Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 39.

Jodoh Rajawali Jilid 39:
Jodoh Rajawali Jilid - 39 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 39 Matahari telah mulai naik meninggi ketika Siang In tiba di lereng bukit dan selagi dia berdiri di atas bagian yang agak tinggi untuk memandang ke seluruh penjuru dengan sinar mata mencari-cari, tiba-tiba muncul seorang kakek bersorban, begitu saja muncul di didepannya seperti iblis. Memang kakek ini sejak tadi ber¬sembunyi dan mengintai gerak-gerik Siang In. Siang In cepat memandang dengan penuh perhatian dan dia pun segera me¬ngenal kakek ini. Pernah dia bertemu, bahkan mengadu ilmu sihir melawan ka¬kek ini di tempat pesta pernikahan Hwa¬i-kongcu Tang Hun yang ketika itu me¬rayakan pernikahannya dengan Puteri Syanti Dewi! Kakek ini bersorban, kulit¬nya coklat kehitaman, jenggotnya pan¬jang sampai ke perut dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu cen¬dana. Inilah Gitananda, pendeta bangsa Nepal, pembantu Koksu Nepal, seorang kakek yang memiliki kekuatan sihir yang hebat! Setelah mengenal kakek itu, Siang In menjadi marah. Bukan saja kakek ini pernah mengganggunya ketika dia ber¬usaha menolong Syanti Dewi yang dulu hendak dipaksa menjadi isteri Hwa-i-kongcu, akan tetapi juga melihat bahwa kakek ini adalah pembantu Koksu Nepal yang mengadakan pemberontakan, dan terutama sekall karena dia sudah men¬dengar bahwa yang menangkap Syanti Dewi dan membawanya ke dalam benteng sebagai tawanan adalah kakek ini pula. “Ah, kiranya kakek dukun lepus kaki tangan pemberontak!” Dia memaki. Gitananda sendiri sejak tadi mengintai gerak-gerik Siang In. Dia sudah merasa heran dan curiga mengapa ada seorang gadis muda cantik yang berjalan seorang diri di tempat itu, maka dia tadi ber¬sembunyi dan mengintai. Kini dia pun mengenal dara ini yang dia tahu mem¬punyai ilmu sihir yang cukup kuat, maka tertawalah kakek pendeta Nepal itu. Inilah gadis yang menjadi seorang di an¬tara musuh-musuh majikannya, yang telah menggagalkan pemberontakan dan meng¬hancurkan benteng. Juga, dara ini amat cantik jelita, rasanya tidak kalah cantik oleh Puteri Bhutan, maka kalau dia da¬pat menangkapnya dan menyerahkannya kepada pangeran junjungannya, tentu Pangeran Nepal akan girang sekali. Sebagai seorang hamba yang amat setia, tentu saja dia sudah tahu akan kesukaan Pa¬ageran Nepal terhadap kaum wanita. Melihat pendeta itu tertawa dan mata¬nya mengeluarkan sinar yang aneh dan kurang ajar, Siang In menjadi marah se¬kali dan segera dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu pedang payungnya! Pa¬yung itu tertutup dan kini ujungnya yang runcing dan mengkilap itu meluncur ke arah leher Gitananda, mengeluarkan suara mendesing saking cepat gerakannya. “Hemmm....!” Gitananda menggereng dengan kaget dan cepat menggerakkan tongkat kayu cendana untuk menangkis, bukan menangkis payung, melainkan meng¬hantam ke arah pergelangan tangan yang memegang payung. Tangkisan yang se¬kaligus merupakan serangan balasan! Akan tetapi Siang In memiliki gerak¬an yang luar biasa cepatnya. Serangan balasan lawan ini sama sekali tidak mem¬buat dia menjadi gugup, sebaliknya ma¬lah dia sudah menarik kembali pedang payungnya dan secepat kilat pedang pa¬yung itu telah membalik dan menusuk ke arah lambung lawan! “Uuuhhh....!” Kembali Gitananda berseru kaget dan cepat dia melempar tubuh ke belakang karena untuk menangkis sudah tidak sempat lagi. Kakek ini terjengkang, bergulingan dan meloncat ba¬ngun dengan muka berubah pucat, lalu merah, karena penasaran. Dalam dua ge¬brakan saja hampir dia termakan lawan! Marahlah Gitananda. Lawannya hanya seorang dara remaja yang masih amat muda, pantas menjadi cucu muridnya, mustahil kalau dia sampai kalah oleh dara ini. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia lalu menyerang, menubruk ke depan dan memutar tongkatnya yang mengeluarkan bau harum kayu cendana. Melihat ini, dara itu tersenyum. Bagus, pikirnya girang, makin marah dan ganas gerakan lawan ini makin mudah baginya untuk mencapai kemenangan. Ilmu silat kakek ini biarpun cukup ganas, namun dasarnya liar dan hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dia merasa sanggup untuk mengatasinya. Yang berbahaya adalah ilmu sihir kakek ini. Maka me¬lihat serangan yang ganas itu, Siang In bersikap tenang saja, memainkan pedang payungnya, menangkis dan mengelak sam¬bil kadang-kadang memutar payungnya sehingga terbuka dan setelah menolak semua serangan tongkat, tiba-tiba dia mengirim balasan yang mengejutkan se¬hingga beberapa kali kakek itu berseru kaget dan meloncat ke belakang, diterta¬wakan oleh Siang In. “Hi-hik, kiranya sebegitu saja tong¬katmu penggebuk anjing itu?” Dia meng¬ejek dan pendeta itu menjadi makin ma¬rah. Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Makin marah, makin kacaulah per¬mainan silat, hal ini sudah diketahui oleh semua ahli. Kemarahan membuat kewaspadaan banyak berkurang dan gerakan silat tidak lagi mengandung kecerdikan, melainkan semata-mata merupakan pe¬luapan dari kemarahan dan kebencian dan karenanya menjadi lengah. Demikian pula dengan Gitananda. Dia marah bukan ha¬nya karena ejekan Siang In, melainkan terutama sekali karena merasa penasaran bahwa dia, pembantu Koksu Nepal, bah¬kan orang kepercayaan Pangeran Nepal, kini dipermainkan oleh seorang dara remaja! Sesungguhnya, tingkat ilmu silat yang dikuasai oleh pendeta itu tidak kalah banyak dibandingkan dengan ilmu silat Siang In. Memang dasar ilmu silat dara ini lebih murni dan kuat, akan tetapi dalam hal pengalaman bertempur, kakek itu lebih menang, maka andaikata Gitananda tidak marah-marah dan penasaran, dan mau bertanding dengan tenang, agak¬nya tidak mudah bagi Siang In untuk mengalahkanya. Akan tetapi kini, dalam keadaan marah-marah dan kurang was¬pada, ketika dara itu menggunakan ilmu tendangnya Soan-hong-twi yang amat cepat, kedua kaki kecil itu berputaran dan bertubi-tubi menendang diseling de¬ngan tusukan-tusukan pedang payungnya, Gitananda tidak mampu mempertahankan diri lagi dan kurang cepat sehingga ten¬dangan kaki kirinya yang meluncur dari samping sempat mencium lambungnya. “Dukkk!” Gitananda mengeluh dan ro¬boh terguling, terus bergulingan sambil meringis kesakitan dan tongkatnya me¬nyambar-nyambar melindungi tubuhnya yang sedang bergulingan itu. Setelah dapat meloncat bangkit dan berdiri lagi, wajah kakek itu menjadi merah penuh kemarahan. Dia mengacung¬kan tongkat kayu cendana itu ke atas dan dia mengeluarkan pekik melengking dahsyat, seluruh tubuhnya menggigil dan tiba-tiba Siang In ikut pula menggigil! Maka tahulah dara ini bahwa lawannya sudah mengeluarkan ilmu sihir, maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya, me¬musatkan perhatiannya dan mengerahkan kekuatan sihir yang selama bertahun-tahun dipelajarinya dari gurunya. Terjadi¬lah pertempuran yang tidak nampak oleh mata orang, akan tetapi terasa sekali oleh kedua orang itu, getaran-getaran ajaib yang saling menyerang. “Bocah sombong, lihatlah siapa aku! Aku adalah Gitananda, ahli sihir terkuat di Nepal! Engkau harus tunduk kepada¬ku!” Kakek itu membentak, suaranya terdengar aneh dan lucu, seperti suara dari jauh, seperti suara setan! Namun dengan tenang dan berani. Siang In menentang pandang mata lawan¬nya. Dia merasa betapa sinar mata lawan itu seperti dua sinar tajam hendak menembus dan mencengkeram kesadaran¬ya, namun dia mengerahkan tenaga dan dia pun membentak, halus akan tetapi nyaring, “Tua bangka, engkau tidak tahu siapa aku! Aku adalah murid See-thian Hoat-su, ahli sihir kenamaan di seluruh dunia! Aku tidak akan tunduk kepadamu!” Akan tetapi Siang In terpaksa menghenti¬kan kata-katanya karena makin panjang kata-katanya, makin banyak dia membagi tenaga dan perhatian sehingga dia ter¬huyung! “Ha-ha-ha....!” Kakek itu tertawa bergelak dan menambah kekuatannya, namun Siang In sudah cepat menguasai keadaannya dan kini dara itu memusat¬kan perhatiannya menolak pengaruh ajaib yang keluar dari pandang mata lawan itu. Tiba-tiba Gitananda mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dia sudah melontarkan tongkatnya ke atas. Seketika tongkat itu mengeluarkan suara auman seperti singa dan memang tongkat itu dalam pandang mata Siang In berubah menjadi singa yang menubruknya dengan dahsyat! “Dukun lepus, siapa takut permainan¬mu ini?” bentaknya dan dia memapaki “singa” itu dengan bacokan pedang pa¬yungnya. “Cusssss!” Bayangan singa yang ter¬kena pedang payung itu seketika berubah, menjadi seekor ular yang melibat payung dan membetot dengan kerasnya. Siang In terkejut, merasa tertipu dan dia mem¬pertahankan payungnya. Terdengar Gita¬nanda tertawa dan menggerakkan kedua tangannya ke arah tongkat yang menjadi “ular” dan melibat pedang payung itu. Siang In tidak mau kalah, tidak mau menyerahkan pedang payungnya begitu saja untuk dirampas lawan, maka sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, dia pun menarik dengan pengerahan tenaga Iwee¬kang. “Krakkk! Krekkk!” Pedang payung dan “ular” itu patah-patah dan runtuh ke atas tanah, pedang payung rusak dan patah, juga tongkat itu patah menjadi tiga potong! Dengan terkejut dan marah sekali Siang In membuang gagang payungnya. Gitananda tertawa bergelak, karena biarpun dia sendiri kehilangan tongkatnya, namun dia girang melihat senjata istimewa dari dara itu rusak, karena senjata itulah yang mem¬buat dia tadi repot menghadapi Siang In. Suara ketawa ini dan hawa yang me¬ngandung kekuatan sihir yang ajaib itulah yang terdengar sampai jauh dan menarik perhatian seorang pemuda yang sedang berjalan di dalam hutan tak jauh dari tempat itu. Siapakah pemuda ini? Dia bukan lain adalah Suma Kian Bu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kian Bu lari meninggalkan Phang Cui Lan dan Kim Sim Nikouw. Dia me¬rasa amat kasihan kepada Cui Lan. Dia tahu betul sejak dia menolong dara itu dari dalam dusunnya, ketika dusun Cian-li-cung dirampok oleh gerombolan yang mengakibatkan musnahnya keluarga gadis itu, bahwa Cui Lan jatuh cinta kepada¬nya. Dia dapat mengetahui hal ini dari pandang mata yang mesra dan lembut, dari suara dalam kata-katanya, dan dari senyumnya. Dara itu bersedia menyerah¬kan jiwa raganya kepadanya. Dan dia juga tahu bahwa dia tidak boleh me¬rusak hati dara ini, dan bahwa dia tidak membalas cintanya maka dia bersikap keras, sengaja untuk membuka mata Cui Lan bahwa dia tidak mungkin dapat mem¬balas cintanya. Kalau dia melayani Cui Lan, kalau dia memperlihatkan sikap manis, akan makin “parah” penyakit dara itu. Memang dia pun tahu bahwa Cui Lan adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan lemah lembut, juga halus perasaannya dan memiliki jiwa yang gagah berani. Kalau dia menyambut cinta kasih Cui Lan, itu berarti bahwa dia mendapatkan seorang gadis pilihan yang sukar dicari keduanya. Akan tetapi, tentu dia juga akhirnya akan merana karena dia tidak tertarik kepada Cui Lan, tidak mencintanya. Satu-satunya wanita yang pernah dicintanya adalah Puteri Syanti Dewi, dan akhir-akhir ini dia tertarik kepada seorang dara yang cantik jelita dan galak, seorang gadis yang lincah bukan main, yaitu Siang In! Akan tetapi, begitu dia teringat kepada Siang In, hatinya berdebar bingung. Dara itu kelihatan bergaul dengan amat erat¬nya bersama Kian Lee, bahkan agaknya saling mencinta! Hal inilah yang membingungkan Kian Bu. Dia tahu betul bahwa Hwee Li men¬cinta Kian Lee, dara yang amat jujur dan polos itu terang-terangan menyata¬kan cintanya kepada Kian Lee. Akan tetapi sekarang kelihatannya Kian Lee saling jatuh hati dengan Siang In. Pada¬hal dia sendiri tertarik oleh Siang In. Bingunglah Kian Bu, akan tetapi bagai¬manapun juga, dia tidak hendak merintangi kebahagiaan kakaknya. Dia pun tahu bahwa kakaknya itu pernah patah hati, tidak bahagia cintanya terhadap Ceng Ceng. Maka, kini dia tidak ingin melihat kakaknya gagal lagi dalam ber¬cinta, karena dia sendiri sudah mengalami betapa pahit dan sengsaranya mengan¬dung penderitaan rindu karena cinta gagal! Selagi pemuda itu berjalan sambil melamun karena dia tidak dapat menemu¬kan jejak kakaknya, dia mendengar suara ketawa itu. Hatinya sedang risau karena ke manapun dia mencari, dia kehilangan jejak Kian Lee yang sudah jauh lebih dulu pergi meninggalkan benteng. Maka ketika mendengar suara ketawa aneh itu, dia tertarik dan mengharapkan kalau-kalau suara itu ada hubungannya dengan kakaknya! Maka dia cepat menghampiri ke arah suara yang kedengarannya dari luar hutan. Setelah dekat, dia terkejut bukan main karena suara ketawa itu me¬ngandung getaran aneh yang membuat jantungnya berdebar-debar, dan juga se¬telah berada di luar hutan, dia merasa¬kan adanya pengaruh mujijat, seolah-olah keadaan di sekeliling tempat itu terdapat dua tenaga sakti yang saling bertentangan, tenaga sihir yang saling dorong! Cepat dia menyelinap dan ber¬indap-indap mendekati, dan dapat di¬bayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat seorang dara yang baru saja di¬bayang-bayangkan, yaitu Siang In, berdiri berhadapan dengan seorang kakek bersor¬ban, dan kedua orang ini agaknya sedang mengadu ilmu sihir! Memang demikianlah keadaannya. Se¬telah melihat betapa senjata pedang payung dara itu yang amat ditakutinya patah Gitananda lalu mengerahkan ke¬kuatan sihirnya. Dia berteriak keras dan kedua tangannya didorongkan ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu itu lurus ke depan, ke arah Siang In, dan jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti cakar-cakar setan hendak mencengkeram. Dan biarpun jarak antara mereka cukup jauh, namun Siang In merasa betapa kedua tangan itu seolah-olah berada di depan mukanya. Maka dia pun lalu me¬lonjorkan kedua lengannya untuk menolak. Kekuatan sihir sepenuhnya terpancar dari dua pasang mata dan dua pasang tangan itu, membuat suasana di sekeliling itu tergetar hebat. Bahkan Kian Bu sendiri, seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya, merasakan getar¬an ini sehingga diam-diam dia pun me¬ngerahkan sinkangnya untuk bertahan agar jangan sampai dia “terseret” oleh gelombang getaran yang amat kuat itu. Diam-diam dia memandang kagum kepada Siang In, kagum dan juga khawatir kare¬na dia maklum betapa lihainya kakek Nepal itu. Adu kekuatan sihir itu dilanjutkan dan makin lama Siang In merasa makin le¬mah. Kedua kakinya sudah gemetar dan tahulah dia bahwa kakek itu lebih kuat dari padanya dan kalau dilanjutkan tentu dia akan celaka. Maka, tiba-tiba saja dia merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya mencengkeram tanah lalu disambitkan ke depan. Sinar hitam dari pasir dan tanah menyambar ke arah kakek itu. “Ihhh!” Gitananda berteriak kaget. Biarpun yang menyambar itu hanya tanah dan pasir, akan tetapi karena disambit¬kan dengan pengerahan tenaga sinkang, dapat menembus kulit daging! Dia tidak menyangka bahwa lawannya dapat ber¬gerak secepat itu dan karena dia tadi mencurahkan seluruh tenaga dan kekuat¬an untuk merobohkan dara yang sudah mulai lemah itu, maka kini dia gelagapan! Namun, kakek ini memang lihai sekali. Dia tidak mau menurunkan kedua tangan¬nya yang mendorong, karena dengan te¬rus menekan dia mengharapkan kemenang¬an. Kini dia menggerakkan pinggulnya sedemikian rupa sehingga ujung jubahnya yang panjang berkibar ke depan tubuh¬nya, menyambut tanah dan pasir itu se¬hingga tidak mengenai tubuhnya, me¬lainkan runtuh oleh sambaran ujung ju¬bahnya. Akan tetapi Siang In juga bukan se¬orang dara yang bodoh. Dia maklum bah¬wa kalau hanya mengadu kekuatan sihir, dia akan kalah, maka dia harus men¬desak lawan dengan pertandingan yang mengandalkan ilmu silat di mana dia merasa akan dapat mengatasi lawannya. Oleh karena itu, dia hanya menggunakan setengah bagian tenaganya untuk ber¬tahan dalam pertandingan tenaga sihir, dan kini dia sudah menyambar potongan tongkat kayu cendana milik kakek itu dan melontarkannya ke arah lawan. “Haihllhhh!” Kakek itu membentak dan menuding ke arah tongkatnya dan tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi burung dan terbang ke atas lalu meluncur ke arah Siang In untuk menyerang dara ini. Melihat betapa tongkat pendek itu ber¬ubah menjadi burung yang mematuk kearah matanya, Siang In terkejut, menggerakkan tangan kiri dan menyampok sambil membentak, “Kembali menjadi tongkat!” Dan burung itu tersampok ja¬tuh, berubah menjadi tongkat lagi. “Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lari dariku, Nona. Engkau harus ikut bersamaku, menjadi tawananku, kuhadap¬kan kepada pangeran....!” kata kakek itu sambil menyeringai. Tiba-tiba dia me¬mekik dahsyat dan terjadilah hal, yang amat aneh. Kian Bu yang tidak mampu pula mengelak dari pengaruh sihir itu, terbelalak memandang betapa jenggot kakek itu yang panjangnya sampai ke perut, kini jenggot itu bergerak dan tum¬buh makin lama makin panjang, meling¬kar-lingkar dan merayap seperti ular-ular yang memenuhi tempat itu! Kian Bu terbelalak dan menahan napas meman¬dang penglihatan yang luar biasa ini. Siang In juga kelihatan terkejut. Dia sudah mencoba untuk mengerahkan te¬naga sihirnya, untuk menghentikan peng¬lihatan itu atau untuk menyadarkan matanya bahwa yang dilihatnya itu hanyalah khayalannya sendiri. Akan tetapi percuma saja, dia tetap melihat jenggot itu me¬rayap-rayap dan tumbuh makin panjang. Kemanapun dia melangkah, tentu dia disambut gumpalan-gumpalan jenggot yang melingkar-lingkar seperti benang ruwet, rambut-rambut jenggot yang hidup dan menjijikkan, mengerikan. Siang In berkemak-kemik, membentak ke arah gumpalan jenggot, akan tetapi sia-sia. Dia lalu bertepuk tangan tiga kali, tepukan tangannya menimbulkan suara meledak dan nampak asap menge¬pul, dia mengerahkan seluruh tenaga sakti dari ilmu sihirnya, namun kesemua¬nya itu tidak dapat membuyarkan sihir Gitananda yang membuat jenggotnya makin panjang dan hidup memenuhi se¬luruh tempat itu. Tempat seluas sepuluh meter persegi itu penuh oleh rambut-rambut bergumpal-gumpal dan yang hidup itu, makin lama makin mulur dan ketat memenuhi tempat itu seperti jaring yang siap menangkap mangsa. “Hiaaaaakkk!” Gitananda berteriak mengejutkan. “Syeeettttt.... Syeeeeettttt....!” Jeng¬got itu kini bersatu dan seperti seekor ular besar meluncur ke arah Siang In! Dara ini terkejut sekali, berusaha mengelak akan tetapi ujung jenggot masih menyapu kakinya dan dia terguling! Kini jenggot itu seperti seekor ular merayap hendak menggulungnya dan Siang In su¬dah merasa ngeri bukan main. Akan te¬tapi tiba-tiba ada angin keras dan kuat membawa dan menerbangkan tubuh Siang In yang melayang dan gulungan jenggot itu tidak mengenai tubuh Siang In yang sudah turun agak jauh ke sebelah kanan. Jenggot itu terus menyambar dan melibat sebatang pohon yang tumbuh di sebelah kiri Siang In. “Brolll!!” Pohon itu terlibat dan ter¬tarik jebol oleh jenggot panjang yang luar biasa kuatnya itu. Siang In maklum bahwa dia telah dibantu orang pandai karena kalau tidak, mana mungkin dia tadi dapat membebas¬kan diri dari jenggotnya itu? Kini, me¬lihat Gitananda sibuk melepaskan jenggot¬nya dari batang pohon yang tumbang, dia cepat meloncat ke depan dan menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Tentu saja Gitananda menjadi sibuk sekali, cepat dia menarik jenggot¬nya menjadi pendek kembali dan dia melempar tubuh ke belakang, bergulingan dan setelah dia terbebas dari desakan Siang In, tiba-tiba dia melompat dan kini jenggotnya menyambar seperti tongkat! “Ihhh!” Siang In terkejut dan cepat mengelak, merasa jijik karena ketika jenggot itu lewat di dekat mukanya, dia mencium bau yang apek dan memuakkan. Akan tetapi jenggot itu sudah datang lagi, maka terpaksa Siang In memperlihatkan kelincahannya dan balas menyerang dengan pukulan dan tendangan. Kem¬bali kedua orang ini bertanding dengan seru. Akan tetapi sekali ini, Siang In tidak mampu mendesak seperti tadi keti¬ka dia masih memegang pedang payung¬nya. Kini dia bertangan kosong dan ka¬kek itu dapat mempergunakan jenggotnya yang panjang sebagai senjata! Dan hebatnya, jenggot itu dapat mulur mengkeret sehingga benar-benar merupakan senjata yang amat berbahaya bagi Siang In. Akan tetapi, beberapa kali ketika nyaris dara itu terkena totokan atau li¬batan jenggot ada saja kekuatan ter¬sembunyi yang memukul kembali ujung jenggot sehingga Siang In terlolos dari bahaya. Siang In menjadi penasaran. Dia belum kalah dan dia belum membutuh¬kan bantuan siapapun juga. Dia harus dapat mengalahkan, kakek Nepal ini, akan tetapi bagaimana akalnya? Sukar me¬nyerang kakek ini kalau jenggotnya masih merupakan senjata yang demikian ampuh¬nya. Tiba-tiba Siang In mendapatkan akal yang amat berani. Dia mulai menjauhi kakek itu dan tiada hentinya mengejek, “Jenggotmu seperti jenggot kambing!” Kakek itu menyerangnya dan kembali Siang In meloncat ke belakang. “Jangan lari kau, bocah setan!” Gita¬nanda membentak setelah beberapa kali serangannya hanya dielakkan sambil main mundur saja oleh dara itu. “Jenggotmu bau apek, bau tahi kam¬bing, aku tidak tahan!” Siang In kembali mengejek. Kembali kakek itu mengejar dan menyerang dengan jenggotnya, akan tetapi karena memang gerakannya kalah lincah dan kalah ringan oleh dara itu, semua serangannya itu gagal. Akhirnya dia mengeluarkan seruan memekik nya¬ring seperti tadi dan jenggotnya sudah mulur lagi! Jenggot itu mulur panjang dan dipergunakan untuk menyerang, dan karena jenggot itu panjang sekali, sukar bagi Siang In untuk mengelak lagi. Akan tetapi memang ini yang dikehendaki oleh dara itu, yaitu memancing agar kakek itu memanjangkan lagi jenggotnya. Keti¬ka melihat jenggot itu menyambar dari kiri ke kanan, Siang In sengaja bersikap lambat, akan tetapi ketika ujung jeng¬got hendak melibat pinggangnya, dia me¬loncat ke atas dan ketika ujung jenggot lewat di bawah kakinya, dia menceng¬keram dan berhasil menjambak ujung jenggot panjang itu. Tanpa membuang waktu lagi, dia mengerahkan ginkangnya dan berlari secepatnya membawa ujung jenggot itu, lari mengitari kakek itu. “Heee....!” Gitananda berteriak, akan tetapi dara itu tidak peduli, terus saja berlari cepat sekali sehingga jenggot panjang itu mulai melibat tubuh Gitananda sendiri! Kakek itu meronta-ronta dan berusaha melepaskan rambut jenggot¬nya, akan tetapi Siang In berlari makin cepat, malah dia berloncatan dan terus melibatkan jenggot panjang itu ke leher Gitananda, terus membelenggu kedua lengannya sampai kakek itu tidak mampu berkutik. Siang In masih berlari terus, mengerahkan tenaga sinkangnya untuk menarik sehingga jenggot itu mencekik leher dan ketika dara ini akhirnya me¬lepaskan ujung jenggot, tubuh kakek itu roboh dengan kaku dan lidahnya terjulur keluar, matanya mendelik dan napasnya putus! “Ihhh!” Melihat keadaan lawannya itu, Siang In bergidik ngeri dan dia lalu me¬larikan diri, lari neninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Sampai terengah-engah dia lari dan akhirnya dia men¬jatuhkan diri di atas rumput tebal dalan hutan, dadanya bergelombang dan wajah serta lehernya berpeluh. Sementara itu, Kian Bu tak pernah berhenti membayangi Siang In. Setelah menyaksikan pertandingan antara dua orang ahli sihir itu, Kian Bu seperti orang terkena sihir! Tersihir oleh setiap gerak-gerik dara itu. Dia mengintai dan semua tingkah dan gerak-gerik Siang In mempesona, membuatnya kagum, mem¬buatnya senang dan kini melihat dara itu menjatuhkan diri di atas rumput, meng¬usap keringat dan tiba-tiba kedua mata dara itu basah dan Siang In mulai ter¬isak menangis, Kian Bu makin terpesona! Jantung Kian Bu berdebar tegang dan dia bingung melihat gadis itu menangis tanpa sebab. Mengapa menangis? Bukankah gadis itu keluar sebagai pemenang dalam pertempuran yang seru tadi? Apakah gadis itu terluka? Tidak, dia tidak me¬lihat gadis itu terkena pukulan. Dan memang Siang In bukan menangis karena terluka. Dara ini menangis karena hatinya mengkal dan kesal. Pedang pa¬yungnya rusak, dia kehilangan benda yang disayangnya, dan memikirkan betapa dia belum juga bertemu dengan orang yang dicarinya, sebaliknya malah bertemu dengan orang-orang lain seperti Ang-siocia dan Gitananda yang hampir saja mencelakainya, dia merasa sedih dan jengkel. Maka menangislah gadis ini, me¬nangis sepuas hatinya untuk mencurahkan semua kekecewaan dan kesedihan hatinya yang bertumpuk selama ini. Makin dikenang makin sedih dia akan nasib diri¬nya yang terlunta-lunta seorang diri. Apakah yang menyebabkan dia selalu gagal dan sial? Mencari-cari Kian Bu bertahun-tahun belum juga dapat ber¬kesempatan menyampaikan isi hatinya, setelah bertemu bahkan berpisah lagi. Bertemu dengan Syanti Dewi yang ditolongnya juga kemudian gagal melindungi puteri itu. Kemudian melihat Kian Bu demikian mesra dengan Hwee Li, dan bahkan dicari-cari oleh Ang-siocia. Ah, apakah sebaiknya dia kembali saja ke Gua Tengkorak di pantai Po-hai, bertapa bersama gurunya yang sudah tua, dan membiarkan dirinya menjadi pertapa sampai tua di dalam gua itu? Teringat akan hal ini, kembali Siang In menangis tersedu-sedu. Dara ini biasanya lincah jenaka, murah senyum dan gembira, dan wataknya itulah yang seolah-olah me¬nutupi semua duka dan kecewa sampai kini sudah bertumpuk dan membanjir keluar melalui air matanya di tempat sunyi itu. Tiba-tiba terdengar langkah halus disusul suara orang yang halus pula, “No¬na, mengapa Nona begini berduka?” Siang In terperanjat seperti mendengar suara setan. Dia sampai terlonjak dari atas rumput di mana dia duduk, cepat memutar tubuh dan memandang dengan muka pucat dan mata basah. Dari balik air matanya dia melihat wajah tampan dikurung rambut putih keperakan itu. Dia mengusap air matanya untuk dapat me¬lihat lebih jelas. Benar! Siluman Kecil yang berdiri di depannya, kini berjongkok dan memandang dengan sinar mata penuh iba kepadanya. Kembali Siang In meng¬gosok kedua matanya seolah-olah dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Jangan-jangan dia masih berada dalam pengaruh sihir kakek Nepal tadi, pikirnya dan setelah membuka mata kem¬bali, ternyata memang Suma Kian Bu yang berada di depannya itu! Melihat wajah yang demikian cantik jelita dekat di depannya, wajah yang agak pucat, rambut indah hitam awut-awutan, air mata masih menuruni kedua pipinya, Kian Bu terpesona dan hatinya tergerak, penuh keharuan. “Nona.... mengapa engkau menangis di sini seorang diri? Apakah kau terluka dalam pertem¬puran tadi? Mengapa kau berduka?” Suara pemuda itu demikian penuh perhatian dan penuh iba sehingga Siang In merasa hatinya tertusuk dan kini dia makin terisak! Dia menutupi muka de¬ngan kedua tangan, pundaknya bergerak-gerak dan air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya. Suara halus yang menghibur itu malah membuatnya terharu dan makin berduka! Bertahun-tahun dia mencari pemuda ini, setelah dia hampir putus asa, tiba-tiba saja pe¬muda ini muncul di depannya, seperti dalam mimpi, dan menghibur dia seperti menghibur seorang anak kecil yang cengeng sedang menangis! Melihat Siang In menangis makin sedih, Kian Bu menjadi bingung. “Kenapa¬kah, Nona? Siapa yang menyakiti hati¬mu....?” tanyanya. Akan tetapi Siang In tidak mampu menjawab, tersedu-sedu dan ketika dara itu bingung mencari saputangan di kedua sakunya tanpa hasil, tiba-tiba Kian Bu menyodorkan saputangannya, saputangan sutera berwarna biru muda. Tanpa ber¬kata apa-apa Kian Bu menyodorkan sapu¬tangannya dan tanpa berkata apa-apa pula Siang In menerimanya dengan pun¬dak masih terguncang oleh tangis, ke¬mudian dia mempergunakan saputangan itu untuk mengusap air mata dan mem¬bersihkan hidungnya! Kian Bu mengikuti semua gerakan ini dengan hati tertarik dan rasa iba makin menebal. Kini Siang In sudah dapat menguasai dirinya, tangis¬nya terhenti dan air matanya tidak me¬ngucur lagi, sungguhpun mata dan ter¬utama ujung hidungnya masih merah! Tanpa bicara pula dia menyerahkan kem¬bali saputangan biru yang kini menjadi basah itu. Kian Bu menerimanya dan tanpa berkata apa-apa juga lalu menyim¬pan saputangan basah itu ke dalam saku bajunya. “Jadi engkaukah kiranya yang me¬nolongku tadi?” Tiba-tiba Siang In ber¬tanya, biarpun suaranya masih agak serak-serak basah karena habis menangis, na¬mun dia benar-benar telah sembuh dari rasa mengkal dan kesalnya, kini meman¬dang kepada Kian Bu dengan sepasang mata yang membuat Kian Bu tidak be¬rani menentang terlalu lama! Untuk menjawab pertanyaan itu, dia mengangguk. “Kenapa engkau menangis sedih seperti itu tadi?” Akan tetapi Siang In seperti tidak mendengar pertanyaan itu karena sebalik¬nya dari menjawab pertanyaan itu, dia malah bertanya, pertanyaan tiba-tiba yang membuat Kian Bu memandang he¬ran, “Sungguh tak pernah kusangka bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu! Apakah engkau Siluman Kecil?” Kian Bu memandang heran, akan te¬tapi dia mengangguk. “Dan engkau Suma Kian Bu?” Makin heranlah Kian Bu. Dara ini benar-benar aneh bukan main! Begini muda, paling banyak sembilan belas ta¬hun usianya, begini cantik jelita, akan tetapi memiliki kekuatan sihir yang aneh! Juga wataknya begini luar biasa, baru saja menangis begitu sedih, sekarang sudah tidak kelihatan berduka lagi biar¬pun mata dan hidungnya masih merah. Hidung yang kecil mancung dan tipis itu kemerahan, menambah cantiknya! “Heiii, bukankah engkau Suma Kian Bu? Apakah bukan? Kenapa diam saja?” Kian Bu terkejut dan gagap. “Eh.... ohhh.... benar, Nona. Aku bernama Suma Kian Bu. Kenapa Nona bertanya lagi? Apakah kakakku tidak menceritakan kepadamu?” Siang In hanya mengangguk dan se¬menjak tadi sepasang matanya tidak pernah meninggalkan wajah Kian Bu, memandang penuh selidik. Sudah ber¬tahun-tahun dia ingin bertemu dengan orang ini, ingin bicara, mencurahkan semua isi hatinya, dan kini setelah berhadapan, timbul rasa takut yang amat besar di dalam hatinya, takut kepada diri sendiri! Bagaimana kalau dugaannya selama ini benar, bahwa.... bahwa dia jatuh cinta kepada pendekar ini? Berubah¬nya keadaan Kian Bu, rambutnya yang menjadi putih semua, tidak mengubah perasaan hatinya, bahkan timbul semacam rasa iba yang besar, yang mengharukan hati Siang In. Akan tetapi, dia teringat akan hubungan Kian Bu dengan Hwee Li, kemesraan dan keakraban mereka, maka jantungnya berdebar penuh ketegangan. “Mengapa Nona tadi menangis di sini setelah berhasil mengalahkan pendeta Nepal itu, kalau aku boleh mengetahui?” kembali Kian Bu bertanya agak mendesak karena hatinya masih merasa penasaran. “Tadi aku menangis karena duka dan jengkel,” jawab Siang In tak acuh. “Ahhh! Kusangka engkau sakit....“ kata Kian Bu, membayangkan keinginan hatinya bahwa dia ingin tahu mengapa nona itu berduka dan jengkel. Siang In bangkit berdiri, mengebutkan pakaiannya yang agak kotor karena pertempuran tadi, lalu otomatis kedua ta¬ngannya diangkat ke atas untuk mem¬bereskan rambutnya yang awut-awutan. Gerakan ini adalah ciri khas wanita, gerakan yang manis sekali karena ketika kedua lengan diangkat itu, tubuh yang ramping dan padat itu makin menonjol dan kedua lengan itu membentuk lengkung-lengkung indah, jari-jari tangan yang lentik itu pun seperti menari-nari di antara rambut yang hitam halus dan panjang. Kembali Kian Bu memandang seperti terpesona. Biasanya, tidak pernah dia memperhatikan wanita, akan tetapi entah mengapa, kini dia memperhatikan setiap gerakan dara ini, seolah-olah setiap gerakan yang betapa kecil pun amat berarti baginya. “Akan tetapi sekarang aku tidak ber¬duka atau jengkel lagi, dan aku sama sekali tidak sakit. Lihat, aku sudah tidak menangis lagi!” Dan dara itu tersenyum manis. Melihat bibir itu merekah ke¬merahan, memperlihatkan kilatan gigi ¬berderet rapi yang nampak sekilas, Kian Bu melongo dan tak disengaja atau disadarinya lagi pemuda ini menelan ludah¬nya. Bukan main dara ini, bukan main anehnya dan manisnya! Baru saja me¬nangis demikian sedihnya, kini sudah ter¬senyum secerah itu. Seperti hari hujan lebat tiba-tiba menjadi terang dan mata¬hari bersinar amat cerahnya. “Eh, Kian Bu, di mana itu temanmu yang cantik?” tiba-tiba saja dara itu ber¬tanya, sampai pemuda itu terkejut di¬buatnya. “Teman cantik? Siapa?” kata Kian Bu. “Aih, masin pura-pura lagi! Siapa pula kalau bukan Hwee Li yang cantik itu? Bukankah dia itu sahabat baikmu dan bukankah engkau sudah mengejarnya ke¬tika mendengar dia dilarikan oleh Pange¬ran Liong Bian Cu? Apakah engkau tidak berhasil menolongnya?” Kian Bu menarik napas panjang, wa¬jahnya membayangkan kekhawatiran. Itu¬lah yang menjadi pengganjal hatinya sejak dia mencari kakaknya. Dia tahu bahwa Kian Lee mengejar Pangeran Ne¬pal untuk menolong Hwee Li, akan tetapi sampai kini dia tidak berhasil menemu¬kan mereka dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Hwee Li yang dilarikan Pangeran Nepal. Melihat pemuda itu me¬narik napas panjang dan wajahnya mu¬ram, Siang In tersenyum mengejek untuk menutupi perasaan hatinya yang panas oleh cemburu! “Engkau tentu mencinta sekali kepada Hwee Li, bukan? Dan engkau khawatir akan keselamatannya?” Mendengar ini, Kian Bu teringat be¬tapa dara ini amat membenci Hwee Li, atau sebaliknya Hwee Li membenci dara ini karena cemburu, maka mendengar ucapan itu dia cepat menjawab, “Harap Nona jangan salah mengerti. Hwee Li adalah seorang sahabat baikku, tentu saja aku merasa khawatir mendengar dia di¬larikan Pangeran Nepal. Akan tetapi tidak ada perasaan saling cinta antara kami seperti yang Nona sangka itu.” Jawaban ini benar-benar menyenang¬kan hati Siang In dan senyumnya makin cerah, lalu dia berkata, “Ahhh, kalau be¬gitu aku telah berdosa terhadap Hwee Li! Kiranya dia seorang yang setia ter¬hadap cintanya. Kian Bu, aku sudah salah sangka sehingga aku merasa kasihan ke¬pada Kian Lee dan membenci Hwee Li.” “Mengapa begitu, Nona?” “Ih, engkau ini menjemukan! Nona-nonaan segala macam, seperti kita ini belum pernah berkenalan saja!” Kian Bu menahan senyumnya. Memang dara ini luar biasa sekali, tiada keduanya di dunia ini. Begitu lucu! Padahal, me¬mang dia belum pernah berkenalan de¬ngan dara ini, mengapa sikap dara ini demikian polos terbuka? Akan tetapi, dia tidak mau membikin hati gadis itu tidak senang, maka katanya lagi, “Mengapa tadinya engkau merasa kasihan kepada Lee-ko dan membenci.... Enci Hwee Li?” “Karena kusangka engkau dan Hwee Li sudah saling jatuh cinta!” Berdebar rasa jantung Kian Bu. “An¬daikata benar begitu, mengapa?” Dia mendesak, menatap wajah yang ayu itu penuh perhatian dan penuh selidik. Siang In juga memandang. Dua pasang mata bertemu, akan tetapi Siang In lalu membuang muka. “Mengapa? Tentu saja aku kasihan kepada Kian Lee karena cintanya terhadap Hwee Li menjadi sia-sia, dan aku membenci Hwee Li karena berarti dia gadis tidak setia. Akan tetapi syukur, engkau dan dia tidak saling men¬cinta!” Ucapan ini membuat jantung Kian Bu makin berdebar girang. “Kalau begitu.... kalau begitu.... kami, aku dan Hwee Li juga salah sangka! Kami mengira bahwa antara engkau dan Lee-ko....“ “Ya, ada apa? Bicara mengapa gagap-gugup begitu? Beginikah Pendekar Silu¬man Kecil yang terkenal itu? Bicara saja takut!” “Kami berdua tadinya mengira bahwa kalian sudah saling cinta. Ah, kiranya tidak, sungguh gembira hatiku!” Kian Bu berkata, wajahnya berseri-seri. Kini Siang In yang memandang penuh selidik, demikian tajam sinar kedua ma¬tanya yang jeli dan mempunyai kekuatan sihir itu sehingga Kian Bu teringat akan sinar mata ayahnya. “Kenapa begitu? Kenapa kau gembira? Kenapa hatimu gembira mendengar bahwa aku dan Kian Lee tidak saling mencinta?” Kian Bu terkejut. Tentu saja dia ti¬dak berani mengatakan bahwa dia girang karena dengan demikian berarti bahwa hati Siang In masih “bebas”, maka dia cepat berkata, “Sama dengan alasanmu tadi. Aku gembira karena hubungan cinta kasih antara Kian Lee koko dan Enci Hwee Li tidak menjadi putus.” “Hemmm, kukira....” Siang In menundukkan mukanya, tangannya memetik ujung rumput dan jari-jari ta¬ngannya mempermainkan rumput itu. “Kaukira apa, Nona?” Sepasang mata itu mengerling tajam penuh tuntutan, Kian Bu terperanjat karena ingat bahwa kembali dia memang¬gil nona. Akan tetapi dia merasa sung¬kan untuk menyebut nama gadis itu. “Eh, kaukira apa?” Dia mengulang, tanpa menyebut nama apa pun di bela¬kang pertanyaan itu. Siang In tersenyum. “Tidak apa-apa....” Keduanya terdiam. Siang In masih menunduk dan kini melangkah lambat ke arah sebatang pohon, lalu bersandar ke pohon itu, matanya dipejamkan. Kian Bu juga melangkah mengikutinya, akan te¬tapi pemuda ini tidak tahu lagi harus berkata apa. Berada di dekat dara ini dia merasa canggung, bingung, akan te¬tapi juga gembira dan senang sekali. Seolah-olah dia baru mengenal dara ini, akan tetapi juga hatinya was-was karena dia takut kalau-kalau tidak menyenang¬kan hati dara yang lucu dan aneh ini. Hening keadaan di situ. Kian Bu me¬mandang wajah yang bersandar batang pohon dengan mata terpejam. Wajah yang cantik molek. Kulit pipinya halus ke¬merahan, hidungnya kecil lucu, dan dia seolah-olah dapat merasakan napas ha¬ngat yang keluar dari hidung dan bibir yang setengah terbuka itu. Tiba-tiba Siang In membuka matanya dan Kian Bu yang sedang bengong memandang wajah¬nya itu gelagapan, cepat menundukkan mukanya, pura-pura menendang-nendang batu kecil dengan sepatunya. Dia merasa heran mengapa dia menjadi begini kikuk di depan dara ini, padahal dia bukan anak kecil lagi. Sama sekali bukan. Bah¬kan dia sudah pernah berhubungan erat dengan wanita, dalam arti sedalam-dalamnya, yaitu ketika untuk beberapa lamanya dia tenggelam dalam peluk rayu Siluman Kucing. Dia sudah cukup dewasa, akan tetapi mengapa berhadapan dengan dara ini dia merasa seperti seorang anak kecil? “Tak kusangka sama sekali bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu,” terdengar dara itu berkata dan Kian Bu cepat mengangkat muka memandang. “Kalau aku tahu, tentu sudah dulu-dulu aku dapat menjumpaimu.” “Sekarang kita sudah saling jumpa,” kata Kian Bu, mencoba untuk senyum dan membesarkan hatinya mengusir rasa canggung. Dara itu rnenarik napas panjang. “Kian Bu, tahukah engkau betapa sudah ber¬tahun-tahun lamanya aku menginginkan pertemuan ini? Betapa aku mencari-cari¬mu sampai bertahun-tahun, sampai aku pergi ke Bhutan dan menjelajahi seluruh negeri, mencari-carimu?” Tentu saja hati Kian Bu merasa heran bukan main mendengar pengakuan ini. Biarpun dia amat tertarik kepada dara ini, begitu bertemu, yaitu ketika dara ini berkelahi dengan Hwee Li secara mati-matian, dia sudah tertarik sekali kepada dara ini. Memang dia tidak pernah dapat melupakan Teng Siang In, dara yang ketika beberapa tahun yang lalu sudah nampak cantik jelita dan lincah jenaka, apalagi karena dia pernah mencium dara ini. Mana mungkin dia dapat melupakan Siang In? Akan tetapi, dia harus meng¬aku terus terang bahwa selama ini dia tidak pernah lagi memikirkan Siang In, dan peristiwa yang lalu itu dianggapnya sudah lewat begitu saja, sampai pada saat dia bertemu kembali dengan Siang In ketika Siang In bertanding melawan Hwee Li. Barulah perhatiannya tertarik dan pengalaman-pengalaman yang lalu bersama Siang In teringat olehnya, mem¬buat dia merasa canggung sekali. Akan tetapi kini mendengar betapa dara itu mencarinya selama bertahun-tahun jauh ke Bhutan, dia benar-benar merasa terkejut dan heran sekali. “Engkau? Mencariku selama bertahun-tahun? Sungguh nengherankan sekali! Siang In, ada urusan apakah engkau mencari-cariku?” Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai berkurang rasa cang¬gung yang menghimpit hati Kian Bu, sungguhpun dia masih seperti terpesona oleh segala gerak-gerik dara ini. Dara ini adalah seorang kenalan lama, akan tetapi seperti seorang sahabat baru saja bagi Kian Bu. Dulu, di waktu dia berjumpa dan berkenalan dengan Siang In, dara ini masih merupakan seorang dara remaja, akan tetapi sekarang Siang In telah de¬wasa, sungguhpun masih belum kehilangan kelincahannya, kegalakannya dan keaneh¬an wataknya. Dulu, dara ini suka sekali menggoda orang, mengejek dan meniru¬kan gerak-gerik orang. Mendengar pertanyaan Kian Bu itu tiba-tiba saja sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar marah. “Engkau sudah lupa ataukah engkau pura-pura lupa akan perbuatanmu yang biadab be¬berapa tahun yang lalu, yang kaulakukan kepadaku?” Seketika wajah Kian Bu rnenjadi merah sekali dan kembali dia menjadi geli¬sah, gugup dan canggung! Jantungnya berdebar tegang dan tentu saja dia tahu apa yang dimaksudkan oleh dara itu! Ah, celaka sekali. Kiranya ciumannya dahulu itu menggores perasaan dara ini dan agak¬nya hal itu dijadikan dendam yang hebat oleh Siang In! Dengan muka masih merah sekali dan pandang mata hampir tidak berani her¬temu dengan sinar mata dara itu, Kian Bu berkata, kepalanya menunduk, suara¬nya terdengar penuh penyesalan besar, “Aihhh.... itukah maksudmu? Memang.... aku menyesal sekali, aku mohon maaf sebesarnya atas kelancangan dan keku¬rangajaranku itu, Siang In, akan tetapi, hal itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu, ketika kita masih.... eh, sama-sama belum dewasa benar. Aku sungguh me¬nyesal dan harap kau suka memafkan¬ku....“ “Maafkan, setelah selama bertahun-¬tahun aku tak pernah dapat melupakan penghinaan itu! Maafkan begitu saja? Aih, terlalu enak di situ dan celaka di sini kalau begitu! Susah payah aku men¬carimu bertahun-tahun, setelah sekarang dapat saling jumpa, hanya cukup dengan maaf-memaafkan begitu saja?” Kian Bu menarik napas panjang, hati¬nya merasa menyesal dan berduka sekali. Siapa duga, kenakalannya di waktu re¬maja itu agaknya kini akan mempunyai akibat yang hebat pula! Dara yang me¬narik hatinya ini, yang benar-benar mem¬bangkitkan rasa kagum dan suka di hatinya, ternyata mengandung dendam hebat kepadanya dan bahkan tidak bersedia memaafkan! Memang hidupnya selalu dirundung malang dan agaknya memang dia harus selalu menderita dalam asmara. Pertama-tama dia merasakan hati kiamat untuk pertama kalinya ketika cinta kasih¬nya terhadap Puteri Syanti Dewi tidak terbalas karena Puteri Bhutan itu men¬cinta Tek Hoat. Kemudian dia terbenam ke dalam pelukan seorang wanita seperti Mauw Siauw Mo-li, Siluman Kucing, yang sama sekali hanya mendasarkan hubungan antara mereka karena nafsu berahi se¬mata sehingga dia terseret ke dalam gelombang nafsu berahi yang menghanyut¬kan. Hal itu pun mendatangkan penyesalan yang amat hebat di dalam hatinya. Setelah itu, dia harus pula melihat ke¬hancuran hati seorang dara yang amat baik, yaitu Phang Cui Lan, karena dia tidak dapat memaksa diri membalas cin¬ta dara yang bijaksana itu. Dan masih ada lagi Ang-siocia yang dia lihat ada gejala jatuh cinta kepadanya pula, dan juga dia tidak mungkin dapat membalas cinta murid Raja Maling itu. Kini, se¬telah dia tertarik secara hebat kepada Siang In, dara yang di waktu remajanya memang pernah menarik hatinya akan tetapi karena ketika itu Siang In masih merupakan seorang dara remaja, maka hal itu tidak berkesan mendalam di hatinya, setelah kini dia merasa suka sekali, mungkin jatuh cinta kepada Siang In, dara ini malah menyimpan dendam sakit hati kepadanya karena kenakalannya dahulu, yaitu mencium dara ini, ciuman yang sesungguhnya ketika itu tidak ber¬kesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi yang sekarang, setelah timbul rasa kagumnya terhadap Siang In, agaknya menjadi hidup kembali dan mendatangkan kesan yang amat mendalam. “Aku sudah salah.... aku sudah ber¬dosa besar, terserah kepadamu, hendak memberi hukuman apa kepadaku kalau engkau tidak dapat memaafkan aku, Siang In,” katanya dengan nada sedih dan muka tunduk sehingga dia tidak melihat betapa sinar mata yang tadinya keras dari dara itu kini melembut, bahkan nampak dara itu seperti terharu. “Selama bertahun-tahun ini aku men¬carimu untuk.... untuk membunuhmu!” Kian Bu mengangkat mukanya dan terbelalak. “Membunuhku....? Hanya un¬tuk kesalahan.... men.... eh, menciummu itu....? Siang In, engkau agak terlalu keras! Memang aku bersalah dan aku menyesal, aku minta maaf, akan tetapi engkau hendak membunuhku? Ini sih.... keterlaluan....“ Wajah pemuda itu ber¬ubah agak pucat karena dia merasa pena¬saran. “Memang tadinya aku ingin membunuh¬mu, sungguhpun aku tahu bahwa tidak mungkin aku akan dapat melakukannya. Kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada semua ilmu kumiliki, bahkan guruku sen¬diri sekalipun takkan mampu menandingi¬mu. Biarpun begitu, aku tetap akan ber¬usaha membunuhmu karena apa yang kaulakukan itu hanya dapat dicuci dengan melayangnya nyawamu atau nyawaku.” Kian Bu terkejut bukan main, wajah¬nya menjadi pucat. “Ah, Siang In, meng¬apa pikiranmu demikian sempit? Urusan yang telah lalu itu terjadi ketika kita masih remaja dan aku.... aku masih belum dewasa. Mengapa kaujadikan soal yang demikian hebatnya? Tidak bisakah engkau memaafkan aku?” Dara itu menyandarkan punggungnya di atas batang pohon dan sejenak dia menatap wajah Kian Bu penuh perhatian, lalu dia menarik napas. “Memang aku sudah meragu, dan agaknya hanya ada dua pilihan bagiku, membunuhmu atau memaafkanmu. Akan tetapi untuk itu, aku harus yakin dulu dan inilah yang membuat aku selama bertahun-tahun ini ragu-ragu dan selama hidupku akan me¬ragu kalau tidak ada keyakinan sekarang juga selagi kita bertemu. He, Kian Bu! Benarkah engkau menyesali perbuatanmu dahulu itu? Benarkah engkau menyesal dan minta maaf bahwa engkau dahulu pernah menciumku?” Timbul harapan di dalam hati Kian Bu. Tadinya dia sudah khawatir setengah mati. Dara seaneh Siang In ini mungkin saja melakukan hal-hal yang luar biasa, misalnya, kalau tidak berhasil membunuh¬nya mungkin saja akan membunuh diri untuk “mencuci aib” dan kalau sampai terjadi demikian, tentu selama hidupnya dia akan merana dan merasa berdosa. Dan dia.... dia mulai tertarik dan men¬cinta dara ini! Maka, mendengar per¬tanyaan itu, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siang In! “Siang In, demi Langit dan Bumi, aku sungguh merasa menyesal dengan per¬buatanku beberapa tahun yang lalu itu, dan aku mohon maaf kepadamu atas perbuatanku itu,” katanya dengan wajah sungguh-sungguh karena memang dia rela minta maaf seperti itu daripada harus melihat dara itu mati di tangannya atau mati membunuh diri! Dia menundukkan¬ mukanya sehingga tidak melihat betapa perbuatannya itu membuat wajah yang cantik itu sejenak berseri dan matanya bercahaya! Akan tetapi hanya sebentar saja karena sambil bersandar kepada batang pohon itu, Siang In berkata de¬ngan suara seperti orang yang sama se¬kali tidak tertarik atau bahkan kesal melihat sikap Kian Bu yang berlutut kepadanya mohon maaf itu! “Tidak begitu mudah untuk memaafkan dan menghabiskan persoalan itu be¬gitu saja! Aku harus yakin dulu dan un¬tuk membuktikan penyesalanmu, engkau harus dapat memenuhi permintaanku.” Suaranya terdengar keras dan tenang, akan tetapi suara itu agak gemetar, tan¬da bahwa di balik ketenangannya, dara itu hendak menyembunyikan perasaan tegangnya. Mendengar ini, Kian Bu meloncat berdiri, timbul harapannya. “Baik, aku akan memenuhi semua permintaanmu, Siang In! Katakanlah, apa yang harus kulakukan?” Kian Bu maklum sepenuhnya bahwa kesanggupan seperti itu merupakan kebodohan, akan tetapi kesanggupannya itu tidaklah ngawur, karena berdasarkan keyakinan hatinya bahwa seorang gadis gagah perkasa seperti Siang In, yang sudah bersahabat erat dengan kakaknya, tentulah merupakan seorang gadis yang berjiwa luhur dan tidak akan minta dia melakukan suatu kejahatan. Dengan sikap ditenang-tenangkan, na¬mun matanya sayu dan suaranya gemetar, juga tangan yang menunjuk ke mukanya sendiri itu menggigil, berkatalah Siang In, “Kian Bu.... kau.... kau harus men¬cium bibirku seperti dulu!” Wajah Kian Bu menjadi pucat dan matanya memandang terbelalak kepada wajah dara itu, tangan kanan mengusap dagu penuh keheranan. Hampir dia tidak percaya akan apa yang didengarnya keluar dari mulut gadis itu. Minta dicium bibirnya? Bagaimana pula ini? Sedangkan ciumannya beberapa tahun yang lalu itu saja membuat dara ini menjadi sakit hati dan menaruh dendam sampai bertahun-tahun mencarinya untuk membunuhnya. Bagaimana sekarang dara itu minta di¬cium lagi? Gilakah dara cantik jelita ini? Atau.... jangan-jangan dara ini telah tersesat sedemikian jauhnya, menjadi wanita cabul semacam Mauw Siauw Mo¬li? Celaka? Akan tetapi, dara itu ke¬lihatan wajar saja, sepasang matanya bahkan kelihatan betapa dara itu me¬nahan kengerian, senyumnya hilang dan tubuhnya menggigil, tanda bahwa apa yang dimintanya merupakan hal yang sama sekali asing baginya dan dia me¬rasa ngeri dan takut. Akan tetapi, kalau dara ini tidak gila dan bukan seorang wanita yang cabul, mengapa mengajukan permintaan seperti itu? “Siang In....“ Kian Bu mendengar suaranya sendiri dengan perasaan heran karena suaranya itu menjadi bisik-bisik dan agak parau penuh perasaan tegang, “.... apa artinya ini....?” Suara Siang In juga berbisik-bisik dan parau, jelas suara itu menggetar penuh ketegangan, suara yang dipaksakan keluar karena sesungguhnya, saking tegangnya dara itu sudah merasa amat sukar untuk bicara, “Hanya.... ini sajalah.... yang dapat menentukan.... apakah aku akan membunuhmu atau memaafkanmu....“ Setelah berkata demikian, sambil me¬nyandarkan tubuhnya di batang pohon itu, Siang In memejamkan matanya, agaknya tidak kuat lagi dia menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata penuh selidik, penuh pertanyaan, dan penuh keheranan itu. Kian Bu mengerutkan alisnya, otaknya bekerja cepat. Akhirnya dia tak dapat berbuat lain kecuali menuruti permintaan gila itu. Dia masih belum tahu mengapa dara ini mendasarkan pilihannya kepada ciuman! Akan tetapi karena dia sudah menyatakan sanggup untuk melakukan apa saja yang diminta Siang In, maka tidak mungkin dia menarik kembali jan¬jinya. Dia sudah matang memperoleh “pendidikan” Siluman Kucing sehingga mencium bukan merupakan hal yang ter¬lalu aneh baginya. Akan tetapi, sekali ini, Kian Bu menggigil, tubuhnya terasa panas dingin dan kepalanya terasa puyeng! Dia merasa seperti terkena sihir yang amat kuat, maka cepat dia mengerahkan tenaga sinkangnya untuk mengusir pe¬rasaan itu. Namun, dia tidak tersihir, tenaga sinkangnya tidak berhasil meng¬usir sesuatu karena memang ketegangan¬nya itu sudah sewajarnya, datang dari dalam. Amat berat rasanya melaksanakan tugas ini! Dia tertarik kepada Siang In, bahkan dia merasa jatuh cinta. Tentu saja, untuk mencium dara ini merupakan hal yang amat menyenangkan, jangankan satu kali, biar disuruh menciumnya seribu kali pun dia sanggup. Akan tetapi bukan dalam keadaan seperti ini! Bukan ciuman untuk percobaan atau untuk ujian belaka! Dan dia masih belum juga mengerti mengapa dara yang mendendam sakit hati karena pernah diciumnya lagi untuk meyakinkan hatinya apakah dia akan membunuh atau memaafkan! Sungguh tak masuk akal dan gila! Namun, tidak ada pilihan lain bagi Kian Bu. Kian Bu melangkah maju, lalu diraih¬nya kedua pundak dara itu, ditariknya mendekat. Merasa betapa kedua pundak¬nya disentuh, Siang In makin keras memejamkan matanya, kedua kakinya menggigil dan napasnya terengah-engah, jelas bahwa dara itu merasa tegang bukan main. Wajahnya ditengadahkan, mulutnya agak terbuka karena napasnya tersengal-sengal. Melihat wajah yang demikian cantik¬nya, mulut yang demikian menggairahkan, dan kedua pundak yang lembut di bawah telapak tangannya, jantung Kian Bu ber¬debar. Biar apa pun jadinya, biar akibatnya dia akan dibunuh atau dimaafkan, dia harus mencurahkan segenap perasaan¬nya sekarang juga. Gadis ini minta di¬cium, baik, dia akan menciumnya dengan sepenuh perasaan hatinya, sepenuh kemesraannya, akan dicurahkan rasa berahi dan kasih sayangnya dalam ciuman itu! Didekapnya tubuh itu, dirangkulnya sampai tubuh bagian depan mereka ber¬temu ketat, kemudian Kian Bu mendekat¬kan mukanya dan perlahan-lahan dicium¬nya sepasang bibir yang setengah terbuka itu, diciumnya dengan penuh perasaan dan sepenuh kemesraan yang terkandung di dalam hatinya terhadap Siang In. Seketika naik sedu-sedan dari dalam dada Siang In dan kerongkongannya mengeluar¬kan suara keluhan, akan tetapi kedua tangan dara itu tiba-tiba merangkul leher Kian Bu dan bibirnya membalas ciuman itu. Keduanya seperti tenggelam bersama ke dalam ciuman itu, merasa seolah¬olah hati mereka saling bertemu, bertaut dan bersatu. “Siang In....!” Seluruh lahir batin Kian Bu mengeluh dan memanggil nama ini, ciumannya makin mesra, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu terkejut sekali ka¬rena kalau tadinya Siang In merangkulnya dan membalas ciumannya penuh gairah, kini tiba-tiba dara itu menjadi lemas dalam pelukannya. Ketika dia melepaskan ciumannya untuk memandang wajah itu, terdengar dari mulut dara itu keluhan lirih dan wajahnya pucat sekali, matanya terpejam dan tubuhnya lunglai. Melihat bahwa dara itu telah pingsan, Kian Bu terkejut setengah mati! “Siang In....!” Kini mulutnya yang¬ memanggil nama ini untuk membangun¬kannya, akan tetapi dara itu tetap pingsan, seperti orang tidur pulas, dan detak jantungnya lemah sekali. Kian Bu cepat memeriksa pukulan nadi dan detakan jantung, dan dia menjadi gelisah ketika melihat bahwa keadaan tubuh dara itu lemah sekali. Cepat dipondongnya tubuh itu, lalu direbahkannya di atas rumput hijau dan dengan penuh kekhawatiran, dia lalu menempelkan telapak tangannya di atas perut, dekat ulu hati dan disalur¬kannya tenaga yang hangat untuk mem¬bantu bekerjanya perjalanan darah dan pernapasan gadis itu yang amat lemah! “Siang In.... ah, Siang In...., maafkan aku.... maafkan aku....!” Kian Bu me¬ratap penuh kekhawatiran dan sekarang dia yakin benar bahwa dia jatuh cinta kepada gadis ini, bukan hanya baru se¬karang, bahkan mungkin semenjak mereka bertemu beberapa tahun dahulu, ketika mereka masih sama remaja, dalam se¬buah hutan (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dia sungguh merasa bingung dan he¬ran terhadap dara ini, apalagi ketika dia melihat bahwa Siang In memegang se¬buah pisau yang amat tajam runcing, pisau kecil yang tadi tentu dipegangnya dan kalau dara itu menghendaki, ketika mereka berpelukan dan berciuman tadi, sekali tusuk saja tentu akan tewaslah Kian Bu! Betapapun saktinya dia, dalam keadaan berpelukan dan berciuman tadi, dia tentu menjadi lengah dan sama se¬kali tidak akan mampu menghindarkan tusukan pisau itu. Akan tetapi, dara ini tidak menyerangnya dan bahkan pingsan! Ini saja sudah menjadi bukti bagi Kian Bu bahwa dara itu tidak hendak mem¬bunuhnya, berarti mengampuninya! “Siang In.... sadarlah...., kaumaafkan aku....“ bisiknya dan sekali ini, terdorong oleh rasa haru dan sayangnya, dia men¬dekatkan mukanya dan dengan sepenuh kasih hatinya, dia mencium dahi dara itu yang agak basah oleh keringat. “Kian Bu....“ Suara itu lemah meng¬getar dan Kian Bu girang bukan main, melihat dara itu telah membuka matanya dan memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, sepasang mata indah itu seperti terkatup, atau setengah terpejam, dan dua sinar mata yang aneh memancar dari balik bulu mata hitam lentik yang setengah menyembunyikan mata itu. “Siang In.... kau.... kau tidak apa-apa, bukan? Kau.... kaumaafkan aku, bukan?” Siang In tersenyum. Bukan main ma¬nisnya, biarpun wajahnya masih pucat dan bibirnya agak gemetar, seperti se¬ekor kelinci yang baru saja terlepas dari ancaman harimau. “Kini tak perlu lagi engkau minta maaf, Kian Bu. Lihat, aku tidak akan membunuhmu dan aku memaafkan sudah, aku malah bersyukur akan hal yang telah terjadi itu.” Dan sekali menggerakkan tangannya, pisau tajam runcing itu me¬lesat dan lenyap ke dalam semak-semak. “Tringgg....!” Pisau itu mencelat, membalik dan meluncur ke arah Siang In dengan kecepatan kilat. “Ahhh!” Kian Bu menggerakkan tangan¬nya dan sekali mengibaskan tangan, pisau kecil itu melesat ke bawah masuk ke dalam tanah sampai tidak lagi nampak gagangnya. Pemuda ini cepat membalikkan tubuh memandang ke arah semak-semak, dan Siang In juga sudah meloncat bangun dan memandang ke arah semak-semak itu dengan mata terbelalak. Dari dalam semak-semak itu keluarlah seorang wanita. Siang In dan Kian Bu terlonjak kaget melihat wanita cantik ini, cantik pesolek yang berdiri tersenyum mengejek kepada mereka. Siang In samar-samar masih mengenal wanita ini, dan bagi Kian Bu, perjumpaannya dengan wanita ini benar-benar amat mengejutkan hatinya. Bagaimana dia tidak akan ter¬kejut ketika mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Siluman Kucing? Mauw Siauw Mo-li yang bernama Lauw Hong Kui itu benar-benar luar biasa sekali. Usianya sekarang tentu sudah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan muda dan cantik jelita. Pakaiannya rapi dan indah, rambutnya digelung halus dan di¬hias intan permata, mukanya yang cantik itu dibedaki dan yang perlu warna merah dipoles gincu. Tubuhnya masih ramping padat, dan terutama sekali gayanya ketika dia melangkah maju, lenggangnya sungguh memikat seperti lenggang seekor harimau kelaparan! Sepasang matanya seperti hendak menelan Kian Bu bulat-bulat, penuh dengan rayuan. Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, wanita cantik ini pernah berhasil merayu dan membujuk Kian Bu beberapa tahun yang lalu ketika Kian Bu masih remaja, sehingga pemuda itu terjatuh ke dalam pelukan wanita cabul ini. Akhirnya Kian Bu insyaf dan menjauhkan diri, namun betapapun juga, wanita pertama yang pernah dikenalnya sebagai teman bermain cinta ini tentu saja selalu masih mendatangkan kenangan padanya dan betapapun juga, dia tidak dapat membenci wanita yang dia tahu amat mencintanya lahir batin ini. Maka, melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li, tentu saja Kian Bu menjadi terkejut dan makin khawatirlah dia karena sekarang dia tahu bahwa sejak tadi wanita cabul ini mengintai dan melihat perbuatannya ketika dia saling berciuman dengan Siang In tadi. Dan Siang In juga ingat akan wanita ini, yang sejak dahulu tidak disukainya, dianggapnya seorang wanita perayu yang cabul dan menjemukan. Dia mengenal wanita iblis cabul yang lihai ini, maka dia pun kaget melihat kemunculannya yang tidak terduga sama sekali dan wa¬jahnya yang tadinya pucat seketika men¬jadi merah ketika dia teringat bahwa perbuatannya bersama Kian Bu tadi tentu terlihat oleh wanita cabul ini yang sejak tadi telah bersembunyi di balik semak-semak. Kalau saja dia tahu bahwa iblis betina ini tadi bersembunyi di dalam semak-semak itu, tentu dia akan me¬lontarkan pisaunya dengan tenaga se¬penuhnya! Melihat Kian Bu memandangnya de¬ngan alis berkerut dan dara jelita itu memandangnya dengan mata terbelalak, keduanya jelas memperlihatkan sikap tidak senang, Mauw Siauw Mo-li malah tertawa. Suara ketawanya merdu, me¬ngandung suara seperti seekor kucing, dan gayanya memikat sekali, kemudian lidahnya menjilat-jilat bibir seperti seekor kucing habis makan daging dan darah, dan gerakan bibir yang dijilat-jilat lidah ini amat menggairahkan kare¬na memang dimaksudkan untuk membang¬kitkan berahi pria yang memandangnya. “Hi-hi-hik, setelah mendapatkan baju baru lalu mencampakkan baju lama, se¬telah menemukan makanan baru lalu melupakan kelezatan makanan lama, itu¬lah watak laki-laki dan agaknya engkau tidak terkecuali, Kian Bu! Mendapatkan kekasih baru lupa kepada kekasih lama. Hi-hi-hik, dan tak kusangka bahwa pe¬muda tampan yang kini sudah berjuluk Pendekar Siluman Kecil kiranya hanya seorang laki-laki yang pembosan.” Sinar mata Kian Bu menyambar dan kalau saja sinar mata itu dapat dipergu¬nakan untuk menyerang, tentu Siluman Kucing itu sudah menghadapi serangan maut! “Mauw Siauw Mo-li, mau apa eng¬kau datang mengacau di sini? Pergilah sebelum aku hilang sabar dan menghalau¬mu dengan kekerasan!” bentak Kian Bu, mukanya sudah menjadi merah sekali. Dia memang tidak mungkin membenci wanita ini yang bagaimanapun juga per¬nah menghiburnya, akan tetapi melihat wanita itu bersikap mengejek di depan Siang In, tentu saja dia menjadi marah dan tidak ingin wanita itu bicara yang bukan-bukan seperti itu. “He-he-he, engkau marah, Kian Bu? Sekarang engkau marah, akan tetapi beberapa tahun yang lalu.... hemmm, di atas kereta itu, lupakah....” “Tutup mulutmu yang kotor! Dan per¬gilah!” bentak Kian Bu sambil melangkah maju setindak, kedua tangan dikepal dan sinar matanya penuh ancaman. Tentu saja dia marah karena wanita cabul rtu mengingatkan betapa dulu di atas kereta anak buah Lembah Bunga Hitam, dia dan wanita cabul itu telah bermain cinta de¬ngan mesra (baca Kisah Sepasang Raja¬wali)! Diingatkan akan hal yang amat memalukan hatinya itu, apalagi di depan Siang In, benar-benar membuat dia naik darah! “Hemmm, hendak kulihat apakah pen¬dekar yang terkenal dengan julukan Silu¬man Kecil itu benar-benar tega membunuhku dan melupakan segala-galanya,” kata wanita itu dan pada saat itu ter¬dengar suara dahsyat dari jauh. “Sumoi, memang dia itu laki-laki tak tahu malu, perayu jahat! Puteriku pun dirayunya sampai habis-habisan dan se¬karang malah puteriku diculik oleh kakaknya. Memang anak-anak Pendekar Silu¬man Pulau Es ini kurang ajar sekali dan harus dibasmi habis!” Muncullah seorang kakek raksasa yang ganas, yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo! Melihat munculnya kakek ini, Kian Bu makin marah. “Bagus! Kalian dua orang manusia iblis, selalu melakukan kejahatan di dunia ini dan sudah sepatutnya kalau aku turun tangan melenyapkan kalian!” “Kian Bu, kalau aku tak dapat men¬dapatkan tubuhmu, biarlah kuperoleh nyawamu! Suheng, mari kita bunuh dia, baru nanti dara itu kuhadiahkan kepada¬mu!” Setelah berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li sudah mencabut pedangnya dan menyerang. Sinar hijau pedangnya meluncur cepat ke arah Kian Bu. Mendengar kata-kata itu, lenyaplah sisa-sisa kenangan dan perasaan lembut di dalam hati Kian Bu terhadap wanita itu dan dengan cepat dia mengelak lalu balas menyerang dengan dorongan tangan kiri ke arah perut wanita itu. Mauw Siauw Mo-li sudah mengenal kelihaian Kian Bu, apalagi setelah pemuda ini berjuluk Siluman Kecil yang sakti dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw, maka dia tidak berani lengah. Cepat dia meloncat ke belakang sambil memutar pe¬dangnya melindungi tubuh. Pada saat itu, Hek-tiauw Lo-mo yang membenci semua orang Pulau Es, mengeluarkan teriakan dahsyat dan dia pun sudah menerjang ke depan dengan golok gergaji di tangan kanan. Bacokan golok yang mempunyai gerakan berputar ini disusul tamparan tangan kiri yang mengeluarkan uap hitam. Tamparan ini bah¬kan lebih dahsyat daripada senjata golok gergajinya yang mengerikan itu, karena pukulan itu adalah Ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) yang amat ampuh, suatu ilmu yang diperoleh¬nya dari kitab curian milik Go-bi Bu Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok dari Gurung Pasir Go-bi. Namun Pendekar Siluman Kecil sudah melesat dan menghindarkan diri dari serangan raksasa itu dengan kecepatan kilat, tubuhnya berkelebat seperti kilat, bahkan dia sudah membalas serangan itu dengan kontan, menerjang dari atas se¬telah tubuhnya tadi melesat naik seperti burung terbang. Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengelak sambil memutar goloknya, bayangan Kian Bu sudah mencelat ke arah Mauw Siauw Mo-li dan menyerang dengan tendangan kilat yang hampir saja mengenai lengan wanita cabul itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat. Tingkat kepandaian Siluman Kecil Suma Kian Bu pada waktu itu sudah amat tinggi sehingga andaikata dia harus melawan dua orang kakak beradik seperguruan itu satu lawan satu, maka kiranya dia akan berhasil merobohkan lawan dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus. Akan tetapi, dua orang manusia iblis itu maju bersama dan karena mereka itu adalah kakak dan adik seper¬guruan, tentu saja mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik. Mereka saling mengenal dasar gerakan mereka yang sesumber, maka kerja sama mereka ter¬atur sekali dan kelihaian mereka tentu saja menjadi berganda, membuat Kian Bu harus berhati-hati dan pemuda ini mem¬pergunakan ilmunya yang luar biasa, yaitu Sin-ho-coan-in, ilmu yang membuat tubuhnya berkelebatan seperti kilat de¬ngan kecepatan luar biasa sehingga dua orang lawannya menjadi bingung seperti mengejar-ngejar bayangan. Siang In sejak tadi menonton dengan mata terbelalak. Dia masih kagum dan juga ngeri, kagum kepada Kian Bu yang luar biasa hebatnya itu, dan ngeri me¬nyaksikan keganasan dua orang yang mengeroyok Siluman Kecil itu. Dari ge¬rakan-gerakan mereka, dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaian silatnya mung¬kin hanya dapat menandingi wanita siluman itu, sungguhpun dia tahu bahwa tidak akan mudah bagi dia untuk merobohkan wanita yang amat lihai itu, dan dia pun tahu bahwa dibandingkan dengan raksasa itu, dia masih kalah jauh. Dan kini, dua orang lihai itu menyerang de¬ngan senjata yang ampuh, namun Kian Bu menghadapi mereka hanya dengan bertangan kosong, dan pemuda itu sama sekali tidak kelihatan terdesak! Siang In tidak bergerak membantu Kian Bu. Selain bingung menyaksikan gerakan Kian Bu yang mencelat ke sana-sini secepat itu dan takut kalau bantuan¬nya malah akan mengacaukan gerakan¬nya, juga dia merasa tidak enak men¬dengar ucapan-ucapan Siluman Kucing tadi. Apalagi mendengar ucapan Hek-tiauw Lo-mo bahwa Kian Bu merayu puterinya habis-habisan! Hatinya mulai merasa tidak senang dan kini dia hanya menonton sambil berjaga-jaga untuk membantu Kian Bu apabila perlu, sung¬guhpun kini dia merasa hampir yakin bahwa Kian Bu pasti akan dapat menga¬tasi kedua orang lawannya. Dugaan Siang In memang tidak keliru. Dengan kecepatan gerakan Ilmu Sin-ho¬ coan-in, Kian Bu mulai mendesak kedua orang lawannya. Dia lebih banyak menyerang, karena dua orang lawan itu sama sekali tidak memperoleh kesempat¬an untuk menyerang bayangan yang berkelebatan menyambar mereka dari segala jurusan itu. Sedemikian cepatnya gerakan Kian Bu sehingga dia seolah-olah berubah menjadi beberapa orang banyaknya! “Hyaaaaakkk....!” Hek-tiauw Lo-mo membentak dan tangan kirinya bergerak. Sinar hitam lebar menyambar ke arah bayangan Kian Bu dan itu adalah senjata rahasianya yang amat ampuh dan be¬bahaya, yaitu jala hitam terbuat dari benang lembut yang amat kuat. Jala itu menyambar cepat sekali, akan tetapi gerakan Kian Bu masih lebih cepat kare¬na dia sudah dapat menghindarkan diri, bahkan tangannya menyambar ujung jala dan ditariknya jala itu ke arah sinar hijau dari pedang Mauw Siauw Mo-li yang menusuknya. “Brettt....!” Jala itu terobek pedang, akan tetapi pedang hijau di tangan wa¬nita cabul itu pun terbelit jala. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kian Bu untuk menendang. Wanita itu masih ber¬usaha menghindarkan tendangan dengan melempar tubuh ke belakang dan menarik pedang sekuatnya, namun tetap saja pang¬kal paha kirinya tercium ujung sepatu. “Aduhhh....!” Wanita itu terpental dan pedangnya sudah terlepas dari libatan jala, kemudian dia terbanting dan ber¬gulingan lalu meloncat berdiri sambil meringis dan tangan kirinya mengelus-elus pangkal paha yang terasa nyeri dan panas. Akan tetapi, hatinya lebih panas lagi daripada pangkal pahanya yang tidak terluka parah hanya nyeri dan panas itu, karena dia mengingat betapa dahulu, ba¬gian tubuh itu pernah diusap dan dibelai sayang oleh Kian Bu, akan tetapi kini ditendang! Dia merasa terhina sekali. Sementara itu, melihat jalanya robek, Hek-tiauw Lo-mo membentak dan golok¬nya membacok ke arah Kian Bu, disusul hantaman tangan kirinya. Kian Bu mi¬ringkan tubuhnya ke kanan, membiarkan golok menyambar lewat dan melihat tangan kiri lawan yang mengeluarkan asap itu memukulnya dengan tangan ter¬buka ke arah dada, dia pun cepat me¬mapaki dengan tangan kanannya. “Desss!” Dua telapak tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terjengkang dan roboh bergulingan sampai beberapa meter jauh¬nya! Biarpun dia tidak terluka parah, namun tenaga pukulannya yang membalik karena kalah kuat bertemu dengan hawa sinkang lawan tadi telah memukulnya sendiri, membuat napasnya sesak dan tubuhnya gemetar! Akan tetapi pada saat itu, Mauw Siauw Mo-li yang melihat bahwa dia dan suhengnya takkan mampu mengalahkan Kian Bu, sudah melontarkan beberapa buah benda hitam ke arah Siang In! Dara ini tidak tahu benda apa yang menyam¬bar ke arahnya itu, maka dengan cepat dia hendak menangkis. “Jangan ditangkis....!” Kian Bu ber¬seru dan tubuhnya berkelebat cepat se¬kali, tahu-tahu Siang In telah dipondongnya dan dibawanya berloncatan ke kanan kiri. Terdengar ledakan-ledakan keras bertubi-tubi, akan tetapi selalu dapat dielakkan oleh Kian Bu yang memondong tubuh Siang In. Setelah ledakan tidak terdengar lagi, tempat itu menjadi gelap oleh asap hitam dan dua orang manusia iblis itu telah lenyap. Kian Bu beberapa kali melompat jauh, keluar dari lingkungan asap itu, lalu menurunkan Siang In dan mengomel ge¬mas, “Hemmm, lain kali aku tidak akan memberi kesempatan kepada mereka untuk melarikan diri.” Siang In memandang kagum kepada Kian Bu, lalu menghampirinya dan me¬megang kedua lengannya, “Kian Bu, eng¬kau hebat sekali....“ katanya. Mereka saling berpegang tangan, ber¬hadapan dan saling pandang dengan me¬sra. Ketika pandang mata mereka ber¬taut, yakinlah Kian Bu bahwa dia benar-benar mencinta dara ini. Semua rasa cintanya terpancar dari pandang mata¬nya, terasa benar oleh Siang In dan mem¬buat bulu tengkuk dara itu meremang dan dia cepat-cepat menundukkan muka¬nya. Dara lincah yang biasanya suka menggoda orang itu kini kemalu-maluan menatap sinar mata yang demi¬kian penuh cinta kasih. Akan tetapi Siang In segera teringat akan semua ucapan dua orang manusia iblis tadi, maka alisnya berkerut dan rasa malu, tadi lenyap ketika dia mengangkat mukanya dan bertanya, “Kian Bu, apa artinya ucapan raksasa tadi bahwa engkau merayu puterinya?” Kian Bu tersenyum. “Puterinya adalah Hwee Li, dan sudah kuceritakan kepada¬mu tentang Hwee Li. Agaknya dia pun menyangka bahwa antara Hwee Li dan aku ada hubungan yang tidak dikehendakinya, padahal di antara kami hanya ter¬dapat tali persahabatan saja, dan Hwee Li mencinta kakakku....“ “Dan ucapan-ucapan wanita tadi? Dia....“ Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia merasa malu meng¬ingat dan membayangkan arti ucapan wanita tadi. Wajah Kian Bu menjadi muram dan alisnya berkerut. “Ah, jangan kaudengarkan ucapan iblis betina itu! Dia curang dan bicaranya sama sekali tidak ada artinya, tidak perlu didengar dan diper¬caya. Sudah terlalu banyak dia membuat malapetaka.” Agaknya Siang In percaya dan wajah¬nya berseri kembali, dan setelah mereka saling pandang kembali timbul kemesraan dan rasa malu, apalagi ketika Kian Bu mendekatkan muka sehingga hidung pe¬muda itu menyentuh pelipisnya, dia cepat menundukkan mukanya. Seketika Kian Bu sudah melupakan dua orang musuh tadi, kini dia teringat akan ciuman yang mem¬buat dara itu tadi menjadi pingsan! “Siang In, betapa engkau tadi mem¬buat aku hampir mati karena khawatir. Mengapa engkau menjadi pingsan tanpa sebab? Dan apa artinya pisau yang ber¬ada di tanganmu tadi? Mengapa pula engkau.... menyuruh aku.... menciummu? Semua itu merupakan teka-teki bagiku, mengundang banyak dugaan yang mem¬bingungkan. Maukah engkau menjelaskan kepadaku, Sayang?” Mendengar sebutan itu, wajah Siang In menjadi merah sekali dan sambil menunduk dia tersenyum malu-malu dan penuh rasa bahagia. Jari-jari tangannya yang saling genggam dengan jari tangan Kian Bu itu gemetar dan dari jari-jari tangan kedua orang muda ini tersalur getaran-getaran yang penuh arti, terasa sampai ke dasar jantung. Getaran-getaran cinta yang tak perlu lagi dinyatakan dengan kata-kata yang dalam keadaan seperti itu sudah kehilangan arti dan kegunaannya, bahkan hanya mendatangkan kecanggungan belaka. Bahasa cinta me¬lalui getaran sentuhan, melalui senyum dan terutama melalui sinar mata sudah lebih dari cukup mewakili suara hati masing-masing, jauh lebih sempurna dari¬pada kata-kata yang biasanya hampa dan dibuat-buat. Getaran dan sinar mata tidak mungkin dapat dibuat-buat seperti suara melalui kata-kata. “Kian Bu, sebelum aku menjawab, aku ingin lebih dulu mengetahui isi hatimu. Jawablah, adakah engkau merasakan se¬suatu dalam.... dalam.... ciuman tadi?” “Ahhh....!” Dengan mesra Kian Bu merangkul dan mendekap kepala dara itu ke dadanya, jantungnya berdegup dekat telinga Siang In yang seolah-olah mendengar bisikan hati melalui degup jantung itu. “Siang In.... aku merasakan sesuatu yang ajaib, seolah-olah langit terbuka dan kita berdua terbang ke angkasa, aku.... aku.... ah, sukarlah menceritakan apa yang kurasakan tadi sampai.... sam¬pai aku terkejut melihat engkau terkulai....” Siang In menyandarkan kepalanya di dada yang kuat itu, lalu bisiknya halus, “....lanjutkan.... lanjutkan....“ “Mula-mula aku merasa heran dan terkejut, lalu takut-takut untuk men¬ciummu seperti yang kauminta, Siang In. Akan tetapi ketika aku melakukannya, ahhh.... dunia seakan kiamat! Aku me¬rasa seperti tidak berpijak di atas bumi lagi.... dan.... dan pada detik itu juga tahulah aku....“ Kian Bu berhenti dan menunduk, mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu. “Tahu apakah, Kian Bu....?” Suara itu makin lirih, berbisik dan gemetar. “Aku tahu dan yakin benar, pada saat aku menciummu tadi, bahwa aku cinta padamu, Siang In.” Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Pengakuan inilah, sungguhpun dia telah merasakan cinta pemuda itu melalui ciuman, melalui tatapan mata, melalui sentuhan ujung jari-jari tangan, melalui degup jantung di dekat telinganya, namun belum puas hatinya kalau belum mendengar pengakuan itu melalui mulut. Memang demikianlah keadaan kita manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita sudah terdidik dan terbiasa untuk menilai segala sesuatu melalui kata-kata sehingga terjerumuslah kita semua ke dalam dunia penuh kepalsuan yang ter¬sembunyi di balik kata-kata manis! Dan kepalsuan-kepalsuan melalui kata-kata manis dan senyum buatan ini oleh kita dinamai peradaban. Sesungguhnya pera¬daban yang tidak beradab. Kita namakan pula kesopanan. Kesopanan yang tidak sopan. Kita sudah terbiasa untuk menilai keadaan luarnya saja. Inilah yang menye¬babkan kita sering tergelincir oleh kemanisan kata-kata dan sikap palsu. Kita tidak lagi peka untuk mengenal keadaan yang lebih mendalam, karena perasaan kita sudah dibikin tumpul oleh kebiasaan menilai kulitnya saja. Maka diobral orang¬lah kata-kata “aku cinta padamu” se¬hingga tidak ada artinya lagi. Diobral orang pula senyum palsu, sikap meng¬hormat, menjilat, yang kesemuanya itu sesungguhnya tidak wajar dan palsu ada¬nya. Hal ini dapat kita lihat jelas sekali terjadi di sekeliling kita, bahkan dalam diri kita, kalau saja kita mau membuka mata memandang dan mengamati apa adanya. Dapatkah kita hidup tanpa men¬jadi hamba kepalsuan ini? Demikianlah pula dengan Siang In. Dia sudah yakin benar akan perasaan Kian Bu kepadanya, namun tidak puaslah hatinya kalau dia tidak mendengar per¬nyataan cinta itu melalui kata-kata, padahal pernyataan macam ini sesungguh¬nya tidak ada harganya sama sekali, karena apakah artinya kata-kata hampa dibandingkan dengan perasaan yang murni dan agung itu? Cinta asmara lautan rahasia kemesraan sejuta. Menciptakan embun sakti menembus lubuk hati. Anggur semanis madu bunga dan lagu merdu. Kepuasan yang nikmat sorga yang memikat. Namun juga membawa bara api menghanguskan hati. Sepahit empedu maki kutuk menggebu. Kekecewaan mencekam neraka jahanam! Cinta asmara, lautan suka-duka.... Sampai lama rasanya ucapan Kian Bu dalam kalimat terakhir tadi, yaitu “aku cinta padamu” bergema di dalam ruang hati Siang In, membuat dia seperti ter¬lena, seperti terayun dalam buaian kasih sayang yang membawanya terbang ke sorga ke tujuh! “Sekarang akan kuceritakan padamu, Kian Bu. Dengarlah akan tetapi jangan menatap wajahku, aku.... aku malu se¬sungguhnya untuk menceritakan. Akan tetapi karena engkau cinta padaku, se¬perti yang baru saja kaukatakan, biarlah kuceritakan kepadamu juga.” Siang In memejamkan matanya dan masih bersan¬dar di dada Kian Bu, kemudian dia me¬lanjutkan dengan suara lirih berbisik-bisik. “Semenjak engkau menciumku di da¬lam hutan beberapa tahun yang lalu itu, aku.... tidak pernah lagi dapat melupa¬kanmu, tidak pernah dapat melupakan saat engkau menciumku itu. Ada dua macam perasaan selalu berperang di dalam hatiku, yaitu perasaan terhina yang menimbulkan benci dan perasaan gembira yang sukar dilukiskan. Perasaan-perasaan yang berperang itulah yang menimbulkan suka dan benci kepada ba¬yanganmu. Maka setelah aku selesai mem¬pelajari ilmu dari suhu, aku lalu pergi mencarimu, sampai aku tiba di Bhutan dan di tempat-tempat jauh. Aku men¬carimu dengan dua macam niat, yaitu membunuhmu atau memaafkanmu. Dan dua niat itu hanya dapat ditentukan oleh perasaan hatiku kepadamu, apakah benci ataukah cinta! Maka aku mengambil ke¬putusan, yaitu kalau aku bertemu dengan¬mu, sebelum melakukan sesuatu, aku harus lebih dulu yakin, apakah aku benci atau cinta kepadamu, apakah ciumanmu itu mendatangkan duka atau suka. Dan untuk dapat merasa yakin, aku harus minta kaucium sekali lagi! Nah, kini engkau mengerti mengapa aku minta cium padamu.” Siang In masih memejam¬kan mata karena dia menceritakan ini dengan perasaan malu sekali. Kian Bu tahu betapa berat dan malu rasa hati kekasihnya itu untuk menceri¬takan semua ini, maka dia pun tidak mau menambah beban itu dengan me¬natap wajahnya, melainkan mencium rambut kepala itu dengan mesra. “Ah, engkau memang seorang dara yang luar biasa, aneh, berani, jujur dan.... hebat!”¬ Biarpun yang dicium hanya rambut kepalanya, akan tetapi Siang In sudah merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar dan jantung berdebar. “Dengarkan dulu ceritaku, Kian Bu.” Dia mengeluh dan agak menjauhkan kepalanya untuk meng¬hentikan pemuda itu menciumi rambutnya. “Lanjutkanlah, Siang In.” “Ketika engkau menciumku untuk kedua kalinya, aku diam-diam sudah mem¬persiapkan pisau itu. Kalau dari ciuman itu aku menjadi yakin bahwa aku benci padamu, maka pisau itu akan menewas¬kanmu di saat itu juga, karena hanya saat itulah kesempatan satu-satunya bagi¬ku untuk membalas dendam. Dalam ke¬adaan biasa, mana mungkin aku dapat menandingimu? Nah, itulah sebabnya mengapa aku memegang pisau itu.” “Hebat! Engkau memang pintar se¬kali!” Kian Bu memuji dan hati Siang In merasa senang sekali. Ah, betapa cinta asmara membuat orang menjadi buta akan kenyataan. Andaikata pada saat itu perasaan Kian Bu terhadap Siang In lain, tentu bukan pujian yang keluar dari mu¬lut pemuda ini. Mungkin sebutan pintar itu akan berubah menjadi sebutan curang atau pengecut! Jelaslah bahwa penilaian terhadap suatu tindakan atau perbuatan itu tergantung dari keadaan batin se¬seorang. Bagi seorang yang sedang men¬cinta, maka segala macam perbuatan orang yang dicintanya itu akan nampak baik dan benar belaka. Sebaliknya, bagi seorang yang sedang membenci, maka segala macam perbuatan orang yang dibencinya itu akan nampak jahat dan sa¬lah belaka. Oleh karena itu sudah jelas pula bahwa penilaian adalah palsu, kare¬na penilaian didasari atas rasa suka atau tidak suka. Penilaian hanya mendatangkan konflik, karena yang dinilai baik oleh A, belum tentu dinilai baik oleh B, dan mungkin dinilai jahat oleh C, dan selan¬jutnya. Apa adanya dan yang sesungguh¬nya tidak baik tidak pula jahat, tidak bagus dan tidak pula jelek, karena baik dan buruk hanyalah hasil penilaian dan kita sudah tahu bahwa penilaian adalah palsu. Pengertian yang mendalam dan menyeluruh tentang kenyataan ini akan membuat kita hanya mengamati belaka tanpa penilaian sehingga kita tidak ter¬seret untuk mengambil kesimpulan, pen¬dapat, melainkan mengamati saja penuh kewaspadaan. “Sekarang tentang mengapa aku men¬jadi pingsan. Ohhh, Kian Bu, bagaimana aku dapat menjelaskan itu? Ketika eng¬kau menciumku, aku.... aku merasa.... seperti yang kaurasakan pula, aku merasa bahwa itulah sesungguhnya yang kurindu¬kan selama ini, pelukan dan ciumanmu, dirimu.... dan aku tahu bahwa aku cinta padamu, Kian Bu. Mengingat betapa pi¬sau sudah di tangan, betapa hampir saja aku membunuh satu-satunya pria yang kucinta semenjak bertahun-tahun yang lalu, membuat aku begitu tegang dan terharu sampai aku tidak ingat apa-apa lagi....” “Siang In, dewiku.... pujaan hatiku....“ Kian Bu merasa terharu sekali dan kini dia mendekap lebih erat, mengangkat wajah ayu itu dan menciuminya dengan sepenuh perasaan cintanya. Siang In mengeluh lirih dan mandah saja, bahkan kadang-kadang membalas ciuman itu, terdorong oleh perasaan hati¬nya yang mencinta. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman Kian Bu makin lama ma¬kin panas, dara itu lalu menarik dirinya, mukanya merah sekali, pandang matanya setengah terpejam, mulutnya setengah terbuka dan terengah. Ketika Kian Bu hendak merangkulnya, dia menolak halus dengan kedua tangannya. “Jangan.... sudah cukup, Kian Bu, jangan....“ bisiknya di antara napasnya yang terengah. Wajah Kian Bu juga merah padam, matanya mengeluarkan sinar aneh. “Kenapa, Siang In? Kenapa....? Bukankah kita saling mencinta....?” Siang In melangkah mundur dua lang¬kah. “Justeru karena cinta kita, maka kita harus tidak melanjutkan itu, Kian Bu. Tidak baik kalau dilanjutkan. Karena cinta kita, maka kita harus saling men¬jaga, kita harus mempertahankan, me¬nunda dan menyimpan itu sampai pada saatnya yang tepat, yaitu.... kelak kalau kita sudah menjadi suami isteri, sudah menikah!” Mendengar ini, seketika sadarlah Kian Bu dan dia merasa malu sendiri. Memang tadi, setelah menciumi wajah Siang In, setelah merasa betapa bibir yang lunak itu membalas ciumannya, dia tenggelam dalam gelombang nafsu berahi yang men¬dorong-dorongnya untuk bertindak lebih jauh, untuk memuaskan gelora nafsu berahinya! Celaka, semua ini adalah gara-gara Siluman Kucing, keluhnya dalam hati. Dia memandang wajah kekasihnya dan tiba-tiba dia menjatuhkan diri ber¬lutut karena merasa berdosa sekali. “Ah, betapa bijaksana engkau, dewiku. Betapa murni hatimu, dan aku.... aku memang bersalah. Aku bersumpah tidak akan berani mengganggumu lagi sampai.... sampai kita menikah kelak.” NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar