Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 38.

Kisah si Bangau Putih Jilid 38

“Kun Tek, engkau bicara tanpa dipikir lebih dahulu. Aku bukan pengecut, bukan pula takut mati. Akan tetapi aku bukan orang tolol yang ingin mati seperti seekor babi, mati konyol tanpa melawan. Kalau toh kita harus mati, sepatutnya kita mati sebagai harimau, mati dalam perlawanan. Akan tetapi, kalau kita dibelenggu seperti ini, bagaimana kita mampu melawan? Kita mati konyol begitu saja!”
“Karena tidak ada pilihan, perlu apa takut mati? Jauh lebih baik mati dibunuh lawan daripada harus menyerah dan takluk! Dan engkau ingin takluk kepada lawan? Bukankah itu hanya untuk menyelamatkan nyawamu dan berarti engkau seorang pengecut?” tanya Kun Tek penasaran.
“Hemmm, nekat dan mati konyol bukan perbuatan gagah perkasa, melainkan perbuatan tolol! Dan menyerah karena keadaan belum tentu pengecut, melainkan perbuatan yang cerdik dan mempergunakan perhitungan.”
“Sudahlah, aku tidak sudi mendengar omonganmu lagi. Terserah engkau mau takluk, mau menjilati sepatu para pemberontak itu, mau masuk menjadi anggauta golongan sesat. Akan tetapi aku dan Pouw-moi lebih suka memilih mati!” kata Kun Tek.
Sejak tadi Li Sian hanya mendengarkan saja. Kini, melihat percekcokan dua orang gagah yang tadinya menjadi sahabat itu, ia lalu berkata,
“Cu-koko, kurasa ada benarnya juga apa yang dikatakan saudara Gu Hong Beng. Biarkan dia bicara mengemukakan pendapatnya dan jangan dibantah dulu sebelum dia selesai bicara.”
Kun Tek mengerutkan alisnya, akan tetapi melihat sinar mata Li Sian yang lembut dan senyum manis ditujukan kepadanya, dia pun mengangguk dan menoleh kepada Hong Beng sambil berkata,
“Nah, bicaralah!”
Hong Beng menahan senyumnya karena baginya, sikap Kun Tek itu nampak lucu sekali.
“Begini, Kun Tek dan nona Pouw. Memang sepintas lalu tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali mati sebagai orang-orang gagah yang tidak sudi menyerah. Akan tetapi, kurasa jalan itu amat bodoh karena apa untungnya kalau kita mati konyol? Mereka itu akan melanjutkan gerakan pemberontakan mereka, sehingga rakyat banyak yang akan menderita dan mati pula, juga sakit hati nona Pouw takkan dapat dibalas sama sekali! Dan mereka itu memberi kesempatan kepada kita, karena mereka membutuhkan tenaga kita. Nah, kenapa kita tidak berlaku cerdik? Tentu saja aku sendiri tidak sudi untuk benar-benar membantu mereka! Akan tetapi, mengapa kita tidak mempergunakan kelemahan mereka, yaitu membutuhkan tenaga kita, untuk berusaha meloloskan diri? Kita boleh pura-pura menyerah, dan kita melihat perkembangan selanjutnya. Yang penting, kalau kita dapat bebas dari belenggu-belenggu ini, kita dapat bergerak leluasa. Andaikata kita akan mengamuk juga, sebelum kita mati, kita akan dapat menewaskan banyak lawan sebelum kita mati konyol! Bukankah itu jauh lebih baik daripada mati konyol seperti babi-babi dalam kandang?”
Kun Tek bukan seorang bodoh. Mendengar pendapat Hong Beng ini, dia pun mulai mengangguk-angguk dan melihat kebenarannya. Dia tadi terlalu terburu nafsu menduga bahwa kawannya itu ketakutan lalu ingin menyerah agar selamat. Kini dia tahu bahwa kalau mereka menakluk, hal itu hanya untuk mencari kesempatan agar dapat memberontak dan menghantam musuh dengan leluasa. Dan tentu saja dia setuju sekali!
“Cu-koko, kurasa pendapat saudara Gu Hong Beng ini ada benarnya juga. Kalau aku diberi kesempatan, tentu akan kukerahkan seluruh tenaga dan kepandaianku untuk menyerang dan membunuh si keparat Siangkoan Liong!” kata Li Sian.
Kun Tek mengangguk-angguk.
“Memang benar juga. Aku pun setuju kalau kita menyerah pura-pura saja, hanya untuk mencari kesempatan lolos dan menghantam mereka. Akan tetapi terserah kalian yang bicara, kalau aku yang disuruh bicara dengan mereka, kiranya aku hanya dapat memaki dan mencaci mereka!”
“Serahkan saja kepadaku,” kata Hong Beng gembira.
“Aku akan membantu saudara Gu Hong Beng,” sambung Li Sian dan Kun Tek diam saja, namun setuju sepenuhnya. Kalau mereka dapat berhasil lolos, kemudian menghajar para pemberontak, dan akhirnya mereka dapat bebas, dan dia bersama Li Sian tidak mati, alangkah akan bahagianya. Dia akan dapat hidup berdua dengan gadis pujaannya itu, menjadi suami isteri! Bayangan ini saja mendatangkan semangat kepada Kun Tek!
“Sekarang, lebih baik kita memperkuat tubuh. Kita menerima hidangan yang mereka suguhkan, makan sekenyangnya, kemudian kita bersamadhi malam ini menghimpun tenaga baru. Besok, barulah kita menghadapi mereka dan aku sudah mengatur siasat untuk menghadapi mereka. Harap kalian jangan heran dan menyangka yang bukan-bukan kalau aku bersikap ramah kepada mereka. Mengertikah kalian, terutama engkau, saudara Kun Tek?”
Kun Tek mengangguk, setelah melihat Li Sian mengangguk.
“Aku akan sekuat tenaga menahan kemarahanku kalau melihat muka mereka!” katanya.
Li Sian menghadiahinya sebuah senyum manis.
“Aku percaya engkau akan kuat, Cu-koko. Seorang gagah harus kuat segala-galanya, terutama sekali menekan perasaannya sendiri, bukan?”
Senyum itu cukup sudah bagi Kun Tek. Dia mau menebus apa saja untuk memperoleh senyuman seperti itu.
“Jangan khawatir, Moi-moi, demi engkau, aku dapat melakukan apa saja!” katanya bangga dan sekali ini pipi Li Sian menjadi agak merah kedua pipinya karena ia melihat betapa ada senyum mengembang di bibir Hong Beng.
Demikianlah, tiga orang muda ini mulai memperlihatkan sikapnya yang suka bekerja sama ketika mereka menerima hidangan yang disuguhkan, dan mereka melihat bahwa memang pihak lawan agaknya ingin sekali menarik mereka sebagai pembantu. Buktinya, hidangan yang disuguhkan selain banyak, juga masih panas dan cukup mewah, seperti hidangan di rumah makan besar saja! Mereka bertiga makan kenyang, akan tetapi hanya minum arak sedikit saja, lebih banyak minum air teh yang mereka minta dari petugas yang menyuguhkan makanan dan minuman. Setelah itu, semalam suntuk mereka duduk bersila dan bersamadhi, menghimpun tenaga murni untuk memulihkan kekuatan mereka dan melenyapkan kelelahan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ouwyang Sianseng sudah datang berkunjung.
Dia tidak diikuti oleh Siangkoan Liong. Ouwyang Sianseng cukup cerdik untuk menjauhkan dulu pemuda itu, mengingat betapa Li Sian mendendam kepadanya.
Sebaliknya, dia datang bersama Siangkoan Lohan! Dua orang paling tinggi kedudukannya dalam persekutuan pemberontakan itu, datang mengunjungi tiga orang tawanan muda itu! Hal ini saja sudah meyakinkan hati Hong Beng bahwa mereka itu benar-benar mengharapkan kerja sama, dan hal ini amat baik.
Setelah mengucapkan selamat pagi dengan sikap lembut seperti biasanya, Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Lohan lalu duduk di atas bangku yang berada di kamar tahanan itu, menghadapi tiga orang tawanan yang masih duduk bersila. Kun Tek dan Li Sian hanya mengangguk sebagai jawaban, akan tetapi Hong Beng membalas ucapan selamat pagi itu dengan suara yang cukup ramah.
“Bagaimana, orang-orang muda yang gagah. Apakah Sam-wi (Kalian bertiga) sudah mengambil keputusan dan pilihan yang tepat?”
Hong Beng menjawab dengan suara yang cukup tenang.
“Ouwyang Sianseng, aku telah mendapat kepercayaan dua orang kawanku ini, untuk menjadi wakil pembicara mereka. Sebelum kami menjawab, harap jelaskan lagi apakah pilihan yang harus kami pilih itu?”
Ouwyang Sianseng tersenyum. Sikap pemuda itu saja sudah melegakan hati, tidak seperti kemarin di mana mereka bertiga itu memperlihatkan sikap bermusuhan dan tidak ada kompromi.
“Hanya ada dua pilihan sederhana saja. Kalian sanggup bekerja sama dengan kami, membantu kami berjuang melawan pemerintahan penjajah Mancu, atau kalian menolak, terpaksa kami akan membunuh kalian sebagai musuh yang berbahaya. Nah, bagaimana keputusan kalian bertiga....?”
“Nanti dulu, Locianpwe,” kata Hong Beng, kini menyebut locianpwe untuk menghormati orang tua yang memang sakti itu. “Kalau kami menolak, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi, kalau kami menerima, lalu bagaimana? Apakah yang harus kami lakukan? Bukankah sekarang belum terjadi perang antara pasukan yang Locianpwe pimpin dan pasukan pemerintah?”
“Lohan, coba jelaskan tentang kedudukan dan rencana kita kepada mereka ini,” kata Ouwyang Sianseng, suaranya ramah dan halus akan tetapi jelas bernada memerintah dan hal ini saja menunjukkan bahwa kedudukan kakek ini masih lebih tinggi daripada ketua Tiatliong-pang itu.
Siangkoan Lohan yang dulunya adalah seorang yang terkenal sebagai ketua perkumpulan orang gagah yang pernah membantu Kerajaan Mancu sehingga dia dihadiahi seorang puteri, dapat mengerti akan siasat rekannya untuk membujuk orang-orang muda berilmu tinggi ini agar mau bekerja sama membantu mereka. Maka dia pun menarik napas panjang dan berkata dengan suara tenang setelah mengisap hun-cwe emasnya dan mengepulkan asap yang berbau tembakau harum.
“Memang menggemaskan sekali kalau mengingat betapa penjajah Mancu yang dulunya kita semua harapkan akan mampu memimpin bangsa kita ke arah kemakmuran kini ternyata malah menindas bangsa kita dan mendatangkan banyak kesengsaraan kepada rakyat, sedangkan mereka sendiri hidup serba berkelebihan! Hal inilah yang membuat kami semua merasa penasaran untuk berjuang menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu! Kalian tiga orang muda yang perkasa, tentu mempunyai jiwa patriot, siap untuk mengusir penjajah dan menyelamatkan bangsa dan tanah air kita. Untuk menumbangkan kekuasaan Mancu yang besar, tentu saja kita membutuhkan bantuan semua tenaga para patriot dan terus terang saja, kami terpaksa menerima uluran tangan dari dunia hitam. Kita membutuhkan tenaga mereka, karena itu, kami tidak mempedulikan perasaan pribadi, yang penting menghimpun tenaga untuk menumbangkan pemerintah penjajah. Tentu saja, kami akan merasa gembira sekali kalau para pendekar dan patriot, seperti kalian, suka membantu perjuangan ini.” Dia berhenti sebentar untuk melihat reaksi dari tiga orang muda itu. Kun Tek yang diam-diam tidak percaya, kalau menurutkan gairah hatinya, ingin memaki-maki dan mengatakan bohong, akan tetapi dia tidak mau melakukan hal itu, demi Li Sian tentu saja, dan dia hanya menundukkan mukanya agar jangan nampak isi hatinya melalui sikap dan pandang matanya. Li Sian lebih mampu menguasai perasaannya, maka dia pun mendengarkan seolah-olah merasa tertarik.
“Akan tetapi, Pangcu.” kata Hong Beng dengan sikap hormat. “Biarpun semua yang Pangcu katakan itu benar belaka, akan tetapi bagaimana Pangcu akan dapat melakukan perlawanan terhadap kekuasaan pemerintahan yang mempunyai banyak balatentara? Baru pasukan yang berjaga di tapal batas utara ini saja sudah banyak sekali! Dan tiga orang seperti kami ini, dapat berbuat apakah terhadap pasukan pemerintah yang besar jumlahnya?”
Siangkoan Lohan tersenyum bangga. Dia dan Ouwyang Sianseng memang sudah bersepakat untuk menceritakan segalanya kepada tiga orang muda itu. Bukankah andaikata mereka itu menolak, mereka akan dibunuh dan semua rahasia itu akan terkubur bersama mereka? Dan kalau mereka suka bersekutu, berarti mereka adalah orang-orang sendiri yang layak mengetahui keadaan mereka.
“Hemmm, tentu kalian memandang rendah kepada kami. Akan tetapi ketahuilah, kami sudah lama mengadakan persiapan untuk gerakan perjuangan ini.
Kami sendiri sudah mengumpulkan orang-orang yang menjadi anggauta kami, dan yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus orang. Selain itu, kami mengadakan kontak dengan pimpinan bangsa Mongol, bahkan keturunan Jenghis Khan yang perkasa. Mereka sudah siap dengan pasukan yang akan dapat melintasi perbatasan dengan mudah berkat kekuasaan kami yang telah memungkinkan penyeberangan itu tanpa terhalang. Selain itu, kami tidak takut menghadapi pasukan penjaga perbatasan ini, karena mereka itu pun akan membantu kami!”
“Ehhh....?” Hong Beng pura-pura kaget walaupun sudah dapat menduga bahwa tentu orang-orang cerdik ini berhasil pula mengadakan persekutuan dengan para pimpinan pasukan yang berkhianat terhadap negaranya. “Ah, kalau seperti itu keadaannya, sungguh membesarkan hati. Akan tetapi, kami ingin sekali tahu, kalau kami menerima uluran tangan Pangcu dan mau bekerja sama, lalu apakah tugas kami? Terus terang saja, kami bertiga tidak mempunyai kepandaian untuk memimpin pasukan dalam peperangan.”
Ouwyang Sianseng tertawa lembut, hatinya gembira karena sikap tiga orang muda itu agaknya sudah condong untuk mau bekerja sama. Bagaimanapun juga, mereka itu agaknya merasa ngeri dengan terjadinya peristiwa kemarin, dan mereka tidak ingin mati konyol dan tersiksa, memilih hidup dan bekerja sama!
“Ha-ha-ha, orang muda yang gagah. Tentu saja untuk memimpin pasukan, kami sudah mempunyai ahli-ahlinya. Tugas kalian sama dengan tugas para orang gagah yang membantu kami yaitu menghadapi pihak lawan yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi karena fihak pasukan juga tentu mempunyai banyak jagoan. Akan tetapi, sebelum kami menerima penyerahan diri dari kalian, terpaksa kami harus menguji kalian lebih dahulu. Apakah kalian bertiga ini benar-benar jujur untuk bekerja sama menentang pemerintah penjajah, ataukah hanya siasat saja dan mencari kesempatan untuk kemudian melarikan diri atau membalik mengkhianati kami.”
Diam-diam tiga orang muda perkasa itu terkejut, dan Hong Beng memuji dalam hatinya.
Kakek ini selain lihai sekali ilmu silatnya, juga ternyata amat cerdik. Dia harus berhati-hati menghadapi kakek ini. Seketika wajah Hong Beng menjadi merah dan sinar matanya mencorong karena marah.
“Locianpwe terlalu memandang rendah kepada kami orang-orang muda!” katanya dengan nada suara marah, “Kami bukanlah pengkhianat bangsa, kami bukanlah penjilat penjajah asing dan kami berani bersumpah bahwa kami di dalam hati selalu menentang penjajahan! Kalau gerakan perjuangan yang Ji-wi pimpin ini bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi membebaskan rakyat jelata dari penindasan penjajah asing, kami akan rela membela dengan pertaruhan nyawa sekalipun!”
Hong Beng memang cerdik. Seperti tanpa disengaja, dia menyinggung cita-cita perjuangan itu. Siapakah orangnya yang mau berterang mengemukakan cita-cita pribadinya? Setiap pemimpin penggerak perjuangan atau pemberontakan sudah pasti menyembunyikan tujuan pribadi, dan menonjolkan cita-cita yang mulia demi bangsa dan tanah air. Demikian pula dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Lohan. Mendengar ucapan itu, Siangkoan Lohan yang sebenarnya memberontak karena ingin mengangkat puteranya menjadi kaisar, cepat berseru.
“Ah, tentu saja! Tentu saja perjuangan ini demi kepentingan rakyat!”
Ouwyang Sianseng yang cerdik lalu berkata,
“Bagaimanapun juga kami harus melihat bukti kejujuran kalian. Gu Hong Beng, dari beberapa orang pembantu kami, kami sudah mendengar bahwa sejak dahulu engkau adalah seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Dan sekarang kami ingin melihat bukti kegagahanmu itu, kami mempunyai tugas untukmu. Dua orang temanmu ini akan tetap menjadi sandera, walaupun mereka akan diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, bukan sebagai tawanan. Nah, kalau tugasmu itu berhasil kaulakukan dengan baik, barulah kami percaya dan kalian bertiga akan kami terima sebagai pembantu-pembantu yang kami hargai. Sebaliknya, kalau engkau bermain curang, ingat bahwa dua orang temanmu masih berada di sini sebagai sandera,” Ouwyang Sianseng tentu saja sudah mendengar banyak tentang tiga orang itu dari Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, karena mereka itu merupakan musuh-musuh lama, terutama sekali Hong Beng dan Kun Tek (baca kisahSULING NAGA ).
Hong Beng saling pandang dengan dua orang temannya, lalu berkata kepada mereka,
“Kalian berdua tenanglah menjadi sandera di sini, karena aku pasti akan mampu melaksanakan tugas itu dengan baik.” Kemudian dia menghadapi lagi Ouwyang Sianseng dan berkata, “Baiklah, Locianpwe. Tugas apa yang diserahkan kepadaku? Akan kulaksanakan dengan baik!” Dia merasa perlu untuk menenangkan hati dua orang temannya, terutama Kun Tek yang keras hati, agar Kun Tek mengerti bahwa tentu Hong Beng akan dapat mencari akal dan jalan yang baik untuk menghadapi tugas itu!
Padahal, tentu saja Hong Beng sendiri belum mengerti bagaimana dia akan dapat keluar dari ujian ini, karena macam ujian itu pun dia belum tahu.
“Begini, orang muda. Seperti telah kukatakan tadi, kami mempunyai hubungan dengan panglima tinggi pemimpin pasukan yang berjaga di tapal batas. Komandan itu adalah Coa-tai-ciangkun dan wakilnya adalah Song-ciangkun. Mereka berdua itulah yang memimpin puluhan orang perwira yang mengepalai pasukan-pasukan pemerintah di perbatasan! Dan mereka sudah siap membantu kami. Oleh karena itu, engkau kuberi tugas untuk pergi menyelundup ke dalam benteng itu, membawa surat kami untuk disampaikan kepada komandan Coa.”
“Akan tetapi, Locianpwe, kalau memang Locianpwe sudah mempunyai hubungan dengan mereka, apa perlunya lagi aku harus menyelundup ke dalam benteng? Bukankah masuk lewat pintu gerbang pun tidak mengapa, kalau mereka tahu bahwa aku utusan dari Tiat-liong-pang, tentu akan diterima sebagai sahabat,” bantah Hong Beng yang cerdik.
“Ah, engkau sungguh bodoh, orang muda. Memang komandannya dan para perwiranya sudah bersekutu dengan kita, akan tetapi karena hal itu berbahaya tentu saja mereka tidak terang-terangan, dan tidak semua anak buah pasukan tahu akan hal itu. Pasukan hanya mentaati perintah komandannya, maka tidak perlu mengetahui semua hal, takut kalau-kalau hal itu dibocorkannya sebelum gerakan kita berhasil. Sudahlah, engkau membawa surat kami, malam-malam menyelundup masuk ke dalam benteng dan menyerahkan surat kepada Panglima Coa atau Perwira Song. Sanggupkah?”
Hong Beng tersenyum.
“Tugas itu tidak berat tentu saja aku sanggup!”
“Masih ada kelanjutannya. Kalau engkau sudah menyerahkan surat kepada Panglima Coa atau Perwira Song, engkau harus siap melaksanakan semua tugas yang diserahkan mereka kepadamu! Ingat, membantah mereka berarti membantah kami pula.”
Hong Beng diam-diam merasa gentar juga, akan tetapi dengan tenang dia mengangguk,
“Bagaimana andaikata aku ketahuan orang di dalam benteng dan aku diserang dan hendak ditangkap? Apakah aku harus melarikan diri ataukah....”
“Kalau yang melihatmu hanya beberapa orang saja, bunuh mereka. Kalau banyak orang larilah. Akan tetapi kalau mungkin yakinkan hati mereka bahwa engkau adalah sahabat Panglima Coa. Nah, ini suratnya sudah kami persiapkan, sekarang juga berangkatlah, dan ini peta petunjuk di mana adanya benteng itu.”
Hong Beng menerima surat dan peta itu, lalu sebelum berangkat dia menoleh kepada dua orang temannya.
“Harap kalian bersabar dan percayalah kepadaku.”
Li Sian merasa terharu. Tentu saja ia percaya kepada pemuda itu, dan ia merasa betapa beratnya tugas Hong Beng, bukan hanya tugas menyerahkan surat itu, terutama sekali karena pemuda itu bertanggung jawab atas nyawa mereka berdua, seolah-olah nyawa mereka berdua di dalam genggaman tangan Hong Beng, “Berangkatlah dan harap hati-hati, saudara Gu Hong Beng,” katanya.
Kun Tek memandang kepada Hong Beng dan terdengar suaranya yang lantang.
“Hong Beng, sejak dahulu aku selalu percaya kepadamu, dan sekarang pun kami percaya penuh kepadamu!”
Hong Beng mengangguk, kemudian setelah semua rantai yang membelenggunya dilepas dia pun berangkat meninggalkan sarang pemberontak itu, menuju ke benteng pasukan pemerintah seperti yang ditunjukan di dalam peta. Setelah Hong Beng berangkat, Ouwyang Sianseng memegang janji. Dia pun bersama Siangkoan Lohan membebaskan belenggu yang mengikat Kun Tek dan Li Sian, kemudian mengantar mereka, dikawal oleh pasukan penjaga, menuju ke dua buah kamar di mana mereka berdua menjadi sandera. Hidup bebas seperti tamu, akan tetapi selalu dikawal dan dijaga ketat. Ouwyang Sianseng tidak bodoh, maka yang bertugas menjaga kedua orang sandera ini adalah tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin, Thian Kek Sengjin, Ciu Hok Kwi, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Tok-ciang Hui-moko Liok Cit bahkan Siangkoan Liong sendiri selalu berada di tempat dekat sehingga selalu siap kalau-kalau kedua orang sandera itu mencoba untuk memberontak dan melarikan diri. Akan tetapi dengan cerdiknya Siangkoan Liong tidak pernah lagi mencoba untuk menggoda Li Sian, bahkan dia tidak pernah memperlihatkan diri agar gadis itu tidak menjadi marah. Dia pun tahu akan siasat gurunya, dan memang dia harus mengakui perlunya banyak tenaga bantuan para ahli silat. Dia masih ngeri kalau membayangkan akan kelihaian kakek dan nenek yang telah menolong rombongan utusan kota raja itu. Dia pun mengerti bahwa kini gurunya mengutus Hong Beng pergi mengunjungi Panglima Coa juga untuk melihat apa yang telah terjadi di dalam benteng itu, karena sudah beberapa hari Panglima Coa tidak pernah mengirim utusan.
Hong Beng yang melakukan perjalanan seorang diri, dengan hati-hati sekali menyusup-nyusup ke dalam hutan. Beberapa kali dia berhenti dan menyelinap untuk bersembunyi, kemudian memanjat pohon untuk meneliti apakah perjalanannya itu diikuti orang ataukah tidak. Akhirnya dia merasa yakin bahwa fihak pemberontak tidak mengutus orang untuk membayanginya, maka hatinya menjadi lega.
Dengan hati-hati Hong Beng lalu membuka sampul surat yang diserahkan kepadanya oleh Ouwyang Sianseng untuk diberikan kepada Panglima Coa atau Perwira Song. Dalam keadaan seperti itu, dia tidak rikuh lagi membuka surat orang, dan dibacanya surat itu.
Isinya penting sekali. Di dalam surat itu, terang-terangan Ouwyang Sianseng memperkenalkan dirinya sebagai pembantu baru yang sedang diuji kesetiaannya! Dan Ouwyang Sianseng menanyakan tentang utusan kota raja kepada Panglima Coa, dan bahwa kalau tidak ada suatu hal yang menjadi penghalang, agar panglima Coa mempersiapkan pasukannya karena pasukan mereka akan mulai bergerak ke selatan!
Disebutkan pula bahwa kini Tiat-liong-pang sudah siap, dengan anak buahnya yang berjumlah hampir lima ratus orang banyaknya, dengan Ang I Mopang lima puluh orang, dan agaknya orang-orang Mongol di bawah pimpinan Agakai sudah terkumpul seribu orang! Kalau Panglima Coa sudah siap, harap membawa pasukannya berkumpul di sarang Tiat-liong-pang agar dapat dibagi-bagi pasukan itu untuk melakukan gerakan ke berbagai jurusan!
Hong Beng termenung. Surat ini penting sekali! Dan dia yang menjadi utusan.
Bagaimanapun juga, dia tidak dapat mundur, karena di sana ada nyawa dua orang sahabatnya menjadi tanggungan. Dia harus menyampaikan surat ini, dan kembali. Kalau Pouw Li Sian dan Cu Kun Tek sudah dibebaskan, barulah mereka akan melihat perkembangannya. Sekarang, dia tidak dapat melakukan sesuatu kecuali menyampaikan surat itu kepada Panglima Coa atau Perwira Song.
***
Sin Hong termenung. Malam itu dia dan Suma Lian terpaksa bermalam di hutan lebat, tak jauh dari sarang Tiat-liong-pang. Mereka telah melakukan penyelidikan semenjak mengubur jenazah Kwee Ci Hwa, dan mereka berdua terkejut melihat betapa kekuatan para pemberontak memang besar. Dan kini, agaknya pasukan Mongol sudah pula berkumpul di tempat itu, dan jumlah orang-orang Mongol ini banyak sekali, jauh lebih banyak dari orang-orang Tiat-liong-pang sendiri. Pasukan Mongol yang kelihatan buas ini berkumpul di lapangan luas yang berada di sebelah timur sarang Tiat-liong-pang, membuat tenda-tenda sementara.
Melihat kenyataan ini, Sin Hong dan Suma Lian terkejut sekali dan tentu saja mereka berdua tidak akan mampu melakukan sesuatu terhadap kekuatan yang demikian besarnya.
Mereka lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari para pendekar yang kabarnya banyak berkumpul di situ untuk menentang para tokoh sesat agar mereka dapat melakukan gerakan bersama, atau menyampaikan berita tentang gerakan kaum sesat ini kepada benteng pasukan penjaga perbatasan. Malam itu terpaksa mereka melewatkan malam di dalam hutan. Karena melihat Suma Lian kelelahan, setelah mereka makan malam yang terdiri dari roti dan daging kering, Sin Hong mempersilakan gadis itu untuk beristirahat dan tidur, sedangkan dia berjaga di dekat api unggun yang mereka buat.
Sin Hong melamun setelah melihat gadis itu rebah di dekat api unggun sambil berkerudung jubah luar yang lebar. Dia terkenang kepada Ci Hwa dan keterangan yang dikemukakan gadis itu sebelum tewas. Dan Sin Hong mengepal tinju. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa benar-benar Tiat-liong-pang yang mendalangi pembunuhan terhadap ayahnya itu. Dan Ciu Hok Kwi, Ciu Piauwsu yang pernah menjadi pembantu ayahnya, ternyata adalah tokoh Tiat-liong-pang yang pandai. Bahkan orang she Ciu itu pula yang menjadi pembunuh bertopeng, pembunuh orang she Lay yang gendut, dan kalau begitu, Ciu Hok Kwi ini pula yang mengatur segalanya. Dia telah terkecoh. Ketika Ciu Hok Kwi marah-marah dan pergi menantang Kwee Piauwsu, semua itu ternyata hanya sandiwara belaka! Kini jelaslah sudah semuanya bagi dia. Tiat-liong-pang memang membutuhkan perusahan piauw-kiok itu. Dengan adanya perusahaan itu, mudah bagi Tiat-liong-pang untuk mengadakan hubungan dengan sekutunya, orang-orang Mongol di luar Tembok Besar. Tanpa dicurigai pasukan pemerintah yang berjaga di tapal batas utara. Dan usaha mereka telah berhasil karena buktinya kini pasukan Mongol telah dapat diselundupkan ke Tiat-liong-pang dalam jumlah besar tanpa diketahui oleh pasukan pemerintah. Dan dia tidak tahu bahwa kaum sesat, termasuk Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, tentu membantu pula gerakan pemberontakan itu. Sin-kiam Moli berada di sana, tentu dua orang kawannya yang lihai, yaitu Thian Kong Cinjin tokoh Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-pai, juga berada di sana. Tiga orang itulah yang masih hidup di antara mereka yang menyerbu Istana Gurun Pasir! Dan dua batang pedang pusaka Istana Gurun Pasir, yaitu Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam, berada di tangan tiga orang itu dan dia harus merampasnya kembali. Dengan demikian, maka semua persoalan yang harus dibereskan berada di Tiat-liong-pang. Urusan ayahnya, urusan guru-gurunya, juga urusan umum! Bagaimanapun juga dia harus bangkit menantang Tiat-liong-pang, demi orang tuanya, demi guru-gurunya dan demi rakyat karena kalau pemberontakan yang dipimpin para tokoh sesat itu terjadi, tentu banyak rakyat yang menjadi korban keganasan mereka.
Terdengar Suma Lian mengeluh dan Sin Hong melirik. Gadis itu bergerak dan kini terlentang. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Cantik jelita, gagah perkasa, pemberani, jenaka dan serba menyenangkan, keturunan keluarga Pulau Es pula! Seorang gadis pilihan dan harus diakuinya bahwa hatinya tertarik sekali begitu dia bertemu Suma Lian.
Dia merasa kagum bukan main. Dengan mudah sekali dia akan dapat jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Suma Lian ini. Akan tetapi, dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin, bahkan tidak boleh sama sekali. Dia mendengar sendiri percakapan antara Suma Lian dan paman gadis itu, Suma Ciang Bun. Gadis jelita ini telah ditunangkan, telah dijodohkan dengan murid pendekar itu yang bernama Gu Hong Beng! Tidak, dia sama sekali tidak boleh mengganggu gadis ini! Pantangan besar baginya! Dia tidak akan mengorbankan orang lain, apalagi keluarga para pendekar terhormat itu, demi kesenangan diri sendiri!
Dia harus menjauhkan diri dari Suma Lian, secepatnya agar jangan sampai pergaulan mereka menjadi semakin akrab karena dia melihat betapa ada tanda-tanda gadis ini bersikap amat baik dan manis kepadanya. Hal ini harus dicegah!
“Hong-ko, apakah yang kaupikirkan?”
Sin Hong terkejut bukan main mendengar teguran suara halus Suma Lian itu. Dia cepat menoleh dan ternyata gadis itu yang masih terlentang, sudah membuka sepasang matanya yang indah dan kocak itu dan sedang memandang kepadanya dengan penuh selidik, sedangkan mulut tersenyum jenaka.
“Apa? Aku...aku tidak memikirkan apa-apa, Lian-moi.”
Suma Lian bangkit duduk. Pita rambutnya terlepas dan rambut yang hitam panjang itu terurai. Disanggulnya rambut itu dan gerakan kedua lengan ketika menyanggul rambut itu sungguh luwes dan indah, membuat Sin Hong terpesona sejenak akan tetapi dia segera menundukkan mukanya agar tidak melihat pemandangan yang menarik itu. Seorang gadis menyanggul rambutnya, betapa luwes dan sedap dipandang!
"Hong-ko, tidak perlu kau menyangkal. Sejak tadi aku melihat engkau melamun, kadang-kadang mengepal tinju, merentang-rentangkan jari tangan, belasan kali engkau menarik napas panjang dan engkau memandangi api seolah-olah seluruh semangatmu melayang-layang ke dalamnya. Dan dari samping aku melihat wajahmu seperti orang berduka. Ada apakah Hong-ko?" Suma Lian selesai menyanggul rambutnya dan ia duduk berhadapan dengan Sin Hong, terhalang api unggun sehingga mereka dapat saling melihat wajah masing-masing dengan jelas. Sin Hong melihat betapa wajah gadis itu kemerahan oleh sinar api, cantik jelita seperti wajah bidadari. Sin Hong merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan kembali dia menundukkan mukanya agar tidak memandang keindahan yang nampak di depannya itu. Sungguh berbahaya sekali, pikirnya. Betapa mudahnya aku jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi ia sudah ada yang punya! Ia harus menggunakan akal untuk menjauhkan jarak di antara hati mereka.
Dia menghela napas panjang.
"Aaah, hati siapa takkan berduga kalau kehilangan seorang yang amat disayangnya? Lenyapnya seorang yang dikasihi agaknya melenyapkan pula rasa bahagia di hati, melumpuhkan semangat...."
Suma Lian tertarik sekali dan memandang penuh selidik. Kerut alisnya menunjukkan bahwa ia terkejut dan juga kecewa bahwa pemuda di depannya ini sudah mempunyai seorang kekasih. Padahal ia mulai tertarik sekali!
"Siapakah orang yang kausayang sedemikian besarnya itu, Hong-ko? Dan kenapa engkau kehilangan? Kemanakah ia pergi?"
"Baru saja ia meninggal dunia secara amat menyedihkan, Lian-moi."
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar