Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 13.

Kisah si Bangau Putih Jilid 13

13

Hui Lian mengerutkan alisnya. Seorang gadis muda yang pakaiannya aneh, tambal-tambalan, dengan sikap yang demikian ugal-ugalan, bagaimana ia dapat percaya begitu saja?
“Kalau engkau benar she Suma dan keturunan para Pendekar Pulau Es, apa buktinya?” bentak Hui Lian.
Suma Lian tersenyum manis dan menjura dengan hormat dan lucu kepada Hui Lian.
“Bibi yang baik, namaku benar Suma Lian, ayahku Suma Ceng Liong dan ibuku Kam Bi Eng. Dan bukan itu saja, aku pun menjadi murid dari paman kakek Bu Beng Lokai, ayah mertuamu sendiri.”
“Hemmm, gadis muda, jangan engkau bicara sembarangan. Ayah mertuaku tidak bernama Bu Beng Lokai!” kata pula Hui Lian, semakin curiga walaupun nama ayah ibu gadis itu sempat mengejutkannya.
“Aih, maafkan aku, Bibi. Mungkin kalian tidak mengenal nama Bu Beng Lokai, akan tetapi sebelum mempergunakan nama itu, paman kakekku yang kini menjadi guruku itu bernama Gak Bun Beng....“
“Kong-kong....!” Seru Ciang Hun gembira mendengar nama kakeknya disebut. Walaupun dia belum pernah melihat kakeknya, namun seringkali kedua ayahnya bercerita tentang kakeknya dan dia amat merindukannya.
“Nanti dulu!” kata pula Hui Lian. “Kalau benar engkau murid ayah mertuaku, engkau tentu dapat melayani seranganku ini!” Dan tiba-tiba saja ia lalu menyerang Suma Lian dengan jurus ampuh dari Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit).
Suma Lian tentu saja mengenal baik ilmu silat ini dan sambil mengelak dan bergerak dengan ilmu yang sama, ia pun membalas serangan lawan dengan jurus lain dari Lo-thian Sin-kun. Hui Lian masih belum merasa puas. Setelah menangkis, ia pun menyerang lagi dan dua orang wanita itu pun saling serang dengan ilmu yang sama sehingga mereka itu seperti dua orang yang berlatih silat saja. Setelah lewat belasan jurus dan ternyata gerakan Suma Lian dalam ilmu silat itu amat bagusnya, barulah Hui Lian merasa puas dan ia pun meloncat ke belakang.
Suma Lian memandang sambil tersenyum manis.
“Lo-thian Sin-kun yang Bibi mainkan sungguh bagus! Apakah Bibi hendak menguji lagi!”
“Cukup engkau memang benar Suma Lian dan maafkan kecurigaan kami karena dalam beberapa hari ini kami terancam bahaya dari seorang musuh yang pandai,” kata Hui Lian.
“Ehhhhh?” Suma Lian terkejut mendengar ini dan baru sekarang ia melihat betapa wajah dua orang pamannya dan juga bibinya nampak muram dan mata mereka merah seperti orang yang kurang tidur. “Akan tetapi kalau benar demikian, mengapa tadi aku melihat adik Hun bermain sendirian di luar?”
“Aih, anak itu belum mengenal bahaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata pula Souw Hui Lian sambil menggandeng tangan Suma Lian, kini sikapnya manis sekali.
Suma Lian tersenyum memandang kepada kedua orang pamannya. “Maaf, Paman, aku datang membikin ribut saja. Akan tetapi sikap Bibi memang amat mengagumkan, ia cerdik dan pintar!” Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hanya tersenyum mendengar pujian itu dan mereka pun lalu masuk ke dalam rumah yang cukup luas itu. Seorang pelayan wanita setengah tua segera muncul ketika dipanggil Hui Lian dan diperintahkan untuk menyediakan minuman untuk tamu yang disebutnya Suma-siocia (nona Suma) ketika diperkenalkan kepada pelayannya.
“Aih, Bibi ini!” Suma Lian berseru memotong ucapan itu. “Kenapa harus menyebutku nona segala? Ciang Hun sudah menyebutku enci kepadaku dan sebagai bibiku, tidak sepatutnya Bibi menyebut nona. Namaku Suma Lian tanpa nona.”
Hui Lian tersenyum dan kini ia tahu bahwa Suma Lian bukan seorang gadis kasar dan kurang ajar melainkan seorang gadis yang jujur, terbuka, lincah dan tidak suka berpura-pura.
“Baiklah, Suma Lian. Sekarang kami ingin sekali tahu, apakah maksud kunjunganmu ini? Kami yakin bahwa tentu kunjunganmu ini mempunyai maksud yang penting sekali.”
Suma Lian berpikir sejenak. Ia memang datang membawa keperluan penting, akan tetapi berita yang dibawanya itu bukan berita menyenangkan, melainkan berita tentang gurunya yang sakit tua dan menghendaki kedatangan kedua orang putera kembarnya itu. Sebaiknya kalau ia mengetahui lebih dahulu bahaya apa yang katanya mengancam keluarga paman dan bibinya ini.
“Nanti dulu, Bibi. Sebelum aku menceritakan keperluan kedatanganku, lebih baik kalau Bibi menceritakan kepadaku tentang bahaya apa yang mengancam kalian. Aku bersedia untuk membantu kalian. Ceritakanlah mengapa kalian tadi begitu curiga kepadaku sehingga tiba-tiba saja menyerangku.”
Gak Jit Kong kini yang menjawab.
“Maafkan kami, Lian-ji (anak Lian). Kami memang sedang panik sehingga tanpa bertanya lagi menyerangmu, karena kami mengira bahwa engkau merupakan komplotan orang jahat yang mengancam hendak menculik anak kami.”
“Komplotan jahat menculik adik Ciang Hun.”
“Benar, Suma Lian,” sambung Gak Goat Kong. “Terjadinya sudah kurang lebih sepekan yang lalu. Mula-mula kami mendengar bahwa di sebuah dusun di kaki gunung terjadi kekacauan ketika ada seorang nenek yang suka menculik anak kecil. Ketika mendengar itu, kami lalu turun tangan dan berhasil mengalahkan nenek itu dan mengusirnya dari dusun yang dikacaunya. Akan tetapi, iblis itu ternyata tidak mau menerimanya begitu saja. Agaknya ia memanggil kawan yang lebih lihai lagi dan sepekan yang lalu mereka datang mengganggu kami.”
“Apa yang mereka lakukan?” Suma Lian bertanya, penasaran.
Kini Souw Hui Lian yang melanjutkan.
“Sepekan yang lalu, pada malam hari, aku mendengar suara gerakan orang di belakang rumah. Ketika aku keluar melalui pintu belakang, ia sudah berada di sana, nenek iblis yang pernah mengacau dusun itu, akan tetapi kini ada seorang temannya, seorang kakek botak. Mereka lihai bukan main.”
“Kami keluar mendengar ribut-ribut di belakang,” sambung Gak Jit Kong, “dan kami bertiga melawan kakek botak itu. Namun dia sungguh lihai dan kami bertiga terdesak. Tiba-tiba mereka meloncat pergi dan, kakek itu sambil tertawa mengatakan bahwa sepekan kemudian dia akan datang lagi dan mengancam kami agar menyerahkan putera kami dengan baik-baik, kalau tidak seisi rumah akan dibunuhnya!”
Suma Lian mengerutkan alisnya.
“Hemmm, sombong sekali iblis itu.”
“Karena itu, setiap malam kami tidak dapat tidur dan berjaga-jaga, dan beristirahat pada siang harinya. Tadi kami masih tidur karena semalam berjaga, dan Ciang Hun yang sudah kami larang untuk keluar sendirian nekat keluar ke taman,” kata Hui Lian.
“Aku ingin nonton kupu-kupu kuning, Ibu!” bantah Ciang Hun. “Dan pula, kata Ibu iblis itu hanya muncul di waktu malam, bukan?”
“Memang benar,” kata pula Hui Lian kepada Suma Lian. “Iblis itu mengancam akan datang pada malam hari, karena itulah kami berani tidur di waktu siang.”
“Hemmm, dan kapankah malam yang dijanjikannya itu?” tanya Suma Lian.
“Malam ini tepat sepekan.”
“Harap kedua Paman dan Bibi tidak khawatir. Kalau malam nanti dia berani muncul, biarlah aku yang akan menghadapinya,” kata Suma Lian. Biarpun suami itu merasa agak tabah dengan munculnya Suma Lian yang dapat mereka harapkan untuk membantu mereka, namun tentu saja mereka tidak yakin akan kemampuan Suma Lian.
Bagaimanapun juga, Suma Lian baru beberapa tahun ini menjadi murid ayah mereka, tentu tingkat kepandaiannya tidak akan lebih tinggi daripada tingkat kedua orang kembar itu. Kalau mereka maju bertiga saja tidak mampu menandingi kakek botak itu, apalagi gadis muda ini? Betapapun juga, mereka mendapatkan tenaga bantuan dan hal ini saja sudah mendatangkan hiburan bagi mereka.
Suma Lian kelihatan tenang-tenang saja hari itu, bahkan bermain-main dengan Ciang Hun, membiarkan tiga orang itu beristirahat karena selama beberapa hari mereka itu kurang tidur selalu.Ketika malam tiba, Beng-san Siang-eng dan isterinya sudah nampak segar dan siap siaga untuk menghadapi ancaman musuh, Souw Hui Lian tak pernah mau melepaskan puteranya.
Menjelang tengah malam, mereka yang berkumpul di ruangan dalam itu mendengar suara ketawa di luar rumah,
“Ha-ha-ha, Beng-san Siang-eng, agaknya kalian sudah siap menghadapi kunjungan kami. Apakah anakmu, itu sudah kau persiapkan untuk diberikan kepada kami? Keluarlah, kami tidak ingin bersikap tidak sopan menyerbu ke dalam!”
Mendengar suara ini, Beng-san Siang-eng dan isterinya nampak terkejut dan jelas kelihatan betapa mereka gentar. Hal ini membuat Suma Lian merasa penasaran dan marah sekali. Ia lalu meloncat berdiri dan dengan sikap tenang ia melangkah keluar, diikuti oleh dua orang pamannya, sedangkan Hui Lian tinggal di dalam melindungi puteranya, seperti yang sudah mereka rancangkan. Sebaiknya kalau Ciang Hun disembunyikan di dalam, dilindungi ibunya, agar dia tidak terancam bahaya langsung seperti kalau diajak keluar. Dengan langkah tegap dan sikap tenang sekali Suma Lian melangkah terus menuju ke serambi luar di mana memang sengaja dipasangi empat buah lampu gantung yang cukup terang. Dua orang kembar itu sendiri merasa kagum akan ketabahan hati keponakan mereka walaupun mereka masih merasa khawatir apakah kehadiran gadis itu akan cukup membuat mereka mampu mengusir dan mengalahkan lawan yang amat tangguh. Kalau tingkat kepandaian Suma Lian hanya sedikit lebih tinggi dari tingkat Hui Lian, tak mungkin mereka akan menang. Bahkan andaikata tingkat ilmu kepandaian gadis itu sama dengan tingkat mereka pun, masih amat disangsikan apakah mereka akan mampu mengalahkan kakek botak itu, apalagi kalau si nenek buruk itu membantunya.
Ketika mereka membuka pintu depan dan tiba di luar, ternyata benar seperti yang dikhawatirkan Beng-san Sian-eng, kakek botak pendek dan nenek bongkok buruk itu sudah berada di situ, berdiri dengan sikap memandang rendah. Nenek bongkok bermuka buruk itu memegang tongkatnya yang butut dan kakek yang bertubuh pendek berkepala botak dengan muka seperti seekor ikan itu menyeringai lebar. Dia tidak nampak memegang senjata, akan tetapi melihat pakaiannya seperti seorang tosu dengan gambar patkwa (segi delapan) di dadanya, tahulah Suma Lian bahwa ia berhadapan dengan seorang pendeta dari perkumpulan sesat Pat-kwa-pai. Ketika melihat Bong-san Siang-eng muncul bersama seorang gadis yang muda dan cantik manis, sepasang mata kakek pendek itu bersinar-sinar dan mulutnya menyeringai semakin lebar.
“Bagus, bagus....! Beng-san Sian-eng, dari mana kalian mendapatkan seekor domba betina yang begini muda, montok dan mulus, ha-ha-ha! Apakah ia hendak kautukarkan dengan anak kalian? Gadis muda ini untuk aku, wah, aku suka sekali!”
“Hok Yang Cu, jangan gila kau! Aku tidak butuh gadis ini dan tidak sudi kalau ditukar dengan bocah laki-laki putera mereka!” tiba-tiba nenek itu membentak, nadanya marah.
Kakek botak itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Beng-san Sian-eng, kalian sudah mendengar sendiri, bukan? Puteramu itu tetap harus kalian berikan kepada kami, dan gadis ini untuk aku, sebagai pengganti kepala kalian! Nah, berikan gadis ini kepadaku dan keluarkan pula bocah laki-laki itu agar jangan membikin Kui-bo (Nenek Iblis) marah-marah!”
Mendengar kata-kata mereka yang amat memandang rendah, apalagi juga amat menghinanya, Suma Lian menjadi merah mukanya dan sepasang matanya yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong. Ia melangkah maju menghadapi dua orang kakek dan nenek itu sambil menudingkan telunjuknya.
“Dua orang tua bangka tak tahu diri dan tak mengenal malu! Kalian muncul sebagai iblis-iblis yang curang, tidak memperkenalkan nama. Siapakah kalian dan mengapa kalian mengganggu kedua orang pamanku ini?”
Kakek yang sudah menjadi merah matanya melihat Suma Lian yang cantik manis, kini tertawa bergelak sambil mengelus kepala yang botak dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menggoyang-goyangkan tangan kanan dengan sikap sombong.
“Ha-ha-ha, anak manis, ketahuilah bahwa pinto (aku) disebut Hok Yang Cu, dan seperti dapat kaulihat pada gambar di dadaku, aku adalah seorang tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal! Adapun nenek buruk ini adalah Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam), seorang sahabatku. Ia minta bantuanku untuk mengambil putera Beng-san Sian-seng. Akan tetapi engkau muncul, anak manis, heh-heh-heh, setelah melihatmu, mana aku dapat melepaskanmu lagi?”
"Tuabangka iblis! Kedua orang pamanku tidak pernah merasa bermusuhan dengan kalian, mengapa kalian datang mengganggu mereka? Mengakulah apa sebabnya kalian mengganggu, ataukah kalian hanya dua orang tuabangka pengecut yang tidak berani mengaku?” Suma Lian sengaja memanaskan hati mereka untuk mengetahui mengapa mereka itu memusuhi kedua orang pamannya.
“Bocah sombong!” bentak nenek itu yang jelas memperlihatkan sikap membenci wanita muda. “Beng-san Siang-eng adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kenyataan ini saja sudah cukup bagi kami untuk memusuhi mereka!”
Kini mengertilah Suma Lian, juga Beng-san Siang-eng mengapa nenek dan kakek itu memusuhi mereka. Kiranya mereka itu, golongan sesat, selalu tak pernah melupakan keluarga Pendekar Pulau Es dan selalu memusuhi keluarga itu setiap kali ada kesempatan. Hal ini membuat Suma Lian menjadi semakin marah. Akan tetapi gadis yang pemberani ini tidak memperlihatkau kemarahannya, sebaliknya ia marah tertawa. Suara ketawanya nyaring dan bebas, tidak ditahan-tahan atau ditutupi mulutnya sehingga nampak rongga mulutnya yang kemerahan dan kilatan giginya yang putih.
“Heh-he-hi-hi-hik! Hek-sim Kui-bu dan Hok Yang Cu, dua orang kakek dan nenek tuabangka yang mau mampus, orang-orang macam kalian ini berani memusuhi keluarga para Pendekar Pulau Es? Dengar baik-baik, aku bernama Suma Lian? She Suma, ingat! Aku adalah cucu buyut dalam dari kakek buyut Suma Han. Hayo cepat kalian berlutut minta ampun, kemudian minggat dari sini jangan memperlihatkan ekor kalian lagi sebelum aku mewakili keluarga para Pendekar Pulau Es untuk menghajarmu!”
Mendengar ucapan yang amat merendahkan itu, si nenek sudah menjadi marah dan mencak-mencak, akan tetapi kakek itu malah menjadi girang sekali dan dia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, sungguh baik sekali nasibku! Jadi engkau she Suma, keturunan langsung Pendekar Pulau Es? Ha-ha-ha-ha, sudah lama sekali aku ingin mendapatkan seorang wanita she Suma, dan baru sekarang agaknya akan berhasil, ha-ha-ha!” Dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke arah Suma Lian, tangan kirinya mencengkeram ke arah muka gadis itu, akan tetapi dengan kecepatan kilat tangan kanannya menyusul dengan cengkeraman ke arah dada kiri Suma Lian. Serangan ini tidak sopan, akan tetapi juga amat berbahaya karena gerakannya cepat sekali dan dari kedua telapak tangan yang mencengkeram itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahsyat!
Melihat betapa kakek yang lihai itu menyerang Suma Lian, Beng-san Siang-eng tentu saja menjadi khawatir sekali, akan tetapi mereka belum merasa perlu turun tangan karena di situ juga masih ada nenek yang mereka tahu amat lihai pula itu.
Suma Lian adalah murid terakhir dari Bu Beng Lokai di samping Pouw Li Sian yang menjadi sumoinya. Selama delapan tahun, Suma Lian dan Pouw Li Sian menerima gemblengan yang amat tekun dari Bu Beng Lokai, dan kini boleh dibilang semua inti ilmu kepandaian kakek itu telah diwariskan, tentu saja dipilih yang ampuh-ampuh saja.
Sebelum menjadi murid Bu Beng Lokai, sebagai puteri ayah ibu pendekar sakti, tentu saja sejak kecil Suma Lian telah menerima gemblengan orang tuanya, maka tentu saja ia kini telah memiliki ilmu silat yang hebat. Menghadapi serangan kakek pendek botak, ia tidak menjadi gentar atau gugup, hanya gemas karena kakek itu ternyata seorang yang benar-benar tidak sopan, begitu menyerang hendak mencengkeram buah dadanya!
Dengan gerakan amat lincah ia pun melangkah mundur mengelak sehingga kedua tangan kakek itu yang tadi mencengkeram dada dan kepala, tidak dapat menjangkaunya dan sebagai sambutan, kakinya melayang tinggi dari samping mengarah muka lawan!
Kaget juga kakek pendek itu ketika tiba-tiba gadis itu selain dapat menghindarkan cengkeramannya, juga membalas dengan tendangan yang demikian kuat dan cepatnya.
Namun, dia tidak mengelak, melainkan memutar lengan kanannya ke kanan untuk menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya dari samping. Suma Lian cepat menarik kembali kakinya, maklum bahwa lawannya amat lihai sehingga dari keadaan terserang dapat mengubah kedudukan penyerang! Dan kakek itu pun tertawa bergelak melihat gadis itu menarik kembali kakinya.
“Ha-ha-ha, kakimu kecil dan indah, harum pula!” Dia memuji dengan nada mengejek.
Tentu saja Suma Lian menjadi marah, akan tetapi gadis ini memang pandai sekali menyembunyikan perasaannya, bahkan ia pun tersenyum mengejek.
“Hemmm, tuabangka buruk dan busuk. Mukamu demikian jelek dan kotor sehingga untuk menjadi penjilat kaki pun belum cukup berharga!” Begitu melihat kakek itu terbelalak dan menjadi merah mukanya karena marah mendengar penghinaan itu, Suma Lian sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala kakek pendek itu sedangkan tangan kanannya menampar ke arah dada. Gerakannya cepat dan kuat. Pukulan ke arah ubun-ubun itu dilakukan dengan kelima jari dibentuk paruh meruncing, seperti paruh seekor burung garuda mematuk ubun-ubun yang botak itu.
Jangan dipandang ringan tangan yang berjari mungil ini karena saat itu dipenuhi tenaga Swat-im Sin-kang, yang membuat hawa yang menyambar dari tangan itu terasa dingin sekali dan kalau sampai ubun-ubun kepala itu terkena hantaman ini, tentu akan berlubang atau setidaknya tentu isinya akan terguncang hebat dan orangnya tewas. Juga tamparan ke arah dada itu bukan main-main, mengandung tenaga dahsyat sehingga sekiranya mengenai sasaran, tulang-tulang iga akan patah-patah dan jantung di dalam dada dapat copot karena guncangannya!
“Hyaaahhhhh....” Kakek itu kini terkejut dan sambil mengeluarkan seruan ini, dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Akan tetapi, gerakan Suma Lian luar biasa cepatnya, disusulnya tubuh yang berjungkir balik itu dan kini tangan kanannya menghantam pula dari atas.
Kakek itu yang baru saja berjungkir balik, tidak sempat pula untuk mengelak dan terpaksa dia pun mengangkat lengan kiri menangkis.
“Dukkk....!” Dua lengan bertemu dan akibatnya, tubuh kakek itu bergulingan sambil menggigil kedinginan!
“Swat-im Sin-jiu....!” serunya kaget.
“Hemmm, baru engkau mengenal kesaktian keluarga Pulau Es, ya? Nah, terimalah ini!” bentak Suma Lian dan dengan cepatnya ia pun menerjang terus, sekali ini tubuhnya merendah sampai hampir menelungkup dan tiba-tiba saja tubuh itu mencelat ke atas, kedua tangan mendorong dan sekali ini ia mempergunakan tenaga sakti yang diwarisi dari gurunya, yaitu Tenaga Inti Bumi! Serangan yang dilakukan dengan lebih dahulu menjatuhkan diri ke atas tanah ini sama sekali tidak terduga oleh lawan sehingga kakek itu terkejut dan tidak sempat mengelak. Dia harus menangkis lagi dan kini, maklum akan kelihaian gadis itu, dia menangkis dengan kedua tangan didorongkan sambil mengerah-kan seluruh tenaga sinkangnya.
“Desss....!” Hebat sekali pertemuan tenaga itu dan akibatnya, tubuh yang pendek itu terjengkang dan kembali bergulingan. Namun, Hok Yang Cu sudah meloncat bangun dengan cepat, mukanya agak pucat dan di tepi mulutnya nampak darah. Ternyata pertemuan tenaga sinkang melalui dua telapak tangan tadi telah mengguncangkan tubuhnya dan membuat dia terluka di sebelah dalam tubuh sehingga muntahkan darah segar. Kemarahan dan penasaran membuat kakek itu lupa diri dan dia sudah meloloskan sabuknya, sabuk kulit yang ujungnya dipasangi pisau beracun.
Dua orang kakek Gak tadinya merasa kaget, kagum dan gembira bukan main melihat betapa keponakan mereka itu mampu menandingi, bahkan membuat kakek pendek botak itu dua kali roboh bergulingan! Akan tetapi kini mereka merasa khawatir lagi melihat betapa Hok Yang Cu, melolos senjata sabuk yang mengerikan itu karena mereka dapat melihat betapa kedua batang pisau yang ujungnya menghitam itu tentulah mengandung racun. Juga mereka melihat betapa nenek Hek-sim Kui-bo kini juga memutar tongkatnya, maka mereka pun cepat saling memberi tanda dan keduanya sudah mencabut pedang dan meloncat ke depan, menghadang nenek buruk itu.
“Lian-ji, apakah engkau memerlukan pedang?” teriak Gak Jit Kong kepada keponakannya. Akan tetapi Suma Lian tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Paman, menghadapi tua bangka yang sudah mau mampus ini perlu apa menggunakan pedang? Sebaiknya kedua Paman mundur dan nonton saja, biarlah aku akan menghajar anjing tua betina dan jantan ini sampai mereka lari terbirit-birit menyembunyikan ekor di selangkangnya!”
“Bocah sombong lihat senjataku!” bentak Hok Yang Cu yang kembali menyerang penuh semangat walaupun tadinya dia sudah merasa gentar. Kini dia marah sekali dan masih belum mau melihat kenyataan, belum mau percaya bahwa dia kalah oleh gadis muda!
Juga nenek Hek-sim Kui-bo menerjang ke depan dengan tongkat hitamnya, akan tetapi dua orang kakek kembar sudah menyambutnya dengan pedang mereka. Terjadilah perkelahian mati-matian antara nenek buruk itu melawan dua orang kakek kembar yang memainkan pedang mereka dengan cepat dan saling membantu.
Serangan sabuk berujung pisau beracun itu amat berbahaya, namun dengan tenang Suma Lian menggerakkan kakinya dan ia sudah mempergunakan langkah-langkah ajaib dari Ilmu Sam-po Cin-keng yang luar biasa. Jangankan baru diserang oleh seorang yang bersenjata sabuk berpisau, bahkan dengan ilmu langkah ajaib ini, yang sudah dikuasainya dengan baik, Suma Lian akan berani memasuki barisan senjata dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahannya dan keampuhan ilmu langkah-langkah ajaib itu! Dengan mudah ia menghindarkan diri dari serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kakek pendek botak, bahkan dapat membalas dengan tamparan atau tendangan yang membuat kakek itu kadang-kadang terdesak hebat.
Pengeroyokan kedua orang kakek kembar Gak terhadap nenek itu membuat Hek-sim Kui-bo repot juga. Biarpun tingkat kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya dibandingkan masing-masing pendekar Gak itu, namun ketika mereka maju berbareng sebagai Beng-san Sian-eng, nenek itu kewalahan. Dua orang kakek kembar ini selain memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan ampuh, juga kalau maju berdua seperti satu orang berbadan dua saja. Mereka dapat bergerak otomatis saling bantu sehingga seperti seorang lawan yang berkepala dua dan bertangan kaki empat! Harus diakui bahwa biarpun mereka lebih dahulu mempelajari ilmu silat dibandingkan Suma Lian, namun pada waktu itu, tingkat kepandaian Suma Lian jauh melampaui kedua orang pamannya. Hal ini adalah karena memang bakat gadis itu jauh lebih besar, juga karena kedua orang saudara kembar ini belum menguasai inti dari ilmu-ilmu silat tinggi ayah mereka. Walaupun demikian, karena maju berdua, cukup merupakan lawan yang amat lihai dan kuat. Dengan Ilmu Pedang Pengacau Langit (Lo-thian Kiam-sut) mereka berdua dapat membendung gelombang serangan tongkat Hek-sim Kui-bo, bahkan kini dengan pedang mereka, Beng-san Siang-eng mulai mendesak nenek yang menjadi repot dan harus main mundur, gelisah sekali melihat betapa teman yang diandalkannya, si pendeta pendek itu, juga terdesak hebat oleh gadis yang amat lihai itu!
Perkelahian antara Suma Lian dan Hok Yang Cu memang berat sebelah. Tingkat kepandaian gadis itu memang jauh lebih tinggi dan wataknya yang nakal dan jenaka membuat Suma Lian sengaja mempermainkan lawan. Kalau ia menghendaki, tentu saja sejak tadi ia sudah mampu merobohkan lawan, bahkan kalau perlu membunuhnya, akan tetapi dasar gadis yang memiliki watak aneh dan kadang-kadang suka ugal-ugalan, maka ia pun lebih senang mempermainkannya!
Tiba-tiba terdengar suara kanak-kanak berseru,
“Enci Lian, hajar setan pendek itu, Enci!”
Suma Lian menengok dan ternyata Souw Hui Lian menggandeng tangan Gak Ciang Hun telah muncul di ambang pintu depan. Wanita itu tentu saja merasa khawatir mendengar suara perkelahian di luar dan sampai lama tidak ada tanda kemenangan di pihak suaminya, maka sambil menuntun tangan puteranya ia pun keluar untuk menonton.
Ketika ia melihat betapa suaminya mengeroyok nenek buruk itu, sedangkan keponakan wanita itu dengan tangkasnya dapat menandingi kakek bersabuk itu dengan tangan kosong saja, hati Hui Lian menjadi kagum dan girang bukan main. Jelas bahwa di situ tidak ada musuh lain kecuali dua orang itu. Maka ia pun cepat mencabut pedangnya dan meninggalkan puteranya di ambang pintu dan ia sendiri cepat meloncat dan membantu suami-suaminya untuk mengeroyok Hek-sim Kui-bo! Dan melihat betapa Suma Lian menandingi kakek pendek sambil berloncat cepat dan aneh dan gadis itu tersenyum-senyum mengejek, Ciang Hun menjadi gembira dan berseru kepada gadis itu untuk menghajar lawannya.
Ketika Suma Lian menengok, kesempatan ini dipergunakan oleh Hok Yang Cu untuk menyerangnya dengan hebat. Sabuknya bergerak dan sebatang pisau beracun meluncur ke arah tenggorokan gadis itu. Cepat bukan main serangan ini dan tahu-tahu pisau itu telah terbang menyambar ke arah tenggorokan Suma Lian yang berkulit halus mulus dan putih bersih! Namun, Suma Lian tahu akan hal ini. Ia teringat akan seruan Ciang Hun, maka kini tangannya menangkis, dan jari-jari tangannya yang kecil mungil itu menyentik ke arah pisau.
“Tringggg....!” Pisau itu terpental, membalik dan terdengar kakek ini berteriak kesakitan ketika pisau yang membalik itu tahu-tahu telah melukai pundaknya! Sebuah tendangan membuat tubuhnya yang tersentak kaget ini terlempar dan jatuh terbanting lalu bergulingan.
“Kui-bo…. lari....!” teriaknya dan tanpa menanti jawaban temannya lagi, dia pun terus menggelinding ke pekarangan depan dan meloncat bangun lalu melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam.
Sementara itu, Hek-sim Kui-bo yang memang sudah terdesak oleh kedua orang kakek kembar itu, menjadi semakin repot ketika Hui Lian maju membantu kedua orang suaminya. Tingkat kepandaian Hui Lian tidak banyak selisihnya dengan tingkat suaminya. Apalagi ketika ia melihat betapa temannya semakin terdesak. Pada saat Hok Yang Cu terkena pisau beracunnya sendiri, hanya beberapa detik kemudian, pedang Gak Jit Kong juga sudah melukai pangkal lengan kanannya, dan tendangan Hui Lian juga mengenai pahanya, maka ia pun terhuyung ke belakang dan mendengar seruan temannya, ia pun terus meloncat ke pekarangan dan menghilang di dalam kegelapan malam.
“Kejar mereka....!” Hui Lian berseru, siap untuk mengejar. Akan tetapi sebuah tangan yang halus menyentuh tangannya.
“Sebaliknya tidak usah, Bibi. Musuh yang sudah melarikan diri tidak perlu dikejar, apalagi dalam gelap begini. Mereka adalah orang-orang yang curang dan berbahaya. Pula, menurut kata ayah, keluarga Pulau Es tidak pernah memusuhi orang-orang golongan hitam, hanya menentang perbuatan mereka yang jahat. Kalau mereka tidak menyerang, tidak perlu dilayani.”
“Ia benar. Mari kita masuk saja,” kata Gak Jit Kong dan mereka lalu memasuki rumah dan menutup daun pintu depan dengan rapat.
“Wah, enci Lian sungguh hebat! Kakek pendek yang lihai itu dijadikan bola olehnya!” kata Ciang Hun gembira.
“Itulah hasilnya kalau belajar dengan baik dan tekun,” kata Hui Lian kepada puteranya.
“Engkau harus meniru encimu, Suma Lian, kami berterima kasih sekali karena kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan kami berempat.”
“Ah, Bibi, kita adalah orang sekeluarga sendiri, tidak perlu bersikap sungkan. Pula, kurasa dua orang penjahat tadi tidak akan mudah saja mengalahkan Bibi dan Paman berdua.”
“Sudahlah, Lian-ji, tidak perlu memuji kami. Yang jelas, kami berdua sudah ketinggalan jauh dalam ilmu silat dibandingkan denganmu dan biarlah kami akan berlatih dengan tekun. Akan tetapi, setelah urusan yang mengganggu kami ini dapat dihindarkan, sekarang engkau harus menceritakan keperluanmu datang berkunjung ini.”
Suma Lian menarik napas panjang. Memang selalu ditahannya berita yang tidak menyenangkan itu karena keluarga ini sedang menghadapi ancaman bahaya. Setelah kini bahaya itu lewat, tentu saja ia harus menceritakannya.
“Aku datang berkunjung karena diutus oleh kong-kong, Paman, Beliau minta agar Paman berdua dan sekeluarga suka datang menengok beliau karena pada waktu ini kong-kong sedang menderita sakit....“
“Ayah sakit....?” Dua orang kakek kembar itu berseru hampir berbareng.
“Lian-ji, kenapa tidak dari kemarin engkau memberi tahu kami?” Gak Jit Kong menegur dengan muka sedih.
“Ayah sakit apakah, Suma Lian?” sambung Gak Goat Kong.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar