Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 16

Petualang Asmara Jilid 016

<--kembali

Semalam suntuk Kun Liong tidak tidur! Dia melakukan penjagaan dengan diam-diam, siap untuk melindugi tiga orang yang menurut pendengarannya tadi adalah masih cucu keponakan murid dari “orang she The” yang diduganya tentulah Panglima Besar The Hoo, mengingat bahwa panglima itu dimusuhi oleh Si Bayangan Hantu seperti yang diceritakan oleh Bun Hwat Tosu kepadanya. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu di malam hari itu kecuali dia sendiri yang dikeroyok nyamuk karena melakukan penjagaan di luar kamar. Akan tetapi Kun Liong tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa pagi-pagi sekali tiga orang itu sudah berangkat pergi meninggalkan losmen. Dia pun segera membayar uang sewa kamar, kemudian dengan diam-diam dia terus membayangi tiga orang itu yang keluar dari kota Taibun menuju ke timur!

Biarpun Kun Liong mempunyai tujuan perjalanan ke selatan, akan tetapi pada saat itu dia sama sekali tidak ingat akan hal ini dan terus membayangi tiga orang itu keluar dari kota dan tak lama kemudian mereka melalui sebuah hutan yang sunyi di kaki Pegunungan Thai-hang-san. Tiga orang itu melakukan perjalanan tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan mereka bersenda-gurau, atau lebih tepat lagi, dara remaja itu yang selalu mengajak kedua orang suhengnya untuk bersenda gurau. Dilihat dari jauh, jelas bahwa dara itu memang berwatak lincah gembira, dan diam-diam ada juga dugaan di dalam hati Kun Liong bahwa dara remaja itu bergurau tentang kepala gundulnya!

Tiba-tiba terjadilah seperti yang diduganya. Lima orang meloncat keluar dari balik batang pohon! Mengapa lima orang? Kun Liong dapat menyelinap di antara pohon-pohon dan bersembunyi, mengambil keputusan untuk tidak turun tangan membela sebelum tenaganya dibutuhkan. Dia maklum bahwa tiga orang yang “dilindungi” itu adalah orang-orang yang pandai ilmu silat dan pandai pula menjaga diri. Yang membuat dia heran adalah lima orang yang muncul itu. Mengapa di antara mereka tidak ada Kiang Ti dan Ouw-siucai (Sastrawan Ouw) yang cabul? Atau barangkali lima orang ini adalah anak buah Ui-hong-pang yang disuruh turun tangan lebih dulu?

“Siapakah kalian? Apakah perampok-perampok buta yang tidak melihat orang?” Dara remaja itu sudah membentak dan berdiri dengan sikap gagah, sedikitpun tidak kelihatan takut sehingga mengagumkan hati Kun Liong. Pemuda gundul ini pun memandang dengan penuh perhatian kepada lima orang itu. Mereka ini semua berpakaian serba putih seperti orang-orang berkabung. Mendengar pertanyaan dara itu, lima orang tadi menggerakkan kedua tangan.

“Singgg…!” Lima batang golok besar tercabut mengeluarkan suara berdesing dan tangan kiri mereka masing-masing telah mengeluarkan sebuah benda berwarna biru sebesar telapak tangan yang mereka pasangkan di baju mereka sebelah kiri depan dada. Kini tampaklah oleh Kun Liong bahwa benda itu adalah sebuah ukiran bunga teratai putih pada dasar biru. Perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)!

“Aihh, kiranya Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pek-lian-kauw? Ada maksud apakah Ngo-wi menghadang perjalanan kami tiga saudara?”

“Hemm, perlukah kalian masih bertanya lagi?” Seorang di antara lima orang itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit sekali berkata, “Bukankah kalian bertiga adalah tiga pendekar dari Secuan, murid-murid Gak Liong dan kalian membantu pemerintah memusuhi kami?”

Laki-laki tinggi kurus itu kini berdiri tegak di dekat sumoinya dan berkata dengan suara lantang, “Benar! Aku bernama Poa Su It, ini suteku Tan Swi Bu, dan sumoiku Lim Hwi Sian. Kami bertiga adalah murid-murid Pendekar Gak di Secuan. Akan tetapi kami bukanlah orangnya pemerintah sungguh pun kami akui bahwa Suhu menugaskan kami untuk membantu Susiok-couw (Paman Kakek Guru) The Hoo untuk membersihkan negara dari para pengacau yang membuat negara kacau dan rakyat menderita!”

“Bagus! Karena itulah maka kami menghadang dan minta nyawa kalian!” Teriak orang Pek-lian-kauw yang berjenggot panjang dan ucapannya itu agaknya menjadi komando karena tiba-tiba lima orang Pek-lian-kauw itu sudah menyambit dengan tangan kiri, disusul gerakan mereka menerjang ke depan.

Tiga orang pendekar Secuan itu menggerakkan tubuh, dengan ringan sekali meloncat ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia yang berbentuk kuncup teratai itu, kemudian mereka pun sudah mencabut pedang masing-masing menghadapi para pengeroyok.

Kun Liong memandang kagum. Terutama sekali dia amat kagum menyaksikan dara remaja yang kini dia ketahui namanya, Lim Hwi Sian, menggerakkan pedangnya menghadapi seorang anggauta Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang suhengnya masing-masing dikeroyok dua oleh lawan. Dara remaja itu ternyata lihai limu pedangnya. Ketika dia melirik ke arah dua orang laki-laki yang dikeroyok empat orang Pek-lian-kauw, mengertilah ia mengapa dara remaja itu jauh lebih muda daripada kedua orang itu, menjadi adik seperguruan mereka, hal yang tadinya amat mengherankan hatinya. Kiranya ilmu pedang dara itu tidak kalah lihai oleh kedua orang suhengnya, dan bahkan dalam hal keringanan tubuh melebihi mereka. Mungkin dara itu kalah dalam hal tenaga saja.

Pertandingan itu tidak berlangsung lama, karena lima orang itu segera terdesak hebat. Terdengar seorang di antara mereka, mungkin Si Jenggot, mengeluarkan bunyi bersuit nyaring. Lima orang yang sudah menderita luka-luka goresan pedang itu membanting senjata di atas tanah dan terdengar ledakan-ledakan disusul asap putih tebal. Tiga orang pendekar Secuan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau terkena senjata rahasia atau asap beracun. Ketika mereka mengejar dengan jalan menghindari asap, ternyata lima orang itu telah lenyap.

Kun Liong bernapas lega. Tidak perlu dia turut campur. Untung dia tadi masih bertahan dan tidak muncul. Kalau dia muncul, melihat betapa dara remaja itu dan dua orang suhengnya dengan mudah dapat menghalau lawan, tentu dia akan mendapat malu dan bukan tidak mungkin dia akan menjadi bahan ejekan dara manis itu! Selain itu, dia sendiri belum tahu apakah dia akan mampu melawan seorang saja dari kelima anggauta Pek-lian-kauw tadi! Biarpun dia telah mendapat gemblengan dasar ilmu silat tinggi dari ayah bundanya, kemudian dilatih oleh Bun Hwat Tosu yang amat sakti, namun dia sendiri tidak dapat mengukur sampai di mana keampuhan ilmu yang dimilikinya dan tanpa bertanding menghadapi lawan, bagaimana dia mampu mengukur diri sendiri? Akan tetapi, dia amat benci akan perkelahian. Dia mempelajari ilmu bukan untuk berkelahi, melainkan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang mengandalkan ilmu silat.

“Orang-orang Pek-lian-kauw sungguh menjemukan!” Lim Hwi Sian berkata sambil menyarungkan pedang dan mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena debu.

“Mereka yang memusuhi orang-orang yang tidak berdosa, akan tetapi mereka selalu mengatakan bahwa pemerintah memusuhi mereka. Kalau mereka tidak memberontak, kiranya Susiok-cow tidak akan memerintahkan para pembantu untuk menentangnya dan Suhu tentu tidak menugaskan kita.” Tan Swi Bu juga berkata.

“Kata-kata yang baik!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di situ telah muncul dua orang laki-laki yang tersenyum-senyum. Jantung Kun Liong berdebar tegang melihat dua orang yang memang dinanti-nantikan kemunculannya itu. Ouw Ciang Houw Si Sastrawan cabul dan Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang!

Melihat dua orang yang tidak terkenal akan tetapi yang muncul secara tiba-tiba membuktikan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, tiga orang pendekar Secuan menjadi kaget. Lim Hwi Sian telah mencabut pedangnya dan membentak dengan suara nyaring, “Apakah kalian juga orang-orang Pek-lian-kauw?”

Ouw-siucai tersenyum lebar dan memandang Hwi Sian dengan sinar mata kagum penuh gairah. “Nona kecil yang manis dan pandai ilmu pedang, sungguh mengagumkan sekali!”

“Cih! Keparat bermulut lancang!” Hwi Sian sudah menyerang dengan tusukan pedangnya, akan tetapi dengan gerakan ringan Ouw-siucai miringkan tubuhnya dan mendorong pundak dara itu sehingga terhuyung ke depan.

“Ihhhh… iblis keparat!”

“Sumoi, tunggu dulu!” Poa Sut It yang menyaksikan ketangkasan sastrawan itu, cepat mencegah sumoinya dan dia berkata kepada mereka, “Melihat pakaian dan sikap Ji-wi, agaknya Ji-wi bukan dari Pek-lian-kauw. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dengan kami?”

“Ha-ha-ha-ha!” Kiang Ti tertawa bergelak. “Kalian adalah kaki tangan The Hoo seperti yang kami dengar dalam percakapan kalian dengan orang-orang Pek-lian-kauw tadi, dan karena itulah maka kalian harus kami bunuh, kecuali nona ini yang sudah lancang membunuh seorang anggota kami, maka dia harus menebus dosa di dalam tangan Ouw-siucai, ha-ha-ha!”

Kun Liong merasa sebal mendengar ini dan kini dia mengerti mengapa Ketua Ui-hong-pang itu yang usianya lebih tua menyebut twako (kakak) kepada Ouw-siucai, agaknya untuk menghormat karena dia membutuhkan tenaga bantuan siucai cabul itu. Diam-diam dia ingin sekali keluar dan membuka kejahatan mereka, akan tetapi dia takut menjadi bahan ejekan Hwi Sian, juga dia ingin melihat apakah tiga orang itu sanggup menghadapi dua orang ini yang agaknya lebih lihai daripada kelima orang Pek-lian-kauw tadi, maka dia tetap bersembunyi sambil menonton penuh perhatian.

Poa Sut It dan kedua orang adik seperguruannya memandang kepada Kiang Ti dengan tajam, kemudian terdengar Hwi Sian membentak, “Kiranya engkau orang Ui-hong-pang, kaki tangan iblis betina Si Bayangan Hantu!”

“Bocah lancang mulut!” Kiang Ti membentak. “Engkau berani memaki guruku? Aku adalah Ketua Ui-hong-pang!” Berkata demikian, dia sudah menubruk maju untuk menyerang Hwi Sian.

“Eiiit, ingat, dia untukku, Kiang-pangcu (Ketua Kiang)!” Ouw-siucai berkata dan menghadang sehingga Ketua Ui-hong-pang itu kini menggunakan kedua tangannya untuk menyerang Poa Sut It dan Tan Swi Bu. Dua orang ini melihat pukulan yang hebat dari tangan yang berubah menghitam, maklum bahwa pukulan yang ini tidak boleh dipandang ringan, mereka cepat mengelak kemudian memutar tubuh membalas dengan serangan pedang mereka dari kanan kiri. Kiang Ti terkejut sekali melihat berkelebatnya dua sinar pedang yang amat cepat itu, dari kiri menyambar ke arah lehernya sedangkan sinar pedang dari kanan menyambar ke arah kaki. Tidak ada jalan lain baginya kecuali meloncat ke belakang dengan cepat, menjatuhkan diri bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Ketika dia meloncat lagi, tangan kanannya telah memegang senjatanya yang tadinya dililitkan di pinggang, yaitu sebatang rantai baja lemas yang ujungnya dipasangi bola baja. Mukanya agak pucat karena serangan kedua orang lawannya tadi benar-benar amat dahsyat.

“Hiaaaattt!” Ketua Ui-hong-pang ini mengeluarkan pekikan panjang dan dia sudah menerjang maju sambil memutar senjata rantai bajanya.

“Cring! Tranggg!!” Dua orang lawannya menangkis dengan pedang sehingga tampak bunga api berpijar ketika senjata rantai itu bertemu dengan pedang-pedang itu. Selanjutnya terjadilah pertandingan yang seru antara mereka, namun segera rantai baja terhimpit dan terdesak oleh kedua sinar pedang, membuat Kiang Ti terpaksa harus mengeluarkan seluruh tenaganya dan sebentar saja dia sudah mandi keringat.

Hati Kun Liong merasa lega ketika dia melihat keadaan kedua orang suheng dari Hwi Sian itu karena dia maklum bahwa keadaan mereka tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi ketika dia melihat keadaan Hwi Sian sendiri, dia terkejut dan diam-diam dia mencari tempat pengintaian yang lebih dekat. Biarpun ilmu pedang dara itu amat tangkas, namun ternyata dia bukanlah tandingan Ouw-siucai atau Ouw Ciang Houw yang amat lihai. Sambil tersenyum-senyum sastrawan cabul itu mempermainkan Hwi Sian, dengan tangan kosong menghadapi pedang dara remaja itu, mengelak ke sana ke mari sambil mengejek dan menggoda,

“Aih, luput lagi, Nona manis! Kalau marah begini engkau bertambah cantik saja. Aihhh, tidak kena! Wah, kedua pipimu menjadi merah jambon, ingin aku menciumnya!”

Ketika pedang menyambar ke dada, siucai itu membuat sedikit gerakan dan pedang itu telah dijepitnya di bawah lengan, kemudian ia mendekatkan mukanya hendak mencium pipi Hwi Sian sambil memperdengarkan suara menyedot.

“Biadab…!” Hwi Sian memaki dan menarik tubuh atasnya ke belakang sambil menendangkan kakinya ke arah perut lawan dan menarik pedangnya dengan sepenuh tenaganya.

“Wahhh, galaknya! Makin galak makin menyala!” Ouw-siucai melepaskan pedang yang dijepit lengan, kemudian menyambar kaki yang menendang. Nyaris kaki itu tertangkap, akan tetapi ternyata Hwi Sian cukup cerdik dan sebelum kakinya tertangkap pedangnya sudah membabat dari samping ke arah tangan yang hendak menangkap kakinya. Ketika lawan menarik tangannya, dia pun meloncat ke belakang dengan muka merah sekali, siap untuk bertanding mati-matian karena dia maklum bahwa lawannya benar-benar amat lihai.

“Ouw-twako… lekas robohkan dia dan bantulah aku…” Terdengar Kiang Ti berseru minta bantuan kepada temannya.

“Ha-ha-ha, baiklah, Kiang-pangcu. Nah, kau tidurlah dulu, Nona manis, nanti aku menemanimu!” Sambil berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebat sekali, menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan darah di tubuh nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan pedang, namun dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia harus tidur dulu oleh totokan!

“Ouw-siucai sastrawan keparat!” Tiba-tiba Kun Liong melompat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia mengulur tangan hendak menangkap dan mendorong pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan ilmu silat, hanya sekedar untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi Sian.

Melihat munculnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul, Ouw Ciang Houw mengira seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa disadari sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat luar biasa, karena hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis gerakannya pun mengandung unsur Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun yang dapat memotong jalan delapan penjuru, maka pengelakan itu sia-sia, tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh Ouw-siucai terhuyung ke belakang!

“Ehhh…!” Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan “hwesio” muda itu ternyata tidaklah begitu hebat. “Hwesio busuk dari mana berani berlancang tangan mencampuri urusanku?” Bentaknya sambil memandang dengan mata mendelik kepada Kun Liong.

Kalau saja tidak disebut hwesio, masih mending akan tetapi kini bahkan disebut hwesio busuk, tentu saja perut Kun Liong terasa panas dan sepasang matanya memandang dengan sinar mata bercahaya aneh dan tajam menusuk sehingga Ouw-siucai sekali lagi terkejut setengah mati. Mata itu tiba-tiba menjadi mata setan, pikirnya serem.

“Engkau ini orang sastrawan, akan tetapi berwatak cabul, genit, dan tersesat. Apakah engkau hendak mengulangi perbuatanmu yang biadab di perahu itu, lima tahun yang lalu?” Kun Liong menegur. “Bukankah banyak kitab kuno yang kaubaca, yang mengajar bagaimana orang harus hidup benar? Sudah lima tahun belum bertobat, belum sadar malah makin gila!”

Untuk ke tiga kalinya siucai itu terkejut dan heran. “Siauw-suhu dari kuil dan golongan mana? Harap tidak mencampuri urusan ini karena urusan ini adalah persoalan pribadi dan permusuhan dari kedua golongan!”

Makin mendalam kerut alis Kun Liong, apalagi ketika mendengar suara ketawa tertahan di belakangnya. Dia sudah hafal benar suara ketawa tertahan dari Hwi Sian itu!

“Aku bukan dari kuil dan golongan manapun juga!” Dia membentak. “Bahkan aku sama sekali bukan hwesio. Engkau Ouw Ciang Houw sastrawan sesat yang dahulu memperkosa isteri guru silat Gui Tiong di perahuku, kemudian mengakibatkan matinya suami isteri itu. Ingat?”

Untuk ke empat kalinya Ouw Ciang Houw terbelalak heran. “Wah-wah…!” Dia menggaruk-garuk kepalanya. “Jadi kau… Si Gundul bocah tukang perahu itu…?”

“Wuuuuttt, plakkk!” Kembali Ouw Ciang Houw terhuyung karena Kun Liong telah menampar pipinya dan biarpun tadi dia mengelak, tetap saja pipinya kena tampar! Hal ini amat mengherankan bagi Ouw Ciang Houw yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sama sekali tidak mengherankan bagi Kun Liong. Pemuda gundul ini hanya mengira bahwa sastrawan itu tidak sungguh-sungguh mengelak, maka dorongannya tadi dan tamparannya mengenai sasaran! Dia tidak sadar bahwa setelah memiliki Ilmu Silat Tinggi Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin), setiap gerakannya memang mengandung gaya yang luar biasa sehingga sukar diduga lawan ke mana hendak meluncur!

“Bocah setan, kau bosan hidup!” Ouw Ciang Houw menjadi marah sekali dan dengan pengerahan tenaganya dia memukul ke arah kepala dan dada Kun Liong secara cepat sekali dengan kedua tangannya. Kun Liong paling anti kalau kepalanya dibuat permainan, apalagi dipukul. Setelah dia gundul, sesuatu yang menyinggung kepalanya menyakitkan hatinya benar, maka kini dia mengangkat tangan menangkis pukulan yang mengancam kepalanya, akan tetapi pukulan ke arah dadanya tak sempat dia menangkisnya, maka otomatis bergeraklah tenaga sin-kang yang dilatih selama lima tahun.

“Bukkk! Auuuuwww… duhhh…!” Ouw Ciang Houw memegangi tangan kirinya yang seolah-olah remuk rasanya ketika membentur dada Kun Liong tadi.

“Engkau malah berani memukul kepalaku, ya? Benar-benar engkau orang jahat, perlu dihajar!” Kun Liong sudah maju dan tangan kirinya bergerak dari depan memukul dada lawan. Biarpun kesakitan, Ouw Ciang Houw yang dapat menduga bahwa Si Gundul ini memiliki kepandaian aneh, cepat menangkis, akan tetapi sungguh di luar dugaannya ketika tiba-tiba kepalanya ditempiling oleh tangan kanan Kun Liong dari belakang.

“Plenggg!” Dan dia terguling! Inilah keistimewaan gerak Pat-hong-sin-kun, serangan pertama dari depan untuk memancing perhatian sedangkan serangan susulan datang dari arah berlawanan. Banyak serangan macam ini yang datang dari delapan penjuru dalam ilmu silat sakti ini!

Ouw Ciang Houw hanya merasa kepalanya pening saja, maka begitu terguling dia dapat meloncat berdiri lagi. Kemarahannya membuat mukanya berubah pucat, tangannya meraba punggung dan tampaklah sinar berkilat ketika dia mencabut pedangnya menerjang Kun Liong.

“Trangggg!!”

Hwi Sian telah menangkis pedang itu, padahal tentu saja Kun Liong sudah siap untuk menghindarkan serangan tadi. Terjadilah pertandingan pedang yang seru antara Hwi Sian dan sastrawan itu. Melihat betapa dara itu terdesak hebat dalam belasan jurus saja, Kun Liong menjadi khawatir sekali. Untuk maju dengan tangan kosong saja dia merasa ngeri, maka dia lalu meloncat ke atas pohon, mematahkan sebuah dahan pohon dan meloncat turun terus langsung menerjang Ouw-siucai dengan senjata dahan di tangan. Begitu menerjang tentu saja dia menggunakan gerakan dari Ilmu Siang-liong-pang dan hebat bukan main akibatnya! Bukan hanya Ouw-siucai yang berloncatan mundur, bahkan Hwi Sian juga bingung melihat tiba-tiba banyak sekali tongkat melayang ke sana-sini dengan ganasnya sehingga dara itu pun meloncat mundur! Akan tetapi, tongkat dahan itu terus menyerang Ouw-siucai yang berusaha menangkis dengan pedangnya. Celaka baginya, tongkat yang ditangkis itu seperti dapat mengelak dan tahu-tahu lengan kanannya yang memegang pedang terpukul tongkat, bukan main nyeri rasanya sehingga kalau saja dia tidak mempertahahkan pedangnya dengan tenaga sin-kang, tentu pedang itu akan terlepas. Akan tetapi, gebukan ke dua menyusul tanpa dapat diduganya terdengar suara “buk!” dan tubuhnya kembali terguling karena pantatnya sudah terpukul sehingga rasanya daging pinggul remuk-remuk!

Kini maklumlah Ouw-siucai bahwa kalau dia melanjutkan pertandingan, dia dan temannya akan mati konyol. Maka dia bersuit keras, tubuhnya mencelat ke dekat temannya yang sedang didesak hebat, pedangnya bergerak menangkis memberi kesempatan kepada Kiang Ti untuk melepaskan diri dari kepungan sinar pedang lawan, kemudian keduanya melompat jauh dan melarikan diri tanpa berani menoleh sama sekali!

Tiga orang itu hendak mengejar, akan tetapi Kun Liong berkata, “Mereka sudah mendapatkan pelajaran, tentu sudah bertobat. Perlu apa dikejar lagi?”

Poa Su It menyuruh kedua adiknya berhenti, kemudian mereka menghampiri Kun Liong dan orang tertua di antara mereka itu menjura, “Ah, kiranya Laote adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi!”

“Sungguh kami telah bersikap kurang hormat!” kata pula Tan Swi Bu.

“Ji-wi Suheng (Kakak Seperguruan Berdua), kalau tidak ada dia, tentu sumoimu ini celaka di tangan siucai busuk tadi!” kata Lim Hwi Sian yang kini memandang kepada Kun Liong dengan sinar mata penuh kagum.

Kun Liong mengerutkan alisnya dan membuang tongkatnya dengan hati mengkal. Masih berdengung di telinganya suara ketawa Hwi Sian tadi ketika dia disebut hwesio busuk oleh Ouw-siucai. Kini mereka memuji-mujinya. Siapa tahu di balik pujian bibir manis dari dara itu tersembunyi ejekan terhadap kepala gundulnya! Dengan suara dingin dia berkata, “Aku hanyalah seorang gundul yang tiada artinya. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, dia lalu melangkah perlu tanpa menengok lagi.

“Eh, sungguh aneh!” kata Tan Swi Bu.

“Hemm, dia marah, agaknya masih marah karena engkau pernah mentertawai kepalanya, Sumoi!” kata Poa Sut It menyesal. Dia tahu bahwa pemuda tanggung yang gundul itu adalah seorang yang luar biasa, dan sebetulnya dia ingin sekali tahu siapakah pemuda itu dan murid siapa.

Lim Hwi Sian juga merasa menyesal, apalagi ketika dia teringat betapa tadi belum lama ini dia terpaksa tertawa lagi melihat Ouw-siucai yang jahat juga salah kira, menganggap pemuda itu seorang hwesio!

“Biarlah aku minta maaf kepadanya!” katanya lalu berlari mengejar Kun Liong yang sudah lenyap di balik sebuah tikungan. Kedua orang suhengnya hanya saling pandang dan membiarkannya saja, bahkan tetap menunggu di situ dengan harapan mudah-mudahan sumoi mereka dapat menyabarkan hati pemuda gundul yang luar biasa itu sehingga mereka dapat saling berkenalan.

“Tai-hiap, tunggu dulu…!”

Kun Liong terkejut dan heran mendengar suara wanita ini. Sebelum dia menengok, tampak bayangan berkelebat dari belakangnya dan kiranya Hwi Sian kini telah berdiri di depannya dengan wajah sungguh-sungguh. Dia menyebut aku “tai-hiap”! Jantung Kun Liong berdebar. Sebuah ejekan barukah ini? Dia disebut pendekar besar! Kalau dara itu kembali mengejeknya, akan dimakinya! Diejek orang lain tidak apa-apa, akan tetapi diejek dara ini! Sakit hatinya! Kini dia sadar bahwa sikap pemarahnya akhir-akhir ini mengenai kepala gundulnya adalah karena orang melakukannya di depan dara ini.

“Kau… kau mau apakah menyusul aku?” tanyanya, gagap karena pandangan mata dara itu benar-benar membuat dia canggung, malu dan bingung.

“Kami tahu bahwa Tai-hiap marah, dan memang sepantasnyalah kalau Tai-hiap…”

“Ah, sebutanmu ini ejekan ataukah pujian kosong? Kalau ejekan, tidak perlu kita bicara lagi, kalau pujian kosong, kuharap jangan lakukan itu. Aku tidak suka disebut Tai-hiap, baik ejekan maupun pujian.”

Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbuka lebar, memandang bingung. “Habis disuruh menyebut apakah aku ini?”

“Namaku Kun Liong, Yap Kun Liong, bukan pendekar besar, bahkan bukan pula pendekar kecil. Sebut saja namaku, beres!”

“Wah, mana aku berani? Bia aku menyebut Yap-enghiong (Orang Gagah Yap) saja.”

“Aku bukan enghiong, bukan pula bu-hiap (pendekar silat), aku hanya seorang gundul yang…”

“Stop! Kau benar-benar marah besar dan semua adalah karena kesalahanku! Kami berhutang budi kepadamu, bahkan mungkin aku berhutang nyawa, dan aku telah membuat engkau marah besar dan sakit hati. Tidak… tidak adakah maaf bagiku?”

Melihat sinar mata itu sayu penuh penyesalan dan suara itu demikian minta dikasihani, kekerasan hati Kun Liong akibat kemarahannya tadi hancur luluh, mencair seperti salju digodok! Cepat dia mengangguk dan menjawab, “Tentu saja aku memaafkanmu, bahkan tidak perlu kau minta maaf karena sebetulnya aku tidak marah kepadamu, hanya… eh, malu karena kepalaku…”

“Mengapa dengan kepalamu? Kepalamu tidak apa-apa, bahkan… hem… baik sekali bentuknya!”

“Sesungguhnyakah?”

“Aku berani bersumpah tidak membohongimu. Yap-enghiong, eh…”

“Jangan sebut enghiong segala, namaku Kun Liong, tanpa embel-embel.”

“Kun… Kun Liong, aku telah berhutang nyawa kepadamu, bagaimana aku akan dapat membalasmu?”

“Hemm, berkali-kali kau menyatakan hutang nyawa, nama pun belum kauperkenalkan kepadaku, Lim Hwi Sian!”

“Eh, engkau tahu…?”

Kun Liong tersenyum dan sinar matanya kini sudah berseri penuh kenakalan.

“Setan gundul tentu saja tahu segala!”

Mata yang jernih itu terbelalak. “Engkau aneh, orang sudah berhati-hati untuk tidak menyinggungmu, engkau malah memaki-maki diri sendiri setan gun…”

“Teruskan saja! Ha-ha, memang aku gundul. Nih, halus bersih, kan?” Kun Liong menundukkan kepalanya dan mengelus-elusnya. “Kau boleh menyebut aku gundul seribu kali asal jangan mentertawakan. Asal engkau tidak jijik melihatnya.”

“Siapa yang jijik? Aku senang melihatnya. Memang, lucu, akan tetapi lucu bukan berarti buruk. Contohnya, seorang bayi selalu lucu, dan tak pemah buruk! Semua orang ingin memeluk dan menciumnya.”

“Wah, apakah kepalaku juga menimbulkan hasrat orang untuk menciumnya?” Kun Liong memandang nakal dan senyumnya melebar ketika dia melihat dara itu tersipu-sipu malu dan kedua pipinya berubah kemerahan, apalagi bibirnya yang menjadi merah sekali. Tiba-tiba saja Kun Liong ingin kepalanya dicium oleh bibir seperti itu!

“Engkau memang orang yang lucu dan gagah, Kun Liong. Aku telah kautolong, entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu.”

“Benarkah engkau ingin membalasnya? Dan engkau tidak akan marah kalau aku minta kau melakukan sesuatu untuk membalasnya?”

“Tidak, Kun Liong. Bagaimana aku bisa marah kepadamu?”

“Sumpah?”

“Sumpah apa?”

“Bahwa engkau tidak akan marah kepadaku?”

“Aku bersumpah!”

“Wah, engkau mudah sekali bersumpah, Hwi Sian.”

“Tentu saja, karena memang aku sungguh-sungguh. Sudahlah, katakan, apa permintaanmu itu?”

“Aku... aku... ehhh... aku ingin kau... hemmm...”

“Mau apa sih engkau ini? Ah-ah eh-eh, ham-ham hem-hem seperti orang gagu.”

“Hwi Sian, aku ingin kau... eh, mencium gundulku satu kali saja!”

lanjut ke Jilid 017-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar