Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 33.

Kisah si Bangau Putih Jilid 33

“Ah, jadi kematian Tan-piauwsu itu termasuk rencana siasatmu? Engkau sungguh lihai sekali, Koko!” Ci Hwa balas mencium walaupun di dalam hatinya ia ingin muntah karena jijik mendengar bahwa pembunuhan atas diri Tan-piauwsu itu adalah perbuatan orang ini.
“Kalau begitu, yang membunuh Tan Piauwsu....”
“Ha-ha-ha, akulah orangnya!” kata Ciu Hok Kwi sambil tertawa.
Sepasang mata Ci Hwa terbelalak dan ia mengamati wajah laki-laki itu yang di bawah sinar lilin cukup tampan namun juga menyeramkan.
“Dan orang berkedok yang membunuh Lay-wangwe....”
“Aku juga orangnya! Eh, bagaimana engkau bisa tahu....? Ah kiranya engkaukah yang mencoba untuk menangkap aku itu, Manis? Ha-ha-ha! Untung hanya kutendang lututmu....!”
Ci Hwa terkejut dan juga marah bukan main, akan tetapi ia memaksa dirinya untuk ikut tertawa lalu merangkul dan mencium laki-laki itu sambil memuji.
“Wah, kiranya engkaukah orang itu? Aku sudah merasa kagum sekali karena kelihaiannya! Dan engkau pernah menantang ayahku? Bagaimana engkau dapat dikalahkannya kalau ternyata engkau selihai itu?”
Ciu Hok Kwi balas merangkul dan mencium.
“Siasat, Manisku, siasat! Aku harus pura-pura mengalah agar tidak mendatangkan kecurigaan putera Tan-piauwsu itu. Engkau tentu telah mengenalnya.”
“Ya, Tan Sin Hong itu bukan? Dia menuduh ayah yang mengatur pembunuhan terhadap ayahnya, maka aku ingin mencuci nama ayahku dan membantunya menangkap pembunuh. Kiranya engkau orangnya dan sekarang dan mencium engkau malah menjadi kekasihku, orang yang akan menyelamatkan aku dari bahaya di sini.”
Kembali Ci Hwa melayani Ciu Hok Kwi dengan sikap manja, mesra dan manis sehingga Ciu Hok Kwi menjadi tergila-gila, tenggelam dalam nafsunya dan akhirnya, setelah lewat tengah malam, diapun tidur pulas kelelahan.
Ci Hwa yang tadinya pura-pura tidur pulas lebih dahulu, segera membuka kedua matanya. Dengan hati-hati ia melepaskan lengan dan kaki pria itu yang merangkulnya, lalu melepaskan diri dan sejenak duduk di atas pembaringan sambil mengamati muka dan pernapasan laki-laki itu. Sudah tidur nyenyak, dapat di ketahuinya dari pernapasannya dan dengkurnya. Sekali pukul saja ia akan dapat membunuh laki-laki ini! Akan tetapi, ia tidak berani melakukan hal ini, karena kalau sampai ia gagal, kalau sampai Ciu Hok Kwi tidak mati oleh sekali pukul dan sempat berteriak, akan gagallah usahanya menolong Gu Hong Beng! Yang terpenting adalah menyelamatkan pemuda itu lebih dulu, pikirnya.
Rasanya sudah gatal tangannya hendak menyerang dan membunuh orang yang sedang tidur ini, apalagi kalau diingatnya betapa ia tadi digeluti dan menderita siksaan lahir batin yang bagi seorang gadis tak tertandingi oleh penderitaan yang bagaimana juga. Akan tetapi, Ci Hwa dapat menekan perasaannya dan dengan hati-hati ia pun mengambil baju Ciu Hok Kwi yang tadi ditanggalkan dan dilemparkan ke sudut pembaringan. Jari-jari tangannya gemetar ketika ia mencari-cari dan akhirnya ia menemukan seuntai kunci-kunci dan matanya bersinar-sinar. Ia lalu mengenakan pakaiannya, dan sepatunya, lalu turun perlahan-lahan dari atas pembaringan, Ciu Hok Kwi masih mendengkur pulas.
Melihat sebatang pedang tergantung di dinding kamar itu, dicabutnya pedang itu dan dibawanya keluar kamar bersama kunci-kunci tadi. Berindap-indap ia menghampiri tempat tahanan.
Ci Hwa menyelinap di balik dinding gelap dan mengintai. Jalan menuju ke kamar tahanan itu melalui sebuah lorong dan ada tiga orang penjaga bercakap-cakap di mulut lorong itu. Penjaga-penjaga lainnya entah pergi ke mana. Di situ terdapat belasan orang penjaga dan agaknya mereka merasa aman, maka diadakan pergantian penjagaan.
Mungkin yang lainnya sedang tidur dan mereka berjaga dengan bergiliran. Kenyataan bahwa yang berjaga di situ hanya tiga orang, jantung dalam dada Ci Hwa berdebar tegang dan juga gembira. Kalau hanya tiga orang, tentu saja tidak berat baginya untuk membunuh mereka, apalagi keadaan tiga orang itu kini nampak mengantuk. Malam telah amat larut, lewat tengah malam dan mereka bertiga kini tidak bercakap-cakap lagi, melainkan duduk melenggut.
Ci Hwa lalu memungut batu kerikil dan dilontarkan ke depan. Suara kerikil jatuh menggelinding di lantai ini cukup membuat seorang di antara tiga orang penjaga itu terkejut dan memandang dengan curiga. Lalu dia mencabut goloknya dan bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah perlahan ke arah pilar yang agak gelap, di mana tadi dia mendengar suara kerikil jatuh. Baru saja kakinya menginjak di sudut dinding, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan penjaga itu tersentak kaget, matanya terbelalak ketika sebatang pedang menempel jantungnya dan mulutnya tak sempat bersuara karena ada tangan mendekap mulutnya. Dia pun roboh tanpa mengeluarkan suara dan tubuhnya diseret Ci Hwa ke tempat gelap.
Kembali Ci Hwa melempar kerikil, lebih keras dari tadi. Kini, dua orang penjaga yang mengantuk itu terkejut dan bangkit, memandang ke kanan kiri, mencari kawan mereka dan keduanya lalu melangkah perlahan-lahan ke depan, mencari-cari. Tadi ketika kawan mereka bangkit dan memeriksa keadaan, mereka sudah terlalu mengantuk sehingga tidak memperhatikan. Ci Hwa menanti mereka dengan hati tegang. Ia harus dapat sekaligus merobohkan kedua orang ini tanpa menimbulkan banyak kegaduhan, pikirnya, siap dengan pedangnya yang sudah bersih dari darah karena ia mengusapkannya ke tubuh korban pertamanya.
Ketika dua orang penjaga itu tepat tiba di sudut dinding, dua kali pedang di tangan Ci Hwa berkelebat, menyambar ke arah tenggorokan kedua orang itu. Hanya terdengar suara mengorok seperti babi disembelih ketika dua orang itu terkulai roboh mandi darah dan berkelojotan tanpa mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus! Ci Hwa tidak membuang banyak waktu lagi. Ia meloncati mayat dua orang penjaga itu dan berlari memasuki lorong. Pertama-tama ia menghampiri pintu kamar di mana Gu Hong Beng ditahan.
Hong Beng sedang duduk bersila menghimpun tenaga. Dia tentu saja, seperti yang lain, tidak dapat tidur. Melalui ketukan pada dinding, dia sudah mengadakan hubungan dengan Kun Tek yang ditahan di kamar sebelah kirinya, bahkan mereka berdua dapat bicara sambil berbisik, mengerahkan khi-kang untuk dapat saling tangkap. Dari suara bisik-bisik ini, dia dan Kun Tek sudah sepakat untuk bersiap-siap menghimpun tenaga dan pada keesokan harinya atau kapan saja ada kesempatan, mereka akan menggunakan tenaga dan kekerasan untuk mengamuk. Dengan bisikan-bisikannya, Hong Beng dan Kun Tek berjanji masing-masing akan menghubungi Ci Hwa dan Li Sian. Cu Kun Tek hendak menghubungi Li Sian yang berada di sebelah kamarnya, sedangkan Gu Hong Beng akan menghubungi Ci Hwa. Akan tetapi, setelah beberapa kali mencoba, Hong Beng tidak menerima jawaban dari Ci Hwa sehingga dia merasa gelisah sekali. Apalagi kalau dia teringat akan perjumpaan mereka pertama kali. Gadis itu hampir saja mati membunuh diri tanpa dia tahu akan sebabnya. Bagaimana kalau sekarang gadis itu mengulang kembali usahanya untuk membunuh diri dalam sel tahanannya karena putus asa? Kini takkan ada lagi yang dapat menghalanginya! Akan tetapi, satu-satunya cara membunuh diri dalam sel itu, apalagi setelah mereka semua dilucuti senjatanya, hanyalah dengan jalan membenturkan kepala sampai pecah pada dinding kamar tahanan. Dan sejak tadi, dia memperhatikan dengan hati gelisah dan tidak pernah mendengar suara mengerikan dari pecahnya kepala terbentur pada dinding. Akan tetapi kenapa gadis itu tidak menjawabnya? Sudah beberapa kali dia mengetuk-ngetuk dinding, juga melalui jeruji besi itu dia “mengirim” suaranya dengan kekuatan khi-kang ke dalam kamar tahanan Ci Hwa di sebelah, namun sia-sia belaka semua usahanya itu.
Tidak pernah ada jawaban dari kamar sebelah, bahkan dia tldak mendengar ada gerakan.
Tadi memang dia tahu bahwa ada rombongan penjaga yang mendekati pintu kamar tahanan Ci Hwa, bahkan mereka bercakap-cakap, akan tetapi karena ada pula penjaga berdiri di depan pintu kamar tahanannya, dia pun tidak dapat mendekati dan mencoba untuk mendengarkan. Kemudian para penjaga itu pergi dan suasana menjadi sunyi dan sejak itu, dia tidak dapat mendengar sesuatu dari kamar Ci Hwa.
Di lain pihak, Kun Tek yang mencoba untuk menghubungi Li Sian, ternyata memperoleh hasil baik. Ketukannya pada dinding dibalas oleh Li Sian, dan ketika Kun Tek mendekati pintu, ternyata gadis di kamar sebelah itu pun sudah mendekati ke pintu.
“Maaf, Nona, apakah aku mengganggu? Aku adalah Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman, datang ke sini untuk menentang Tiat-liong-pang yang bersekutu dengan kaum sesat untuk melakukan pemberontakan. Kalau tidak berkeberatan, maukah Nona memperkenalkan diri kepadaku?”
Mendengar suara bisikan yang dikirim dengan khi-kang yang cukup kuat ini, Li Sian kagum. Tadi ia sudah melihat kemunculan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu, bahkan dia sudah mendengar pengakuan Kun Tek kepada Siangkoan Lohan. Ia pernah mendengar nama besar Lembah Naga Siluman dan ada rasa kagum terhadap pemuda itu.
“Namaku Pouw Li Sian,” ia pun berbisik dan mendorong bisikan itu dengan khi-kang sehingga dapat terdengar jelas oleh Kun Tek yang juga menjadi kagum. Dia tadi sudah-melihat kehebatan Li Sian yang bertanding melawan Siangkoan Liong, dibantu Ci Hwa.
“Aku seorang yatim piatu, mendiang guruku adalah Bu Beng Lokai. Aku mempunyai permusuhan pribadi dengan Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan, akan tetapi karena mereka semua adalah penjahat-penjahat yang licik, curang dan kejam, aku menentang mereka.”
Kun Tek mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Li Sian, terutama sekali ketika mendengar betapa suara bisikan gadis itu tadi gemetar pada saat mengatakan bahwa ia adalah seorang yatim piatu. Agaknya gadis itu teringat akan keadaan dirinya yang yatim piatu dan menjadi sedih, pikir Kun Tek dengan hati terharu.
Biarpun baru beberapa kali saja dia mendapat kesempatan mengamati wajah gadis itu, dia masih teringat akan seraut wajah yang cantik dan anggun, dengan sinar mata tajam namun lembut, dengan mulut yang membayangkan kehalusan watak.
“Kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama, Nona. Apakah Nona sudah mengenal dua orang kawan lain yang tertawan di sebelah?”
“Belum, aku belum mengenal mereka berdua. Apakah engkau telah mengenal mereka?”
“Aku belum mengenal gadis itu, akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu adalah seorang sahabat lamaku, sahabat baik sejak bertahun-tahun yang lalu. Dia bernama Gu Hong Beng dan dia murid seorang anggauta keluarga Pulau Es yang terkenal.”
“Ahhh....!”
Mendengar seruan Li Sian, Kun Tek menjadi heran. Dalam seruan itu, bukan hanya terkandung rasa kaget atau kagum, melainkan lebih mengandung keheranan.
“Kenapakah, Nona?”
“Mendiang guruku, Bu Beng Lokai, adalah mantu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!”
“Ahhh....!” Kini Kun Tek yang berseru, seruan kaget, heran dan kagum menjadi satu.
“Kalau begitu, tentu engkau mengenal Hong Beng karena ada hubungan perguruan antara dia dan engkau, Nona”
“Aku belum pernah mengenalnya. Saudara Cu Kun Tek, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Mereka itu ternyata memiliki banyak orang pandai, terutama sekali siucai tua yang tinggi kurus itu, yang merobohkan kita. Dia sungguh memiliki ilmu kepandaian tinggi dan lihai bukan main.”
“Benar, Nona. Tadi aku sudah bicara dengan Hong Beng dan kami bersepakat untuk malam ini menghimpun tenaga, bersiap-siap untuk memberontak apabila kesempatan tiba. Biarpun kakek itu lihai, kalau kita bertiga, berempat dengan nona yang seorang lagi itu, kurasa kita akan dapat menghadapi kakek lihai itu.”
Mereka menghentikan percakapan dan mereka lalu duduk bersila di tengah kamar tahanan masing-masing untuk menghimpun tenaga. Dalam hati Li Sian terasa agak lega setelah ia dapat bercakap-cakap dengan Cu Kun Tek, pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu.
Mendengar suara yang berat dan tegas itu, hatinya menjadi lebih tenang dan ia menghadapi segala kemungkinan dengan penuh semangat. Diam-diam ia mengingat kembali tiga orang yang tidak dikenalnya itu, yang berdatangan membantunya dalam perkelahian sehingga akhirnya mereka semua menjadi tawanan. Ia merasa terharu kalau teringat akan nasib Bi-kwi dan suaminya. Jo Yin, suami wanita lihai itu, tewas seperti seorang yang gagah perkasa walaupun pria itu tidak pandai silat, dan Bi-kwi tewas sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya. Ketika ia teringat akan sikap gadis yang menjadi tawanan di sebelah, ia merasa heran sekali. Gadis itu begitu muncul, memaki Siangkoan Liong dan menyerang mati-matian, walaupun tingkat kepandaian silat gadis itu masih jauh di bawah tingkat Siangkoan Liong. Gadis itu demikian nekad dan agaknya amat membenci Siangkoan Liong. Ada dendam apakah antara gadis itu dan Siangkoan Liong? Ia menduga-duga dan mengingat akan dendamnya sendiri, dia menduga bahwa agaknya gadis itu pun menjadi korbun rayuan Siangkoan Liong.
Ingin rasanya ia menampar pipinya sendiri kalau ia teringat betapa ia telah menyerahkan dirinya dengan sukarela kepada pemuda biadab itu! Ia telah terpikat dan memang telah jatuh cinta kepada pemuda tampan itu, tidak tahu bahwa pemuda itu selain mempergunakan rayuan maut, juga mempergunakan minuman yang merangsang, dan juga pengaruh ilmu sihir untuk menjatuhkannya!
“Keparat! Aku harus membunuhmu!” Ia mengepal tinju, akan tetapi lalu mengusir gangguan pikiran ini yang akan melenyapkan ketenteraman hatinya dan akan menggagalkan usahanya untuk menghimpun tenaga dalam.
Lewat tengah malam, tiba-tiba Hong Beng dikejutkan dengan munculnya Ci Hwa di luar pintu kamar selnya dan gadis itu malah membuka daun pintu kamarnya dengan kunci, dengan hati-hati sekali.
“Adik Ci Hwa....! Bagaimana engkau dapat keluar dari kamar selmu....?”
“Sssttttt....!” Ci Hwa memberi isyarat agar pemuda itu tidak membuat gaduh, dan ia pun masuk ke dalam kamar itu. Hong Beng melompat bangun dan ketika Ci Hwa lari merangkulnya, dia pun memeluk dengan hati yang cemas dan girang. Akan tetapi dia melihat Ci Hwa menangis sesenggukan di dadanya, dan dia menjadi semakin heran. Dia tentu saja tidak tahu betapa Ci Hwa menangis karena teringat akan pengorbanannya, telah membiarkan dirinya diperhina sesuka hati oleh Ciu Hok Kwi, demi untuk menyelamatkan Hong Beng. Akan tetapi hanya sebentar saja Ci Hwa dipengaruhi kesedihannya. Ia segera melepaskan pelukannya dan berbisik, “Cepat, bebaskan teman-teman yang lain, ini kunci-kunci kamar tahanan, cepat dan larilah kalian semua dari sini selagi ada kesempatan!” Berkata demikian, Ci Hwa menyerahkan kunci-kunci itu kepada Hong Beng lalu melompat keluar.
“Hwa-moi....!” Hong Beng berseru lirih memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan menghilang dalam kegelapan malam. Hong Beng hanya tertegun, tidak tahu kemana gadis itu pergi, akan tetapi dia segera melangkah keluar dari kamar tahanan itu, dan dengan kunci-kunci itu, dia berhasil membebaskan Pouw Li Sian dan Cu Kun Tek yang tentu saja menjadi girang sekali.
“Bagaimana engkau dapat keluar membebaskan kami?” bisik Kun Tek.
“Kita ditolong oleh adik Kwee Ci Hwa. Ialah yang tadi membebaskan aku dan menyerahkan kunci-kunci ini,” jawab Hong Beng.
“Di mana ia sekarang?” Li Sian bertanya sambil memandang wajah pemuda yang menurut keterangan Kun Tek adalah murid keluarga Pulau Es itu.”
Hong Beng juga memandang wajah Li Sian dan menggeleng kepala dengan khawatir.
“Entahlah, setelah menyerahkan kunci-kunci ini, ia terus melompat pergi.”
“Ah, berbahaya sekali kalau begitu. Kita harus mencarinya, dan bersama-sama mencoba untuk meloloskan diri dari tempat ini!” kata Kun Tek, Li Sian dan Hong Beng mengangguk tanda setuju dan mereka bertiga lalu berindap-indap keluar melalui lorong kecil itu.
Akan tetapi, pada saat itu, para penjaga telah menemukan mayat tiga orang kawan mereka dan begitu muncul tiga orang tawanan ini, belasan orang penjaga sudah mengepung dan mengeroyok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru di mulut lorong, di mana tiga orang muda itu mengamuk, dengan tangan kosong saja menghadapi belasan orang penjaga yang semuanya bersenjata tajam.
Sementara itu, Ci Hwa sudah berhasil kembali ke dalam kamar Ciu Hok Kwi yang masih tidur mendengkur. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena kini ia memasuki kamar hanya dengan satu niat, yaitu membunuh Ciu Hok Kwi dengan pedang di tangannya. Karena ketegangan ini, Ci Hwa menjadi agak gugup dan tidak tenang sehingga tubuhnya melanggar bangku, membuat bangku itu roboh dan mengeluarkan bunyi gaduh. Suara ini menggugah Ciu Hok Kwi. Dia membuka mata dan tubuhnya bergerak untuk duduk. Pada saat itu, nampak sinar pedang berkelebat dan pedang di tangan Ci Hwa menyambar, membacok ke arah leher Ciu Hok Kwi dengan cepat dan kuat!
Ciu Hok Kwi adalah murid pertama dari Siangkoan Lohan, ilmu kepandaiannya sudah tinggi, bahkan dia dijuluki Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), seorang ahli pedang yang amat lihai. Oleh karena itu, biarpun dia baru saja bangun tidur dan belum sempat mempersiapkan diri lalu tiba-tiba diserang dengan bacokan pedang ke lehernya, dia tidak kehilangan akal dan dengan cepat dia melempar tubuhnya yang masih telanjang bulat itu ke bawah pembaringan, lalu bergulingan di lantai. Untung dia bergulingan sehingga pedang di tangan Ci Hwa yang mengejarnya hanya melukai pundak kiri, merobek kulit dan sedikit dagingnya sehingga darah bercucuran keluar.
“Heh, apakah engkau telah menjadi gila?” bentaknya marah sambil meloncat dan menyambar pakaiannya, dikenakan pakaian itu sedapatnya karena pada saat itu Ci Hwa sudah menyerangnya lagi. Dengan tangan kiri memegang bangku yang disambarnya, Ciu Hok Kwi menangkisi serangan Ci Hwa, sedangkan tangan kanan sibuk mengenakan pakaian pada tubuhnya. Bajunya terbalik-balik, celananya sampai robek bagian bawahnya. Akan tetapi setidaknya kini tubuhnya tidak lagi telajang bulat dan dia dapat menghadapi Ci Hwa dengan tenang.
“Ci Hwa, mengapa engkau melakukan ini? Bukankah tadi kita saling mencinta dan kau....”
“Tutup mulutmu yang busuk dan bersiaplah untuk mampus!” bentak Ci Hwa yang merasa menyesal sekali bahwa ia telah gagal membunuh orang yang amat dibencinya ini.
Ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya kalah jauh, maka kini ia dengan nekat menyerang terus. Ciu Hok Kwi mulai marah, apalagi ketika dia meraba saku bajunya dan tidak mendapatkan untaian kunci-kunci itu. Dia juga seorang yang cerdik, maka tahulah dia bahwa gadis ini sengaja menyerahkan diri untuk membuat dia terlena dan tertidur, kemudian mencuri kunci-kunci kamar tahanan itu. Celaka, pikirnya, tentu tahanan-tahanan itu telah dikeluarkan oleh gadis ini! Dan tiba-tiba dia pun mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi, maka tahulah dia bahwa para tawanan lain itu telah keluar dan kini berkelahi melawan anak buahnya.
“Perempuan jahanam! Jadi engkau hanya menipu aku, ya? Kalau begitu, mampuslah kamu!” Ciu Hok Kwi menyerang dengan patahan bangku, disambut oleh Ci Hwa dengan serangan pedangnya, penuh kebencian dan kenekatan. Terjadilah perkelahian mati-matian di dalam kamar itu. Hanya karena kenekatan Ci Hwa saja maka ia mampu mengadakan perlawanan mati-matian, karena sesungguhnya, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan lawannya.
Sementara itu, tiga orang pendekar perkasa, Gu Hong Beng, Cu Kun Tek, dan Pouw Li Sian, tanpa banyak membuang waktu dan tenaga, telah merobohkan belasan penjaga itu.
Mereka bertiga merampas masing-masing sebatang pedang dan berloncatan untuk mencari Ci Hwa. Akan tetapi, sebelum mereka berhasil menemukan gadis itu tiba-tiba muncul Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong, dan Ouwyang Sianseng! Di samping tiga orang sakti ini, masih nampak belasan orang tokoh sesat yang menjadi kaki tangan mereka, mengepung tiga orang muda yang baru saja merobohkan belasan orang penjaga itu.
Siangkoan Lohan dan puteranya mengerutkan alis dan memeriksa para penjaga yang malang melintang itu dengan pandang mata mereka.
“Di mana Ciu Hok Kwi....?” Siangkoan Lohan berseru.
“Mana Kwee Ci Hwa?” Siangkoan Liong juga berseru heran. Ayah dan anak ini masih merasa heran mengapa tiga orang tawanan ini dapat lolos dan tidak adanya Ciu Hok Kwi dan Kwee Ci Hwa membuat mereka merasa curiga. Namun, tiga orang pendekar itu yang maklum bahwa tidak perlu lagi banyak bicara dengan para pimpinan pemberontak yang lihai ini, sudah cepat menggerakkan pedang masing-masing untuk membuka jalan berdarah dan meloloskan diri dari tempat berbahaya itu.
Akan tetapi mereka segera dikeroyok. Bahkan Ouwyang Sianseng sendiri, juga Siangkoan Lohan turun tangan. Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang yang menjadi pemimpin pemberontakan itu sudah mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu hun-cwe emas. Ouwyang Sianseng juga sudah menggerakkan kipasnya, juga Siangkoan Liong sudah menggunakan pedangnya untuk ikut mengepung.
“Tangkap mereka kembali, jangan bunuh!” terdengar Ouwyang Sianseng berseru. Kakek ini sedang berusaha untuk memberontak untuk membalas dendamnya terhadap kerajaan.
Dia membutuhkan bantuan orang-orang muda ini, maka dia merasa sayang kalau mereka dibunuh begitu saja. Alangkah akan menguntungkan kalau tiga orang ini dapat dibujuk untuk membantu gerakan mereka.
Sementara itu, di dalam kamar Ciu Hok Kwi masih terjadi perkelahian mati-matian antara Ci Hwa dan Ciu Hok Kwi. Biarpun Ci Hwa mengamuk dengan nekat, namun ia bukanlah lawan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi dan setelah lewat tiga puluh jurus, kayu potongan bangku di tangan Hok Kwi berhasil melukai pergelangan tangan gadis itu.
Ci Hwa berteriak kesakitan dan pedangnya terlepas. Di lain saat, pedang itu telah dirampas oleh Ciu Hok Kwi dan kini, dengan pedang di tangan, Ciu Hok Kwi dengan beringas memandang gadis itu. Dia sudah marah sekali karena maklum bahwa dia telah ditipu oleh Ci Hwa, mempergunakan keindahan wajah dan tubuhnya, memikatnya sehingga kini tawanan yang lain telah keluar dari kamar-kamar mereka. Dia akan membunuh Ci Hwa, menyiksanya, untuk melampiaskan kemarahannya.
“Wuuuttt....!” Pedangnya menyambar dan karena dia memang ahli pedang, gerakan pedangnya itu cepat sekali. Ci Hwa meloncat ke belakang akan tetapi tetap saja paha kirinya terserempet ujung pedang. Celananya robek dan kulit paha berikut sedikit dagingnya robek pula. Darah menetes keluar. Ci Hwa menyambar sebuah bangku lain dari sudut kamar dan ia dengan nekat menyerang lawan itu dengan bangku. Akan tetapi, kembali sinar pedang berkelebat dan pangkal lengannya robek terluka! Ci Hwa menyerang terus mati-matian tanpa mempedulikan dirinya dan dalam belasan jurus saja, ia telah menderita belasan luka yang tidak parah namun cukup merobek pakaian dan kulit tubuhnya, membuat darah berlepotan membasahi seluruh tubuh. Mengerikan sekali keadaan gadis itu, dan Hok Kwi menyeringai puas.
“Akan kubunuh engkau, perempuan setan!” desisnya berkali-kali setiap kali pedangnya mengenai sasaran. Dia sengaja hanya melukai dengan ujung pedang karena tidak ingin segera membunuh gadis itu. Setelah gerakan Ci Hwa semakin lemah karena terlalu banyak mengeluarkan darah, Hok Kwi melakukan serangan yang sesungguhnya.
“Cappp....!” Pedangnya menancap ke lambung Ci Hwa, agak lebih dalam dan gadis itu pun terhuyung, lalu roboh.
“Mampuslah....!” Ciu Hok Kwi menggerakkan pedangnya untuk dibacokkan ke arah leher, akan tetapi tiba-tiba sebuah tangan menyambar dan mengetuk pergelangan tangan kanannya.
“Dukkk! Ahhhhh....!” Ciu Hok Kwi terkejut sekali, tangannya lumpuh dan pedangnya terlepas. Ketika dia mengangkat muka, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang berpakaian serba putih, bersama seorang gadis yang cantik jelita dan bersikap gagah sekali. Makin terkejutlah dia ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tan Sin Hong!
“Paman Ciu Hok Kwi ! Apa yang kaulakukan ini dan mengapa engkau berada di sini?” tanya Sin Hong yang juga terkejut dan heran sekali melihat bahwa orang yang hampir membunuh Kwee Ci Hwa itu bukan lain adalah Ciu Hok Kwi atau Ciu Piauwsu, bekas pembantu mendiang ayahnya!
Hok Kwi nampak kebingungan, lalu menjawab gagap.
“Aku.... aku....” dan tubuhnya lalu meloncat keluar kamar dan melarikan diri!
“Biar kukejar dia!” kata Suma Lian, gadis yang datang bersama Sin Hong.
“Jangan,” kata Sin Hong. “Gadis ini luka parah, kita harus menyelamatkan dulu keluar dari sini.”
Mereka berdua lalu keluar dari dalam kamar. Sin Hong memondong tubuh Ci Hwa yang berlumuran darah dan gadis itu dalam keadaan pingsan. Karena pada saat itu para tokoh sesat sedang sibuk mengeroyok Hong Beng, Kun Tek, dan Li Sian, maka dua orang muda perkasa ini dapat melarikan diri keluar dari perkampungan Tiat-liong-pang dengan aman.
Sementara itu, dengan ketakutan Ciu Hok Kwi meninggalkan kamarnya dan tiba di tempat di mana tiga orang pendekar muda itu dikeroyok. Perkelahian ini tidak seimbang.
Tiga orang muda itu memang lihai bukan main, akan tetapi, mereka dikeroyok dan di antara para pengeroyok mereka terdapat orang-orang yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari mereka, seperti Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong dan terutama sekali Ouwyang Sianseng. Apalagi tiga orang pendekar ini telah kehilangan senjata mereka, hanya mempergunakan pedang biasa saja, hasil rampasan dari para penjaga tadi. Tentu saja pedang-pedang biasa itu tidak ada artinya bertemu dengan senjata-senjata pusaka di tangan para pengeroyok mereka. Ketika mereka terdesak, kembali dengan gagang kipasnya, Ouwyang Sianseng berhasil menotok roboh mereka satu demi satu. Tiga orang muda itu lalu dibelenggu dan dilempar ke dalam sebuah tahanan yang besar, disatukan dan dirantai pada dinding kamar sehingga mereka bertiga tidak akan mampu berkutik lagi!
Ciu Hok Kwi mengajak teman-temannya lari ke kamarnya untuk menghadapi Tan Sin Hong dan wanita cantik itu, akan tetapi ketika mereka tiba di sana, Sin Hong dan Suma Lian telah lenyap, bahkan Ci Hwa yang tadi telah roboh juga tidak nampak di situ.
“Hok Kwi, apa yang telah terjadi?” Siangkoan Lohan menegur muridnya, suaranya tegas dan keren. “Bagaimana mereka bisa keluar?”
Wajah Hok Kwi berubah pucat. Dia tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi dia seorang yang cerdik dan dalam waktu beberapa detik itu dia telah dapat mengatur siasat untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
“Harap Suhu sudi memaafkan, teecu mengaku telah melakukan kesalahan, telah lalai.”
Siangkoan Lohan amat menyayang muridnya ini, karena muridnya ini selain merupakan murid paling lihai, juga cerdik sekali dan selama ini membuat jasa besar untuk kemajuan gerakan pemberontakannya. Melihat muridnya berlutut minta maaf dan mengaku salah, kesabarannya telah datang kembali.
“Sudahlah, ceritakan saja apa yang telah terjadi! Engkau memimpin anak buahmu melakukan penjagaan terhadap para tawanan itu, bagaimana mereka dapat keluar dan membuat ribut, bahkan telah membunuh banyak penjaga?”
“Maaf, Suhu. Memang teecu telah bersalah dan teledor, akan tetapi kalau tidak ada keparat Tan Sin Hong, putera Tan Piauwsu dari Ban-goan itu, tentu tidak akan terjadi pelepasan para tawanan. Harap Suhu ketahui bahwa gadis itu, yang bernama Kwee Ci Hwa, adalah puteri Kwee Piauwsu di Ban-goan dan sudah mengenal teecu. Teecu.... teecu tergoda dan membawanya ke kamar teecu, karena teecu merasa yakin bahwa para tawanan takkan mungkin dapat lolos dengan adanya penjagaan ketat. Akan tetapi, tiba-tiba saja terjadi kegaduhan dan tiga orang tawanan itu lolos, ternyata dilepaskan oleh Tan Sin Hong itu bersama seorang temannya. Karena marah, teecu lalu bunuh Kwee Ci Hwa.
Tan Sin Hong dan temannya itu datang, dan terpaksa teecu melarikan diri karena tidak dapat menandingi mereka. Dan ternyata dia telah pergi bersama temannya itu, dan agaknya membawa pergi mayat Kwee Ci Hwa.”
Cerita ini dapat diterima oleh Siangkoan Lohan.
“Sudahlah, sekarang jaga baik-baik, awas kalau sampai mereka terlepas lagi. Kecerobohanmu membuat kita kehilangan belasan anak buah!”
“Maaf, Suhu. Teecu akan menjaga dengan taruhan nyawa,” kata Ciu Hok Kwi.
Sementara itu, Sin Hong dan Suma Lian berhasil keluar dari sarang Tiat-liong-pang dan memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Matahari pagi telah mulai mengirim cahayanya mengusir kegelapan malam ketika mereka berhenti di atas padang rumput dalam hutan itu. Dengan hati-hati Sin Hong merebahkan tubuh Ci Hwa ke atas rumput. Tadi, dalam perjalanan, dia telah menghentikan beberapa jalan darah untuk menahan keluarnya terlalu banyak darah. Akan tetapi, keadaan Ci Hwa sudah amat payah dan lemah, disebabkan oleh luka di lambungnya yang dalam, dan juga karena terlampau banyak keluar darah.
Ci Hwa membuka matanya dan mulutnya tersenyum ketika ia mengenal wajah Sin Hong yang berlutut di dekatnya.
“Hong-ko.... syukurlah....aku dapat bertemu denganmu....”
“Ci Hwa, tenanglah, aku akan berusaha mengobatimu....“
Ci Hwa menggeleng kepala. Di dalam hatinya ia berkata bahwa ia tidak ingin hidup lagi, setelah penghinaan yang dideritanya dari Siangkoan Liong, dari Ciu Hok Kwi.
“Hong-ko, dengarlah. Ciu Hok Kwi itu...., dialah yang mengatur semua.... yang membunuh ayahmu, membunuh Tang Piauwsu.... dia pula orang bertopeng yang membunuh orang she Lay itu....“
Sin Hong terkejut bukan main, memandang wajah Ci Hwa dengan sinar mata tidak percaya dan mengira bahwa karena keadaannya yang payah, gadis itu telah bicara tidak karuan.
“Tapi, Hwa-moi, dia.... dia itu pembantu mendiang ayahku....“
Ci Hwa menggeleng kepalanya.
“Dia murid pertama Siangkoan Lohan...., mereka ingin memberontak, mereka menguasai piauw-kiok ayahmu.... agar dapat mengatur hubungan dengan luar Tembok Besar.... dengan orang-orang Mongol. Semua itu siasat belaka untuk menguasai piauw-kiok milik ayahmu.... dia telah mengaku semua ini kepadaku....“
“Keparat....!” Sin Hong terbelalak, baru dia tahu mengapa ayahnya dihunuh, kiranya ada hubungannya dengan pemberontakan. Pantas saja orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang. Kiranya Tiat-liong-pang yang mengatur, dan Ciu Hok Kwi adalah murid kepala ketuanya. Sikap Ciu Hok Kwi yang marah-marah dan menyerbu rumah Kwee Piauwsu, lalu dia dikalahkan Kwee Piauwsu, semua itu hanya siasat belaka!
“Hong-ko.... engkau telah tahu sekarang siapa musuh besarmu. Aku.... aku....“ Tiba-tiba gadis itu berusaha untuk bangkit duduk, namun tidak kuat dan ia tentu akan rebah kembali kalau saja Sin Hong tidak cepat membantunya. Dan mata gadis itu terbelalak, mukanya membayangkan kemarahan dan kebencian, telunjuk kanannya menuding ke depan, seolah-olah ada orang yang dibencinya berada di situ.
“Siangkoan Liong! Keparat kau....! Engkau telah menodaiku.... engkau.... kubunuh engkau.... ahhhhh....!” Tubuhnya terkulai dan nyawa gadis yang bernasib malang itu pun melayang pergi meninggalkan tubuhnya.
Sin Hong merebahkan gadis itu, menutupkan mulut dan matanya, lalu meletakkan kedua tangan di depan dada. Suma Lian yang melihat semua ini, mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa Sin Hong duduk tepekur, seperti tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar