya ini, Kun Liong men-dapat kenyataan betapa Giok Keng mirip ibunya, cahtik, gagah, dan jelas menonjol sifat terbuka dan penuh keberanian.

Dengan jantung berdebar Kun Liong melangkah perlahan menghampiri Cia Keng Hong yang duduk dengan tenang memandang para tamu yang baru datang dan bersembahyang. Pemuda ini melihat betapa Giok Keng menengok kepadanya dan kembali alis dara itu berkerut, sinar matanya menyambar penuh peringatan! Hal ini terasa sekali oleh Kun Liong sehingga tanpa disadarinya, kepalanya yang gundul itu mengangguk! Dan dia tersenyum ketika melihat dara itu sekilas tersenyum, kelihatan lega!

“Maafkan kalau teecu mengganggu, Supek. Teecu adalah Yap Kun Liong, dan merasa berbahagia sekali mendapat kesempatan berjumpa dengan Supek berdua Supek-bo.” Dia berlutut di depan Keng Hong dan Biauw Eng.

Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak memandang kepala yang gundul itu karena ketika pemuda itu herlutut dan menundukkan muka, yang tampak hanya kepalanya yang gundul licin saja!

“Apa...? Siauw-suhu (Bapak Pendeta Muda)...?”

Telinga Kun Liong menjadi merah ketika menangkap suara ketawa ditahan dari sebelah kiri, Cia Giok Keng yang menahan ketawa itu, tak salah lagi!

“Supek, teecu bukan hwesio biarpun kepala teecu gundul. Teecu Yap Kun Liong...”

Keng Hong memegang pundak pemuda itu. Kun Liong mengangkat muka dan melihat betapa wajah yang tampan dan gagah itu diliputi keharuan.

“Engkau putera Yan Cu...?” Biauw Eng juga berseru lirih.

Keng Hong memberi isyarat kepada isterinya dan puterinya, kemudian bangkit berdiri. “Bawa kami ke tempat sunyi agar leluasa bicara.”

Kun Liong mengangguk dan mendahului pergi ke ruangan samping yang sunyi. Ketua Siauw-lim-pai melihat ini, akan tetapi hanya tersenyum saja karena dia maklum betapa pentingnya pertemuan antara paman guru dan murid keponakan itu. Setelah tiba di tempat sunyi itu, Keng Hong memegang lengan Kun Liong dan memandang dengan sinar mata tajam.

“Benarkah engkau Yap Kun Liong? Di mana ayah bundamu?”

Kun Liong menunduk dan menarik napas panjang kemudian menggelengkan kepalanya yang gundul, “Teecu tidak tahu, Supek. Sudah sepuluh tahun teecu tidak berjumpa dengan mereka.”

Biauw Eng melangkah ke depan, kedua tangannya yang halus kulitnya itu meraba dagu Kun Liong, mengangkat muka pemuda yang menjadi kaget dan terheran itu. “Dia memang putera mereka. Lihat!” Biauw Eng menggunakan telapak tangan kanan menutupi bagian atas dari muka Kun Liong, memperlihatkan hidung dan mulutnya saja.

“Persis Yan Cu sumoi!” Keng Hong berseru kagum.

“Dan lihat ini!” Kini tangan Biauw Eng menurun dan menutupi bagian bawah muka pemuda itu.

“Benar! Mata dan dahi itu persis Cong San, hanya bedanya dia gundul. Eh, Kun Liong, ke mana saja engkau pergi? Kenapa kepalamu gundul? Hemmm... agaknya engkau menjadi korban hawa beracun! Dan bagaimana pula sampai sepuluh tahun engkau tidak berjumpa dengan ayah bundamu?”

“Panjang sekali ceritanya, Supek.” Kun Liong menarik napas panjang dan melirik ke arah Giok Keng. Kalau dia menceritakan pengalaman-pengalamannya, apakah dia tidak harus bercerita tentang kunjungannya ke Cin-ling-san?

Gerakan ini dianggap oleh Keng Hong bahwa pemuda itu sungkan bercerita karena di situ ada Giok Keng yang tentu disangka orang lain karena belum diperkenalkan.

“Kun Liong, dia ini bukan orang lain, dia adalah puteri kami, bernama Giok Keng. Keng-ji (Anak Keng), ini adalah Yap Kun Liong, putera pamanmu Yap Cong San seperti yang telah kami ceritakan kepadamu. Dia lebih tua darimu.”

“Glok Keng, beri salam kepada kakakmu!” Biauw Eng berkata.

Biarpun hatinya tidak suka karena dia masih curiga kalau-kalau pemuda gundul itu akan membuka rahasia kesalahannya lima tahun yahg lalu, terpaksa Giok Keng mengangkat kedua tangan dengan kaku dan berkata lirih, “Liong-ko (Kakak Liong)!”

Kun Liong cepat membalas penghormatan itu dan tersenyum. “Keng-moi (Adik Keng), maafkan tadi aku diam saja karena tidak mengenal engkau siapa.”

Ucapan pemuda ini seketika membuat wajah Giok Keng berseri gembira karena hatinya lega. Setelah mengatakan tidak mengenal berarti pemuda itu akan merahasiakan pertemuan mereka lima tahun yang lalu. Maka dengan ramah dan juga tersenyum dia menjawab, “Tidak mengapa, Liong-ko. Akulah yang seharusnya menyapa lebih dulu.”

Atas desakan Keng Hong dan Biauw Eng yang ingin sekali mendengar apa yang telah dialami pemuda itu, Kun Liong lalu menuturkan dengan singkat pengalaman-pengalamannya semenjak anjing peliharaannya menumpahkan obat dan karena takut dia melarikan diri sampai berturut-turut terjadi hal-hal hebat menimpa dirinya sehingga dia makin tidak berani pulang. Dia menceritakan betapa dia diambil murid oleh Bun Hwat Tosu dan dipesan agar jangan mempergunakan nama kakek itu sebagai gurunya.

“Hanya kepada Supek, dan Supek-bo, juga Adik Giok Keng, saya berani menceritakan,” sambungnya. Dia tidak menceritakan tentang bokor emas, dan juga banyak hal yang dianggapnya kurang perlu, diantaranya kenakalannya yang menyebabkan kebakaran dan lain-lain, tidak diceritakannya!

“Kau beruntung sekali dapat menjadi muridnya sampai lima tahun!” Keng Hong berseru girang.

Kun Liong melanjutkan penuturannya, betapa dia kembali ke Leng-kok akan tetapi tak dapat bertemu dengan ayah bundanya yang telah melarikan diri menjadi orang buruan karena telah berani menentang Ma-taijin.

“Hemm, kurasa sekarang manusia busuk she Ma itu tidak akan berani banyak tingkah lagi setelah kuhancurkan sebelah telinganya!” Biauw Eng berkata sehingga Kun Liong terkejut.

“Supek-bo melakukan hajaran itu karena ayah ibu?” tanyanya.

Biauw Eng mengangguk. “Mestinya engkau yang melakukannya, karena lima tahun yang lalu mungkin engkau masih terlalu muda, aku mewakilimu.”

“Ahh, Supek-bo, Terima kasih atas pembelaan Supek-bo, akan tetapi teecu rasanya tidak akan mau melakukan hal itu.”

“Kenapa? Kau takut??” Biauw Eng bertanya dengan kening berkerut penuh kecewa.

“Teecu tidak takut apa-apa, hanya... teccu tidak akan menggunakan kekerasan ilmu silat untuk memukul orang...”

Keng Hong dan Biauw Eng terbelalak dan saling pandang, sedang Giok Keng tersenyum mengejek. Ketika Biauw Eng yang penasaran hendak membantah, dia didahului Keng Hong. “Lanjutkan ceritamu, Kun Liong. Setelah tidak bertemu dengan orang tuamu, apakah kau tidak mencari mereka? Mengapa? Kalau ada ibumu, agaknya kepala gundulmu dapat disembuhkan dan dapat tumbuh rambut. Kenapa pula kau bisa berada di sini?”

“Teecu telah berusaha mencari mereka, akan tetapi sia-sia. Akhirnya teecu pergi ke Siauw-lim-si dan secara kebetulan sekali teecu diambil murid oleh mendiang sukong Tiang Pek Hosiang selama lima tahun.”

“Apa?” Kembali Keng Hong dan Biauw Eng terkejut. “Bukankah beliau selama itu mengurung diri dalam Ruang Kesadaran?”

Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya sampai dia menjadi murid sukongnya sendiri. Keng Hong mendengarkan penuh kagum dan diam-diam dia memuji nasib baik bocah ini yang secara kebetulan saja digembleng oleh dua orang paling sakti di dunia ini pada jaman itu!

“Hemm, jadi yang membuatmu keracunan sampai gundul begini adalah Ban-tok Coa-ong dan puteranya? Dia seorang di antara Lima Datuk kaum sesat! Lalu, setelah selesai upacara penyempurnaan jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio, apa yang hendak kaulakukan, Kun Liong? Engkau hendak pergi ke ma-na?”

“Teecu belum tahu harus pergi ke mana. Yang jelas teecu akan mencari ayah dan ibu, juga berusaha mencari dua buah pusaka Siauw-lim-si yang hilang seperti dipesankan oleh mendiang Sukong.”

“Tapi, kalau betul dugaan Ketua Siauw-lim-pai bahwa yang mencuri adalah orang-orang dari Kwi-eng-pang, berbahaya sekali kalau kau pergi ke sana. Si Bayangan Hantu, ketua Kwi-eng-pang adalah seorang lihai, seorang di antara Lima Datuk kaum sesat.”

“Teecu tidak takut, Supek. Teecu harus mencarinya dan dapat membawanya kembali ke sini untuk membalas budi kebaikan mendiang Sukong.”

“Bagus! Begitulah baru pantas menjadi putera Yap Cong San dan Gui Yan Cu sumoi. Akan tetapi, sebelum berangkat biarlah kulihat dulu sampai di mana tingkat kepandaianmu, kalau perlu biar kutambah untuk bekal.”

Kun Liong menghaturkan terimakasihnya. Keng Hong lalu mengajak mereka kembali ke ruangan tamu. Akan tetapi Giok Keng berkata, “Ayah, karena Liong-ko adalah orang dalam kuil ini, saya ingin sekali melihat-lihat kuil yang disohorkan amat besar dan indah ini. Juga saya ingin melihat Ruang Kesadaran di mana mendiang Tiang Pek Hosiang bertapa dan di mana Liong-ko digembleng selama lima tahun.”

Keng Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi Biauw Eng mendahuluinya. “Pergilah, dan kau yang ceritakan kepada kakakmu tentang keadaan kita selama ini agar dia mengetahui bahwa aku dan ayahmu sudah berusaha pula mencari orang tuanya.” Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengajak suaminya kembali ke tempat tadi, sedangkan Giok Keng dan Kun Liong berjalan keluar memasuki kebun di samping kuil.

“Dia cukup tampan dan gagah, bukan? Kalau saja Keng-ji dan dia dapat saling cocok...” Biauw Eng berkata lirih setelah mereka duduk berdampingan di tempat tamu tadi. Hatinya sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu, mengingat bahwa usia puterinya itu sudah sembilan belas tahun. Sudah perawan tua menurut ukuran waktu itu!

“Tapi... tapi...”

“Tapi apa?” Biauw Eng mendesak dan melirik ke arah suaminya.

“Dia... eh, kepalanya gundul. Bagaimana kalau sampai selamanya tetap gundul seperti hwesio?”

“Hemm, heran sekali aku, masa engkau meributkan soal kepala gundul atau berambut gondrong! Tidak biasanya engkau seperti ini. Pula, bukankah engkau masih menyimpan kitab pengobatan peninggalan gurumu yang kautemukan di Cin-ling-san ketika membangun pondok itu? Kalau kauberikan kitab itu kepadanya, tentu dia akan dapat mencari obatnya sendiri. Suamiku, apa sebetulnya yang membuat kau kecewa? Aku yakin bukan soal kepala gundul!” Biauw Eng yang sudah mengenal benar watak suaminya, mendesak.

Keng Hong menarik napas panjang. “Betapa mungkin bagiku menyembunyikan sesuatu darimu? Sebetulnya, aku agak kecewa mendengar pernyataannya tadi bahwa dia tidak suka menggunakan ilmu silat untuk memukuli orang. Kurasa ucapan itu timbul dari hati penakut dan watak yang lemah. Benar-benar aku tidak suka!”

“Hemmm, suka atau tidak, yang kita pentingkan bukankah perjodohan Giok Keng? Biarkan dia yang menentukan, bukan kita karena dialah yang akan melaksanakan, untuk selamanya, yang akan mengalami baik buruknya, suka dukanya.”

Keng Hong menarik napas panjang. “Mudah-mudahan dugaanku itu keliru.” Mereka tidak melanjutkan percakapan itu karena merasa kurang leluasa setelah kini tamu berdatangan dan banyak yang duduk dekat mereka.

Setelah mereka berdua memasuki kebun, Giok Keng berkata, “Kun Liong, kau baik sekali tidak...”

Kun Liong memandang dengan mata melotot dibesarkan, mulut cemberut dan menegur, “Eh, berani kau menyebut namaku begitu saja? Kalau aku mengutukmu, kau bisa menjadi kelelawar!”

“Habis, bukankah namamu Kun Liong?”

“Siapa menyangkal? Akan tetapi kau juga tidak bisa menyangkal bahwa aku lebih tua daripada engkau dan tadi kau sudah menyebutku koko. Kau bilang aku baik karena tidak membuka rahasiamu di depan ayah bundamu, akan tetapi beginikah balasnya? Kau menyebutku begitu saja seolah-olah kau lebih tua!” Kun Liong tidak marah sungguh-sungguh, hanya untuk menggoda saja karena dilihatnya, bahwa dara ini masih lincah dan nakal! “Ataukah barangkali aku tidak perlu membohong kepada Supek? Untuk mengaku tentang pertemuan kita dahulu itu sekarang pun masih belum terlambat!” Kun Liong membalikkan tubuh seolah-olah hendak pergi menemui supeknya.

“Eh, eh... nanti dulu, Kun... eh, Liong-koko! Maafkan aku, aku terima salah. Biarlah aku menyebutmu koko! Nah, kaudengar? Koko! Koko! Koko!”

Kun Liong tertawa dan kembali ke depan dara itu yang sudah cemberut. “Kau ceriwis dan manja sekali, ah! Benci aku melihatmu! Urusan dahulu itu hendak kaupakai untuk memeras aku selamanya ya? Awas kau, kalau keterlaluan sampai aku kehabisan kesabaran, sekali ini aku tidak hanya merobohkan engkau, melainkan akan kuketuk kepala gundulmu sampai retak!”

“Wah, jangan marah, dong, Moi-moi yang baik. Kau manis sekali, tahukah kau? Cantik seperti bidadari, seperti dalam dongeng yang pernah kubaca, tentang dewi yang turun dari kahyangan melalui tangga pelangi!”

“Kau mengejek ya?”

“Sungguh mati disumpah tujuh kali pun mau! Kau memang cantik sekali, Moi-moi. Bukan mengejek bukan apa, akan tetapi secara jujur. Biar aku tersumpah demi langit dan bumi bahwa kau memang cantik jelita. Hemmm...”

“Hemm apa?” Giok Keng membentak, akan tetapi sebenarnya hatinya berdebar girang bukan main. Kalau lain orang yang memujinya seperti itu, apalagi kalau orang itu laki-laki, tentu akan dianggapnya kurang ajar dan bisa dibunuhnya! Akan tetapi sikap Kun Liong yang jujur dan sama sekali tidak menjilat itu mendatangkan kesan lain!

“Eh, aku hanya mau bilang bahwa... selama ini aku tidak pernah dapat melupakanmu, maka begitu tadi kau muncul, aku terus saja mengenalmu. Yang selalu terbayang olehku adalah...”

“Apa? Mengapa bicara putus-putus begitu? Jangan main gila, ya?” Giok Keng pura-pura marah untuk menutupi kegirangan dan kebanggaan hatinya.
“Yang tak pernah kulupakan adalah ketika kau dahulu... menempiling kepalaku tiga kali! Ha-ha!”

lanjut ke Jilid 030-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar