Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 7.

Jodoh Rajawali Jilid 7.
Jodoh Rajawali Jilid - 7 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 7 Sebetutnya Kian Lee kurang setuju karena bagi seorang ahli silat seperti dia, di darat merupakan daerah yang le¬luasa dan aman baginya kalau menghadapi bahaya, tidak seperti kalau di air. Akan tetapi dia memang melihat Gubernur Hok dan Cui Lan sudah amat lelah melakukan perjalanan kaki itu, sungguhpun dara itu sama sekali tidak pernah mengeluh. Maka dia menerima usul ini dan mereka lalu membeli sebuah perahu yang cukup be¬sar, yang ada biliknya untuk berteduh, dari seorang nelayan sungai. Perjalanan dengan perahu memang mengasyikkan dan memang kakek dan gadis itu dapat melepaskan kelelahan mereka. Pula, karena per jalanan mereka menurutkan aliran air sungai, maka juga tidak perlu mendayung, hanya mengemu¬dikan perahu saja yang tidak makan ba¬nyak tenaga. Baru berlayar setengah hari saja Gubernur Hok telah mulai memancing ikan dengan alat pancing yang di belinya dari nelayan, sedang Cui Lan juga memasak air sambil bersenandung! Benar juga usul Hok-taijin, pikir Kian Lee. Biarpun perjalanan menjadi memu¬tar, keluar timur melalui propinsi atau wilayah perbatasan dengan Shan-tung, namun tidak melelahkan dan kalau sudah tiba di wilayah Ho-pei, tentu pembesar setempat akan dapat. menyediakan kereta untuk gubernur dan anak angkatnya itu. Malam itu mereka menginap di se¬buah dusun di tepi sungai dan dalam ke¬sempatan ini, Cui Lan berbelanja bahan makanan untuk dimasak di atas perahu. Kemudian, pagi-pagi sekali mereka sudah kembali di perahu mereka. Akan tetapi betapa kagetnya hati mereka ketika me¬lihat seorang kakek tua yang bertubuh kate kecil bersama tujuh orang laki-Iaki yang kelihatan gagah, kasar dan menye¬ramkan telah berdiri di dekat perahu mereka itu. Kian Lee yang seperti juga Hok¬-taijin dan Cui Lan telah menyamar, me¬makai pakaian seperti nelayan, cepat mendekati mereka dan siap sedia meng¬hadapi segala kemungkinan. Pandang matanya yang tajam dan dapat melihat bahwa kakek kate kecil ini bukan sem¬barang orang melainkan orang yang biasa mengandalkan tenaga dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka. Namun dia bersikap tenang dan pura¬-pura tidak tahu akan kedatangan mereka, lalu membantu Hok-taijin dan Cui Lan memasuki perahu dan dia sendiri mulai melepaskan tali perahu itu dari akar pohon di pantai. “Eh, sobat, apakah ini perahumu?” tiba-tiba kakek tua kecil itu bertanya. Aneh sekali, orangnya kecil akan tetapi suaranya besar dan dalam. Matanya yang kecil sipit menatap wajah Kian Lee de¬ngan tajam penuh perhatian. Kian Lee pura-pura kaget mendengar suara besar nyaring itu dan dia mene¬ngok, lalu mengangguk, “Benar, Loya (Tuan Tua).” “Kamu hendak berlayar ke mana?” tanya Si kakek, sedangkan tujuh orang laki-laki bertubuh kuat itu melirik ke dalam bilik perahu di mana Cui Lan sedang mengatur barang belanjaannya dan Hok-taijin pura-pura menggulung tali pancingnya, padahal kedua orang ini sudah berdebar penuh ketegangan karena mereka mengira bahwa delapan orang itu tentulah mata-mata dari Gubernur Ho-¬nan. “Kami hendak ke hilir....“ “Bagus! Kami delapan orang juga mempunyai keperluan untuk cepat pergi ke hilir, maka kami akan nunut perahu¬mu dan kami akan membayar mahal.” “Maaf, Loya. Kami bukan tukang perahu, kami nelayan-nelayan yang baru habis berbelanja dan....“ “Kami tahu! Akan tetapi perahumu cukup besar untuk dapat memuat kami. Apakah kamu tidak bersedia menolong kami dengan bayaran mahal?” “Hemmm, Twako, kenapa tidak dorong saja dia ke air?” Seorang di antara me¬reka yang berkumis tebal berkata marah. “Hushhh, jangan menggunakan ke¬karasan, Ang-kwi. Kita bukan di daerah sendiri!” Kakek tua itu menegur Si Ku¬mis Tebal yang disebut Setan Merah itu. “Bagaimana, sobat? Apakah kamu masih juga menolak?” Kian Lee memutar otaknya. Kalau dia menolak, jelas tentu akan terjadi ke¬ributan dengan mereka. Dia tidak takut, tetapi kalau dia merobohkan mereka, terutama kakek yang tentu lihai ini, berarti dia membuka rahasianya sebagai nelayan biasa dan hal ini akan menimbul¬kan kecurigaan. Masih baik kalau orang-¬orang ini tidak ada hubungannya dengan Gubernur Ho-nan, kalau mereka melapor, bisa celaka. “Baiklah kalau memang Loya dan Cu¬wi sekalian mempunyai keperluan pen¬ting,” akhirnya dia berkata dan menge¬dipkan matanya kepada Cui Lan dan Hok-taijin. Cui Lan lalu duduk di sudut dalam bilik itu, sebagian ditutupi oleh Hok-taijin yang diam-diam merasa kha¬watir sekali. Kakek tua itu memasuki bilik dan karena bilik itu sempit, hanya dia dan dua orang termasuk Si Kumis Tebal yang dapat ke bilik, sedangkan lima orang yang lain terpaksa duduk di luar bilik, di papan perahu. Kian Lee mengemudikan perahu ke tengah. Kalau sampai terjadi keributan, pikirnya, dan hal itu agaknya bukan tidak mungkin melihat sikap mereka dan pan¬dang mata mereka yang penuh nafsu ke arah Cui Lan, sebaiknya dia merobohkan mereka di tengah sungai, jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan oleh orang¬-orang lain. Si Kumis Tebal memang sejak tadi memandang kepada Cui Lan, secara te¬rang-terangan tidak seperti teman-teman¬nya yang lain. Kemudian dia memandang kepada Hok-taijin dan bertanya, “Orang tua, apakah dia ini anakmu?” Hok-taijin mengangguk dan bibirnya bergerak membenarkan. “Hah, cantik sekali!” “Dan dia itu mantuku,” kata pula Hok-taijin sambil menunjuk ke arah Kian Lee. Hal ini dia lakukan dengan harapan bahwa kalau mendengar anaknya telah menikah dan menjadi isteri orang lain, tentu Si Kumis Tebal itu akan merasa sungkan untuk menggoda. Akan tetapi agaknya gubernur tua ini tidak tahu de¬ngan siapa dia berhadapan! Dia berhadap¬an dengan segerombolan bajak sungai! Kakek kecil kate itu adalah seorang bajak sungai yang amat terkenal di se¬panjang Sungai Huang-ho karena dia ada¬lah Huang-ho Lo-cia yang amat ditakuti dan yang mempunyai banyak anak buah! Dia memakai julukan Lo-cia karena biar¬pun dia sudah tua, namun tubuhnya kecil seperti kanak-kanak, maka dia memakai julukan Lo-cia, tokoh dalam cerita Hong¬-sin-pong yang memang seorang manusia dewa yang bertubuh anak-anak, namun luar biasa lihainya itu. Dan tujuh orang itu adalah sebagian dari anak buahnya! Maka, Si Kumis Tebal berjuluk Setan Merah atau Ang-kwi itu menyeringai ketika Hok-taijin memperkenalkan Kian Lee. Dia memandang ke arah Kian Lee, lalu meludah di lantai perahu, “Cuihhh! Mengapa setangkai mawar yang demikian indahnya hanya diberikan kepada seorang nelayan kotor?” katanya. Tentu saja Hok¬taijin tidak berani berkata apa-apa lagi dan Cui Lan menjadi merah sekali muka¬nya merah saking marahnya mendengar penghinaan yang dilontarkan orang kasar itu kepada Kian Lee. Tentu Kian Lee juga mendengar ini akan tetapi pe¬muda itu pura-pura tidak mendengar apa-¬apa. Melihat betapa Kian Lee tetap me¬ngemudikan perahu dan mukanya tidak memperlihatkan suatu perasaan apa pun, diam-diam Cui Lan menjadi makin kagum kepada pemuda ini, juga kasihan. Pemuda itu adalah pelindungnya pada saat itu, juga pelindung Gubernur Ho-pei, maka boleh dibilang jiwa raganya dan jiwa raga ayah angkatnya itu berada di ta¬ngan Kian Lee. Kini pemuda itu sudah mengalami penghinaan luar biasa karena dia. Dia maklum bahwa kalau tidak karena dia, penghinaan semacam itu yang dilontarkan oleh seorang kasar seperti itu, tentu tidak akan didiamkan saja oleh pendekar sakti ini. Cui Lan lalu menuangkan secangkir teh dan keluar dari bilik menghampiri Kian Lee dengan cangkir air teh di ta¬ngan. “Minumlah....“ katanya halus sambil menyodorkan cangkir teh itu. Kian Lee tersenyum, menerima cang¬kir teh dan meminumnya. Tanpa meng¬gerakkan bibir, terdengar dia berkata lirih sekali, hanya untuk telinga Cui Lan, “Tenanglah dan jangan takut selama aku berada di sini.” Tiba-tiba Si Kumis Tebal bangkit berdiri dah dengan langkah gagah dia menghampiri Cui Lan yang masih berdiri di dekat Kien Lee. Mukanya yang merah itu seperti muka orang mabuk dan agak¬nya muka inilah yang membuat dia di¬juluki Ang-kwi (Setan Merah) dan agak¬nya dia merupakan pembantu yang penting juga dari Huang-ho Lu-cia karena di antara tujuh orang pengikut kakek pendek kecil itu, dialah yang nampaknya pa¬ling berani. “Eh, Manis, kami juga minta secang¬kir teh! Tidak patut kalau fihak tuan rumah minum sendiri sedangkan tamu-¬tamu tidak disuguhi. Harganya berapa akan kami bayar, dan kalau dijual dengan orangnya sekalipun akan kubayar tunai, Manis! Heh-heh!” Teman-temannya ter¬tawa mendengar ini dan sikap teman¬-temannya ini membuat Si Kumis Tebal makin berani. “Berapa harga secangkir tehmu, Ma¬nis? Berapa harga sebuah ciuman di mu¬lutmu itu? Dan berapa harga semalam? Ha-ha-ha!” “Sobat, harap jangan mengganggu dia!” Kian Lee berkata dan Cui Lan makin mepet kepada Kian Lee untuk minta perlindungan. “Siapa menggoda siapa!” Si Kumis Tebal mengejek dan tangannya yang be¬sar dan lengannya yang panjang bergerak, jari-jari tangannya dengan kurang ajar hendak mencubit pinggul Cui Lan. Dara ini menjerit dan Kian Lee menggerakkan tangan, tidak tampak oleh orang di situ saking cepatnya dan tahu-tahu Si Kumis Tebal berteriak dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu. “Byuuuuurrrrr....!” Air mucrat tinggi dan Si Kumis Tebal gelagapan, akan tetapi sebagai seorang bajak sungai tentu saja dia pandai renang dan cepat dia telah menguasai diri, memegang pinggir¬an perahu. “He, kenapa Si Ang-kwi....?” Orang-¬orang berteriak. “Keparat, kau berani pukul aku?” teriak Ang-kwi yang sudah merangkak naik ke dalam perahu. “Siapa yang pukul?” Kian Lee ber¬tanya, tersenyum. “Kau berdiri tidak benar, terpeleset dan jatuh sendiri bilang suamiku yang pukul. Tak tahu malu!” Cui Lan juga berkata. Teman-teman Ang-kwi tertawa, akan tetapi Ang-kwi masih marah dan me¬lompat tinggi hendak menghajar Kian Lee. Akan tetapi pada saat itu terdengar kakek kecil itu berseru, “Jangan ribut! Lihat di depan itu!” Tujuh orang anak buahnya memandang ke depan dan melihat tiga buah perahu meluncur dari samping menghadang me¬reka, akan tetapi masing-masing perahu hanya didayung oleh seorang laki-laki. Melihat perahu-perahu itu dan pendayung tunggalnya, tiba-tiba tujuh orang itu ber¬sorak. Mereka mengenal perahu-perahu mereka itu. “Ha, itu perahu kita sendiri!” “Lebih enak daripada perahu sempit ini!” “Kita pindah saja!” “Akan tetapi wanita itu baik kita bawa saja!” kata Ang-kwai. Hok-taijin yang sudah mempelajari cara mengemudikan perahu dari Kian Lee, atas isyarat Kian Lee cepat pergi mendekati pemuda itu, menggantikan Kian Lee memegang kemudi perahu sedangkan Kian Lee sendiri lalu memberi isyarat kepada Cui Lan agar dara ini memasuki bilik yang sudah kosong karena semua orang itu telah keluar dari bilik dan berdiri di kepala perahu. Setelah Cui Lan memasuki bilik, Kian Lee duduk di depan bilik menjaga! Setelah tiga buah perahu itu ber¬dekatan, mereka berloncatan ke atas perahu-perahu itu. Akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika dari dalam bilik-bilik tiga buah perahu itu bermun¬culan wanita-wanita cantik yang me¬nyambut mereka dengan pedang di ta¬ngan! “Heiii....“ “Celaka....!” “Kita terjebak!” “Lawan mereka! Mereka itu adalah orang-orang Hek-eng-pang!” teriak Huang¬-ho Lo-cia dan dia sendiri lalu meloncat ke sebuah di antara tiga perahu itu un¬tuk menghadapi pimpinan wanita-wanita Hek-eng-pang itu yang bersenjata siang¬-kiam (sepasang pedang). Kakek ini sudah melolos joan-pian dari pinggangnya, de¬ngan senjata ini dia menerjang wanita itu yang menyambut dengan siang-kiam¬nya. Kiranya mereka itu memang benar adalah orang-orang Hek-eng-pang, dan wanita yang memegang siang-kiam itu bukan lain adalah Kim-hi Nio-cu, kepala dari Pasukan Air. Tiga buah perahu itu adalah perahu-perahu milik bajak sungai anak buah Huang-ho Lo-cia yang mereka rampas. Hal ini merupakan pembalasan mereka karena beberapa hari yang lalu dua orang anggauta Hek-eng-pang men¬jadi korban pembajakan anak buah Huang¬-ho Lo-cia, bahkan mereka itu selain dirampas senjata dan barang-barangnya, juga telah diperkosa oleh beberapa orang anak buah Huang-ho Lo-cia. Karena itu, kini mereka datang untuk membikin pem¬balasan, merampas perahu, membunuh beberapa orang bajak, memaksa tiga orang bajak mendayung perahu mereka dan mereka menghadang kedatangan Huang-ho Lo-cia dan tujuh orang pem¬bantunya! Setiap perahu itu ternyata ditumpangi oleh lima orang wanita Hek-eng-pang dan karena wanita-wanita itu juga memiliki kepandaian lumayan, maka untuk meng¬hadapi setiap orang bajak cukup dilayani oleh seorang di antara mereka, sedang¬kan yang lain-lain lalu menyerbu dan berloncatan ke perahu Kian Lee! Melihat Kia Lee duduk di depan bilik perahu, mereka lalu menyerang, akan tetapi be¬tapa kaget hati mereka ketika dorongan¬dorongan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga angin dorongannya saja sudah membuat dua orang di antara me¬reka terlempar ke dalam air! Sementara itu, pertandingan berlang¬sung dengan seru dan ternyata bahwa para anggauta bajak itu tidak kuat me¬nahan gerakan lawan mereka yang semua terdiri dari wanita-wanita itu. Seorang demi seorang terlempar ke sungai dan mereka tidak mampu mengganggu perahu¬perahu itu karena lawan mereka juga mengejar dengan terjun ke air dan me¬nyerang mereka. Kiranya, permainan di air dari wanita-wanita itu pun hebat, tidak kalah oleh para anggauta bajak! Hal ini tidaklah mengherankan karena mereka itu adalah anggauta-anggauta Hek-eng-pang bagian Pasukan Air yang tentu saja terlatih baik untuk berkelahi di air! Kini hanya tinggal kakek kecil tua itulah yang masih melawan. Kim-hi Nio¬cu harus mengakui keunggulan kakek ini dan biarpun tadi dia dibantu oleh empat orang anggautanya, namun empat orang itu terpaksa mundur dan terluka karena senjata joan-pian di tangan kakek itu hebat juga. Gerakannya cepat dan joan-¬pian yang merupakan senjata lemas (ru¬yung lemas) itu menyambar-nyambar seperti ular. Kim-hi Nio-cu terus ter¬desak hebat, bahkan pahanya telah kena dilecut ujung joan-pian sehingga celana¬nya robek dan kulit pahanya yang putih terluka mengeluarkan darah. “Pangcu.... harap bantu....!” Akhirnya Kim-hi Nio-cu menjerit dan tersingkap¬lah tirai di perahu itu dan sebuah kepala seorang wanita berusia lima puluh tahun akan tetapi cantik tampak. Kim-hi Nio¬cu melompat ke belakang dan dengan sikap tenang nenek cantik itu keluar dari bilik perahu, tangan kirinya memegang sebatang ranting yang-liu yang masih hijau segar, masih ada daun-daunnya yang kecil runcing. “Ehm, agaknya Huang-ho Lo-cia sendiri yang muncul!” tanya nenek itu sam¬bil memandang dan menggerak-gerakkan ranting itu di depan mukanya yang masih cantik. Sementara itu melihat betapa anak buahnya telah terlempar ke air dan kini masih dikejar oleh wanita-wanita itu, Huang-ho Lo-cia menjadi marah. Dia memandang nenek itu dan biarpun belum pernah melihat wajahnya, namun dia menduga bahwa tentu nenek itulah yang terkenal sebagai ketua Hek-eng-pang dan dia membentak. “Dan engkau tentu Hek-eng-pangcu?” Nenek itu tersenyum mengejek dan mengangguk. “Engkau memang berhadap¬an dengan Yang-liu Nio-nio!” katanya dan kembali ranting yang-liu (semacam ce¬mara) itu dipakai membelai mukanya. “Hek-eng-pangcu! Apa sebabnya eng¬kau dan anak buahmu yang berada di Gunung Cemara, yang tidak pernah ada urusan dengan kami, hari ini merampas perahu dan menyerang kami? Apakah kalian tidak mengenal lagi sopan santun dan setia kawan antar golongan kang¬ouw dan liok-lim?” “Bajak tua, kau masih belum menya¬dari dosa sendiri? Anak buahmu meng¬andalkan banyak orang telah mengeroyok dua orang anak buahku, tidak hanya me¬rampas barang milik mereka akan tetapi juga telah memperkosanya dan menghina mereka! Untuk itu, dalam sehari harus ada dua nyawa anak buahmu yang me¬nebusnya. Sudah lewat empat hari, maka kami telah mencabut nyawa delapan anak buahmu dan merampas perahu. Kebetulan sekarang kita berhadapan, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun kepadaku, mengangguk-angguk tiga belas kali baru aku mau mengampuni nyawa tikusmu!” Bukan main marahnya kakek kecil itu. Dia memang sudah mendengar akan per¬buatan anak buahnya itu dan dia sudah menghukum anak buahnya yang bersang¬kutan, yang dianggap melakukan per¬buatan lancang, berani mengganggu ang¬gauta Hek-eng-pang yang berarti meng¬ganggu orang segolongan dan mencari permusuhan. Akan tetapi, dua orang wa¬nita Hek-eng-pang masih menghinanya dan menuntut agar dia berlutut dan min¬ta ampun. Ini benar-benar merupakan penghinaan yang luar biasa. “Hek-eng-pangcu, sungguh engkau keterlaluan!” bentaknya dan joan-pian di tangannya sudah bergerak cepat, menge¬luarkan bunyi meledak dan menyambar ke arah kepala nenek itu. “Plak-tak-tak-takkk!” Joan-pian itu tiga kali terpental oleh tangkisan ranting cemara yang kecil itu! Huang-ho Lo¬cia terkejut bukan main. Hanya sebatang ranting kecil lemas, namun telah dapat membuat joan-pian di tangannya ter¬pental! Akan tetapi karena sudah ter¬sudut, dia berlaku nekat dan sambil me¬ngeluarkan suara bentakan nyaring dia menubruk, mengirim serangan yang dah¬syat. “Trak-trak-desssss....!” Cepat sekali gerakan ranting yang¬-liu di tangan nenek itu setelah menang¬kis dua kali, tangan kanannya menghan¬tam dengan jari terbuka dan tepat me¬ngenai dada kakek kate itu sehingga kakek ketua bajak itu terjengkang di atas papan perahu. Dia merasa dadanya panas sekali dan dari mulutnya tampak darah segar mengalir melalui pinggir bibirnya. “Hemmm, kami sudah membunuh de¬lapan orang-orangmu, itu sudah cukup dan tepat untuk waktu empat hari. Em¬pat kali dua nyawa, karena itu kami tidak membunuhmu, hanya memberi pe¬lajaran agar kelak kalian tidak lancang berani mengganggu Hek-eng-pang. Nah, pergilah!” Kaki nenek itu menendang dan tubuh kakek kate itu terlempar ke air! Para anggauta Hek-eng-pang yang kini sudah naik ke perahu setelah menghajar babak-belur tujuh orang pembantu Huang¬ho Lo-cia, kini tertawa terkekeh-kekeh, mentertawakan kakek itu yang dengan susah payah karena terluka, berenang ke tepi menyusul anak buahnya. “Pangcu, di perahu itu terdapat se¬orang yang telah merobohkan banyak teman kita,”' Kim-hi Nio-cu berkata sam¬bil menuding ke arah perahu Kian Lee yang kini sudah dikepung atau dihadang oleh tiga orang perahu itu. Tadi Kim¬hi Nio-cu sendiri sudah meloncat ke perahu itu, akan tetapi ketika dia me¬nyerang Kian Lee dengan pedangnya, pemuda itu menangkis dengan dayung perahu dan sekali tangkis saja Kim-hi Nio-cu terkejut dan jerih, maka begitu melihat ketuanya yang juga menjadi gu¬runya itu telah mengalahkan kepala ba¬jak, dia lalu melaporkan kepada nenek yang lihai itu. “Ehhh....?” Si nenek berseru dengan alis berkerut, kemudian kedua kakinya yang kecil mengenjot tubuhnya dan men¬celatlah tubuhnya itu ke atas perahu Kian Lee. Ketika kedua kakinya turun ke atas papan perahu, sedikit pun tidak terjadi guncangan sehingga pemuda Pulau Es ini maklum bahwa nenek itu memang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian para bajak dan para wanita Hek-eng¬pang yang tadi menyerbu ke perahunya. Maka dia bersikap waspada dan cepat bangkit berdiri ketika melihat nenek itu berdiri di perahunya, namun sikapnya tetap tenang. Ketika nenek itu melihat bahwa yang berada di perahu itu hanya seorang ka¬kek nelayan, seorang nelayan muda dan seorang wanita yang kelihatan ketakutan dan bersembunyi di dalam bilik perahu, hanya si nelayan muda yang berdiri meng¬hadapinya dengan sikap bodoh dan te¬nang, dia maklum bahwa mereka ini bukanlah anggauta bajak dan bahwa mung¬kin tadi perahu mereka ini dipakai oleh para bajak dan mereka dipaksa oleh Huang-ho Lo-cia, Maka dia memandang rendah. “Nelayan, apakah ini perahumu?” ta¬nyanya dengan suara bernada halus kare¬na melihat bahwa tiga orang itu adalah orang-orang biasa saja. “Benar,” jawab Kian Lee dan si nenek mulai merasa tidak senang akan sikap Kian Lee yang dianggapnya terlalu te¬nang dan terlalu berani, tidak lekas-lekas berlutut minta ampun kepadanya. “Kami bukan perampok atau bajak,” kata si nenek lagi, “Harap kau jangan khawatir. Akan tetapi kami memerlukan perahumu ini karena perahu kami yang tiga buah itu terlalu kecil. Mari antarkan kami sampai ke kaki Gunung Cemara, dan kami akan memberi upah selayaknya.” Kian Lee maklum bahwa biarpun me¬reka ini bukan bajak, namun dibandingkan dengan para bajak tadi mereka ini mung¬kin lebih berbahaya lagi! Maka dia meng¬geleng kepala dan berkata, “Satu kali saja kami membawa orang-orang tadi dan kami menemui kesukaran. Tidak, kami mau melanjutkan perjalanan kami sendiri, harap kalian tidak mengganggu kami.” Nenek itu memandang dan matanya berkilat. Belum pernah dia dibantah orang, apalagi yang membantahnya hanya seorang nelayan biasa saja! Akan tetapi untuk langsung turun tangan terhadap seorang nelayan juga dia merasa enggan dan hal itu amat merendahkan dirinya. “Jangan banyak membantah, orang muda. Aku melihat engkau seorang nela¬yan yang masih muda dan baik. Kalau kau tidak mau mengantarkan kami, ter¬paksa aku akan memaksa kalian bertiga meninggalkan perahu ini sekarang juga seperti yang telah dilakukan oleh para bajak tadi. Nah, pikir baik-baik. Bukan¬kan lebih baik mengantarkan kami dan menerima upah selayaknya?” Akan tetapi Kian Lee, seorang pen¬dekar yang tidak biasa mengalah dan merendahkan diri terhadap siapapun juga, yang tidak pernah merasa takut, saat itu lupa bahwa dia harus mengalah demi keselamatan Cui Lan dan Gubernur Hok. Dia merasa betapa dia dipandang rendah sekali, maka dia tetap menggeleng ke¬pala. Nenek itu mulai penasaran. “Kau tetap membantah? Kalau begitu, biarlah kau terjun ke air dan biar nelayan tua itu yang mengantar kami!” Sambil ber¬kata demikian tangannya bergerak men¬dorong ke arah Kian Lee. Tentu saja dia tidak menggunakan tenaga terlalu keras karena bukan maksudnya untuk melukai seorang nelayan, hanya untuk menakut-¬nakutinya saja. Kalau nelayan itu sudah terlempar ke air, tentu akan tobat dan akan suka mengantarkannya. “Plak!” Kian Lee menangkis dan ne¬nek itu terkejut bukan main. Tangkisan itu membuat lengannya bergetar! Mak¬lumlah dia mengapa tadi Kim-hi Nio¬cu melaporkan bahwa nelayan ini sudah merobohkan beberapa orang anak buah¬nya. Kiranya ada “isinya” juga pemuda ini, pikirnya. Akan tetapi tetap saja dia memandang rendah dan mengira bahwa pemuda itu hanya seorang nelayan yang pernah memperoleh bimbingan seorang ahli silat maka mempunyai sedikit ke¬mampuan. “Berani kamu melawanku? Nah, teri¬malah ini!” Sekarang dia menyerang de¬ngan tangan kanannya, mendorong ke arah dada Kian Lee, akan tetapi juga hanya mengerahkan separuh tenaganya saja karena dia tetap belum berniat membunuhnya. Kian Lee melihat serang¬an ini dan dia pun mendorongkan tangan¬nya memapaki. “Desss....! Eihhhhh....!” Hek-eng-¬pangcu yang berjuluk Yang-liu Nio-nio itu menjerit kaget ketika dia terhuyung ke belakang dan hanya dengan berjungkir¬-balik saja dia mampu menghindarkan tu¬buhnya terjengkang. Matanya terbelalak dan kemudian menyipit ketika dia memandang kepada Kian Lee penuh perhati¬an. Mukanya menjadi merah sekali, me¬rah karena malu dan marah. Dia yang terkenal sekali dan ditakuti banyak orang kang-ouw, yang tadi dengan amat mu¬dahnya membuat kepala bajak Huang¬ho Lo-cia yang tersohor itu roboh dalam satu gebrakan saja, kini dibuat terhuyung oleh seorang nelayan muda! Dengan suara mendesis seperti seekor ular marah, nenek itu lalu membentak, “Bocah, kau sudah bosan hidup!” Kini dia menyerang benar-benar! Ranting yang-liu di tangannya, yang amat ampuh dan yang membuat dia dijuluki Yang-liu Nio-nio kini bergerak, berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah kepala Kian Lee. Pemuda itu maklum bahwa biarpun hanya merupakan sebatang ranting yang-liu namun kalau digerakkan dengan pengerahan sinkang yang kuat dapat menjadi senjata yang ampuh, cepat mengelak. Lima kali berturut-turut sinar hijau itu menyambar-nyambar ke arah kepalanya dan selalu dapat dielakkan dengan baik oleh Kian Lee. Tiba-tiba tangan kanan nenek itu memukul dadanya dari depan, sekali ini dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena dia kini benar-¬benar ingin membunuh pemuda yang te¬lah membikin malu padanya, membuatnya terhuyung tadi. Kian Lee juga memapaki¬nya dengan tangan kiri, mengerahkan sinkang Swat-im Sin-kang yang amat dahsyat itu, tentu saja dengan mengen¬dalikan tenaganya karena dia pun tidak ingin membunuh orang. “Desssss....!” Kini tubuh nenek itu benar-benar terjengkang di atas papan perahu dan dengan mata terbelalak mu¬lutnya mendesis-desis dan tubuhnya menggigil karena dia diserang hawa dingin yang menusuk tulang. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Yang-liu Nio-nio. Dia memandang ke arah Kian Lee de¬ngan mata terbelalak. “Sssss.... siapa engkau....?” tanyanya karena kini dia sadar bahwa nelayan muda itu benar-benar seorang yang amat hebat kepandaiannya, dan dia terheran-¬heran mengapa orang sehebat ini datang bersama kawanan bajak tadi. Dia kha¬watir sekali kalau-kalau pemuda ini ka¬wan dari bajak-bajak tadi dan tentu akan membalas dendam. “Aku? Aku adalah seorang nelayan, engkau sudah mengetahuinya, Toanio,” katanya. Tiba-tiba Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan tangannya dan Kim-hi Nio-cu mengeluarkan suara melengking. Itulah isyarat untuk anak buahnya dan dengan pimpinan dia sendiri, Kim-hi Nio¬cu dan anak buah atau pasukannya itu meloncat terjun ke air. Kian Lee ter¬kejut ketika merasa betapa perahu yang ditumpangi itu bergerak-gerak dan Cui Lan menjerit ngeri. “Heh-heh-heh, orang muda yang aneh!” Hek-eng-pangcu berkata. “Bagaimana sekarang, apakah engkau masih hendak berkeras, dan tidak mau menyerah? Kalau begitu, kami akan menenggelamkan pera¬humu!” Nenek itu meloncat ke perahunya sendiri. “Tahan!” Kian Lee terpaksa berseru. Dia sendiri tidak takut menghadapi me¬reka di air sekali pun. Akan tetapi Cui Lan dan Gubernur Hok tentu akan celaka karena mereka tidak pandai renang. Pula, kalau dia melindungi mereka berdua di air sambil menghadapi pengeroyokan orang-orang Hek-eng-pang itu, rasanya berat. juga dan amat membahayakan ke¬selamatan Cui Lan dan Hok-taijin. “Baik¬lah, aku menyerah.” “Suruh nelayan tua dan nona itu pin¬dah ke perahu sini dulu!” Nenek yang cerdik itu membentak. Dia memang da¬pat menduga bahwa pemuda hebat itu hanya mau menyerah karena mengkhawa¬tirkan keselamatan dara muda dan kakek yang kelihatan lemah itu. Kian Lee terpaksa mengangguk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin karena di atas sungai itu tidak ada lain jalan. Ha¬nya menyerah sajalah yang paling aman. Mereka itu tentu tidak akan mengganggu Cui Lan dan Hok-taijin selama dia tidak melawan, karena yang mereka butuhkan hanya perahu itu saja. Cui Lan dan Hok¬taijin lalu meninggalkan perahu itu dan pindah ke perahu si nenek. Betapapun juga, Cui Lan bersikap tenang karena yang menawannya adalah wanita-wanita, bukan laki-laki kasar seperti para bajak tadi. Empat orang anggauta Hek-eng¬pang, dipimpin oleh Kim-hi Nio-cu sen¬diri lalu berlompatan ke atas perahu Kian Lee setelah melihat bahwa dua orang kawan pemuda itu berpindah pe¬rahu. “Mari berangkat!” Nenek itu berseru dan bergeraklah empat buah perahu itu meluncur ke depan dengan cepatnya. Kim-hi Nio-cu mendekati Kian Lee yang memegang kemudi perahu. Sambil tersenyum manis kepala Pasukan Air yang cantik itu menatap wajah Kian Lee dengan penuh kagum. Seorang nelayan muda yang demikian tampan dan gagah, memiliki kepandaian hebat sehingga mam¬pu menandingi ketua atau gurunya, benar-¬benar sukar ditemukan di dunia ini! Me¬lihat wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang berpakaian serba hitam yang pakaiannya basah kuyup sehingga pakaian itu melekat di tubuhnya memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh yang sedang masak-masaknya, Kian Lee mengalihkan pandang matanya, tidak mau melihat bentuk tubuh yang agaknya sengaja di¬pamerkan padanya itu. Melihat ini, Kim¬hi Nio-cu tersenyum lebar, kemudian terkekeh geli karena dia menganggap sikap Kian Lee itu sikap seorang muda yang masih hijau dan yang malu-malu. Padahal pemuda itu sudah mempunyai isteri! Kemudian dia teringat bahwa isteri pemuda itu berada di perahu lain maka dia menganggap bahwa sikap Kian Lee itu tentu karena marah dan khawatir akan nasib isterinya. “Jangan kau khawatir, asal engkau tidak membangkang perintah Pangcu, isterimu itu tentu tidak akan diganggu.” “Isteri? Dia bukan isteriku,” jawab Kian Lee. Karena Cui Lan tidak ter¬ancam seperti ketika para bajak laut tadi hendak kurang ajar, maka dia tidak perlu lagi mengaku sebagai suami dara itu, pikirnya. “Ahhh....!” Kim-hi Nio-cu berseru kaget dan girang. Jadi pemuda ini benar-¬benar masih perjaka, pikirnya kagum. “Dan kakek itu?” Kian Lee teringat bahwa dua orang itu, terutama Hok-taijin, harus menyem¬bunyikan keadaan dirinya, maka dia men¬jawab cepat, “Dia adalah sahabatku, dan gadis itu puterinya. Kami sedang mencari ikan ketika bajak-bajak itu memaksa kami membawa mereka sampai bertemu dengan kalian.” “Dan kau begitu gagah dan berkepan¬daian tinggi....!” Kian Lee tersenyum mengejek. “Dan tidak berdaya karena kecurangan kalian!” Kim-hi Nio-cu tertawa kecil dan me¬nutupi mulut dengan gaya genit. “Kami golongan wanita, selain menggunakan ilmu silat juga harus menggunakan akal dan siasat menghadapi kaum pria. Hi¬hik. Eh, pemuda yang lihai, siapakah namamu?” “Tidak perlu mengenal namaku, ku¬beritahu pun kau takkan mengenalku.” “Wah-wah, tanpa nama bagaimana dapat menyebut dan memanggilmu?” Kim-hi Nio-cu tertawa genit karena dia makin tertarik kepada pemuda yang aneh ini. “Nemmm, sebut saja aku Nelayan” kata Kian Lee yang memang tidak ingin memperkenalkan namanya sembarangan saja. “Eh, Nelayan Muda, ya, kusebut kau Nelayan Muda, yang tampan dan gagah!” Kian Lee merasa jemu dan membuang muka, selanjutnya tidak melayani lagi semua kata-kata Kim-hi Nio-cu yang jelas amat tertarik kepadanya. Pelayaran itu makan waktu lama juga, sampai sehari semalam barulah si nenek memerintahkan semua perahu ke pinggir. Selama itu, Kian Lee, Cui Lan dan Hok-taijin tidak mendapat gangguan, dan diajak makan bersama dengan baik, hanya Kian Lee yang selalu diganggu oleh rayuan Kim-hi Nio-cu yang sama sekali tidak dilayaninya dan karena wa¬nita itu maklum akan kelihaian pemuda itu maka dia pun tidak berani meng¬gunakan paksaan. Semua orang mendarat dan beberapa orang anggauta Hek-eng-pang yang di¬pimpin oleh Kim-hi Nio-cu menodongkan pedang mereka ke punggung Cui Lan dan Hok-taijin. Karena ini maka Kian Lee tidak berdaya sama sekali dan dia pun ikut mendarat, akan tetapi dia tetap bersikap tenang. Nenek itu kini meng¬hadapinya, memandang dengan penuh perhatian, kemudian berkata, “orang muda, kami merasa kagum sekali padamu dan kami mengundangmu untuk datang berkunjung ke markas kami di puncak Bukit Cemara.” Setelah berkata demi¬kian, nenek itu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada anak buah¬nya untuk berangkat. “Tapi, Pangcu....!” Kian Lee mem¬bantah. Kim-hi Nio-cu mendorong Cui Lan dan Hok-taijin ke depan dan dari jauh dia berkata kepada Kian Lee, “Nelayan Muda, tidak ada yang boleh membantah kehendak Pangcu, apalagi beliau meng¬undangmu dengan baik-baik sebagai se¬rcang tamu. Jangan sampai kami ter¬paksa harus menggunakan kekerasan ter¬hadap dua orang kawanmu ini.” Karena Cui Lan dan Hok-taijin di todong, maka terpaksa. Kian Lee meng¬angguk dan mengikuti perjalanan mereka. Dia maklum bahwa selama dia tidak membantah, tentu dua orang itu selamat dan karena permintaan mereka itu pun bukan hal yang tidak patut, melainkan mengundangnya datang berkunjung, dia pun tidak keberatan. Pula, dia pun ingin mengenal markas perkumpulan yang se¬mua anggautanya terdiri dari wanita¬wanita yang memiliki kepandaian luma¬yan ini. Belum jauh mereka berjalan, baru tiba di kaki bukit, mereka telah disam¬but oleh serombongan wanita yang di¬pimpin oleh seorang wanita muda ber¬pakaian serba hitam seperti Kim-hi Nio¬cu, mukanya putih dan manis dan rom¬bongan ini segera memberi hormat ke¬pada Hek-eng-pangcu dengan hormat. Kiranya mereka itu adalah Pasukan Ta¬nah yang dipimpin oleh Liong-li. Tiba di lereng bukit, mereka disambut oleh Pa¬sukan Kayu dan Kian Lee merasa makin kagum. Kiranya perkumpulan Hek-eng¬pang itu sungguhpun merupakan perkum¬pulan kaum wanita, namun mempunyai disiplin yang baik dan semua anggautanya kelihatan gagah dan patuh kepada pim¬pinan mereka. Setelah mereka tiba di puncak di mana terdapat markas perkumpulan itu yang merupakan sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok seperti benteng dan mereka memasuki pintu gerbang, Kian Lee menjura ke arah nenek itu dan berkata, “Saya kira cukup sampai di sini saja dan harap Pangcu suka membiarkan kami bertiga kembali ke perahu kami.” Hek-eng-pangcu yang tadi merasakan kelihaian pemuda itu sudah merasa ter¬tarik dan ingin sekali dia mendapatkan seorang pembantu selihai itu, maka mendengar ucapan itu dia menjawab dengan suara dingin. “Kami bermaksud baik, hen¬dak menjamu Sicu sebagai seorang tamu yang terhormat. Bawa mereka ke da¬lam!” perintahnya kepada Kim-hi Nio¬cu yang segera menggiring Cui Lan dan Hok-taijin ke dalam di bawah todongan pedangnya. Cui Lan menoleh dan meman¬dang ke arah Kian Lee dengan alis ber¬kerut dan melihat pemuda itu seperti orang marah, dia khawatir kalau-kalau pemuda itu menjadi marah dan meng¬amuk, maka dia cepat menggelengkan kepalanya dan tersenyum menenangkan hati Kian Lee. Kian Lee menarik napas panjang dan diam-diam dia memuji Cui Lan yang dalam segala hal selalu bersikap tenang dan tidak putus harapan, sama sekali tidak kelihatan khawatir. Setelah dua orang itu “disimpan” ne¬nek itu sendiri lalu mempersilakan Kian Lee memasuki ruangan luas di sebuah gedung pusat di mana akan diadakan pesta untuk merayakan kemenangan me¬reka yang berhasil membalas penghinaan yang ditimpakan kepada dua orang ang¬gauta mereka. Kian Lee dipersilakan duduk di meja nenek itu sendiri dan tak lama kemudian hidangan-hidangan pun dikeluarkan. “Saya harap Pangcu tidak melupakan dua orang kawan saya, karena kalau mereka itu sengsara, bagaimanapun saya tidak suka makan minum, kata Kian Lee. “Hemmm, Sicu benar-benar seorang gagah perkasa yang tahu akan setia ka¬wan. Sungguh aku merasa kagum sekali. Jangan Sicu khawatir, dua orang kawan¬mu itu tidak akan mengalami suatu ke¬sengsaraan apa pun dan mereka saat ini juga dijamu seperti Sicu, hanya tempatnya yang berbeda. Mari minum untuk persahabatan kita, Sicu.” Tiba-tiba seorang anggauta Hek-eng¬pang datang melapor bahwa di luar da¬tang seorang tamu yang hendak bertemu dengan pangcu. “Siapa dia? Liong-li, kaulihat siapa dia dan apa niatnya!” . Liong-li, kepala Pasukan Tanah yang hadir dalam pesta itu bersama empat orang kepala pasukan lainnya, cepat bangkit dan berjalan cepat keluar ber¬sama anggauta yang melaporkan itu dan tak lama kemudian dengan wajah berubah lalu mendekati nenek itu dan berbisik, “Pangcu, dia.... dia itu yang datang.... Si Jari Maut“ “Ahhh....? Persilakan dia masuk!” katanya dengan wajah berubah. Dia da¬hulu telah mendengar laporan Kim-hi Nio-cu dan Liong-li tentang seorang pemudai lihai bukan main yang memesan kepada wanita itu agar mengatakan kepada ketuanya bahwa dia akan datang berkunjung dan kalau si ketua bertanya disuruh mengatakan bahwa dia adalah seorang yang biasa membunuh dengan jari tangan! Hek-eng-pangcu sudah mendengar bahwa orang muda selihai itu yang biasa membunuh dengan jari tangan tentulah Si Jari Maut yang beberapa tahun yang lalu namanya menggetarkan dunia kang-ouw. Kini ternyata pemuda itu be¬nar-benar muncul! Padahal tadinya, diam¬-diam di dalam hatinya timbul dugaan bahwa pemuda nelayan itulah Si Jari Maut karena menurut berita, Si Jari Maut itu yang memiliki kesaktian hebat adalah seorang pemuda yang tampan. Sekarang kiranya bukan pemuda yang duduk di depannya ini. “Aku sudah di sini, Pangcu!” Tiba¬-tiba terdengar suara tenang, dingin dan tegas. Kian Lee terkejut bukan main ketika dia menoleh dan melihat bahwa orang yang masuk itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! “Saudara Ang...., kau di sini....?” Tentu saja Kian Lee menegur dengan ragu-ragu dan heran karena sepanjang pengetahuannya, Ang Tek Hoat telah menjadi panglima di Bhutan, bahkan te¬lah menjadi calon suami Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi mengapa kini tiba¬-tiba berada di tempat ini dan mengaku lagi julukannya yang telah lama diting¬galkannya itu, julukan ketika Si Jari Maut ini masih menggunakan nama Gak Bun Beng, suhengnya, ketika pemuda ini memburuk-burukkan nama Gak Bun Beng dengan segala macam kejahatan karena menganggap Gak Bun Beng seorang mu¬suh besarnya? Dalam cerita Kisah Se¬pasang Rajawali diceritakan dengan jelas tentang peristiwa itu. Pemuda itu memang Ang Tek Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian de¬pan, dia pernah bertemu dengan Kim¬hi Nio-cu dan Liong-li ketika dia me¬nolong dua orang putera Jenderal Kao Liang yang terancam keselamatannya oleh dua orang dari Huang-ho Kui-liong¬pang, kemudian dia mengatakan kepada dua orang kepala pasukan Hek-eng-pang itu bahwa dia akan mengunjungi ketua mereka. Ketika dia memandang kepada pemuda yang menyebutnya pada she-nya itu segera dia mengenal putera Pulau Es itu, putera Majikan Pulau Es! Bahkan dia pun tahu bahwa Suma Kian Lee ini ter¬hitung masih paman tirinya sendiri. Suma Kian Lee adalah putera dari neneknya, Lulu dan Suma Man si Pendekar Super Sakti, sedangkan mendiang ayahnya yang amat jahat itu, Wan Keng In, adalah putera Lulu bersama seorang she Wan. Akan tetapi, mengingat akan pesan ibu¬nya yang kini telah tewas dalam cara yang menyedihkan sekali, biarpun dahulu dia tidak setuju dengan pesan ibunya, yaitu bahwa dia harus membalas dendam kepada keluarga Pulau Es, kini melihat Suma Kian Lee dia teringat akan ibunya dan hatinya menjadi dingin terhadap keluarga yang dibenci oleh ibunya itu. Dengan sikap dingin dan acuh tak acuh dia mengangguk kepada Kian Lee. Tentu saja Kian Lee menjadi heran menyaksikan sikap Tek Hoat ini. Bukan¬kah pemuda yang tadinya tersesat itu kabarnya telah menjadi baik kembali? Bukankah pemuda itu sudah maklum bah¬wa dia masih terhitung pamannya sen¬diri? Akan tetapi jelas bahwa sikap Tek Hoat seperti sikap seorang musuh! Ada apa pula ini? “Aihhh.... Ji-wi (Anda Berdua) sudah mengenal?” Hek-eng-pangcu terkejut dan heran, memandang kepada Kian Lee de¬ngan kagum. Kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, bukan seorang nela¬yan biasa melainkan seorang sahabat dari Si Jari Maut yang amat tersohor itu! Tek Hoat tersenyum mengejek dan sambil memandang kepada Suma Kian Lee, dia berkata, “Siapa yang tidak me¬ngenal Suma Kian Lee, saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusa¬ka yang kalian cari-cari itu?” Mendengar ini, nenek itu dan semua anak buahnya berteriak kaget dan oto¬matis mereka bergerak mengepung Kian Lee. “Hemmm, bagus! Kiranya engkau ada¬lah saudara dari Suma-kongcu yang men¬curi harta keluarga Jenderal Kao? Kira¬nya engkau memang sengaja hendak me¬nyelidiki dan memata-matai kami? Hayo katakan di mana harta itu, kalau kau tidak mengaku, jangan harap akan dapat lolos dari tempat ini!” Yang-liu Nio-nio mengangkat tangannya dan seorang anak buahnya melemparkan sebatang ranting pohon yang-liu yang segar kepadanya. Kian Lee memandang kepada Tek Hoat yang kini tersenyum-senyum duduk di atas sebuah kursi minum arak dan sikapnya sebagai orang yang menonton dan menikmati pertunjukan yang me¬nyenangkan hati. Bermacam perasaan mengaduk hati Kian Lee. Pertama, dia teringat akan Cui Lan dan Hok-taijin yang masih terancam keselamatannya. Ke dua, dia merasa heran mendengar adik¬nya, Suma Kian Bu, merampok harta benda Jenderal Kao. Mungkinkah ini? Akan tetapi kalau tidak, mengapa Jende¬ral Kao dan dua orang puteranya me¬nyerang dia? Benarkah Kian Bu kini telah tersesat dan menjadi seorang perampok? Ke tiga, dia merasa gembira juga men¬dengar tentang Suma-kongcu yang tentu saja Kian Bu adanya, kalau tidak siapa lagi? Berita itu menandakan bahwa Kian Bu masih hidup dan berada di sekitar daerah ini. Ke empat, dia juga heran dan tidak mengerti melihat sikap Tek Hoat. “Apa artinya ini? Aku tidak tahu sama sekali tentang harta pusaka Jen¬deral Kao!” teriaknya penasaran” melihat dirinya dikepung oleh para anak buah Hek-eng-pang. “Tak perlu menyangkal lagi, orang muda engkau adalah saudara dari Suma-¬kongcu yang merampas harta pusaka Jen¬deral Kao, akan tetapi engkau menyamar sebagai seorang nelayan miskin. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa engkau sedang melakukan penyelidikan. Sekarang lekas mengaku, di mana saudaramu itu menyembunyikan harta pusaka itu, kalau tidak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan.” Kian Lee menjadi marah. Apa pun yang dilakukan andaikata benar adiknya merampas harta pusaka keluarga Jenderal Kao, tentu telah diperhitungkan oleh adiknya itu dan tentu ada alasannya yang kuat. “Pangcu, kau hendak menggunakan kekerasan bagaimana? Silakan!” Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan ranting pohon yang-liu di tangan kirinya itu dan terdengarlah teriakan nyaring dari mulut lima orang wanita cantik, yaitu Kim-hi Nio-cu, Liong-li dan tiga orang kepala pasukan yang semua telah berkumpul di situ. Lima orang wa¬nita cantik ini maju mengepung diiringi pasukan masing-masing yang terdiri dari dua belas orang sehingga ketika itu ada enam puluh orang wanita mengepung Kian Lee dari lima penjuru, semuanya memegang senjata! “Hemmm, kalian sungguh nekad dan gila!” Kian Lee membentak. “Aku sung¬guh tidak tahu-menahu tentang harta pusaka yang kalian maksudkan itu, akan tetapi kalau kalian memaksa dan hendak bertanding, majulah!” Kembali lima orang wanita cantik itu kini bergerak secara teratur sekali, membentuk lingkaran dan bergerak-gerak¬lah lingkaran yang berlapis dua itu, yang sebelah dalam bergerak dari kanan ke kiri sedangkan yang sebelah luar ber¬gerak sebaliknya dari kiri ke kanan. Sen¬jata mereka berbeda, yang depan meng¬gunakan golok dan pedang akan tetapi barisan lingkaran ke dua menggunakan tombak dan senjata bergagang panjang. Yang-liu Nio-nio dan lima orang murid¬nya itu hanya berdiri di luar lingkaran, menonton dan mengatur barisan. Ketika Kian Lee melirik, dia melihat Tek Hoat masih duduk minum arak sambil terse¬nyum-senyum sehingga hatinya merasa mendongkol bukan main. “Seranggggg....!” Terdengar teriakan nenek itu dan lingkaran dalam itu segera berhenti gerakannya memutari tubuh Kian Lee dan berkelebatanlah pedang dan golok, menimbulkan sinar yang menyilau¬kan mata menyambar ke arah Kian Lee dari semua jurusan! Pemuda ini tentu saja tidak dapat mengelak ke kanan atau kiri ataubelakang karena senjata-senjata itu datang dari semua jurusan. Namun dia menggunakan keringanan tubuhnya dan tiba-tiba tiga puluh orang wanita dari barisan lingkaran pertama itu ter¬kejut karena pemuda itu telah lenyap dari tengah-tengah mereka. Kiranya Kian Lee telah mencelat ke atas. Nenek ketua Hek-eng-pang yang me¬mimpin langsung penyerbuan itu berteriak lagi dan kini lingkaran pertama mundur dan lingkaran ke dua maju, menggunakan tombak mereka untuk menyambut tubuh Kian Lee yang melayang turun! Pemuda ini terpaksa menggerakkan kedua tangan¬nya, didorongkan ke sekelilingnya dan lingkaran pemegang tombak dan senjata panjang itu menjadi kalang kabut karena mereka terhuyung-huyung sebelum senjata mereka sempat menyentuh tubuh pemuda itu sehingga Kian Lee dapat turun ke atas lantai dengan selamat, akan tetapi kini dua barisan lingkaran itu telah mengepungnya lagi. Wajah pemuda itu menjadi merah dan sinar matanya mulai bercahaya. Seperti juga adiknya, Suma Kian Lee memiliki sepasang mata seperti mata ayahnya, Pendekar Super Sakti, yaitu tajam sekali sinarnya. Hanya bedanya, kalau sinar mata Pendekar Super Sakti mengandung keanehan yang mujijat daya sihir yang kuat dan berwibawa, mata dua orang puteranya itu hanya tajam saja, mem¬bayangkan kewajaran dan keberanian yang luar biasa. “Kalian memaksa hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!” Kata-katanya ini disusul dengan gerakan tubuhnya, kedua tangannya mendorong ke sana-sini dan terdengarlah teriakan-teriakan dan jerit-¬jerit para wanita yang mengepung itu karena enam puluh orang wanita itu se¬perti daun-daun kering diamuk badai, terpelanting ke sana-sini, terhuyung dan ada yang terjengkang roboh, senjata me¬reka terpental dan mencelat ke mana¬-mana, menimbulkan suara gaduh ketika terbanting ke atas lantai. Dalam waktu singkat saja Kian Lee telah membuat enam puluh orang anggauta Hek-eng¬pang itu mundur ketakutan, barisan me¬reka rusak dan biarpun tidak ada di an¬tara mereka yang tewas, namun semua telah dibikin takut dan kaget oleh hawa pukulan yang menyambar dari kedua tangan pemuda itu, hawa pukulan rasa panas yang luar biasa dan menakutkan. Memang tadi untuk membuyarkan ling¬karan yang mengurungnya dengan ketat, Kian Lee telah menggunakan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang yang panas. Tentu saja lima orang kepala pasukan itu menjadi kaget setengah mati me¬nyaksikan betapa enam puluh orang anak buah mereka dibikin kocar-kacir semudah itu oleh Kian Lee. Mereka tahu bahwa pemuda itu memang hebat, akan tetapi ketika guru mereka memberi isyarat, mereka berlima menemani guru mereka mengurung Kian Lee. Kini pemnuda itu dikurung oleh enam orang, yaitu Nenek Yang-liu Nio-nio ketua Hek-eng-pang dan lima orang muridnya yang masing-masing menjadi kepala pasukan di perkumpulan itu. Jumlah murid langsung dari nenek ini hanya ada belasan orang saja dan yang lima ini merupakan murid-murid uta¬ma, maka tentu saja mereka berlima telah memiliki kepandaian yang lumayan. Kalau lima orang muridnya itu masing-¬masing memegang senjata tajam seperti siang-kiam, golok, pedang dan lain-lain, adalah Si nenek itu sendiri hanya mem¬bawa sebatang ranting yang-liu tadi ka¬rena memang itulah senjatanya yang paling ampuh, di samping pukulan atau cengkeraman tangannya yang terkenal yaitu Hek-eng-jiauw-kang atau Cengke¬raman Kuku Garuda Hitam yang mengan¬dung racun berbahaya. “Bentuk barisan mengepung! Jaga dua orang itu agar jangan lolos!” Tiba-tiba nenek itu berseru kepada semua anak buahnya yang kocar-kocir tadi. Biarpun takut-takut, enam puluh orang itu sudah berkumpul dan membentuk lingkaran lebar mengurung ruangan itu, dan beberapa orang murid ketua itu sen¬diri yang memimpin penjagaan terhadap Cui Lan dan Hok-taijin agar jangan ka¬bur dan menodongkan senjata mereka kepada dua orang tawanan ini. “Hek-eng-pangcu, engkau sungguh terlalu!” Tiba-tiba Kian Lee membentak dan tubuhnya sudah bergerak menyerang ke depan, Yang-liu Nio-nio menggerakkan ran¬tingnya dan lima orang muridnya juga sudah menubruk dengan serangan dalam berbagai gaya. Kian Lee menggerakkan tubuhnya, mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru dan ramai! Tentu saja kalau Kian Lee bermaksud membunuh mereka berenam, dia tidak akan membutuhkan terlalu banyak waktu. Namun pemuda ini tidak suka membunuh, maka dia hanya mem¬pertahankan diri, kemudian kalau dia membalas, itu pun dilakukan dengan hati¬-hati agar jangan sampai membunuh orang. Kian Lee adalah seorang pemuda yang selalu berhati-hati dan sikapnya bijak¬sana. Dalam keadaan marah sekalipun dia tetap tenang dan waspada, tidak mau diseret oleh arus kemarahannya dan dia masih sadar bahwa para murid Yang¬liu Nio-nio ini hanyalah mentaati perin¬tah guru mereka, maka dia pun bersikap lunak terhadap mereka. Yang diincarnya adalah Yang-liu Nio-nio, maka ketika dia memperoleh kesempatan baik, pada saat nenek itu menggerakkan ranting untuk melecutnya, dia tidak menangkis, mem¬biarkan ranting itu melecut lehernya, dan dengan pengerahan tenaganya dia me¬nangkis cengkeraman tangan nenek itu yang ditujukan ke arah lambungnya. “Plakkk! Aughhh....!” Nenek itu me¬lompat jauh ke belakang sambil meme¬gangi lengan kanan dengan tangan kiri¬nya, mengaduh-aduh karena biarpun tu¬lang lengannya tidak patah, namun hawa dingin yang menusuk tulang menjalar dari lengan itu sampai ke dalam dadanya! Kemudian nenek itu lari keluar dari ke¬pungan anak buahnya, menghampiri Tek Hoat yang masih menonton dengan sikap acuh tak acuh. “Mengapa Sicu diam saja? Bantulah kami! Bukankah Sicu datang sebagai ta¬mu kami?” katanya. Tek Hoat tersenyum dan memandang ke arah Kian Lee yang masih dikepung anak buah Hek-eng-pang itu, kemudian menghadapi nenek itu. “Aku sanggup mengalahkan dia dan membantumu, akan tetapi aku tidak pernah membantu orang¬-orang seperti engkau tanpa imbalan.” “Apa imbalannya? Katakan!” Nenek itu mendesak karena melihat betapa anak buahnya kini telah mulai terlempar ke sana-sini oleh amukan Kian Lee. “Kalian harus membantuku menyerbu Liong-sim-pang “ “Apa? Liong-sim-pang di puncak Naga Api?” Nenek itu terbelalak dan kelihatan khawatir sekali. Siapa yang tidak menge¬nal nama Hwa-i-kongcu, ketua perkumpulan Liong-sim-pang yang amat lihai dan memiliki banyak anak buah dan me¬miliki tempat yang juga amat kuat se¬perti benteng istana itu? “Aku akan membebaskan seseorang yang tertawan di sana. Bagaimana, mau atau tidak?” Tek Hoat bertanya, sambil tetap tersenyum. Terdengar suara menjerit dan tubuh Kim-hi Nio-cu yang terlempar itu jatuh berdebuk di depan kaki Yang-liu Nio¬nio. “Pangcu.... aduhhh.... kami tidak kuat menghadapinya“ Kim-hi Nio-cu mengeluh dan mengelus pinggulnya yang tadi terkena ditendang kaki Kian Lee. “Kami terima syaratmu, orang muda. Nah, kaurobohkan dia dan kami akan membantumu menyerbu Liong-sim-pang!” Akhirnya nenek itu berkata dengan cepat. “Mundurlah kalian semua!” Tiba-tiba Tek Hoat membentak, suaranya mengan¬dung getaran khikang kuat sehingga biar¬pun yang memerintah mereka ini bukan ketua atau kepala mereka, melainkan seorang pemuda yang belum mereka ke¬nal, namun bentakan Tek Hoat itu mem¬buat mereka semua mundur, apalagi ka¬rena memang mereka telah merasa jerih sekali terhadap Kian Lee. Dua orang pemuda itu kini berdiri saling berhadapan. Keduanya sama tam¬pan dan sama gagahnya, dan mereka kini bukan lagi pemuda lima tahun yang lalu. Ang Tek Hoat telah berusia dua puluh tiga tahun, dan Suma Kian Lee sudah berusia hampir dua puluh dua tahun. Mereka telah menjadi seorang laki-laki, seorang yang sudah dewasa dan matang, bukan lagi seorang pemuda remaja se¬perti ketika mereka pernah saling ber¬temu empat lima tahun yang lalu. Keadaan menjadi penuh ketegangan dan ini dirasakan oleh Yang-liu Nio-nio dan semua murid dan anak buah mereka yang kini menjadi penonton, tidak ber¬gerak. Bahkan mereka yang ditugaskan menjaga Cui Lan dan Hok-taijin, kini juga membawa dua orang tawanannya itu keluar di bawah todongan senjata, untuk menyaksikan pertandingan yang tentu akan terjadi hebat sekali antara Si Jari Maut yang nama besarnya telah mereka dengar melawan pemuda nelayan yang ternyata adalah saudara Jari Suma-¬kongcu yang mereka cari-cari itu. “Ang Tek Hoat, apa artinya ini? Be¬narkah engkau hendak membantu kaum sesat ini untuk menentang aku? Ketahui¬lah bahwa aku melindungi dua orang yang tidak berdosa itu!” Dia menunjuk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin yang berdiri di sudut ruangan dengan pedang ditodong¬kan di punggung mereka. Cui Lan me¬mandang dengan penuh perhatian dan wa¬jahnya yang cantik membayangkan ke¬khawatiran ketika dia memandang Kian Lee. “Suma Kian Lee, dahulu kita bukan sahabat, sekarang bukan pula teman! Aku tidak membantu siapa-siapa melainkan saling menukar jasa. Kalau kau enggan bertanding melawan aku, penuhilah per¬mintaan Hek-eng-pangcu.” “Ang Tek Hoat, tidak kusangka eng¬kau ternyata sama sekali tidak berubah sejak dahulu! Engkau tidak juga bertobat dan kembali menjadi orang baik-baik!” Kian Lee menegur dengan suara penuh penyesalan karena betapapun juga, pe¬muda di depannya ini adalah cucu kan¬dung ibunya sendiri! Tek Hoat tertawa, tertawa yang pahit sekali karena matanya tidak ikut tertawa bahkan mulutnya menyeringai seperti orang menderita nyeri. “Ha-ha-ha, me¬mang aku bukan orang baik-baik, tidak seperti keluarga Pulau Es yang bersih dan terhormat! Dan aku pun tidak ingin menjadi orang baik-baik yang sombong seperti keluarga Pulau Es! Tak perlu banyak cakap, Suma Kian Lee, kau me¬nyerah dan memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pangcu atau harus melawan aku.” “Hemmm, kau tentu mengira aku takut padamu! Majulah!” Kian Lee me¬nantang, sedikit pun tidak merasa takut. Empat lima tahun yang lalu, memang Tek Hoat merupakan seorang tandingan yang lihai bukan main. Akan tetapi se¬lama lima tahun ini dia telah melatih diri di bawah bimbingan ayahnya di Pu¬lau Es dan telah memperoleh kemajuan pesat sekali. “Kalau begitu terpaksa aku meroboh¬kan engkau!” Tek Hoat berkata dan se¬belum kata terakhir habis diucapkan, tangannya sudah menyambar dan sebuah tamparan yang seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kepala Kian Lee. “Plak-plak-plak-plakkkkk!” Empat kali Tek Hoat menyerang dan empat kali ditangkis oleh Kian Lee. Keduanya me¬rasa betapa lengan lawan mengandung tenaga yang amat kuat, akan tetapi yang terkejut sekali adalah Tek Hoat. Dia maklum akan kelihaian putera Pulau Es ini maka tadi serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaganya, dengan tenaga yang dinamakan tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu¬tek Siauw-jin datuk ke dua dari Pulau Neraka. Namun, tangkisan Kian Lee mnem¬buat tenaga mujijat itu buyar dan dia merasakan hawa dingin menghantamnya, membuatnya tergetar dan terguncang! Akan tetapi, Tek Hoat dapat cepat mengusir hawa dingin itu dan dia kini telah menerjang dengan hebat dan dah¬syat, mengeluarkan ilmu-ilmu simpanan¬nya yang dahulu dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka dan Bu-tek Siauw-jin. Dia menyerang dan memang pemuda ini memiliki watak yang ganas, maka serangan-serangannya itu pun bukan sekedar untuk mengalahkan lawan, me¬lainkan mengandung cengkeraman maut untuk membunuh! Menyaksikan keganasan sepak terjang Tek Hoat, diam-diam Kian Lee mengeluh. Pemuda ini benar-benar telah tersesat dan seperti seekor harimau yang haus darah, pikirnya. Tentu saja dia tidak mau melayani nafsu membunuh Tek Hoat ini dan dia lebih banyak melindungi dirinya dengan menangkis atau mengelak, kadang¬-kadang membalas dengan serangan yang hebat pula, namun serangannya selalu diperhitungkan agar jangan sampai mem¬bunuh orang. Dia tidak suka membunuh orang apalagi Ang Tek Hoat cucu ibu kandungnya sendiri, keponakannya sendiri. Dia ingin mengalahkan Tek Hoat tanpa membunuhnya. Dan inilah sebabnya meng¬apa pertandingan itu menjadi ramai dan seimbang. Kalau dibuat perbandingan, kedua orang pemuda ini sama-sama mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan tinggi, sukar dicari bandingnya di dunia ini. Ha¬nya bedanya, sejak kecil Suma Kian Lee dibimbing oleh Pendekar Super Sakti, ayahnya sendiri, maka tentu saja ilmunya lebih matang dan murni, tidak seperti Ang Tek Hoat yang biarpun menemukan kitab-kitab yang mengandung ilmu-ilmu tinggi, namun dipelajarinya sendiri tanpa bimbingan langsung orang pandai, maka ilmunya tidak lagi murni bercampur dengan ilmu-ilmu lain pernah di pelajarinya sebelum dia memperoleh ki¬tab-kitab peninggalan dua orang, dtuk Pulau Neraka itu (baca cerita Kisah Se¬pasang Rajawali). Maka, dalam kematang¬an ilmu, Kian Lee masih lebih menang se¬tingkat. Akan tetapi kemenangan seting¬kat ini tidak banyak artinya karena Kian Lee tidak mau melakukan serangan yang mematikan sedangkan Tek Hoat yang maklum akan kehebatan lawan telah bertanding dengan nekat, baginya bukan¬lah merupakan pertandingan adu kepan¬daian, melainkan suatu perkelahian meng¬adu nyawa. Inilah yang membuat Kian Lee kehilangan kemenangan tingkatnya dan pertandingan itu berjalan seimbang dan amat hebatnya. Angin pukulan yang didorong oleh tenaga sakti mereka ter¬dengar bersuitan dan terasa oleh para anggauta Hek-eng-pang yang berdiri jatih, membuat pakaian mereka berkibar dan kulit mereka nyeri, kadang-kadang terasa dingin sekali dan kadang-kadang juga terasa panas sekali. Hawa dingin dan panas ini timbul dari dua macam sin¬kang yang dipergunakan, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang. Menghadapi dua macam sin-kang yang saling bertentangan ini, diam-diam Tek Hoat mengakui bahwa dalam hal kekuatan sin¬kang, dia benar-benar kewalahan meng¬hadapi lawannya. Dan hal ini bukan kare¬na kalah tekun berlatih, melainkan selain kalah bimbingan juga kalah murni. Tek Hoat mengandalkan ilmu silatnya yang aneh, yang didapat dari peninggalan kitab dua orang datuk Pulau Neraka. Tiba-tiba dia berseru keras, suaranya melengking nyaring sekali sehingga ada empat orang wanita anggauta Hek-eng¬-pang yang kurang jauh berdirinya roboh terjungkal dan pingsan karena jantung mereka tergetar! Tubrukan Tek Hoat ini merupakan jurus serangan yang amat dahsyat, mula-mula tangan kirinya yang menyambar ubun-ubun lawan dengan membentuk cakar, akan tetapi dalam detik selanjutnya, tangan kanannya men¬cuat dari bawah dengan kiri itu menyam¬bar ke arah ulu hati lawan dengan totok¬an dua jari tangan. Keduanya adalah serangan maut yang dilakukan hampir bersamaan waktunya. Kian Lee menghadapi cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu dengan miring¬kan tubuh atas dan agak ditarik ke bela¬kang, tangan kanannya menangkis, ke¬mudian melihat tangan kanan lawan me¬notok ke arah ulu hatinya, dia cepat pula meloncat ke samping sambil me¬nangkis dengan tangan kirinya. “Hyaaattttt....!” Tiba-tiba tubuh Tek Hoat meluncur dengan kaki kanannya melakukan tendangan maut ke arah leher lawan. Tendangan ini cepat dan kuat sekali datangnya, tubuhnya mencelat ke udara dan dari atas kakinya meluncur ke arah lawan. “Haaaiiiiittttt....!” Kian Lee juga berteriak dan tubuhnya mencelat pula ke atas memapaki. “Desss....!” Dua pasang kaki yang sama kuatnya bertemu di udara dan ke¬duanya terlempar ke atas lantai lagi. Kian Lee berjungkir balik tiga kali dan Tek Hoat agak terhuyung, mukanya ber¬ubah pucat. Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal mengapa dia tidak mempunyai lagi pedangnya yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam. Kalau dia mempunyai pedang yang dulu terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka itu, tentu dia mempergunakan pedangnya itu menghadapi Kian Lee yang begini lihai. Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi tetap saja mereka berimbang karena Kian Lee tetap tidak mau menggunakan tenaga sepenuhnya atau pukulan yang mematikan. Hal inilah yang membuat panas hati Tek Hoat. Dia tahu bahwa pemuda Pulau Es itu tidak mengerahkan seluruh tenaga, bahkan beberapa kali terasa olehnya Kian Lee sengaja mengu¬rangi kecepatan dan tenaganya. Dia me¬rasa penasaran dan marah sekali, karena dia merasa seperti dipandang ringan! Saking marahnya, Tek Hoat lalu meng¬ambil keputusan untuk mengadu nyawa! Mereka telah bertanding lebih dari se¬ratus jurus tanpa ada yang kalah, dan nenek ketua Hek-eng-pang sendiri sampai silau menyaksikan pertandingan itu dan merasa bahwa sebenarnya tingkat kepan¬daiannya kalah jauh oleh dua orang pe¬muda perkasa itu. “Suma Kian Lee manusia sombong! Bersiaplah untuk mampus!” teriak Tek Hoat dan dia menyerang makin ganas. Melihat serangan ini, Kian Lee cepat menghindarkan diri dengan mengelak dan menangkis, kemudian untuk menahan serbuan lawan, dia membalas dengan pukulan ke arah dada Tek Hoat. Dia maklum bahwa pukulan ini tentu mem¬buat Tek Hoat mengelak atau menangkis sehingga dia akan dapat membalas de¬ngan desakan pukulan-pukulan berantai. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Tek Hoat tidak mengelak maupun me¬nangkis, melainkan menerima begitu saja pukulannya itu akan tetapi pada saat yang sama, kedua tangan Tek Hoat me¬mukul ke arah paha dan lehernya. Kian Lee yang terkejut itu menge¬luarkan bunyi melengking yang amat nyaring, membuat lima orang anggauta Hek-eng-pang kembali terjungkal pingsan. Maklum bahwa tidak mungkin dia meng¬hindarkan diri dari dua pukulan sekaligus karena tangan kirinya sedang memukul dada Tek Hoat, Kian Lee menggerakkan tangan kanan menangkis pukulan ke arah lehernya yang lebih berbahaya dan ter¬paksa membiarkan pahanya terpukul. “Plakkk! Desssss....!” Dada Tek Hoat terkena dorongan tangan Kian Lee dan pada saat yang sama, paha Kian Lee terkena pukulan keras dari tangan kanan Tek Hoat. Aki¬batnya, Tek Hoat terlempar ke belakang sampai tiga meter jauhnya dan dia ter¬huyung-huyung sedangkan Kian Lee roboh pingsan karena kakinya di bagian paha terkena pukulan beracun. Pukulan ini hebat sekali karena merupakan pukulan jari tangan Tek Hoat yang biasanya membunuh orang sehingga dia dijuluki Si Jari Maut, yaitu pukulan yang disebut Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Paha itu menjadi biru dan hawa pukulan berancun menyerang ke atas, membuat putera Pulau Es itu roboh pingsan. Tek Hoat memejamkan mata dan mengatur pernapasannya. Kalau saja tadi Kian Lee tidak mengurangi tenaganya, tentu sudah putus nyawanya! Dia tahu akan hal ini dan menarik napas panjang lalu menyusut darah yang menetes dari ujung bibirnya. “Kongcu....!” Cui Lan yang ditodong pedang itu tidak peduli dan dia sudah lari menubruk tubuh Kian Lee yang di¬sangkanya mati, berlutut sambil menangis. Kemudian, melihat Nenek Yang¬-liu Nio-nio dan Tek Hoat menghampiri, dia lalu bangkit berdiri dan dengan air mata bercucuran, dia menudingkan te¬lunjuknya ke arah muka Tek Hoat. “Engkau.... pemuda tiada guna! Eng¬kau hanya menjadi tukang pukul orang! Sungguh malu hidup seperti engkau, pe¬muda yang tampan dan gagah namun dalamnya jahat seperti sebutir buah yang berulat! Dan kau.... Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Yang-liu Nio¬nio, “Kau seorang wanita yang berhati busuk, dan engkau pengecut besar yang harus merasa malu karena beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan saja!” “Diam, bocah lancang mulut!” Seorang anak buah Hek-eng-pang yang tadi ber¬tugas menjaga Cui Lan kini sudah me¬ngejar dan tangannya diayun keras. “Plakkk!” Pipi kiri Cui Lan kena ditam¬par, kulit pipi yang halus putih itu men¬jadi merah sekali dan dara itu terhuyung ke belakang. Namun bibirnya tersenyum mengejek dan dengan keberanian luar biasa dara ini memandang mereka semua sambil berkata, “Kalian boleh membunuh aku dan aku akan mati sebagai seorang terhormat tidak seperti kalian yang akan hidup sebagai manusia-manusia hina dan kotor!” “Bangsat, tutup mulut!” Anggauta Hek-eng-pang itu menjadi makin marah dan kini dia mengayun tangan, tidak menampar seperti tadi melainkan me¬mukul ke arah mulut Cui Lan dengan kuat. “Krekkk.... aduuuhhhhh....!” Ang¬gauta Hek-eng-pang yang memukul itu menjerit dan memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya ketika bertemu tadi dengan tangkisan tangan Tek Hoat! “Hemmm, apa artinya ini?” Yang-¬liu Nio-nio menegur dengan alis berkerut, memandang kepada Tek Hoat dengan heran dan penasaran. “Dia memaki-maki kita, sudah sepatutnya dihajar!” “Siapa yang memaki? Apa yang di¬ katakannya itu benar belaka, kenapa kita mesti marah? Pangcu, janji kita hanya aku merobohkan Suma Kian Lee dan dia sudah roboh, aku tidak suka ditambah dengan penyiksaan atau pembunuhan orang! Dan sekarang juga engkau harus mengerahkan orang-orangmu untuk ikut dan membantuku.” Di dalam suara Tek Hoat terkandung perintah yang mengancam. Nenek itu menelan kembali kemarah¬annya dan memberi isyarat kepada Kim-hi Nio-cu. “Kaubawa mereka bertiga ke tempat tahanan. Pisahkan mereka dan pergunakan yang dua itu sebagai sandera agar pemuda ini tidak sampai lari.” Ke¬mudian setelah Kian Lee yang masih pingsan itu digotong pergi, Cui Lan dan Hok-taijin digiring meninggalkan ruangan itu. Hek-eng-pangcu lalu mengumpulkan orang-orangnya dan akhirnya memilih tiga pasukan. Pasukan Tanah yang di¬pimpin oleh Liong-li, Pasukan Kayu dan Pasukan Api, semua berjumlah tiga puluh enam orang ditambah tiga orang kepala pasukan, mengiringkan dia sendiri dan Tek Hoat meninggalkan puncak Bukit Cemara. Kiranya Ang Tek Hoat telah men¬dengar, bahkan menerima undangan, bah¬wa Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api, Pe¬gunungan Liu-Iiang-san di dekat belokan Sungai Huang-ho, akan menikah dan calon isterinya itu adalah seorang puteri dari Bhutan yang amat cantik jelita! Mendengar ini, jantung Tek Hoat ber¬debar keras, timbul kekhawatirannya karena dia menduga keras bahwa Puteri Bhutan yang cantik jelita itu sudah pasti adalah Syanti Dewi. Kalau tidak, siapa lagi? Memang banyak wanita muda, pu¬teri-puteri Bhutan yang cantik jelita, akan tetapi puteri-puteri itu tidak akan meninggalkan istana Bhutan. Kemungkin¬an satu-satunya hanyalah Syanti Dewi yang entah mengapa dan bagaimana telah sampai di tempat itu dan agaknya di¬tawan Liong-sim-pang. Tek Hoat mak¬lum akan kekuatan Liong-sim-pang, dan kalau hanya sendirian saja tidak mungkin dia akan dapat menolong Puteri Bhutan itu, maka dia lalu mengundang ketua Hek-eng-pang dengan maksud untuk min¬ta “bantuan” mereka. Kebetulan sekali dia melihat Suma Kian Lee dan ketika ketua Hek-eng-pang dan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Kian Lee, timbul akalnya untuk memaksa mereka mem¬bantunya. Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya, melawan Kian Lee hampir saja dia celaka dan biarpun akhirnya dia bisa merobohkan putera Pulau Es itu, dia sendiri juga menderita luka yang cukup parah dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja amat berbahaya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Untungnya dia kini dibantu oleh pasukan-pasukan Hek-eng-pang dan ketua mereka. *** Seluruh perkampungan Liong-sim-pang dihias dengan meriah, mulai dari pintu gerbang tembok yang seperti benteng itu, sampai menara yang berdiri di luar tem¬bok sebagai tempat jaga, sampai di se¬panjang saluran air yang mengelilingi tembok benteng. Suasana perkampungan Liong-sim-pang yang seperti benteng dan biasanya muram dan menyeramkan itu kini nampak meriah, tanda bahwa orang¬-orang yang menjadi penghuni sedang bersenang-senang dan bersuka-ria. Dan memang hari itu merupakan hari gem¬bira, untuk menyambut para tamu karena malam itu merupakan malam “midoda¬reni”, yaitu menyambut hari pernikahan sang ketua Liong-sim-pang yang akan dilangsungkan besok pagi. Sejak pagi hari dari tadi para tamu sudah membanjiri tempat itu dan mereka itu harus melalui satu-satunya jembatan yang menuju ke pintu gerbang tembok benteng karena jalan lain tidak ada lagi untuk memasuki benteng perkampungan Liong-sim-pang yang dikelilingi saluran air lebar itu. Para penjaga dengan ketat melakukan penjagaan dan pengawasan di pintu ger¬bang sehingga tidak ada orang luar dapat menyelundup masuk dan para tamu itu membawa undangan sebagai tanda pe¬ngenal. Menjelang senja rombongan pemain opera yang memang dipesan oleh Liong¬-sim-pang, menyeberang jembatan itu menuju ke pitu gerbang. Mereka terdiri dari tujuh orang wanita dan belasan orang pria, sebagian pemain dan ada pula yang sebagai penabuh musik. Para pen¬jaga yang memeriksa semua orang yang masuk, memperhatikan para pemain ope¬ra ini dengan sikap ceriwis, cengar-¬cengir dan tersenyum-senyum penuh aksi karena tujuh orang wanita anggauta rom¬bohgan itu memang cantik-cantik. Ter¬utama sekali seorang di antara mereka, yang termuda dan memakai pakaian ber¬warna ungu, bukan main cantiknya! Cantik jelita dan manis sekali, dengan gayanya yang manja dan memikat, lenggang¬nya yang berliak-liuk seperti lemasnya batang pohon yang-liu tertiup angin, ke¬dua lengannya agak melengkung seperti gendewa itu bergerak seperti orang me¬nari kalau dia melenggang, dan senyum yang manisnya membuat semua penjaga mabuk kepayang itu tak pernah mening¬galkan belahan bibir yang membuat orang ingin menjadi buah anggur agar dikecup oleh bibir itu! Gerak-gerik dara muda jelita ini membuat para penjaga ingin sekali mencubitnya, memeluknya, pendek¬nya saking tertariknya membuat mereka menjadi gemas, seperti kalau kita melihat seorang anak kecil yang genit dan mon¬tok bersih. Saking tidak dapat menahan gairahnya melihat gerak-gerik dara jelita ini, seorang di antara para penjaga itu sambil berpura-pura memeriksa bawaan mereka, menggerakkan tangannya ingin meraba pinggul yang penuh itu. Akan tetapi.... tangannya hanya meraba angin karena secara cepat sekali gadis itu menggerakkan pinggulnya mengelak. Si penjaga menjadi makin penasaran, kini terang-terangan dia mengulur tangannya meraba ke arah dada. Kembali gadis itu miringkan tubuh dan rabaan itu pun me¬ngenai tempat kosong. Melihat ini, te¬man-temannya mentertawakan. “Ha-ha, si A-kiong menangkap katak akan tetapi luput!” A-kiong makin penasaran dan dia hen¬dak merangkul. “Jangan kurang ajar kalian!” Tiba-tiba gadis itu membentak, suaranya halus akan tetapi nyaring dan mulutnya masih tersenyum, akan tetapi anehnya, semua penjaga termasuk komandannya menjadi gemetar ketakutan seakah-olah mereka itu dimarahi seorang jenderal! Dengan muka pucat ketakutan komandan itu lalu memberi isyarat agar rombongan penari dan pemain opera itu cepat-cepat masuk. Setelah rombongan itu masuk, si ko¬mandan dan anak buahnya saling pandang dengan heran dan bengong. Tidak me¬ngerti mengapa mereka tadi begitu ke¬takutan mendengar bentakan si dara jelita tadi, yang memiliki wibawa luar biasa sekali dan bentakan tadi meng¬guncangkan jantung mereka menimbulkan rasa takut yang hebat. “Ihhh,.... seperti siluman saja....!” se¬orang akhirnya berkata dan mendengar ini, semua orang bergidik. Memang me¬reka semua pernah mendengar bahwa siluman selalu mengubah diri menjadi se¬orang dara cantik sekai untuk memikat pria yang kemudian akan dlhisap darah¬nya sampai habis! “Hihhh.... jangan-jangan benar si¬luman....“ Pada saat mereka dicekam perasaan yang menyeramkan karena memang hari telah mulai menjadi gelap, untung da¬tang serombongan wanita lain yang mem¬buyarkan keseraman itu. Rombongan wanita ini dipimpin oieh seorang wanita yang cantik, dan anggauta rombongan yang jumlahnya dua puluh empat orang itu pun terdiri dari wanita-wanita yang cantik. Pimpinan rombongan itu, yang usianya sekitar tiga puluh tahun, mem¬perlihatkan sehelai surat undangan dan sesampul surat yang ditujukan kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun. “Kami adalah utusan dari sahabat Tang-kongcu, yaitu Si Jari Maut,” kata pemimpin rombongan itu. Melihat kartu undangan itu, para penjaga tentu saja menaruh kepercayaan, apalagi mendengar nama orang yang mengutus mereka, Si Jari Maut, cepat-¬cepat mereka mempersilakan semua wa¬nita itu masuk tanpa ada yang berani bersikap kurang ajar. Rombongan ini bukan lain adalah para anggauta Hek-¬eng-pang yang menyamar, dipimpin oleh Liong-li kepala Pasukan Tanah dan mem¬bawa surat Ang Tek Hoat untuk Hwa¬i-kongcu. Setelah rombongan pemain opera di¬terima sendiri oleh Hwa-i-kongcu dan di¬antar oleh para pelayan untuk berhias dan bersiap-siap untuk mulai pertunjukan mereka malam nanti, kini rombongan wa¬nita itu pun diterima oleh Hwa-i-kongcu sendiri. Liong-li yang sudah berhias se¬bagai seorang pelayan yang cantik, ber¬lutut dan menghaturkan selamat, serta menyerahkan surat dari Ang Tek Hoat. “Aih, dari Si Jari Maut?” Hwa-i-kongcu berseru bangga. Mengapa beliau tidak muncul sendiri?” Sudah lama dia men¬dengar nama Si Jari Maut dan menga¬guminya, akan tetapi belum pernah ber¬temu dengan orangnya. Surat itu segera dibukanya dan dengan wajah berseri dia membaca bahwa Si Jari Maut, menghatur¬kan selamat atas pernikahannya, dan minta maaf bahwa berhalangan hadir, akan tetapi mengirim dua puluh lima orang wanita untuk membantu pelayanan dalam pesta itu. “Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut sungguh mengagumkan sekali, dapat mengumpul¬kan begini banyak wanita cantik dan begitu memperhatikan keperluan kami sehihgga mengirim bantuan pelayan!” Dia lalu memanggil kepala pelayan dan me¬merintahkan kepala pelayan untuk me¬nerima dua puluh lima orang wanita itu dan agar diberi tugas dalam pelayanan malam nanti dan besok pagi. Malam pun tibalah. Para tamu sudah berkumpul di sebuah ruangan yang luas sekali, ruangan yang menyambung pada taman indah di mana juga penuh dengan kursi-kursi untuk para tamu. Suara musik sudah sejak sore tadi dibunyikan oleh rombongan pemain opera, sungguhpun opera itu sendiri belum dimulai. Para ”pelayan” yang sesungguhnya adalah anggauta-anggauta Hek-eng-pang yang menyamar itu mulai pula dengan tugas yang sesungguhnya. Di antara me¬reka memang ada yang membantu para pelayan Liong-sim-pang melayani para tamu mempersiapkan minuman, hidangan dan lain-lain. Akan tetapi sebagian pula di antara mereka mulailah meryelidiki dan mencari-cari di mana adanya Puteri Bhutan seperti yang diceritakan oleh Tek Hoat, puteri yang akan menjadi pengan¬tin besok pagi dan yang harus mereka culik itu. Dua puluh empat orang ini adalah dari Pasukan Tanah dan Pasukan Kayu, sedangkan Pasukan Api bertugas mempersiapkan “jalan keluar” untuk te¬man-temannya itu apabila mereka telah berhasil menculik sang puteri. Tek Hoat sendiri yang masih menderita luka bekas gempuran tenaga melawan Suma Kian Lee, menanti di luar tembok dan sudah mempersiapkan kuda untuk melarikan puteri itu. Dia maklum bahwa dalam keadaan terluka, amat berbahaya kalau dia sendiri masuk ke dalam. Selain dia tentu akan dikenal, juga untuk melawan banyak orang pandai dalam keadaan ter¬luka, tidaklah mungkin, maka dia meng¬andalkan kecerdikan para temannya, ya¬itu wanita-wanita Hek-eng-pang itu. Sementara itu, Syanti Dewi yang selalu mengharapkan pertolongan dari Siang In, masih berada dalam kamarnya dan dia tidak membantah ketika para pelayan menghias dan merias dirinya di dalam kamarnya. Diam-diam dia masih mengharapkan akan munculnya gadis luar biasa yang telah berhasil meloloskan dirinya dari istana ayahnya itu. Dia akan menanti sampai saat terakhir, yaitu sam¬pai besok malam. Kalau sampai besok malam Siang In atau siapa saja tidak datang menolongnya, kalau sampai tiba saatnya dia menyerahkan diri kepada Hwa-i-kongcu, pemuda tampan pesolek yang mengerikan hatinya itu, maka dia akan membunuh diri! Ketika dia mendengar dari para pe¬layan yang merias bahwa malam itu di dalam pesta akan diadakan pertunjukan tari-tarian dan permainan opera, dan bahwa bintang panggung amat cantik jelita dan jenaka, hati Syanti Dewi ter¬tarik sekali. Dia menduga bahwa tentu Siang In gadis yang cerdik itu menyamar sebagai pemain opera, maka dia lalu minta kepada seorang di antara para pelayan untuk memanggil bintang opera itu karena dia ingin bertemu dan bicara tentang tarian. Permintaan ini disampaikan oleh si pelayan kepada Hwa-i-kongcu dan tentu saja calon suami yang merasa beruntung akan memperisteri seorang puteri raja mengijinkan permintaan itu. Apalagi ka¬rena pelayan yang melayani calon isteri¬nya itu adalah pelayan-pelayan keperca¬yaannya, ya pelayan ya selir, maka dia tidak menjadi curiga dan diperintahkan kepada seorang pengawalnya untuk me¬nyampaikan permintaan calon mempelai puteri itu kepada pimpinan rombongan opera. Pimpinan opera lalu berbisik ke¬pada bintang panggung, si dara cantik jelita tadi dan sambil tersenyum gem¬bira bintang panggung ini lalu mengikuti si pelayan meninggalkan kamar rias itu. Liong-li dan kawan-kawannya men¬cari-cari namun belum berhasil menemu¬kan di mana adanya kamar sang puteri. Akan tetapi tiba-tiba Liong-li melihat seorang pelayan bersama seorang dara cantik jelita berjalan lewat. Diam-diam dia lalu mengikuti mereka dari jauh dan karena dia pun berpakaian pelayan, maka para pengawal yang berjaga-jaga di se¬luruh tempat itu tidak ada yang me¬naruh curiga kepadanya. Dara cantik yang diiringkan oleh pelayan itu lincah dan jenaka sekali, di sepanjang jalan bicara dan memuji-muji keindahan rumah gedung seperti istana milik Hwa-i-kongcu yang kaya raya itu. Liong-li terus mem¬bayangi mereka dari jauh, melewati gang-¬gang, kamar-kamar, ruangan-ruangan terbuka, pendapa-pendapa dan taman¬-taman. Kiranya sang puteri itu berada di tempat yang demikian tersembunyi! Akhirnya tibalah mereka di sebuah bangunan kecil yang mungil dan masuk ke dalamnya. Bintang panggung itu diajak masuk ke dalam kamar. Kini mereka berdiri saling pandang, si bintang pang¬gung dan Syanti Dewi. Syanti Dewi ke¬cewa bukan main. Memang bintang pang¬gung itu cantik jelita, dan bentuk tubuh¬nya seperti bentuk tubuh Siang In yang ramping akan tetapi mukanya bukanlah Sian In! Akan tetapi bintang panggung itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Saya menghaturkan selamat kepada mempelai puteri, semoga hidup bahagia dan dikarunia banyak putera dan berumur panjang!” Mendengar suara ini, Syanti Dewi terkejut bukan main. ltulah suara Siang In! Dia dapat menenangkan hatinya dan berkata, “Terima kasih.” Lalu puteri itu menoleh kepada para pelayannya yang jumlahnya lima orang itu, berkata, “Ha¬rap kalian keluar dari kamar dulu, aku ingin bicara seenaknya dengan seniwati ini. Kalian tunggu saja panggilanku dan menanti di luar.” Para pelayan itu saling pandang, ter¬senyum dan segera mengundurkan diri. Mereka mendapat pesan yang amat keras dari majikan mereka agar melayani sang puteri sebaiknya dan agar memenuhi semua permintaannya. Tentu saja per¬mintaan untuk berduaan dengan bintang panggung yang cantik itu tidak menim¬bulkan kecurigaan hati mereka dan me¬reka pun mundur dan keluar dari dalam kamar itu. Setelah yakin bahwa mereka hanya berdua, Syanti Dewi memandang tajam wajah cantik itu dan bertanya, “Siapakah engkau?” Bintang panggung itu tersenyum le¬bar. “Enci, apakah engkau lupa akan suaraku?” “Ah, Siang In....!” Syanti Dewi lalu maju merangkul dan mereka berangkulan sejenak, dua titik air mata turun dari mata Syanti Dewi yang merasa girang bukan main itu, “Kukira engkau takkan muncul lagi, adikku.... hampir lenyap harapanku....“ “Jangan khawatir, Enci. Aku pasti akan berusaha menolongmu keluar dari sini sedapatku. Akan tetapi, banyak orang pandai di sini, kita harus berhati-hati dan Enci bersikap wajar saja. Aku me¬lihat keanehan di sini. Pelayan-pelayan bantuan itu, demikian banyaknya, katanya mereka itu adalah utusan dari Si Jari Maut “ “Ahhhhh....!” Muka Syanti Dewi men¬jadi pucat mendengar nama julukan ini. “Dia....?” Siang In mengangguk. “Akan tetapi aku masih curiga. Sikap mereka men¬curigakan sekali. Akan tetapi, mungkin mereka ini akan dapat membantu kita, memudahkan aku membawamu keluar dari sini, Enci Syanti Dewi. Kautinggaliah di sini, bersikaplah tenang dan wajar dan percayalah kepadaku. Syanti Dewi merangkul dan mencium pipi dara itu, lalu menatap wajah itu dengan penuh keheranan. “Bagaimana mukamu bisa begini berubah sama se¬kali?” Siang In tersenyum, meraba dengan kedua tangannya ke bawah dagu, kemudi¬an sekali dia menarik, mukanya berubah menjadi muka Siang In sendiri! Kiranya mukanya ditutup oleh sehelai “kedok” yang amat tipis, setipis kulit manusia, akan tetapi kedok itu sama sekali mengubah mukanya dengan kecantikan yang sama sekali berbeda! Mulutnya menjadi lebar, hidungnya lebih mancung, pipinya lebih montok dan dahinya lebih lebar, matanya agak sipit. Tentu saja Syanti Dewi sendiri tidak mengenalnya. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar