Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 24.

Kisah si Bangau Putih Jilid 24

Tentu saja Sin-kiam Mo-li terkejut. Belasan orang anggauta Ang-i Mo-pang itu bukanlah orang-orang lemah! Akan tetapi, bahwa hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan gadis itu, juga gerakan memutar tubuh itu, menunjukkan ilmu yang tinggi tingkatnya!
Tahulah ia kini mengapa Liok Cit menjadi seperti tikus yang tidak berdaya menghadapi gadis ini.
“Pergunakan senjata!” bentaknya dengan penasaran. Belasan orang anggauta Ang-i Mo-pang yang lain, yang marah melihat teman-teman mereka berpelantingan, sudah mencabut pedangnya. Juga Tok-ciang Hui-moko Liok Cit mencabut pedang. Kini, dibantu oleh belasan orang, timbul keberaniannya, bahkan dia bernafsu untuk membalas kekalahannya tadi ketika melawan Suma Lian.
Melihat belasan orang mengepungnya dengan pedang telanjang di tangan, Suma Lian tersenyum mengejek.
“Orang yang suka mempergunakan kekerasan, akan menjadi korban kekerasannya sendiri. Kalian membawa pedang, nah, biarlah kalian rasakan bagaimana terluka oleh senjata itu!” Dan ia pun mencabut suling emasnya dari pinggang. Melihat suling emas ini, Sin-kiam Mo-li terkejut sekali.
“Suling Emas....?” serunya kaget. Pernah ia dahulu melawan seorang pendekar yang amat lihai, yang juga mempergunakan sebatang suling, yaitu pendekar Sim Houw, suami dari Can Bi Lan. Pendekar itu hebat sekali ilmunya dan harus diakuinya bahwa melawan pendekar itu, ia tidak dapat menang. Dan kini, gadis ini mengeluarkan pula sebatang suling emas, walaupun tidak sepanjang suling naga di tangan pendekar Sim Houw itu.
Akan, tetapi, Liok Cit dan belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang dan mengeroyok Suma Lian. Sin-kiam Mo-li hanya nonton saja sambil memperhatikan gadis yang bersenjata suling emas itu. Ia melihat betapa suling itu digerakkan dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara berdengung seolah-olah suling itu ditiup orang. Dan kini, gulungan sinar emas itu menyambar-nyambar ke sekeliling, menyambut pengeroyokan belasan orang yang mulai menyerangnya.
Terdengar suara nyaring berdencing berulang kali dan beberapa orang pengeroyok terdorong ke belakang, bahkan ada dua batang pedang yang terlempar dan terlepas dari pegangan. Demikian hebatnya kekuatan gulungan sinar keemasan itu. Liok Cit menusukkan pedangnya dari belakang, mengarah punggung Suma Lian, akan tetapi dengan amat mudahnya gadis itu menggeser kedua kakinya dan kini hujan senjata pedang itu dielakkannya dengan gerakan langkah-langkah ajaibnya. Dengan mengandalkan San-po Cin-keng, biarpun dikeroyok orang yang jauh lebih banyak lagi, Suma Lian akan mampu menyelamatkan dirinya. Yang membuat ia sibuk adalah memikirkan Yo Han.
Anak itu masih berada di pinggiran, agaknya masih mencari-cari kesempatan untuk melarikan diri karena tempat itu masih terkepung-banyak orang berpakaian merah.
Agaknya Yo Han kini menjadi nekat. Melihat betapa gadis penolongnya itu masih dikeroyok dan kini lebih banyak lagi orang berpakaian merah mencabut pedang hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dia melarikan diri hendak menerobos keluar. Akan tetapi, tiba-tiba Sin-kiam Mo-li meloncat dan sekali menotok, tubuh anak itu pun terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi!
Sin-kiam Mo-li menjadi marah.
“Hemm, kiranya engkau memiliki juga sedikit ilmu kepandaian!” katanya dan ia pun sudah mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu kebutan merah bergagang emas dan pedang di tangan kanan. Dengan sepasang senjatanya ini, Sin-kiam Mo-li meloncat ke depan dan seperti seekor burung saja, tubuhnya melayang ke atas, lalu menukik ke bawah, kebutan berbulu merah itu menotok ke arah ubun-ubun kepala Suma Lian sedangkan pedangnya membabat ke arah leher. Serangan ini cepat, kuat dan tidak terduga datangnya.
“Ihhh!” Suma Lian terkejut juga. Tak disangkanya bahwa wanita cantik itu sedemikian lihainya. Cepat ia mengelak dengan geseran kaki ke kiri dan sulingnya diangkat untuk menangkis kebutan yang datang dari atas, berusaha untuk membabat bulu kebutan merah yang menotok ke arah ubun-ubun kepalanya!
Patut diketahui bahwa biarpun senjata yang berada di tangan Suma Lian itu sebatang suling emas yang tentu saja tidak setajam seperti pedang, namun karena ilmu yang dimainkan itu adalah ilmu pedang gabungan yang amat lihai, maka sinar suling itu saja sudah mengandung hawa kuat dan ketajaman seperti pedang! Sin-kiam Mo-li juga bukan seorang bodoh yang memandang rendah lawan. Ia tadi sudah tahu bahwa gadis yang memegang suling emas ini lihai bukan main dan suling itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka, melihat betapa sinar emas yang menyilaukan mata itu menyambar ke arah kebutannya, ia merasa khawatir kalau kebutannya rusak atau rontok bulunya. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan dengan tenaga sin-kang ini ia membuat bulu-bulu kebutannya itu berubah kaku seperti kawat baja.
“Traaanggg....!” Bunga api berpijar dan kembali Sin-kiam Mo-li terkejut karena tangan yang memegang gagang kebutan itu tergetar hebat dan ada hawa dingin sekali menyusup melalui tangannya sampai ke siku lengan!
“Ihhhhh....“ Cepat ia mengerahkan sin-kang untuk melawan dan mendorong hawa dingin itu agar keluar kembali karena kalau dibiarkan, hawa dingin itu akan terus memasuki tubuhya dan ia bisa celaka. Wajahnya berubah agak pucat karena hawa dingin itu mengingatkan ia akan keluarga para pendekar Pulau Es. Ia melompat ke belakang dan membiarkan orang-orangnya yang berpakaian merah untuk terus melakukan pengepungan dan pengeroyokan. Akan tetapi, orang-orang Ang-i Mo-pang juga merasa jerih dan mereka hanya mengurung sambil berputaran saja. Liok Cit sendiri pun belum berani menyerang lagi. Melihat betapa Sin-kiam Mo-li saja yang mempergunakan pedang dan kebutannya kini meloncat mundur dengan kaget, apalagi dia!
Sementara itu, Sin-kiam Mo-li yang meloncat mundur kini memandang tajam, karena ia teringat akan gadis yang bernama Pouw Li Sian itu, yang ternyata adalah murid mantu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan kini tiba-tiba saja muncul seorang gadis lain yang mempergunakan sin-kang yang mengandung hawa dingin pula.
“Kau.... kau murid keluarga Pulau Es?” tanyanya, agak gagap karena bagaimanapun juga, ia merasa jerih berhadapan dengan orang-orang Pulau Es.
Melihat betapa wanita cantik yang lihai itu meloncat mundur, namun bagaimanapun juga tadi dapat menahan Swat-im Sin-kang yang ia pergunakan untuk menangkis kebutan, dan bulu kebutan itu pun berubah menjadi kaku seperti kawat baja, bahkan kini dapat mengenal sinkangnya sehingga dapat menduga bahwa ia murid keluarga Pulau Es, diam-diam Suma Lian merasa kagum. Wanita ini jelas bukan orang sembarangan saja. Kalau saja ia dapat lebih lama bercakap-cakap dengan Kao Hong Li dan mendengar bahwa seorang di antara para pembunuh penghuni Istana Gurun Pasir adalah Sin-kiam Mo-li, wanita ini, tentu akan lain lagi sikapnya!
Mendengar pertanyaan wanita itu, Suma Lian tersenyum. Ia tahu bahwa lawan ini lihai sekali, dan dibantu oleh demikian banyaknya anak buah yang juga tidak boleh dipandang ringan, kalau ia dikeroyok, keadaannya cukup berbahaya. Apalagi mengingat akan anak laki-laki yang kini sudah tertawan kembali dan tertotok oleh wanita itu bahkan kini telah dijaga oleh dua orang berpakaian merah, ia tahu bahwa pihaknya berada dalam keadaan yang lemah. Sebaliknya kalau ia dapat minta anak itu secara damai. Ia sendiri tidak khawatir akan keselamatan dirinya karena ia yakin akan mampu membela diri, akan tetapi bagaimana dengan anak laki-laki itu? Maka ia pun tersenyum dan menjawab terus terang untuk mempergunakan nama besar keluarganya agar wanita itu tunduk.
“Enci, engkau sendiri seorang yang berilmu tinggi. Ketahuilah, namaku Suma Lian, aku cucu buyut dalam dari penghuni Istana Pulau Es. Dan siapakah engkau, dan kuharap engkau suka menyerahkan anak itu kepadaku agar dapat kuantar pulang ke rumah orang tuanya.”
Akan tetapi, begitu mendengar pengakuan gadis itu bahwa ia adalah cucu Pendekar Super Sakti, Sin-kiam Mo-li terkejut dan cepat memberi aba-aba kepada anak buahnya.
“Serang dan tangkap gadis ini, kalau perlu bunuh!”
Tentu saja Suma Lian terkejut mendengar ini dan ia pun marah. Mukanya menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong.
“Bagus! Kaukira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian? Majulah kalau kalian semua sudah bosan hidup!”
Mendengar perintah Sin-kiam Mo-li, Tok-ciang Hui-moko Liok Cit lalu memberi aba-aba rahasia kepada para anak buah Ang-i Mo-pang. Dua puluh empat orang membuat lingkaran mengepung Suma Lian dan mereka berlari-lari mengelilingi gadis itu. Suma Lian maklum bahwa mereka itu mempergunakan barisan yang teratur dan kalau ia terpengaruh oleh gerakan mereka yang berlari-larian mengelilingi, sedikitnya ia akan merasa pening. Oleh karena itu, ia tidak mempedulikan gerakan mereka yang berlarian mengelilinginya itu. Ia melihat pula betapa di luar barisan pertama yang berlarian mengelilinginya searah jarum jam itu, terdapat pula belasan orang berpakaian merah yang juga berlarian, akan tetapi dengan arah yang berlawanan dari barisan pertama yang berada di sebelah dalam. Ia tidak membiarkan dirinya terpengaruh. Sebagai puteri Suma Ceng Liong yang sudah digembleng oleh ayahnya dalam ilmu sihir, Suma Lian maklum bahwa dalam barisan ini pun ada unsur kekuatan sihirnya, maka ia pun tidak mau terpengaruh, melainkan berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, tangan kanan memegang suling emas yang dilintangkan di depan dada, tangan kiri digantung di pinggang. Biarpun ia nampak santai saja, namun sesungguhnya ia telah siap siaga dan seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah siap menghadapi serangan.
Terdengar Liok Cit memberi aba-aba dan mulailah barisan sebelah dalam yang terdiri dari dua puluh empat orang yang mengelilinginya itu mempersempit lingkaran, terpecah menjadi tiga kelompok dan kini delapan orang yang mengepungnya, dua masing-masing di depan belakang dan kanan kiri dan delapan orang ini sudah menyerangnya dalam saat yang bersamaan, mempergunakan pedang mereka. Adapun sisanya, dua kelompok lagi dari masing-masing delapan orang siap menjadi pasukan lapis ke dua dan ke tiga, dan masih ada lagi lapisan di sebelah luarnya!
Diserang oleh delapan orang dari delapan penjuru, Suma Lian tidak merasa gentar. Ia seorang gadis yang cerdik dan ia tidak sudi membiarkan dirinya dikepung oleh barisan berlapis-lapis itu. Kalau ia melayani mereka, tentu akan habis tenaganya dan agaknya inilah yang akan dilakukan mereka. Maka, melihat dirinya diserang dari delapan penjuru, ia malah menubruk ke depan, memutar sulingnya dan dua orang penyerang di depannya terjungkal dan ia pun terus menerobos keluar kepungan itu karena serangan enam orang lainnya tidak mengenai sasaran dan kepungan itu pun bobol dengan robohnya dua orang di depannya. Ia sudah dihadang oleh barisan lapis ke dua, juga berjumlah delapan orang yang kiri langsung menyerangnya sambil lari berputar. Agaknya Liok Cit cukup pandai sehingga melihat cara Suma Lian membobolkan kepungan lapisan pertama, dia lalu memerintahkan lapisan kedua untuk menyerang sambil bergerak memutari gadis itu agar gadis itu tidak mampu membobol satu bagian saja seperti yang dilakukannya tadi.
Akan tetapi, Liok Cit terlalu memandang rendah gadis itu kalau dia mengharapkan akalnya berhasil. Kalau ia menghendaki, sekali memutar sulingnya, tentu saja Suma Lian akan mampu merobohkan delapan orang penyerangnya itu, sekaligus membunuh mereka.
Akan tetapi, ia seorang pendekar wanita yang pantang membunuh sembarangan saja. Ia tahu bahwa orang-orang yang berpakaian serba merah itu hanyalah anak buah yang mentaati perintah atasan. Mereka itu tidak bermusuhan dengannya. Yang harus dirobohkan adalah Liok Cit dan pemimpinnya, yaitu wanita cantik itu. Kalau ia berhasil merobohkan mereka, tentu akan mudah baginya untuk menyelamatkan anak laki-laki yang mereka culik dan tawan.
Dengan langkah ajaib San-po Cin-keng dan Ilmu Silat Kong-jiu Jip-tin (Tangan Kosong Memasuki Barisan) mudah saja baginya untuk melangkah dan mengelak dari sambaran delapan batang pedang itu dan tiba-tiba delapan orang itu menjadi terkejut dan bingung karena tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan mereka tidak lagi melihat gadis itu, seolah-olah gadis itu dapat menghilang dari depan mata mereka. Padahal, Suma Lian tadi mempergunakan ginkangnya dan ia sudah mencelat ke atas, melampaui kepala delapan orang itu dan dari atas ia melihat betapa Liok Cit memberi aba-aba sambil berdiri di atas gundukan tanah yang tinggi. Maka, sekali meloncat, kini tubuhnya sudah meluncur ke
arah orang itu!
Tentu saja Liok Cit kaget setengah mati ketika melihat gadis itu kini meloncat ke arahnya dan menyerang dengan suling yang berubah menjadi gulungan sinar emas itu. Dia sendiri seorang ahli gin-kang yang bahkan lebih lihai dari gadis itu, akan tetapi karena serangan yang dilakukan Suma Lian itu tiba-tiba sekali datangnya dan tidak terduga lebih dahulu, dia pun tidak sempat untuk mengelak dan terpaksa mempergunakan pedangnya menangkis sinar emas yang menyambar ke arah dadanya.
“Tranggg....!” Sungguh hebat pertemuan antara suling dan pedang itu dan akibatnya, pedang di tangan Liok Cit terlepas dan orang ini lalu menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke belakang, bergulingan di atas tanah! Suma Lian mengejar dan siap untuk menotok dengan sulingnya, akan tetapi, sebatang pedang menangkisnya.
“Cringgg....!” Kiranya yang menangkis adalah Sin-kiam Mo-li dan wanita ini merasa kagum bukan main, juga kaget. Sungguh hebat ilmu kepandaian cucu buyut penghuni Istana Pulau Es ini. Sementara itu, melihat betapa pedang yang menangkisnya tadi berada di tangan wanita itu yang agaknya mulai turun tangan sendiri membantu anak buahnya, Suma Lian menjadi girang. Memang inilah yang diharapkan, yaitu langsung bertanding melawan wanita itu dan Liok Cit! Ia sudah siap menyerang wanita itu, akan tetapi tiba-tiba ia menghentikan gerakannya dan berdiri terpukau melihat betapa sambil tersenyum licik wanita itu menodongkan pedangnya ke dada anak laki-laki yang dicengkeram pundaknya!
“Suma Lian, menyerahlah atau terpaksa aku akan menusuk dada anak ini dengan pedangku, baru akan mengeroyokmu sampai engkau tertawan, hidup atau mati!”
Tentu saja Suma Lian menjadi bingung. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa wanita yang cantik dan berkepandaian tinggi itu akan melakukan muslihat yang demikan curang, tanpa malu-malu melakukan siasat licik ini. Ia terlibat dengan mereka hanya untuk menyelamatkan anak laki-laki itu, apa artinya kalau sampai anak itu terbunuh karena ia mengamuk? Dan wanita itu bukan orang yang bodoh, agaknya tidak akan segan lagi membunuh anak itu untuk memaksakan kemauannya, untuk membuat ia tidak berdaya. Akan tetapi, meninggalkan anak itu begitu saja pun ia tidak tega. Ia pun menjadi bingung dan meragu, dan pada saat itu terdengar suara anak laki-laki itu, lantang dan penuh keberanian.
“Enci, jangan dengarkan gertak kosong iblis ini! Di antara kita tidak ada hubungan apa pun, kalau ia membunuhku pun, Enci tidak akan rugi apa-apa. Jangan mau diancam dan digertak. Kalau ia mau membunuhku, boleh bunuh, siapa sih yang takut mati? Akan tetapi, Enci sebagai pendekar harus menentangnya dan membunuh iblis jahat ini berikut anak buahnya!”
Suma Lian terbelalak memandang anak laki-laki itu. Tidak kelirukah pendengarannya? Anak itu baru berusia kurang lebih tujuh tahun! Akan tetapi ketika mengeluarkan kata-kata tadi, berdirinya tegak, matanya mencorong dan suaranya lantang, pantasnya diucapkan oleh seorang laki-laki dewasa yang gagah perkasa, yang sedikit pun tidak takut mati! Jelas bahwa anak ini pun bukan bocah sembarangan saja, tentu keturunan orang tua pendekar!
Mendengar ucapan itu, Suma Lian tersenyum lebar bahkan tertawa. Ia pun mengerti bahwa sikap dan ucapan anak itu sekaligus menghantam dan menghancurkan siasat wanita itu untuk memaksanya dengan cara mengancam hendak membunuh anak itu.
Anak itu benar! Kalau ia merasa khawatir akan keselamatan anak itu, tentu saja hal ini merupakan senjata ampuh bagi lawan, dan lawan dapat memaksakan kehendaknya dengan mengancam anak itu, melakukan pemerasan kepadanya. Sebaliknya, kalau lawan mengetahui bahwa ia tidak peduli akan keselamatan anak itu, tentu lawan merasa percuma mempergunakan siasat seperti itu, dan tidak mau membunuh anak itu dengan sia-sia, apalagi agaknya anak itu penting bagi mereka.
“Hemmm, iblis betina, engkau sudah mendengar sendiri ucapan bocah yang gagah perkasa itu! Dia bukan apa-apaku, mau kaubunuh atau kauapakan terserah, akan tetapi ketahuilah bahwa setelah aku mengetahui akan kejahatan kalian, aku pasti tidak akan tinggal diam sebelum membasmi kalian dengan sulingku ini!”
Sin-kiam Mo-li merasa mendongkol bukan main kepada Yo Han. Tak disangkanya anak itu sedemikian nekat dan beraninya, mengeluarkan kata-kata seperti itu sehingga gagallah semua siasatnya terhadap Suma Lian. Ia merasa gemas dan ingin sekali ia sekali tusuk dengan pedangnya menembusi dada anak itu. Akan tetapi ia masih membutuhkannya, untuk memancing datangnya ibu anak ini dan memaksa ibunya untuk membantu gerakan persekutuannya. Kalau kini ia membunuh anak ini, selain Suma Lian akan menentangnya mati-matian, juga kalau ibunya mengetahui, tentu ia mendapat tambahan musuh yang berbahaya juga. Ibu anak ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, walaupun ia percaya bahwa dengan ilmu kepandaiannya, ia mampu mengalahkan Bi-kwi (Setan Cantik) Ciong Siu Kwi itu.
“Hemmm, kaukira aku hanya gertak kosong belaka? Lihat, anak ini tidak akan kubunuh memang, belum lagi, akan tetapi aku dapat menyiksanya!” katanya sambil menggerakkan kebutannya ke atas kepala anak itu yang memandang tanpa berkedip, penuh keberanian dan ketabahan. Suma Lian memandang dengan menahan napas penuh kekhawatiran yang disimpannya saja di dalam hatinya. Ia khawatir kalau-kalau iblis betina itu benar-benar menyiksa anak itu, karena bagaimana pun juga, walaupun anak itu bukan apa-apanya, tentu saja ia tidak rela kalau anak itu disiksa atau dibunuh!
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring,
“Sin-kiam Mo-li, berani engkau hendak menyiksa anakku?” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang wanita. Suma Lian memandang penuh perhatian. Wanita itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, pakaiannya sederhana sekali dari kain kasar yang kuat, jelas pakaian seorang petani seperti yang biasa dipakai wanita petani, wajahnya pun tidak memakai alat kecantikan, namun harus diakui bahwa wajahnya itu cantik menarik, dan tubuhnya pun masih padat dan langsing, kulit mukanya, leher dan tangannya nampak kecoklatan, tanda bahwa ia biasa bekerja di sawah ladang dan terbiasa setiap hari dibakar matahari. Seorang wanita dusun biasa saja, akan tetapi ada sesuatu yang luar biasa, yaitu pada sinar matanya yang mengeluarkan sinar tajam sekali.
“Ibu....!” Tiba-tiba Yo Han, anak itu, berseru. “Aku diculik oleh laki-laki kurus di sana itu, atas perintah iblis wanita ini!”
Wanita itu memandang kepada puteranya, tersenyum dan berkata,
“Tenanglah, anakku.”
Kemudian ia pun memandang kepada Sin-kiam Mo-li. Sesaat kedua orang wanita ini saling pandang, seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing, kemudian wanita dusun itu berkata,
“Sin-kiam Mo-li, engkau tahu bahwa sejak dahulu aku tidak pernah lagi mencampuri dunia kang-ouw. Aku hidup di dusun bersama suamiku dan puteraku, hidup bersih sebagai petani. Mengapa sekarang tiba-tiba engkau masih mengganggu kami dan menculik anakku? Kalau engkau hendak menggunakan anakku sebagai sandera untuk memaksaku melakukan sesuatu, ingatlah bahwa biar engkau membunuh kami sekeluarga, aku tidak akan sudi membantu engkau melakukan kejahatan, Sin-kiam Mo-li!”
Sin-kiam Mo-li yang masih mengamati wanita itu, tiba-tiba tertawa.
“Hiik-hi-hi, sungguh mati, hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi, Bi-kwi! Engkau, yang dahulu cantik jelita, gagah perkasa dan cerdik sekali, murid tersayang dari Sam Kwi, sekarang telah menjadi seorang wanita dusun yang kotor, dungu dan berbau pupuk tahi kerbau! Heh-heh-hi-hi-hik, alangkah lucunya. Akan tetapi, jangan salah sangka, Bi-kwi. Kalau engkau dapat berubah, kaukira aku tidak dapat? Aku pun sudah meninggalkan dunia hitam dan kini aku bahkan sedang bergerak bersama para pendekar dan patriot untuk membebaskan bangsa kita dari cengkeraman penjajah Mancu!”
Bi-kwi, yaitu julukan dari Ciong Siu Kwi, wanita itu, memandang terbelalak tidak percaya, akan tetapi sinar matanya memandang penuh selidik kepada wanita yang dikenalnya sebagai wanita iblis yang pernah dimusuhinya beberapa tahun yang lalu. Ia maklum betapa cerdik dan liciknya wanita yang berjuluk Sin-kiam Moli ini, maka ia pun tahu bahwa nyawa puteranya berada di tangan wanita iblis itu, dan bahwa ia sama sekali tidak boleh bersikap lengah. Ia harus berhati-hati sekali berurusan dengan iblis betina ini.
Sementara itu, Suma Lian kini teringat. Ayah ibunya banyak bercerita kepadanya tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan dan pernah ayahnya bercerita tentang Sam Kwi, tentang dua orang murid Sam Kwi. Yang seorang bernama Can Bi Lan dan kini menjadi isteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw, yaitu suheng dari ibunya. Can Bi Lan mempunyai seorang suci (kakak seperguruan perempuan) yang tadinya merupakan seorang tokoh sesat yang amat terkenal dengan julukannya Bi-kwi, bernama Ciong Siu Kwi yang menurut ayah ibunya, kini tokoh sesat itu telah sadar, bahkan telah melakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa membela para pendekar. Menurut ayahnya, tokoh itu telah menikah dengan seorang pemuda petani yang berjiwa gagah perkasa walaupun tidak paham ilmu silat, dan kini kabarnya telah mengundurkan diri dan hidup sebagai petani, entah di mana karena keluarga itu tidak pernah menghubungi teman-teman lagi, bahkan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Tadinya, cerita tentang wanita itu tidak begitu menarik perhatiannya, akan tetapi kini, secara aneh dan kebetulan, ia dihadapkan dengan tokoh itu! Maka, tentu saja ia merasa amat tertarik dan ingin sekali ia melihat apa yang akan terjadi antara bekas tokoh sesat itu dan wanita lihai yang berjuluk Sin-kiam Mo-li ini. Kini ia pun mengerti mengapa anak kecil berusia tujuh tahun itu memiliki sikap seorang jantan, seorang pendekar. Kiranya dia putera bekas tokoh sesat yang pernah dipuji-puji oleh orang tuanya itu!
Memang tidak bohong kalau Ciong Siu Kwi mengatakan kepada Sin-kiam Mo-li bahwa sudah lama sekali ia tidak pernah lagi mencampuri dunia persilatan. Jangankan dunia persilatan, bahkan selama ini ia belum pernah memperlihatkan ilmu silatnya sehingga kecuali suaminya sendiri, tak seorang pun di dalam dusun mereka atau di dusun-dusun sekitar tempat tinggal mereka tahu bahwa nyonya Yo Jin yang setiap hari bekerja seperti wanita petani biasa itu sebetulnya adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi! Bahkan Yo Han sendiri pun tidak tahu! Yo Jin ayah anak itu, melarang isterinya untuk melatih putera mereka dengan ilmu silat.
“Ilmu silat tak terpisahkan dari kekerasan,” demikian suami itu berkata. “Dan kekerasan selalu mendatangkan permusuhan, dendam, kebencian dan kekejaman. Kita tidak boleh membiarkan putera kita menjadi seorang yang banyak musuh dan akhirnya menjadi seorang manusia yang berhati keras dan kejam.”
“Kurasa tidak selalu harus begitu, karena ilmu silat selain menjadi ilmu bela diri, juga merupakan olah raga yang menyehatkan badan dan batin, juga merupakan kesenian yang indah, bahkan kalau tidak keliru penggunaannya, dapat membuat orang menjadi seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
“Hemmm, bagaimanapun juga alasannya tetap saja akhirnya dia akan mempergunakan kepandaiannya, yaitu ilmu memukul roboh, melukai dan membunuh orang lain, untuk mempertahankan apa yang dinamakannya kebenaran dan keadilan itu,” kata Yo Jin.
“Tidak perlu melihat terlalu jauh atau mencari contoh yang terlalu jauh, ingat saja pengalamanmu sendiri. Ketika engkau masih berkecimpung di dunia persilatan, dengan modal kepandaian silatmu, bagaimana keadaan dirimu? Kemudian, lihat keadaanmu sekarang, sejak kita menikah, sejak engkau meninggalkan dunia persilatan, sejak engkau tak pernah lagi mempergunakan ilmu silatmu, hidup sebagai petani biasa. Apakah engkau tidak melihat perbedaannya?”
Ciong Siu Kwi tersenyum dan merangkul suaminya, merasa kalah.
“Tentu saja aku melihat perbedaannya yang amat jauh, jauhnya seperti langit dan bumi! Kini hidupku tenteram, tak pernah mempunyai musuh, bahkan tak pernah dimusuhi orang.”
“Dan engkau bahagia?”
“Ya, aku berbahagia sekali.”
“Nah, mengapa engkau hendak menyeret anak kita ke dalam kehidupan yang penuh dengan pertentangan, perkelahian, permusuhan itu? Coba bayangkan saja. Andaikata engkau melatih Han-ji (anak Han) memainkan ilmu silat, andaikata dia sudah pandai ilmu silat, tentu terjadi perubahan dalam pergaulannya dengan teman-temannya. Dia akan ditakuti, disegani, juga tentu ada yang iri. Kemudian, kalau ada anak lain yang juga pernah belajar silat, tentu akan terjadi bentrokan antara dia dan anak itu, karena keduanya tentu ingin melihat siapa yang lebih unggul. Mereka akan berkelahi, mempergunakan ilmu silat mereka, saling pukul. Kalau tidak anak kita yang terluka, tentu anak yang lain itu dan timbullah permusuhan dan dendam antara keluarga kita dengan keluarga anak itu! Tidak, aku tidak suka melihat anak kita menjadi jagoan dan tukang pukul, aku ingin melihat anak kita menjadi seorang laki-laki sejati, yang gagah berani menentang kelaliman, bukan mengandalkan kerasnya tulang dan kulit, melainkan mengandalkan kebenaran yang tidak dipaksakan oleh kekerasan.”
Ciong Siu Kwi yang amat mencinta suaminya, mengalah dan demikianlah, sampai berusia tujuh tahun, Yo Han tidak pernah diajar ilmu silat. Namun, anak itu mewarisi watak ayahnya. Dia pemberani, jujur, dan terbuka, akan tetapi juga mewarisi kecerdikan ibunya.
Ketika sampai sore suami isteri itu tidak melihat putera mereka, keduanya menjadi khawatir sekali. Ciong Siu Kwi mencari-cari dan bertanya-tanya, akhirnya ada seorang petani yang melihat ketika dia berada di luar dusun betapa Yo Han dipondong dan dilarikan seorang laki-laki yang berpakaian serba hijau memakai caping lebar sehingga tidak nampak wajahnya, dan tubuhnya kurus.
Mendengar ini, Ciong Siu Kwi gelisah bukan main. Juga Yo Jin. Keduanya dapat menduga bahwa putera mereka diculik orang? Yo Jin menarik napas panjang.
“Aih, tak kusangka bahwa setelah bertahun-tahun hidup tenteram, kembali terjadi kekerasan seperti ini. Aku yakin bahwa ini juga merupakan akibat dari keadaan hidupmu yang dahulu. Balas dendam! Ah, balas-membalas tiada habisnya, Yo Han yang tidak berdosa ikut pula terseret ke dalam permusuhan dunia persilatan.”
“Sudahlah, apa pun yang terjadi, kita tidak boleh tinggal diam saja. Aku harus mencari anakku dan merampasnya kembali. Kalau perlu, aku akan mempergunakan kepandaian yang dulu. Anakku harus diselamatkan, dengan taruhan nyawaku!”
Yo Jin tak dapat membantah, hanya menarik napas panjang ketika melihat isterinya berangkat setelah membawa perbekalan. Bukan hanya lenyapnya Yo Han diculik orang itu saja yang membuat dia prihatin, akan tetapi terutama sekali terseretnya kembali isterinya ke dalam arus kehidupan dunia persilatan itulah! Dia dapat membayangkakn betapa isterinya akan bertemu dengan lawan-lawan dan akan selalu diancam bahaya dalam usahanya merampas kembali putera mereka. Dia sendiri tidak mungkin dapat melakukan pengejaran dan setelah isterinya pergi meninggalkan dusun itu, dia termenung. Diakah yang benar, atau isterinyakah ketika mereka berdebat apakah putera mereka perlu diajari ilmu silat ataukah tidak? Dunia begini penuh orang jahat! Cukupkah mengandalkan para petugas keamanan saja untuk menjaga keamanan keluarga atau diri sendiri? Tanpa ilmu silat, dia sekarang merasa sama sekali tidak berdaya kalau menghadapi perbuatan jahat orang lain yang menimpa dirinya atau keluarganya. Akan tetapi, andaikata dia pandai ilmu silat, bukankah kemungkinan puteranya diculik orang lebih besar lagi karena musuh-musuh mereka akan lebih banyak lagi? Buktinya, demikian banyaknya anak-anak dusun itu, tidak ada penjahat yang mengganggu mereka, kecuali anaknya atau lebih tepat lagi anak isterinya! Ini hanya disebabkan karena isterinya pernah menjadi seorang tokoh dunia persilatan! Andaikata isterinya seorang wanita dusun biasa, seorang wanita petani yang lemah, sama sekali tidak ada kemungkinan dan alasan bagi orang jahat mana pun juga untuk menculik Yo Han!
Demikianlah, Ciong Siu Kwi meninggalkan suaminya yang duduk termenung, dan begitu ia keluar dari dalam dusun, ia sudah menjadi Bi-kwi yang dahulu, dalam arti kata sebagai seorang wanita perkasa yang siap menghadapi bahaya dan lawan. Ia mengerahkan tenaganya untuk berlari cepat, tangkas bagaikan seekor harimau betina kehilangan anaknya, siap untuk mencakar dan merobek-robek dada orang yang berani mengganggu anaknya! Bukan lagi sebagai Ciong Siu Kwi yang rajin bekerja di ladang setiap hari.
Karena ia pernah menjadi seorang tokoh besar dunia persilatan, bahkan seorang datuk sesat yang ditakuti, banyak pengalaman, maka tidak sukar baginya untuk mengikuti jejak penculik puteranya. Ia pandai mencium jejak, pandai mencari keterangan di sepanjang perjalanan sehingga akhirnya ia dapat juga tiba di dalam hutan di mana Sin-kiam Mo-li tinggal untuk sementara waktu dalam tugasnya menghimpun kekuatan.
Dan kebetulan sekali ia melihat seorang gadis yang cantik dan lihai bertanding dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan para pembantunya, kemudian melihat betapa Sin-kiam Mo-li mengancam hendak membunuh Yo Han! Melihat Yo Han berada di tangan Sin-kiam Mo-li, mengertilah Ciong Siu Kwi. Benar sekali dugaan suaminya. Kiranya yang menculik puteranya bukanlah orang asing, akan tetapi musuh lamanya, yaitu Sin-kiam Mo-li. Dan melihat betapa gadis cantik itu tadi dikeroyok dan bahkan Sin-kiam Mo-li mempergunakan siasat curang untuk memaksa gadis itu menyerah dengan mengancam Yo Han, tahulah Ciong Siu Kwi bahwa gadis itu adalah orang yang berusaha menolong puteranya. Sehagai seorang bekas tokoh sesat yang banyak pengalaman, sekali melepas pandang saja Ciong Siu Kwi sudah dapat menilai keadaan. Ia tahu bahwa gadis itu tentu lihai bukan main, kalau tidak demikian, tidak mungkin seorang seperti Sin-kiam Mo-li mempergunakan cara curang, yaitu dengan mengancam akan membunuh Yo Han kalau gadis itu tidak mau menyerah. Dengan adanya gadis selihai itu, ditambah ia sendiri, kiranya mereka berdua tidak perlu takut menghadapi Sin-kiam Moli dan kawan-kawannya. Akan tetapi, ketika ia teringat kepada puteranya, hatinya seperti ditusuk.
Tidak, tidak mungkin ia mempergunakan kekerasan karena setelah ia hadir, Sin-kiam Mo-li bukan lagi menggunakan gertak kosong belaka kalau mengancam Yo Han, seperti yang tadi dilakukannya terhadap gadis itu. Dan demi keselamatan puteranya, tidak ada jalan baginya kecuali untuk sementara mengalah. Untuk sementara!
Ketika mendengar ucapan Sin-kiam Mo-li bahwa wanita itu sedang bergerak bersama para pendekar dan patriot untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu, tentu saja di dalam hatinya Ciong Siu Kwi tidak percaya seujung rambut pun. Ia dapat menduga “gerakan” macam apa yang dilakukan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li. Dahulu pun, wanita ini bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwapai.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar