Rabu, 15 Januari 2014

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 15.

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 15:
Suling Emas & Naga Siluman Jilid - 15 Suling Emas & Naga Siluman Jilid 15 “Tak usah dikejar, musuh yang sudah mengaku kalah dan melarikan diri.” kata pula Kam Hong melihat Hong Bu hendak mengejar mereka. Sim Hong Bu menyimpan pedangnya dan menghadapi Kam Hong, sinar matanya penuh kagum dan ia lalu menjura. “Sungguh beruntung dapat bertemu dengan Kam-taihiap lagi di tempat ini, terutama dapat menikmati Ilmu Taihiap yang sungguh mengagumkan sekali.” Kam Hong menarik napas panjang. Dia kini dapat mengerti bahwa pemuda inilah yang menjadi suheng dari Pek In dan kalau pemuda ini dengan pedang yang diandalkan oleh keluarga Cu, maka mereka itu bukanlah omong kosong belaka, “Engkau pun memiliki kepandaian. yang amat mengagumkan hatiku, orang muda....” “Taihiap, namaku adalah Sim Hong Bu, kita pernah saling bertemu beberapa tahun yang lalu....” “Hong Bu pernah menolongku ketika Su-bi Mo-li muncul dahulu, Paman.... eh, Suheng....!” kata Ci Sian dan mendengar sebutan yang ragu-ragu ini, Kam Hong tersenyum. Dia maklum akan isi hati dara ini, yang tentu telah bercerita kepada Hong Bu bahwa dia adalah suhengnya, maka kini menyebutnya suheng. Dan memang sesungguhnyalah, bukankah Ci Sian itu sumoinya, mengingat bahwa mereka berdualah yang berhak menjadi murid kakek kuno yang mewariskan ilmu-ilmu itu. Mereka berdua sajalah yang berhak menyebut diri sebagai pewaris-pewaris ilmu itu dan menjadi murid jenazah kuno yang bernama Cu Keng Ong itu. Dan karena itu, maka sudah sepatutnyalah kalau mereka berdua saling menyebut suheng dan sumoi. Untuk menghilangkan keraguan Ci Sian dan juga untuk memberi muka kepada dara itu, dia pun lalu menjawab. “Ya, aku teringat akan hal itu, Sumoi. Memang Sim Hong Bu ini seorang yang gagah, dahulu menolongmu dan sekarang pun menolongku pula.” “Ah, Kam-taihiap harap jangan merendahkan diri, sesungguhnya bukan aku yang menolong Taihiap, melainkan Taihiaplah yang menolong Sumoiku....” “Eh, Hong Bu, setelah kita saling mengenal seperti ini, perlu lagikah engkau menyebut-nyebut Taihiap kepada Suheng? Rasanya tidak enak benar.” Ci Sian mencela. Kam Hong tertawa. “Benar apa yang dikatakan Sumoi. Hong Bu, mulai sekarang, jangan menyebut Taihiap, sebut saja Toako, cukuplah.” “Suheng, mari kita pergi dari sini.... Ayah tentu akan merasa gelisah sekali karena sejak kemarin aku belum pulang. Kau antarlah aku pulang agar Ayah dan para Paman percaya apa yahg telah terjadi.” kata Pek In dan dia pun lalu memegang tangan Hong Bu dan menarik pemuda itu untuk pergi. “Sumoi, engkau telah diselamatkan oleh Kam-tai.... Kam-twako, sepatutnya kita menghaturkan terima kasih.” “Aku.... aku....!” Pek In memandang bingung dan membuang muka. Kam Hong maklum akan apa yang dirasakan oleh dara itu, maka dia pun tertawa. “Sudahlah, di antara kita, perlukah bersikap sungkan dan pakai segala macam terima kasih segala?” “Suheng, marilah!” Pek In kembali menarik tangan Hong Bu. Pemuda ini memandang kepada Ci Sian dengan pandang mata penuh kasih sayang dan kemesraan, juga penuh dengan perasaan kecewa dan duka karena mereka harus berpisah itu. “Ci Sian.... kapankah kita dapat saling bertemu kembali?” Suara pemuda remaja itu terdengar gemetar penuh perasaan, penuh harapan. Sinar matanya dan suaranya ini tidak terlepas dari perhatian Kam Hong yang berpandangan tajam dan tahulah dia bahwa pemuda perkasa itu agaknya jatuh hati kepada Ci Sian! Juga Pek In adalah seorang wanita dan biasanya, seorang wanita amat peka terhadap sikap pria dan seorang wanita akan mudah sekali mengetahui apabila melihat pria yang jatuh cinta, maka Pek In juga dapat melihat sinar mata penuh kasih dan suara yang menggetar mesra penuh harapan itu. Pada saat yang sama itu, timbullah rasa cemburu yang amat menyakitkan hati di dalam diri Cu Pek In dan.... Kam Hong! Pendekar ini terkejut sendiri dan cepat dia memejamkan mata dan menarik napas panjang untuk mengusir pikiran yang dianggapnya tidak benar itu. Mengapa dia merasa cemburu kalau ada seorang pemuda jatuh cinta kepada Ci Sian, hal yang sudah sewajarnya itu? Sementara itu, Ci Sian sendiri hanya merasa suka terhadap Hong Bu, pemuda yang selain amat baik, gagah perkasa, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu. Dalam keadaan biasa, tentu dia pun akan bersikap biasa dan ramah saja. terhadap pemuda itu. Akan tetapi melihat betapa sikap Pek In amat mesra dan manja, melihat betapa dara itu kelihatan tidak senang ketika Hong Bu bicara dengannya, timbul perasaan panas di hati dara ini. Maka dia pun tersenyum manis sekali kepada Hong Bu dan berkata. “Hong Bu, kalau ada jodoh tentu kita kelak akan dapat saling bertemu kembali! Selamat berpisah Hong Bu.” Ucapan ini sebetulnya biasa, akan tetapi karena sikap Ci Sian sengaja dibuat menjadi amat mesra, maka tentu saja kata-kata itu bisa diartikan lain, yaitu memang dara ini mengharapkan dengan sangat akan pertemuan kembali antara mereka, bahkan memakai kata “jodoh” segala! Pek In menjadi semakin cemberut, menarik tangan suhengnya dan berkata, “Marilah Suheng!” , Karena ditarik tangannya, terpaksa Hong Bu pergi juga, akan tetapi sampai tiga kali dia menoleh ke arah Ci Sian yang berdiri sambil memandang dengan tersenyum manis. “Dia memang seorang pemuda yang hebat!” Mendengar ucapan Kam Hong ini, Ci Sian terkejut. Dia tadi masih memandang ke arah lenyapnya bayangan dua orang itu, dan kini dia terkejut mendengar kata-kata Kam Hong, bukan terkejut karena isi kalimatnya, melainkan karena suaranya. Suaranya amat berbeda, dan ketika dia menoleh dan memandang, dia merasa lebih berat lagi karena pada wajah yang tampan itu tampak bayangan kemarahan! “Paman.... eh, Suheng.... bolehkan aku mulai sekarang menyebutmu Suheng saja? Bukankah engkau telah menganggapku sebagai Sumoi karena kita sama-sama menjadi murid jenazah kuno.... eh, siapa namanya...., Cu Keng Ong itu?” Baru saja hatinya penuh dengan cemburu, akan tetapi kini melihat wajah Ci Sian yang cerah dan mendengar ucapannya, lenyaplah rasa cemburu itu dan Kam Hong tersenyum, lalu mengangguk. “Tentu saja boleh, bahkan engkau seharusnya menyebut aku Suheng, Sumoi.” Ci Sian juga sudah merasa lega melihat Kam Hong tersenyum, “Eh, Suheng, engkau tadi kenapa sih?” “Kenapa bagaimana?” “Suaramu tadi kaku dan wajahmu.... ah, aku berani bersumpah bahwa engkau tadi, baru saja, sedang dilanda kemarahan besar. Kenapa sih?” Kam Hong merasa betapa wajahnya menjadi panas, maka cepat-cepat dia mengerahkan sin-kang untuk menahan agar wajahnya tidak berubah merah. Dia tersenyum lagi dan cepat mencari alasan untuk sikapnya tadi, “Ah, aku hanya tidak setuju melihat sikap Nona Cu tadi, menarik-narik Hong Bu seperti itu....” “Memang gadis banci itu amat menjemukan! Dia kelihatan begitu manja dan mesra kepada Hong Bu, seolah-olah....” “Memang Nona itu amat mencinta Hong Bu, apakah engkau tidak dapat menduganya?” Kam Hong berkata dengan cepat dan agaknya kata-kata ini merupakan berita menyenangkan yang harus disampaikan secepatnya kepada Ci Sian. Dara itu memandang kepada Kam Hong dengan alis berkerut, agaknya berita itu tidak menyenangkan hatinya. “Hemm, bagaimana engkau bisa tahu, Suheng?” tanyanya, tidak rela membayangkan bahwa di antara pemuda seperti Hong Bu itu terdapat cinta kasih dengan gadis seperti Cu Pek In. “Ahh, sudah nampak dengan jelas sekali, bagaimana aku tidak akan tahu? Lihat sikapnya, ketika memandang kepada Hong Bu, ketika bicara, dan cara dia menggandeng tangan pemuda itu....” “Huh dasar banci tak tahu malu! Akan tetapi, belum tentu kalau Hong Bu juga cinta padanya, Suheng.” Kini, Kam Hong mengerutkan alisnya. Memang demiklanlah kenyataan yang dilihatnya. Hong Bu agaknya tidak mencinta Pek In, sebaliknya dia khawatir kalau pemuda itu jatuh cinta kepada Ci Sian. Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang ini. “Entah, Sumoi. Akan tetapi, harus kuakui bahwa Hong Bu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali....” “Aku sudah tahu, Suheng. Aku pernah mendengar suara pedangnya yang mengaung-aung ketika aku lewat di sini, suara itu keluar menembus batu besar yang menutup guha ini. Dan dia mendorong batu besar ini dengan satu tangan saja. Sekarang aku tahu bahwa dia.... sengaja membiarkan dirinya kena pukul olehku kemarin....” “Engkau memukulnya?” Ci Sian lalu menceritakan pertemuannya dengan Hong Bu yang mengira dia Pek In sedangkan dia sendiri menyangka Kam Hong yang berada di balik batu. “Kami memang saling mengenal begitu bertemu muka, Suheng. Akan tetapi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid keluarga Cu, aku segera menganggapnya musuh dan menyerangnya. Dia tidak pernah melawan, akhirnya aku dapat memukul dadanya sampai dia terpelanting, dan lalu kami berbaik. Sekarang aku tahu bahwa dia agaknya kemarin sengaja membiarkan dirinya terpukul. Suheng, dia adalah murid keluarga Cu itu! Dialah yang mewarisi pedang pusaka itu, juga ilmu pedang pusaka....” “Benar sekali kuduga akan hal itu ketika aku tahu bahwa dia adalah suheng Nona Cu. Dan melihat cara dia bermain pedang, aku pun dapat menduga bahwa tentu itulah ilmu yang dimaksudkan oleh Cu Han 8u. Hemm.... Ilmu Koai-liong Kiam-sut itu memang hebat dan agaknya memang dapat merupakan lawan tangguh sekali dari Kim-siauw Kiam-sut kita, Sumoi.” “Tidak mungkin!” “Apa maksudmu, Sumoi” “Tidak mungkin Hong Bu mau memusuhi kita! Dia seorang yang baik, tidak seperti keluarga Cu.” Kam Hong menarik napas panjang lagi. Kenapa hatinya merasa tidak enak mendengar dara ini memuji diri Hong Bu? Padahal, dia sendiri pun harus mengakui kebenaran ucapan itu. Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik. “Mungkin saja dia sendiri tidak, akan tetapi bagaimana kalau masih ada anggauta atau murid keluarga Cu yang lain, yang memiliki ilmu pedang itu dan kelak berusaha mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut kita!” “Akan kita hadapi! Kim-siauw Kiam-sut kita tidak harus kalah!” “Bagas sekali semangat itu, Sumoi. Akan tetapi untuk membuktikan hal itu, ada syaratnya, yaitu bahwa kita harus mempelajarl ilmu kita sebaik mungkin sampai sempurna. Nah, mulai sekarang kau tekunlah berlatih, Sumoi.” “Baik, Suheng.” “Dan aku pun akan kembali ke timur, bagaimana.... bagaimana dengan engkau, Sumoi?” “Ke timur....?” Ci Sian terkejut karena tak pernah terpikirkan olehnya bahwa dia akan mendengar kata-kata ini. “Kenapa Suheng?” “Aih, Sumoi, apakah engkau lupa? Aku datang ke tempat ini sebetulnya adalah untuk mencari Yu Hwi, seperti pernah kuceritakan kepadamu. Sekarang setelah kutemukan dia dan engkau mendengar sendiri janjinya untuk pulang mengunjungi kakeknya agar urusan pertalian antara dia dan aku dapat diputuskan secara resmi dan terhormat.” “Ke manahah engkau hendak pergi, Suheng?” “Ke Pegunungan Tai-hang-san. Di sana selalu tinggal kakek dari Yu Hwi yang pernah membimbingku sebagai guru, yaitu Sai-cu Kai-ong, juga kini tinggal pula Sin-siauw Sengjin, kakek tua yang seperti kakekku sendiri. Kakek inilah satu-satunya orang seperti keluargaku, sungguh pun antara kami tidak ada hubungan darah. Dia adalah keturunan dari orang yang pernah menjadi pembantu nenek moyangku, dan dia pulalah yang dengan setia menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu dari nenek moyangku untuk kemudian diturunkan kepadaku. Aku berhutang budi banyak sekali kepada dua orang kakek itu. Dan karena Kakek Sin-siauw Sengjin kini tinggal pula di Tai-hang-san, tidak berjauhan dengan Suhu Sai-cu Kai-ong, maka mudah bagiku untuk pergi mengunjungi mereka berdua.” “Selain mereka, engkau tidak mempunyai keluarga lainnya?” Kam Hong menggeleng kepala. “Aku tidak mempunyai keluarga lain lagi. Sumoi, aku hendak pergi meninggalkan daerah yang dingjn bersalju ini, ke timur di mana dunia penuh dengan sinar matahari. Maukah.... kau ikut bersamaku, Sumoi? Tidak! Bahkan aku akan senang sekali kalau engkau bersamaku, Sumoi. Ataukah.... engkau ingin mengunjungi orang tuamu.... aku boleh mengantarmu....” “Tidak, aku tidak sudi bertemu dengan Ayahku! Aku akan ikut dengan Suheng, karena hanya engkau seoranglah yang kupunyai di dunia ini.” Wajah yang tampan dan biasanya tenang itu nampak gembira sekali, sepasang matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum. “Bagus, Sumoi! Dan kita akan berlatih silat disepanjang jalan. Mari kita pergi!” Demikianlah, dua orang itu, yang menjadi suheng dan sumoi secara kebetulan saja, yang mempunyai nasib yang sama, yaitu tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini yang boleh mereka tumpangi, kini melakukan perjalanan menuju ke timur, meninggalkan barisan Pegunungan Himalaya yang penuh dengan keajaiban itu. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Ang Tek Hoat yang hidup secara amat menyedihkan, seperti seorang jembel yang sama sekali tidak mengurus diri, selalu hidup seperti keadaan seorang gelandangan, juga sikapnya membayangkan otak yang tidak waras atau yang oleh umum mungkin dianggap seperti orang yang gila. Kehidupan manusia memang kadang-kadang nampak menyedihkan sekali karena perubahan-perubahan yang terjadi menimpa diri seorang manusia seolah-olah membuat manusia yang tadinya berada di puncak tertinggi kini berada di tempat yang paling rendah. Si Jari Maut Ang Tek Hoat ini pernah menjadi calon mantu Raja Bhutan, disamping kedudukan panglima muda yang dipegangnya, menjadi calon suami seorang puteri cantik jelita seperti Syanti Dewi yang dicintanya. Betapa tinggi kedudukannya ketika itu, betapa penuh bahagia hidupnya. Dan dibandingkan dengan sekarang ini, sungguh orang takkan mau percaya bahwa jembel yang seperti orang gila itu adalah Si jari Maut Ang Tek Hoat itu! Orang akan melontarkan kesalahan kepada nasib. Namun, benarkah nasib yang mempermainkan kehidupan manusia? Apakah adanya nasib itu? Nasib hanya sebutan yang dipakai orang untuk menyatakan keadaan seseorang dalam kehidupannya. Dan kita tidak pernah mau membuka mata mempelajari suatu persoalan dengan penuh kewaspadaan, apalagi kita tidak mau menjenguk ke dalamnya untuk melihat bahwa segala sesuatu itu bersumber kepada diri kita sendiri. Melihat kesalahan diri sendiri merupakan hal yang tidak menyenangkan, juga mengerikan, maka kebanyakan dari kita lebih suka menutup mata dan melontarkan sebab-sebabnya kepada nasib! Biarpun kelihatannya seperti orang gila, namun pria yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak pernah menyesalkan nasib. Dia tahu benar akan kesesatan-kesesatan, kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukannya di masa muda (baca ceritaKISAH SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI ). Hal ini dapat dibuktikan betapa seringkali dia termenung dan mengeluh panjang pendek, bahkan kadang-kadang terdengar kata-katanya seperti bicara kepada diri sendiri dan hal ini yang membuat orang-orang menyangka dia gila. “Ijinkanlah aku bertemu dengan dia sekali lagi untuk minta ampun dan membuktikan bahwa aku telah bertobat....!” Kata-katanya itu sebenarnya sama dengan doa yang ditujukan kepada Tuhan agar dia dapat dipertemukan sekali lagi dengan kekasihnya, dengan Syanti Dewi agar dia memperoleh kesempatan untuk meminta ampun atas semua kesalahannya kepada dara itu. Baru sekarang ia sadar benar betapa dia telah banyak menyebabkan penderitaan hidup atas diri dara yang amat dicintainya itu! Baru dia sadar betapa sebenarnya puteri itu amat mencintainya, mencintainya dengan murni, tidak seperti dia yang cintanya penuh dengan pementingan diri pribadi sehingga penuh dengan cemburu yang gila. Hanya karena mencari Syanti Dewi maka Tek Hoat sampai terbawa arus orang-orang kang-ouw menuju ke Pegunungan Himalaya. Di Bhutan dia sudah menyelidiki dan ternyata Sang Puteri itu tidak berada di Bhutan. Jadi seolah-olah lenyap tanpa bekas! Maka dia pun ikut berkeliaran di Himalaya, sampai-sampai dia terbawa oleh orang kang-ouw mengunjungi Lembah Gunung Suling Emas, kemudian bahkan terlibat dalam pertempuran membantu Jenderal Muda Kao Cin Liong, keponakannya sendiri, menghadapi pasukan-pasukan Nepal. Tentu saja dia tidak mau menerima penawaran jenderal muda yang masih keponakannya sendiri itu untuk membantu terus, dan dia pun langsung meninggalkan Lhagat dan karena merasa yakin bahwa dia tidak akan dapat menemukan Syanti Dewi di Pegunungan Himalaya maka dia melakukan perjalanan kembali ke timur. Biarpun dia sudah menjadi seorang yang berpakaian jembel dan hidupnya merana, tidak teratur, namun Tek Hoat sekarang jauh lebih mendekati kehidupan seorang manusia utama dibandingkan dahulu ketika dia masih menjadi hamba nafsu-nafsunya. Kini dia merupakan orang yang sudah bertaubat benar-benar, tidak pernah mau melakukan hal-hal yang buruk, bahkan menghadapi siapapun juga, dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan benci atau ingin mengganggu. Namun, hal ini bukan berarti bahwa dia bersikap masa bodoh dan tidak peduli, karena setiap menghadapi hal-hal yang tidak patut, melihat kejahatan berlangsung di depan mata, sudah pasti dia turun tangan membela atau melindungi pihak lemah dan menentang mereka yang bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi lenyaplah sudah Si Jari Maut yang dulu mudah membunuh orang, karena kini dia cukup menggunakan kepandaiannya mengalahkan orang dan membuat orang itu takut untuk melanjutkan kejahatannya saja. Paling hebat dia hanya merobohkan lawan dan melukainya, luka yang tidak berbahaya bagi keselamatan nyawa lawan itu. Inilah Si Jari Maut Ang Tek Hoat atau juga Wan Tek Hoat sekarang, biarpun menjadi jembel miskin namun sepak terjangnya seperti seorang pendekar tulen! Beberapa bukan kemudian setelah dia meninggalkan Lhagat, pada suatu hari dia sudah tiba di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang cukup besar di ujung utara Propinsi Kiang-si. Tujuannya adalah ke Telaga Wu-ouw, yaitu sebuah telaga besar sekali di Propinsi Kiang-su, di sebelah utara kota Hang-kouw karena dia mendengar bahwa telaga yang amat besar itu indah sekali pemandangannya. Seperti biasa, ketika dia memasuki sebuah kota, Tek Hoat langsung mencari tempat penginapan, bukan hotel atau losmen, melainkan dia mencari rumah-rumah kosong, atau kuil kosong. Akan tetapi sungguh sial baginya, kota Kiu-kiang itu merupakan kota yang ramai dan teratur sehingga dia tidak dapat menemukan sebuah pun rumah atau kuil kosong! Akhirnya, karena hari sudah hampir malam, dia terpaksa memilih tempat bermalam di bawah sebuah jembatan besar ditepi kota. Dia membersihkan tempat itu yang penuh batu-batu dan semak berduri, menumpuk rumput kering lalu dia pun merebahkan diri di bawah jembatan sambil melamun. Asyik juga rebah di situ, melihat betapa jembatan itu agak bergerak-gerak kalau ada kuda atau kereta lewat, dan dari situ dia pun dapat mendengarkan orang-orang bercakap-cakap diatas jembatan itu tanpa yang bicara tahu bahwa di bawah jembatan ada orang mendengarkan percakapan mereka. Bermacam-macam hal dibicarakan orang dan kadang-kadang Tek Hoat tersenyum sendiri kalau mendengar percakapan yang lucu-lucu baginya. Dalam keadaan seperti itu, di mana kita bebas dari segala hal yang kita lihat atau dengar, baru kita dapat merasakan betapa lucunya dan juga menyedihkan adanya kehidupan manusia ini. Percek-cokan suami isteri akan terdengar lucu, karena sebelum mereka menjadi suami isteri, atau di waktu mereka masih pengantin baru, tentu suami isteri itu sendiri tak pernah membayangkan bahwa akan ada saat percek-cokan diantara mereka, di mana kemarahan bahkan kebencian meracuni hati. Kata-kata seseorang yang semanis madu terhadap orang lain tentu akan terdengar lucu karena kita akan melihat betapa kemanisan itu hanya merupakan kedok belaka, merupakan suatu jembatan untuk mencapai sesuatu yang menjadi pamrih. Kepalsuan-kepalsuan dalam kehidupan kini nampak jelas oleh Tek Hoat, membuat dia makin merasa betapa kotornya dirinya, betapa dia telah melakukan segala macam kekotoran dan kepalsuan. Karena kenyataan betapa palsunya dirinya dan semua manusia di sekelilingnya, betapa di balik setiap sikap, setiap senyum, kata-kata manis, bahkan hampir setiap perbuatan selalu bersembunyi sesuatu yang lain yang menjadi pamrih yang mendorong perbuatan palsu itu, maka mungkin saja inilah yang membuat Tek Hoat menjadi tidak peduli kepada diri sendiri. Dia seperti orang yang merasa muak dengan dirinya sendiri dan seolah-olah membiarkan dirinya sedemikian untuk sekedar “menghukumnya”! Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk ketika dia mendengar percakapan yang amat menarik hatinya. Dan kebetulan sekali yang bicara itu agaknya berhenti di atas jembatan! Dia cepat mengerahkan pendengarannya untuk menangkap semua percakapan itu setelah kalimat pertama ini amat menarik hatinya. “Kalau dia tidak mau seret saja sudah!” Kalimat Inilah yang membangkitkan perhatian Tek Hoat karena membayangkan akan terjadinya tindakan sewenang-wenang terhadap orang lemah. “Ah, orang macam dia mana bisa menggunakan kekerasan? Sebaiknya dibujuk saja.” terdengar suara orang ke dua. “Oleh karena itulah maka aku mencari kalian dan kebetulan sekali bertemu dengan kalian di sini. Thio-wangwe mengatakan bahwa dia bersedia membayar lima belas tail perak kepada pelukis itu kalau mau melukisnya.” “Lima belas tail?” seru suara pertama. “Wah, sebuah lukisan untuk lima belas tail? Gila itu!” “Bahkan dia masih menjanjikan untuk memberi hadiah dua tail perak kepadaku kalau aku dapat membujuknya.” kata orang ke tiga. “Wah, hebat! Dari mana dapat mencari uang semudah itu? Mari kita pergi dan kita bujuk dia sampai dia mau!” “Kalau tidak mau dibujuk, biar kuancam dia.” “Aih, harus hati-hati, agar dia mau. Kalau dia sudah mau dan menerima uang itu.... heh-heh, mudah saja menggasak uang itu darinya. Pelukis tua kerempeng seperti itu mana bisa mempertahankan uang lima belas tail?” Tiga orang itu lalu meninggalkan jembatan, tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka terdapat seorang pengemis brewok yang berjalan seenaknya sambil membayangi mereka. Pengemis ini bukan lain adalah Si Jari Maut! Karena cuaca sudah mulai gelap, Tek Hoat lalu mendahului tiga orang itu ketika mereka lewat di bawah sinar lampu jalan dan dia melihat bahwa tiga orang itu berwajah licik dan kejam seperti wajah orang-orang yang biasa melakukan kecurangan-kecurangan dengan jalan apa pun untuk memperoleh uang. Seorang di antara mereka bahkan membawa sebatang golok tergantung di pinggang dan selain bertubuh besar juga nampak bengis. Mereka bertiga itu menuju ke sebuah losmen kecil di ujung kota yang letaknya agak terpencil dan sunyi. Tiga orang itu menerobos masuk dan ternyata pengurus losmen itu agaknya sudah mengenal Si Tinggi Besar yang membawa golok karena begitu melihat orang ini pengurus itu kelihatan takut-takut dan menyambut dengan sikap menjilat. Akan tetapi dengan bengis Si Tinggi Besar itu bertanya, “Di mana kamar pelukis tua she Pouw itu?” “Di.... di sana, paling belakang, akan tetapi kami harap.... mohon agar jangan mengggnggu tamu kami....” Sementara itu, Tek Hoat sudah menahului mereka dan mengintai dari atas genteng. Mudah baginya menemukan kamar pelukis tua itu, karena memang tidak terlalu sukar menemukan seniman-seniman seperti pelukis, penyair dan sebagainya. Seorang kakek kurus yang berada di dalam kamar sendiri, bernyanyi-nyanyi kecil membaca sajak atau menggubah sajak karena tangannya tidak memegang apa-apa! Ketika dia tiba di atas kamar pelukis itu, dia mendengar orang tua itu sedang mendeklamasikan sajak yang agaknya tengah digubahnya. “....batin kosong tanpa isi.... .... alam pun sunyi sepi.... ....hening....diam....suci.... ....seniman tua asyik sepi sendiri.... “Tok-tok!” Ketukan pintu kamarnya mengejutkannya dan menariknya kembali ke dunia kenyataan. Dia bersikap tenang dan tanpa turun dari atas pambaringan di mana dia duduk bersila, dia menoleh ke pintu dan suaranya halus dan lirih, seolah-olah dia belum sepenuhnya kembali atau keluar dari dalam khayalnya. “Siapa di luar?” “Pouw-lo-siucai.... harap buka pintu, saya ada keperluan penting untuk dibicarakan dengan Lo-siucai!” Kakek itu adalah sastrawan pelukis Pouw Toan. Seperti Pernah kita mengenal sastrawan pelukis ini ketika dia mengunjungi Puteri Syanti Dewi di Pulau Kim-coa-to, Pouw Toan adalah seorang sastrawan perantau yang pandai sekali membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Selain ini, dia juga seorang sastrawan yang banyak merantau di dunia kang-ouw dan banyak mengenal orang-orang gagah di seluruh dunia, bahkan dia adalah seorang sahabat baik dari suami isteri pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya yang amat terkenal, yaitu Puteri Milana. Kakek Pouw Toan tersenyum pahit mendengar sebutan Lo-siucai itu. “Hemm, siapakah menjadi siucai? Aku tidak pernah merebutkan titel, aku hanyalah rakyat kecil biasa, jangan sebut aku dengan Lo-siucai segala. Siapakah engkau yang berada di luar dan mengganggu orang yang sedang asyik sendiri?” “Saya.... saya pelayan, ada perlu penting sekali!” kata suara di luar mendesak. “Hemmm, aku ini seniman miskin, tidak takut maling dan rampok maka pintu kamarku tak perlu dikunci. Kalau ingin masuk dan bicara, dorong saja pintunya terbuka.” kata Pouw Toan. Daun pintu didorong dari luar dan diam-diam Tek Hoat sudah siap dengan pecahan genteng di tangan, siap melindungi kakek itu kalau-kalau tiga orang itu hendak menggunakan kekerasan. Dia tahu bahwa dengan pecahan genteng itu saja dia akan mampu melindungi kakek di dalam kamar yang aneh itu. Dia merasa amat tertarik kepada kakek itu, apalagi ketika mendengar sajaknya yang luar biasa tadi dan ingin sekali dia mengenal kakek itu lebih jauh, tentu saja mengenalnya dengan diam-diam karena selama bertahun-tahun ini dia tidak mau mengenal orang secara berdepan. Ketika melihat bahwa yang masuk ada tiga orang yang memiliki wajah yang licik, Pouw Toan mengerutkan alisnya. “Hemm, kalian datang mau apakah? Jangan katakan bahwa kalian ini pelayan losmen.“ Seorang di antara mereka, yaitu orang yang diutus oleh Hartawan Thio dan yang membujuk dua orang kawannya untuk membantunya, menjura kepada Pouw Toan dan berkata, “Pouw-lo-siucai....” “Sudah kukatakan aku bukan siucai segala! Lekas katakan apa keperluan kalian.” “Eh.... eh, begini, Pouw-sianseng....” katanya gagap karena biarpun kakek itu nampak kurus kerempeng, harus diakui bahwa dia amat berwibawa dan sikapnya seperti seorang pendekar gagah perkasa. “Kedatangan saya ini adalah atas kehendak Thio-wangwe. Saya diutus untuk....” “Sudahlah, katakan kepada Thio-wangwe bahwa saya bukan tukang gambar orang....“ “Tapi Sianseng kemarin melukis seorang bocah penggembala kerbau di luar kota itu. Dan karena tertarik melihat hasil lukisan Sianseng, maka Thio-wangwe ingin sekali dirinya dilukis oleh Sianseng.” “Beberapa kali sudah dia minta kepadaku untuk melukis dan aku sudah menolak. Aku hanya melukis apa yang ingin kulukis, biar dia itu penggembala kerbau atau benda berupa sampah sekalipun. Aku tidak mau dipaksa melukis seorang raja sekalipun, atau setangkai bunga indah sekalipun kalau aku tidak menghendakinya.” Si Tinggi Besar itu agaknya sudah tidak sabar lagi. “Hei, pelukis tua sombong! Thio-wangwe hendak memberimu lima belas tail perak, tahukah engkau? Lima belas tail perak! Ingat, dalam waktu berbulan-bulan engkau takkan bisa memperoleh uang sebanyak itu!” Pouw Toan mengangkat mukanya memandang wajah Si Tinggi Besar yang bersikap kasar itu, dan dia tersenyum sambil menggeleng kepalanya. “Seorang tua bodoh seperti aku ini sudah tidak membutuhkan apa-apa, tidak butuh uang banyak, hanya butuh kebebasan untuk melukis, untuk bernyanyi, untuk apa saja yang mendatangkan kebahagiaan di hatiku. Apa artinya uang lima belas tail perak bagiku?” “Bagimu tidak ada artinya, akan tetapi bagi kami ada!” bentak Si Tinggi Besar dengan marah dan tiba-tiba dia telah mencabut goloknya dan menodongkan ke arah dada kakek pelukis itu. Tek Hoat hanya memandang dengan urat saraf menegang, akan tetapi dia belum turun tangan karena maklum bahwa Tinggi Besar itu hanya mengancam dan keselamatan Si Pelukis itu belum perlu dibela. Dia ingin melihat bagaimanakah kakek lemah yang perkasa itu dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Dia ingin mengenal kakek itu, mengenal dari sikap dan gerak-geriknya dalam menghadapi ancaman itu. Kakek Pouw Toan adalah orahg yang sudah puluhan tahun bertualang di dunia, sudah ribuan kali menghadapi ancaman malapetaka, maka tentu saja penodongan ini merupakan hal kecil saja baginya. Sungguhpun dia seorang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu silat, akan tetapi dia telah memiliki keberanian dan kegagahan seorang pendekar tulen. Maka dia hanya tersenyum saja memandang kepada penodongnya, lalu menarik napas panjang. “Hemm, sungguh untung sekali kau!” Katanya sambil tersenyum kepada penodongnya. Tentu saja Si Tinggi Besar itu menjadi melongo keheranan. Selama dia menjadi tukang pukul yang suka mempergunakan kekerasan dan ancaman untuk memaksakan kehendaknya, baru sekarang ini dia bertemu dengan seorang kakek lemah yang ditodong tidak memperlihatkan sedikit pun rasa kaget dan tak takut sebaliknya malah tersenyum dan mengatakan dia untung! “Ah, sudah gilakah engkau? Apa maksudmu?” bentaknya. “Ha, untung bahwa dua orang muridku sedang pergi, kalau dia berada di sini, aku terpaksa akan menaruh kasihan kepadamu.” Memang aneh sekali ucapan itu, akan tetapi nampaknya kakek itu tidak menggertak. “Sudahlah, katakan, kau mau melukis Thio-wangwe atau tidak! Kalau mau, mari ikut dengan kami ke gedung Hartawan Thio, kalau tidak, golokku akan minum darahmu di sini juga!” Si Tinggi Besar mengancam. Pouw Toan menggerakkan pundaknya. Dia tahu bahwa seorang penjahat cilik kasar macam ini memang berbahaya, mungkin saja membunuh hanya untuk soal dan uang kecil saja. Maka dia menarik napas panjang dan bangkit berdiri. “Yah, karena diancam golok, mau apa lagi? Baik, aku akan melukisnya, akan tetapi jangan salahkan aku kalau hasil lukisannya jelek.” “Siapa peduli baik atau jelek? Yang penting kaulukis dan menerima upah lima belas tail perak!” kata utusan Hartawan Thio itu dengan girang melihat hasil ancaman temannya itu berhasil. “Mari kita berangkat!” Tiga orang itu berhasil menggiring Pouw Toan keluar dari losmen itu dan pengurus losmen menarik napas lega melihat bahwa kedatangan tiga orang itu ternyata tidak menimbulkan keributan seperti yang dikhawatirkannya, Pouw Toan dengan sikap tenang-tenang saja mengikuti mereka dan sedikit pun tidak kelihatan takut seolah-olah dia bukan pergi sebagai seorang yang dipaksa dan diancam, melainkah sedang pergi “jalan-jalan” bersama tiga orang sahabatnya, bahkan di sepanjang perjalanan dia bersenandung! Tak jauh di belakang mereka, seorang pengemis berjalan mengikuti dan pengemis ini tentu saja adalah Si Jari Maut yang semakin tertarik dan semakin kagum terhadap diri pelukis tua itu. Thio-wangwe menerima kedatangan Pouw Toan dengan girang sekali. Cepat dia sendiri menyambut Pouw Toan dan mempersilakan pelukis itu bersama tiga orang “pengantarnya” masuk ke dalam ruangan tamu di samping rumah dan segera hartawan itu berdandan dan mempersiapkan dirinya untuk dilukis, sedangkan pelayan-pelayannya menyediakan alat lukis seperti yang diminta oleh Pouw Toan karena pelukis ini hanya membawa “senjatanya” saja, yaitu sebuah mauw-pit (pena bulu) alat melukis. Semua ini dilihat oleh Tek Hoat yang kembali sudah mengintai di atas wuwungan rumah gedung itu. Untuk peristiwa luar biasa yang menggembirakan hatinya ini, Thio-wangwe membolehkan isteri dan para selirnya menonton dia dilukis dan hal ini malah mendatangkan kegembiraan, karena dia pun ingin agar gambarnya memperlihatkan wajah gembira dan bahagia. Di antara para selirnya ada yang mengipasinya, ada yang menyuguhkan hidangan dan minuman dan hartawan ini duduk di atas kursi empuk, tersenyum-senyum memandang kepada Pouw Toan yang asyik melukisnya. Dan pelukis itu pun nampak melukis dengan sungguh-sungguh, mencorat-coret ke atas kain yang dibentangkan di depannya sedangkan tiga orang pengantarnya tadi duduk di sudut, menghadapi hidangan dan inuman, memandang dengan wajah berseri karena mereka membayangkan upah yang besar dan juga mereka bermaksud untuk merampas uang yang akan dihadiahkan kepada pelukis itu! Diam-diam Tek Hoat agak kecewa juga. Biarpun pelukis itu bersikap gagah dan berani, namun ternyata dia pun hanya orang yang tunduk terhadap keadaan yang memaksanya sehingga kini, biarpun tidak memperlihatkan rasa takut, tetap saja pelukis itu memenuhi permintaan Si Hartawan, bukan karena uang, melainkan karena paksaan. Kegagahan macam apa ini, pikirnya dengan kecewa. Akan tetapi dia tetap menanti di atas wuwungan sambil memperhatikan keadaan. Dari tempat dia bersembunyi, dia tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana hasil lukisan dari kakek itu. Kurang lebih setengah jam Pouw Toan membuat corat-coret, kadang-kadang memandang ke arah tuan rumah, kadang-kadang kepada lukisannya dan akhirnya dia mengangkat lukisannya itu ke atas, memandangnya dan berkata dengan wajah berseri, “Sudah selesai!” Ketika dia mengangkat lukisannya itu, dari atas genteng Tek Hoat dapat melihat lukisan tadi dan hampir saja dia tertawa bergelak. Dia melihat lukisan yang aneh dan lucu, lukisan seorang yang pakaiannya sama benar dengan pakaian hartawan itu, akan tetapi wajahnya yang biarpun semodel dengan wajah Thio-wangwe, namun mempunyai ciri-ciri seperti wajah seekor babi! Dan orang bermuka babi itu sedang makan dengan lahapnya, air liurnya membasahi ujung bibir, tangan kiri memegang paha ayam, tangan kanan meraba dada montok seorang wanita setengah telanjang dan ada wanita-wanita cantik lain mengerumuninya. Persis seperti gambar Ti Pat Kai, yaitu tokoh siluman babi menjelma manusia dalam cerita See-yu, yang sedang dirayu oleh sekumpulan siluman wanita. Muka yang seperti babi itu membayangkan nafsu-nafsu angkara murka, penuh dengan gairah berahi dan kegembulan, muka seorang pelahap dan juga seorang yang gila perempuan! Mendengar pelukis itu mengatakan bahwa lukisannya sudah selesai, Thio-wangwe cepat meloncat bangun berdiri, dengan wajah berseri-seri dia lalu lari menghampiri pelukis itu. “Sudah selesai? Cepat amat! Wah, perlihatkan padaku....!” Dan dia pun menyambar lukisan itu dari tangan Pouw Toan, dengan wajah yang gembira dia memandang dan.... seketika matanya terbelalak, mukanya berobah merah sekali. “Kau.... kau.... sungguh kurang ajar sekali!” teriaknya dan dia merobek lukisan itu menjadi dua dan melemparkannya ke atas lantai. Pouw Toan bangkit, menjura dan berkata, “Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai keinginan melukismu, Wangwe, oleh karena dipaksa, maka aku hanya melukiskan nafsu-nafsu yang bergelimangan memenuhi tempat ini. Maaf, aku tidak bermaksud menghinamu, Wangwe, akan tetapi aku melihat betapa Wangwe terkurung dalam kurungan emas, terbelenggu oleh nafsu-nafsu yang suatu saat nampak sebagai menyenangkan dan memuaskan, akan tetapi pada lain saat akan berobah menjadi menyusahkan dan mengecewakan, membosankan. Karena itu....” “Pergi!” Kau manusia tidak sopan, pergi dari sini! Hayo bawa dia pergi!” bentak hartawan itu kepada tiga orang yang mengantar Pouw Toan datang tadi. Utusan Thio-wangwe tadi memberi isyarat kepada dua orang kawannya untuk mengantar Pouw Toan keluar dan dia sendiri tinggal di situ untuk minta upahnya. Dengan uring-uringan Thio-wangwe melemparkan upahnya kepada orang itu yang cepat menyusul teman-temannya keluar. “Sialan!” katanya kepada teman-temannya. “Upahku diberikan dengan marah-marah, akan tetapi upah lukisan itu dia tidak mau berikan.” “Kenapa?” tanya Si Tinggi Besar. “Kau tidak melihat lukisannya?” Yang ditanya menggeleng. “Lihat ini! Dia melemparkan lukisan ini pada mukaku ketika aku menuntut upah lukisan!” kata utusan itu dan Si Tinggi Besar bersama kawannya lalu melihat lukisan yang telah robek menjadi dua itu di bawah lampu luar gedung. Ketika mereka berdua melihat lukisan itu, seorang di antara mereka tertawa. “Heh, mirip memang!” “Hushh!” bentak Si Tinggi Besar. “Si Tua Bangka ini sengaja mempermainkan dan kita yang tidak memperoleh rejeki. Orang macam ini harus dihajar!” bentaknya dan dia menghampiri pelukis itu. “Sabar, kawan.” kata temannya. “Sebaiknya kita antar dia kembali ke losmen. Tidak ada untungnya memukul orang tua lemah seperti dia.” Kembali Pouw Toan berjalan seenaknya dan dengan tenang saja diiringkan tiga orang yang kelihatan kecewa dan marah-marah itu. Tak jauh di belakang mereka, Tek Hoat juga selalu membayangi dan diam-diam dia mulai kagum kepada Pouw Toan. Kiranya Pouw Toan tidak mengecewakan hatinya. Pelukis tua itu benar-benar hebat! Karena dipaksa, dia mau melukis, akan tetapi lukisannya dilakukannya seenak sendiri saja sehingga menjadi lukisan yang mengejek dan menelanjangi hartawan yang berenang dalam lautan nafsu itu. Sungguh tepat sekali lukisannya dan sepatutnya hartawan itu berterima kasih kepadanya karena telah disadarkan! Setelah tiba di losmen, Si Tinggi Besar itu mengantar Pouw Toan ke kamarnya dan dengan suara keras memerintahkan pelukis itu untuk mengumpulkan seluruh barang bawaan dan miliknya yang berada di kamar itu, kemudian memaksanya keluar lagi. “Eh, kalian hendak membawaku ke mana lagi?” tanya Pouw Toan. “Huh, kusuruh melukis!” bentak Si Tinggi Besar. “Melukis apa?” “Melukis neraka!” “Ha-ha-ha, aku senang sekali melukis neraka. Coba katakan, neraka itu macam apa?” “Tolol! Mana aku pernah melihat neraka?” “Aku pun belum, ha-ha-ha!” Pouw Toan tertawa senang. “Mari ikut dengan kami, kau akan melihat neraka dan akan dapat melukisnya.” kata Si Tinggi Besar yang mendorong kakek itu. Mereka pergi lagi akan tetapi kini mereka membawa Pouw Toan ke luar kota dan di tempat yang sunyi, Si Tinggi Besar merampas buntalan Pouw Toan dari pundaknya. “Eh, apa yang kaulakukan ini?” “Aku ingin mengirim kau ke neraka agar engkau dapat melukisnya. Ha-ha-ha! Nah, buka pakaianmu itu!” Si Tinggi Besar menodongkan goloknya. Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan berkelebat. “Desss! Aughhhhh.... !” Si Tinggi Besar terpelanting ketika pundaknya ditampar oleh Tek Hoat yang tak dapat menahan kesabarannya lagi melihat betapa pelukis itu hendak dibunuh setelah barangnya dirampas, bahkan sebelum dibunuh pakaiannya disuruh buka! Dua orang teman Si Tinggi Besar terkejut sekali melihat munculnya seorang pengemis yang berani memukul temannya, segera menyerang. Akan tetapi, Tek Hoat menanti sampai tangan yang menyerangnya itu mendekat, kemudian dia mengangkat kedua lengannya menangkis. “Krek! Krek!” Lengan kedua orang itu patah tulangnya ketika bertemu dengan lengan Tek Hoat! Mereka mengaduh-aduh dan memegangi lengan yang patah tulangnya. “Jembel busuk kau bosan hidup!” bentak Si Tinggi Besar yang sudah bangun dan kini dia menyerang dengan goloknya. Akan tetapi Tek Hoat menerima golok itu dengan tangannya, menangkap golok itu dan sekali mengerahkan tenaga, golok itu patah-patah dan dia lalu menampar lengan Si Tinggi Besar dengan pecahan golok masih di tangan. “Creppp!” Kembali Si Tinggi Besar menjerit dan sekali ini, tangan kanannya hancur dengan pecahan goloknya sendiri menancap sampai ke dalam daging dan mengenai tulangnya yang hancur. Dia merintih-rintih, kemudian bersama dua orang temannya dia melarikan diri tunggang-langgang setelah meninggalkan buntalan milik Pouw Toan. Sejenak suasana menjadi sunyi dan dua orang itu berhadapan di tempat remang-remang karena kegelapan hanya dilawan oleh sinar bulan sepotong. Kemudian terdengar Pouw Toan tertawa bergelak, “Ha-ha, sejak tadi engkau selalu membayangi kami, Si Jari Maut!” Bukan main kagetnya Tek Hoat mendengar ini. Kakek lemah itu tidak saja tahu bahwa sejak tadi dia membayanginya, akan tetapi bahkan telah mengenalnya pula! Akan tetapi dia, tidak peduli dan membalikkan tubuhnya, lalu pergi dari situ. Dia tahu bahwa pelukis itu mengikutinya, akan tetapi dia pun tidak peduli akan hal ini dan Tek Hoat lalu kembali ke jembatan yang menjadi tempat bermalamnya itu. Dia melihat kakek pelukis itu terus mengikutinya, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat dan dia lalu turun ke bawah jembatan, lalu rebah melingkar lagi di tempatnya semula sebelum dia tertarik oleh percakapan orang di atas jembatan tadi. “Ha-ha, sungguh tempat yang jauh lebih menyenangkan daripada losmen itu!” kata Pouw Toan. “Wan Tek Hoat Taihiap, bolehkah aku ikut bermalam di sini?” Kembali Tek Hoat terkejut. Orang ini bukan saja mengenalnya sebagai Si Jari Maut, bahkan mengetahui she-nya yang sesungguhnya, padahal jarang ada yang tahu akan she Wan itu, kebanyakan hanya tahu bahwa she-nya adalah Ang! “Ini tempat umum, siapa pun boleh pakai.” jawabnya singkat, kemudian disambungnya, “dari mana kau tahu aku she Wan?” “Ha-ha, Taihiap, aku tua bangka tak berguna ini mengenal hampir semua tokoh di dunia kang-ouw, maka begitu melihat Taihiap aku pun segera mengenalmu. Aku banyak mendengar tentang dirimu dari sahabatku yang teramat baik, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana yang masih terhitung bibimu sendiri, bukan?” Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak senang mendengar dirinya dikenal, apalagi dihubungkan dengan orang-orang yang berkedudukan tinggi seperti Milana, biarpun harus diakuinya bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti dan pendekar itu adalah kakek tirinya! “Sudahlah, aku sendiri sudah lupa siapa diriku, apalagi engkau, seorang lain!” Setelah berkata demikian, Tek Hoat lalu tidur dan sebentar saja dia sudah pulas. Diam-diam Pouw Toan menghela napas panjang berkali-kali dan dia merasa kasihan sekali kepada pendekar ini. Teringat dia akan pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi dan diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana seorang puteri cantik seperti bidadari itu dapat begitu mendalam jatuh cinta kepada pendekar yang kini menjadi seperti jembel gila? Akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa mungkin keadaan pendekar ini sampai menjadi begini justeru karena Si Puteri itulah! Dia tidak tahu dan tidak pernah mendengar akan rahasia yang terjadi di balik hubungan antara pendekar ini dengan Puteri Syanti Dewi, akan tetapi dia teringat akan pesan Sang Puteri untuk menyerahkan lukisan dirinya kepada pendekar ini kalau dia dapat menjumpainya dan kini secara kebetulan sekali dia bertemu dengan pendekar ini! Lukisan itu masih selalu disimpan di dalam buntalannya dan tadi hampir saja terampas oleh orang jahat kalau tidak muncul Si Jari Maut, yang menyelamatkannya. Bahkan nyaris dia terbunuh oleh penjahat itu. Akan tetapi, dia bukan orang bodoh. Tadi dia sudah dapat melihat bahwa ada seorang jembel terus mengikutinya dan dia dapat menduga bahwa Si Jembel ini tentulah Si Jari Maut, oleh karena itu dia bersikap tenang saja dan menurut saja dibawa keluar kota oleh tiga orang itu. Andaikata dia tidak yakin bahwa jembel itu tentu pendekar sakti itu, tentu dia tidak mau dibawa keluar kota seperti seekor domba dituntun ke pejagalan begitu saja. Melihat pendekar itu agaknya telah tertidur, Pouw Toan juga lalu merebahkan diri dan tak lama kemudian dia pun tertidur pulas dan bermimpi indah. Pouw Toan adalah seorang manusia bebas yang selalu merasa bahagia, dimanapun juga dia berada. Akan tetapi, begitu pelukis itu pulas, Tek Hoat terbangun dan dia duduk bersila. Dari bawah jembatan itu kini nampak bulan yang condong ke barat, sinarnya gemilang karena tidak terhalang awan. Agak jauh dari bulan sepotong itu nampak berkelap-kelipnya bintang dan jauh di timur nampak sebuah bintang terpencil sendirian, sunyi. Teringat Tek Hoat akan bunyi sajak pelukis yang kini tertidur itu. Dia masih hafal bunyinya karena amat tertarik. “Batin kosong tanpa isi alam pun sunyi sepi hening diam suci seniman tua asyik sepi sendiri” Dia menarik napas panjang. Membaca sajak itu, dia seperti dapat meraba kesunyian itu, keheningan yang maha luas, sebagai pencerminan dari kesepian di hatinya. Akan tetapi, kalau pelukis itu agaknya menikmati kesunyian yang disebutnya keheningan yang diam dan suci, sebaliknya dia tersiksa oleh kesepian diri, karena kerinduannya yang tak kunjung henti terhadap Syanti Dewi. Dia kini merasa seperti bintang yang terpencil di timur itu, bintang kecil tersendiri, miskin papa dan hina, seperti dia, tidak cemerlang, hidup sia-sia.... dan dia pun menarik napas panjang lagi. Kalau saja dia sudah yakin bahwa Syanti Dewi sudah tidak ada lagi di dunia ini, tentu hal itu akan amat meringankan penderitaan hatinya. Kalau begitu halnya, hanya ada dua pilihan, hidup dengan bebas atau mati. Akan tetapi dia yakin bahwa pujaan hatinya itu masih hidup, entah di mana! Dan andaikata dia dapat menjumpainya, dia pun sangsi apakah Syanti Dewi mau sekali lagi mengampunkannya. Dosanya sudah bertumpuk-tumpuk terhadap Syanti Dewi pujaannya itu. Apakah dia akan begini terus dan akhirnya seperti pelukis itu, yang menamakan dirinya sendiri seniman tua? Dia hanya akan menjadi jembel tua kelak! Hampir setiap orang pernah merasakan kesepian yang amat menyiksa dan menakutkan batin itu. Rasa kesepian yang mencekam, sungguhpun kita dikelilingi keluarga, harta benda, dan segala milik kita lahir batin. Rasa kesepian ini kadang-kadang muncul kalau kita melihat betapa sesungguhnya kita ini tidak memiliki apa-apa, betapa kita ini hidup terpisah dari semuanya itu, betapa pada suatu saat kita akan berpisah dari kesemuanya itu, apabila kematian datang menjemput kita. Rasa kesepian ini, rasa betapa diri ini kosong tanpa isi, tiada arti, mendorong kita untuk mengikatkan diri kepada apapun juga yang kita anggap lebih berharga, lebih tinggi dan karena itu dapat mendatangkan hiburan yang membuat kita terhibur dan senang. Kita yang merasa betapa diri sendiri ini kosong tak berarti, lalu mengikatkan diri. Kepada keluarga, kepada kelompok, kepada suku atau agama, kepada kepercayaan, kepada negara, dan sebagainya lagi. Namun pada hakekatnya, akar daripada pengikatan itu bersumber kepada pelarian diri, diri atau si Aku yang ingin lari daripada kesepian dan kekosongan yang mengerikan itu, si Aku yang ingin terhibur, yang ingin terjamin keamanan dan keselamatannya, si Aku yang selalu ingin dalam keadaan yang menyenangkan. Karena itulah maka timbul pengukuhan dan jerih payah, daya upaya untuk mempertahankan kepada yang kita pentingkan itu di mana kita mengikatkan diri. Yang penting lalu keluargaku, bangsaku, agamaku, Tuhanku, kepercayaanku. Jelaslah bahwa yang penting itu adalah “ku” nya. Peduli apa dengan agama orang lain, karena semua itu tidak ada hubungannya, tidak menyenangkan aku! Yang penting adalah segala-gala yang menjadi punyaku, yang menjadi kepentinganku. Kesepian berbeda dengan keheningan! Kalau kita berada seorang diri, di lereng gunung yang sunyi, atau di tepi laut, atau di mana saja tidak terdapat seorang pun kecuali kita sendiri, kalau kita berada di tempat itu dengan batin kosong, dengan pikiran yang tidak mengoceh, dengan mata dan telinga terbuka, dengan kewaspadaan dan penuh kesadaran, maka akan terasalah adanya keheningan yang menyelubungi seluruh alam termasuk kita sendiri. Keheningan yang menembus sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin kita, yang tiada bedanya dengan keheningan yang berada di luar diri, keheningan yang mencakup seluruhnya di mana diri kita termasuk, keheningan yang tidak memisah- misahkan antara kita dengan pohon, dengan burung yang terbang, dengan embun di ujung daun atau rumput, dengan awan berarak di angkasa. Di dalam keheningan seperti ini tidak terdapat rasa khawatir, tidak terdapat rasa takut, rasa sepi, tiada lagi pikiran yang membanding-bandingkan antara susah dan senang, puas kecewa, hidup mati dan sebagainya. Akan tetapi, pikiran yang membentuk si Aku ini masuk dan mengacau keheningan dalam diri yang segera memisahkan diri dari keheningan yang menyelimuti seluruh alam, si Aku yang begitu masuk lalu menciptakan keinginan-keinginan. Ingin terus memiliki dan menikmati keheningan itu tadi. Ingin terbebas dari semua kesengsaraan! Ingin ini dan ingin itu dan justeru keinginan inilah yang meniadakan segala-galanya, kecuali menda-tangkan kesenangan sekilas lalu saja, dan akhirnya akan mendatangkan kesepian karena semua kesenangan itu hanya selewatan belaka. Maka, pikiran yang membentuk si Aku itulah yang mendatangkan lingkaran setan yang tiada akhirnya! Keheningan sebelum si Aku masuk adalah keheningan, yang menyeluruh, keheningan di mana tidak terdapat si Aku yang menikmati keheningan itu. Segala macam suara tidak akan mengganggu karena tercakup di dalam keheningan itu. Hanya pikiran dengan si Akunya sajalah yang mendorong kita keluar dari keheningan, membuat kita memisahkan diri, mengasingkan diri dalam kurungan nafsu kesenangan lahir batin. Ada orang yang mengira bahwa keheningan menyeluruh itu dapat dicapai dengan daya upaya dan pengejaran. Ada yang mengejarnya melalui meditasi, melalui pertapaan, melalui pengasingan diri di tempat-tempat sunyi, di dalam guha-guha atau di puncak-puncak gunung. Padahal, bukan tempatnya yang penting, bukan caranya yang penting, melainkan kewaspadaan dan kesadaran akan dirinya sendiri. Karena kebebasan itu baru ada apabila kita bebas, bebas dari segala ikatan apa pun. Bebas berarti hening. Tak dapat didaya upayakan, dicari dengan sengaja. Dalam keadaan terikat, takkan mungkin bebas. Kalau tidak terikat oleh apa pun, maka tanpa dicari kebebasan pun ada. Selama masih terikat, oleh sesuatu, berarti masih dikuasai oleh nafsu keinginan, dan dalam keadaan begini, mencari kebebasan tiada artinya karena yang mencari itu adalah nafsu ingin senang, maka dicari-cari dan dikejar-kejar. Mungkin saja bisa didapatkan apa yang dikejar-kejar, akan tetapi yang didapatkan itu bukanlah yang sejati. Yang sejati tak dapat dikejar, melainkan akan memasuki batin yang bebas dan terbuka, karena hanya batin yang terbebas sajalah yang terbuka dan bersih, yang dapat ditembus sinar cinta kasih. Pada keesokan harinya, ketika Pouw Toan terbangun, dia melihat Si Jari Maut masih duduk bersila di situ. Girang hati pelukis ini, karena tadinya dia khawatir kalau-kalau orang aneh itu telah pergi sebelum dia terbangun. Dan memang Tek Hoat menantinya sampai terbangun. Ada sesuatu yang menarik hati Tek Hoat dalam sajak itu, dan dia ingin bertanya tentang itu kepada si pembuat sajak. “Selamat pagi, Wan-taihiap.” kata Pouw Toan. “Hemm....“ Tek Hoat hanya bergumam saja karena selama bertahun-tahun ini baru sekarang dia mendengar ada orang menyalam selamat pagi padanya. “Bukan main indah sejuknya pagi ini!” Pouw Toan bangkit berdiri, mengembangkan dadanya dengan membuka kedua lengannya dan menghirup hawa udara pagi yang masih sunyi itu sebanyaknya. Mendengar suara yang terdengar amat gembira ini Tek Hoat menoleh dan memandang penuh perhatian. Orang itu memang kelihatan gembira sekali. Dia merasa heran karena dia tidak melihat sesuatu yang patut untuk membuat orang itu gembira! Sungguh seorang manusia yang amat aneh! “Siapakah namamu, Paman?” Akhirnya dia bertanya. Dia tidak tahu betapa girangnya hati Pouw Toan mendengar pertanyaannya ini. Kiranya dia sudah mampu menggetarkan hati yang beku dari pendekar itu! “Wan-taihiap, namaku adalah Pouw Toan.” Tek Hoat mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. Dia sudah hampir lupa akan nama-nama orang akan tetapi dia masih samar-samat ingat bahwa nama ini banyak disebut orang dengan nada kagum. Melihat pendekar ini termenung mendengar namanya, Pouw Toan lalu berkata, “Agaknya ada sesuatu yang ingin kautanyakan kepadaku? Silakan,” Menerima dorongan dari pelukis itu, Tek Hoat lalu berkata, “Aku ingin sekali tahu tentang arti sajakmu semalam, ketika kau membaca sajak di dalam kamar losmen.” Kemudian, dengan suara lirih Tek Hoat mengulang bunyi sajak empat baris itu. Pouw Toan terbelalak heran. Dia sendiri sudah lupa akan bunyi sajak yang digubahnya secara iseng-iseng dalam kamar itu. Dan kini sajak itu telah dihafal oleh pendekar ini! Dan tahulah dia mengapa demikian. Sajak itu agaknya mengena benar di hati pendekar ini yang tentu saja sedang dilanda kesepian yang amat hebat sehingga membuatnya seperti orang gila itu, kesepian yang tercipta karena kerinduan. “Ah, jadi engkau masih ingat akan bunyi sajak itu, Taihiap? Dan engkau telah berada diatas genteng ketika tiga orang kasar itu datang kepadaku? Sungguh hebat! Sajak itu sudah begitu jelas, tentang keheningan dan kesepian. Bagian manakah yang kau tidak mengerti?” “Keadaan yang sunyi sepi amat menggelisahkan dan menyiksa hatiku selama bertahun-tahun ini, akan tetapi mengapa engkau yang agaknya merasakan pula kesunyian itu malah nampak gembira dan menghadapi segala sesuatu selalu tenang dan tenteram seolah-olah tiada sesuatu di dunia ini yang dapat menyusahkan hatimu?” “Ahhh....!” Pouw Toan memandang dengan penuh iba. “Mengapa aku harus susah? Aku tidak membutuhkan apa-apa, tidak ada apa-apa yang mengikat diriku lahir batin, mengapa aku harus susah? Tidak, aku tidak pernah susah dan selalu gembira karena memang hati yang kosong dari segala keinginan berarti telah memiliki segala-galanya dan karenanya yang ada hanyalah kegembiraan saja. Akan tetapi engkau, Taihiap, kulihat engkau amat sengsara hatimu. Agaknya engkau merindukan sesuatu, menginginkan sesuatu, kecewa akan sesuatu yang membuat engkau merasa iba diri, kesepian dan sengsara. Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Engkau masih muda, gagah perkasa, apa pun yang kauinginkan tentu dapat terlaksana. Andaikata engkau mencinta seorang wanita dan amat merindukannya, ingin memperisterinya, mengapa tidak kau lakukan itu? Mengapa menyiksa diri sendiri, menyepi dan menjauhkan diri?” Semua ucapan itu mengenai benar hati Tek Hoat. Selama ini dia tidak pernah menceritakan semua penderitaannya kepada siapapun juga. Akan tetapi pribadi pelukis ini amat menarik hatinya dan menimbulkan kagum, maka kini mendengar ucapan yang amat mengena itu dia pun menarik napas panjang dan untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, dia memandang dengan sinar mata orang waras. “Apa yang dapat kuharapkan? Aku manusia tidak berharga ini mana mungkin dapat mengharapkan balasan cinta seorang wanita yang amat mulia? Mana mungkin dia mau mengampuni semua dosaku yang bertumpuk-tumpuk?” Pertanyaan ini seperti diajukannya kepada diri sendirl, tanpa memandang kepada pelukis itu maka Pouw Toan yang tahu diri itu pun tidak langsung menjawab, melainkan diam saja sehingga keadaan menjadi sunyi di tempat itu. Akan tetapi, kadang-kadang ada gerobak atau orang lewat diatas jembatan, memecahkan kesunyian. “Andaikata dia masih hidup, belum tentu dia mau mengampuniku, dan andaikata mau mengampuniku, belum tentu dia masih mencintaiku. Andaikata dia sudah mati, lalu apa artinya hidup ini bagiku? Ah, hidupku sudah hampa....!” “Aih, Taihiap. Adakalanya awan mendung menutup langit sehingga sinar matahari tidak nampak sama sekali. Akan tetapi itu pun akan lenyap dan akan berobah, matahari akan bersinar kembali! Memang kesenangan tidak kekal di dunia ini, akan tetapi kesusahan pun tidak kekal adanya. Siapa yang masih berada dalam cengkeraman suka-duka, tidak perlu berkecil hati selagi gelap dan tidak perlu berbesar kepala selagi terang. Terang dan gelap datang silih berganti dalam hidup. Hanya orang yang telah mengatasi suka-duka sajalah yang bebas. Kalau engkau belum bebas, mengapa harus menyerah kepada kegagalan? Siapa tahu kalau-kalau orang yang Taihiap rindukan itu pun kini sedang menanti-nanti kedatangan Taihiap penuh kerinduan?” Tek Hoat menggeleng kepalanya, lalu bangkit meninggalkan kolong jembatan itu sambil berkata. “Tidak mungkin.... tidak mungkin....“ “Heiii! Ke mana Taihiap hendak pergi?” Pouw Toan berseru akan tetapi pengemis muda itu sudah mendaki ke atas jalan, tidak menjawab dan tidak menoleh pula. “Sungguh keras kepala....” Pouw Toan mengomel dan dia pun bergegas mendaki dari kolong jembatan dan naik ke jalan yang masih sunyi. “Tunggu dulu, Wan-taihiap! Aku mempunyai sesuatu untuk kuberikan kepadamu!” Akan tetapi Tek Hoat tanpa menoleh berkata, “Aku tidak menerima apa pun dari siapa pun!” “Tapi, ini adalah tanda terima kasihku telah kautolong malam tadi....” “Lupakan saja!” “Wan Tek Hoat setidaknya kau lihatlah lukisanku ini teriak Pouw Toan sambil membuka gulungan sebuah lukisannya dan dia berdiri menghadang di depan pendekar yang seperti jembel itu. Dengan tidak sabar Tek Hoat hendak menghindar, akan tetapi ketika dia melirik ke atas lukisan yang dibentang itu dan kebetulan matahari pagi menimpa lukisan itu, dia tersentak kaget sekali, matanya terbelalak, mukanya pucat, tubuhnya menggigil dan sekali sambar dia telah merampas lukisan itu dan memandang lukisan dengan mata bersinar menyeramkan. Itulah lukisan Syanti Dewi! Tidak salah lagi! Mata itu, hidung itu, bibir itu....! Tiba-tiba dia mengeluarkan bunyi seperti seekor singa menggereng dan tahu-tahu dia telah menyambar ke depan dan telah mencengkeram leher baju Pouw Toan dan diangkatnya orang itu tinggi ke atas seperti orang menangkap seekor kelinci dengan memegang pada telinganya saja. “Hayo katakan, di mana dia! Di mana dia! Cepat jawab!” Dia membentak-bentak dengan muka pucat sekali seperti kertas. Diperlakukan begini, Pouw Toan tidak takut, malah mencela keras, “Pantas saja dia menjauhkan diri darimu, Wan Tek Hoat. Wanita mana yang dapat bertahan untuk berdekatan dengan orang yang wataknya begini kasar, keras dan tidak patut?” Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang. Sejenak mata pelukis itu tajam dan sedikit pun tidak gentar, sinarnya seperti memasuki lubuk hati Tek Hoat, membuat pemuda itu sadar akan perbuatannya dan tiba-tiba Tek Hoat mengeluarkan suara seperti orang dicekik, pegangannya pada baju itu terlepas dan dia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya, tangan kanannya masih memegang gulungan lukisan dan dia pun terisak, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pouw Toan! “Maafkan aku.... ohhh.... maafkan aku dan jangan siksa aku lagi.... katakanlah di mana adanya dia....” Pouw Toan terkejut sekali akan tetapi juga girang. Orang ini sesungguhnya belum kehilangan sifat-sifat baiknya, sifat-sifat pendekarnya, hanya karena kedukaan dan kekecewaan saja yang membuatnya menjadi seperti itu. Maka dia pun cepat membangunkan Tek Hoat, mengajaknya duduk di tepi jalan dan dengan hati-hati dia pun lalu bercerita tentang Syanti Dewi. “Puteri Syanti Dewi masih hidup dalam keadaan sehat, Taihiap. Dan dia telah menjadi seorang seperti bidadari, disanjung dan dipuja oleh seluruh manusia, terutama kaum prianya sehingga kabarnya Pangeran Kian Liong sendiri pun menjadi sahabatnya! Dia hidup sebagai seorang puteri di Pulau Kim-coa-to....“ Dengan singkat Pouw Toan memberitahu letaknya pulau itu. Akan tetapi belum sampai dia bercerita lebih jauh, Tek Hoat sudah bangkit menjura dan dengan mata bersinar-sinar dia memberi hormat berkali-kali. “Terima kasih, Paman Pouw, terima kasih....” “Nanti dulu, belum kuceritakan bahwa aku bertemu dengan dia, dan dialah yang memberikan lukisanku itu kepadaku dengan pesan untuk diberikan kepadamu....” “Dia.... dia masih ingat padaku?” “Ingat? Ah, dia menitikkan air mata ketika mendengar akan keadaanmu seperti yang sudah kudengar dari banyak tokoh kang-ouw.” “Ahhh...., mungkinkah itu? Dewi.... Dewi....“ Dan Tek Hoat lalu menangis dan dia meloncat pergi dari situ untuk segera mencari kekasihnya. “Heii, tunggu dulu, Taihiap, tunggu dulu....!” Pouw Toan lari mengejar karena dia ingin sekali menasihati pemuda itu sebelum pergi mengunjungi Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu. Pemuda itu sedang dilanda kebingungan dan tekanan batin yang hebat, maka kalau tidak mendapat nasihat yang benar dan menghadap Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu, tentu keadaan hubungan antara dua orang itu akan menjadi semakin berbahaya. Akan tetapi Tek Hoat tidak mau berhenti dan mana mungkin seorang tua lemah seperti Pouw Toan dapat menyusulnya? Pada saat itu, nampak berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu dua orang pemuda telah berdiri menghadang Tek Hoat dan seorang di antara mereka membentak, “Paman Pouw telah minta kau berhenti!” Kedua orang itu dengan gerakan yang cekatan sekali telah menghadang dan mendorongkan kedua tangan mereka ke arah Tek Hoat yang sedang lari. Bukan main kagetnya hati Tek Hoat karena dari dorongan tangan mereka itu menyambar hawa yang amat kuat, yang menahan dia dan hendak memaksa dia untuk berhenti. Dia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa mereka adalah dua orang pemuda berusia kurang lebih tujuh belas tahun yang tampan sekali, akan tetapi hebatnya, wajah dan pakaian mereka, bahkan gerak-gerik mereka, pandang mata mereka, semuanya sama sehingga mudah menduga bahwa mereka tentulah dua orang saudara kembar! “Kalian minggirlah!” kata Tek Hoat dan kedua tangannya sudah dipentang untuk mendorong mereka ke kanan kiri, akan tetapi kembali dua orang muda itu dengan langkah kaki yang ringan dan sigap sekali telah dapat mengelak, bahkan lalu menangkap pergelangan tangannya dari kanan kiri! “Paman Pouw menyuruh kau berhenti!” kata seorang di antara mereka, entah yang bicara tadi atau bukan sukar bagi Tek Hoat untuk mengenalnya karena wajah mereka yang sama benar. Cara mereka mengelak kemudian menangkap pergelangan kedua tangannya membuktikan bahwa mereka memang benar-benar memiliki ilmu silat yang lihai sekali, maka timbul keinginan dalam hati Tek Hoat untuk mencoba mereka. Dia tahu bahwa dua orang pemuda kembar yang lihai ini tentu masih keluarga pelukis aneh itu, maka tentu saja dia pun tidak mempunyai niat buruk melainkan hanya ingin menguji mereka. “Kalian hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!” katanya dan dia pun lalu menggunakan kepandaiannya, sekali bergerak kedua lengannya terlepas dan dia pun lalu mengirim serangan ke arah mereka dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi, yaitu menampar dari samping dengan tangan terbuka. Dua orang pemuda kembar itu bukan lain adalah Gak Jit Kong dan adik kembarnya, yaitu Gak Goat Kong. Tentu saja keduanya, biar baru berusia tujuh belas tahun, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat karena sejak kecil mereka digembleng oleh ayah dan ibu mereka, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan Puteri Milana! Mula-mula mereka terkejut ketika melihat betapa pengemis yang dikejar-kejar oleh Pouw Toan itu dapat melepaskan pegangan dengan mudah, dan lebih kaget lagi mereka melihat tamparan-tamparan tangan yang jelas mengandung tenaga sin-kang yang amat tangguh itu. Cepat mereka pun bergerak mengelak dan balas menyerang, karena mengira bahwa pengemis ini tentu orang jahat yang entah melakukan apa terhadap Pouw Toan. Terjadilah perkelahian satu lawan dua yang amat hebat. Makin lama, Tek Hoat menjadi semakin kagum. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan dua orang pemuda remaja kembar yang demikian tangguhnya! Ilmu silat mereka amat halus dan tangguh, ilmu silat golongan bersih yang luar biasa sekali dan anehnya, gerakan-gerakan mereka baginya tidak begitu asing, bahkan seolah-olah ada dasar-dasar yang sama antara ilmu silat mereka dengan ilmu silatnya yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lomo. Di lain pihak, dua orang saudara kembar itu pun terkejut sekali mendapat kenyataan bahwa pengemis itu benar-benar amat lihai, memiliki ilmu silat tinggi sehingga pengeroyokan mereka tidak membuat pengemis itu terdesak. Sejak tadi Pouw Toan hanya menonton saja sambil tersenyum. Dia cukup maklum akan watak dua orang pemuda kembar itu yang tidak akan menjatuhkan tangan kejam kepada siapapun juga, apalagi kepada orang yang tidak mereka ketahui kesalahannya seperti Tek Hoat itu. Dan dia pun maklum bahwa Tek Hoat adalah seorang pendekar, biarpun sedang bingung, yang tidak akan mencelakakan orang tanpa sebab. Biarkanlah mereka saling bertanding dan saling berkenalan melalui ilmu silat, pikirnya, karena pelukis yang banyak bergaul dengan orang-orang dari dunia persilatan ini maklum akan “penyakit” para pendekar yang suka sekali akan pertandingan ilmu silat, menonton atau ditonton! Setelah membiarkan mereka bertanding sampai beberapa lamanya Pouw Toan yang tidak mengenal ilmu silat itu merasa khawatir juga. dan dia pun cepat maju, dan berseru keras, “Jangan berkelahi....! Kalian masih saudara-saudara sendiri, masih keluarga sendiri!” Tentu saja mendengar seruan ini mereka berhenti dan dua orang pemuda kembar itu memandang kepada Tek Hoat dengan terheran-heran. Keluarga sendiri? Mereka sungguh tak dapat menduga siapa adanya jembel yang dikatakan keluarga sendiri oleh pelukis itu. Sedangkan Tek Hoat yang tadinya tidak mau pedulikan segala hal, kini menjadi tertarik juga dan dia menoleh kepada Pouw Toan dengan sinar mata bertanya. “Murid-muridku yang baik, ini dia Si Jari Maut, Wan Tek Hoat yang menjadi keponakan tiri dari Ibu kandung kalian.” Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong terkejut sekali. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar nama ini dari penuturan ibu mereka, akan tetapi ibunya menggambarkan orang yang bernama Wan Tek Hoat dan berjuluk Si Jari Maut itu tidak seperti seorang jembel seperti ini. Betapapun juga, mereka tidak meragukan keterangan Pouw Toan dan mereka lalu menjura kepada Tek Hoat. “Wan-piauwko, maafkan kami yang tidak mengenalmu.” kata Jit Kong. “Wan-taihiap, mereka adalah adik-adik misanmu sendiri, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera kembar Bibi tirimu Puteri Milana dan suaminya. Mereka ini diserahkan kepadaku untuk belajar sastra, ha-ha-ha!” Giranglah hati Tek Hoat dan dia kagum sekali melihat Puteri Milana, bibi tirinya itu, telah mempunyai putera kembar setampan dan selihai ini. “Ah, tidak mengapa, Adik-adikku yang lihai. Maafkan, aku tidak dapat menemani kalian lebih lama lagi. Paman Pouw, terima kasih atas segala-galanya dan selamat tinggal!” “Taihiap....!” Akan tetapi seruan ini percuma karena sekali ini Tek Hoat telah berkelebat dan lenyap dengan cepat sekali dari situ. Pouw Toan menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aneh....dia manusia aneh.... kasihan sekali....“ “Tapi.... Si Jari Maut yang digambarkan Ibu tidak seperti itu, melainkan seorang pria yang kata Ibu tampan dan gagah, bukan seorang pengemis yang begitu terlantar....“ Goat Kong berkata. Pouw Toan menghela napas. “Begitulah kehidupan manusia. Manusia boleh saja mempelajari segala macam ilmu, menjadi orang pandai, menjadi orang perkasa, namun selama dia tidak mampu membebaskan diri dari segala nafsu yang mencengkeramnya, dia akan menjadi permainan suka duka. Kedukaan kadang-kadang membuat manusia kehilangan kesadaran dan menyeretnya ke lembah kesengsaraan yang hebat seperti dia itu.” Bagaimanakah dua orang pemuda kembar itu dapat muncul pada saat itu? Seperti telah kita ketahui, lima tahun yang lalu dua orang pemuda ini pernah ikut pula dengan arus orang-orang kang-ouw, berkeliaran di Pegunungan Himalaya! Pada waktu itu, usia mereka baru kurang lebih dua belas tahun! Dan seperti kita ketahui, mereka itu disusul oleh Su-bi Mo-li, yaitu wanita-wanita iblis yang terkenal sebagai murid-murid utama Im-kan Ngo-ok, ditawan dan dibawa kembali ke kota raja. Mereka berdua itu sempat ditolong oleh Bu Ci Sian yang dibantu oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong, akan tetapi melihat keganasan ular-ular yang dipergunakan oleh Ci Sian, dua orang pemuda kembar itu memaki Ci Sian sebagai siluman ular lalu pergi meninggalkan para penolongnya untuk mengejar Su-bi Mo-li. Kiranya mereka itu memang sengaja membiarkan diri ditawan oleh Su-bi Mo-li untuk dibawa menghadap Sam-thaihouw yang mengutus empat orang wanita iblis itu! Dua orang anak kembar ini adalah putera pendekar sakti, dan ibunya adalah seorang yang amat terkenal pula, maka tentu saja mereka memiliki watak aneh dan keberanian luar biasa sekali. Biarpun usia mereka baru dua belas tahun, namun di dalam darah mereka terdapat jiwa petualang besar. Maka ketika mereka mendengar tentang lenyapnya pedang pusaka Koai-liong-kiam secara aneh dari gudang pusaka keraton, jantung mereka berdegup penuh ketegangan dan dua orang saudara kembar itu diam-diam lalu berunding dan akhirnya mereka memutuskan untuk pergi melakukan pengejaran dan pencarian terhadap pencuri pedang itu! Memang lucu sekali kalau diingat betapa mereka itu, biarpun sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, tentu saja tidak mungkin dapat menandingi kehebatan seorang pencuri yang dapat mengambil sebatang pedang pusaka dari dalam gudang pusaka istana begitu saja tanpa ada yang mengetahui! Pencuri seperti ini tentulah seorang pencuri yang sakti. Mereka pergi diam-diam dan hanya meninggalkan pesan kepada seorang kakek tetangga yang tinggal jauh di dusun kaki Gunung Beng-san agar kakek itu suka memberi kabar kepada ayah mereka bahwa mereka berdua hendak pergi “merantau” untuk meluaskan pengetahuan! Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana terkejut bukan main mendengar berita dari kakek tetangga itu. Mereka sudah mencoba untuk mencari-cari, namun tidak ada hasilnya. Dua orang anak mereka seolah-olah lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas! Mereka sudah mencari keterangan, akan tetapi tidak ada yang pernah melihat dua orang anak laki-laki kembar lewat di tempat mereka! Hal ini adalah karena kecerdikan kakak beradik itu yang meninggalkan tempat mereka sambil menyamar, berpakaian lain dan juga Jit Kong merobah cara dia menggelung rambut dan mencoreng-moreng mukanya sehingga tidak sama dengan muka adik kembarnya! Baru setelah mereka berdua pergi jauh sesudah lewat berpekan-pekan mereka berpakaian biasa kembali seperti anak kembar. Akhirnya Gak Bun Beng dan isterinya kembali ke rumah mereka di puncak Beng-san. “Tenanglah, tidak mungkin anak-anak kita itu akan mengalami bencana. Mereka sudah cukup besar dan mereka pun bukan anak-anak yang biasa ceroboh. Juga, kurasa kepandaian mereka sudah cukup untuk mereka pergunakan melindungi diri sendiri.” “Tapi mereka itu baru berusia dua belas tahun, masih belum dewasa dan di dunia ini terdapat amat banyak orang jahat!” kata Puteri Milana menyatakan kekhawatirannya. “Betapapun juga, mereka pergi berdua dan mereka dapat saling bantu. Biarlah, biar mereka mencari pengalaman dan merasakan betapa pahitnya dan bahayanya hidup didunia ramai. Ingat, isteriku, kita pun dahulu merupakan petualang-petualang besar dan kita tetap selamat sampai setua ini. Mengapa terlalu mengkhawatirkan mereka?” Puteri Milana adalah seorang wanita gagah perkasa, bahkan beberapa kali dia pernah memegang kedudukan panglima yang memimpin pasukan pemerintah untuk menghadapi pemberontak-pemberontak, maka sudah tentu saja dia bukan seorang wanita cengeng. Maka biarpun kekhawatiran masih kadang-kadang mencekam hatinya, dia dapat menenteramkan diri dan menanam keyakinan bahwa apa yang diucapkan suaminya itu memang benar. Betapapun juga, suaminya harus berjanji kepadanya bahwa kalau sampai satu tahun anak kembar mereka itu belum pulang, mereka berdua akan turun gunung mencarinya sendiri! Demikianlah asal mulanya Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat berada di Pegunungan Himalaya, terbawa arus orang-orang kang-ouw yang mereka dengar berlumba mencari pedang pusaka yang jejaknya dikabarkan menuju ke pegunungan itu. Mereka tidak tahu bahwa kehadiran mereka diketahui oleh Im-kan Ngo-ok, dan kemudian murid-murid mereka, yaitu empat orang iblis betina Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik) melakukan pengejaran dan menawan dua orang anak kembar itu. Karena maklum bahwa empat orang wanita itu lihai sekali, apalagi mereka adalah murid-murid utama dari Im-kan Ngo-ok yang juga nama besar mereka telah didengar oleh Jit Kong dan Goat Kong, maka dua orang anak kembar ini tidak melakukan perlawanan dan menurut saja dibawa kembali ke timur, untuk menjaga agar mereka tidak lari, mereka diborgol! Sampai mereka berdua itu bertemu dengan Ci Sian yang menolong mereka. Kalau Jit Kong dan Goat Kong menghendaki, tentu saja dengan mudah mereka dapat melepaskan diri. Empat orang iblis betina itu terlalu memandang rendah tawanan mereka. Kalau kedua orang anak kembar itu menghendaki, sekali berontak mereka akan dapat mematahkan borgol mereka dan dapat melarikan diri. Akan tetapi mereka tidak mau melakukan ini dan pura-pura menjadi anak-anak tak berdaya dan menyerahkan diri saja karena mereka itu diam-diam merasa gembira dan ingin tahu apa yang akan terjadi kalau mereka sudah dihadapkan dengan majikan dari Su-bi Mo-li, yaitu yang katanya adalah Sam-thaihouw atau Ibu Suri Ke Tiga di istana kerajaan. Tentu saja mereka tidak merasa takut karena bukankah mereka berdarah keluarga kaisar? Nenek mereka adalah Puteri Nirahai yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Nenek mereka itu adalah seorang puteri istana aseli, masih terhitung bibi dari kaisar sekarang, sungguhpun neneknya itu puteri selir saja. Kalau dihitung-hitung, ibu kandung mereka masih terhitung saudara misan dari kaisar yang sekarang, malah mereka sendiri pun sebetulnya masih merupakan dua orang pangeran! Ingin mereka tahu apa yang akan terjadi dengan mereka, apalagi kalau diketahui bahwa mereka adalah putera dari Panglima Milana, cucu dari Puteri Nirahai yang amat terkenal itu! Akan tetapi Ci Sian, gadis yang mengerikan dengan ular-ularnya itu, telah “menolong” mereka dan merusak permainan sandiwara mereka. Betapapun juga, semua pengalaman mereka itu membuka mata mereka bahwa merantau di tempat itu sungguh amat berbahaya dan ternyata di situ banyak berkeliaran orang-orang pandai dan orang-orang jahat. Maka, mereka pun mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san, apalagi mereka kini teringat bahwa tentu ayah bundanya akan menjadi khawatir sekali dengan kepergian mereka. Dan memang dugaan mereka itu benar. Ketika mereka tiba di rumah orang tua mereka, yaitu di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san, mereka disambut oleh tangis kegembiraan oleh ibu mereka, akan tetapi kemudian mereka pun menerima teguran keras dari ayah bunda mereka atas kelancangan mereka pergi merantau. “Bukan kalian tidak boleh pergi merantau, akan tetapi harus mendapat restu orang tua, lebih dulu diperbincangkan dengan kami sehingga tidak menyusahkan hati orang tua. Pula, kalian masih terlalu muda untuk pergi mencari pengalaman di luar.” demikian antara lain ayah mereka menegur. “Kemana saja engkau pergi selama setengah tahun ini?” Milana bertanya, matanya masih basah akan tetapi wajahnya berseri kembali setelah selama berbulan-bulan ini nampak muram dan gelisah. “Kami mendengar tentang pusaka Koai-liong-kiam yang hilang dari istana dan kabarnya dilarikan maling ke Pegunungan Himalaya, maka kami berdua pergi ke sana dengan harapan kalau-kalau kami akan dapat menemukan kembali pedang pusaka istana itu.” kata Jit Kong. Milana terbelalak. “Kalian ke Pegunungan Himalaya?” Dan wanita cantik ini tertawa geli. “Ah, Ayahmu ingin sekali ikut mengejar barat, dan andaikata kalian tidak pergi, tentu Ayahmu juga pergi ke sana.” Gak Bun Beng tertawa dan menggeleng-geleng kepala. “Aih, sungguh tidak kunyana, aku yang ingin sekali pergi, malah kalian yang mendahului. Akan tetapi biarlah, hitung- hitung kalian mewakili aku. Asal saja kalian di sana tidak melakukan hal-hal yang memalukan. Apa yang telah kalian alami di sana? Banyakkah orang kang-ouw pergi ke sana?” “Banyak sekali, Ayah. Terdapat banyak sekali orang-orang aneh dan orang-orang pandai.” kata Goat Kong. “Dan bagaimana kabarnya dengan pedang pusaka itu? Apakah sudah ditemukan pencurinya dan pedang itu dapat dirampas kembali?” tanya Milana. Jit Kong menggeleng kepala. “Mereka itu agaknya bukan mencari pedang untuk dikembalikan ke istana, Ibu, melainkan saling memperebutkan untuk diri sendiri masing-masing.” “Ahh....!” Milana berseru kecewa. “Tidak aneh, apa engkau lupa akan watak orang-orang kang-ouw yang tamak akan benda-benda pusaka, isteriku? Lalu kabarnya siapa yang mendapatkan pusaka itu?” kata Bun Beng. “Kami tidak tahu, Ayah, karena baru saja tiba di sana kami sudah ditangkap orang.” kata Jit Kong. Tentu saja keterangan ini mengejutkan hati suami isteri pendekar itu. Milana bangkit dari tempat duduknya, mukanya yang masih cantik dalam usianya yang sudah mendekati lima puluh tahun itu menjadi kemerahan. “Ditangkap orang? Siapa yang menangkap kalian dan mengapa kalian ditangkap?” “Kami ditangkap oleh empat orang wanita berjuluk Su-bi Mo-li....” “Hemm! Su-bi Mo-li? Siapa mereka itu?” Milana membentak, marah. “Aku pun tidak mengenal nama itu.” kata Gak Bun Beng dan memang suami isteri ini selama ini tidak pernah keluar ke dunia kang-ouw sehingga mereka sama sekali tidak mengenal nama-nama baru. “Siapakah mereka itu?” tanyanya kepada dua orang puteranya. “Menurut yang kami dengar, mereka itu adalah murid-murid dari Im-kan Ngo-ok....” “Ah, keparat! Kiranya murid-murid Im-kan Ngo-ok?” bentak Bun Beng dan Milana terkejut sekali mendengar nama Im-kan Ngo-ok yang dia tahu amat terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat dan amat lihai itu. “Kenapa kalian ditangkap mereka? Apakah kalian tidak melawan?” “Mereka menghadang kami dan mengatakan bahwa kami harus ikut bersama ke kota raja untuk menghadap Sam-thaihouw. Kami tidak melawan dan membiarkan diri ditangkap karena kami ingin sekali melihat apa yang akan terjadi dengan kami di istana. Kami tidak takut untuk dibawa ke istana!” “Sam-thaihouw....?” Milana terbelalak dan dia lalu mengangguk-angguk, “Pantas...., kiranya empat iblis betina itu adalah kaki tangan Sam-thaihouw....!” Gak Bun Beng juga sudah tahu betapa Sam-thaihouw, ibu suri ke tiga itu menaruh dendam kepada isterinya karena banyak hal, dan terutama karena kegagalan pemberontakan dua orang Pangeran Liong. Maka kini dia pun mengerti mengapa dua orang puteranya itu ditangkap atas perintah Sam-thaihouw dan dia mengerutkan alisnya, akan tetapi kemudian merasa lega bahwa dua orang puteranya itu telah selamat. “Sudahlah, sekarang ceritakan bagaimana kalian ditawan dan bagaimana pula kalian dapat meloloskan diri dan pulang ke sini.” katanya kemudian. Dengan cara bergantian, Jit Kong dan Goat Kong lalu menceritakan semua pengalaman mereka semenjak mereka pergi dari rumah menuju ke Himalaya dan betapa mereka ditangkap, kemudian betapa mereka ditolong oleh seorang gadis cantik bersama kakek Nepal yang mendatangkan ular-ular dan yang mengalahkan Su-bi Mo-li. “Gadis itu mengacaukan rencana kami, Ayah!” kata Jit Kong. “Dia itu seperti siluman ular saja. Mengerikan!” kata pula Goat Kong. “Eh, eh! Bagaimana kalian dapat berkata demikian? Bukankah mereka telah bersusah payah melawan Su-bi Mo-li untuk menolong kalian?” tanya Milana. Dua orang anak kembar itu bersungut-sungut. “Akan tetapi, kami memang sengaja menyerahkan diri untuk ditangkap karena kami ingin melihat apa yang terjadi di istana dengan kami. Kami hanya pura-pura menyerah.... tahu-tahu gadis liar itu merusak sandiwara kami dan mencampuri. Karena sudah terlanjur bebas, maka kami lalu pulang karena daerah itu amat berbahaya dan terdapat banyak orang jahat yang amat lihai.” “Siapakah gadis yang bermain-main dengan ular itu? Siapa namanya?” tanya Milana yang merasa tertarik. “Kami tidak tahu, Ibu. Kami tidak tanyakan namanya. Untuk apa menanyakan nama gadis siluman ular itu?” kata Goat Kong. “Ah, jangan berkata demikian!” Milana membentak. “Apa kaukira asal orang bermain atau mampu mendatangkan ular-ular lalu kauanggap dia jahat dan siluman? Tahukah kalian bahwa Bibimu, Isteri dari Pamanmu Suma Kian Lee juga seorang ahli tentang ular beracun?” Dibentak demikian oleh ibunya, dua orang anak kembar itu diam saja dan di dalam hati mereka mengaku bahwa mereka memang bersikap salah terhadap gadis yang menolong mereka itu. Sesungguhnya bukan semata-mata ular-ular itu yang membuat mereka tidak suka kepada gadis itu, melainkan melihat keganasan ular-ular itu dan juga karena gadis itu telah menggagalkan rencana dan sandiwara mereka. Pada malam harinya, setelah dua orang anak mereka itu tidur di kamar mereka sendiri, suami isteri pendekar ini lalu mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa dalam keadaan seperti dua orang anak mereka itu, yang sedang remaja dan menjelang dewasa, maka jiwa petualangan mereka itu sedang mencapai puncaknya, maka kalau tidak diberi saluran, mungkin saja pada suatu hari mereka itu minggat lagi. Mereka lalu berunding untuk menyerahkan mereka kepada sastrawan Pouw Toan yang tinggal di lereng sebelah utara, seorang sastrawan yang menjadi sahabat baik mereka yang mereka hormati karena sastrawan itu merupakan seorang terpelajar yang amat mulia dan bijaksana. Biarlah anak mereka itu belajar ilmu tentang hidup dan memperdalam ilmu kesusastraan dari kakek itu. Dan mereka mengenal betul siapa Pouw Toan, seorang ahli sastra, seorang ahli lukis, seorang seniman sejati yang biarpun tidak pernah belajar ilmu silat, namun memiliki tubuh sehat kuat karena suka merantau dan yang mengenal hampir semua pendekar sakti di dunia ini. Demikianlah, beberapa pekan kemudian suami isteri ini pergi mengunjungi rumah pondok Pouw Toan di lereng utara dan kebetulan sekali bagi mereka bahwa Pouw Toan baru saja kembali dari perantauannya. Pouw Toan menyambut kunjungan suami isteri sahabatnya itu dengan ramah dan gembira. Dia amat mengagumi pendekar dan isterinya itu, apalagi mengingat bahwa isteri pendekar itu adalah seorang puteri kandung dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, masih berdarah keluarga kaisar akan tetapi memilih tinggal di puncak sunyi itu, rela meninggalkan kemuliaan dan kemewahan memilih hidup sederhana namun tenteram. Setelah minum arak yang disuguhkan Pouw Toan, mereka duduk bercakap-cakap dan suami isteri ini menceritakan tentang petualangan dua orang putera kembar mereka sampai ke Pegunungan Himalaya! Mendengar itu Pouw Toan tersenyum dan amat tertarik. Setelah selesai dia menarik napas panjang. “Ahhh, sungguh hebat puteramu itu, Taihiap. Akan tetapi aku tidak dapat menyalahkan mereka. Mereka itu adalah putera-putera suami isteri pendekar seperti Ji-wi, tentu saja mempunyai keberanian dan jiwa petualang, dan tentu tertarik mendengar akan lenyapnya pedang pusaka itu. Aku sendiri seorang tua bangka lemah ini pun amat tertarik dan aku sudah banyak mendengar dan menyelidiki tentang pedang itu, sungguhpun aku tidak berkesempatan untuk ikut beramai-ramai pergi ke Himalaya!” Setelah bercakap-cakap tentang bermacam hal sampai beberapa lamanya, akhirnya suami isteri itu menyatakan keperluan mereka datang berkunjung kepada sastrawan itu, yaitu untuk menitipkan dua orang putera mereka agar belajar ilmu sastra dan filsafat kepada kakek itu. “Setelah mereka pergi dengan diam-diam, kami berdua merasa khawatir kalau-kalau mereka pergi lagi. Mereka masih hijau, apalagi dalam soal-soal hidup, oleh karena itu kami mohon Pouw Twako suka menerima mereka menjadi murid.” LANJUT ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar