Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 19.

Kisah si Bangau Putih Jilid 19

19

Akan tetapi, tingkat kepandaian Siangkoan Liong jauh lebih tinggi dibandingkan Ci Hwa, maka serangan itu dengan mudah dihadapinya dan begitu pemuda itu menggerakkan kedua tangannya, bukan dia yang terserang, bahkan Ci Hwa sudah dapat ditangkap dan ditelikungnya. Kedua lengan gadis itu dipuntir ke belakang, dipegang dengan satu tangan dan tangan lain merangkul, Ci Hwa hendak meronta, namun sekali jari tangan pemuda itu menekan, tubuh Ci Hwa menjadi lemas dan ia pun terkulai dalanm pelukannya tanpa dapat melawan lagi kecuali menangis.
“Sayang, jangan menangis. Bukankah kita saling mencinta? Ingatlah betapa mesra dan bahagianya kita semalam, dan aku masih saja rindu padamu, belum juga puas aku minum madu darimu.” Siangkoan Liong memondongnya dan membawanya kembali ke pembaringan.
Ci Hwa menangis. Menangis dalam batin. Kini, biarpun dibelai dan dihujani pernyataan dan pencurahan cinta kasih yang mesra, sama sekali ia tidak merasa senang. Sebaliknya ia merasa tersiksa tanpa mampu menolak, tanpa mampu meronta. Ia merasa diperkosa, dihina sampai sehebat-hebatnya oleh pria yang kini amat dibencinya itu. Seperti bumi dan langit bedanya dengan hubungan antara mereka mulai kemarin siang sampai semalam, begitu penuh dengan kemesraan dan perasaan cinta kedua pihak. Kini ia merasa diperkosa dan ditekan, dihancurkan dipatah-patahkan.
Hubungan sex antara pria dan wanita sesungguhnya merupakan hubungan puncak kemesraan yang indah dan suci apabila dilakukan oleh kedua pihak karena dorongan cinta kasih. Hubungan sex merupakan puncak kemesraan pernyataan sayang, saling mengisi, saling membahagiakan melalui perasaan yang paling halus dan paling dalam, di mana masing-masing sudah bebas dari keakuan masing-masing, melebur menjadi satu dan tidaklah mengherankan kalau saat yang amat suci dan indah itu menjadi sarana penciptaan seorang manusia baru! Sex adalah suatu hubungan antara dua jenis mahluk berlawanan kelamin yang indah, suci dan nikmat. Akan tetapi, betapa kenikmatan itu selalu berubah menjadi kesenangan! Kenikmatan adalah suatu pengalaman perasaan pada saat itu, detik itu, dan kalau sudah disimpan di dalam ingatan, dijadikan kenangan, lalu diharapkan dan dikejar sebagai suatu kesenangan! Alangkah jauh bedanya antara kenikmatan dan kesenangan! Kenikmatan datang seketika, pada saat itu, tanpa adanya aku yang mengecamnya, tanpa adanya aku yang mencatatnya. Sebaliknya, kesenangan adalah suatu bayangan yang digambarkan oleh si aku yang selalu mengejar-ngejarnya.
Kalau sudah begini, maka terjadilah penyelewengan yang timbul dari pengejaran itu!
Cinta kasih bukanlah sex semata, walaupun sex merupakan sebagian dari cinta kasih, merupakan kembangnya yang indah. Kalau sex sudah menjadi alat bersenang diri, dikejar, maka ia berubah menjadi nafsu yang akan membakar diri lahir batin. Sex merupakan suatu hubungan yang suci di mana terdapat cinta kasih. Tanpa cinta kasih, sex hanya merupakan suatu permainan untuk memuaskan nafsu yang tak kunjung padam, tak kunjung habis, dan nafsu ini kalau dituruti akhirnya akan membakar diri sampai hangus!
Bagi seorang wanita yang lebih halus perasaan ketimbang pria, sikap cinta kasih jauh lebih berkesan di dalam hati sanubarinya daripada sekedar hubungan sex yang baik saja. Pada umumnya, wanita mendambakan kasih sayang dalam sikap, pandang mata, tutur kata, dan perbuatan yang pada puncaknya akan menuju kepada hubungan sex.
Sebaliknya, pria kurang peka terhadap sikap ini, dan biasanya, pria lebih condong minta bukti melalui hubungan sex dan kepatuhan, dan kesetiaan.
Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati Ci Hwa ketika ia digelut oleh Siangkoan Liong pada pagi hari itu. Ia merasa malu, terhina, tersiksa namun tidak berdaya walaupun pemuda itu berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan tubuhnya. Hanya air matanya saja yang menjadi saksi kehancuran hatinya. Bercucuran membasahi bantal.
Setelah merasa puas, Siangkoan Liong membebaskan totokan pada tubuh Ci Hwa. Gadis itu terisak dan mengenakan pakaiannya, kepalanya pening dan ia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
“Kwee Ci Hwa, engkau seorang gadis yang tidak tahu diri dan tidak mengenal budi. Gadis-gadis lain akan saling berebutan agar dapat tidur dengan aku. Aku bukan hanya tidur bersamamu, bahkan aku telah menyelamatkanmu, aku suka dan cinta padamu, akan tetapi engkau tidak mau menerimanya. Nah, sekarang tinggal kaupilih, tinggal di sini sebagai kekasihku, bukan isteri, atau engkau boleh pergi.”
Ci Hwa sudah selesai mengenakan sepatunya. Kini ia mengangkat mukanya yang pucat dan matanya yang merah itu seperti hendak membakar wajah Siangkoan Liong. Kedua tangannya dikepal.
“Kalau aku mampu, tentu aku akan membunuhmu, keparat! Biar Tuhan mengutukmu!” Setelah berkata demikian, Ci Hwa lalu meloncat keluar dari dalam kamar itu, terus melarikan diri keluar. Masih ia mendengar suara tawa pemuda itu mengikutinya sampai ia jauh meninggalkan perumahan Tiat-liong-pang. Ia berlari sambil menangis, tanpa suara, hanya terisak dan air matanya terus berjatuhan di sepanjang jalan.
Ia tidak tahu harus pergi ke mana, satu-satunya keinginannya hanya menjauhi tempat laknat itu sejauh dan secepat mungkin. Tubuhnya teraaa nyeri semua, terutama karena perbuatan Siangkoan Liong tadi yang diterimanya dengan batin yang meronta.
Ci Hwa memasuki sebuah hutan yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon liar dan akhirnya kakinya terantuk akar pohon dan tubuhnya pun terpelanting jatuh ke atas rumput. Ia tidak bangun dan sekaranglah baru ia menangis sesenggukan seperti anak kecil, menangis sampai mengguguk sambil menelungkup di atas tanah itu. Kedua tangannya dikepal dan ia memukuli tanah juga kakinya menendang-nendang tanah.
Penyesalan demi penyesalan datang bagaikan gelombang samudera yang maha dahsyat, melanda dirinya, menyeretnya sehingga ia gelagapan dalam tangisnya, kehilangan pegangan. Ia merasa menyesal sekali mengapa ia telah bertindak demikian bodoh, kurang waspada, mudah terbujuk rayu sampai ia mengorbankan keperawanannya, kehormatannya, bahkan ia telah diilasilas, dihina tanpa daya sama sekali. Andaikata ia diperkosa saja, kiranya penyesalannya tidak sehebat ini. Akan tetapi tidak, ia sama sekali tidak diperkosa untuk pertama kalinya, ia menyerah dengan suka rela, bahkan menikmatinya, meneguk minuman beracun. Betapa memalukan! Betapa rendah dirinya.
“Aku layak mampus! Aku tidak berharga lagi untuk hidup!” teriaknya ketika teringat akan itu semua. Ia meninggalkan rumah dengan cita-cita untuk mencuci nama ayahnya yang ternoda karena dituduh membunuh, akan tetapi ia sendiri, apa yang dilakukannya? Menjadi perempuan hina, lebih hina dari pelacur. Seorang pelacur menyerahkan diri dengan harapan imbalan. Akan tetapi ia? Menyerah secara membuta, tak tahu bahwa ia dipermainkan orang!
“Aku harus mampus!” Dan gadis itu pun menanggalkan ikat pinggangnya, memasangnya di atas cabang sebatang pohon, mengalungkan ujung yeng lain di lehernya dan ia pun meloncat turun dari cabang itu. Tali itu mengikat dan menjerat lehernya yang berkulit halus mulus, dan tubuhnya tergantung!
Ci Hwa merasa betapa kulit lehernya nyeri dan perih, napasnya terhenti, akan tetapi ia tidak meronta dan siap menerima kematian dengan tenang. Matanya yang terpejam nampak cahaya kuning, lalu merah api, lalu kabur agak kelabu, mulai menghitam.
“Anak bodoh!” Tiba-tiba saja tubuhnya terlepas dan ia tidak tergantung lagi! Ci Hwa yang sudah hampir pingsan itu merintih, lehernya tidak terikat lagi dan ia roboh di atas tanah, merasakan ada jari tangan menekan pundak dan tengkuknya, pernapasannya yang terengah itu kembali normal. Ia lalu membuka mata dan melihat seorang pemuda sudah berlutut di dekatnya! Hampir ia memaki karena mengira bahwa pemuda itu Siangkoan Liong, akan tetapi setelah pandang matanya dapat melihat jelas, ia melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan Siangkoan Liong! Pemuda itu jelas lebih tua daripada Siangkoan Liong, usianya tentu sedikitnya dua puluh enam tahun. Ia mengerutkan alis, mengingat-ingat dan merasa tak pernah bertemu dengan pemuda ini.
Dia seorang pemuda yang mengenakan pakaian kebiruan sederhana, mukanya berkulit bersih, cerah dan dapat dibilang tampan. Sinar matanya lembut, seperti sinar mata Siangkoan Liong, akan tetapi terdapat kejujuran pada sinar mata dan mulut yang tersenyum lembut itu. Sepasang mata itu kini mengamati wajahnya seperti orang yang menyesal dan menyalahkannya. Alis itu agak berkerut, dan pada pandang matanya yang lembut itu, jelas nampak penasaran dan juga keheranan. Siapa orangnya takkan heran melihat seorang gadis semuda ia berada dalam hutan sedang berusaha membunuh diri dengan menggantung?
Akan tetapi, perasaan hati Ci Hwa yang sudah dipenuhi perasaan dendam kebencian kepada pria, segera membuat ia memandang pria ini sebagai seorang musuh, seperti setan yang tentu juga berniat jahat terhadap dirinya!
Pertama kali ia terjatuh ke tangan lima orang pemburu, semuanya laki-laki yang berniat buruk memperkosanya, kemudian berganti jatuh ke tangan dua orang anggauta Tiat-liong-pang, sama saja, mereka juga hendak memperkosanya. Terakhir kali ia terjatuh ke tangan Siangkoan Liong, yang disangkanya sebaik-baiknya orang, ternyata juga ia malah terperangkap. Sekarang, ketika ia sudah di ambang pintu maut, ia diselamatkan seorang laki-laki muda pula. Orang macam apalagi ini kalau bukan seorang calon pemerkosa berikutnya?
“Engkau sama busuknya dengan mereka!” teriak Ci Hwa dan tiba-tiba saja ia pun sudah meloncat dan langsung saja menyerang dengan pukulan tangannya ke arah dada laki-laki yang sedang berlutut di dekatnya itu. Pemuda itu sama sekali tidak pernah menyangkanya dan dari jarak sedemikian dekat, tanpa menduga akan diserang, maka tentu saja pukulan tangan Ci Hwa tepat mengenai dadanya.
“Dukkk....!” Tubuh laki-laki itu terjengkang dan bergulingan, akan tetapi dia meloncat bangun dan tidak terluka, hanya memandang dengan mata terbelalak dan agaknya bingung, mengira bahwa gadis yang malang yang ditolongnya itu mungkin sudah menjadi gila!
“Eih, Nona.... kenapa.... kenapa kau memukulku?” tanyanya, suaranya tetap tenang dan pandang matanya jelas memancarkan belas kasihan karena dia menduga bahwa gadis ini tentu gila atau tergoncang jiwanya.
“Engkau menolongku, mencegah aku mati, tentu hanya dengan satu niat yang keji dan buruk! Karena itu, akan kuhunuh engkau lebih dulu sebelum aku membunuh diri!” Ci Hwa berteriak-teriak dan ia pun sudah lari maju dan menerjang kalang kabut!
Akan tetapi sekali ini, pemuda, itu sudah siap siaga. Dari pukulan gadis itu tadi, dia pun tahu bahwa gadis itu bukanlah seorang wanita sembarangan, bahkan wanita lemah dan pukulannya tadi merupakan pukulan gaya ilmu silat dan mengandung tenaga dalam yang cukup ampuh. Dia pun tertarik sekali dan kini, menghadapi seragan bertubi-tubi itu dia pun mengelak dan berloncatan ke kanan kiri sambil memperhatikan gerakan silat penyerangnya itu. Setelah lewat dua puluh jurus, dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini dapat bersilat dengan baik sekali, dan cukuplah kepandaian itu untuk membela diri dalam perjalanan, sehingga tidak aneh kalau gadis itu berani melakukan perjalanan seorang diri.
Akan tetapi mengapa di sini hendak menggantung diri? Dan pakaian atasnya itu terobek, rambutnya kusut, matanya merah, jelas bahwa gadis itu menderita kedukaan dan penekanan batin yang amat hebat.
Sementara itu, Ci Hwa semakin terkejut, dan semakin marah karena kembali ia bertemu dengan seorang pemuda yang jauh lebih lihai darinya. Semua serangannya, yang dilakukan sepenuh hati terdorong dendam dan kemarahan, sama sekali tidak pernah menyentuh tubuh pemuda itu, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah menangkis, hanya mengelak saja dengan gerakan aneh dan amat lincahnya. Timbul dugaan bahwa tentu ia akan ditangkap lagi, dipermainkan lagi dan mengingat ini, ia merasa khawatir sekali. Lebih baik mati kalau ia harus mengalami lagi penderitaan diperkosa orang seperti tadi! Pikiran ini membuat ia putus asa. Tak mungkin ia menang dan ketika ia melihat batang pohon di mana tadi ia bergantung diri, tiba-tiba ia memperoleh akal dan ia pun melompat untuk membenturkan kepalanya pada batang pohon itu, sekuat tenaganya.
“Bukkk!” Kepalanya tidak membentur benda keras, bahkan tidak membentur apa-apa karena tubuhnya tertahan ketika dua buah tangan menerima kedua pundaknya dengan lembut. Ketika Ci Hwa melihat, ternyata pemuda itu telah mendahuluinya berdiri di depan batang pohon dan menerima tubuhnya tadi! Dengan sendirinya ia semakin marah dan penasaran.
“Kau.... kau berani menghalangiku!” bentaknya dan kini ia memukul, mencakar, menendang kalang kabut, tidak memakai gerakan silat lagi melainkan gerakan seekor harimau betina yang marah. Terdengar bunyi kain robek ketika cakarannya mengenai baju pemuda itu. Pemuda itu cepat menotok pundaknya dan Ci Hwa terkulai lemas.
Dengan sopan dan hati-hati, pemuda itu membaringkan tubuh Ci Hwa di bawah pohon dan kembali ia berlutut seperti tadi. Diusapnya kulit dada yang agak berdarah terkena cakaran kuku Ci Hwa.
“Nona, engkau telah bersikap keliru sama sekali. Kenapa engkau bertekad untuk membunuh diri? Sudah demikian burukkah kehidupan ini sehingga seorang gadis semuda engkau sudah putus asa dan lebih memilih mati saja?”
Ci Hwa hanya tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat bicara dan ia membentak ketus, “Apa urusannya denganmu? Apa pedulimu kalau aku hidup atau mampus?”
“Nona, agaknya hatimu sudah penuh prasangka buruk terhadap manusia lain. Agaknya hatimu telah disakitkan orang, maka setiap kali bertemu orang lain, engkau selalu menyangka buruk. Memang tidak ada hubungannya mati hidupmu dengan diriku, akan tetapi manusia mana yang dapat membiarkan orang lain membunuh diri begitu saja? Nona, dengar baik-baik. Ketika engkau dilahirkan oleh ibumu, apakah ada engkau minta kepadanya atau kepada Tuhan agar engkau dilahirkan?”
Mendengar pertanyaan seperti itu, Ci Hwa terbelalak. Kaget dan heran. Gilakah orang ini, bertanya seperti itu? Memikirkannya saja tentang itu belum pernah ia lakukan!
“Ibuku sudah tidak ada.”
“Ah, maaf, engkau tidak mempunyai ibu lagi? Akan tetapi, kuulangi pertanyaanku tadi, ketika engkau dikandung dan dilahirkan, apakah hal itu terjadi atas permohonanmu kepada Tuhan atau kepada mendiang ibumu atau ayahmu?”
Ci Hwa mengerutkan alisnya.
“Tentu saja tidak! Mana bisa! Apa engkau ini orang gila, bertanya seperti itu?”
Pemuda itu tersenyum lembut dan tidak ada sedikit pun tanda bahwa dia terpikat oleh kewanitaan Ci Hwa.
“Kalau engkau tidak pernah minta dilahirkan, tidak pernah minta dihidupkan, berarti engkau tidak berhak pula untuk memaksa kehidupan terhenti dengan bunuh diri! Rasakan saja, bukankah detak jantungmu bekerja tanpa kaurasai? Bukankah pernapasanmu juga berjalan tanpa kausengaja? Dan setiap anggauta tubuhmu, rambut, kuku, bulu badan, semuanya bertumbuh tanpa kau sengaja? Semua itu bukan milikmu, bukan milik pikiranmu, dan engkau berani hendak melenyapkan semua itu yang sesungguhnya bukan hakmu? Seperti juga hidupmu, matimu pun bukan berada dalam kekuasaanmu, bukan milikmu. Kalau yang berkuasa akan hidup matimu menghendaki, biar kauusahakan bagaimanapun, engkau takkan mati, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya engkau harus mati, biar ada seribu orang dewa sekali pun takkan mampu menghidupkanmu!”
Ci Hwa termenung. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar ucapan seperti itu, dan ia menjadi bingung.
“Apa kaukira kalau menghadapi kesulitan maka kesulitan itu akan berakhir dengan kematian, Nona? Ingat, yang kesulitan itu bukanlah badannya, melainkan batinnya, dan kaukira kalau sudah mati, batinmu tidak akan terus berkelanjutan menjadi setan penasaran?”
Ci Hwa semakin terpukul dan kini air matanya mengalir, tubuhnya terkulai lemas
“....aku tidak tahu.... ah, aku tidak tahu....“
Melihat keadaan gadis ini, pemuda itu lalu mengurut pundaknya dan terbebaslah Ci Hwa dari totokannya. Akan tetapi, begitu dapat bergerak, Ci Hwa lalu teringat akan nasibnya dan ia pun menangis, meraung-raung seperti anak kecil sambil duduk dan menutupi mukanya. Ia megap-megap seperti ikan dilempar ke daratan. Pemuda itu tiba-tiba memegang kedua pundaknya, mengguncangnya keraskeras beberapa kali sampai kepala Ci Hwa terguncang ke kanan kiri, kemudian pemuda itu melayangkan tangannya ke arah pipi Ci Hwa, dua kali.
“Plak! Plakkk!”
Tentu saja Ci Hwa terkejut bukan main. Seperti ia diseret kembali kedunia kenyataan oleh dua kali tamparan yang membuat kedua pipinya terasa panas, perih dan nyeri itu. Ia memandang terbelalak.
“Kau.... kau jahanam, berani memukulku!” katanya dan ia pun membalas dengan dua kali tamparan ke arah pipi pemuda itu.
“Plak! Plakkk!” Pemuda itu tidak mengelak, membiarkan pipinya ditampar dan Ci Hwa melihat bekas tangannya nampak jelas di kedua pipi itu, bekas tangan yang membuat tanda merah di situ. Ia terbelalak dan terheran memandang pemuda aneh itu. Akan tetapi pemuda itu tersenyum girang.
“Nah, engkau sudah waras kembali. Ditampar balas menampar. Baru ditampar saja membalas, kenapa bodoh amat membunuh diri? Tidak ada persoalan di dunia ini yang tidak dapat diatasi! Iba diri terlalu besar membuat orang kehilangan kesadaran. Dan ingat, di dunia ini tidak semua orang jahat, Nona. Aku tidak berani mengaku bahwa aku ini orang baik, akan tetapi setidaknya aku selalu berjaga dalam hidupku agar tidak melakukan kejahatan. Karena itu, jangan takut kepadaku, Nona. Aku tidak akan mengganggumu, dan dalam keadaan seperti ini engkau membutuhkan seorang kawan yang jujur dan beriktikad baik. Bagaimana kalau engkau anggap aku ini kakakmu saja?”
Sejak tadi Ci Hwa memandang dengan mata terbelalak, mata yang masih basah, akan tetapi sinar matanya penuh selidik, seolah-olah hendak menjenguk isi hati orang ini melalui matanya.
Orang itu kembali tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.
“Namaku Gu Hong Beng dan selama hidupku, aku tidak pernah mau mengganggu orang lain.”
Sikap ini diterima oleh Ci Hwa dan ia pun tiba-tiba menangis dan menubruk pemuda itu, merangkul lehernya dan gadis itu menangis di atas pundak Hong Beng, merasa seperti menangis di dada ayahnya sendiri atau seorang kakaknya sendiri. Dan pemuda itu tersenyum, mengelus rambut itu penuh belas kasihan.
“Menangislah, menangislah sepuas hatimu, itu cara terbaik untuk mencairkan segala yang membeku dalam hatimu,” katanya lirih dan kata-kata ini seperti mendorong Ci Hwa untuk menangis lebih hebat lagi sampai sesenggukan.
Para pembaca Suling Naga tentu masih ingat siapa adanya Gu Hong Beng ini. Dia seorang pemuda sederhana, putera seorang tukang kayu sederhana pula, di kota Siang-nam di Propinsi Hunan. Dia sudah kehilangan ayah bundanya dan hidup sebatang kara, kemudian dia beruntung diambil murid seorang pendekar sakti keluarga Pulau Es, yaitu Suma Ciang Bun! Banyak sudah dialami oleh Gu Hong Beng sebagai seorang pendekar muda, bekerja sama dengan para pendekar lainnya untuk menentang kejahatan. Dia pernah jatuh cinta kepada seorang pendekar wanita Can Bi Lan, akan tetapi cintanya bertepuk tangan sebelah karena pendekar wanita Can Bi Lan itu memilih Sim Houw sebagai suaminya. Sim Houw yang terkenal sebagai Pendekar Suling Naga. Namun Gu Hong Beng dapat menerima kenyataan pahit ini dan sudah lama dia dapat melupakan kepahitan itu, juga dia pernah diikat perjanjian ketika dia membantu nenek Teng Siang In, yaitu ibu kandung pendekar Suma Ceng Liong yang bertempur melawan seorang datuk jahat Sai-cu Lama. Nenek sakti itu tewas dan cucunya, yaitu puteri Suma Ceng Liong yang bernama Suma Lian, dilarikan Sai-cu Lama. Dalam keadaan menghadapi maut inilah nenek Teng Siang In mengikat janji agar Hong Beng kelak memperisteri Suma Lian! Karena dia menghadapi pesan seorang nenek yang menjelang mati, terpaksa Hong Beng menyanggupi. Hal ini amat mengganggu hatinya dan akhirnya, melalui gurunya, Suma Ciang Bun yang masih saudara sepupu Suma Ceng Liong, disampaikanlah pesan itu. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng menyerahkan keputusan itu kepada yang bersangkutan kelak, yaitu puteri mereka kalau sudah dewasa. Semua ini diceritakan dalam kisahSuling Naga !
Hong Beng sudah hampir melupakan semua itu. Melupakan wanita yang pernah dicintanya, yang kini telah menjadi isteri orang lain, dan juga dia berusaha melupakan janjinya kepada mendiang nenek Teng Siang In. Dia hanyalah seorang pemuda miskin, tidak punya apa-apa, keturunan tukang kayu, bahkan tidak lagi memiliki ayah bunda.
Bagaimana mungkin dia berjodoh dengan puteri seorang pendekar seperti Suma Ceng Liong? Suma Lian adalah cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!Dan dia hanyalah cucu murid saja! Pula dia belum pernah bertemu lagi dengan Suma Lian selama bertahun-tahun ini. Yang pernah ditemuinya adalah suma Lian yang baru berusia tiga belas tahun.
Bagaimana dia dapat menentukan jodohnya dengan gadis itu? Andaikata dia mau, bagaimana dengan gadis itu? Dia pun sama sekali tidak pernah memikirkan soal jodoh, sampai kini berusia dua puluh enam tahun!
Gu Hong Beng meninggalkan gurunya yang kini menjadi seorang pertapa. Sudah dua tahun dia meninggalkan gurunya, Suma Ciang Bun yang kini lebih suka bersembunyi dalam sebuah gubuk kecil di lereng Pegunungan Tapa-san, tak jauh dari situ di antara sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shen-si. Kalau orang mengenal Gu Hong Beng beberapa tahun yang lalu, kini dia akan terheran melihat Hong Beng telah menjadi seorang pemuda yang matang, tenang dan sabar, berpikiran luas dan mendalam, tidak lagi seperti dulu di mana dia mudah tersinggung dan amat pencemburu! Tubuhnya agak kurus, namun sepasang matanya memancarkan kelembutan seorang yang berjiwa besar.
Ketika Ci Hwa menangis di dadanya, diam-diam keharuan menyelinap di dalam hati Hong Beng. Keharuan dan kelegaan. Gadis ini tertolong, pikirnya, tertolong secara batiniah karena telah mampu melepaskan semua duka yang menghimpit kalbu. Dan dia terharu karena pernah dia sendiri merasakan hal seperti yang dirasakan gadis itu. Kosong, berduka, merana, kecewa dan kesepian, di mana sudah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat diharapkan, ditengok, merasa seperti sepotong batang pohon kering di tengah gurun yang kering. Dia mendekap kepala itu dan mengelus rambutnya, merasa seperti mendapatkan sesuatu, merasa berguna karena dia sudah dapat menjadi tempat seorang menumpahkan kesedihannya.
“Menangislah.... menangislah sampai terkuras habis semua kedukaan itu....“ bisiknya, lebih ditujukan kepada hatinya sendiri daripada gadis yang tidak dikenalnya itu.
Duka selalu timbul dari iba diri. Tanpa adanya pikiran yang mengenangkan keadaan dirinya sendiri yang dianggap sengsara, tidak akan timbul rasa iba diri dan takkan timbul duka. Iba diri adalah pembengkakan daripada gambaran si aku, dan si aku ini memang selalu ingin meraih yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan.
Selain iba diri, si aku ini pun menjadi sumber dari segala iri hati, cemburu, kemarahan, kebencian dan selanjutnya. Si aku memang diperlukan untuk kehidupan lahiriah, di mana diatur ketentuan dan norma kehidupan bermasyarakat, ada punyaku dan punyamu, hakku dan hakmu, akan tetapi seyogianya cukup sampai di situ saja. Lahiriah! Kalau sampai menyusup ke dalam, menjadi batiniah, maka si aku selalu mengadakan ikatan-ikatan sebanyaknya. Dan ikatan inilah yang menimbulkan iba diri, menimbulkan duka. Senang kalau mendapatkan, dan susah kalau kehilangan. Senang kalau diuntungkan, dan susah kalau dirugikan, demikian seterusnya. Dapatkah kita hidup tanpa bayangan si aku secara batiniah? Dapatkah batin ini bebas daripada kemilikan? Lahiriah mempunyai namun batin tidak memiliki? Mungkinkah itu? Takkan terjawab melalui teori dan pendapat yang masih bersumber daripada akal si aku, yaitu pikiran yang selalu mempertimbangkan rugi untung. Jawabannya hanya terdapat dalam penghayatan, penelitian, dan pengamatan secara waspada, mawas diri lahir batin tanpa pendapat.
Ci Hwa menemukan hiburan bagi kesedihannya yang tadi hampir tak tertahankan lagi.
Hidup bukan hanya urusan hilang atau tidaknya keperawanan! Hidup, ini masih panjang, dan beraneka ragam isinya! Orang ini, benar! Tidak ada kesulitan yang tak dapat diatasi. Ia memang sudah diperkosa orang, sudah tidak perawan lagi, akan tetapi apakah hal itu harus berarti bahwa ia tidak penting lagi hidup, tidak berhak lagi untuk hidup dan menikmati hidup ini? Betapa bodohnya. Enak saja kalau ia mati tanpa hukuman bagi orang yang menjadikan ia begini! Enak, terlalu enak bagi Siangkoan Liong! Tidak, ia bahkan harus hidup, dan satu di antara tujuan hidupnya adalah membalas penghinaan ini kepada Siangkoan Liong!
Air matanya sudah habis. Tangisnya pun terhenti dan ia pun sadar bahwa secara tidak pantas ia telah bersandar di dada orang sekian lamanya, sampai baju biru itu basah kuyup oleh air matanya. Ci Hwa menarik kepalanya ke belakang, melepaskan dirinya dan mundur tiga langkah, lalu mengangkat muka memandang. Mukanya pucat sekali, pipinya masih basah, akan tetapi matanya yang membendul merah itu tidak menitikkan air mata lagi. Sinar matanya memandang penuh selidik dan karena Hong Beng juga memandang kepadanya, mereka saling pandang dan barulah tampak oleh Ci Hwa bahwa wajah pemuda di depannya ini sama sekali berbeda dengan wajah Siangkoan Liong. Bukan hanya bentuknya yang berbeda, namun bayangan yang terkandung dalam pandang mata itu, senyum itu sama sekali berbeda. Pandang mata dan senyum Siangkoan Liong penuh daya tarik memabukkan, kelembutannya seperti besi berani yang dingin dan membetot.
Akan tetapi kelembutan pada wajah pemuda ini seperti kelembutan langit biru. Dan ia pun merasa malu kepada diri sendiri.
“Maafkan aku.... sekali lagi maafkan aku. Aku tadi telah gila barangkali. Engkau benar, aku telah gila dan aku hanya menuruti dorongan hati saja. Maafkan aku.” katanya.
Hong Beng tersenyum.
“Namaku Gu Hong Beng, seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Boleh aku mengetahui namamu?”
“Namaku Kwee Ci Hwa, aku datang dari Ban-goan.” Jawabannya yang singkat membuat Hong Beng maklum bahwa gadis ini tentu ingin menyembunyikan persoalan dirinya, maka dia pun tidak mendesak.
“Aku tidak ingin minta kepadamu untuk menceritakan segala urusanmu, nona Kwee akan tetapi....“
“Nanti dulu, kalau aku tidak salah ingat, engkau tadi menyuruh aku menganggap engkau seorang kakak sendiri. Benarkah?”
“Benar, lalu kenapa?” Hong Beng memandang, tersenyum ramah. “Aku memang belum pernah mempunyai seorang adik perempuan.”
“Aku belum pula mempunyai seorang kakak laki-laki, bahkan tidak mempunyai saudara. Boleh aku memanggilmu Bengko (kakak Beng)?”
“Tentu saja, Hwa-moi (adik Hwa), tentu saja dan aku merasa terhormat sekali!” kata Hong Beng.
“Nah, sekarang legalah hatiku. Aku mempunyai seorang kakak dan pelindung, akan tetapi maaf, aku tidak mungkin dapat menceritakan mengapa aku tadi hendak membunuh diri.”
“Jangan khawatir aku selalu menghargai rahasia seseorang. Akan tetapi, tentu boleh aku mengetahui keadaan dirimu, keluargamu, ke mana dan apa maksud perjalananmu, bukan?”
Gadis itu mengangguk dan keduanya duduk di atas akar pohon besar, saling berhadapan. Ci Hwa lalu menceritakan keadaan dirinya. Menceritakan bahwa ayahnya, Kwee Tay Seng atau Kwee Piauwsu, seorang duda, telah tertuduh melakukan pembunuhan terhadap seorang rekannya, piauwsu lain dan segala yang terjadi kemudian di Ban-goan.
“Karena aku merasa penasaran, nama baik ayah ternoda, maka aku pun lalu pergi hendak melakukan penyelidikan kepada perkumpulan Tiat-liong-pang yang disebut-sebut oleh orang she Lay itu. Itulah sebabnya aku berada di sini.”
Gu Hong Beng mengangguk-angguk, sama sekali tdak mau menduga-duga mengapa hal itu menyebabkan Ci Hwa hendak membunuh diri tadi.
“Dan engkau sudah melakukan penyelidikan?”
“Sudah, Tiat-liong-pang terletak di bukit sana itu, akan tetapi perkumpulan itu amat besar, amat berpengaruh dan amat kuat, juga dekat dengan keluarga istana sehingga rasanya sedikit kemungkinan mengapa perkumpulan itu sampai membunuh piauwsu di Ban-goan. Tidak ada hubungan dan kepentingannya sama sekali.”
“Hemmm, siapa tahu ada rahasianya yang lain. Kadang-kadang kebakaran besar dimulai dari bunga api kecil, peristiwa besar dimulai dari urusan sepele.”
“Mungkin benar, akan tetapi seorang seperti aku bagaimana mungkin dapat menyelidiki perkumpulan besar itu lebih mendalam lagi? Di sana gudangnya orang pandai sedangkan ilmu silatku hanya terbatas sekali. Dan engkau sendiri, Koko, ceritakanlah keadaan dirimu dan bagaimana engkau dapat berada di sini.”
Hong Beng tersenyum. Kalau hendak menceritakan pengalamannya, tentu tidak cukup sehari (baca kisahSuling Naga ), maka dia pun hanya menceritakan keadaan dirinya secara singkat saja,
“Aku seorang yang sebatangkara. Aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, dan selama bertahun-tahun ini aku hidup bersama guruku. Akan tetapi, sejak dua tiga tahun ini guruku bertapa, tidak mau diganggu dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Karena itu, aku diijinkan untuk mengembara, tanpa tujuan, ikut saja keinginan hati dan kaki meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Dan di dalam perjalanan itu, aku mendengar akan kebangkitan para datuk sesat yang katanya membuat persekutuan di utara ini. Karena sejak dahulu guruku selalu membawaku menentang para datuk kaum sesat, maka aku tertarik sekali dan aku pun mendengar bahwa Tiat-liong-pang yang menjadi pusat persekutuan itu. Dan di sinilah aku, kebetulan bertemu denganmu tadi.”
Wajah Ci Hwa agak berseri....
“Ahhh, jadi engkau pun hendak menyelidiki Tiat-liong-pang?”
Hong Beng mengangguk.
“Apakah barangkali dari engkau aku dapat mendengar sesuatu tentang Tiat-liong-pang? Bukankah engkau sudah menyelidiki ke sana?”
Ci Hwa mencabut sebatang kembang rumput dan menggigit-gigit tangkai kembang rumput itu. Manis sekali gadis ini kalau sedang begitu asyik dan juga memiliki daya tarik besar. Ia berpikir-pikir, mengingat apa yang pernah dialaminya dan apa yang pernah didengarnya dari Siangkoan Lohan.
“Memang aku pernah ke sana, akan tetapi tidak banyak yang kuketahui. Aku hanya tahu bahwa penjagaan di sana ketat bukan main. Pernah aku melihat betapa lima orang pemburu binatang yang memasuki wilayah itu, dibunuh begitu saja oleh dua orang anggauta Tiat-liong-pang. Dan mereka berdua itu lihai bukan main, dalam waktu sebentar saja lima orang pemburu itu tewas. Kemudian aku mendengar bahwa Tiat-liong-pang selain besar dan memiliki banyak anak buah pandai, juga dekat dengan istana. Kabarnya, ketuanya, yang bernama Siangkoan Tek atau disebut Siangkoan Lohan, dahulu beristeri seorang puteri istana....“ Ci Hwa teringat akan Siangkoan Liong dan menghentikan ceritanya, kemudian disambungnya, “selain itu, aku tidak tahu apa-apa lagi.”
Hong Beng bukanlah seorang bodoh. Gadis in hendak melakukan penyelidikan tentang Tiat-liong-pang untuk membersihkan nama baik ayahnya. Setelah tiba di situ dan melakukan penyelidikan, tiba-tiba saja hendak membunuh diri. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat menimpa dirinya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya tentang hal itu.
“Ceritamu tentang perkumpulan itu semakin menarik, Hwa-moi. Biarlah aku akan melakukan penyelidikan yang mendalam, dan kalau benar berita yang kuterima bahwa Tiat-liong-pang menghimpun persekutuan kaum sesat, aku harus menentang mereka. Bahkan kabarnya, seorang iblis betina yang berjuluk Sin-kiam Mo-li bergabung pula di situ, padahal iblis betina itu adalah musuh besarku sejak bertahun-tahun yang lalu, bersama para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Selama mereka itu masih berkeliaran, sepak terjang mereka selalu hanya membikin kacau dan mengganggu keamanan rakyat belaka.”
Ci Hwa memandang kagum. Pemuda ini kelihatannya demikian sederhana. Ia sudah membuktikannya sendiri tadi. Semua serangannya yang dilakukan dengan marah, sedikit pun tidak pernah dapat menyentuh ujung bajunya, dan kini pemuda itu menyatakan sebagai musuh datuk-datuk sesat yang lihai.
“Beng-koko, engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Bolehkah aku mengetahui, siapa gerangan gurumu?”
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar