Rabu, 15 Januari 2014

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 27.

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 27:
Suling Emas & Naga Siluman Jilid - 27 27 Puluhan orang yang memenuhi tempat itu serentak maju menerjang dengan mengeluarkan teriakan-teriakan aneh. Melihat ini, Suma Kian Bu, Siang In dan Ci Sian terkejut sekali dan tentu saja mereka pun cepat meloncat dari bangku mereka. “Jangan lukai orang!” Kian Bu berseru cepat kepada isterinya dan dara itu, karena dia menduga bahwa tentu ada kesalahpahaman dalam hal ini. Tiga orang pendekar ini menghadapi para penyerang dengan tangan kosong saja, akan tetapi para penyerang yang terdepan segera berteriak-teriak kaget, senjata mereka terampas dan tubuh mereka sendiri terlempar ke belakang menimpa teman-temannya yang berada di belakang. Suma Kian Bu sendiri sudah menangkap lengan tangan kepala dusun itu, menjatuhkan golok yang dipegangnya, kemudian menekuk lengan kepala kampung itu ke belakang dan cepat dia berseru dengan suara nyaring sekali, menggetarkan seluruh tempat itu karena dia mengerahkan khikangnya, “Tahan semua, atau pemimpin kalian akan mati?” Biarpun ucapannya tidak diterjemahkan, namun mudah saja menangkap artinya, apalagi melihat betapa Kepala Dusun itu sudah ditekuk ke belakang lengannya sehingga tidak berdaya! “Hayo, ceritakan, apa artinya semua ini?” bentak Suma Kian Bu kepada Kepala Dusun itu. “Mengapa engkau dan orangmu mendadak mengeroyok kami?” Kepala Dusun itu menyeringai kesakitan, akan tetapi dengan suara tegas dia berkata, “Kaubunuhlah aku, kaubunuhlah kami, karena kalau tidak kaubunuh sekalipun, kami semua akan mati! Dan lebih baik mati di tanganmu, seorang manusia, daripada mati di tangannya....“ Kian Bu makin heran. “Sungguh aneh, apa sih maksudmu, Lopek? Harap kau menyuruh teman-teman mundur dulu dan jelaskan kepada kami mengapa kalian tiba-tiba mengeroyok kami, dan mengapa pula engkau begini putus asa dan minta mati. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan?” Dengan wajah yang masih bersungut-sungut, setelah dilepaskan oleh Kian Bu dan semua penghuni dusun sudah agak tenang walaupun mereka masih mengurung dan sikap mereka maaih marah dan bermusuhan, kepala dusun itu berkata, “Kalian bertiga hendak mengganggu dewa ular, hal itu berarti sama saja dengan hendak membunuh kami orang sedusun!” “Dewa ular....? Membunuh kalian sedusun? Lopek, jelaskan, apa maksudmu dengan kata-kata itu?” Kkian Bu mendesak. “Dengan susah payah selama bertahun-tahun kami orang-orang sedusun meredakan kemarahan dewa ular, bahkan kami rela mengorbankan seorang di antara kami setiap tahun untuk menjadi korban. Semua itu, adalah untuk melindungi kehidupan kami agar tidak sampai terancam. Akan tetapi, hari ini kalian datang untuk mengganggunya dan sudah pasti bahwa kami semua yang akan menerima hukuman akibat kemarahanhya.” Tentu saja tiga orang pendekar itu menjadi tetkejut bukan main. “Apa katamu, Lopek? Kalian memberikan korban setiap tahun?” “Ya.... bahkan.... tahun lalu.... seorang di antara anak-anakku perempuan kurelakan.... dan tahun ini, telah tiba saatnya, kami masih bingung untuk memilih siapa lagi yang harus kami korbankan. Dan kalian datang untuk mengganggunya, berarti kami semua akan mati....“ Suma Kian Bu mengepal tinjunya, tiba-tiba dia marah sekali kepada ular itu. Tahulah dia bahwa saking tangguhnya, ular itu mendatangkan rasa takut sedemikian rupa kepada para penghuni dusun ini dan mereka menganggapnya sebagai dewa yang akan mendatangkan malapetaka kalau tidak diberi korban seorang manusia setiap tahun. Kepala Dusun ini bahkan telah menyerahkan anak perempuannya untuk korban! “Lopek, dan Saudara-saudara semua. Jangan khawatir, kali ini kami datang untuk membasminya, untuk membunuhnya agar kalian semua terbebas daripada ancaman binatang laknat itu!” “Ah, tiada guna.... entah sudah berapa banyak orang sombong yang bersumbar sebelum bertemu dengan dewa ular, dan akhirnya mereka itu tewas satu demi satu! Kalian pun akan tewas dan sesudah itu, karena gangguan kalian, dan ular akan mengamuk dan akan menghabiskan kami semua!” Kembali Kepala Dusun itu nampak marah dan penasaran. Melihat betapa orang-orang itu sukar diberi penjelasan, akhirnya Suma Kian Bu memperoleh akal. “Engkau tadi mengatakan bahwa untuk tahun ini belum dipilih korban? Kapankah biasanya diadakan korban?” “Setiap tahun sekali, pada permulaan musim rontok, pada saat itu dewa ular akan meninggalkan pohon yang mulai rontok daunnya. Pada saat itulah kami harus menyerahkan seorang korban, kalau tidak, dewa ular tentu akan mendatangi dusun untuk mencari korban sendiri dan kalau sudah begitu, kami akan dihukum sehingga sedikitnya dia akan mengambil dua tiga orang korban!” “Kapankah hari penyerahan korban itu?” “Dua hari lagi, tepat pada saat bu1an purnama.” jawab Si Kepala Dusun. “Bagus! Kalau begitu, sekali ini kalian bukan menyerahkan seorang korban, melainkan tiga orang korban, yaitu kami bertiga. Biar dia kekenyangan dan puas sehingga tidak akan menganggu kalian lagi!” kata Suma Kian Bu Aneh mendengar ucapan ini yang segera diterjemahkan, semua orang memandang dengan wajah berseri kepada Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian. Sinar mata mereka penuh dengan harapan dan rasa syukur. Kalau begini lain lagi soalnya, pikir mereka. Kalau tiga orang itu mengatakan hendak membasmi dewa ular, hal itu eungguh tak masuk diakal dan selain tiga orang itu akhirnya akan tewas, yang lebih celaka lagi ular itu akan menimpakan kutuk dan pembalasannya kepada mereka sedusun. Sebaliknya kalau tiga orang itu mau menjadi korban, tentu saja hal ini melepaskan mereka daripada bahaya amukan ular itu, setidaknya untuk waktu setahun dan mereka tidak perlu bingung-bingung mencari dengan hati berat, anak siapa yang akan dikorbankan! Akan tetapi, Kepala Dusun itu masih memandang penuh keraguan. “Benarkah kalian bertiga mau menjadi korban untuk dewa?” “Benar, Lopek. Kami bertiga bersedia untuk dikorhankan demi menyelamatkan dusun ini dari ancamannya.” jawab Kian Bu dengan suara tegas. “Tapi.... biasanya, para korban itu dibelenggu kaki tangannya, dan direbahkan dalam guha sebelum dewa ular pindah dari pohon ke dalam guha....” Mendengar ini wajah Siang In menjadi merah dan hampir saja nyonya ini menjadi marah karena dianggapnya sebagai penghinaan kalau ia harus membiarkan dirinya dibelenggu kaki tangannya! Akan tetapi suaminya memandang kepadanya dan isteri yang sudah mengenal dengan baik segala pandang mata suaminya ini dapat menerima isyarat suaminya yang kemudian menjawab. “Kalau begitu, biarlah kalian mengikat dan membelenggu kaki tangan kami dan merebahkan kami di dalam guha itu.”Mendengar ini, lenyaplah keraguan dari pandang mata Kepala Dusun itu, terganti dengan ketakjuban dan kegirangan. “Ah, sungguh hampir tak dapat dipercaya. Kalian bertiga seperti utusan dewa yang datang untuk menolong kami saja!” serunya. Dari percakapan dan sikap mereka itu, Suma Kian Bu yang amat cerdik itu sudah dapat menangkap keadaan dan watak mereka. Dia tahu bahwa orang-orang ini adalah orang-orang dusun yang jujur dan polos, bodoh dan amat tahyul, oleh karena itu, dengan suara garang dengan pengerahan khi-kang sehingga suaranya bergema di ruangan itu dan amat mengejutkan semua orang dia berkata, “Kalian sangka siapa kami ini? Kami memang utusan dewa untuk datang ke dusun ini dan menyelamatkan kalian!” Siang In sudah dapat menanggapi kata-kata suaminya. Maka selagi semua orang terbelalak mendengar terjemahan kata-kata Kian Bu tadi, dan kepala dusun itu memandang dengan muka pucat saking kagetnya, tiba-tiba nyonya yang cantik ini mengeluarkan suara melengking tinggi, menggetarkan jantung semua pendengarannya. Kemudian dengan suara yang amat berpengaruh karena disertai kekuatan sihirnya, dengan pandang mata seperti mencorong ketika semua orang menoleh dan memandangnya, tertarik oleh lengkingan tinggi tadi, ia berkata. “Apakah kalian sudah buta? Lihat baik-baik! Kami adalah utusan dari Kwan Im Pouwsat sendiri! Aku adalah Dewi Api, lihat tubuhku mengeluarkan api bernyala! Lihat baik-baik!” Dan terdengar semua orang yang terbelalak itu tiba-tiba berteriak-teriak ketakutan ketika mereka melihat betapa tubuh nyonya yang cantik itu tiba-tiba berkobar-kobar di tengah-tengah api! Bahkan Ci Sian sendiri juga terkena pengaruh sihir itu dan ia kaget sekali melihat tubuh Siang In terbakar. Namun, ia segera mengerahkan khi-kangnya dan mengusir pengaruh itu dan ia melihat betapa nyonya itu tetap berdiri biasa saja, sama sekali tidak ada api keluar dari tubuhnya! Akan tetapi kini semua penduduk dusun itu dipimpin oleh Kepala Dusun mereka, sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap tiga orang itu! “Ampunkan hamba sekalian.... hamba tidak tahu bahwa Paduka bertiga adalah dewa-dewa....“ Kian Bu merasa kasihan dan tidak tega untuk mempermainkan orang-orang yang jujur dan bodoh ini. Dia tersenyum dan mengangkat kedua tangannya. “Bangkitlah kalian dan jangan berlutut. Ketahuilah bahwa biarpun kami ini utusan pada dewa, akan tetapi pada saat ini, kami memakai tubuh manusia biasa, maka kalian juga harus memperlakukan kami sebagai manusia biasa. Nah, kami sudah siap untuk menjadi korban. Kapan hal itu dapat dilaksanakan?” “Biasanya yang kami lakukan setiap tahun, pada hari bulan purnama penuh, siangnya korban dibawa ke guha dan ditinggalkan, karena pada malam harinya dewa ular akan datang, pindah dari pohon yang mulai rontok daunnya ke dalam guha itu. Dan tahun ini, bulan purnama penuh akan muncul dua hari lagi.” “Baiklah, kami bertiga boleh kalian bawa ke guha itu pada besok lusa siang, agar malamnya kami dapat bertemu dengan dewa ular itu.” kata Kian Bu. Sebetulnya, setelah para penghuni dusun itu dapat ditundukkan oleh ilmu sihir Siang In, mereka semua itu sudah percaya dan tentu mau membantu. Akan tetapi Kian Bu berpikir lain. Menghadapi ular yang lihai itu tidak perlu bantuan orang-orang dusun yang sudah ketakutan itu, karena selain mereka itu tidak ada gunanya, juga bahkan di antara mereka mungkin saja akan tewas dan hal ini tidak dikehendakinya. Selain itu, ular yang sudah amat tua itu agaknya jauh lebih cerdik daripada ular-ular biasa. Dia khawatir kalau-kalau ular itu mencari tempat lain dan tidak akan datang ke guha kalau tidak disediakan korban, yaitu calon mangsanya yang mudah. Dan menghadapi ular itu di tempat terbuka jauh lebih menguntungkan daripada menghadapinya di dalam guha, atau kalau ular itu datang, sebelum memasuki guha, mereka bertiga dapat menyambutnya di depan guha, di tempat terbuka, diterangi oleh sinar bulan purnama, dan mereka bertiga akan siap untuk memegang obor di tempat itu. Mengenai belenggu kaki tangan itu, tentu saja bukan merupakan persoalan bagi mereka bertiga. Kini para penduduk dtsun itu amat menghormati mereka bertiga yang dianggap selain utusan dewa, juga merupakan penolong mereka. Baru mau menjadi pengganti korban saja sudah membuat mereka bersyukur dan berterima kasih! Maka, kini tiga orang pendekar itu dijamu oleh para penduduk dan dilayani dengan sikap hormat sekali. Pada dua hari berikutnya, setelah matahari condong ke barat, Suma Kian Bu, Sian In dan Ci Sian sudah siap. Semua penghuni dusun, laki-laki perempuan tua muda, sudah berkumpul di depan rumah Kepada Dusun. Kepala Dusun, dengan dibantu oleh beberapa orang dan disaksikan oleh semua penghuni, mulai mengikatkan tali-tali yang kuat pada kaki tangan tiga orang pendekar itu. Tiga orang pendekar itu sudah makan sore dan sudah mandi bersih, suatu keharusan bagi pare calon korban, memakai pakaian bersih dan pengikatan kaki tangan mereka dilakukan dengan penuh khidmat okh Kepala Dusaan dan para pembantunya. “Lihatlah, agar kalian semua yakin bahwa kami adalah utusan para dewa!” kata Suma Kian Bu untuk mendatangkan kesan terakhir. Dia menggerakkan kedua lengannya dan “Kreekkk....! Putuslah tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya, dan sekali menggerakkan kedua kakinya, putus pula belenggu kedua kakinya! Semua orang terkejut sekali dan wajah kepala dusun menjadi pucat. Akan tetapi Kian Bu sudah memasangkan kembali kaki tangannya untuk diikat kembali dengan tali-tali baru. Setelah mengikatkan kaki tangan itu selesai, Kian Bu berkata, “Dengar baik-batik pesan kami. Setelah menaruh kami di mulut guha, harap kalian semua pergi dan bersembunyi di rumah masing-masing. Kalau ada suara apapun jangan sekali-kali keluar dan biarkan kami bertiga menghadapi ular itu. Dan jangan lupa, sediakan obor, minyak dan lilin bernyala di guha.” Kepala Dusun mengangguk-angguk dan tak lama kemudian, tiga orang pendekar itu yang kaki tangannya terbelenggu, sudah digotong di atas tandu seperti yang biasa setiap tahun terjadi. Akan tetapi kalau biasanya yang digotong hanya seorang korban saja, kini ada tiga orang calon korban yang digotong ramai-ramai. Dan seperti biasanya, para penghuni dusun itu dengan dipimpin seorang pendeta yang menganut agama campuran antara Bhudis dan Taoism, menyanyikan lagu-lagu pujaan untuk para dewa. Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian duduk di atas tandu dengan kaki tangan terbelenggu, akan tetapi mereka tersenyum-senyum dan merasa seperti menjadi pengantin saja karena mereka berpakaian baru, diberi kalungan bunga, dipikul di dalam tandu, dan diiringkan oleh banyak orang yang bernyanyi-nyanyi dipimpin oleh pendeta satu-satunya yang berada di dusun itu. Iring-iringan mengantar calon korban untuk dewa ular ini biasanya setiap tahun dilakukan dengan iringan air mata keluarga Si Korban. Akan tetapi sekali ini, suasananya gembira dan semua wajah orang dusun itu cerah dan berseri. Hal ini bukan hanya karena di antara mereka tidak ada yang kehilangan sanak keluarga, akan tetapi juga karena ada harapan dalam hati mereka untuk dapat terbebas selamanya daripada rasa takut terhadap Si Dewa Ular. Akan tetapi di antara harapan dan kegembiraan ini, ada pula kekhawatiran menyelinap di dalam hati mereka. Bagaimana kalau tiga utusan dewa itu gagal? Dan andaikata mereka berhasil dan dewa ular dapat dienyahkan, bukankah hal itu berarti bahwa berkah dari dewa ular untuk mereka pun akan ikut lenyap? Kepercayaan tahyul seperti yang dimiliki oleh para penduduk dusun di dekat Puncak Naga Hijau di Pegunungan Kun-lun-san itu bukan hanya merupakan peristiwa yang dapat terjadi dan menimpa, sekelompok manusia yang masih terbelakang atau yang peradabannya belum tinggi. Kalau kita mau mengamati keadaan sekeliling kita, mau mengamati kehidupan kita sendiri, bahkan di jaman modern ini sekalipun, kita masih terikat dan terbelenggu oleh berbagai kepercayaan dan ketahyulan! Kelompok ini percaya akan ini dan tidak percaya akan itu. Golongan lain percaya akan itu dan tidak percaya akan hal yang dipercaya oleh kelompok pertama ini. Bahkan kepercayaan-kepercayaan yang merupakan adat pusaka keturunan nenek moyang itu dapat menjadi bahan untuk saling bertentangan dan bermusuhan! Kepercayaan akan hal-hal yang di luar jangkauan pikiran merupakan ketahyulan yang lama-lama berobah menjadi tradisi. Dan biasanya, hal-hal seperti itu hanya untuk dipercaya saja, bukan untuk dimengerti! Dan kita pun takut untuk melanggarnya atau meninggalkannya dari batin kita. Tentu saja rasa takut ini timbul oleh suatu kepercayaan pula bahwa memegang teguh tradisi kepercayaan tahyul itu mendatangkan selamat, berkah, yang pada pokoknya adalah menyenangkan atau menguntungkan, dan sebaliknya kalau kita menanggalkan atau membuangnya, kita akan kehilangan apa yang kita namakan selamat, berkah atau yang menyenangkan itu. Kita takut akan dilanda kesusahan karenanya. inilah sumber rasa takut menanggalkan atau membuangnya. Lalu bagaimanakah timbulnya kepercayaan akan tahyul yang menjadi tradisi itu? Semua kepercayaan, kalau kita mau merenungkannya dengan penuh kebebasan dan perhatian, timbul karena kebodohan, karena ketidakmengertian. Kepercayaan itu pasti timbul karena kita tidak mengerti, tidak tahu, lalu kita mendengar pengertian itu dari mulut orang yang kita hormati, kita kagumi, kita anggap lebih tahu daripada kita, atau dari kitab yang ditulis oleh orang yang kita muliakan, maka kita pun lalu percayalah! Kalau ketidakmengertian kita tentang sesuatu itu diterangkan oleh orang yang tidak kita agungkan, tidak kita hormati atau kagumi, maka kita pun lalu tidak percaya! Jadi, percaya atau tidak percaya itu timbul dari sumber yang sama, yaitu dari kebodohan atau ketidakmengertian. Sebagai contoh misalnya, kita belum pernah melihat sendiri, belum pernah membaca, belum pernah mendengar, pendeknya kita tidak mengerti sama sekali tentang Kutub Utara. Lalu datanglah seseorang yang menulis atau bercerita kepada kita tentang Kutub Utara, tentang keanehan-keanehannya, keajaiban-keajaibannya dan sebagainya. Nah, di sinilah asal mula timbulnya percaya atau tidak percaya. Karena kita sendiri tidak mengerti, maka kita lalu mendengarkan orang itu dan tanggapan kita tentu saja dipengaruhi oleh perasaan kita terhadap orang itu. Kalau orang itu kita agungkan, kita akan percaya, dan kalau sebaliknya kita tidak mengagungkannya, kita tidak percaya! Dan kepercayaan atau ketidakpercayaan ini kita turunkan kepada murid-murid atau anak-anak keturunan, dan selanjutnya menjadi kepercayaan turun temurun. Sebaliknya kalau orang itu, atau siapapun juga adanya, datang lalu bercerita atau menulis tentang sesuatu yang sudah kita mengerti atau ketahui, sudah tentu tidak akan timbul percaya atau tidak percaya lagi. Yang ada hanyalah kenyataan bahwa apa yang diceritakan itu benar atau bohong. Kalau ada orang mengatakan bahwa darah manusia itu hijau warnanya atau matahari itu timbul dari barat, maka di sini tidak ada percaya atau tidak percaya, karena kita sudah tahu dan mengerti benar bahwa keterangan orang itu bohong! Sebaliknya, kalau ada orang mengatakan bahwa pohon besar itu dihuni setan atau dewa, maka keterangan ini menimbulkan percaya atau tidak percaya, karena kita tidak mengerti dan tidak mengetahui benar akan hal itu. Maka, dapatkan kita hidup bebas dari segala macam kepercayaan dan ketahyulan ini? Beranikah kita mengakui dengan rendah hati bahwa kalau timbul pertanyaan akan sesuatu yang tidak kita mengerti, yang tidak terjangkau oleh akal budi pikiran kita, lalu kita menjawab bahwa kita TIDAK TAHU? Biasanya, kita takut atau malu untuk mengakui bahwa kita tidak tahu. Kita selalu ingin mengaku bahwa kita tahu segalanya, padahal sebagian besar dari hal-hal yang kita katakan kita tahu itu sebenarnya hanyalah pengetahuan mati yang kita dengar dari keterangan orang lain, yang tidak kita hayati sendiri. Karena, sesungguhnya hanya orang yang tidak tahu sajalah yang dapat membuka mata, yang dapat menyelidiki, dapat menyelami, dapat mempelajari dengan otak dan hati kosong sehingga penyelidikan itu dapat dilakukan seteliti-telitinya, tidak dipengaruhi oleh pengetahuan-pengetahuan mati yang hanya akan menjadi batu penghalang bagi penyelidikannya akan hal-hal yang baru. Sayang bahwa mereka yang tidak tahu itu begitu ingin untuk dianggap tahu sehingga dengan mudah mereka menerima segala pengetahuan dari orang lain melalui kepercayaan. Setelah tiba di depan guha, semua penghuni dusun nampak ketakutan dan sejak mendekati tempat itu tadi pun sudah tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Suasana memang amat menyeramkan karena tempat itu terpencil, jauh dari dusun, jauh dari manusia dan tidak nampak bekas-bekas tangan manusia di situ dan dalam perjalanan mereka itu, mereka tidak melihat tapak seorang pun manusia. Tiga buah joli atau tandu itu diturunkan dan tiga orang pendekar digotong dengan hati-hati dan dengan sikap penuh hormat, lalu satu demi satu direbahkan di mulut guha yang gelap. Kepala Dusun lalu menyalakan sebatang lilin di sudut guha, obor-cbor yang belum dinyalakan ditinggalkan di sudut pula, obor yang sudah diberi minyak pembakar. Kemudian, setelah mereka semua memberi hormat ke arah tiga orang pendekar yang rebah di mulut guha, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Kepala Dusun itu lalu mengajak orang-orangnya untuk pergi meninggalkan guha seperti yang telah dipesankan oleh Suma Kian Bu kemarin. Setelah semua orang pergi, Kian Bu, Siang In dan Ci Sian lalu memutuskan semua tali yang membelenggu kaki tangan mereka. “Akan tetapi, kita harus tetap tinggal di sini.” kata Kian Bu kepada dua orang wanita itu. “Jangan lengah dan harus tetap waspada. Biarpun aku sendiri tidak percaya bahwa ular itu adalah siluman, iblis atau dewa, akan tetapi dia tentu seekor binatang yang sudah tua, kebal, dan cerdik sekali. Maka, biarlah kita tinggal rebah agar tidak membuat dia curiga, dan siap untuk menyerbu kalau dia sudah berada di depan guha. Sebelum aku menyerangnya, harap kalian jangan bergerak dulu. Kita belum tahu sampai di mana kelihaiannya, maka kita tidak boleh sembrono.” Karena memang sudah mendengar betapa banyaknya orang-orang lihai menjadi korban ular itu, maka Siang In dan Ci Sian mengangguk. Tadi pun dua orang wanita ini merasa agak ngeri melihat adanya rangka-rangka manusia di dalam guha. Tentu itu adalah rangka-rangka para korban, karena rangka-rangka itu hanya merupakan tulang-tulang tubuh manusia, semua tanpa kepala! Menanti merupakan pekerjaan yang amat berat. Dalam menanti, sang waktu seolah-olah menjadi luar biasanya lambannya, seperti gerakan maju seekor keong. Mereka bertiga ditinggalkan di tempat itu menjelang senja dan kini mereka menanti datangnya sang malam yang dirasakan amat lambatnya. Akan tetapi akhirnya cuaca menjadi gelap, malam mulai datang menyelubungi bumi, mengusir sinar-sinar matahari lenyap, kegelapan menyelubungi hutan dan satu-satunya sinar hanyalah lilln yang bernyala di dalam guha. Mereka yang berada di dalam guha itu menanti dengan hati tegang. Belum ada tanda pergerakan yang luar biasa, dan yang terdengar hanyalah bunyi belalang dan binatang malam, jauh di dalam hutan. Nyamuk-nyamuk yang tertarik oleh nyala lilin mulai berdatangan dan mengganggu mereka. Tapi, berkat ilmu kepandaian mereka yang sudah tinggi, gangguan itu tidak menyiksa benar. Dengan kibasan tangan saja mereka mampu meruntuhkan nyamuk-nyamuk yang berani menyerang mereka. Gangguan itu lebih dirasakan oleh mengiangnya nyamuk di dekat telinga daripada penyerangan sengatan mereka. Bulan purnama mulai menyinari bumi ketika mereka mulai merasakan datangnya ancaman yang sejak tadi dinanti-nanti itu. Ada bau amis yang aneh yang memasuki hidung mereka. Apalagi kalau ada angin bersilir, bau itu makin tercium keras sekali, membuat Ci Sian, merasa muak sekali. “Awas.... agaknya dia mulai datang....” kata Kian Bu dengan suara berbisik. Pendekar ini adalah putera Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan pendekar ini memiliki ilmu kesaktian hebat, sudah mengalami segala macam pertempuran dan bahaya yang hebat-hebat. Namun malam itu dia merasakan ketegangan luar biasa juga. Demikian pula Siang In. Terutamasekali, CiSian yang belum begitu banyak pengalaman hidupnya. Dara ini merasakan jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan dan keringat dingin membasahi lehernya. Andaikata ia berada di situ seorang diri saja, tentu ia sudah meninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Akan tetapi, adanya Pendekar Siluman Kecil dan isterinya membesarkan hatinya dan dara ini memandang keluar guha dengan penuh perhatian, siap menghadapi segala kemungkinan. Bau amis bercampur harum aneh yang keras itu makin terasa. Tak lama kemudian, terdengar bunyi kresek-kresek dan tumbangnya sebatang pohon seperti dilanda sesuatu yang berat. “Kalau aku menyerangnya, kalian cepat nyalakan obor itu dan menancapkan obor-obor itu di luar guha, diempat penjuru agar kita dapat menghadapinya dengan baik” bisik Kian Bu kepada dua orang wanita itu yang hanya mengangguk tanda mengerti. Dua orang wanita ini seperti kehilangan suara saking tegangnya. Kian Bu memandang keluar guha dengan penuh pethatian. Cahaya bulan cemerlang menerangi keadaan di luar guha, dan sesungguhnya, tanpa obor sekalipun cuaca sudah cukup terang. Akan tetapi Kian Bu menyuruh menyalakan obor bukan hanya agar cuaca menjadi terang, melainkan untuk berjaga-jaga saja, kalau-kalau ada awan yang akan menutupi bulan dan membuat tempat itu menjadi gelap. Amatiah berbahaya kalau bertanding melawan ular di tempat gelap. Jadi obor-obor yang disuruhnya untuk dinyalakan itu hanya bertugas sebagai cadangan kalau-kalau sang bulan, tertutup awan. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu, yang menimbulkan ketegangan luar biasa itu, tibalah! Mula-mula hanya nampak bayangan yang panjang menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumput tersibak. Ketika tiba di depan guha, tiba-tiba ular itu mengangkat kepalanya, dan lehernya terangkat, kepalanya naik sampai satu meter di atas tanah. Nampaklah mukanya yang mengerikan itu! Mukanya memang seperti muka ular biasa, hanya lebih besar dan yang mengerikan sekali adalah mulutnya yang mengeluarkan suara mendesis dibarengi hawa seperti uap putih mengepul, dan sepasang cabang lidahnya bergerak-gerak keluar, lidah yang merah kehitaman. Sepasang mata yang besar itu mencorong seperti mengeluarkan api, dan kepalanya yang tertimpa sedikit cahaya bulan itu nampak berkilauan. inilah agaknya yang menimbulkan dongeng bahwa kepalanya mencorong padahal sesungguhnya karena kulit kepalanya mengkilap seperti berminyak, tentu saja nampak berkilauan. Betapapun juga, Suma Kian Bu yang sudah banyak mengalami hal-hal yang luar biasa itu, diam-diam terkejut dan harus mengakui dalam hatinya bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat ular yang demikian besar dan panjangnya, dan juga yang kelihatan ganas dan menyeramkan. Akan tetapi, karena dia pun tahu bahwa binatang ini bukanlah sebangsa siluman atau dewa, juga bukan seekor naga seperti yang sering terdapat dalam dongeng, yang bisa terbang dan memiliki kesaktian lain, maka dia pun tidak menjadi gentar. Agaknya ular besar itu memang sudah biasa pindah ke dalam guha di awal musim rontok seperti yang diceritakan oleh Kepala Dusun, dan juga agaknya telah terbiasa memperoleh mangsa yang mudah di dalam guha itu. Maka sekarang pun binatang ini berhenti di depan guha dan mengangkat kepalanya, agaknya untuk menjenguk lebih tinggi agar dapat melihat jelas apakah sudah tersedia mangsa baginya kali ini. Sejak tadi Kian Bu memang sudah bersiap sedia. Seluruh urat syaraf di dalam tubuhnya sudah menegang, terisi oleh pengerahan sin-kang untuk menghadapi lawan yang tangguh dan berbahaya. “Nyalakan obor!” tiiba-tiba Kian Bu berseru dan belum juga gema suaranya itu lenyap, dia sudah meloncat keluar dari dalam mulut guha itu dan langsung saja dia menerjang kearah kepala ular yang diangkat tinggi itu. Pendekar Siluman Kecil ini memiliki sebuah senjata yang luar biasa, yaitu sebatang tongkat sakti yang terbuat dari akar pohon yang hanya terdapat di sebuah pulau tak jauh dari Pulau Neraka. Akar kayu ini amat keras dan ulet, tidak rusak oleh baja yang tajam sekalipun, dan lebih peka untuk disaluri tenaga sinkang daripada logam lainnya. Biasanya, hampir tidak pernah pendekar ini menghadapi lawan dengan senjatanya ini yang lebih pantas dipergunakan untuk pegangan atau iseng saja. Hal ini adalah karena dengan dua pasang kaki dan tangan saja dia sudah lebih dari kuat menghadapi lawan. Kedua tangannya itu lebih dahsyat daripada senjata lawan yang bagaimanapun. “Dukkkk!” Tongkat yang dipukulkan ke arah kepala ular itu tepat mengenai sasarannya, akan tetapi Kian Bu kaget sekali karena tongkatnya terpental dan seluruh lengan kanannya tergetar hebat. Dia memang sengaja hendak mengukur sampai di mana kekuatan dan kekebalan ular itu dan akibatnya dia terkejut. Tiba-tiba, sebagai balasan serangan itu, ular itu menggerakkan kepalanya dan mulutnya terbuka. Terdengarlah bunyi mendesis nyaring dan Kian Bu harus meloncat jauh ke kiri untuk menghindarkan diri ketika dia merasakan sambaran angin dahsyat yang panas dan berbau amis! Pada saat itu, Ci Sian dan Siang In sudah menyalakan obor pada nyala lilin dan meloncat keluar, tepat pada saat ular itu menyembur kepada Kiam Bu. Dua orang wanita ini terkejut karena tiba-tiba ada angin keras yang menyambar dan membuat obor mereka itu bergoyang-goyang apinya dan hampir padam, juga mereka merasakan hawa panas terkandung dalam angin itu, di samping bau amis yang memuakkan. “Taruh obor itu agak jauh!” Kian Bu berseru lagi, dan kini pendekar ini yang sudah merasakan kekuatan ular yang amat besar itu, meloncat maju sambil menggerakkan tongkatnya, kini menusuk ke arah mata kanan ular. Dia terkejut dan heran karena ular itu sama sekali tidak mengelak! Akan tetapi kegirangannya lenyap ketika ujung tongkatnya bertemu dengan benda yang amat keras dan licin sehingga tusukannya meleset! Kiranya, tanpa menggerakkan kepalanya, ular itu mampu membuat gerakan sedikit yang cukup untuk membuat ujung tongkat itu mengenai pinggiran mata yan sama kuatnya dengan kulit kepala maupun badannya. Kulit bersisik itu amat keras dan licin, sehingga ketika tusukan tongkatnya meleset, Kian Bu terdorong ke depan. Dan pada saat itu dia merasa adanya angin pukulan yang amat kuatnya menimpanya dari arah kiri. Cepat Kian Bu mengerahkan gin-kangnya dan meloncat. Untung dia dapat bergerak cepat karena begitu dia menghindar, ekor ular yang besar dan berat itu, dengan kekuatan dahsyat yang ratusan kati beratnya, menimpanya dan karena luput, ekor itu menimpa batu yang pecah berantakan seperti dipukul palu godam yang amat berat! Seperti juga tadi, begitu diserang ular itu membalas dengan cepatnya, maka kini Kian Bu bersikap hati-hati sekali. Dia sudah mencoba tongkatnya untuk memukul dan menusuk, dan akibatnya, bahkan serangan balasan ular itu tidak kalah hebatnya dan berbahayanya. Dan begitu serangannya luput, ular itu tidak melanjutkan serangan, melainkan menanti seperti tadi, dengan kepala diangkat dan sepasang matanya mencorong memantulkan sinar obor-obor yang dipasang oleh Ci Sian dan Siang In di sekitar tempat itu. Dua orang wanita itu kini mendekat dan mengepung ular. Siang In sudah memegang senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang payung yang berujung runcing, sedangkan Ci Sian sudah memegang suling emasnya. “Ci Sian, kita serang dari kanan kiri! Tujukan serangan ke arah matanya!” kata Siang In yang tadi sudah melihat betapa dua kali serangan suaminya gagal. Wanita perkasa ini maklum bahwa kulit ular itu benar-benar amat kebal sehingga menyerang kulitnya akan sia-sia belaka, bahkan amat berbahaya, maka dengan cerdik ia menganjurkan Ci Sian untuk melakukan serangan berbareng ke arah kedua mata binatang itu dari kanan kiri. Ci Sian mengangguk dan dua orang wanita itu seperti berlumba cepat, menerjang dari kanan kiri. Ci Sian menusukkan sulingnya ke arah mata kiri. Sedangkan Siang In menusukkan ujung payungnya ke arah mata kanan. Akan tetapi, tiba-tiba ular itu menurunkan kepalanya dan menyembunyikan kepala itu di bawah perut dan tiba-tiba saja ekornya sudah datang menimpa dengan kecepatan dan kekuatan yang mengerikan. “Awas....!” Suma Kian Bu berseru dan dua orang wanita itu sudah meloncat pergi dengan cepat. Akan tetapi, angin pukulan yang amat kuat masih mendorongnya dan membuat mereka berdua terbanting dan bergulingan sampai jauh. Tentu saja mereka terkejut bukan main ketika melompat berdiri lagi. Pada saat itu, Kian Bu sudah meloncat dengan kecepatan kilat sehingga yang nampak hanya bayangannya saja dan tahu-tahu dia sudah mendekati kepala ular itu dan memukul dengan kepalan tangan kirinya. “Desss....!” Pukulan itu dahsyat bukan main, mengandung tenaga Swat-im Sin-kang dari Pulau Es, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya. Karena tahu bahwa ular itu sungguh kebal dan tidak dapat dilukai oleh senjata, maka Kian Bu kini mempergunakan tenaga Swat-im Sin-kang, yaitu tenaga dalam yang dingin, berkat latihan di Pulau Es. Biarpun tagannya tidak akan dapat melukai kulit binatang itu, namun dia mengharapkan bahwa getaran tenaga pukulannya akan dapat melukai sebelah dalam kepala binatang itu. Dan memang agaknya harapannya ini tidak sia-sia, karena ular itu ternyata menderita berat oleh pukulannya yang mengguncangkan isi kepalanya. Ekor ular itu membelit dan menghantam Kian Bu terpaksa menangkis dengan tangan kanan yang memegang tongkat! “Dess....!” Tubuh Kian Bu terlempar dan tongkatnya terlepas dari tangannya! Pendekar ini tidak terluka, hanya terlempar saking besarnya tenaga pukulan ekor ular itu. Begitu meloncat bangun, Kian Bu sudah menerjang lagi, meloncat dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-kiang di tangan kiri, dan tenaga Hwi-yang Sin-kiang di tangan kanan. Kedua pukulan yang mengandalkan tenaga sin-kang yang berlawanan ini yaitu dingin dan panas, dilakukannya berganti-ganti. Dan serangan-serangan ini memang hebat sekali. Satu kali pukulan tangan kanan atau tangan kiri pendekar itu sudah cukup untuk merobohkan, bahkan menewaskan seorang lawan tangguh. Biarpun berkali-kali terkena pukulan, namun nampaknya ia tidak merasakan nyeri, bahkan kini ia mulai mengeluarkan teriakan-teriakan yang menyeramkan. Teriakannya itu seperti teriakan seekor burung gagak yang nyaring, parau dan menyeramkan sekali. Agaknya ia marah bukan main terkena pukulan-pukulan yang mendatangkan rasa nyeri itu. Melihat betapa suaminya sudah mulai menyerang dengan bertubi-tubi, Siang In segera membantunya dengan menggerakkan payungnya, menerjang dan menusukkan ujung payungnya, kembali mengarah mata ular itu. Ci Sian juga membarenginya dan menghantamkan suling ke belakang kepala ular itu sambil mengerahkan semua tenaga dalamnya. Kian Bu yang sudah menyerang bertubi-tubi itu berada dekat dengan ular dan dia tahu betapa ular itu tiba-tiba menggerakkan ekornya. “Awas! Mundur....!” Dia berteriak, akan tetapi agaknya isterinya dan Ci Sian tidak menghiraukannya karena kedua orang wanita itu memang hendak membantunya dan tentu saja tidak tega melihat dia sendiri saja melawan ular yang amat tangguh itu. Melihat dua orang wanita itu tidak menghiraukannya, Kian Bu yang maklum akan dahsyatnya sambaran ekor ular, sudah meloncat dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis sambaran ular yang tadinya menghantam ke arah dua orang wanita itu. “Dessss....!” Hebat sekali pertemuan antara ekor ular dan kedua lengan Kian Bu. Pendekar ini merasa seolah-olah seluruh tulangnya remuk dan tak dapat bertahan lagi, terpelanting, sedangkan dua orang wanita itu terdorong oleh hawa pukulan yang dahsyat ini, kembali bergulingan. Sedangkan tusukan suling dan ujung payung itu pun tidak melukai ular, bahkan membuatnya menjadi semakin marah. Ular itu merasakan ekornya nyeri sekali, maka kemarahannya dipusatkan kepada Kian Bu yang telah banyak mendatangkan rasa nyeri kepadanya. Sebelum Kian Bu sempat meloncat, ular itu sudah menubruk dan tahu-tahu tubuh Kian Bu telah terkena libatan ekornya! Pendekar itu terkejut, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang, memberontak. Tenaga ini besar sekali. Belenggu baja saja kiranya akan patah-patah oleh tenaga Hwi-yang Sin-kang yang panas ini. Akan tetapi, tubuh ular itu jauh lebih kuat daripada baja, karena tubuh itu dapat melentur seperti karet, namun mengandung kekuatan libatan yang amat luar biasa. Betapapun juga, karena Kian Bu memberontak itu, libatannya berkurang kekuatannya dan Kian Bu berhasil menarik kedua lengannya keluar dari libatan sehingga hanya pinggangnya ke bawah saja yang terlibat. Dia merasa betapa tenaga libatan itu makin kuat saja, seperti ada tenaga dalam yang makin lama makin besar hendak meremuk tulang-tulangnya dengan tekanan yang dahsyat. Dan kini kepala ular itu membalik dan dengan moncong terbuka lebar ular itu hendak mencaplok kepala Kian Bu! “Dessa....!” Kian Bu memapaki kepala itu dengan pukulan tangan kanannya, lalu “Plakkk!” tangan kirinya juga menampar. Ular itu terkejut dan kesakitan, kembali menggeluarkan teriakan parau yang amat nyaring. Kian Bu morasa seolah-olah telinganya ditusuk-tusuk, maka dia pun mengerahkan khi-kangnya dan melengking nyaring. Ular itu terkejut, dan diam, akan tetapi tidak melepaskan lilitannya. Siang In dan Ci Sian terkejut bukan main melihat Kian Bu terlilit ular dan tidak mampu melepaskan diri. Wajah Siang In menjadi pucat dan dengan nekat wanita ini lalu menyerang dengan senjata payungnya. Terjangannya hebat sekali dan ujung payungnya seperti kilat cepatnya nenyambar ke arah kedua mata binatang itu. Dan Ci Sian pun cepat membantunya, memukul-mukulkan sulingnya dengan pengerahan khi-kangnya yang amat kuat itu ke arah moncong ular, maksudnya andaikata tidak dapat melukai ular pun ia akan mencegah ular itu menggigit Kian Bu. “Tak-tak....!” Ujung payung itu mengenai kulit yang keras ketika ular itu menggerakkan kepalanya sehingga tusukan-tusukan itu meleset, tidak mengenai mata melainkan mengenai bagian muka yang tertutup kulit keras. “Trakkk!” Hantaman suling di tangan Ci Sian bertemu dengan gigi dan ada sebuah gigi ular itu yang patah terkena pukulan suling. Kembali ular itu berteriak parau dan keras dan Kian Bu merasa betapa lilitan tubuh ular itu menjadi semakin kuat. Dia pun menggunakan kedua tangannya untuk memukuli tubuh ular yang melilitnya, menggunakan pukulan-pukulan tangan miring seperti membacok-bacok. Tenaganya yang luar biasa kuatnya itu pun tidak dapat membuat kulit ular itu rusak, akan tetapi setidaknya tenaga pukulannya, mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa sehingga ular itu berteriak-terlak atau mengeluarkan suara parau dan serak. Lilitannya menjadi semakin kuat. Karena maklum bahwa dia tidak mampu melepaskan diri dari belitan maut itu, dan bahwa isterinya maupun Ci Sian bisa terancam bahaya, maka Kian Bu cepat berteriak. “Mundurlah.... jangan dekat-dekat....!” Akan tetapi, sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya, tentu saja Siang In tidak mau meninggalkan suaminya yang sedang dibelit ular, dan dalam keadaan terancam hebat itu pendekar wanita ini pun sudah menjadi panik penuh kekhawatiran, maka dengan muka pucat ia sudah menyerang lagi sambil membentak nyaring. “Lepaskan suamiku....!” Payungnya menyambar seperti kilat, kembali menyerang ke arah mata kanan ular itu. Ular itu memang luar biasa sekali. Dia tidak mengelak, melainkan mempergunakan kepalanya untuk menangkis. “Dessss....!” Tubuh Siang In terlempar sampai beberapa meter jauhnya karena ditumbuk oleh kepala yang amat kuat itu. Siang In tidak terbanting hebat karena ia cepat menggulingkan tubuhnya, akan tetapi kepalanya agak pening juga oleh benturan keras itu. Sementara itu, Ci Sian melihat dengan penuh kengerian ketika ular itu kini mengangkat tinggi kepalanya dan mulutnya terbuka lebar, siap untuk mencaplok kepala Suma Kian Bu yang masih meronta-ronta seperti seekor lalat dalam perangkap sarang laba-laba itu. Agaknya tidak akan ada apapun yang dapat menyelamatkan nyawa pendekar sakti itu. “Mundurlah.... biarkan aku....” kata pula Kian Bu yang terkejut menyaksikan isterinya terlempar tadi. Akan tetapi Siang In menjadi semakin nekat. Biarpun kepalanya masih pening dan tubuhnya sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang terkena hantaman langsung oleh kepala ular itu, namun kekhawatirannya akan keselamatan suaminya membuat ia lupa akan diri sendiri. Ia sudah hendak menyerbu lagi ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh tangan Ci Sian Sian. “Enci, biarkan aku mencoba ini....” Siang In menahan gerakannya dan memandang Ci Sian sudah menempelkan suling emasnya di depan mulut dan terdengarlah suara suling yang aneh dan suara itu melengking tinggi mengalun dan mengandung getaran yang amat halus namun amat kuat. Ternyata dara ini teringat akan pelajaran tiupan sulingnya, dan menurut suhengnya, tiupan suling itu mengandung suara yang penuh dengan kekuatan khi-kang, dan menurut suhengnya, suara itu selain dapat mengusir pengaruh gaib atau juga segala macam kekuatan sihir dari lawan, juga dapat dipergunakan untuk menyerang atau mempengaruhi lawan. Dan Ci Sian juga teringat akan pelajaran dari gurunya, yaitu Si Raja Ular See-thian Coa-ong tentang kelemahan ular. Ia sendiri dapat memanggil ular-ular dengan getaran suara meninggi dalam nada tertentu, yaitu ilmu yang didapatnya dari See-thian Coa-ong. Dengan menggabungkan ilmunya meniup suling dan ilmunya menguasai ular itu, ia ingin mencoba kepandaiannya untuk mempengaruhi dan menundukkan ular raksasa ini. Tentu saja Ci Sian belum yakin akan hasilnya, karena pelajaran menaklukkan ular dari suhunya, See-thian Coa-ong itu, hanya ditujukan terhadap ular-ular biasa, terutama ular beracun. Belum pernah selama hidupnya ia melihat ular seperti yang mereka lawan ini. Ular yang menyelamatkannya ketika terjatuh dari tebing dahulu, yaitu ular peliharaan See-thian Coa-ong, tidak ada setengahnya dibandingkan dengan besar ular raksasa ini! Dengan senjata payung di tangan, siap untuk menerjang, dan sepasang matanya tak pernah berkedip memandang ke arah ular yang melilit tubuh suaminya, Siang In berdiri memandang. Pendekar wanita ini sendiri bergetar mendengar suara suling melengking tinggi ini, sehingga ia harus mengerahkan sin-kang untuk melindungi jantungnya yang seperti ikut tergetar. “Bagus, teruskan.... teruskan....!” Tiba-tiba terdengar Kian Bu berkata girang. Terjadilah keanehan. Mendengar suara melengking tinggi yang beralun itu, ular yang tadinya sudah membuka mulut, dengan marah sekali hendak mencaplok kepala Kian Bu, tiba-tiba menghentikan gerakan kepalanya dan mengangkat kepala tinggi-tinggi, diam tak bergerak, seolah-olah terpesona! Kemudian, mulailah kepala itu bergerak-gerak ke kanan kiri, mulutnya masih terbuka dan kadang-kadang binatang itu menyemburkan uap yang panas dan berbau amis! Giranglah hati Ci Sian ketika melihat hasil tiupan sulingnya ini. Ia pun cepat meniupkan nada-nada suara yang telah dipelajarinya dari See-thian Coa-ong untuk membuat ular itu berlutut atau mendekam di depan kakinya. Ada bermacam-macam perintah yang dapat dilakukannya terhadap ular, sesuai dengan yang diajarkan See-thian Coa-ong, melalui nada suara tertentu yang biasanya dikeluarkan dari kerongkongannya dengan pengerahan khi-kang. Akan tetapi, kini dengan tiupan sulingnya, tentu saja kekuatan itu lebih hebat lagi. Namun Ci Sian terkejut dan juga bingung. Ular raksasa itu tidak mentaati perintah melalui sulingnya, melainkan nampak panik dan bingung, juga seperti ketakutan. Agaknya, suara melengking yang langsung ditujukan kepadanya oleh dara perkasa itu amat mengganggu telinganya, membuat kepalanya rasanya seperti ditusuk-tusuk dari dalam! Ular itu kebingungan, ketakutan, dan membuka mulutnya lebar-lebar, mendesis-desis dan menggeliat-geliat, menggerakkan kepala seperti menari-nari, akan tetapi tarian yang tidak teratur, tarian kebingungan! Ci Sian melanjutkan tiupannya, menduga bahwa agaknya “alat penerima” ular raksasa ini sudah berbeda dengan ular-ular pada umumnya. Akan tetapi, melihat betapa tubuh ular itu menggeliat dan karenanya lilitannya juga mengendur, ia terus meniup sulingnya, bahkan menggunakan nada yang makin meninggi sampai tidak dapat ditangkap oleh anak telinga lagi! Dan ular itu semakin tersiksa! Dalam keadaan kebingungan itu, ular raksasa ini agaknya melupakan Kian Bu sehingga lilitannya mengendur dan ketika memperoleh kesempatan baik, Kian Bu berhasil meloloskan diri, sekali meloncat sudah terbebas dari lilitan ular. Akan tetapi ketika kedua kakinya tiba di atas tanah dekat isterinya, dia terhuyung dan tentu akan terpelanting kalau tidak dipeluk isterinya. Kiranya pendekar ini tadi terlalu banyak mengerahkan tenaga untuk berusaha melepaskan diri dari lilitan ular itu, dan juga untuk menjaga agar tulang-tulangnya tidak remuk terhimpit. Setelah mengatur napas sebentar dan keadaannya pulih kembali, Suma Kian Bu lalu mengambil payung isterinya, matanya tak pernah terlepas memandang ular itu. Ketika tadi ular itu membuka mulut lebar-lebar hendak mencaplok kepalanya, dia melihat betapa bagian dalam dari mulut ular itu merupakan daging yang kemerahan, dan dia percaya bahwa tidak mungkin daging di sebelah dalam rongga mulut itu kebal. Di situlah agaknya kelemahan ular ini, pikirnya. Di bagian luar tubuhnya, ular itu kebal, terlindung sisik yang amat tebal dan kuat. Akan tetapi kalau mulutnya terbuka, maka di dalam rongga mulutnya itu merupakan bagian yang lemah dan tidak terlindung. Ular itu masih ternganga lebar dan menyembur-nyemburkan uap, kebingungan dan kegelisahan sekali. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Kian Bu telah mempergunakan ilmu gin-kangnya yang luar biasa, melayang ke depan dan secepat kilat, sebelum ular itu tahu bahwa dirinya diserang, pendekar ini sudah menusukkan payungnya dari bawah, memasuki mulut itu dan ujung payung yang seperti pedang itu menusuk dan menembus rongga mulut bagian atas, memasuki otak di kepala ular dan menembus sampai keluar di antara kedua mata ular itu. “Mundur....!” Kian Bu berteriak nyaring sambil meloncat jauh meninggalkan ular itu. Sementara itu, Ci Sian dan Siang In juga berloncatan ke belakang. Untung bahwa mereka melakukan ini karena tiba-tiba saja ular yang sudah terluka parah itu mengamuk! Bukan main dahsyatnya amukan ular ini. Kepalanya yang sudah berlubang dan mengucurkan darah yang banyak sekali itu, menyambar-nyambar ke sana sini dan apa saja yang ditemukan, baik batu maupun batang pohon, tentu digigitnya sampai hancur! Ekornya juga menyambar ke kanan kiri dan batu-batu besar pecah-pecah terkena hantaman ekornya. Debu mengepul tinggi dan semua hiruk-pikuk itu ditambah lagi dengan teriakan-teriakannya yang menyayat hati. Teriakan-teriakan ini terdengar sampai ke dusun dan semua orang dusun, sejak mendengar suara ular itu memekik-mekik tadi, sudah menjatuhkan diri berlutut di rumah masing-masing dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Mereka mengira bahwa tentu tiga orang pendekar itu telah tewas semua dan sekarang Dewa Ular itu marah-marah dan akan mengamuk ke dusun itu! Akan tetapi, biarpun luka yang diderita oleh ular raksasa itu hanyalah luka kecil saja yang diakibatkan oleh tusukan ujung payung yang seperti pedang, namun luka itu menembus kepala dan merusak otak, pusat segala-galanya. Maka amukan itu hanya berlangsung beberapa menit saja dan akhirnya ular itu tergolek mati di depan guha! Tiga orang pendekar itu menanti sampai beberapa lama, sampai akhirnya mereka yakin benar bahwa binatang itu telah mati. Barulah Kian Bu mendahului-mereka, meloncat ke dekat ular itu dan menggerak-gerakkan kepala ular itu dengan kakinya. Namun, kepala itu terangkat dan terkulai lemas, tanda bahwa ular itu benar-benar telah tewas. Maka dia pun memberi isyarat kepada dua orang wanita pendekar itu yang segera maju menghampiri. Ngeri juga hati mereka melihat besarnya, ular ini. Bahkan Ci Sian sendiri yang memiliki ilmu menaklukkan ular dan sudah dapat disebut ahli ular atau pawang ular, bergidik melihat ular yang luar biasa ini. Pendekar Siluman Kecil yang melihat bahwa ular itu telah benar-benar tewas, menoleh kepada Ci Sian dan berkata, “Nona, engkau telah menyelamatkan nyawaku.” Siang In juga merangkul dara itu dan berkata, “Kalau tidak ada engkau, Adikku, entah apa akibatnya yang menimpa kami berdua.” Ci Sian tersenyum, balas merangkul Siang In dan berkata kepada Kian Bu, “Suma-taihiap, harap jangan bersikap sungkan. Di antara kita, mana ada istilah saling menolong atau menyelamatkan? Kita maju bertiga menghadapi ular itu, jadi tidak ada yang ditolong atau menolong”. Kian Bu mengangguk. “Baik, engkau masih muda akan tetapi pandai membawa diri, Nona. Tunggu, aku Suma Kian Bu bukan orang yang tak pandai membalas budi.” Setelah berkata demikian, pendekar ini menggunakan ujung payung isterinya untuk menggurat kepala ular yang sudah terluka itu. Anehnya, setelah ular itu mati, biarpun kulit kepalanya masih keras, namun tidak begitu sukar bagi pendekar untuk membelahnya dengan hati-hati. Kepala itu terbelah dan nampak isinya ketika dikuakkan dan dapat dibayangkan betapa girang rasa hati suami isteri yang dipenuhi harapan itu ketika di dalam kepala itu mereka menemukan sebuah benda bulat sebesar ibu jari, berwarna kehijauan, macamnya seperti sebutir mutiara yang berkilauan, akan tetapi agak lunak. itulah agaknya dongeng tentang mustika naga itu! Dengan hati-hati sekali Siang In menyimpan benda itu, dibungkusnya dengan sehelai saputangan bersih. Sedangkan Kian Bu berkata, “Nona Bu Si Cian....“ Ci Sian terkejut dan memandang dengan mata terheran-heran, akan tetapi kemudian ia dapat menduga dan menoleh kepada Siang In. “Memang aku telah menceritakan riwayatmu kepada suamiku, Ci Sian.” “Benar Nona. Aku sudah mendengar bahwa Nona adalah puteri dari Bu Seng Kin atau yang terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu. Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan orangnya, namun namanya sudah terkenal lama di dunia kang-ouw. Nona, kami berdua sudah melihat bahwa Nona adalah orang yang patut menjadi sahabat baik atau bahkan keluarga kami sendiri. Oleh karena itu, kalau sekiranya Nona suka, aku ingin menurunkan semacam ilmu kepadamu yang akan menambah kepandaianmu dan memperhebat ilmu silatmu. Kami akan tinggal di sini selama beberapa bulan, dan kalau engkau mau, aku akan dapat mengajarkan ilmu itu kepadamu di sini.” Siang In yang masih merangkulnya itu segera berkata, “Adikku, kesempatan baik sekali bagimu untuk memperdalam ilmumu! Percayalah, suamiku tidak pernah bicara main-main. Kautemanilah kami di sini mempelajari ilmu itu, karena bukankah engkau pun tidak mempunyai tujuan tertentu hendak ke mana? Kalau ilmumu sudah lebih sempurna, tentu akan lebih mudah bagimu untuk merantau dan.... mencari Suhengmu.” Ci Sian termenung sejenak. Ia tahu akan kelihaian pendekar ini dan sebagai seorang pendekar wanita muda, tentu saja ia pun masih haus akan ilmu-ilmu yang hebat. Dan iapun merasa amat cocok dengan Siang In. Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Kian Bu dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan Tai-hiap.” Siang In cepat membangunkan Ci Sian dan suaminya berkata, “Ah, mengapa sekarang engkau yang bersikap sungkan, Nona? Aku hendak menurunkan ilmu yang paling diandalkan keluarga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku lalu menjadi gurumu atau melepas budi kepadamu! Aku hanya melihat bahwa engkau adalah orang yang pantas memiliki ilmu keluarga kami itu.” Tiba-tiba terdengar suara banyak orang datang ke tempat itu dan dari jauh saja sudah nampak obor-obor yang mereka bawa. Kiranya mereka itu adalah para penghuni dusun yang dipimpin oleh kepala dusun. Tadinya, orang-orang itu ketakutan setengah mati mendengar suara pekik-pekik yang dahsyat dari ular raksasa. Akan tetapi setelah suara itu berhenti, mereka lalu bermunculan dari rumah masing-masing dan dengan pimpinan Kepala Dusun, akhirnya mereka memberanikan diri untuk menuju ke guha. “Kalau Dewa Ular mau mengampuni kita, itu baik sekali.” kata Kepala Dusun itu kepada semua orang. “Akan tetapi kalau beliau marah dan hendak membasmi kita semua, daripada mati konyol, lebih baik kita melawan sampai mati! Lebih baik mati sebagai manusia yang pandai membela diri daripada mati sebagai tikus-tikus yang penakut!” Ucapan penuh semangat ini, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kedatangan tiga “utusan dewa” itu, membakar semangat para penghuni dusun dan akhirnya, mereka pun mengumpulkan senjata seadanya, membawa obor dan berbondong-bondong datang ke arah guha. Dari jauh mereka pun sudah melihat obor yang dipasang di sekitar guha. Dengan jantung berdebar-debar, mereka terus melangkah maju dan akhirnya mereka semua berdiri terbelalak memandang ke depan guha, di mana berdiri tiga orang “utusan dewa” itu dan di depan tiga orang itu menggeletak tubuh ular besar yang tak bergerak-gerak! Ketika mereka semua melihat ke arah kepala ular itu, tahulah mereka bahwa ular itu telah mati. Serentak mereka bersorak gembira dan mereka dipimpin oleh Kepala Dusun untuk menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah tiga orang “utusan dewa” itu! Kian Bu menghadapi mereka dan berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa, “Saudara sekalian, bangkitlah dan tidak perlu kalian terlalu memuja kami. Ketahuilah, kami sama sekali bukan utusan dewa. Kami adalah manusia-manusia biasa yang menentang kejahatan, juga yang selalu siap menolong mereka yang tertindas atau terancam. Kami datang untuk membasmi ular raksasa ini dan kami telah berhasil. Kami tidak minta balasan apa-apa, hanya kami ingin tinggal untuk beberapa bulan di tempat ini, harap Saudara sekalian tidak menaruh hati keberatan.” Tentu saja Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu sama sekali tidak keberatan, bahkan mereka merasa girang dan bangga sekali. Berkat bantuan Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu, dibangunlah dua buah pondok kecll untuk suami isteri itu dan untuk Ci Sian dan mulai hari itu, tiga orang pendekar itu tinggal di tepi hutan, di dekat guha. Bangkai ular itu atas anjuran Kian Bu lalu dikuliti oleh para penghuni dusun, dagingnya dibagi-bagi dan dimasak. Kulit ular itu dijemur dan dijadikan semacam “lambang” dusun itu, dipentang dan dipasang di dinding ruangan besar tempat tinggal Kepala busun, dan dengan resmi mereka menyebut dusun mereka itu dusun Naga Hijau! Kian Bu, juga mencari daun-daun dan akar-akar obat sebagai campuran Jeng-liong-cu (Mustika Naga Hijau) itu, dimasak dan diminum oleh dia dan isterinya. Ramuan obat aneh ini setiap hari direbus dan airnya diminum oleh mereka dengan penuh harapan. Sementara itu, mulailah Kian Bu menurunkan ilmu pusaka dari Pulau Es, yaitu ilmu gabungan dua tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang (Inti Api) Swat-im Sin-kang (Inti Es). Ilmu ini adalah ilmu menghimpun tenaga dalam yang harus dilatih setiap hari oleh Ci Sian dengan cara bersamadhi. Kadang-kadang dara ini dilatih bersamadhi di dalam guha di mana dinyalakan api unggun besar sehingga udara di dalam guha itu pengap dan panas bukan main. Namun, berkat latihan dan petunjuk Kian Bu, Ci Sian mampu bertahan bertapa di dalam guha api ini sampai sehari penuh! Dan kadang-kadang dia diharuskan bersamadhi di puncak gunung di tengah malam yang amat dingin, bahkan duduk bersamadhi dengan merendam tubuhnya di dalam sumber air di hutan itu. Karena memang Ci Sian berbakat baik dan juga amat, tekun, maka dengan cepat ia dapat menguasai sin-kang itu, bahkan lewat beberapa pekan kemudian ia telah mulai latihan menyalurkan tenaga gabungan itu ke dalam gerak tangan, baik melalui pukulan tangan kosong ataupun melalui senjata suling emasnya. Tiga bulan lewat dengan cepatnya. Selama itu, tiga orang pendekar ini dilayani oleh para penghuni dusun. Mereka bertiga tidak kekurangan bahan makanan, karena sedikitnya sepekan sekali Kepala dusun dengan beberapa orang wakil penduduk tentu datang membawa bahan-bahan makanan hasil sawah ladang mereka. Sementara itu, Ci Sian telah berhasil menguasai ilmu dari keluarga Pulau Es. Tentu saja, penguasaan ilmu ini membuat ia menjadi semakin lihai, karena kini ilmu pedang yang dimainkan dengan sulingnya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Kam Liong, bertambah kehebatannya. Tadinya, ilmu itu sudah hebat sekali. Selain memiliki gerakan yang amat aneh dan lihai, juga gerakan suling itu mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat, di samping ditambah lagi suara suling melengking yang dapat melumpuhkan lawan. Semua kehebatan Kim-siauw Kiam-sut itu kini ditambah lagi dengan penyaluran sinkang yang dapat diatur menurut kehendaknya, bisa dingin seperti es, bisa panas seperti api! Pada pagi hari itu, setelah semalam suntuk berlatih samadhi dengan hasil yang baik sekali, Ci Sian pergi ke sumber air dan mencuci mukanya untuk mengusir kantuk yang mulai menyerangnya. Setelah mencuci muka dan mengeringkan mukanya, ia lalu duduk di tepi air kolam di tepi sumber di mana airnya tergenang penuh dan jernih sekali, juga air itu diam hanya bergerak sedikit sekali, seperti sebuah cermin ketika sinar matahari menyinarinya. Ia pun lalu mengurai rambut, menyisir rambutnya yang panjang hitam dan halus itu. Baru kemarin ia mencuci rambutnya itu dengan getah daun semacam daun lidah buaya dan rambut itu kini nampak halus mengkilap dan bersih, berbau sedap karena ketika digelungnya, ia menaruh kembang mawar hutan di rambutnya. Sambil bersisir, Ci Sian menjenguk ke dalam air, dimana ia melihat wajahnya terpantul dengan jelasnya. Seraut wajah yang segar dan cantik manis, berbentuk bulat seperti bulan purnama. Karena raut wajahnya itulah maka ia disebut Siauw Goat (Bulan Kecil) oleh kakeknya dahulu. Teringat akan ini, terbayanglah semua pengalamannya dan teringatlah ia kembali kepada Kam Hong, suhengnya. Dara itu menarik napas panjang dan sekali lagi ia menjenguk dan memandang wajahnya. Ia menyeringai, lalu menjebirkan bibirnya kepada bayangan itu. Kemudian, melihat wajahnya yang lucu di dalam air, ia geli dan tersenyum sendiri. Dan betapa manisnya ketika ia tersenyum. “Ci Sian, engkau lebih bahagia ketika masih menjadi Siauw Goat dahulu.” katanya lirih, seolah-olah bayangan di dalam air itu adalah orang lain yang dapat diajaknya bercakap-cakap. “Ketika itu, engkau hidup bahagia dan selalu gembira di samping kakek, dimanja dan dicinta semua orang. Tapi sekarang? Uhh, Suhengmu yang paling kausayang pun meninggalkanmu!” Tiba-ttba saja Ci Sian menangis! Sampai sekarang pun ia masih belum dapat menentukan perasaan apakah yang mengganggu hatinya ini. Ia memang mencinta suhengnya itu, akan tetapi apakah ini cinta kasih antara sumoi terhadap suheng, antara seorang dara yang haus akan kasih sayang ayah bunda sehingga suhengnya itu dianggapnya sebagai pengganti ayah bundanya, kasih seorang murid terhadap gurunya, atau kasih sayang antara sahabat yang dikaguminya dan dipujanya, ataukah ini kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria? Ia tidak tahu! Cinta kasih! Apakah itu sesungguhnya? Sudah seringkali pengarang mengajak pembaca untuk merenungkan dan mempelajari kenyataan hidup yang amat mujijat ini, dan tiada bosannya pengarang mengajak pembaca untuk merenungkannya kembali. Cinta kasih, apakah itu sesungguhnya? Betapa halusnya! Setiap orang merasakan keadaannya, namun sekali mencoba untuk mengukurnya dengan pikiran-pikiran, dengan kata-kata, maka kita kehabisan kata-kata untuk menyelaminya, kehabisan akal untuk dapat menguraikannya. Kita terbiasa untuk membagi-bagi cinta kasih, karena kehabisan akal itu, membagi-baginya dengan cinta kasih antara anak dan orang tua, antara sahabat, antara warga dan negaranya, antara suami dan isteri, pria dan wanita dan sebagainya. Bahkan, saking bingungnya kita, saking dangkalnya pikiran ini untuk dipakai mengukur cinta kasih, timbullah kata-kata untung-untungan bahwa cinta kasih itu buta, cinta kasih itu sorga, cinta kasih itu sengsara, dan sebagainya! Namun, semua anggapan itu hanyalah menjadi pengetahuan mati berdasarkan pengalaman masing-masing orang. Kalau orang merasa sengsara karena cinta, maka dikutuknyalah cinta. Kalau crang merasa bahagia, maka dipujanyalah. Cinta kasih tidak pernah terpecah-belah. Yang memecah belah adalah sang pikiran atau si aku yang selalu mengambil kesimpulan senang susah, untung rugi. Cinta kasih tak mungkin dapat diuraikan, karena bukan merupakan sesuatu yang mati, sesuatu yang sudah pasti dan tidak berobah lagi, karena pikiranlah yang selalu berobah sesuai dengan keadaan diri pribadi. Dengan pikiran kita yang dangkal, pikiran yang bukan lain hanya merupakan barang lapuk dan mati, tumpukan hal-hal yang sudah lalu, pikiran yang tak mungkin dapat mengenal hal-hal yang baru, mana mungkin kita dapat menentukan apakah sesungguhnya cinta kasih itu? Ratusan, bahkan ribuan orang yang dinamakan kaum cerdik pandai boleh mengatakan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu, ini atau itu. Namun, sampai sekarang, cinta kasih masih saja merupakan hal yang tidak kita mengerti benar. Cinta kasih tidak mungkin dapat disentuh melalui pikiran yang lapuk dan usang. Cinta kasih adalah sesuatu yang selalu baru, sesuatu yang terlalu agung untuk dapat diraba oleh panca indera dan pikiran. Oleh karena itu, agaknya hanya ada satu jalan untuk menyentuhnya, yaitu kita membebaskan diri daripada yang lapuk-lapuk itu, kita membiarkan diri kosong daripada segala pengetahuan tentang cinta kasih yang selalu didasari untung rugi si aku ini. Kita membiarkan diri bersih daripada segala yang BUKAN CiNTA KASIH. Yang bukan cinta kasih itu tentu saja adalah kemarahan, kebencian, permusuhan, iri hati, pementingan diri sendiri dan segala hal yang menimbulkan konflik antara kita dengan orang lain, bahkan antara kita dengan kita sendiri, dengan pikiran sendiri. Dalam keadaan kosong itu, kosong tanpa dibuat-buat, dalam keadaan bebas itu, dalam keadaan bersih itu, seperti kaca yang sudah bersih daripada debu, mungkin saja sinar cinta kasih akan dapat menembus masuk! Dan kalau sinar cinta kasih sudah menembus masuk, kiranya tidak ada lagi persoalan, tidak ada lagi pemecah-belahan. Ci Sian merupakan seorang manusia, satu di antara kita yang menjadi bingung oleh perasaan sendiri, oleh karena pikirannya sendiri. Ia hidup selama beberapa bulan di dekat sepasang suami isteri, dan memang semenjak tinggal di situ, antara suami isteri itu nampak kemesraan yang lebih daripada yang sudah-sudah. Menyaksikan suami isteri yang hidup saling mencinta, penuh kasih sayang dan kemesraan ini, tentu saja menimbulkan semacam perbandingan dalam hati Ci Sian. Ia membandingkan keadaannya dengan keadaan Siang In, seorang wanita lain, dan timbullah rasa iba diri dan mungkin juga rasa iri hati ini. Rasa iba diri ini membuat ia merasa sengsara dan tidak bahagia, bahkan menimbulkan rasa rindunya kepada Kam Hong, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengan hatinya! Ci Sian sudah berhenti menangis, dara ini memang tidak pernah dapat lama menangis. Hatinya yang keras membuat ia mudah menguasai hatinya kalau sedang dirundung kedukaan. Ia menjenguk ke air lagi, makin mengkal hatinya melihat matanya menjadi merah. Ditamparnya air di depannya itu dan tanpa disengaja ia mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang dan ada butiran-butiran air yang membeku menjadi es! Dengan bersungut-sungut, mulutnya yang berbibir merah itu cemberut, karena hatinya yang tadi berduka itu kini menjadi jengkel, ia lalu menggelung rambutnya dengan sembarangan saja. Tiba-tiba ia meloncat kaget. Telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar. Begitu meloncat ia sudah membalikkan tubuhnya sambil membentak, “Siapa di situ?” Dari balik semak-semak belukar muncullah dua orang pria. Pakaian mereka sederhana, seperti pakaian pertapa atau pendeta, dan kepala mereka tertutup topi tosu berwarna kuning. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Begitu mereka muncul dari balik semak-semak dua ocang pria ini berdiri dengan bengong seperti patung memandang kepada Ci Sian. Memang hebat bukan main dara ini di pagi hari itu. Hebat saking cantik dan manisnya! Kecantikan aseli, seperti keindahan alam, seperti setangkai bunga bermandikan embun, seperti ujung ranting berdaun dibelai angin, seperti segumpal awan berarak di angkasa. Cantik jelita dan indah mempesona! Pakaian dara itu sederhana saja, namun tidak dapat menyembunyikan kepadatan tubuhnya dengan lekuk-lengkung yang sempurna. Rambutnya yang hitam halus dan lebat itu digelung sembarangan saja, anak rambut atau sinom di jidatnya berjuntai dan melingkar-lingkar. Leher yang panjang itu seperti leher anak angsa, nampak kulit leher yang putih halus, wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu manis. Sepasang mata yang sedang merah itu mengeluarkan sinar mencorong dan sungguhpun agak merah karena habis menangis, namun tidak mengurangi kejelitaannya. Hidung yang kecil mancung itu agar merah, masih ada bekas tangis di ujung hidung yang kemerahan. Dan mulut yang kecil mungil itu masih cemberut, namun tidak membuat wajah itu kehilangan kemanisannya. Dagunya runcing agak berlekuk, dan biarpun dara itu sedang marah, namun tekukan bibirnya membuat lesung pipit di pipi kiri, dekat mulut, nampak membayang sudah. Orang termuda dari dua tosu itu menahan napas, kemudian menarik napas panjang dan dengan mata yang tak pernah dapat berkedip itu, sepasang mata yang lebar sekali, memandang wajah Ci Sian seperti hendak ditelannya bulat-bulat dengan pandang matanya, tosu ini berkata, “Siancai....! Bidadarikah? Silumankah....?” Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tentu Ci Sian akan menilai ucapan ini sebagai kekagetan biasa saja dan mungkin ia akan merasa geli dan menurutkan wataknya yang kadang-kadang kekanak-kanakan dan nakal, mungkin saja ia akan menggoda dua orang ini yang membayangkannya bidadari atau siluman. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang mengkal, sedang jengkel karena duka. Oleh karena itu, sikap dan ucapan tosu itu dianggapnya sebagai ejekan, sebagai kekurangajaran, atau bahkan sebagai penghinaan yang membuatnya marah sekali! Memang demikianlah kenyataan yang dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita menjadi jengkel, kita menjadi marah, kita menjadi sakit hati, semua ini sama sekali bukan disebabkan oleh keadaan di luar diri kita. Sebab utamanya adalah terletak dalam diri kita sendiri. Keadaan di luar itu merupakan suatu fakta dan yang memegang peran penting adalah tanggapan pikiran kita terhadap fakta di luar diri itu. Dan tanggapan ini sendiri terpengaruh kuat sekali oleh keadaan hati. Tanggapan-tanggapan terhadap keadaan di luar ini selalu berobah. Akan berbeda sekali tanggapan kita dalam keadaan hati senang dibandingkan dengan tanggapan di waktu hati sedang mengkal. Jadi, kemarahan adalah buatan kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari sebab kemarahan di luar diri kita, kita menyalahkan orang lain atau benda atau keadaan di luar diri kita, tidak mau menjenguk ke dalam sehingga kita tidak melihat bahwa kemarahan adalah buatan kita sendiri, disebabkan oleh tanggapan kita sendiri. “Kalian berdua ini tikus-tikus darimana berani menghinaku? Apakah kalian sudah boean hidup?” demikian Ci Sian yang merasa dipermainkan atau dihina ini membentak sambil melangkah maju dan bertolak pinggang. Dua orang tosu yang tadinya terpesona oleh kecantikan aseli seorang dara remaja di tengah-tengah hutan sunyi itu, sungguh-sungguh terpesona dan sama sekali tidak bermaksud untuk kurang ajar, kini terkejut. Yang tadi mengeluarkan suara adalah seorang tosu, akan tetapi betapapun juga, dia adalah seorang laki-laki yang masih muda, baru kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya. Bagi seorang laki-laki yang usianya sebegitu, tidak anehlah kalau daya tarik kecantikan wanita masih amat kuat baginya sehingga ucapannya tadi terpancing keluar dari mulutnya langsung dari hati yang terpikat, untuk menyatakan pujiannya. Kini, melihat sikap dan mendengar ucapan Ci Sian, mereka terkejut dan juga tidak senang, mengerutkan alis. Bagi dua orang tosu ini, tidak pantaslah kalau seorang dara remaja demikian keras kata-katanya. Karena dimaki tikus yang bosan hidup, tosu ke dua yang hidungnya bengkok, menjadi penasaran dan marah. Tosu ini usianya sudah mendekati empat puluh tahun. “Sute, ia sudah pasti bukan bidadari. Mendengar kata-katanya, ia lebih pantas kalau seorang siluman!” Ucapan ini bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api kemarahan Ci Sian. Sepasang alisnya bergerak naik dan matanya menjadi semakin mencorong mengeluarkan sinar kilat. “Bagus, bedebah keparat, kalian patut dihajar!” bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah meluncur ke depan dengan kecepatan yang luar biasa, kedua tangannya sudah bergerak menampar ke arah muka dua orang tosu itu. “Siancai....!” Tosu bermata lebar itu berseru, terkejut menyaksikan gerakan dara itu yang benar-benar amat cepat, apalagi ketika merasa betapa dari tangan yang menampar itu keluar hawa pukulan dahsyat yang terasa amat dingin! “Plak! Plak!” Dua orang tosu itu menangkis dan akibatnya mereka terdorong ke belakang dan hampir saja terjengkang. Akan tetapi mereka dapat berjungkir balik dan ternyata mereka memiliki gerakan yang tangkas juga. Akan tetapi muka mereka merah sekali oleh kenyataan betapa tamparan seorang dara remaja belasan tahun saja sudah membuat mereka hampir jatuh. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan marah. “Eh, bocah galak dan kurang ajar! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan!” kata tosu hidungnya bengkok. “Tentu saja aku tahu!” teriak Ci Sian yang sudah marah sekali. “Kalian adalah dua orang hidung kerbau!” Kedua orang itu menjadi marah. “Bagus, agaknya karena mengandalkan sedikit ilmu silat, engkau bocah setan menjadi kurang ajar!” teriak tosu mata lebar dan dia pun sudah menubruk maju, menggerakkan kedua tangannya, dengan cara yang cepat bertubi-tubi kedua tangan itu telah melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dari atas, sedangkan yang kanan sudah menusuk lambung dengan tangan miring. “Huh, kerbau busuk!” Ci Sian memaki lagi dan ia sama sekali tidak mau mengelak, akan tetapi kedua tangannya bergerak menangkis dan sekali ini dikerahkannya tenaga gabungan yang selama tiga bulan ini dilatihnya di bawah petunjuk Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu. LANJUT ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar