Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 17.

Kisah si Bangau Putih Jilid 17

17

Akan tetapi, lima orang itu sudah melihat betapa gadis ini manis sekali, tubuhnya demikian padat dan ranum, dan terutama mulutnya demikian indah penuh gairah, menjanjikan hal-hal yang amat menyenangkan bagi mereka, maka sedikit pun mereka tidak mau membuka jalan, bahkan tertawa-tawa dan menyeringai dengan pandang mata cabul.
“Aih, mengapa tergesa-gesa, Nona?”
“Mari kita berkenalan lebih dulu.”
“Siapakah nama nona manis?”
“Apakah engkau sudah menikah dengan seorang anggauta Tiat-liong-pang?”
“Hai, nona manis, tahun ini berapa sih usiamu? Tentu kurang lebih tujuh belas tahun, ya?”
Ci Hwa mengerutkah alisnya, maklum bahwa ia berhadapan dengan segerombolan orang yang kurang ajar.
“Aku tidak mengenal kalian, dan tidak mempunyai urusan dengan kalian, kecuali kalau kalian ini anggauta-anggauta Tiat-liong-pang. Apakah kalian anggauta perkumpulan itu?”
Lima orang itu saling pandang dan tertawa-tawa ha-ha-he-he-he, menggeleng kepala. Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk, menyeramkan sekali, agaknya menjadi kepala di antara mereka, lalu bertanya, Nona manis, apakah engkau isteri seorang di antara orang Tiat-liong-pang?”
“Bukan, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan Tiat-liong-pang dan mencari perkumpulan itu.”
“Ha-ha-ha, kalau begitu, mengapa mencari mereka? Sudah ada kami di sini, dan kami tidak kalah gagah oleh mereka, bukan? Nah, engkau agaknya belum ada yang punya, Nona. Mari kau ikut saja dengan kami, kita bersenang-senang!” Si brewok itu mengulur tangannya hendak meraba dagu Ci Hwa. Gadis itii cepat melangkah mundur mengelak dan ia pun menjadi marah sekali.
“Kalian ini orang-orang kurang ajar! Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!”
Setelah berkata demikian Ci Hwa lalu melangkah lebar, mengambil jalan mengitari mereka untuk melanjutkan pendakiannya naik ke bukit itu.
Akan tetapi, seorang di antara mereka sudah meloncat dan menghadangnya sambil menyeringai lebar, memperlihatkan gigi yang hitam-hitam menguning karena rusak dan tak pernah dibersihkan.
“He, he, he, jangan pergi dulu, nona manis. Sedikitnya harus memberi tinggalan cium dulu padaku, he, he, he!” Dan dia pun menubruk hendak merangkul dan mencium gadis yang menggiurkan hatinya itu.
Akan tetapi Ci Hwa yang sudah bangkit kemarahannya itu menyambut dengan tendangan yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh penyerang yang bertubuh tinggi kurus itu.
“Dukkk!” Ujung sepatu Ci Hwa mengenai perut orang itu. “Augkkk....!” Orang itu membungkuk, memegangi perutnya yang mendadak terasa mulas itu. Mungkin usus buntunya tertendang dan dia pun mengaduh-aduh sambil memegangi perut dan berloncatan seperti seekor monyet menari-nari.
Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju untuk menangkap Ci Hwa.
“Wah, galak juga perempuan ini!” kata yang seorang.
“Makin liar semakin menyenangkan, seperti seekor kuda betina yang masih belum jinak, ha-ha-ha!” kata orang kedua.
Ditubruk oleh dua orang dari kanan kiri, Ci Hwa tidak menjadi gentar. Bagaimanapun juga, sejak kecil ia sudah belajar silat dari ayahnya, maka sekali melompat ke belakang, tubrukan itu pun luput dan dari samping kembali kakinya menendang. Sekali ini, tendangannya dapat ditangkis, bahkan orang itu bermaksud menangkap kakinya, Ci Hwa sudah menarik kembali kakinya dan kini ia mendoyongkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya diayun keras sekali, menampar orang ke dua.
“Plakkk!” Tamparan itu keras sekali.
“Aduhhh....!” Orang yang menjadi korban kedua itu mendekap mulutnya yang berdarah kembali meludahkan dua buah giginya yang copot akibat tamparan itu. “Bedebah!” Dia membentak dan kini dia pun maju lagi dengan amat marah.
Orang yang tadi kena tendang juga sudah bangkit, dan kini lima orang itu bagaikan lima ekor kucing yang kelaparan, mengurung Ci Hwa dengan sikap mengancam.
“Perempuan liar!” bentak si brewok. “Kita tangkap ia dan kita gilir ia sampai ia minta ampun!”
Kini Ci Hwa terpaksa harus melindungi tubuhnya dengan mengelak, menangkis dan berusaha membalas dengan tendangan dan pukulan. Akan tetapi, lima orang itu ternyata bukan orang lemah sehingga baju Ci Hwa dapat dicengkeram dan sekali tarik, terdengar suara kain robek dan terbukalah bagian dada Ci Hwa, memperlihatkan sedikit bukit dada-nya yang masih tertutup pakaian dalam.
“Hemmm, mulus !” Mereka berteriak-teriak dan kini Ci Hwa cepat melolos senjatanya, yaitu sebuah sabuk rantai. terbuat dari perak. Senjata ini merupakan andalan ayahnya dan ia pun sudah pernah berlatih dengan senjata ini.
Begitu ia menggerakkan tangannya, sabuk terlepas dan menyambar ke depan menjadi gulungan sinar putih. Seorang di antara mereka kurang cepat mengelak.
“Tukkk!” Ujung sabuk perak yang keras mengenai batok kepalanya dan orang itu pun menjerit kesakitan dan terpelanting, memegangi kepalanya yang mendadak bocor mengeluarkan darah itu sambil mengaduh-aduh dan menyumpahnyumpah. Melihat ini, empat orang temannya menjadi marah.
“Gadis liar!” bentak si brewok dan mereka lalu mengeluarkan jaring dari punggung masing-masing. Itulah senjata mereka untuk menangkap binatang buruan di samping busur dan anak panah. Jaring itu kuat sekali, terbuat daripada tali-tali sutera yang tidak mudah putus. Kini mereka mengepung Ci Hwa oengan jaring siap di tangan, mulut mereka menyeringai dengan napas memburu penuh ketegangan karena mereka merasa seolah-olah mereka sedang mengepung seekor harimau betina yang hendak mereka tangkap hidup-hidup!
Ci Hwa menjadi bingung. Selama hidupnya baru ini ia berkelahi dikeroyok banyak orang, dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi orang-orang yang memegang jaring seperti itu. Tiba-tiba si brewok membentak, memberi isyarat kepada teman-temannya dan seorang yang berdiri di belakang, sudah melempar jaringnya ke arah Ci Hwa. Melihat ada jaring menyambar ke atas kepalanya dari belakang, Ci Hwa hendak menyambar pula jaring lain yang tahu-tahu telah menutupi tubuhnya! Ia meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena kini jaring-jaring yang lain sudah menyelimutinya. Ia meronta semakin keras, namun makin keras ia meronta, makin terlibat-libatlah tubuhnya dan akhirnya ia pun roboh. Ia merasa menyesal mengapa senjatanya itu bukan golok atau pedang yang tajam untuk dapat membikin putus tali-tali jala itu. Sebatang sabuk rantai yang tidak tajam, tentu saja tidak ada gunanya.
Lima orang itu kini tertawa-tawa mengitarinya dan menggunakan tali-tali jaring untuk mengikat tubuhnya. Ci Hwa yang sudah terlibat jaring-jaring itu tak mampu berkutik lagi kecuali memaki-maki.
“Lepaskan aku! Kalian ini manusia-manusia kurang ajar! Aku tidak bersalah terhadap kalian, kenapa kalian hendak menggangguku? Lepaskan!” Ia berteriak dan meronta, namun hanya dapat bergerak sedikit saja setelah tali itu membelit-belit tubuhnya.
“Ha-ha-ha, merontalah, Manis. Ha-ha-ha-ha, engkau menjadi santapan sedap kami malam ini, ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa-tawa bahkan mereka yang tadi terkena tendangan, kena gampar dan terkena hantaman ujung sabuk rantai, sudah melupakan nyerinya dan mereka tertawa-tawa karena membayangkan betapa nanti mereka akan kebagian dan mendapat kesempatan untuk membalas perbuatan gadis itu dengan kesenangan yang berlipat ganda.
Srewok lalu mengangkat tubuh yang sudah terbelit-belit jaring itu, dan memanggulnya di atas pundak dan membawanya masuk ke dalam hutan, diikuti oleh empat orang kawannya yang tertawa-tawa. Ci Hwa nampak seperti seekor kijang yang tertangkap dalam jaringan, hanya dapat meronta-ronta sedikit.
Tiba-tiba saja, dari balik semak belukar, muncul dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Di pinggang mereka tergantung golok besar dan keduanya mengenakan pakaian seperti jagoan silat dan sikap mereka garang sekali. Mereka muncul dan berdiri menghadang di depan lima orang itu yang memandang dengan kaget.
Si brewok, pemimpin lima orang pemburu itu merasa rikuh juga bertemu orang selagi dia dan teman-temannya bukan menangkap binatang buruan melainkan seorang perempuan dalam jaringnya, maka dia yang dapat mengenal orang kang-ouw segera tersenyum ramah.
“Selamat pagi, dua orang sahabat yang gagah! Hendak ke manakah kalian?”
Akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar itu memandang dengan alis berkerut, memandangi wajah mereka satu demi satu, kemudian memandang kepada gadis dalam jaring yang tidak dapat terlihat jelas mukanya karena tali-tali jaring yang rapat.”
“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?” tanya seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, sikapnya garang. “Pakaian kalian menunjukkan bahwa kalian adalah pemburu-pemburu binatang hutan!”
Si brewok masih memperlihatkan senyumnya. Di antara para pemburu binatang dan kaum kang-ouw, para perampok, memang tidak pernah terjadi permusuhan karena jalan hidup mereka memang bersimpangan. Kalau para pemburu memburu binatang untuk dijual kulit dan dagingnya, para perampok memburu manusia yang berharta untuk dirampok hartanya.
“Tidak keliru dugaan Ji-wi (Kalian berdua). Kami memang pemburu-pemburu yang hendak mengadu untung di daerah pegunungan ini, untuk memburu binatang hutan.”
“Dan binatang hutan macam apakah yang kalian tangkap dalam jaring kalian itu?” Tiba-tiba si muka hitam bertanya, matanya yang lebar memandang kepada tubuh gadis yang dibelit jaring.

“Aih, ini? Ia …ia adalah eh.... tawanan kami, karena berani melawan kami, dan ia.... ia menjadi milik kami....” kata si brewok agak gagap karena merasa rikuh, akan tetapi mengingat bahwa dia berlima sedangkan di depannya hanya terdiri dua orang, maka dia pun menjadi berani. “Kami kira urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi, harap Ji-wi memaklumi kami berlima yang sedang kesepian dan membutuhkan hiburan.” Dia lalu tertawa.
“Diam!” bentak si muka hitam marah yang mengejutkan si brewok. “Atas ijin siapakah kalian berani berkeliaran di sini, menangkap binatang maupun perempuan? Katakan, atas ijin siapa!”
“Kami.... kami memburu di tempat bebas....“
“Butakah matamu? Tulikah telingamu? Di sini adalah wilayah kekuasaan Tiat-liong-pang, dan kalian berani memburu binatang dan perempuan di daerah kami tanpa ijin? Kalian sudah bosan hidup rupanya!” Si muka hitam sudah menerjang, mengirim pukulan dan tendangan. Serangannya demikian hebat dan cepatnya sehingga si brewok menjadi kalang kabut, untuk menangkis dan mengelak, terpaksa dia melepaskan tubuh Ci Hwa yang dipanggulnya sehingga tubuh gadis dalam selimutan jaring itu pun terbanting ke atas tanah. Kini, lima orang pemburu itu sudah berkelahi mengeroyok dua orang anggauta Tiat-liong-pang yang sudah mencabut golok mereka.
Lima orang pemburu itu mencabut pisau pemburu mereka dan melawan dengan pisau dan jaring. Untuk mempergunakan anak panah, mereka tidak sempat lagi karena mereka berkelahi dari jarak dekat. Akan tetapi sekali ini, mereka kecelik. Dua orang anggauta Tiat-liong-pang itu lihai bukan main dengan golok mereka sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, seorang demi seorang dari lima orang pemburu itu pun roboh mandi darah dan tewas di bawah bacokan dua batang golok dua orang tinggi besar itu!
Setelah lima orang lawannya tewas semua, dua orang itu tertawa dan membersihkan darah di golok mereka pada pakaian para korban. Setelah menyimpan golok mereka, keduanya lalu menghampiri Ci Hwa yang masih rebah dan menonton perkelahian itu dari antara tali-tali jaring. Si muka hitam kini membuka jaring dan membebaskan Ci Hwa.
Gadis ini merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan ia pun bangkit berdiri dengan susah, agak terhuyung, lalu memandang kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya tiga puluh tahun lebih. Ia lalu memberi hormat.
“Terima kasih atas pertolongan Jiwi (Anda berdua),” katanya, tanpa merasa betapa dua orang laki-laki itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata yang tidak ada bedanya dengan cara lima orang pemburu tadi memandangnya, bahkan kini pandang mata mereka tak pernah melepaskan bagian baju yang robek terbuka sehingga memperlihatkan bukit dadanya.
Si muka bopeng, orang ke dua, terkekeh.
“Ha-ha-heh-heh-heh, nona yang baik, pantas saja mereka berlima itu tergila-gila. Kiranya engkau memang seorang gadis yang manis sekali!”
Si muka hitam menyambung,
“Kami telah menyelamatkanmu, nona manis, lalu bagaimana engkau hendak membalas budi kami?”
Ci Hwa terkejut. Isi ucapan dan nada suara kedua orang ini sama sekali tidak menyenangkan hatinya, bernada kurang ajar pula. Ketika ia melihat betapa mereka itu memandang ke arah dadanya, cepat ia berusaha menutupi bagian yang robek itu dan melangkah mundur dua langkah, alisnya berkerut dan wajahnya penuh kekhawatiran.
“Aku berterima kasih atas pertolongan Ji-wi, dan aku ingin melanjutkan perjalanan. “Eh, bukankah Ji-wi adalah dua orang anggauta Tiat-liong-pang?”
“Benar,” kata si muka hitam. “Ada urusan apa Nona dengan Tiat-liong-pang?”
“Aku… aku ingin bertemu dengan ketuanya.“
Dua orang itu terkejut dan saling pandang, khawatir kalau-kalau gadis yang menarik hati mereka ini kenal dengan ketua mereka. Kalau begitu halnya, jelas bahwa mereka sama sekali takkan berani mengganggunya.
“Apakah Nona mengenal ketua kami?”
Ci Hwa menggeleng kepalanya,
“Sama sekali tidak mengenalnya. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan dia dan bertanya tentang urusan yang menyangkut perusahaan piauwkiok di Ban-goan, yaitu tentang kematian piauwsu Tan Hok beberapa tahun yang lalu.”
Kembali kedua orang itu saling pandang,
“Eh? Jadi Nona ini adalah dari Ban-goan?”
“Benar aku adalah puteri dari Kwee Piauwsu, kepala Ban-goan Piauw-kiok dan aku ingin menyelidiki tentang pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan orang terhadap beberapa orang piauwsu di sana.”
Kembali dua orang ini saling pandang, akan tetapi kini mulut mereka menyeringai senang.
“Aha, kiranya Nona ini orang penyelidik! Akan tetapi tadi engkau belum menjawab pertanyaan kami, Nona. Kami telah menyelamatkanmu dari tangan lima orang pemburu ini, lalu dengan cara bagaimana Nona hendak berterima kasih dan membalas budi kepada kami?” Berkata demikian, si muka hitam mendekat, diikuti oleh si muka bopeng yang menyeringai.
Ci Hwa mundur lagi dan alisnya berkerut semakin mendalam.
“Aku.... aku berterima kasih, kalian mau apa lagi? Aku tidak mempunyai apa-apa!”
“Heh-heh-heh, engkau memiliki segalanya, nona manis!” kata si bopeng yang tiba-tiba menubruk. Ci Hwa menahan jeritnya dan mengelak, lalu menendang dari samping. Akan tetapi, si bopeng cukup gesit dan dia menangkis tendangan itu dengan kerasnya sehingga tubuh Ci Hwa terputar. Akan tetapi, gadis ini pun bukan orang lemah. Ia sudah meloncat lagi dengan elakannya ketika si muka hitam mencoba untuk menangkapnya dari samping dengan tubrukannya. Ci Hwa dikeroyok dua. Gadis ini mencoba untuk mempertahankan diri, mengirim pukulan dan tendangan. Namun, dua orang anggauta Tiat-liong-pang itu adalah anggauta yang tingkatnya sudah agak tinggi, ilmu kepandaian mereka pun sudah cukup kuat. Sedangkan Ci Hwa kehilangan sabuk rantai yang diandalkannya.
“Brettttt!!” Tiba-tiba cengkeraman tangan si muka hitam dapat menangkap baju Ci Hwa dan baju itu berikut baju dalamnya, terlepas dari tubuhnya sehingga tubuh bagian atasnya terbuka dan buah dadanya pun nampak. Hal ini membuat kedua orang itu menjadi semakin gila dan penuh nafsu, sebaliknya Ci Hwa yang dibuat malu dan canggung karena tubuh atasnya telanjang, menjadi kacau gerakannya. Akhirnya, sebuah tendangan mengenai lututnya dan tubuh Ci Hwa terpelanting. Dua orang itu menubruknya seperti dua ekor harimau menubruk kambing. Ci Hwa berteriak-teriak ketika mereka menggumulinya, mencoba untuk melepaskan semua pakaiannya.
“Tahan!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus. Dua orang itu kelihatan terkejut, cepat melepaskan Ci Hwa dan meloncat berdiri, kini mereka berdiri berjajar, berhadapan dengan seorang pemuda dengan muka pucat dan ditundukkan, kelihatan takut sekali.
“Kiranya Kongcu yang datang....!” kata mereka dan selanjutnya mereka mengambil sikap seperti orang menunggu perintah.
Ci Hwa merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya karena kedua orang tadi dengan kasar menggumulinya, dan pakaiannya sudah tidak karuan lagi letaknya. Baju atasnya robek dan ia mengeluh, lalu bangkit duduk sambil berusaha menutupi dadanya dengan robekan bajunya, lalu memandang. Kiranya yang muncul adalah seorang pemuda yang wajahnya tampan, pakaiannya seperti seorang pemuda terpelajar tinggi, pakaian yang bersih dan rapi, wajahnya yang tampan itu pesolek dan gerak-geriknya halus, bahkan dia tidak mau terlalu lama memandang keadaan gadis yang setengah telanjang itu. Sepasang matanya ditujukan kepada lima buah mayat para pemburu, kemudian menatap kedua orang anggauta Tiat-liong-pang yang berdiri di depannya. Suaranya tetap halus, namun penuh teguran dan dari alis matanya yang berkerut itu dapat diduga bahwa hatinya tidak senang.
“Apa yang telah terjadi di sini?” tanyanya, suaranya halus namun keren.
Si muka hitam yang galak tadi kini menjawab dan Ci Hwa merasa heran mendengar betapa suara orang itu gemetar.
“Begini, Kongcu.... mereka itu adalah lima orang pemburu yang tanpa ijin kita berani melakukan perburuan di hutan ini. Mereka menangkap gadis ini dan menculiknya, maka kami turun tangan membunuh mereka berlima.”
“Hemmm, akan tetapi apa yang kalian lakukan tadi terhadap Nona ini?”
Dua orang kasar itu saling pandang dan untuk menyembunyikan rasa takut, mereka tersenyum menyeringai.
“Hemmm, Kongcu setelah kami menolongnya, ia berterima kasih dan hendak membalas budi kami berdua....”
Pemuda itu bukan lain adalah Siangkoan Liong. Biarpun pemuda ini selalu bersikap halus dan jarang mendekati para anggauta Tiat-liong-pang, namun dia lebih ditakuti oleh para anggauta itu daripada terhadap Siangkoan Lohan sendiri karena pemuda ini dapat bertindak tegas dan tak mengenal ampun kepada mereka yang bersalah. Kini, mendengar laporan si muka hitam, pemuda itu menoleh ke arah Ci Hwa, hanya melirik saja. Ci Hwa tidak tahu siapa pemuda itu, akan tetapi melihat betapa dua orang itu bersikap takut-takut, ia pun dapat menduga bahwa pemuda tampan ini tentulah seorang yang amat berpengaruh di Tiat-liong-pang.
“Mereka bohong!” katanya membantah keterangan si muka hitam. “Memang benar bahwa aku diganggu dan ditawan lima orang pemburu, dan mereka berdua muncul menolongku dan membunuh lima orang itu, dan aku memang berterima kasih, akan tetapi mereka berdua itu tidak ada bedanya dengan lima orang pemburu itu. Mereka hendak memaksaku, menggangguku. Aku terlepas dari cengkeraman lima ekor srigala akan tetapi terjatuh ke cengkeraman dua ekor harimau!” Gadis yang biasanya berwatak pendiam dan halus ini sekarang bicara berapi-api, penuh kemarahan.”
Siangkoan Liong memandang dua orang anak buahnya.
“Benarkah itu?”
Dua orang itu saling lirik, tidak berani berbohong lagi, akan tetapi mereka masih menyeringai.
“Eh.... begini, Kongcu.... eh, kami melihat ia begitu cantik manis wajarlah kalau kami tertarik dan hanya ingin main-main sedikit, bukan mengganggunya “
“Cukup!” Siangkoan Liong membentak. “Cepat kalian bunuh diri sendiri!”
Tentu saja ucapan ini amat mengejutkan. Dua orang itu seketika terbelalak dan wajah mereka pucat sekali. Bahkan Ci Hwa juga kaget bukan main. Begitu mudahnya pemuda ini menjatuhkan hukuman yang luar biasa, menyuruh dua orang itu membunuh diri!
Keduanya saling pandang dengan mata liar dan jelas bahwa mereka amat ketakutan, seperti dua ekor kelinci bertemu harimau.
“Tapi.... tapi....“ kata yang seorang.
“Kita lapor Pangcu (ketua)!” kata yang lain dalam usahanya untuk menyelamatkan diri. Keduanya seperti dikomando tiba-tiba, segera membalikkan tubuh dan melarikan diri.
Akan tetapi, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah meloncat, kedua tangannya bergerak dan tanpa ada suara keluhan apa pun, tubuh dua orang itu pun terjungkal dan tewas seketika? Melihat ini, Ci Hwa merasa ngeri, juga kagum juga agak takut. Pemuda tampan itu sedemikian lihainya, gerakannya ketika merobohkan orang itu sama sekali tidak dapat diikuti dengan pandang matanya, demikian cepat sehingga dia tidak tahu bagaimana dua orang itu roboh terus mati. Dan pemuda ini memiliki pembawaan yang demikian agung dan berwibawa, halus gerak-gerik dan tutur sapanya, dan demikian tampan memikat, seperti seorang tokoh bangsawan dalam dongeng saja!
Sementara itu, dengan sikap acuh, Siangkoan Liong menghampiri tujuh buah mayat itu dan setiap kali kakinya bergerak, sesosok mayat terlempar ke dalam jurang di samping jalan, jurang yang dalam seperti mulut raksasa terpentang lebar menelan mayat-mayat itu sampai tidak nampak lagi dari atas.
Setelah menendangi tujuh buah mayat itu masuk jurang, Siangkoan Liong melangkah pergi meninggalkan Ci Hwa tanpa menoleh satu kalipun, Ci Hwa cepat mengejarnya.
“Kongcu.... nanti dulu....!” katanya dan sekaligus bingung juga apa yang harus dikatakan dan mengapa pula ia mengejar pemuda itu.
Siangkoan Liong dengan sikapnya yang halus lembut dan anggun itu menahan langkah dan membalikkan tubuhnya menghadapi Ci Hwa, lalu agaknya baru sekarang ia memperhatikan gadis itu, dari ujung rambut sampai ke kaki dan agaknya harus dia membenarkan pendapat dua orang anak buahnya bahwa gadis ini memang hitam manis dan cantik menarik.
“Ada apa lagikah, Nona! Sudah kusingkirkan para pengganggumu.”
Ci Hwa agak gugup dan mukanya menjadi merah.
“Aku.... aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu, Kongcu.”
Siangkoan Liong tersenyum dan Ci Hwa merasa betapa jantungnya seolah-olah berjungkir-balik. Betapa tampannya pemuda itu ketika tersenyum seperti itu. Sepasang matanya yang indah tajam itu seperti menyalakan api, wajahnya nampak ramah dan tampan bukan main.
“Tidak perlu berterima kasih, Nona, dan engkau boleh melanjutkan perjalanan dengan hati tenang sekarang.”
“Akan tetapi.... aku memang sengaja datang hendak berkunjung ke Tiat-liong-pang dan melihat sikap kedua orang Tiat-liong-pang tadi kepadamu, agaknya Kongcu juga dari Tiat-liong-pang. Benarkah itu?”
Siangkoan Liong tertarik dan mengamati lebih tajam. Apa maunya gadis muda ini, pikirnya. “Siapakah engkau, Nona dan apa keperluanmu berkunjung kepada Tiat-long-pang?"
Ci Hwa mengangkat muka memandang. Sampai lama mereka kini saling pandang dan hati Ci Hwa semakin tertarik. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini hebat. Wajahnya demikian tampan, anggun dan juga agung, penuh wibawa namun tidak nampak galak, melainkan halus sikapnya lembut dan ramah gerak-geriknya. Ketampanan itu mengandung kegagahan tersembunyi, sedangkan pakaiannya yang seperti seorang terpelajar tinggi itu rapi, seperti pakaian seorang pemuda bangsawan saja. Ketika ditanya tentang keperluannya hendak mengunjungi Tiat-liong-pang, tentu saja ia merasa rikuh untuk memberitahukan, sebelum ia mengenal benar siapa pemuda ini dan apa hubungannya dengan Tiat-liong-pang. Akan tetapi karena orang ini telah menyelamatkannya dan bersikap baik juga ramah, ia pun segera memberi hormat dan menjawab dengan sikap halus pula.
“Nama saya Kwee Ci Hwa, Kongcu. Saya datang dari dusun Ban-goan. Ayah saya adalah Kwee Tay Seng atau Kwee Pangcu, ketua dari perusahaan Ban-goan Piauw-kiok di kota kami. Adapun keperluan saya mencari Tiat-liong-pang adalah.... akan tetapi aku harus mengetahui dulu siapa Kongcu ini sebelum kuberitahukan kepentinganku.”
Pemuda itu setelah lama saling berpandangan, tidak acuh lagi cara memandangnya seperti tadi, menemukan sesuatu yang amat menarik dalam diri Ci Hwa. Seorang gadis yang memang manis sekali, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, dengan sinar mata yang memancarkan semangat dan keberanian, dengan sebuah mulut yang teramat menarik, mulut yang agaknya memang diciptakan untuk menjadi alat menyampaikan kemesraan yang penuh gairah. Mulailah sinar mata pemuda itu mencorong dan dia pun sudah mengambil keputusan bahwa dia tidak boleh melewatkan seorang gadis semanis ini begitu saja! Siangkoan Liong bukanlah seorang pemuda yang terlalu mudah jatuh menghadapi kecantikan wanita, akan tetapi, matanya tajam sekali untuk dapat menangkap keindahan yang khas seorang wanita. Terutama sekali setelah di antara semua orang yang bersekutu dengan ayahnya terdapat Sin-kiam Mo-li. Wanita itu, biar usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun masih cantik dan lemah lembut, dan tentu saja amat berpengalaman dalam ilmu menundukkan hati pria. Dengan keahliannya, ia pun pernah berhasil menundukkan pemuda yang luar biasa itu dan tentu saja dalam hal satu ini, Sin-kiam Mo-li menjadi seorang guru yang teramat pandai dan berpengalaman. Peristiwa yang terjadi dengan Sin-kiam Mo-li itu setelah membangkitkan naga yang tadinya masih tertidur dalam diri Siangkoan Liong, dan sekali naga nafsu itu bangkit maka selalu hendak mencari korban. Dan dalam pandangan pemuda itu, Ci Hwa merupakan calon korban yang amat menarik.
“Aih, kiranya engkau puteri seorang piauwsu, nona Kwee Ci Hwa. Heran sekali, mengapa puteri seorang piauwsu mencari Tiat-liong-pang. Ketahuilah, bahwa ketua Tiat-liong-pang, yaitu Siangkoan Pangcu, adalah ayah kandungku. Ibuku seorang puteri dari istana dan aku masih disebut orang pangeran karena aku putera ibuku. Namaku Siangkoan Liong.”
Ci Hwa semakin kagum. Seorang pangeran? Pantas, begini tampan gagah dan berwibawa. Dan tentang kepandaian silatnya, ia tidak meragukannya lagi, walaupun ia juga bergidik ngeri melihat betapa mudahnya pangeran ini membunuh orang, anak buahnya sendiri malah!
“Aih, kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat, Pangeran....“
“Hushhh, jangan sebut pangeran. Kita bukan di istana. Semua orang memanggil aku Siangkoan Kongcu. Nah, nona Ci Hwa, katakan mengapa seorang gadis yang begini muda dan manis seperti engkau ini, puteri seorang piauwsu, jauh-jauh datang untuk mencari Tiat-liong-pang. Ada urusan apakah?”
Hati Ci Hwa sudah jatuh benar sekarang, Siangkoan Liong memperlihatkan sikap manis, kalau bicara dibarengi senyum dan pancaran matanya tidak menyembunyikan kekagumannya, maka gadis itu pun merasa betapa jantungnya berdebar tidak karuan.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar