Minggu, 09 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 60

Pedang Kayu Harum Jilid 060

<--kembali

Namun sebentar saja Keng Hong yang mainkan ilmu silat campuran Thai-kek Sin-kun dan Siang-bhok Kiam-sut, telah membuat bingung ketiga orang lawannya yang kembali terdesak hebat. Melihat keadaan tidak menguntungkan ini, Cui Im tanpa malu-malu berteriak,

"Kemutani, hayo bantu....!!"

Pada saat itu, Kemutani sendiri sudah mandi keringat, terdesak oleh sepasang Im-yang-pit yang lihai di tangan Yap Cong San. Beberapa kali dia terkena totokan, dan biarpun totokan itu tidak tepat kenanya karena selain dia sempat menangkis ditambah kebalnya tubuh, namun dia masih merasakan nyeri sehingga permainan sepasang pisaunya menjadi kacau balau. Ia kini hanya dapat menangkis dan mengelak, tidak sempat membalas serangan lawan. Mendengar seruan Cui Im itu, dia menjadi bingung dan mendadak peranakan Mongol ini melempar tubuh ke belakang sambil menyambitkan dua batang pisau yang tadi dipegangnya. Sambitannya amat cepat dan karena jarak mereka dekat, melihat dua sinar yang menuju ke dada dan perutnya itu Cong San segera menggulingkan tubuh ke kiri terus bergulingan. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kemutani untuk meloncat sambil mencabut beberapa batang pisau, menerjang maju ke gelanggang pertempuran dan kedua tangannya bertubi-tubi, menyambitkan pisau-pisau itu ke arah Keng hong.

Biarpun Keng Hong dapat memukul runtuh semua pisau satu demi satu, namun gangguan ini membuat dia repot juga melayani desakan tiga orang lawannya yang lihai. Sementara itu, Cong San yang meloncat bangun lagi dan melihat Kemutani sudah meninggalkannya dan menghujani tubuh Keng Hong dengan sambitan-sambitan pisau terbang, menjadi marah dan membentak,

"Pengecut!" Ia menyimpan kedua pensilnya dan mengeluarkan segenggam uang tembaga, kemudian kedua tangannya juga bekerja.

Belasan buah uang tembaga itu bercuitan menyambar ke arah punggung Kemutani. Sebagai seorang ahli menggunakan senjata rahasia, Kemutani dapat mengenal desir angin bercuitan ini. Cepat dia memutar tubuh dan siap untuk mengelak atau menangkis. Namun karena tadi perhatiannya dicurahkan kepada Keng Hong, dia terlambat mengelak. Biarpun dia sudah meloncat ke atas untuk menghindarkan sambaran sinar-sinar kehitaman itu, masih ada sepotong uang tembaga yang tadinya menyambar ke perutnya, kini menancap di bawah pusar, tepat pada anggauta rahasia di bawah pusar. Kemutani mengeluarkan suara jeritan mengerikan dan ketika tubuhnya terbanting ke atas lantai, rasa nyeri membuat dia gelap mata. Kedua tangannya mencengkera bagian yang nyerinya bukan main itu dan tentu saja sekali remas anggauta badannya sendiri menjadi hancur lebur! Nyawanya melayang bersama jeritan ke dua yang lebih menyeramkan daripada tadi!

"Cia-taihiap, aku tidak membantumu, akan tetapi aku harus membalas kematian suhengku di tangan wanita iblis ini!" Sambil berkata demikian, Yap Cong San yang sudah mencabut kembali Im-yang-pit, menubruk maju, pit atau pensil hitamnya menotok mata kanan Cui Im sedangkan pensil putih menotok ulu hati di antara sepasang buah dada.

Cui Im kaget melihat Kemutani roboh dan tewas, juga kaget menyaksikan serangan berbahaya itu. Ia mengelak dari totokan pada mata dan menangkis totokan pada dadanya, kemudian membarengi tangkisan pedangnya, tangan kirinya bergerak maju mencengkeram ke arah leher Cong San yang cepat meloncat mundur. Sejenak Cui Im memandang pemuda yang tadi diharapkan akan dapat memuaskan nafsunya itu, dan pandang matanya kehilangan kemesraannya yang tadi, terganti pandangan penuh kebencian.

"Manusia tak kenal budi, mampuslah!" Pedang merahnya berkelebat dan gerakan pedang yang aneh ini biarpun sudah tiga kali dapat ditangkis oleh sepasang pensil Cong San, tetap saja mendesak terus dan Cong San mundur-mundur terdesak hebat!

Untung baginya bahwa Keng Hong yang melihat bahwa betapapun lihainya pemuda murid Siauw-lim-pai itu takkan dapat menendingi Cui Im, sudah menerjang lagi dengan Siang-bhok-kiam sehingga terpaksa Cui Im meninggalkan Cong San untuk melindungi tubuh terhadap sinar hijau yang bergulung-gulung dahsyat.

Cong San tidak menjadi jerih dan kapok. Ia sudah menyerang lagi dengan totokan-totokan maut ditujukan kepada tujuh jalan darah di tubuh Cui Im, jalan darah kematian. Namun Siauw Lek sudah menghadapinya dan menangkis serangannya dengan pedang hitam.

Pak-san Kwi-ong maklum bahwa fihaknya makin lemah dengan robohnya Kemutani, maka dia lalu mengeluarkan suara bercuitan nyaring. Memang telah direncanakan oleh Cui Im bahwa apabila fihak mereka menang angin, mereka tidak akan membawa-bawa para penjaga tembok kota raja untuk mencampuri urusan pribadi mereka. Akan tetapi kalau mereka menghadapi kegagalan, tidak ada lain cara untuk menyelamatkan diri kecuali memberi tanda kepada para penjaga, mengerahkan pasukan untuk membantu mereka! Pak-san Kwi-ong kini menggunakan tanda itu untuk memanggil pasukan yang menjaga di pintu gerbang dan di sepanjang tembok kota raja.

Keng hong dapat menduga apa artinya suitan nyaring itu. Tentu kakek hitam itu memanggil bala bantuan. Celaka, pikirnya. Kalau sampai dia bentrok dengan para pengawal, biarpun terjadi di luar kota raja, dia bisa dianggap pemberontak. Ia menjadi marah sekali kepada Pak-san Kwi-ong menyabetkan rantainya. Sebuah tengkorak menangkis pedang Siang-bhok-kiam dan yang sebuah lagi melayang ke arah muka pemuda itu seperti hendak menciumnya. Ciuman tengkorak senjata Pak-san Kwi-ong adalah ciuman maut!

"Krekkk...! Darrrr....!!" Rantai itu patah dibabat Siang-bhok-kiam, sedangkan tengkorak yang akan mencium Keng Hong, dihantam tangan kiri pemuda sakti ini dan meledak! Untung bahwa Keng Hong sudah waspada, begitu menghantam tengkorak lalu meloncat ke atas. Kalau tidak tentu dia akan menjadi korban senjata-senjata rahasia yang menyambar keluar dari tengkorak yang pecah dihantamnya tadi. Bahkan ujung pedangnya yang membabat putus rantai, masih berhasil menusuk leher si kakek hitam. Pak-san Kwi-ong yang terkejut sekali masih berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya tertusuk Siang-bhok kiam. Ia menggereng dan melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan sampai jauh kemudian meloncat bangun dan menghilang di dalam gelap!

Pada saat itu, pasukan pengawal yang menjaga di sepanjang tebok dan di pintu gerbang, sudah berlari-lari mendatangi, membawa obor dan senjata. Keng Hong dan Cong San masih bertanding melawan Cui Im dan Siauw Lek ketika pasukan itu datang dan sambil berteriak-teriak mengurung dua orang muda itu.

Cui Im dan Siauw Lek yang mengerti bahwa sekali ini mereka tidak mungkin dapat kembali ke istana karena tentu akan menerima hukuman karena selain meninggalkan tugas, juga mebuat ribut sehingga mengorbankan nyawa Kemutani dan bahkan Pak-san Kwi-ong yang terluka tadi agaknya juga melarikan diri, cepat berseru keras dan menggunakan kesempatan Keng Hong dan Cong San dikeroyok banyak pengawal, mereka meloncat dan menyelinap di antara para pasukan, melarikan diri.

"Saudara Yap, jangan melawan pasukan istana. Kita kejar iblis betina itu!" Keng Hong mengingatkan pemuda murid ketua Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu, kemudian dia melompat dan merobohkan para penghadang dengan dorongan-dorongan tangannya, mengejar ke arah larinya Siauw Lek dan Cui Im. Cong San maklum akan maksud Keng Hong. Memang amat berbahaya kalau mereka memusuhi pasukan istana.

Pula, dia sama sekali tidak ada urusan dengan pasukan pemerintah, melainkan Ang-kiam Bu-tek yang sekarang melarikan diri. Cepat dia mencontoh perbuatan Keng hong, merobohkan para pengeroyok tanpa melukai mereka dan melarikan diri mengejar Keng Hong yang sudah berhasil lolos dari kepungan.

"Siauw Lek, kita berpencar!" kata Cui Im berseru kapada kawannya itu ketika ia melihat ke belakang dan tahu bahwa Keng Hong tentu akan melakukan pengejaran. Siauw Lek pun mengerti bahwa kalau mereka berpencar, hal ini akan membingungkan Keng Hong dalam melakukan pengejaran. Selain itu, dia tahu betul bahwa yang diincar oleh Keng Hong dan murid Siauw-limpai itu adalah Cui Im. Kalau dia lari bersaa Cui Im tentu akan ikut celaka di tangan Keng Hong yang lihai bukan main.

"Baik, sampai jumpa, Cui Im !" katanya. Mereka lalu berpencar secepat mungkin. Malam yang gelap menolong mereka karena bayangan mereka segera lenyap pada saat Keng Hong dan Cong San masih memaksa keluar dari kepungan pasuka.

Ketika akhirnya dua orang muda itu berhasil meninggalkan para pasukan dan mengejar, mereka menjadi bingung karena bayangan Cui Im dan Siauw Lek lenyap dalam hutan yang gelap. Cong San hendak mengejar terus, akan tetapi tangannya dipegang Keng Hong yang berkata,

"Tiada gunanya dikejar. Selain sia-sia, juga amat berbahaya. Dia lihai dan curang bukan main."

Cong San berhenti mengejar dan mereka sejenak berhadapan. Akhirnya Keng Hong menarik napas panjang dan berkata, "Aku kagum sekali kepadamu, Yap-loheng (kakak Yap). Aku tak pernah mendengar akan seorang murid Siauw-limpai seperti engkau, akan tetapi kulihat tingkat kepandaianmu tadi benar-benar hebat, tidak kalah oleh suheng-suhengmu, mendiang Thian Ti Hwesio dan Thhian Kek Hwesio. Tidak kusangka bahwa Siauw-lim-pai masih menyimpan seorang jago muda seperti engkau."

***

"Hemmm, kapandaianku tidak ada artinya. Kalau tidak ada engkau. Cia-haihiap, tentu aku sudah tewas. Aku tidak akan menang melawan mereka yang lihai sekali itu."

"Yap-loheng, sungguh tidak enak sekali mendengar seorang gagah seperti engkau menyebutku taihiap (pendekar besar). Aku suka sekali berkenalan, mari kita sama-sama mencari Cui Im. Kalau dia sudah mengembalikan semua pusaka yang ia curi, termasuk pusaka-pusaka yang berupa kitab-kitab dari Siauw-lim-pai, dia akan kuserahkan kepadamu, baik untuk kau tawan dan bawa ke Siauw-lim-pai atau pun hendak kau bunuh, terserah. Dia seorang manusia yang berwatak iblis."

Cong San menjawab, suarnya agak dingin. "Cia-taihiap. Gurumu, Sin-jiu Kiam-ong juga disebut taihiap oleh suhu sendiri. Engkau sebagai muridnya amat lihai dan sepatutnya aku menyebutmu taihiap. Akan tetapi, maaf... Tentang bekerja sama di antara kita... Hemmm, terus terang saja, Taihiap, secara pribadi aku suka kepadamu dan amat kagum. Akan tetapi...sebagai murid Siauw-lim-pai agaknya tidak mungkin lagi bagi saya untuk bekerja sama denganmu. Tentu Taihiap telah mengerti apa yang kumaksudkan..." Terdengar dalam gelap pemuda baju hijau itu menghela napas panjang.

Keng Hong tersenyum pahit, "Aku tahu, Loheng. Aku mengerti dan aku tidak menyalahkanmu. Mendiang suhu telah melakukan kesalahan terhadap Siauw-li-pai, telah mengambil dua buah kitab. Justeru untuk itulah aku mengejar-ngejar Cui Im, untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka suhu yang dicurinya, di antaranya ada dua buah kitab Siauw-lim-pai itu. Sebelum dua buah kitab itu kukembalikan kepada Siauw-lim-pai, tentu fihak siauw-lim-pai akan menganggap mendiang suhu sebagai musuh, dan karena aku muridnya... Hemmm, baiklah. Kita tidak dapat bekerja sama karena engkau sebagai murid yang baik dan berbakti tentu tidak akan mau melanggar pendirian Siauw-lim-pai.

Nah, sampai jumpa, Loheng!" Setelah menjura, Keng Hong berkelebat llenyap dari depan pemuda itu. Cong San kembali menghela napas dan merasa menyesal sekali. Dia akan suka sekali bersahabat dengan Keng Hong. Pula, tanpa bantuan Keng Hong bagaimana dia akan mampu membalas kematian suhengnya? Tidak mungkin dia akan dapat mengalahkan Ang-kiam Bu-tek yang lihai itu, apalagi perempuan cabul itu mempunyai seorang teman yang lihai seperti pria yang dilawannya tadi. Juga kakek hitam itu amat lihai. Betapapun juga, dia akan terus mencari Cui Im sampai dapat dan akan berdaya upaya untuk dapat membalas dendam kematian suhengnya.

Karena Cong San maklum pula bahwa tentu Keng Hong tidak akan tinggal diam dan tentu mencari Cui Im, dan dia pun dapat mengerti bahwa Keng Hong tentu akan lebih dulu dapat menyusul wanita itu, maka dia pun kini tinggal mengikuti jejak Keng Hong saja. ia bermalam di hutan itu dan pada keesokan harinya dia baru melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah perginya Keng Hong malam tadi, yaitu ke selatan. Ketika dia akan keluar dari hutan, pandang matanya tertarik oleh sebatang pohon yang sebagian kulit batangnya terkupas batang yang "telanjang" dan putih itu. Ia menghampiri dan melihat ukiran huruf yang indah dan kuat goresannya.

JEJAKNYA MENUJU DUSUN SIN-NAM

Mudah saja bagi Cong San untuk menduga siapa penulis huruf-huruf terukir itu. Siapa lagi kalau bukan Keng Hong ." Diam-diam merasa kagum, dan menyesal mengapa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai berkukuh menganggap murid Sin-jiu Kiam-ong ini sebagai musuh. Padahal dia mengerti akan penderitaan batin Keng Hong yang jelas bertekad untuk "menebus dosa" gurunya dan mengembalikan pusaka-pusaka yang dahulu diambil gurunya, dan kini telah dicuri oleh Ang-kiam Bu-tek. Dia merasa girang sekali. Keng Hong agaknya tidak lupa, kepadanya dan memberi petunjuk.

Di ladang-ladang yang terdapat di luar hutan, dia bertanya kepada seorang petani yang menggarap ladang di mana letak dusun Sin-nam. Kiranya dusun itu berada di sebelah selatan, hanya belasan li dari situ. Dengan cepat Cong San melanjutkan perjalanannya menuju ke dusun Sin-nam.

Akan tetapi di dusun ini dia tidak melihat Keng Hong, apalagi Cui Im yang dia cari. Selagi dia bingung, tidak tahu harus mengejar kemana dan selagi dia hendak bertanya-tanya, tiba-tiba muncul seorang anak kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun. Anak itu menghampirinya dan bertanya.

"Apakah Kongcu ber-she Yap?"

"Hemmmm, bagaimana kau bisa tahu?" Cong San bertanya curiga.

"Ada seorang tuan muda she Cia memesan kalau ada Kongcu yang berpakaian hijau dan she Yap, saya disuruh menyampaikan bahwa Cia-kongcu menuju ke kota Tek-an di selatan."

"Hemmm.....!" Jauhkah kota Tek-an dari sini?"

"Saya tidak pernah ke sana, Kongcu. Akan tetapi kata orang membutuhkan perjalanan satu hari penuh."

Lega hati Cong San. Ia merogoh saku mengambil beberapa potong uang tembaga dan memberikannya kepada anak itu. "Nih hadiah untukmu."

"Tidak, Kongcu. Saya sudah menerima upah dari Cia-kongcu!" Anak itu lalu berlari meninggalkan Cong San yang melongo. Pemuda ini menarik napas terharu. Anak yang jujur dan terdidik baik agaknya oleh orang tuanya. Ataukah memang anak dusun meiliki watak lebih jujur daripada anak kota?

Ia lalu melanjutkan perjalanan. Di kota Tek-an pun dia tidak bertemu dengan orang-orang yang dikejarnya. Seorang pelayan restoran memberitahukan bahwa tuan muda Cia minta Yap-kongcu menyusulnya ke Nam-khia!"

Demikianlah, sampai berulang-ulang Cong San mengikuti jejak yang selalu ditinggalkan Keng Hong di sepanjang jalan! Ditinggalkan dengan sengaja untuknya.

Makin lama Cong San merasa makin berterima kasih kepada Keng Hong, akan tetapi juga gemas kepada Ang-kiam Bu-tek yang demikian sukar disusul.

Pada suatu hari, mengikuti jejak yang ditinggalkan Keng Hong, Cong San tiba di kota Lok-yang. Kemarin dia menyeberangi sungai Huang-ho di sebelah utara kota Lok-yang dan dia diberi peninggalan jejak Keng Hong melalui seorang nelayan yang menyeberangkannya. Di Lok-yang, dia menerima peberitahuan Keng Hong melalui seorang pelayan hotel. Memang kini Cong San tidak dapat lagi meninggalkan petunjuk-petunjuk Keng Hong, maka di setiap tempat dia malah mencari jejak Keng Hong dengan memasuki restoran-restoran, penginapan-penginapan, dan lain-lain. Petunjuk terakhir yang dia terima di Lok-yang dua hari yang lalu menuju ke Gunung Phu-niu-san, di sebelah barat kota itu, di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Shen-si!

Karena dia mendengar keterangan dari hasil penyelidikannya bahwa perjalanan ke gunung Phu-niu-san amat sukar dan juga berbahaya karena di sana banyak sekali perampok sehingga oleh umum tidak dijadikan jalan umum lagi, maka Cong San bermalam di Lok-yang dan baru berangkat ke tempat yang dimaksudkan pada keesokan harinya, pagi-pagi. Ia mendengar bahwa orang-orang yang melakukan perjalanan ke barat, ke Propinsi Shen-si dan ke kota Sian, tidak lagi ada yang berani melalui jalan darat karena bahayanya daerah Pegunungan Phu-niu-san. Mereka lebih suka memakai jalan air, yaitu melawan arus Sungai Huang-ho kemudian yang hendak ke utara memasuki Sungai Ceng-ho dan yang ke selatan melalui Sungai Wei-ho. Kedua sungai ini memasuki Huang-ho di tempat yang sama.

Karena dia tahu bahwa daerah yang dilalui berbahaya dan jauh daripada kota atau dusun, sebelum berangkat Cong San makan dulu sampai kenyang, kemudian dia membeli bekal roti kering secukupnya. Sambil menggendong buntalan pakaian dan bekalnya, Cong San berangkat menuju ke Gunung Phu-niu-san yang sudah tampak begitu dia keluar melalui pintu kota Lok-yang sebelah barat.

Akan tetapi begitu dia tiba di kaki Gunung Phu-niu-san, dia terheran-heran melihat banyak orang berduyun-duyun naik ke bukit, bahkan ada yang membawa kereta berisi bermacam barang. Ada kereta penuh sayuran, ada pula yang menggotong babi, ada yang membawa gulungan kain sutera dan lain-lain barang berharga. Yang mengherankan hati Cong San adalah ketika dia melihat bahwa yang mengepalai pembawa barang-barang ini adalah orang-orang yang melihat caranya berpakain jelas orang kang-ouw. Ada pula yang berjalan seorang diri, ada yang bergerombol sambil mengobrol gembira. Bermacam-macam cara pakaian mereka. Ada hwesio, ada tosu, ada pula yang berpakaian seperti dia, golongan ahli sastra, ada pula yang berpakaian seperti pengemis! Akan tetapi dari gerak-gerik mereka ini adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya hendak mengunjungi Gunung Phu-niu-san untuk mengunjungi sesorang. Sama sekali tidak kelihatan berbahaya perjalanan ke Phu-niu-san ini.

Melihat tiga orang laki-laki berpakaian seperti dia, berusia empat puluh tahun, Cong San sengaja mendekati mereka, mengangkat kedua tangan dengan sikap hormat dan berkata,

"Kalau Sam-wi tidak merasa terhina siauwte akan merasa terhormat sekali jika Sam-wi suka menerima siauwte sebagai teman seperjalanan. Bukankah Sam-wi juga hendak ke puncak?"

Tiga orang itu memandang Cong San penuh perhatian, kemudian balas menjura dan seorang di antara mereka bertiga yang bertahi lalat di dahinya menjawab "Tentu saja boleh, mari silakan! Kita sama-sama segolongan kutu buku mengapa harus bersungkan-sungkan?" Mereka bertiga itu tertawa dan Cong San juga tersenyum. Mereka berempat lalu berjalan perlahan di atas jalan yang mulai mendaki.

"Hiante siapakah? Dan dari mana? Tentu Hiante orang jauh maka tidak mengenal kami bertiga," kata pula si tahi lalat di jidat.

***

Cong San menjura lagi. "Maaf, siauwte Yap Cong San hanya anak seorang guru silat di dusun kecil jauh dari sini. Mohon tanya siapakah Sam-wi?"

Orang ke dua yang matanya sipit sekali dan sikapnya angkuh menjawab, "Kami bertiga di daerah ini terkenal sebagai Siangkoan Sam-hengte (Tiga Saudara Siangkoan) yang dijuluki Bun-bu Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar Terpelajar)! Dia ini yang tertua, kakakku bernama Siangkoan Lok, aku yang ke dua bernama Siangkoan Leng dan dia ini adikku Siangkoan Cit."

Cong San kembali menjura, "Ah, kiranya Sam-wi adalah pendekar-pendekar besar yang terkenal. Maafkan kalau saya tidak mengenal Gunung Thaisan. Sungguh beruntung saya dapat berkenalan dengan Sam-wi."

"Yap-hiante, engkau masih begini muda sudah mengenal Phu-niu-sancu (Majikan Gunung Phu-niu)? Sungguh beruntung, masih begini muda sudah mengenal orang pandai. Wah, kabarnya pesta pernikahan yang akan diadakan oleh Sancu dibuat amat meriah dan diadakan pertunjukan ilmu silat tinggi. Dan yang lebih hebat lagi, kabarnya Sancu akan menikah dengan seorang.... bidadari!"

Diam-diam Cong San girang mendengar si tahi lalat itu membuka mulut memberi keterangan seperti itu. Mengertilah dia bahwa kiranya orang-orang kang-ouw ini hendak mengunjungi pesta pernikahan tokoh Gunung Phu-niu-san. Pantas banyak yang membawa barang-barang berharga untuk sumbangan!

"Ah, seorang muda dan bodoh seperti saya mana ada kehormatan untuk berkenalan dengan Phu-niu-sancu? Sebetulnya adalah ayah saya yang sudah mengenal Sancu, dan saya hanya diutus oleh ayah untuk mewakilinya datang hadir dalam pesta pernikahan Sancu dan menghaturkan selamat."

"Ah, pantas saja kau belum mengenal kami. Kiranya engkau masih amat hijau, "Yap-hiante," kata si mata sipit. "Apakah ayahmu juga mengajarkanmu ilmu silat?"

"Wah, kalau dibicarakan sungguh memalukan. Saya hanya bisa sedikit ilmu silat kampungan, mana pantas dibicarakan dengan Sam-wi yang terkenal sebagai pendekar besar?"

"Memang tidak perlu bicara tentang ilmu silat. Nanti di sana kita akan menyaksikan ahli-ahli silat kelas satu. Kalau begitu, engkau pun belum tahu sampai di mana kelihaian Lian Ci Tojin Sengjin dan Sian Ti Sengjin?"

Cong San menjadi bingung karena tidak pernah mendengar nama ini, maka dia hanya menggeleng kapala. Si tahi lalat kelihatan bangga menceritakan kelihaian dua orang yang disebutnya itu, maka dia melanjutkan, "Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu sudah hebat bukan main, ilmu kepandaian Sian Ti Sengjin yang menjadi suhengnya, lebih hebat lagi!"

Cong San mengangguk-angguk. "Saya hanya mendengar dari ayah bahwa mereka berdua itu hebat kepandaiannya. Akan tetapi belum pernah menyaksikan sendiri. Dan kalau mempelai prianya begitu lihai, tentu mempelai wanitanya juga bukan sembarangan wanita, bukan?" Cong San sengaja memancing lebih banyak keterangan lagi. Kiranya tidak percuma Keng Hong memberitahukan tempat ini kepadanya. Apakah Cui Im lari ke Phu-niu-san dan akan berada di antara banyak tamu? Ataukah musuh besar itu mempunyai hubungan dengan Phu-niu-sancu? Dia harus bisa mendapatkan keterangan yang jelas untuk dapat mengatur sikap, dan dia pun sama sekali tidak boleh bertindak sembrono karena kalau benar dugaan bahwa Cui Im memiliki hubungan dengan Phu-niu Sancu, tentu perempuan itu akan dibantu banyak orang di situ.

"Entahlah," jawab si tahi lalat yang memang doyan mengobrol. "Hal itu masih merupakan rahasia karena kami semua baru sekarang mendengar berita dan undangan bahwa Sancu hendak menikah. Hanya ada berita yang membocor, berita desas-desus bahwa Sancu akan menikah dengan seorang wanita yang kecantikannya seperti bidadari, dan yang kabarnya pun bukan orang sembarangan."

Jantung Cong San berdebar. Agaknya mempelai wanita itulah yang dikejarnya!

Diam-diam dia memperhatikan orang-orang yang berbondong naik ke puncak dan diam-diam hatinya agak khawatir. Tiga orang yang sombong dan membanggakan diri sebagai Bun-bu Sam-taihiap ini kiranya hanya lagaknya saja yang hebat, tentu bukan lawan yang perlu diperhatikan, akan tetapi di antara mereka yang berjalan naik itu dia melihat beberapa orang yang membayangkan kepandaian tinggi. Terutama sekali seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang berjenggot panjang dan di pinggangnya terdapat sebatang golok bergagang emas, yang berjalan bersama seorang tosu tua. Mereka berdua itu berjalan tanpa bercakap-cakap, akan tetapi dari langkah kaki dan sikap kedua prang itu, Cong San dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai. Selain dua orang ini, dia melihat pula seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang, membawa sebatang tongkat butut dan pakaiannya butut dan kotor pula, rambutnya kusut dan mukanya penuh kerut merut berwarna kotor kehitaman. Keadaan kakek ini pun kotor menjijikan, akan tetapi anehnya dia bergandengan tangan dengan seorang kakek berpakaian seperti sastrawan yang bersih dan mewah, yang mengandeng pula seorang kakek berpakaian pendeta. Sikap tiga orang kakek ini menarik perhatian, mereka tertawa-tawa dan si kakek jembel beberapa kali berkata,

"Ha-ha-ha, tuan pengantin, berjalan lebih gagah agar tidak membikin malu nona pengantin!"

Si kakek pendeta tersenyum-senyum dan si kakek sastrawan berjalan digagah-gagahkan. Semua orang memandang dengan muka khawatir. Apakah tiga orang kakek ini sengaja bermain-main hendak mengejek Phu-niu-sancu? Akan tetapi karena keadaan mereka yang aneh, melihat usia mereka yang sudah amat tinggi, tidak ada yang berani menegur, bahkan ketiga orang Bun-bun Sam-taihiap yang memandang sambil menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek yang bersikap seperti anak-anak kecil itu.

Rombongan tamu yang bersamaan dengan Cong San terdiri dari dua puluh orang lebih. Setelah tiba di puncak bukit, Cong San melihat bahwa di atas puncak itu, dari bawah tidak tampak karena tersembunyi di antara pohon-pohon, terdapat bangunan-bangunan mewah merupakan perkampungan. Para tamu disambut oleh orang-orang yang berpakaian seragam biru bersikap gagah, lalu dipersilakan duduk ke dalam ruangan gedung terbesar di mana telah tersedia ratusan buah bangku dan di situ telah menanti pula dua orang tuan ruah yang menerima para tamu dengan senyum ramah akan tetapi hanya terhadap beberapa orang tamu saja mereka bangkit berdiri dan balas menghormat.

Terhadap tamu-tamu yang tidak dikenal , termasuk Cong San, dua orang tuan ruah itu hanya mengangguk sedikit untuk membalas penghormatan mereka. Cong San melihat betapa dua orang itu pun tidak bangkit berdiri ketika membalas penghormatan tiga orang Bun-bu Sam-taihiap tadi, akan tetapi tiga orang itu tidak kelihatan kurang senang sehingga diam-diam Cong San menjadi geli hatinya. Ia pun lalu mengambil tempat duduk di antara para tamu, dekat dengan tiga orang sastrawan sombong itu. Dari tepat duduknya dia memandang ke arah dua orang tuan rumah penuh perhatian.

Mereka itu adalah dua orang laki-laki yang gagah dan bersikap angkuh penuh wibawa. Melihat wajah mereka dia dapat menduga yang mana suhengnya dan mana sutenya. Dia tadi mendengar bahwa yang menjadi "majikan gunung" adalah yang muda, yang disebut Lian Ci Sengjin atau juga Phu-niu-sancu, sedangkan suhengnya adalah Sian Ti Sengjin. Tentu laki-laki bertubuh tegap, bermuka gagah dan angkuh, berusia empat puluh tahun lebih itu yang menjadi ketua atau majikan Gunung Phu-niu-san. Laki-laki di sebelah kanannya yang lebih tua beberapa tahun, yang berwajah pendiam dan serem itu tentu suhengnya. Dia tidak mengenal mereka dan setelah memandang sejenak Cong San mencari-cari dengan pandang matanya, namun yang dicarinya tidak tampak.

Baik Cui Im maupun Keng Hong tidak tampak bayangannya di antara tamu-tamu yang sudah puluhan orang banyaknya itu. Ia mulai ragu-ragu apakah dia tidak salah duga, jangan-jangan yang dimaksudkan Keng Hong bukan tempat pesta ini!

"Ssttt, Hiante, engkau tentu mencari pengantin wanita, bukan?" Tiba-tiba si tahi lalat yang duduk di belakangnya berbisik. "Sabarlah, benda berharga tentu disimpan baik-baik, wanita cantik tentu tidak diobral untuk ditonton banyak orang, melainkan dikeram dalam kamar. Nanti tentu diperkenalkan..."

Wajah Cong San menjadi merah akan tetapi dia sengaja tersenyum dan mengangguk. Ia lebih tertarik ketika betapa kedua orang tuan rumah itu menyambut kedatangaan tiga orang kakek aneh. Dua orang itu cepat bangkit dan dengan wajah berseri lalu memberi hormat sambil membungkuk. Bahkan Phu-niu-sancu segera berkata, "Ah, kiranya Sam-wi Locianpwe benar-benar sudi datang mengunjungi kami? Harap banyak maaf bahwa kami tidak mengetahui lebih dulu sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya!"

Melihat sikap tuan rumah dan mendengar ucapan sancu itu, semua orang terkejut, termasuk Cong San dan juga ketiga orang "pendekar" yang duduk di belakangnya. Semua orang tidak ada yang mengenal kakek itu dan melihat penghormatan yang demikian besar, sebutan "locianpwe" dari majikan gunung, mereka semua menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek tua renta yang aneh itu.

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kakek berpakaian jembel yang merupakan orang paling suka ketawa dan bicara di antara mereka bertiga, kini tertawa bergelak."Kami tiga setan tua paling tak tahu diri! Di mana ada pesta pengantin dan arak wangi, tentu kami akan datang. Sancu, kami harus memberi selamat dengan tiga cawan arak sebelum menikmati hidanganmu, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian kakek jembel itu menggerakkan tangan tiga kali ke arah meja yang berada di dereta terdepan dan.... "wuuut-wuuut-wuuuttt.....!"

lanjut ke Jilid 061-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar