Rabu, 15 Januari 2014
Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 6.
Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 6:
Suling Emas & Naga Siluman Jilid - 06
Suling Emas & Naga Siluman Jilid 6
Dengan wajah cerah kini Cu Han Bu mempersilakan semua tamunya duduk. “Silakan
Cu-wi sekalian duduk untuk menerima hidangan penghormatan kami dan untuk
mendengarkan kisah tentang pedang itu sekadarnya dari kami.”
Semua orang diam-diam merasa kecewa sekali karena pedang itu telah kembali kepada
majikan Lembah Suling Emas ini dan akan sukarlah bagi mereka untuk mengharapkan
memperoleh pedang keramat itu. Akan tetapi terdapat hiburan bahwa mereka berhasil
memasuki daerah terlarang dan rahasia ini. Hal ini sudah merupakan pengalaman yang
luar biasa bagi mereka. Maka mereka pun tanpa malu-malu lagi lalu mengambil tempat
duduk dan berkelompok memilih teman masing-masing. Sim Hong Bu mengambil
tempat duduk di sudut bersama Yeti yang tidak mau duduk di atas kursi, melainkan
mendeprok di atas lantai. Sejak tadi, Yeti nampak seperti orang yang lemas dan kesal,
lebih banyak menunduk seperti orang termenung.
Hidangan pun dikeluarkan oleh para dayang yang muda dan cantik dan berbau harum itu.
Dan semua orang semakin kagum karena arak yang dihidangkan adalah arak yang amat
baik dan masakan-masakan mengepulkan uap itu pun bukan masakan sembarangan dan
terbuat dari bahan dan bumbu yang mahal-mahal! Tentu saja di tempat itu terdapat ruang-
an es yang dingin dan yang dapat dipakai menyimpan daging atau apa saja sehingga
berbulan-bulan dalam keadaan masih segar!
Setelah semua tamu dipersilakan makan minum, semua orang merasa puas kecuali Yeti
yang tidak mau makan apa-apa sehingga Hong Bu pun merasa tidak begitu lezat makan
sendirian saja, dan dayang-dayang sudah menyingkirkan mangkok piring meninggalkan
cawan dan guci arak berikut penganan, tuan rumah lalu bercerita tentang pedang keramat
itu. Semua orang mendengarkan dengan asyik karena memang cerita itu agak aneh.
Kakek buyut dari tiga orang saudara Cu itu, yang bernama Cu Hak, mewarisi kepandaian
nenek moyangnya dalam hal kesenian memasak dan membentuk logam, pendeknya
kepandaian seorang pandai besi yang luar biasa. Akan tetapi, kalau di antara nenek
moyangnya itu ahli dalam hal pembuatan benda dari logam emas, ada yang ahli perak,
dan ada pula yang ahli ukir-ukir batu atau kayu, Cu Hak ini adalah seorang ahli pembuat
pedang yang amat baik.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cu Hak yang sudah berusia lanjut itu bangun dalam
keadaan lemah dan agaknya penyakit jantungnya kumat. Dia mengeluh panjang pendek
dan tidak bangkit dari tempat tidurnya. Anak cucunya datang menjaganya, akan tetapi
kakek itu tetap gelisah dan akhirnya berkata bahwa malam tadi dia bermimpi melihat
seekor naga terbang melayang turun kemudian menghilang ke belakang rumahnya,
masuk ke bawah sebuah batu sebesar rumah yang berada di belakang rumah mereka.
“Cari di bawah batu itu.... carilah.... tentu ada apa-apa di situ” pintanya berkali-kali.
Karena melihat kakek itu keadaannya payah, maka anak cucunya lalu beramai-ramai
mencari. Dengan kekuatan yang disatukan, keluarga yang memang lihai dan berilmu
tinggi ini mendorong batu sehingga menggelinding beberapa meter dari tempat semula,
lalu digalilah tanah di bawah batu itu. Dan mereka menemukan sebongkah batu yang berwarna hijau kemerahan. Mereka membawa batu itu kepada kakek Cu Hak dan kakek
yang sedang sakit itu seketika bangkit dari tidurnya, memegang batu itu dan berseru
girang, “Hebat....! Ini adalah logam mulia! Ini adalah logam pusaka keramat. Ah, pantas
saja bersemangat naga.”
Kakek itu seperti sembuh seketika dan dia pun menyibukkan dirinya di dalam dapur
perapian tempat dia membuat pedang itu. Bongkahan batu yang ternyata merupakan
logam mulia itu dibakar dan digemblengnya menjadi sebatang pedang yang diberi nama
Koai-liong-pokiam. Diberi nama Pedang Naga Siluman karena ternyata “naga” itu
ternyata tidak mendatangkan berkah. Semenjak membuat pedang itu, Kakek Cu Hak
menderita sakit. Akan tetapi dia memaksa diri menyelesaikan pedang itu, dan kemudian
pedang itu selesai dan sempurna, dia pun meninggal dunia setelah meninggalkan pesan
tentang rahasia yang terkandung dalam gagang pedang.
“Nah, demikianlah riwayat pedang kami itu.” Cu Han Bu melanjutkan. “Akan tetapi,
hanya beberapa bulan setelah pedang itu jadi, pedang itu pun lenyap dari sini. Kami tahu
siapa yang mengambilnya, akan etapi itu merupakan rahasia keluarga kami dan tidak
dapat kami ceritakan kepada siapapun juga. Karena itu kami tak pernah ribut-ribut dan
menganggap bahwa pedang itu sudah lenyap begitu saja. Samai kemudian setelah kami
bertiga saudara menjadi dewasa, kami mendengar bahwa pedang itu tahu-tahu sudah
berada di gudang pusaka istana Kaisar! Setelah mengetahui akan pedang kami itu, Toa-so
kami lalu turun tangan, datang ke kota raja dan mengambil kembali pedang pusaka kami
itu. Akan tetapi, dia bertemu dengan Yeti dan selanjutnya Cu-wi telah mengetahui.
Demikianlah riwayat pedang itu, yang berada di tangan kaisar selama puluhan tahun
tanpa kami ketahui dan sekarang pedang pusaka itu telah kembali ke dalam lingkungan
keluarga kami. Maka harap Cu-wi maklumi dan tidak menjadi penasaran. Tentu saja
untuk jerih payah Cu-wi, kami tidak akan tinggal diam dan kami hendak membekali Cu-
wi dengan hadiah sekadarnya.”
“Nanti dulu....!” Tiba-tiba Si Ulat Seribu, wanita muda bermuka mengerikan itu berkata
dan dia sudah bangkit dari kursinya. Mukanya yang bopeng dan pletat-pletot itu kelihatan
merah, tanda bahwa arak tua telah mulai mempengaruhinya. Semua orang memandang
kepadanya dan pihak tuan rumah juga memandangnya dengan penuh perhatian.
“Kami berterima kasih kepada keluarga Cu yang telah menerima kami sebagai tamu.
Akan tetapi kami, terutama aku sendiri, bukanlah sebangsa pengemis yang datang untuk
minta-minta sedekah!” Dia melirik ke arah Sai-cu Kai-ong yang tadi telah merugikannya.
Kemudian, melihat betapa kakek ini tidak mempedulikannya, dia melanjutkan. “Akan
tetapi kami adalah orang-orang gagah yang terus terang saja tertarik untuk mempe-
rebutkan pedang pusaka yang dicuri dari istana kaisar. Kini ternyata pedang itu adalah
milik keluarga Cu di sini. Biarpun kami melihat buktinya, namun tentu saja sebagai
orang-orang yang biasa memandang kepada kegagahan, kami merasa ragu-ragu apakah
pedang pusaka itu patut dimiliki oleh keluarga Cu. Oleh karena itu, ingin sekali aku
melihat apakah sudah selayaknya dan sepantasnya keluarga Cu menjadi majikan pedang
itu.” Setelah berkata demikian, tanpa nampak dia bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah
melayang ke tengah ruangan itu. Memang Si Ulat Seribu ini adalah seorang ahli gin-kang yang luar biasa. Tubuhnya dapat bergerak sedemikian ringannya seolah-olah dia pandai
terbang saja!
Bagi para tokoh yang hadir, ucapan itu sudah cukup jelas. Wanita bermuka aneh
mengerikan ini jelas menantang pihak tuan rumah itu untuk mengadu ilmu! Memang ada
semacam “penyakit” yang hinggap di dalam batin hampir semua tokoh kang-ouw, yaitu
mereka ini haus sekali akan ilmu silat dan adu kepandaian. Mereka belum merasa puas
kalau belum menguji ilmu orang lain yang terkenal pandai, bahkan untuk kesenangan
mengadu ilmu ini mereka tidak akan menyesal andaikata harus kehilangan nyawa dalam
pi-bu (adu kepandaian silat) itu!
Sebelum Cu Han Bu menjawab, terdengar suara tertawa merdu dan Tang Cun Ciu,
wanita yang cantik dan berpakaian mewah berlagak genit itu, yang disebut toanio oleh
pihak tuan rumah, telah bangkit dari duduknya.
“Hi-hi-hik, Si Ulat Seribu boleh berlagak di luar tempat ini, akan tetapi di sini tidak akan
laku lagakmu. Akulah yang mencuri pedang dan kalau ada yang tidak terima dan
meragukan kemampuan kami, boleh menguji kepandaiannya dengan aku. Toa-cek
(Paman Terbesar), biarkan aku menandingi Si Ulat Seribu!” kata-kata terakhir ini
ditujukan kepada Cu Han Bu. Wanita ini adalah isteri dari kakak angkat Cu Han Bu,
maka dia memanggil Han Bu dengan sebutan toa-cek, kemudian kepada Seng Bu dia
menyebut ji-cek (paman ke dua) dan kepada Kang Bu menyebut sam-cek (paman ke
tiga), yaitu sebutan lajim dari seorang kakak ipar untuk menyebut adik-adik suaminya,
yang menyebutnya untuk anaknya, sungguhpun Tang Cun Ciu ini tidak mempunyai anak
dalam pernikahannya dengan mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, anak angkat dari
ayah keluarga Cu itu.
Si Ulat Seribu sudah menghadapi Tang Cun Ciu dan memandang tajam sekali.
Dia tahu bahwa orang yang mampu mencuri pedang dari dalam gedung pusaka istana
tanpa diketahui orang, tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi anehnya,
dia belum pernah mendengar nama wanita ini atau bertemu padanya, padahal hampir
semua nama orang-orang kang-ouw yang terkenal telah dikenalnya.
“Orang menamakan aku Si Ulat Seribu, dan aku tidak pernah melakukan pi-bu (adu ilmu
silat) dengan orang yang tidak kukenal namanya.” kata Si Ulat Seribu dengan sikapnya
yang keren.
Tang Cun Ciu tertawa dan semua orang harus mengakui bahwa di samping gesit, wanita
ini memang cantik dan mempunyai daya tarik atau daya pikat yang amat kuat. Apalagi
kalau tertawa nampak deretan giginya yang seperti mutiara, biarpun usianya sudah tiga
puluh tahun akan tetapi dia nampak masih seorang gadis remaja saja!
“Hi-hi-hik, Ulat Seribu! Sungguh julukan yang menjijikkan. Aku Tang Cun Ciu memang
tidak suka memamerkan nama di dunia kang-ouw, akan tetapi orangorang menyebutku
dahulu Cui-beng Sian-li. Nah, kalau engkau ada kepandaian, majulah.”
Diam-diam Si Ulat Seribu terkejut. Ternyata dia pernah mendengar nama Cui-beng Sian-
li (Dewi Pengejar Arwah)! Akan tetapi sudah lama sekali, sedikitnya sepuluh tahun yang
lalu, di perbatasan Sin-kiang muncul nama ini yang amat menggemparkan, lalu nama itu
lenyap bersama orangnya. Kiranya orangnya telah berada di Lembah Suling Emas!
“Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu! Bagus, ternyata aku melakukan pi-bu dengan orang
yang telah bernama besar dan memiliki kepandaian yang pantas untuk bertanding
melawanku. Nah, mari kita mencoba ilmu silat masing-masing! Awas serangan!” Baru
saja ucapan itu berhenti, orangnya sudah mencelat ke depan dan mengirim serangan
dengan kecepatan yang mengejutkan sekali.
Akan tetapi, hanya terdengar Tang Cun Ciu tertawa merdu dan tubuh wanita cantik ini
pun sudah mencelat dan lenyap, tahu-tahu dia sudah berada di tempat tinggi dan kini
tubuhnya melayang turun dan melakukan serangan balasan dengan tendangan dahsyat!
“Bagus....!” Si Ulat Seribu memuji dan selain terkejut juga gembira sekali karena ternyata
lawannya ini pun merupakan seorang ahli gin-kang yang hebat. Dia cepat mengelak dan
kini kedua orang wanita yang wajahnya sungguh amat berlawanan itu, yang seorang amat
buruk dan yang seorang lagi amat cantik, mulai serang-menyerang dengan gerakan-
gerakan yang cepat sekali. Bukan hanya cepat, akan tetapi juga dari setiap serangan
mereka itu menyambar hawa pukulan yang kadang-kadang mengeluarkan suara bercuitan
saking kuatnya!
Berbeda dengan tadi ketika berkelahi untuk memperebutkan pedang pusaka, Si Ulat
Seribu tidak menggunakan ulat-ulatnya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat musuh, di
tempat berbahaya dan bahwa pertandingan ini hanya merupakan adu ilmu silat belaka,
untuk menguji siapa yang lebih pandai. Maka dia hanya mengandalkan ilmu silatnya
yang aneh dan gin-kangnya yang tinggi. Ilmu silat dari wanita bermuka buruk ini
memang luar biasa sekali. Tubuhnya melejit-lejit ke atas dengan tubuh melengkung-
lengkung, seperti loncatan semacam ulat. Dan gerakannya amat gersitnya sehingga bebe-
rapa kali Tang Cun Ciu sendiri sampai terkejut.
Akan tetapi, ternyata bahwa tingkat kepandaian silat Dewi Pengejar Arwah ini masih
lebih unggul, dan dasar ilmu silatnya lebih aseli dan lebih tinggi. Bahkan dalam gerakan
yang mengandalkan gin-kang yang lihai, ternyata Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu juga
lebih tinggi dan matang. Si Ulat Seribu hanya menang aneh saja, namun intinya kalah
kuat.
Itulah sebabnya maka setelah lewat lima puluh jurus, Si Ulat Seribu mulai terdesak hebat
dan tidak mampu balas menyerang lagi karena dia sibuk harus menghindarkan diri dari
serangan yang amat cepat, bertubi-tubi dan teratur baik, kuat dan indah. Dan akhirnya,
Cui-beng Sian-li mengeluarkan lengking panjang yang menggetarkan jantung, tubuhnya
mencelat ke atas menukik turun dan seperti garuda menyambar ular dia menyerang dari
atas. Si Ulat Seribu berusaha menghindar, namun dia kalah cepat dan pundaknya kena
didorong oleh Cui-beng Sian-li. Tidak dapat dihindarkan lagi, Si Ulat Seribu terpelanting roboh bergulingan. Lawannya meloncat dan hendak menyusulkan tamparan berikutnya,
akan tetapi terdengar bentakan Cu Han Bu, ”Cukup, Toa-so!”
Aneh sekali, biarpun dia amat dihormat dan disebut kakak ipar, wanita itu agaknya taat
kepada adik mendiang suaminya ini, karena dia pun menahan serangannya dan berdiri
dan memandang kepada Si Ulat Seribu dengan senyum mengejek. Si Ulat Seribu
maklum bahwa kalau tadi pihak tuan rumah tidak menahan dan dia diserang lagi, tentu
dia akan celaka, maka dia melangkah mundur dan duduk kembali di atas kursinya tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Wajahnya yang buruk itu nampak semakin buruk.
“Siapa lagi di antara para tamu yang masih meragukan kepandaian kami? Boleh maju!”
Karena kemenangannya, Cui-beng Sian-li menantang.
Para tamu itu terdiri dari orang-orang pandai, Sai-cu Kai-ong Yo Kong Tek melihat benar
betapa lihainya wanita itu, memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi sehingga dia
sendiri pun tidak berani sembrono untuk maju dalam pi-bu dan mencari penyakit seperti
Si Ulat Seribu tadi. Akan tetapi di antara mereka terdapat Im-kang Ngo-ok, lima orang
datuk kaum sesat yang merasa bahwa merekalah yang merupakan orangorang paling
pandai di dunia persilatan.
Lima orang kakek sakti ini sudah saling pandang. Tentu saja diam-diam mereka pun
merasa tidak puas bahwa perjalanan susah payah mereka untuk merebut pedang pusaka
itu berakhir seperti ini, hanya menjadi tamu di Lembah Suling Emas dan melihat pedang
pusaka yang diinginkan itu kembali kepada pemiliknya. Tentu saja diam-diam mereka
mencari akal untuk dapat merampas pedang itu, bahkan begitu mereka tahu bahwa
tempat itu adalah Lembah Suling Emas yang tentu menyimpan banyak macam pusaka,
diam-diam mereka merasa girang dan timbul keinginan mereka untuk dapat merampas
pusaka-pusaka yang berada di tempat tersembunyi itu. Akan tetapi mereka pun bukan
orang-orang bodoh yang sembrono. Mereka maklum bahwa mereka berada di tempat
berbahaya, tempat yang hanya mempunyai hubungan dengan dunia melalui jembatan
terbang itu, dan bahwa pihak tuan rumah terdiri dari orang-orang yang lihai, maka
semenjak mereka datang, mereka belum melihat cara yang baik untuk dapat memetik
keuntungan dari kunjungan ini. Ketika melihat Si Ulat Seribu beraksi, diam-diam mereka
menjadi girang. Mungkin inilah kesempatan itu, ialah dengan cara berpibu! Dalam pi-bu
itu, kalau mereka berlima dapat mengalahkan pihak tuan rumah, bukankah mereka
memperoleh kekuasaan? Dan menguji kepandaian pihak tuan rumah melalui pi-bu adalah
cara yang halus dan tidak kentara!
Betapapun juga, kegirangan mereka itu dikejutkan dan disapu pergi ketika mereka
menyaksikan sepak terjang wanita cantik yang berjuluk Cui-beng Sian-li itu. Wanita itu
saja sudah demikian lihainya! Dari gerakan Cui-beng Sian-li, ketika melayani Si Ulat
Seribu, Im-kan Ngo-ok maklum bahwa tingkat kepandaian wanita itu saja sudah mengim-
bangi tingkat Su-ok atau Ngo-ok! Ini berarti bahwa yang agaknya dapat dipastikan untuk
dapat menghadapi Cui-beng Sian-li hanya Sam-ok, Ji-ok atau Toa-ok sendiri. Dan di
pihak tuan rumah masih ada tiga orang saudara Cu itu yang mereka belum dapat
mengukur sampai di mana kelihaian mereka.
Sam-ok Ban-Hwa Seng-jin adalah seorang yang cerdik, paling cerdik di antara kelima
Im-kan Ngo-ok. Karena kecerdikannya itulah maka dia pernah diangkat menjadi Kok-su
dari Negara Nepal. Dan di antara lima orang Im-kan Ngo-ok itu, dialah yang dianggap
sebagai pengatur siasat, bahkan Toa-ok sendiri mengakui kecerdikan adik ke tiga ini.
Maka kini empat pasang mata itu pun memandang kepada Sam-ok seolah-olah mereka
menyerahkan tindakan selanjutnya kepada Si Jahat Nomor tiga ini untuk mengaturnya.
Sam-ok lalu bangkit dan sambil tersenyum dia menjura dan memuji. “Hebat.... hebat
sekali. Sudah lama kami mendengar kebesaran nama majikan Lembah Suling Emas dan
ternyata nama besar itu bukan kosong belaka. Si Ulat Seribu sungguh tak tahu diri
sehingga membentur batu karang! Karena kami Im-kang Ngo-ok amat kagum sekali. Dan
kami percaya bahwa tidak ada seorang pun di antara para tamu yang akan berani
menganggap pihak tuan rumah kurang patut memiliki pedang pusaka itu.”
Cui-beng Sian-li yang masih berdiri itu tersenyum. Dia paling tidak suka mendengar
orang bicara bertele-tele dan berputar-putar, maka dia lalu tertawa dan berkata dengan
suara mengejek. “Kalau Im-kan Ngo-ok hendak menguji kepandaian kami pun boleh
saja! Perlu apa banyak bicara nmemuji-muji kosong? Kami tidak butuh pujian.”
Tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu dan nyaring, disusul suara melengking tinggi.
“Cui-beng Sian-li bicara besar! Apa dikiranya Im-kan Ngo-ok terdiri dari bocah-bocah
penakut? Biar aku mencobanya, Sam-te!” Dan Ji-ok Kui Bin Nio-nio sudah berada di
depan Cui-beng Sian-li.
Sungguh mereka merupakan dua orang wanita yang amat berlawanan. Yang seorang
bertubuh ramping dan berwajah cantik, yang ke dua juga bertubuh ramping seperti tubuh
wanita muda, akan tetapi karena mukanya ditutup topeng tengkorak, maka amat
menyeramkan, bahkan lebih menakutkan daripada wajah Si Ulat Seribu yang buruk itu.
Dari balik topeng tengkorak itu mengintai sepasang mata yang mengeluarkan sinar
mencorong dan liar seperti mata setan, dan rambut di kepala itu telah putih semua.
Melihat Ji-ok telah maju, Sam-ok tersenyum dan mengundurkan diri. Dia sendiri merasa
bahwa dia akan dapat menundukkan wanita cantik itu, akan tetapi karena Ji-ok juga
wanita dan lebih tepat untuk menguji lawannya yang juga perempuan, maka dia
mengalah dan mengundurkan diri tanpa berkata apa pun.
Suara Ji-ok yang melengking nyaring itu membayangkan adanya khi-kang dan sin-kang
yang amat kuat, maka Cu Han Bu memberi isarat dengan pandang matanya kepada Cu
Kang Bu. Pria tinggi besar dan gagah perkasa yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun,
lalu bangkit berdiri dan segera ia menghampiri Cui-beng Sian-li yang agaknya sudah
bersiap untuk menandingi Ji-ok.
“Harap Toa-so yang sudah capek melayani lawan suka mengaso, biar aku yang
menghadapi Ji-ok.”
Melihat munculnya adik iparnya ini, Cui-beng Sian-li mengangguk dan dia kembali ke
tempat duduknya, lalu menyambar cawan araknya, mengisinya dengan arak dari guci dan meminumnya. Sementara itu, pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu kini sudah
menghadapi Ji-ok. Suaranya lantang dan kasar ketika dia berkata dengan sikap gagah.
“Aku Ban-kin-sian Cu Kang Bu sudah lama mendengar nama Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang
tersohor kejam, jahat dan lihai! Maka sekarang memperoleh kesempatan untuk
bertanding, sungguh aku merasa girang!”
Semua orang terkejut. Betapa besar bedanya sikap Cu Han Bu dan adiknya yang bernama
Cu Kang Bu ini. Orang ini memiliki watak yang sama dengan bentuk tubuhnya yang
tinggi besar dan gagah. Wataknya kasar, jujur dan tidak menyimpan rahasia dalam
hatinya. Maka begitu bertemu, dia dengan jujur dan dengan suara yang tidak
mengandung ejekan melainkan sewajarnya telah mengatakan Ji-ok kejam dan jahat! Dan
julukannya adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati) yang juga merupakan
julukan yang terang-terangan, tanda bahwa dia memiliki tenaga yang besar.
Seperti semua tokoh di Lembah Suling Emas itu, nama Cu Kang Bu juga tidak terkenal
sama sekali, bahkan kalah terkenal dibandingkan dengan Cui-beng Sian-li yang menjadi
toa-sonya itu. Oleh karena itu, Ji-ok belum pernah mendengarnya dan tentu saja orang
nomor dua dari Im-kan Ngo-ok ini memandang rendah.
Akan tetapi watak Im-kan Ngo-ok memang aneh. Mereka sudah menggunakan julukan
Ngo-ok (Lima Jahat) dan ini bukan nama kosong belaka. Kejahatan bagi mereka ini
bukan merupakan suatu hal buruk yang patut membuat mereka malu, sebaliknya malah,
mereka itu seperti mengagungkan kejahatan dan malah merasa bangga kalau disebut jahat
dan kejam! Oleh karena itu, ketika Cu Kang Bu secara jujur menyebutnya kejam dan
jahat, Ji-ok tersenyum di balik kedoknya dan sepasang mata di balik kedok itu berseri-
seri!
“Ha-ha-hi-hik, bagus sekali! Aku girang sekali mendengar bahwa namaku sampai dikenal
di tempat yang tersembunyi ini. Ban-kin-sian Cu Kang Bu, engkau hendak mewakili
pihak tuan rumah menguji kepandaianku? Bagaimana kalau sampai engkau terluka parah
atau mati? Ketahuilah, Ji-ok sekali turun tangan tentu ada yang mati!”
Cu Kang Bu tertawa dan wajahnya nampak tampan kalau dia tertawa. “Ha-ha-ha,
bicaramu lucu, Ji-ok! Pibu, kalah, menang, luka dan mati adalah hal-hal yang merupakan
rangkaian tak terpisahkan. Sudah berani pi-bu tentu berani kalah, luka atau mati. Akan
tetapi ingat, hal itu berlaku untuk kedua pihak. Bukan hanya aku yang mungkin luka atau
mati, akan tetapi engkau juga.”
“Hi-hik, bagus! Kalau begitu bersiaplah engkau untuk mati, orang she Cu!” Baru saja dia
berkata demikian, tahutahu Ji-ok sudah menubruk maju, kedua tangannya membentuk
cakar-cakar setan dan gerakannya cepat bukan main, tahu-tahu tangan kiri
mencengkeram ke arah kedua mata lawan sedangkan tangan kanan mencengkeram ke
arah kemaluan! Bukan main bahayanya serangan ini, semacam serangan yang amat
curang dan kotor, yang tidak akan dilakukan oleh ahli silat tinggi.
“Duk! Desss!”
Serangar, maut itu sama sekali tidak dielakkan oleh Cu Kang Bu, melainkan ditangkis
dengan kekerasan! Kedua lengannya yang kuat itu menangkis dengan pengerahan tenaga
dan adu lengan itu membuat Ji-ok meringis di balik kedoknya karena kedua lengannya
yang kecil itu seolah-olah bertemu dengan dua batang baja besar yang amat kuat!
Ji-ok bukan seorang ahli silat sembarangan. Tangkisan yang amat kuat itu biarpun
membuat kulitnya terasa nyeri, akan tetapi tidak sampai melukai lengannya dan dia yakin
akan kekuatan lawan yang berjuluk Dewa Bertenaga Selaksa Kati itu, maka dia pun
mengandalkan kecepatan gerakannya dan mulailah dia menghujani lawan dengan
serangan-serangannya. Setiap serangan merupakan serangan maut yang mengerikan, dan
sekali saja tangan Ji-ok mengenai sasaran, akan celakalah lawannya. Pihak tuan rumah
memandang dengan alis berkerut, maklum betapa kejinya serangan-serangan yang
dilakukan oleh Ji-ok itu. Sama sekali tidak pantas dinamakan pi-bu atau mengadu ilmu
silat untuk mengukur kepandaian masing-masing, lebih patut dinamakan serangan-
serangan yang mengarah nyawa lawan!
Akan tetapi, betapa terkejut hati Ji-ok ketika dia melihat bahwa semua serangannya itu,
betapa cepat dan kuatnya karena dia mengerahkan segenap tenaganya, tidak ada satu pun
yang mampu membobolkan pertahanan orang muda itu! Cu Kang Bu bergerak dengan
tenang sekali, mantap dan tubuhnya seolah-olah dilindungi oleh benteng baja yang tercip-
ta dari gerakan tubuhnya, setiap serangan dapat ditangkisnya dengan amat mudah dan
sekali-kali dia membalas dengan tamparan atau dorongan tangan yang mengandung
kekuatan dahsyat!
Ji-ok bukan seorang bodoh. Setelah melakukan penyerangan hampir lima puluh jurus
lamanya, dia sudah tahu bahwa tingkat kepandaian lawan itu ternyata luar biasa tingginya
dan sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan! Maka dia pun lalu mengeluarkan
suara melengking nyaring dan dia sudah mempergunakan ilmunya yang terbaru, ilmu
dahsyat sekali yang merupakan andalannya, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang)! Jari telunjuknya
bergerak dan hawa yang seperti kilat cepatnya, amat dingin dan tajamnya seperti pedang
pusaka, menyambar ke arah dada Cu Kang Bu! Hawa pukulan jari mujijat ini
mengeluarkan suara bercuitan amat mengerikan.
Cu Kang Bu maklum akan hebatnya pukulan itu, dia mengenal ilmu mujijat. Cepat dia
menangkis dengan dorongan telapak tangannya dari samping dan memutar lengan.
“Brett....!” Tetap saja lengan bajunya dekat pangkal lengan terobek oleh hawa pukulan
dari Kiam-ci! Karena dia tidak menyangka, maka kulit pangkal lengannya ikut terobek
dan mengeluarkan sedikit darah, seperti bekas dicakar kucing!
“Hi-hi-hik!” Ji-ok tertawa mengejek di balik kedoknya, akan tetapi suaranya tertawa itu
segera terhenti karena Cu Kang Bu kini sudah menyerangnya dengan hebat, kedua lengan
yang besar kuat itu bergerak-gerak bergantian ke depan, kedua kakinya juga menggeser
maju. Dari kedua telapak tangan itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah lawan! Ji-ok tidak berani menghadapi dengan kekerasan, maklum akan kekuatan lawan,
maka dia sibuk menghindarkan diri dan mengelak ke sana-sini, terus didesak oleh lawan.
Ji-ok menjadi marah sekali. Dia harus menang, demikian pikirnya. Di depan begitu
banyak orang kang-ouw, akan rusaklah nama besarnya kalau sampai dia kalah oleh
seorang lawan yang sama sekali tidak memiliki nama besar di dunia persilatan, walaupun
sungguh harus diakui bahwa tingkat kepandaian lawannya ini benar-benar amat tinggi.
Dia mengeluarkan bentakan yang menggetarkan seluruh tempat itu dan tiba-tiba, dalam
keadaan terdesak itu dia mengirim serangan balasan, kedua jari telunjuknya mencuat ke
depan seperti sepasang pedang dan ada hawa pukulan yang amat dingin menyambar
dahsyat ke arah lawan!
Diam-diam Cu Kang Bu terkejut. Serangan ini adalah serangan mengadu nyawa, karena
wanita berkedok tengkorak itu menyerangnya dengan sepenuh tenaga tanpa
mempedulikan penjagaan diri lagi, pendeknya ingin membunuh lawan dengan taruhan
nyawa sendiri! Tentu saja dia tidak sudi untuk mengorbankan nyawa dan mati bersama
lawan yang amat keji dan jahat ini. Dia pun mengeluarkan seruan panjang dan kedua
tangannya dibuka menyambut terjangan ganas itu.
“Bresss....!”
Dua tenaga sakti bertemu amat hebatnya dan akibatnya, tubuh Ji-ok terpelanting dan
terbanting ke belakang sampai bergulingan! Tubuh Cu Kang Bu tetap berdiri, akan tetapi
kedua lengannya berdarah karena kulitnya tergores seperti tergores pedang. Dia
menderita luka tergores kulitnya dan mengeluarkan darah sedangkan Ji-ok terbanting
keras, maka dalam adu tenaga ini pihak tuan rumah yang menang, sungguhpun mengenai
ilmu pukulan, sungguh Ji-ok memiliki Kiam-ci yang amat ganas dan dahsyat!
Ji-ok sudah meloncat bangun kembali, dan sebelum dia sempat menyerang lagi, tiba-tiba
terdengar gerengan keras, nampak bayangan besar berkelebat dan tahu-tahu Yeti, mahluk
raksasa itu telah berdiri di depannya dengan sikap beringas dan mengancam! Yeti
mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar, menggereng dan memukul-
mukul dada dengan tangan kiri seolah-olah menantang lawan, dan kemudian tangan
kanannya menunjuk-nunjuk keluar sambil menggereng. Jelas sekali gerakannya ini, yaitu
dia menantang Ji-ok kalau mau berkelahi, dan mengusir semua orang agar pergi
meninggalkan tempat itu!
“Cuuuuttt....!” Kiam-ci dari tangan kiri Ji-ok, yaitu telunjuk kirinya telah mengirim
serangan ke arah Yeti. Mahluk itu menggereng saja, seolah-olah kurang cepat mengelak
dan hawa pukulan dari telunjuk kiri itu mengenai dadanya, disusul telunjuk itu menotok
dadanya.
“Dukkk!” Ji-ok berteriak dan meloncat ke belakang. Hampir patah telunjuknya ketika
mengenai dada Yeti. Kiranya Yeti memiliki kekebalan yang amat luar biasa sehingga
ilmu pukulan itu tidak mempan. Dan pada saat itu Yeti menggerakkan lengannya. Hampir saja kepala wanita berkedok itu kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat membuang
tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali.
Melihat mahluk itu menyerang Ji-ok, Toa-ok sudah bergerak ke depan, kedua tangannya
membuat gerakan memutar dan ada angin dahsyat menyambar ke arah Yeti! Tubuh Yeti
yang tinggi besar itu terbawa oleh angin dahsyat ini sampai terhuyung, akan tetapi ketika
Toa-ok menampar dengan tangan kiri, Yeti juga menggerakkan tangannya dan tak dapat
dicegah lagi dua tangan itu saling beradu.
“Desss....!” Dan akibatnya, mereka berdua terpental ke belakang! Bukan main kagetnya
hati Toa-ok. Dia tadi telah mengerahkan tenaga sin-kangnya yang paling kuat, namun
Yeti itu dapat menangkisnya dan ternyata tenaga mereka seimbang! Dan dia tahu benar
bahwa Yeti itu juga memiliki tenaga sin-kang, bukan hanya tenaga otot seperti layaknya
binatang buas! Benar-benar dia tidak mengerti dan terheran-heran.
Seperti juga tadi, Yeti memukul-mukul dada sendiri dengan tangan kiri sedangkan tangan
kanannya menunjuk keluar seperti orang mengusir. Ngo-ok berlima kini sudah
mengepung Yeti dengan sikap mengancam. Melihat ini, Cu Han Bu bangkit berdiri dan
berkata, suaranya berwibawa dan tegas, “Harap Im-kan Ngo-ok suka mundur dan tidak
membikin ribut di tempat kami!”
Lima orang datuk kaum sesat itu melirik ke arah Cu Han Bu. Ji-ok mengeluarkan suara
ketawa mengejek, Su-ok dan Ngo-ok juga tersenyum menyeringai. Tentu saja di dalam
hati mereka tidak sudi mentaati permintaan orang yang dianggap masih muda itu. Akan
tetapi berbeda dengan saudara-saudaranya, Toa-ok dan Sam-ok yang cerdik melihat be-
tapa selain Cu Han Bu, juga Cu Seng Bu yang bermuka pucat dan Cu Kang Bu sudah
bangkit berdiri, juga Tang Cun Ciu wanita lihai itu. Yeti itu lihai sekali, dan keluarga Cui
itu pun tak boleh dipandang ringan, maka kalau mereka nekat, tentu mereka berlima akan
mengalami rugi. Toa-ok lalu tersenyum ramah dan menjura ke arah Cu Han Bu sambil
berkata, “Maaf.... maaf.... kami hanya main-main saja melihat Yeti menantang.”
Cu Han Bu memandang kepada Sim Hong Bu dan berkata, “Bujuk dia agar jangan
membikin ribut.”
Hong Bu lalu menghampiri Yeti, dipegangnya tangan Yeti itu sambil berkata. “Mari kita
duduk kembali dan tidak perlu membikin ribut di tempat ini....”
Yeti masih menggereng-gereng, akan tetapi dia menurut saja dituntun oleh Hong Bu ke
pinggir.
“Pek In, kau bagi-bagi pek-giok (batu kumala putih) itu kepada para tamu, masing-
masing sebutir!” tiba-tiba Cu Han Bu berkata kepada pemuda tanggung tampan yang
sejak tadi hanya menonton dengan anteng itu.
“Baik, Ayah.” jawab Cu Pek In. Pemuda tampan ini mengeluarkan sebuah kantung
kuning, membuka tali mulut kantung dan merogoh dengan tangan kanan. “Cu-wi, harap suka menerima pemberian hadiah dari Kim-siauw-san-kok!” katanya
nyaring dan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebutir batu berwarna putih bening
sebesar gundu dan dia melemparkan gundu itu ke arah Si Ulat Seribu. Bukan sembarang
lemparan karena gundu itu berobah menjadi sinar putih menyambar ke arah mata kanan
Si Ulat Seribu! Namun wanita berwajah buruk ini dengan mudah menyambut dan
menerima batu itu, memeriksanya penuh perhatian.
Cu Pek In sudah melempar-lemparkan batu-batu putih itu, satu demi satu ke arah para
tamu, setiap lemparan dilakukan dengan gaya yang indah namun batu itu meluncur
dengan cepatnya ke arah sasaran. Karena mereka yang menjadi tamu adalah orang-orang
kang-ouw yang rata-rata berilmu tinggi, tentu saja mereka semua dapat menerima
lontaran batu itu dengan mudah, akan tetapi diam-diam mereka pun terkejut karena
mereka dapat merasakan betapa tenaga lontaran pemuda tanggung itu sudah mengandung
tenaga sin-kang yang cukup kuat!
Hanya Hong Bu yang tidak diberi batu itu, demikian pula Yeti. Kepada Hong Bu,
pemuda tanggung yang tampan itu berkata halus. “Karena engkau dan Yeti telah
mengembalikan pedang pusaka kami, maka Ayahku sendiri yang akan memberi hadiah
kepada kalian.”
Hong Bu tidak menjadi kecewa. Dan tidak mengharapkan dan membutuhkan hadiah.
Dikembalikannya pedang pusaka kepada keluarga Cu itu adalah hal yang wajar dan
bahkan sudah sepatutnya, maka dia tidak mengharapkan upah apa pun.
“Harap Cu-wi tidak memandang rendah batu kecil itu.” terdengar Cu Han Bu berkata
kepada para tamu yang masih meneliti batu sebesar gundu di tangan mereka. “Itu adalah
pek-giok tulen. yang terdapat dalam tempat rahasia di Pegunungan Himalaya, dan
sebagai orang-orang kang-ouw, tentu Cu-wi tahu akan khasiat pek-giok yang tulen.
Apabila terkena racun apa pun, dia akan berubah menjadi hijau. Dengan pek-giok di
tangan, Cu-wi takkan sampai terjebak oleh makanan beracun.”
Semua orang tahu akan kegunaan pek-giok itu, maka mereka lalu menyimpan batu kecil
itu ke dalam saku baju masing-masing.
“Dan sekarang kami persilakan Cu-wi untuk meninggalkan tempat kami. Jite dan Sam-te,
kalian antar mereka keluar lembah. Sim Hong Bu, engkau dan Yeti tinggal dulu di sini,
kami akan bicara dengan kalian.” Sebetulnya penahanan tuan rumah terhadap Hong Bu
ini ada maksudnya. Melihat betapa pemuda tanggung itu tidak memiliki ilmu kepandaian
tinggi, dan para orang kang-ouw itu selain lihai juga di antara mereka banyak terdapat
orang-orang jahat seperti Im-kang Ngo-ok, maka melepas pemuda itu bersama mereka
sungguh merupakan hal yang amat berbahaya bagi pemuda itu. itu. Apalagi kalau
pemuda itu membawa hadiah pusaka yang berharga, tentu akan dirampas oleh mereka.
Biarpun ada Yeti yang agaknya melindungi pemuda itu, namun Yeti berada dalam
keadaan terluka dan hal ini diketahui benar oleh fihak tuan rumah yang bermata tajam itu.
Oleh karena itulah maka Cu Han Bu sengaja menahan Hong Bu agar keluarnya dari
tempat itu tidak berbareng dengan rombongan itu.
Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu lalu mengantar rombongan itu yang berjumlah delapan
belas orang, diikuti pula oleh Tang Cun Ciu dari belakang. Seperti ketika mereka
memasuki lembah, kini mereka pun harus menggunakan satu-satunya jalan keluar, yaitu
melalui jembatan tambang yang berbahaya di atas jurang yang amat lebar dan dalam itu.
Setelah mereka semua menyeberang sampai ke seberang sana, tiba-tiba tali yang menjadi
jembatan itu dikendurkan dan tali itu turun ke bawah sampai lenyap di balik kabut yang
memenuhi jurang di bawah itu.
Ketika Cu Seng Bu, Cu Kang Bu dan Tan Cun Ciu kembali ke rumah yang disebut Istana
Lembah Suling Emas itu, terjadi keributan di situ. Kiranya, setelah rombongan orang-
orang kang-ouw itu pergi, tiba-tiba Yeti mengeluh dan roboh terpelanting. Sim Hong Bu
terkejut sekali dan cepat dia berlutut di dekat tubuh Yeti. Ternyata Yeti itu telah roboh
pingsan dan dari mulutnya keluar darah menetes-netes!
“Yeti....! Yeti....! Ah, Locianpwe, tolonglah....!” Hong Bu berteriak dan Cu Han Bu cepat
menghampiri dan memeriksa keadaan Yeti dengan meraba dada, memeriksa urat nadi dan
lain-lain. Dan tuan rumah ini terkejut bukan main. Kiranya Yeti ini telah parah sekali ke-
adaannya, bukan hanya terluka di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga jalan
darahnya kacau-balau dan ada tanda-tanda bahwa darahnya keracunan hebat!
“Mari kita membawanya ke dalam untuk dirawat.” katanya singkat dan dengan bantuan
Hong Bu, mereka menggotong tubuh Yeti itu ke sebelah dalam dan merebahkannya ke
atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar kosong.
Cu Han Bu lalu meninggalkan kamar itu untuk mencari obat-obat yang kiranya dapat
menolong Yeti. Ketika itulah dua orang adiknya dan twakonya kembali ' dari mengantar
para tamu dan mereka pun terkejut mendengar bahwa Yeti telah pingsan dengan tiba-tiba
dan keadaannya payah sekali.
“Agaknya luka oleh Koai-liong-pokiam yang lama itu telah membuat dia keracunan dan
kini darahnya telah keracunan, juga perlawanannya terhadap banyak orang kang-ouw
mendatangkan luka parah dalam tubuhnya. Dan lebih-lebih lagi ketika dia tadi beradu
tenaga dengan Twa-ok, agaknya hal itu membuat lukanya semakin parah. Keadaannya
mengkhawatirkan sekali, betapapun juga, kita harus berdaya untuk menolongnya.” kata
Cu Han Bu kepada adik-adiknya dan twasonya. Mereka berempat lalu pergi ke kamar itu
dan Cu Han Bu sudah membawa obat-obat yang diperlukan.
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan kamar, mereka terkejut mendengar suara Hong
Bu yang memanggil-manggil sambil meratap sedih. “Ouwyang-locianpwe....! Ouwyang-
Locianpwe, kau.... sadarlah.
Cu Pek In yang diam-diam datang pula di belakang ayahnya dan paman-pamannya,
mendengar suara Hong Bu itu segera berkata heran. “Ah, bocah itu pun telah menjadi
gila!”
Akan tetapi ayahnya dan dua orang pamannya tidak mempedulikannya dan segera
meloncat masuk kamar. Mereka melihat Hong Bu berlutut dan mengguncang-guncang
tubuh Yeti sambil menangis! Kiranya Hong Bu yang melihat keadaan Yeti yang terus
mengeluarkan darah dari mulut itu menjadi sedemikian khawatir dan kasihan sehingga
dia memanggil-manggil dengan nama itu karena dia yakin bahwa Yeti adalah
penyamaran Ouwyang Kwan seperti yang riwayatnya dia baca dalam guha es. Apalagi
ketika tadi dia mendengar bisikan Yeti dalam keadaan tidak sadar, “Loan Si.... Loan
Si....“ maka dia tidak ragu-ragu lagi.
Melihat masuknya keluarga Cu, Hong Bu sadar dan terkejut bahwa dia telah membuka
rahasia itu, maka untuk menutupinya dia berkata, “Locianpwe, harap Locianpwe sudi
menolong Yeti....“
Akan tetapi Cu Kang Bu yang kasar itu telah menangkap bahunya dan menariknya
bangun. Kau tadi menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe! Siapa dia?” Pertanyaan itu
amat keras dan agak membentak.
Akan tetapi Hong Bu adalah seorang anak yang luar biasa tabah dan tidak pernah
mengenal takut. Makin diperlakukan dengan kasar, dia akan semakin melawan. Maka
dengan mata melotot dia menatap orang yang mencengkeram bahunya itu tanpa
menjawab! Melihat ini, Cu Kang Bu yang paling menghargai keberanian, diam-diam
merasa kagum sekali. Dan Cu Han Bu segera berkata halus, “Sim Hong Bu, engkau tadi
menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe, ada hubungan apakah nama itu dengan Yeti ini?”
Ditanya secara halus, Hong Bu yang sudah dilepaskan bahunya itu menjadi cair
kemarahannya, dan dengan muka menunduk dan halus dia berkata. “Maaf, Locianpwe.
Saya tidak berani bicara tentang itu....“
“Sim Hong Bu, engkau menyebut nama Ouwyang-locianpwe, apakah engkau hendak
maksudkan bahwa Yeti ini adalah seorang yang bernama Ouwyang Kwan....?”
Diam-diam Hong Bu terkejut dan menyesal sekali bahwa dalam kekhawatirannya akan
keselamatan Yeti itu tadi dia telah lupa diri dan menyebut-nyebut nama itu, Ouwyang
Kwan telah bersusah payah menyembunyikan diri dan menyamar sebagai Yeti, tentu ada
sebabnya, maka kalau dia sekarang membuka rahasia sungguh dia merasa bersalah besar
terhadap Yeti yang sudah menjadi penolong jiwanya berkali-kali itu.
“Tidak.... tidak tahu.... saya tidak berani bicara....” ratapnya.
“Ah, tidak mungkin!” kata Cu Kang Bu keras.
“Dia ini.... Ouwyang Kwan....? Mana mungkin....!” kata pula Cu Seng Bu.
Tiba-tiba Yeti yang tadi tidak bergerak-gerak itu mengeluarkan suara gerengan, Hong Bu
meloncat bangun dan menubruk dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut
mendengaar Yeti itu bicara, suaranya kaku dan aneh, seperti suara orang yang sudah
hampir lupa akan bahasanya. “Dia.... anak ini.... benar.... aku adalah.... Ouwyang....
Kwan....“
Mendengar ini, tiga orang pria itu terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat
pembaringan sambil menyebut, “Twa-supek....!” Melihat ini, Tang Cun Ciu juga ikut
menjatuhkan diri dan juga Cu Pek In lalu berlutut sambil memandang dengan mata
terbelalak.
Tentu saja Sim Hong Bu menjadi terkejut, heran dan juga girang! Kiranya Ouwyang
Kwan benar adalah Yeti ini dan ternyata meisih keluarga orang-orang gagah ini! Malah
mereka menyebut Twa-pek, berarti bahwa Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti
adalah kakak dari ayah tiga orang she Cu itu.
“Ouwyang Twa-pek.... kenapa Twapek menjadi begini....?” Cu Han Bu bertanya dengan
suara halus penuh penghormatan.
“Krettt....!” Tiba-tiba Yeti itu menggunakan keedua tangannya merobek bibirnya yang
tebal dan terobeklah muka Yeti menjadi dua, dan nampak kini wajah seorang laki-laki
yang tua, sedikitnya ada tujuh puluh tahun usianya, rambut, alis dan jenggotnya sudah
putih semua, dan sepasang matanya kelihatan penuh duka. Kiranya Yeti itu hanya
merupakan kedok saja, kedok yang amat bagus dan agaknya sudah menempel pada muka
pria itu karena ketika dirobek, ada sebagian leher dan pipi kakek itu yang lecet-lecet dan
berdarah! Kedua mata tua itu berlinang air mata dan dari ujung mulutnya masih menetes-
netes darah segar.
Dengan suara yang amat kaku karena puluhan tahun tidak pernah bicara, kakek itu lalu
berkata lirih dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian. Aku.... aku
seperti baru sadar dari mimpi buruk.... dalam saat terakhir ini baru aku sadar bahwa aku
telah berobah menjadi mahluk ganas....“
“Harap Twa-pek jangan berkata demikian. Twa-pek terlampau lelah dan terluka, biarlah
kami merawat Twa-pek sampai sembuh. Sementara ini sebaiknya Twa-pek mengaso....“
kata Cu Han Bu dengan lembut.
Akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kanannya yang besar dan masih merupakan
tangan Yeti. “Tidak ada gunanya.... aku akan mati.... akan tetapi aku harus lebih dahulu
menceritakan semuanya kepada kalian keponakan-keponakanku.... dan meninggalkan
pesan untuk.... bocah ini....“ Tangan yang besar itu mengelus kepala Sim Hong Bu yang
masih berlutut di dekatnya dengan penuh kasih sayang.
Kakek yang menyamar sebagai Yeti selama puluhan tahun itu lalu bercerita. Dia bernama
Ouwyang Kwan, dan di dalam keluarga Cu, sebenarnya dia adalah keturunan luar. Ibunya
she Cu yang menikah dengan seorang luar she Ouwyang. Akan tetapi karena dia memiliki bakat yang amat baik dalam ilmu silat, maka oleh keluarga Cu dia diberi hak
untuk mewarisi ilmu-ilmu keluarga itu yang amat tinggi. Bahkan kakeknya, yaitu Cu Hak
pembuat pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu amat sayang kepada cucu luar yang
berbakat ini.
Akan tetapi ketika Ouwyang Kwan telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa,
terjadilah malapetaka itu. Di Lembah Gunung Suling Emas datang sepasang suami isteri
yang masih pengantin baru, yaitu pendekar silat dan sastrawan yang bernama Kam Lok
dan berjuluk Sin-ciang Eng-hiong bersama isterinya yang bernama Loan Si, seorang
wanita yang amat cantik. Hati Ouwyang Kwan yang masih muda dan belum
berpengalaman itu seketika jatuh dan tergila-gila kepada isteri orang itu! Karena dia
bersikap menggoda terhadap Loan Si, maka terjadilah kesalah-pahaman dan terjadilah
perkelahian antara Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan Ouwyang Kwan. Dalam
pertandingan ini, Ouwyang Kwan harus mengakui kelihaian lawannya dan dia tahu
bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, dia tidak akan menang. Sesuai dengan
julukannya, yaitu Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar Bertangan Sakti), Kam Lok memiliki
ilmu silat yang hebat dan kekuatan tangannya mengejutkan. Akan tetapi, keluarga Cu lalu
melerai dan melihat bahwa keluarga fihak mereka yang bersalah, keluarga Cu lalu
menegur Ouwyang Kwan minta maaf kepada suami isteri yang menjadi tamu itu.
Kam Lok dan isterinya lalu berpamit dan meninggalkan Lembah Suling Emas. Akan
tetapi, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-gila itu lalu mencuri pedang pusaka Koai-
liong-pokiam peninggalan kakeknya Cu Hak, lalu minggat dari Lembah Suling Emas!
“Aku.... aku berdosa kepada keluarga Lembah Suling Emas....” demikian kakek yang
menyamar sebagai Yeti itu berkata, menghentikan ceritanya sebentar. Semua orang
mendengarkan dengan hati amat tertarik, dan Sim Hong Bu kini mengerti mengapa
keluarga Cu merahasiakan kehilangan pedang pusaka keluarga itu kepada para tokoh
kang-ouw. Kiranya pedang itu hilang dari keluarga Lembah Suling Emas karena dicuri
dan dilarikan oleh seorang anggauta keluarga mereka sendiri!
Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya dengan suara lirih dan terputus-putus. Beberapa
kali para anggauta keluarga Cu itu hendak menghentikan ceritanya, melihat keadaan
kakek itu yang payah, akan tetapi Ouwyang Kwan memaksa, bahkan mengatakan bahwa
ceritanya itu merupakan pesan terakhir!
Dengan pedang pusaka keluarganya sendiri di tangan, Ouwyang Kwan mengejar Sin-
ciang Eng-hiong Kam Lok dan dengan terang-terangan dia minta agar Loan Si diberikan
kepadanya! Tentu saja Kam Lok menjadi marah. Mana mungkin isteri diminta orang
begitu saja? Dan tentu saja pertemuan itu disusul dengan perkelahian yang lebih seru dan
dahsyat lagi. Akan tetapi kini Ouwyang Kwan memegang Koai-liong-pokiam, sebatang
pedang pusaka yang amat ampuh. Dan dengan pedang di tangan ini, Ouwyang Kwan
membuat lawannya terdesak dan akhirnya Sin-ciang Eng-hiong tidak kuat melawan terus,
dan melarikan diri bersama isterinya.
Maka terjadilah kejar-kejaran. Setiap kali terkejar, Kam Lok melawan hanya untuk
mengakui keunggulan Ouwyang Kwan, atau, lebih tepat kehebatan Koai-liong-pokiam
karena sesungguhnya pedang pusaka itulah yang membuat Ouwyang Kwan dapat
membuat lawannya repot.
Tanpa adanya pedang itu Ouwyang Kwan takkan mampu menandingi Kam Lok. Dan
akhirnya, Kam Lok dan isterinya berputar-putar di daerah Pegunungan Himalaya dan
bersembunyi di dalam guha batu dan es. Akan tetapi, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-
gila kepada Loan Si, yang sudah bersumpah tidak akan berhenti mengejar sebelum dia
dapat memiliki wanita yang membuat dia jatuh hati itu, terus mencari dan bertemulah
kedua orang musuh besar ini di dalam guha! Terjadilah perkelahian mati-matian yang
amat seru, akan tetapi akhirnya, pedang Koai-liong-pokiam bersarang di dada Kam Lok
dan pendekar itu pun tewaslah!
Akan tetapi, kenyataan tidaklah sama indahnya dengan apa yang dicita-citakan dan
diharapkan. Biarpun Ouwyang Kwan berhasil membunuh Kam Lok, namun dia tidak
berhasil menundukkan hati Loan Si. Wanita ini tidak mau diperisteri olehnya. Loan Si
hanya mencinta seuaminya seorang, dan tentu saja terhadap Ouwyang Kwan, dia tidak
hanya bersikap tidak peduli dan tidak mau membalas cintanya, bahkan timbul rasa
bencinya karena pendekar gagah perkasa ini telah membunuh suaminya! Segala bujuk
rayu Owyang Kwan tidak menarik hatinya dan tidak ada hasilnya. Untuk menggunakan
kekerasan, Ouwyang Kwan tidak mau. Dia bukan seorang pria yang begitu rendahnya
untuk memperkosa wanita, dan pula, wanita itu amat dicintanya sehingga dia tidak tega
untuk menghinanya. Dia menghendaki agar Loan Si menyerahkan diri kepadanya dengan
sukarela! Dan ternyata hal itu sama sekali tidak mungkin sehingga akibatnya dia sendiri
yang merana dan mulailah dia menyerahkan perbuatannya terhadap Kam Lok yang sama
sekali tidak bersalah kepadanya itu.
Betapapun juga, gairah cintanya terhadap Loan Si makin menghebat dan inilah yang
membuat dia makin merana. Api berahi berkobar-kobar di dalam dirinya dan dia seperti
orang terbakar dari sebelah dalam. Ketika pada suatu hari dia melihat betapa takutnya
Loan Si melihat seekor biruang besar di luar guha, Ouwyang Kwan lalu mendapat akal.
Diam-diam ia membunuh biruang salju itu, mengulitinya dan dia lalu memakai kulit
biruang salju itu sebagai kedok, dengan sedikit merobah muka atau kulit muka biruang
itu. Maka terciptalah Yeti, manusia salju mengerikan. Dengan penyamaran ini, dia
hendak menakut-nakuti Loan Si dengan harapan agar dalam keadaan takut itu Loan Si
mau menoleh kepadanya, minta tolong kepadanya, dan menyerahkan diri dengan suka
rela kepadanya!
Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Memang tadinya Loan Si ketakutan
setengah mati. Munculnya biruang setengah monyet setengah manusia itu amat
mengejutkan hatinya dan hampir membuat dia pingsan. Akan tetapi, pada saat dia
ketakutan dan hampir memanggil musuh besarnya, Ouwyang Kwan, untuk menolong dan
melindunginya, dia teringat akan kebenciannya terhadap Ouwyang Kwan dan
mengurungkan niatnya itu. Lebih baik dia dibunuh mahluk ini daripada minta tolong
kepada Ouwyang Kwan!
Dan terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Ouwyang Kwan! Loan Si
bukan menjadi takut kepada Yeti dan bukan minta tolong kepadanya, bahkan Loan Si
menyerahkan dirinya kepada Yeti ! Wanita cantik jelita itu, yang membuatnya tergila-
gila, menolaknya mati-matian dan kini menyerahkan diri kepada Yeti yang begitu
mengerikan, menjijikkan dan menakutkan! Akan tetapi, karena yang menjadi Yeti itu
adalah Ouwyang Kwan, maka melihat penyerahan diri wanita yang membuatnya tergila-
gila itu, dia lupa diri dan terjadilah cinta semalam suntuk di depan mayat Kam Lok yang
dibiarkan membeku dalam tumpukan salju dan es di dalam guha itu! Biarpun dia masih
menyamar sebagai Yeti, namun Ouwyang Kwan mencurahkan seluruh cinta kasihnya
malam itu kepada Loan Si, tak pernah mengenal puas. Di lain fihak, Loan Si juga merasa
betapa dia jatuh cinta kepada mahluk buas itu! Maka terjadilah hal yang luar biasa itu,
saling memberi dan saling mengambil, dengan sepenuh hati, dengan mesra dan juga
dengan buas dan liar! Akhirnya, Ouwyang Kwan tidur kelelahan sambil memeluk tubuh
wanita yang dicintanya.
Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Loan Si terbangun lebih dulu dan mendapat
kenyataan bahwa semalam suntuk tadi dia telah menyerahkan diri, dengan sukarela,
bahkan dengan panas, kepada Ouwyang Kwan! Ada rasa bahagia dalam hatinya, karena
memang dia mulai tertarik dan jatuh cinta kepada pria ini, akan tetapi perasaan malu
terhadap jenazah suaminya yang semalam suntuk telah “menonton” perbuatannya yang
berjina itu, jauh lebih besar daripada rasa senangnya. Dia malu, dan dia merasa telah
mengkhianati suaminya yang tercinta. Dan dia melihat pedang pusaka Koai-liong-pokiam
menggeletak di dekat tubuh Ouwyang Kwan. Maka disambarnya pedang itu dan di lain
saat pedang itu telah menembus jantungnya!
Bercerita sampai di sini, kedua mata tua Ouwyang Kwan menitikkan air mata. “Aku
manusia berdosa.... aku telah menjadi Yeti, mahluk buas....!” demikian keluhnya. Semua
pendengarnya memandangnya dengan muka pucat, kecuali Hong Bu yang memang sudah
tahu akan cerita itu, sudah dibacanya catatan dari suami isteri yang mati di dalam guha
itu. Kemudian Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya.
“Melihat wanita yang kucinta sepenuh nyawaku itu roboh tak bernyawa di sampingku,
bergelimang darah yang keluar dari dadanya karena tusukan pedang Koai-liong-pokiam,
aku menjadi seperti gila. Dan memang aku telah gila.... aku telah gila....!” Kembali
Ouwyang Kwan menghentikan ceritanya dan menangislah kakek itu!
Kemudian, dengan suara yang semakin payah, dengan napas satu-satu yang menyesak
dada, Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya. Dia pun mendudukkan wanita yang tercinta
itu di samping Kam Lok, membiarkan tubuh Loan Si membeku terbungkus es seperti
keadaan mayat Kam Lok. Kedukaannya membuat dia seperti linglung, apalagi ketika
ditemukannya buku catatan Kam Lok yang kemudian disambung dengan catatan Loan Si
yang menyatakan betapa wanita itu mulai meragu, mulai jatuh cinta kepadanya, akan
tetapi munculnya Yeti itu menggagalkan segalanya! Kiranya sebelum membunuh diri,
Loan Si masih sempat melanjutkan tulisannya dalam buku catatan itu. Makin hancur rasa
hati Ouwyang Kwan dan dia tidak lagi mau menanggalkan penyamarannya sebagai Yeti!
Dia merasa dirinya bukan manusia, lebih patut menjadi mahluk buas Yeti!
“Pedang pusaka itu yang telah membunuh Kam Lok dan Loan Si, membuat aku benci
melihatnya dan kubuang jauhjauh ke dalam jurang yang curam.” demikian katanya. “Dan
aku tidak ingat apa-apa lagi, tidak ingat bahwa aku adalah manusia. Aku merasa bahwa
aku adalah Yeti, mahluk buas!” Dia berhenti dan memejamkan mata, seolah-olah merasa
ngeri setelah dia kini teringat akan semua itu.
“Kemudian, pada suatu hari, aku melihat seorang wanita yang membawa pedang itu. Aku
mengenal pedang itu dan timbul kemarahanku. Apalagi ketika wanita itu menyerangku.
Agaknya, selama aku lupa segalanya itu, hanya Ilmu silat yang tak pernah kulupakan,
bahkan aku memperdalam ilmu silat selama puluhan tahun itu....!
“Maafkan saya, Ouwyang Twa-pek....” terdengar Cui-beng Sian-li Tang, Cun Ciu berkata
ketika mendengar penuturan itu.
“Ya, engkaulah wanita itu. Aku mulai teringat segalanya ketika Sim Hong Bu ini
membawaku ke lembah ini. Ketika aku melarikan diri, kalian belum ada di dunia ini,
akan tetapi mendengar semuanya, aku teringat kembali dan aku mulai mengerti. Tubuhku
telah kulatih sehingga kebal terhadap segala macam senjata, namun agaknya tidak cukup
kebal menghadapi Koai-liong-pokiam.... ah, pedang yang kupakai membunuh Kam Lok
dan telah menembus jantung Loan Si kekasihku itu, kini ternyata mengantar pula
nyawaku ke alam baka menyusul mereka. Aku tidak penasaran....”
Sampai di sini Ouwyang Kwan mengeluh panjang dan roboh pingsan. Tentu saja tiga
orang kakak beradik Cu itu menjadi sibuk dan berusaha menolong. Kini semua orang
mengerti atau dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya pedang pusaka itu setelah
dibuang oleh Ouwyang Kwan ke dalam jurang, kemudian ditemukan oleh seseorang dan
akhirnya pedang pusaka itu, entah bagaimana, mungkin melalui jual beli yang mahal,
terjatuh ke tangan Kaisar dan menjadi pengisi kamar pusaka istana. Ketika hal ini
diketahui oleh keluarga di Lembah Suling Emas, Tang Cun Ciu lalu menerima tugas
untuk mengambilnya kembali. Pencurian atau lebih tepat pengambilan kembali pedang
ini menggegerkan dunia kang-ouw.
Seperti diketahui, Tang Cun Ciu yang membawa pulang pedang itu, di tengah perjalanan
bertemu dengan Yeti dan karena kaget dan takut, dia menyerang mahluk itu. Terjadi
perkelahian dan ternyata mahluk itu terlalu tangguh bagi Tang Cun Ciu sehingga ketika
pedang pusaka itu berhasil menusuk paha Yeti, wanita ini melarikan diri. Dan terjadilah
peristiwa-peristiwa yang menggegerkan itu di daerah Pegunungan Himalaya.
Pada malam hari itu, Ouwyang Kwan siuman dari pingsannya. Tiga orang kakak beradik
Cu itu yang merupakan ahli-ahli pula dalam urusan kesehatan, maklum bahwa keadaan
Twa-pek mereka tidak mungkin dapat tertolong lagi. Seluruh darah telah keracunan dan
luka di dalam tubuh Twa-pek itu pun amat hebat. Dengan napas terengah-engah
Ouwyang
Kwan yang tubuhnya panas sekali itu memberi isyarat kepada Hong Bu untuk mendekat.
Pemuda tanggung ini maju berlutut dan Ouwyang Kwan membelai kepalanya. Kemudian kakek itu memandang kepada kakak beradik Cu yang berkumpul dalam kamar
itu,laluberkata lemah sekali.
“Dia ini sudah kupilih menjadi muridku.... jadi terhitung saudara kalian sendiri.... aku ada
mencatatkan ilmu pedang yang kuciptakan di balik kulit Yeti ini.... baru kalian boleh
buka setelah aku mati.... dan kupesan agar kalian menuntun Sim Hong Bu ini untuk
mempelajarinya dan sampai dapat menguasainya.... dan karena ilmu ini kuciptakan untuk
pedang Koai-liong-pokiam.... maka kuminta.... kelak kalau dia sudah menguasai ilmu-
nya.... kalian serahkan pedang itu kepadanya....” Mulut itu masih bergerak-gerak, akan
tetapi tidak ada suaranya lagi dan kepalanya lalu terkulai, maka tamatlah riwayat
Ouwyang Kwan yang hidup merana karena asmara gagal itu.
Sim Hong Bu seorang yang menangisi kematian kakek itu. Dia merasa suka, sayang dan
kasihan kepada “Yeti” ini, dan kematiannya amat menyedihkan. Tiga orang kakak
beradik Cu lalu mengurus jenazah twa-pek mereka, dengan hati-hati membuka kulit
biruang yang sudah melekat pada kulit twa-pek mereka itu sehingga di sana-sini kulit
Twa-pek itu ikut terobek dan lecet-lecet. Dan ternyata bahwa di sebelah dalam kulit ini
terdapat coretan-coretan ilmu yang dimaksudkan itu. Dengan hati-hati Cu Han Bu lalu
menyimpan kulit itu dan dengan penuh khidmat jenazah Ouwyang Kwan itu lalu
dibersihkan, kemudian dilakukan pembakaran jenazah itu dalam keadaan berkabung.
“Mulai sekarang, Sim Hong Bu, engkau sudah murid kami! Ingat, murid Lembah Suling
Emas harus bersumpah untuk melaksanakan semua peraturan yang ada pada keluarga
kami. Pertama, engkau tidak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ijin dari kami. Ke dua,
engkau tidak boleh mengajarkan ilmu-ilmu dari kami kepada orang lain tanpa persetujuan
dari keluarga kami. Ke tiga, engkau harus menjunjung tinggi nama Lembah Gunung
Suling Emas dan tidak menyeret nama baiknya dengan perbuatan-perbuatan jahat. Masih
ada peraturan-peraturan tambahan yang kelak akan diberitahukan kepadamu, dan kalau
engkau melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan kami, maka engkau akan
dianggap musuh oleh Lembah Suling Emas.”
Sim Hong Bu menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang laki-laki gagah perkasa itu,
disaksikan Tang Cun Ciu dan Cu Pek In yang tersenyum-senyum melihat ini semua.
“Bagimu aku adalah Twa-suhu, Cu Seng Bu adalah Ji-suhu, dan Cu Kang Bu adalah
Sam-suhu. Akan tetapi karena aku telah dan sedang mengajarkan ilmu-ilmu kepada
anakku sendiri, maka Ji-suhu dan Sam-suhumu yang akan membimbingmu.”
Sim Hong Bu yang sudah yatim piatu itu merasa girang dan cepat memberi hormat dan
menyatakan sumpahnya. Demikianlah, mulai saat itu Sim Hong Bu diterima sebagai
“anggauta keluarga” Lembah Suling Emas, suatu hal yang amat beruntung baginya, dan
hal itu hanya mungkin terjadi karena pertemuannya dengan Yeti!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Hong bersama Bu Ci Sian yang terasing dari
dunia sekitarnya karena terdampar ke “pulau” yang merupakan gunung diselimuti es yang terkurung jurang-jurang yang amat curam sehingga tidak memungkinkan mereka
keluar dari “pulau” itu!
Biarpun dia terkurung di tempat itu, namun Kam Hong tidak merasa kesal. Pertama,
kakinya yang patah tulangnya itu memerlukan waktu untuk sembuh sehingga andaikata
tidak terkurung dan terasing pun, dia toh tidak dapat pergi ke mana pun dan perlu
berisirahat dan menghimpun kekuatan untuk mempercepat pertumbuhan tulangnya yang
patah. Selain itu, semenjak dia menemukan ilmu dari catatan di tubuh jenazah kakek
kuno itu, Kam Hong dengan amat tekunnya melatih diri. Setiap hari dia berlatih meniup
suling! Memang sungguh luar biasa kalau dipikir betapa sejak kecilnya Kam Hong sudah
pandai sekali meniup suling. Akan tetapi dia meniup suling untuk berlagu merdu dan
sekali ini dia belajar meniup suling dengan cara yang lain sama sekali! Kini dia belajar
meniup suling sebagai cara untuk berlatih agar dia bisa mencapai tingkat yang amat
tinggi dalam ilmu sin-kang dan khi-kang! Dia berlatih menurut petunjuk dalam catatan
yang dibuat oleh Ci Sian itu, dan karena catatan itu merupakan huruf-huruf kuno yang
ditiru oleh Ci Sian yang kadang-kadang hanya mencontoh saja tanpa tahu artinya, maka
sebelum melatih diri dia harus lebih dulu meneliti apa yang menjadi isi dan maksud dari
catatan-catatan itu. Dan setelah dia melatih diri, barulah dia tahu bahwa ilmu itu bukanlah
ilmu sembarangan dan amat sukar untuk dapat meniup suling seperti yang dimaksudkan
oleh nenek moyang Suling Emas yang aseli itu!
Ketika terjadi pertempuran antara Yeti dan para orang kang-ouw di puncak yang berada
di seberang sana, dari jauh Kam Hong dapat melihat peristiwa itu. Tentu saja hatinya
ingin sekali untuk menghampiri dan menonton pertempuran dahsyat itu, akan tetapi
kakinya dan tempat di mana dia berada tidak memungkinkan hal itu, maka dia hanya
dapat melihat dari jauh dan tidak tahu siapa yang bertempur itu dan apa yang terjadi
kemudian karena tak lama setelah pertempuran itu, orang-orang yang nampak di atas
puncak di seberang itu pun menghilang. Tentu saja dia tidak melihat betapa orang-orang
kang-ouw itu disambut oleh penghuni Lembah Suling Emas.
Dengan tekun sekali sehingga lupa akan keadaan dirinya yang berada di tempat terasing
itu, Kam Hong terus belajar menyuling. Hal ini tentu saja jauh bedanya dengan keadaan
Bu Ci Sian. Dara cilik ini setiap hari murung saja karena merasa kesal! Bagaimana dia
tidak menjadi kesal? Berada di tempat terasing itu, setiap hari hanya makan panggang
daging burung dan hanya kadang-kadang saja dia dapat menangkap binatang kelinci yang
sesungguhnya adalah tikus salju. Siapa tidak akan menjadi bosan? Akan tetapi
kekesalannya itu segera berubah ketika dia mulai menerima petunjuk dari Kam Hong
yang mulai mengajarnya dengan ilmu-ilmu silat atau dasar-dasar ilmu silat tinggi dan
ternyata Ci Sian merupakan seorang murid yang cerdas dan juga berbakat. Demikianlah,
dua orang itu melewatkan waktu dan mengusir kekesalan dengan berlatih ilmu. Hanya
suara suling yang itu-itu saja, tanpa melagu, hanya tuat-tuit kadang-kadang panjang
kadang-kadang pendek itu kadang-kadang menimbulkan kebosanan pada Ci Sian dan
kalau sudah begitu dia lalu murung dan tidak mau berlatih, kadang-kadang marah. Baru
setelah Kam Hong menghiburnya dengan kata-kata manis kemarahannya berkurang
kemudian lenyap lagi.
“Paman Kam Hong, aku pernah mendengar engkau meniup suling itu dengan lagu yang
amat merdu dan indah menyenangkan, mengapa sekarang setelah engkau mempelajari
catatan-catatan dari kakek pelawak itu engkau kini belajar menyuling seburuk itu? Hanya
tuat-tuit menulikan telinga saja!” Pernah Ci Sian menegur Kam Hong yang sedang
meniup suling emasnya.
Kam Hong tersenyum. “Ah, engkau tidak tahu, Ci Sian, Kelihatannya saja aku belajar
meniup suling, akan tetapi sesungguhnya ini merupakan pelajaran latihan sin-kang dan
khi-kang yang paling tinggi tingkatnya!”
“Aihhh....!” Anak perempuan itu memandang dengan mata terbelalak dan diam-diam
Kam Hong harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah melihat mata seindah
itu! “Kalau begitu, kauajarilah aku meniup suling seperti itu, Paman! Ingat, aku pun
membantumu mencatat pelajaran itu, aku berhak mempelajarinya!”
Kam Hong tersenyum dan mengangguk. “Jangan khawatir Ci Sian. Memang kita berdua
yang menemukan jenazah dan pelajaran itu. Akan tetapi ketahuilah, pelajaran meniup
suling ini sama sekali tidaklah mudah, melainkan merupakan latihan sin-kang dan khi-
kang tingkat tinggi. Engkau tidak akan mungkin dapat melatihnya sebelum engkau
memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Maka, biarlah kuajarkan engkau latihan sin-kang
melalui siulian dan kelak, kalau engkau sudah kuat, aku mau memberimu pelajaran dari
catatan ini.”
Dan Ci Sian mulai melatih dengan menghimpun tenaga sin-kang seperti yang diajarkan
oleh Kam Hong. Dengan latihan-latihan ini setiap hari maka sang waktu lewat tanpa
terlalu menimbulkan kejemuan biarpun mereka setiap hari harus makan daging burung
dan tikus!
Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan setelah tiga bulan, Kam Hong yang sudah
memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat itu, yang sukar dicari bandingnya, ternyata baru
mampu berlatih meniup suling dengan satu lubang saja. Baru tingkat permulaan dari
latihan menurut catatan itu! Betapapun juga, giranglah hati Kam Hong karena biarpun
baru mencapai tingkat permulaan, ternyata kini sin-kangnya sudah bertambah kuat, jauh
lebih maju dibandingkan dengan sebelum dia berlatih meniup suling.
Pada suatu pagi, selagi dia asyik berlatih meniup suling, dia mendengar jerit panjang
yang mendirikan bulu romanya, karena dia mengenal suara itu adalah suara Ci Sian!
Suara jerit mengerikan seolah-olah dara itu berada dalam ancaman bahaya besar dan
dalam keadaan ketakutan. Dengan hati penuh kekhawatiran, sekali menggerakkan tubuh,
Kam Hong telah meloncat jauh dari tempat duduknya, ke arah suara itu dan berlarilah dia
secepatnya. Kini kakinya telah sembuh dan tulang yang patah telah tersambung kembali.
Biarpun telah sembuh selama beberapa hari, namun biasanya dia masih amat berhati-hati
kalau berjalan. Akan tetapi pada saat itu, begitu mendengar jerit suara Ci Sian, dia lupa
akan kakinya dan berlari secepatnya dan ternyata bahwa kakinya yang patah tulangnya
itu kini telah benar-benar sembuh sama sekali.
Akan tetapi, ke mana pun Kam Hong lari dan mencari, dia tidak melihat dara itu! Padahal
tadi jeritnya terdengar jelas di tepi sebelah barat dari bukit atau pulau terpencil terkurung
jurang itu! Berlarilah Kam Hong ke sana ke mari, mengelilingi sepanjang tepi jurang.
Dan mulailah dia merasa gelisah sekali.
“Ci Sian....” Dia memanggil dan terkejutlah dia karena di dalam suaranya itu terkandung
tenaga khi-kang yang amat hebat sehingga suaranya menggetarkan seluruh permukaan
bukit es itu. Tak disangkanya bahwa latihan selama tiga bulan meniup suling itu telah
mendatangkan tenaga yang demikian kuatnya, padahal dia baru saja dapat menutup
sebuah lubang dari suling itu yang berlubang enam buah. Akan tetapi kenyataan yang
menggirangkan ini tak terasa oleh hatinya yang penuh dengan kekhawatiran tentang Ci
Sian.
“Ci Sian, di mana engkau....?” Dia berlari-lari lagi, kini sambil berteriak-teriak
memanggil nama dara itu. Namun hasilnya sia-sia belaka. Ci Sian lenyap dari tempat itu,
seolah-olah ditelan bumi.
Mengingat hal ini, tersirap darah Kam Hong dan wajahnya berubah pucat. Ditelan bumi
ataukah ditelan jurang yang mengerikan itu? Jantungnya seperti ditusuk rasanya. Apakah
Ci Sian tergelincir dan jatuh ke dalam jurang yang sedemikian curamnya sehingga tidak
nampak dasarnya dari atas itu? Kalau begitu halnya, tidak mungkin gadis cilik itu
tertolong nyawanya!
“Ci Sian....!” Dia mengeluh dan memejamkan mata, hendak mengusir bayangan yang
demikian mengerikan, bayangan Ci Sian terjungkal ke dalam jurang dan mengalami
kematian menyedihkan jauh di bawah sana. Dan dia pun bertekad untuk menyelidiki dan
mencarinya. Kakinya sudah sembuh benar, dia hendak mencoba untuk mencari jalan,
kalau perlu menuruni jurang yang suram sekali itu!
Ke manakah perginya Ci Sian?
Kekhawatiran dalam hati Kam Hong memang benar, dan malapetaka menimpa dara itu
seperti yang dibayangkannya. Ketika Kam Hong sedang berlatih meniup suling, seperti
biasa Ci Sian mencari burung untuk ditangkap dan dijadikan sarapan pagi mereka. Ketika
dia melihat seekor burung putih seperti dara di antara kelompok burung yang biasa,
timbul keinginannya untuk menangkap burung itu. Tentu rasa dagingnya lain, pikirnya.
Akan tetapi burung putih itu gesit sekali. Beberapa kali disambitnya burung itu dapat
mengelak dan berpindah-pindah tempat. Ci Sian terus mengejarnya dan akhirnya, ketika
burung itu melayang turun di tepi jurang, dia menyambitnya dengan batu dan berhasil! Ci
Sian bersorak girang dan berlari-lari menghampiri, akan tetapi alangkah kecewa hatinya
melihat burung itu tergelincir dari atas tebing. Dia menjenguk dan melihat bangkai
burung itu kurang lebih dua meter dari tebing, tertahan oleh batu besar di dinding tebing.
Burung itu telah mati, angin gunung membuat bulu dada burung itu bergerak-gerak
tersingkap memperlihatkan kulit dada yang putih dan mulus, montok dan berdaging
menimbulkan selera Ci Sian. Hanya dua meter dan di situ ada batu besar menahan,
pikirnya. Batu itu tentu akan cukup kuat menahanku, pikirnya dan dengan nekad karena dia terangsang oleh daging burung itu. Ci Sian lalu merayap turun dari tepi tebing yang
amat curam itu. Dia merosot dan berhasil menginjak batu besar itu, lalu mengambil
burung yang gemuk itu dengan girang. Burung itu masih hangat dan enak sekali terasa di
telapak tangan. Akan tetapi, tiba-tiba batu besar yang menahan tubuhnya itu bergerak. Ci
Sian terkejut bukan main dan sebelum dia dapat memanjat naik, batu itu telah runtuh dan
membawa tubuhnya bersama-sama melayang ke bawah! Ci Sian mengeluarkan suara jerit
melengking yang terdengar oleh Kam Hong tadi, akan tetapi sebentar saja tubuhnya
sudah ditelan oleh udara yang tertutup kabut tebal, terus melayang ke bawah menyusul
batu di bawahnya. Batu itu menimpa dinding tebing dan terlempar jauh ke kiri, akan
tetapi tubuh Ci Sian untung sekali tidak melanggar tebing dan terus meluncur ke bawah.
Dara itu pingsan!
Ketika Ci Sian siuman dan membuka matanya dia segera teringat akan peristiwa tadi. Dia
masih memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangan merabaraba tubuhnya yang
terbungkus mantel tebal. Ah, masih utuh! Kiranya semua itu tadi hanya mimpi, pikirnya
dengan girang dan juga geli. Dia telah bermimpi jatuh ke dalam jurang!
Ci Sian membuka kedua matanya dan seketika dia terloncat bangun saking heran dan
kagetnya. Dia tidak lagi berada di dalam guha di mana biasa dia tidur! Dia berada di
tempat lain! Tempat yang seperti istana es! Banyak terdapat batu-batu runcing tergantung
dari atas dan juga batu-batu runcing terbungkus es, putih berkilauan seperti jamur-jamur
aneh tumbuh dari tanah yang tertutup salju. Dia berada di sebuah guha yang lain, di
mulut guha yang aneh sekali.
Ci Sian bangkit berdiri dan ketika dia memutar tubuh ke arah guha, hampir dia berteriak
saking kagetnya. Di mulut guha itu, yang tadi seperti kosong, kini sudah nampak seorang
kakek duduk di atas batu bulat. Kakek yang tubuhnya telanjang, hanya bercawat saja.
Hawa begitu dinginnya namun kakek itu telanjang dari kepalanya yang gundul kelimis
sampai ke kakinya yang mekar seperti kaki bebek! Dan dari kepala gundul yang besar itu
nampak uap mengepul! Lebih mengerikan lagi, seluruh tubuh kakek itu, dari leher sampai
ke pinggang, lengan dan kaki, dibelit-belit oleh seekor ular yang amat panjang dan besar,
perutnya sebesar paha kakek itu! Ci Sian makin mengkirik kegelian melihat ular yang
panjang besar itu, dan dia merasa gentar dan ngeri melihat kakek yang kurus tinggi
dengan hidung besar mancung melengkung itu. Seorang kakek bangsa asing melihat
bentuk mukanya yang kurus dengan alis yang amat lebat, mata lebar tajam sekali, hidung
seperti paruh burung kakatua, telinga lebar yang dihias anting-anting, dan kumis jenggot
yang tak terpelihara, kulit mukanya yang kehitaman mengkilap.
Melihat dara remaja itu ketakutan, tiba-tiba kakek itu berkata, suaranya lembut akan
tetapi dengan logat yang ageh dan asing. “Jangan takut, anak baik, ular inilah yang
menyelamatkan engkau ketika jatuh dari sana tadi.”
“Jatuh....? Dari atas....?” Ci Sian berkata dengan mata terbelalak memandang ke atas, ke
arah tebing tinggi yang puncaknya tidak nampak dari bawah, tertutup awan atau kabut.
“Ya, engkau jatuh dari atas sana.”
Jadi, kalau begitu bukan mimpi! Dia benar-benar telah jatuh dari atas. Dia lalu
memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Ketika dia melihat bangkai burung putih
menggeletak tak jauh dari situ, dia meloncat dan diambilnya bangkai burung itu. Benar!
Inilah bangkai burung yang menjadi biang keladi sampai dia terjatuh ke dalam jurang! Ci
Sian membuang burung itu, lalu dia melangkah maju mendekati kakek aneh itu, kini
tidak takut lagi.
“Aku hendak menangkap burung itu dan tergelincir jatuh ke dalam jurang. Jadi ular
itukah yang menyelamatkan aku? Bagaimana mungkin?”. Dia berkata, tak percaya bahwa
seekor ular, betapapun panjang dan besarnya, mampu menyelamatkannya yang dari
tempat sedemikian tingginya.
“Anak baik, engkau tidak tahu lihainya ular salju kembang ini! Dia bergantung pada batu
di dinding tebing dengan membelitkan ekornya, kemudian dengan seluruh tubuhnya dia
menerima tubuhmu dan membelitmu dan dengan demikian engkau terhindar dari bencana
maut! Lihat, kulit-kulit pada ekornya masih rusak dan luka-luka karena tertarik oleh
tenaga luncurannya ketika dia menahanmu.”
Ci Sian mendekat dan benar saja. Kulit pada sekitar ekor ke atas itu lecet-lecet dan
berdarah, akan tetapi telah diberi obat oleh kakek itu dan mengering. Ular itu ketika
melihat Ci Sian mendekat lalu menjilat-jilat lidahnya seperti seekor anjing yang jinak.
Lenyaplah rasa takut dan jijik dari Ci Sian ketika mendengar betapa ular itu telah meno-
longnya dan melihat betapa ular itu jinak sekali.
“Ah, kalau begitu aku berhutang budi kepada ular ini dan kepadamu, Kek!” katanya dan
wajahnya berseri.
Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak ada hutang-piutang budi. Semua terjadi secara
kebetulan. Semua ada yang menggerakkan dan kita hanyalah pelaku-pelaku belaka!
Kalau tidak begitu mengapa kebetulan sekali ular ini melingkar di tempat engkau akan
jatuh lewat, dan kebetulan sekali dapat menangkapmu dengan tepat, dan kebetulan sekali
ular itu adalah ular sahabatku sehingga kebetulan pula engkau dapat bertemu dengan aku
dan menggugahku dari samadhiku? Bukankah semua kebetulan ini sudah diatur? Hanya
kita yang bermata ini selamanya seperti orang buta saja.”
Ci Sian tidak begitu mengerti akan kata-kata itu yang selain terlalu tinggi untuknya juga
dikeluarkan dengan logat yang kaku dan asing. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek yang duduk bersila di atas batu itu sambil berkata, “Aku menghaturkan
terima kasih kepada ularmu itu dan kepadamu, Kakek yang baik.”
Kakek itu tersenyum dan nampak mulutnya yang ompong tidak ada giginya sepotong
pun. “Siapakah engkau, Nona dan apa sebabnya engkau sampai terjatuh dari atas sana!”
“Namaku Bu Ci Sian, Kek, dan sudah kukatakan tadi, aku tergelincir dari atas sana ketika
hendak menangkap burung putih keparat itu!”
“Ho-ho, engkau sudah mewarisi kekejaman manusia Bu Ci Sian. Engkau membunuh
burung itu, untuk kaumakan dagingnya, kemudian setelah membunuhnya engkau hendak
mengambil bangkainya lalu terjatuh, dan engkau memaki-maki burung yang sudah
kaubunuh itu!”
Akan tetapi Ci Sian tidak mempedulikan celaan ini dan dia berkata. “Di atas sana masih
ada Pamanku, Kek. Bagaimana aku dapat naik ke sana, kembali kepada Pamanku?”
“Ah, yang suka meniup suling itu?”
“Hei, bagaimana engkau bisa tahu, Kek?”
“Aku dapat mendengar getaran suara sulingnya dalam samadhiku. Dia berkepandaian
hebat!”
“Benar dia, Kek! Dia adalah Paman Kam, dan aku ingin kembali ke sana.”
Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak mungkin naik ke sana. Sama sukarnya seperti naik
ke langit saja. Salju dan es longsor telah membuat bukit itu terasing, terkurung jurang.
Dan Pamanmu itu, betapa pun lihainya dia, kalau dia tidak memiliki sayap untuk terbang,
selamanya dia pun tidak akan dapat turun.”
“Ah.... kalau begitu tolonglah dia, Kakek yang baik. Tolonglah dia agar dapat turun ke
sini.”
“Menolong dia? Ci Sian, engkau mengkhayal yang bukan-bukan. Dia yang begitu lihai
saja tidak mampu turun, bagaimana pula aku dapat menolongnya?”
“Akan tetapi, engkau tentu seorang Locianpwe berilmu tinggi.”
“Ahhh, sama sekali bukan. Aku hanya seorang tua bangka sahabat para ular yang telah
kalah bertaruh melawan seorang wanita. Hemm.... sampai sekarang aku telah terhukum
selama tiga tahun di guha ini.... gara-gara kebodohanku yang kalah bertaruh melawan
seorang wanita.”
“Apa? Ada wanita yang dapat mengalahkanmu, Kek? Tentu dia itu hebat sekali ilmu
silatnya!”
“Bukan kalah dalam ilmu silat....”
“Habis, kalah dalam hal apakah?”
“Kalah dalam menebak teka-teki.”
“Eh?” Ci Sian terbelalak dan merasa geli. Seperti anak-anak kecil saja, main tebak teka-
teki. Dia tertarik sekali. “Kek, ceritakanlah padaku, teka-teki apa yang membuatmu kalah. Barangkali saja aku dapat membantumu!” Memang Ci Sian adalah seorang anak
yang suka akan teka-teki dan dahulu ketika dia tinggal bersama Kong-kongnya, setiap
kali berkumpul dengan anak dusun sebaya, dia lalu bermain teka-teki dan dialah yang
selalu menang karena kecerdasannya menebak segala macam teka-teki yang sulit-sulit.
Wajah kakek yang hitam itu tiba-tiba menjadi berseri. “Ah, siapa tahu engkau yang akan
dapat membantuku. Nah, dengarlah, Ci Sian. Akan kuceritakan kisahku secara singkat
agar engkau tahu akan duduknya perkara.”
Kakek itu adalah seorang saniyasi atau seorang pertapa berbangsa Nepal yang bernama
Nilagangga. Semenjak muda kesukaannya hanyalah merantau di sekitar daerah
Pegunungan Himalaya, bahkan dia pernah merantau sampai jauh ke timur, ke Tiongkok
dan akhirnya setelah tua dia kembali ke Pegunungan Himalaya. Selama dalam
perantauannya itu, dia telah memperoleh banyak ilmu dan terutama sekali dia menjadi
ahli dalam ilmu pawang ular sehingga dia memperoleh julukan See-thian Coa-ong (Raja
Ular dari Barat) di dunia kang-ouw. Tentu saja dia pun memiliki ilmu silat yang tinggi.
Akan tetapi, seperti juga mereka yang telah “menjatuhkan” diri dari dunia ramai, ada
semacam penyakit menghinggapi diri kakek ini, yaitu dia suka sekali untuk mengadu
ilmu dan di samping itu, dia gemar pula untuk berdebat tentang ilmu kebatinan dan suka
pula bermain teka-teki!
Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Di dalam batin sebagian besar
dari kita manusia terdapat gairah atau hasrat ingin menonjolkan diri, ingin memiliki
sesuatu yang dapat dibanggakan dan agar dapat membuat kita dipandang oleh manusia
lain, baik sesuatu itu merupakan harta kekayaan, kedudukan tinggi, kepintaran luar biasa,
kekuatan yang dahsyat, kemampuan-kemampuan lain lagi, pendeknya yang dapat
membuat kita menonjol dan menjadi lebih tinggi daripada orang-orang lain! Kebanggaan
diri ini telah menjadi “kebudayaan” kita manusia, semenjak kecil ditanamkan pada batin
kita oleh orang tua, oleh nenek moyang, oleh kitab-kitab dan oleh guru-guru dalam
pendidikan kita. Betapa sampai kinipun kita selalu menganjurkan anak-anak kita agar
tidak kalah oleh orang lain! Agar menjadi paling menonjol, paling pintar, paling rajin dan
segala macam “paling” lagi. Bukankah pendidikan semacam ini yang menanam sifat
tidak mau kalah, sifat ingin menonjol dalam batin anak-anak kita?
Kemudian, setelah kita menjadi dewasa, setelah sifat ingin menang dan ingin menonjol,
ingin dipuji ini membawa kita bertemu dan bertumbuk dengan segala konflik, kita sadar
bahwa sifat inilah yang menimbulkan pertentangan antara manusia, sifat inilah yang
mendatangkan permusuhan dan bentrokan. Kemudian, sebagian dari kita lalu melarikan
diri! Seperti halnya Nilagangga itu, dia melarikan diri dari kenyataan itu, lalu menyepi,
menjauhkan diri dari tempat ramai. Namun, apakah gunanya pelarian ini? Sifat itu berada
di dalam batin, kita bawa ke manapun juga kita pergi. Sifat ingin menonjol itu tidak
terpisah dari kita, maka tidaklah mungkin kita melarikan diri darinya, yang berarti kita
melarikan diri dari kita sendiri. Sungguh tidak mungkin ini! Maka, tidaklah meng-
herankan kalau sifat ingin menang ini muncul dalam bentuk lain, seperti halnya
Nilagangga itu sifat ingin menang itu muncul dalam adu ilmu silat, ilmu batin, teka-teki
dan sebagainya lagi.
Kita sudah biasa melarikan diri dari kenyataan pahit. Kita pemarah, lalu kita lari ke dalam
kesabaran! Kita berduka, lalu lari ke dalam hiburan. Dan selanjutnya lagi. Kita lupa
bahwa yang marah, yang duka, adalah kita dan kemarahan atau kedukaan itu tidak pernah
terpisah dari kita, berada di dalam batin kita, oleh karena itu, kalau kita lari ke dalam
kesabaran dan hiburan, maka kita hanya akan terlupa atau terbius sebentar saja.
Kemarahan dan kedukaan itu MASIH ADA di dalam batin kita, seperti api dalam sekam,
dan sewaktu-waktu dapat meletus dan berkobar lagi!
“Pada suatu hari, ketika aku merantau di daerah Himalaya, aku memasuki daerah Lembah
Gunung Suling Emas tanpa kusengaja. Akan tetapi pihak penghuni itu melarangku
memasuki lembah. Karena aku menganggap bahwa seluruh Himalaya adalah daerah
bebas, maka terjadilah perbantahan dan dilanjutkan dengan pertandingan silat. Wanita
itu, seorang wanita muda dan cantik yang menjadi anggauta keluarga penghuni lembah
itu, ternyata lihai sekali dan sampai kami berdua kehabisan tenaga, kami ternyata
seimbang. Maka aku mengusulkan untuk bertanding dalam teka-teki dan ternyata aku
kalah!” demikian kata kakek itu melanjutkan ceritanya.
“Bagaimanakah teka-tekinya, Kek?” Ci Sian yang mendengarkan dengan penuh perhatian
itu bertanya, hatinya tertarik sekali.
Kakek itu melanjutkan ceritanya. Lawannya itu menerima tantangannya untuk masing-
masing mengeluarkan sebuah teka-teki. Dan mereka berdua berjanji, janji orang-orang
yang menjunjung tinggi kegagahan dan menganggap janji lebih berharga daripada nyawa,
bahwa siapa yang tidak dapat menjawab teka-teki harus bertapa dalam guha itu dan
sampai lima tahun tidak boleh meninggalkan guha sebelum dapat menjawab teka-teki itu!
“Aku mengajukan teka-teki, akan tetapi sungguh hebat dia, teka-tekiku dapat dijawabnya
dengan mudah. Dan dia juga mengeluarkan teka-tekinya, dan.... sungguh sial aku, sampai
sekarang sudah tiga tahun aku bertapa di dalam guha ini, tetap saja aku belum dapat
menemukan jawabannya. Kalau tidak ada yang menolongku, agaknya aku terpaksa harus
bertahan sampai dua tahun lagi di tempat ini.”
Tentu saja Ci Sian merasa geli dan panasaran. Mana ada aturan seperti itu? Mengapa
orang memegang janji sampai mati-matian begitu? Andaikata kakek itu meninggalkan
guha, tentu lawannya itu pun tidak akan tahu!
“Apa sih teka-tekinya yang begitu hebat? Coba kauberitahukan, Kek, siapa tahu aku
akan-dapat menebaknya untukmu.”
“Begini teka-tekinya, dan mustahil engkau yang masih kanak-kanak ini akan dapat
menebaknya!”
“Teruskanlah!” Ci Sian menjadi tidak sabar.
“Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?” Kakek itu
berhenti sebentar setelah mengucapkan pertanyaan yang agaknya sudah begitu hafal olehnya itu, yang agaknya sudah ribuan kali diulanginya tanpa dia dapat memberi
jawaban. “Nah, itulah pertanyaan atau teka-tekinya. Aku tidak mampu menjawab.
Bagiku, cinta ya cinta, mana ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Akan tetapi
dia membantah, mengatakan bahwa ada bedanya. Kami berdebat, dia bilang bahwa dia
adalah wanita maka dia tahu akan perbedaan itu. Dan aku.... wah, aku yang sialan ini, aku
tidak tahu, apalagi bedanya, bahkan aku tidak pernah mencinta seorang wanita, aku tidak
tahu bagaimana rasanya cinta itu.... wah, aku kalah.”
Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia pun pusing memikirkan teka-teki itu. Dia juga tidak
tahu apa-apa tentang cinta! Dalam urusan cinta, dia sama “buta hurufnya” dengan kakek
tua renta itu.
“Bagaimana, Ci Sian? Dapatkah engkau membantuku dbn memberikan jawabannya?”
Memang tentu saja Ci Sian, sebagai seorang dara yang baru remaja, baru menanjak
dewasa, belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Akan tetapi dia adalah seorang
anak yang amat cerdik. Dia lalu membayangkan tentang Kam Hong, satu-satunya pria
yang pernah mendatangkan rasa kagum dalam hatinya dan dia lalu membayangkan diri-
nya sendiri, bagaimana seandainya dia jatuh cinta kepada pendekar sakti itu! Setelah
mengerutkan kedua alisnya agak lama, sambil memejamkan kedua matanya sehingga
kakek itu memandang penuh harapan, tiba-tiba dia membuka mata memandang kakek itu,
sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar.
“Coa-ong, engkau sebagai seorang pria, coba kauberitahukan bagaimana perasaanmu, apa
yang kauinginkan andaikata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita.” Ci Sian
menyebut Coa-ong (Raja Ular) kepada orang asing itu, mengingat bahwa julukannya
adalah Raja Ular dari Barat! Dan kakek itu agaknya malah senang disebut demikian.
Hanya karena pertanyaan itu justeru merupakan pertanyaan yang dianggapnya amat sulit,
dia mengerutkan alisnya.
“Wahhh.... engkau tanya yang bukan-bukan. Mana aku tahu?”
“Coa-ong, engkau harus ingat bahwa teka-teki yang diajukan oleh lawanmu itu baru
dapat dijawab kalau aku tahu bagaimana perasaan seorang pria yang mencinta seorang
wanita. Tanpa mengetahui perasaan pria, bagaimana mungkin aku dapat tahu akan
perbedaan antara cinta seorang pria dan seorang wanita? Dan tanpa diberi tahu oleh
seorang pria, bagaimana aku dapat tahu bagaimana cinta seorang pria itu? Hayo pikirlah,
Coa-ong. Aku pun belum pernah jatuh cinta, akan tetapi setidaknya kita sama-sama dapat
membayangkan bagaimana perasaan kita dan apa keinginan kita kalau kita masing-
masing jatuh cinta kepada seseorang.”
“Wah-wah.... ini tugas yang paling berat yang pernah kuhadapi....” kakek itu mengomel,
akan tetapi dia pun segera mengerutkan alis dan memejamkan mata, seperti yang
dilakukan oleh Ci Sian tadi untuk membayangkan tentang bagaimana seandainya dia
jatuh cinta! Juga Ci Sian sudah memejamkan mata membayangkan keadaannya sendiri.
Demikianlah, dua orang ini, seorang kakek tua renta dan seorang dara menjelang dewasa, duduk bersila dan memejamkan mata, mengerutkan alis, membayangkan tentang mereka
jatuh cinta!
Cinta adalah suatu hal yang amat lembut, amat halus, amat rumit, dan amat banyak lika-
likunya sehingga menjadi bahan percakapan, bahan tulisan dari bahan perdebatan para
sastrawan, para cerdik pandai, dari jaman dahulu sampai sekarang, tanpa ada yang
mampu melukiskannya atau memperincinya dengan tepat! Apalagi bagi dua orang ini,
yang selama hidupnya belum pernah jatuh cinta, kini keduanya membayangkan bagai-
mana seandainya mereka itu jatuh cinta! Padahal cinta antara pria dan wanita adalah
sedemikian ruwetnya dan banyak sekali kaitan-kaitan dan lika-likunya! Betapapun juga,
Ci Sian yang cerdik itu dengan naluri kewanitaannya seperti dapat meraba apa yang
dimaksudkan dengan teka-teki yang diajukan oleh seorang wanita pula itu! Maka dia
langsung menuju kepada sasaran pokok, yaitu tentang perasaan seorang pria dan seorang
wanita yang jatuh cinta, apa yang paling dikehendakinya dari orang yang dicinta.
Ada satu jam lamanya kakek itu duduk diam seperti itu! Dan biarpun hawa udara amat
dinginnya, namun kakek yang tubuhnya tidak terlindung pakaian ini mulai berkeringat!
Keringatnya besar-besar menempel di seluruh tubuhnya, dan uap yang mengepul di atas
kepalanya semakin tebal. Tiba-tiba dia menarik napas panjang, membuka matanya dan
mata itu berseri-seri memandang kepada Ci Sian yang sudah sejak tadi membuka
matanya. Kakek itu mengguncang tubuhnya seperti seekor anjing kalau mengusir air
yang membasahi tubuhnya. Terdengar suara berketrikan ketika keringat yang telah
membeku itu berjatuhan rontok dari tubuhnya, merupakan butiran-butiran es kecil!
“Wah, memenuhi permintaanmu membayangkan tentang cinta itu mendatangkan
bayangan yang amat mengerikan dan menakutkan!” katanya.
Diam-diam Ci Sian merasa geli juga. Bagaimana mungkin bayangan mencinta orang bisa
begitu mengerikan dan menakutkan?
“Yang penting, apakah engkau kini sudah mampu menceritakan atau menggambarkan
bagaimana perasaan seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita?”
“Aku sudah membayangkan.... aku sudah membayangkan dan.... hiihhh....“ Kakek itu
menggigil, bukan karena kedinginan, melainkan karena geli dan takut! “Yang terbayang
adalah cerewetnya, manjanya, dan betapa dia merongrong hidupku sehingga hidupku
tidak lagi mengenal ketenteraman dan ketenangan, betapa dia ingin menguasai seluruh
diriku dan hidupku. Ihhhh....!”
Kembali Ci Sian tertawa dalam hatinya, akan tetapi mulutnya hanya tersenyum saja.
Betapa anehnya kakek ini! “Bukan itu maksudku, Kek. Akan tetapi bagaimana
perasaanmu dan apa yang paling kauinginkan andaikata engkau jatuh cinta kepada
seorang wanita?”
LANJUT ---->
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar