Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 36.

Jodoh Rajawali Jilid 36:
Jodoh Rajawali Jilid - 36 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 36 “Mampuslah.... haaaiiiittttt!” Kaki kirinya melangkah ke depan, dengan tubuh miring pangeran itu audah menghantam dengan tangan kirinya yang dibuka, dari telapak tangan kiri itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah dada Suma Kian Lee. Namun, pemuda sakti dari pulau Es ini tentu saja sama sekali tidak merasa gentar meng¬hadapi serangan dahsyat itu. Dia menge¬nal pukulan sakti yang ampuh, akan te¬tapi dia sarma sekali tidak mengelak atau mundur, bahkan dia bergerak maju ke depan dan menggerakkan tangan kanan untuk menangkis dari samping ke arah lengan kiri lawan yang menyambar ke arah dadanya, tentu saja sambil menge¬rahkan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin. “Dukkk!” Pertemuan dua tenagga itu membuktikan betapa pangeran itu masih tidak mampu menandingi kekuatan pe¬muda Pulau Es dan serangannya tadi bukan hanya dapat digagalkan, bahkan tubuhnya menjadi condong ke depan keti¬ka lengannya tertangkis. Namun, Pange¬ran Nepal yang marah itu sudah menyu¬sulkan serangan bertubi-tubi dengan Ilmu Pukulan Im-yang Sin-ciang kepada lawan¬nya. Tingkat kepandaian Kian Lee memang lebih tinggi dairipada lawannya, dan te¬naga sinkangnya selain lebih murni juga lebih besar, maka tentu saja tidak sukar bagi Kian Lee untuk menghadapi serang¬an bertubi-tubi itu yang kesemuanya dapat dielakkannya atau ditangkisnya. Akan tetapi, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal, maka tingkat ke¬pandaiannya sudah cukup tinggi untuk dapat dikalahkan dalam waktu singkat oleh Kian Lee. Dia terus menyerang dan mendesak karena dia sudah bertekad untuk menangkan perebutan ini. Dia mak¬lum bahwa menghadapi pemuda ini, tak mungkin baginya untuk melarikan diri sambil membawa Hwee Li. Dia harus lebih dulu merobohkan pemuda ini kalau dia ingin berhasil membawa Hwee Li kembali ke Nepal. Akan tetapi gerakan Kian Lee tenang dan kuat sekali, setiap serangan lawan yang ditangkisnya tentu membuat lawen terhuyung. Melihat betapa semua serangannya gagal, Liong Bian Cu menjadi makin marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang dan mengucap¬kan beberapa kata-kata mantera dalam bahasa Nepal, disertai dorongan kedua tangannya. Dua telapak tangannya itu berubah menjadi merah dan putih. Yang kanan merah mengepulkan asap panas dan yang kiri menjadi pucat putih ke¬biruan mengeluarkan hawa dingin sekali. Inilah puncak dari llmu Im-yang Sin-ciang yang dilakukan untuk menyerang, di¬barengi dengan kekuatan ilmu hitam yang dipelajarinya dari ahli-ahli sihir di Nepal seperti Gitananda. Kian Lee terkejut bukan main karena lengking yang disertai mantera aneh itu membuat jantungnya tergetar dan pandang matanya gelap seolah-olah kepala¬nya disambar kilat dan dia terhuyung. Padahal pada saat itu lawannya telah melakukan pukulan jurus paling bahaya dari ilmu Im-yang Sin-ciang! Akan tetapi, Suma Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang sejak kecil sudah menerima gemblengan sempurna dari ayah bundanya dan selama bertahun-tahun ini dia telah mengalami banyak pertempuran yang mematangkan dirinya. Oleh karena itu, menghadapi bahaya ini dia sebagai putera Pendekar Super Sakti segera maklum bahwa lawan mempergunakan kekuasaan mujijat, maka dia cepat mengerahkan tenaga murni dari pusarnya, menahan napas dan membentak dengan suara dahsyat. Seketika lenyaplah pengaruh aneh yang membuatnya pening itu dan pada saat itu dia cepat mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan lawan. “Desssss....!” Pertemuan dua pasang tangan itu hebat bukan main. Seolah-olah udara di sekitar tempat itu dipenuhi dengan getaran amat kuat karena Suma Kian Lee telah menyambut hantaman Im-¬yang Sin-ciang itu dengan gabungan ke¬dua tenaga itu pula, yaitu tangan kirinya yang menyambut tangan kanan yang me¬rah dari lawan itu diisi dengan Swat-im Sin-kang yang dingin, sedangkan ta¬ngan kiri lawan yang dingin putih kebiru¬an itu disambutnya dengan Hwi-yang Sin-kang di tangan kirinya yang mengandung hawa panas. Maka sekali ini mereka menggunakan keras lawan keras dan aki¬batnya tubuh pangeran itu terlempar kebelakang seperti setangkai daun kering tertiup angin dan terbanting roboh tak sadarkan diri lagi! Kian Lee juga merasa betapa tubuh¬nya terguncang hebat, namun dia tidak mengalami luka karena tenaganya me¬mang lebih besar. Karena dia ingin me¬lihat akibat dari adu tenaga sakti itu, sekali melompat dia sudah becada di dekat tubuh Liong Bian Cu yang rebah miring. “Jangan bunuh dia....!” Kian Lee yang sedang membungkuk untuk memeriksa keadaan Liong Bian Cu itu terkejut sekali mendengar seruan ini dan dia cepat menghampiri Hwee Li, kemudian menotok dara itu untuk mem¬bebaskannya. Begitu terbebas dari totok¬an, Hwee Li memulihkan jalan darahnya dan segera berlari menghampiri tubuh Liong Bian Cu yang masih menggeletak miring tak bergerak. Dara itu berlutut di dekat tubuh itu dan mengguncang pundak¬nya sambil berseru memanggil, “Pange¬ran....! Pangeran....!” Suaranya mengan¬dung isak tertahan, lalu dia menoleh ke arah Kian Lee sambil berkata penuh penyesalan, “Engkau.... engkau telah membunuhnya!” Kian Lee mengerutkan alisnya. Sung¬guh dia tidak mengerti akan sikap aneh dara itu. Bukankah Hwee Li diculik dan dilarikan oleh Liong Bian Cu, dan dara itu amat membenci pangeran itu? Bu¬kankah dia telah menyelamatkan Hwee Li dari ancaman pangeran dari Nepal itu? “Dia orang kuat, dia tidak akan mati, dia hanya terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik,” katanya sederhana sam¬bil berdiri termangu-mangu. Dara itu demikian cantiknya, dan timbul rasa aneh di dalam hatinya yang membuat Kian Lee bengong dan bingung. Mengapa ada rasa tidak enak dan tidak senang, meng¬apa dia seperti merasa iri hati melihat dara itu mengkhawatirkan keselamatan Liong Bian Cu, berlutut dan seperti hen¬dak menangis? Inikah yang dinamakan cemburu atau iri hati? “Pangeran....!” Tubuh itu bergerak dan mencoba untuk bangkit, kemudian, dibantu oleh Hwee Li, Liong Bian Cu dapat duduk dan se¬jenak dia memandang kepada Suma Kian Lee. “Engkau hebat...., hemmm...., mengapa engkau tidak membunuhku tadi?” “Aku tidak bermusuhan denganmu.” Liong Bian Cu kini memandang ke¬pada Hwee Li. “Engkau ternyata seorang gadis yang baik sekali. Biarpun engkau selalu menolakku, bahkan beberapa kali hampir membunuhku, sekarang melihat aku terancam maut, engkau memperlihatkan kebaikanmu. Ah, Hwee Li.... Hwee Li, benar-benarkah engkau tidak dapat membalas cintaku? Baru saja eng¬kau memperlihatkan sayang....“ Tiba-tiba Hwee Li bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia memandang kepada Pangeran Nepal itu, lalu meng¬geleng kepata. “Tidak, aku tidak cinta padamu, Pangeran. Aku tadi teringat akan segala kebaikanmu, kepadaku....“ Liong Bian Cu menarik napas panjang. “Mudah-mudahan kelak akan tiba saatnya engkau ada sedikit rasa cinta padaku, dan aku akan selalu menantimu di Nepal, Hwee Li. Tidak peduli engkau masih perawan ataukah sudah janda, aku akan selalu membuka tangan untuk menerima¬mu sebagai isteriku.... nah, selamat tinggal, Hwee Li, hati-hatilah engkau dalam memilih jodoh....” Dia meholeh kepada Kian Lee, mengangguk kepada pemuda itu, lalu memaksa dirinya untuk melangkah keluar dari dalam rumah itu, bergegas pergi memasuki kegelapan malam yang mulai tiba. Mereka kini berdiri dan saling ber¬hadapan, saling berpandangan. Kemudian kerut di antara kedua alis dara itu men¬dalam, dan suaranya kaku ketika terdengar dia berkata, “Engkau.... engkau hampir saja membunuhnya!” Suara yang kaku dan mengandung penyesalan dan teguran itu dirasakan seperti ujung pedang menusuk jantung oleh Kian Lee. Dia pun mengerutkan alisnya, merasa betapa dara itu keterla¬luan. Jelas bahwa dia susah payah me¬ngejar Liong Bian Cu untuk menolongnya dan setelah menyelamatkannya, apa yang diperlihatkan oleh dara Ini? Tidak saja Hwee Li telah memperlihatkan sikap khawatir dan menyayang kepada Liong Bian Cu, sebaliknya malah menegurnya dengan suara kaku dan pandang mata penuh penyesalan! Panaslah rasa hati Kian Lee saat itu. Panas dan sakit! “Ah, kalau aku tahu, tentu aku akan membiarkan dia memukul roboh dan membunuhku, kalau kau.... lebih senang demikian, Nona.” Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya terbuka dan beberapa kali mulut itu ber¬gerak akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Kemudian terdengar sedu-sedan dan Hwee Li meloncat dan lari keluar dari dalam rumah itu sambil menangis. “Hemmm....?” Kian Lee berdiri be¬ngong dan memandang keluar sampai bayangan dara itu lenyap di antara pohon-pohon hutan yang mulai menghitam oleh kegelapan malam yang mulai tiba. Kian Lee lalu teringat akan bahaya yang mungkin saja mengancam diri dara itu lagi. Siapa tahu kalau-kalau pangeran dari Nepal itu masih berada di sekitar tempat itu, dan kalau saja pangeran itu dilindungii oleh kelima orang Ngo-ok, akan sukarlah bagi dia untuk menyelamat¬kannya kembali. Karena itu, Kian Lee lalu meloncat keluar dan melakukan pe¬ngejaran. Akan tetapi karena hutan itu gelap, dia terpaksa berjalan perlahan¬lahan dan mencari-cari namun sampai semalam suntuk dia berkeliaran keluar masuk hutan, dia tidak berhasil menemu¬kan Hwee Li. Makin gelisah rasa hati Kian Lee dan sambil berjalan mencari-cari tanpa arah tertentu, dia mengenang¬kan semua yang terjadi dan menjadi bingung memikirkan rasa hatinya sendiri! Apakah yang telah terjadi dengan dia? Mengapa dia makin dalam mengenangkan Hwee Li, bahkan sukar melupakan dara yang masih seperti kanak-kanak itu? Bahkan rasa nyeri di hatinya akibat as¬mara gagal dengan Ceng Ceng rasanya telah sembuh sama sekali. Mula-mula dia makin tertarik kepada Hwee Li setelah dara itu untuk kedua kalinya menolong¬nya, atau membantu Kian Bu mencarikan obat untuknya. Pertolongan pertama kali oleh dara itu adalah ketika dara itu baru berusia dua belas atau tiga belas tahun, dan hal itu tidak terlalu mengesankan. Baru sekarang peristiwa itu teringat olehnya. Kini dara itu telah merupakan seorang dara remaja dan sudah dewasa, walau usianya baru tujuh belas atau de¬lapan belas tahun, dan bukan main cantik jelitanya. Dia mulai tertarik ketika Hwee Li mengunjunginya di Bukit Nelayan, di istana kuno tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Akan tetapi, rasa tertarik ini putus sama sekali ketika dia melihat hubungan antara Hwee Li dan Kian Bu yang demi¬kian erat dan mesra, dan dia melihat kecocokan antara kedua orang itu, sama lincah gembira dan jenaka, dan dia me¬rasa betapa akan tepatnya kalau kedua¬nya dijodohkan. Semenjak itu, dia meng¬usir perasaan di hatinya terhadap Hwee Li! Dan sekarang? Dia tidak dapat me¬nahan dorongan hatinya ketika melihat Hwee Li dilarikan Liong Bian Cu, maka dengan nekat dia lalu melakukan penge¬jaran, tidak peduli bahwa pangeran dari Nepal itu mungkin sekali dikawal oleh banyak orang pandai yang akan sukar ditundukkannya. Dan dia berhasil menolong Hwee Li. Akan tetapi, apa jadinya? Dara itu marah-marah karena dia merobohkan Liong Bian Cu dan kini meninggalkannya sambil menangis, dan dia seperti orang gila mencari terus semalam suntuk tanpa hasil. Menjelang pagi, cuaca demikian gelap¬nya karena bintang-bintang di langit tertutup awan tebal, dan hawa udara amat dinginnya menembus pakaian dan menyusup ke tulang-tulang. Akan tetapi, Kian Lee tidak merasakan itu semua. Dia terpaksa menghentikan pencariannya, karena dalam cuaca sedemikian gelapnya, andaikata Hwee Li berada hanya bebe¬rapa puluh kaki jauhnya di depannya sekalipun, dia tidak akan dapat melihat¬nya. Dia duduk di bawah pohon dan me¬lamun dengan hati kesal dan bingung. Makin dikenang, makin khawatirlah dia akan keselamatan Hwee Li, dan perasaan cintanya terhadap dara yang setengah liar itu, yang selanma ini ditekan-tekan dan coba diusirnya setelah dia menduga bahwa dara itu mencinta Kian Bu, mun¬cul dan amat menggodanya! Kian Lee memejamkan matanya dan hatinya terasa perih. Haruskah dia patah hati dalam asmara untuk kedua kalinya? Perasaan cintanya terhadap Ceng Ceng terpaksa harus diusirnya oleh kenyataan bahwa Ceng Ceng adalah keponakannya sendiri. Apakah kini dia harus mengusir rasa cintanya terhadap Hwee Li karena dara itu ternyata mencinta adiknya? Kian Lee duduk bertopang dagu dan merenung bingung. Mengapa cinta selalu mendatangkan penderitaan batin? Banyak sudah dia mendengar betapa manusia menderita oleh cinta. Ayahnya sendiri, menurut penuturan ibunya, belasan tahun menderita karena harus berpisah dari orang-orang yang dicintanya. Kemudian dia mendengar pula tentang cinta yang membuat sengsara kakaknya, yaitu Puteri Milana yang terpaksa harus berpisah pula dari orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Lalu adiknya, Suma Kian Bu, yang gagal pula dalam cintanya terhadap Puteri Syanti Dewi sehingga adiknya itu pun menderita pula. Dan dia sendiri yang merana akibat gagalnya cinta kasihnya terhadap Ceng Ceng. Sekarang, kembali dia harus menderita karena cintanya terhadap Hwee Li! Haruskah semua ma¬nusia yang jatuh cinta menderita? Betapa banyaknya, bahkan sebagian besar di antara manusia, masih belum mau membuka mata batinnya dan berpegang pada pendapat seperti Kian Lee itu bahwa cinta kasih mendatangkan penderitaan! Atau lebih lengkap lagi, me¬nurut pendapat umum berdasarkan pengalaman, cinta kasih mendatangkan kebahagiaan kalau berhasil dan menda¬tangkan kesengsaraan kalau gagal! Adakah itu cinta kasih kalau mengan¬dung keberhasilan dan kegagalan? Di mana terdapat perhitungan hasil atau gagal, untung atau rugi, di situ sudah jelas terdapat si aku yang selalu menge¬jar kesenangan dan keuntungan, si aku yang selalu menentang kesusahan dan kerugian, si aku yang bersenang dan tertawa kalau untung, si aku yang ber¬duka dan menangis kalau rugi. Jelaslah bahwa yang dapat menyenangkan atau menyusahkan, yang dapat menguntungkan atau merugikan kalau berhasil atau ga¬gal, bukanlah cinta kasih, melainkan pengejaran kesenangan belaka. Cinta seperti yang dimaksudkan oleh Kian Lee dan oleh kita pada umumnya itu jelas akan mendatangkan suka duka, banyak dukanya daripada sukanya, akan mendatangkan kebosanan dan kekecewa¬an, mendatangkan konflik dalam kehidup¬an. Karena itu, maka sesungguhnya bukan cinta kasih, perasaan itu, melainkan pe¬ngejaran kesenangan melalui nafsu berahi, melalui pengikatan diri, melalui kebang¬gaan, melalui penguasaan dan menopoli, perasaan bahwa yang cantik atau tam¬pan itu adalah miliknya sendiri, adalah sumber daripada semua kesenangannya. Itulah sebabnya mengapa Kian Lee selalu terperosok ke dalam penderitaan batin, ke dalam kesengsaraan setiap kali dia merasa bahwa cintanya gagal! Pada¬hal, kalau memang benar hati ini men¬cinta seseorang, sungguh-sungguh men¬cinta, sudah pasti bahwa kita selalu ingin melihat orang yang kita cinta itu ber¬bahagia, bukan? Kita tentu selalu ingin melihat si dia berbahagia, baik dia itu menjadi jodoh kita atau pun bukan! Cinta kasih meniadakan si aku yang ingin se¬nang sendiri! Kalau sudah tidak ada lagi aku ingin senang atau aku kecewa men¬derita, baru mungkin bicara tentang cin¬ta kasih kepada orang lain. Kalau kita membuka mata melihat diri sendiri, dan di dalam diri sendiri jelas sudah tidak ada dendam, kebencian, sakit hati, kemarahan, iri hati, cemburu dan pemen¬tingan diri sendiri, barulah mungkin hati ini mencinta. Kalau sudah begitu, maka asmara dan berahi mengalami perubahan besar sekali, bukan merupakan pendorong utama yang mutlak, melainkan merupa¬kan bagian dari kesatuan maha besar yang dinamakan cinta kasih. Fajar mulai menyingsing dan bumi diselimuti kabut tebal. Mulai nampak kabut memutih bergerak seperti asap di permukaan bumi, makin lama makin me¬ninggi seolah-olah terusir atau terdesak oleh hawa dari bumi bersama dengan datangnya cuaca terang. Pagi bersemi dengan suburnya, dan bumi bermandikan cahaya keemasan. Cahaya matahari pagi mulai berseri di antara daun-daun pohon dan dunia pun bangunlah, kehidupan baru mulai, diawali dengan kokok ayam dan kicau burung yang menyambut kehadiran matahari. Setelah cuaca cukup terang, Kian Lee lalu memanjat pohon besar dan dari pun¬cak pohon dia memandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya dengan girang dia melihat sesosok tubuh wanita berjalan perlahan ke arah utara dan dia mengenal pakaian hitam yang dipakai Hwee Li. Cepat dia meloncat turun dan berlari mengejar. “Hwee Li....!” Kian Lee berseru me¬manggil setelah dia dapat menyusul. Mendengar suara ini, Hwee Li ter¬kejut, menoleh, lalu lari secepatnya se¬perti seekor kijang dikejar harimau! Kian Lee tertegun sebentar, kemudian dia pun mengejar dengan cepat. “Hwee Li....! Tunggu dulu....!” teriak¬nya sambil mempercepat larinya karena dara itu dapat berlari cepat bukan main. Karena memang ilmu kepandaian Kian Lee jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Hwee Li, maka sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya, melampauinya dan menghadang di tengah jalan. Terpaksa Hwee Li berhenti dan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar penuh kemarahan dia memandang dan bertolak pinggang, lalu membentak kaku, “Mau apa engkau menghadang di depanku?” Dibentak seperti itu, Kian Lee ter¬kejut dan gugup. “Aku ingin tahu, mengapa kau marah-marah kepadaku, Hwee Li?” “Pergilah kau kepada perempuan tu¬kang tenung itu, mengapa mengejar-ngejar aku? Pergi! Pergi kau....!” Suara Hwee Li sudah mengandung isak lagi dan terasa olehnya betapa jantungnya seperti mau meledak rasanya, betapa hawa panas memenuhi dadanya. Kian Lee masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Hwee Li. Dia menyangka bahwa dara itu marah karena dia memukul roboh pangeran dari Nepal itu, dan sangkaan ini mendatangkan pe¬rasaan tidak enak di dalam hatinya. “Hwee Li.... Nona.... harap jangan marah dulu dan jelaskanlah, mengapa engkau melarangku membunuh Pangeran Nepal? Mengapa engkau marah melihat aku hampir membunuhnya dan meroboh¬kannya? Apa sebabnya?” Sepasang mata yang lebar itu tiba-tiba menunduk dan terdengar bercampur isak, “Dia.... betapapun jahatnya dia.... dia sungguh-sungguh mencintaku.... ahhh....!” Tiba-tiba Hwee Li menjatuhkan diri di bawah pohon itu dan menangis ter¬isak-isak. Kian Lee menjadi makin bingung me¬lihat dara itu sesunggukan. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul karena dia merasa kasihan sekali. Dia pun lalu duduk di atas batu di sebelah kiri dara itu, akan tetapi Hwee Li lalu membuang muka dan membalikkan tubuh sehingga pemuda itu duduk di belakangnya. Air mata mengalir dari celah-celah jari ke¬dua tangannya dan pundaknya berguncang. “Dan kau.... kau mencinta dia....?” Dengan lirih Kian Lee bertanya, meman¬cing, hatinya was-was. Sambil menangis Hwee Li menggoyang-goyang kepala dan pundaknya keras-keras, dan suara di antara isaknya terdengar penuh kemarahan, “Engkau bodoh! Eng¬kau buta....! Dia.... dialah satu-satu¬nya orang di dunia ini yang sungguh¬ sungguh cinta kepadaku.... biarpun dia jahat dan aku tidak suka kepadanya.... hu-hu-huuhhh, akan tetapi.... selain dia.... tidak ada orang lain lagi yang cinta padaku.... hu-hu-huuuhhh....!” Tangisnya makin menjadi-jadi dan Kian Lee menjadi bingung, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dan dia terkejut mendengar gadis itu memakinya bodoh dan buta. Akan tetapi dia tidak setuju mendengar pengakuan gadis yang katanya di dunia ini hanya Liong Bian Cu seorang yang mencintanya dan selain pangeran itu tidak ada orang lain yang cinta ke¬padanya. “Engkau keliru, Hwee Li...., bukan hanya pangeran itu yang mencintamu, bukan, bahkan cintanya masih harus di¬ragukan. Akan tetapi aku....“ “Kau mencinta perempuan iblis tukang tenung itu! Kau pergilah kepadanya....!” “Eh? Perempuan iblis? Tukang te¬nung? Apa sih maksudmu?” Kian Lee benar-benar tidak mengerti dan bertanya dengan alis berkerut. Hwee Li menurunkan kedua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menyusut air mata yang menetes dari kedua mata dan dari hidungnya. Hi¬dung kecil mancung itu menjadi merah sekali, akan tetapi bagi Kian Lee, hal itu menambah kemanisan Hwee Li. “Jangan kau pura-pura tidak mengerti! Perempuan iblis tukang tenung yang se¬lalu berdua bersamamu.... ah, kalau jumpa, akan kubunuh dia....!” Kian Lee teringat akan sikap Hwee Li terhadap Siang In, betapa Hwee Li tanpa sebab memusuhi dan menyerang Siang In. Selama ini dia sudah merasa heran dan bertanya-tanya di dalam hati mengapa Hwee Li begitu membenci Siang In, padahal kenal pun tidak. Kini mengertilah dia dan setelah dia mengerti, dia menjadi semakin heran! “Ahhh....! Jadi kiranya.... itukah sebabnya mengapa engkau marah-marah dan membenci Siang In? Hwee Li, Teng Siang In bukanlah seorang perempuan iblis tukang tenung....“ “Tentu saja! Bagimu yang sudah ter¬gila-gila, yang sudah berlutut di bawah pengaruh sihirnya, dia adalah bidadari dari kahyangan, ya? Engkau yang sudah jatuh cinta....“ Kembali Hwee Li terisak. Kian Lee melongo. Cemburu! Itukah gerangan yang menyebabkan Hwee Li marah-marah kepadanya dan kepada Siang In? “Hwee Li, harap jangan menyangka yang bukan-bukan! Aku sama sekali tidak jatuh cinta kepada Siang In, dan juga Siang In tidak cinta kepadaku dia bukanlah seorang dara yang jahat....“ Dengan mata masih basah Hwee Li memandang kepada Kian Lee, menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia berkata dengan suara meragu, “.... tidak.... tidak saling mencinta....? Tapi.... tapi kalian nampak begitu rukun dan mesra, melaku¬kan perjalanan berdua....“ “Tentu saja, karena kami saling me¬ngenal dengan baik dan dia adalah se¬orang gadis yang bijaksana. Kami tidak saling mencinta! Akan tetapi, nanti dulu, Hwee Li.... aku merasa heran sekali mengapa engkau begitu marah dan begitu membenci Siang In hanya karena engkau mengira dia dan aku saling mencinta? Mengapa?” Suara Kian Lee tergetar dan sepasang matanya kini menatap wajah dara itu dengan tajam, penuh selidik. Sejenak mereka saling berpandangan dan Hwee Li yang biasanya amat berani dan lincah, kini merasa betapa sepasang mata itu menembus jantungnya, seperti hendak menguak dan menjenguk isi hati¬nya, mengetahui semua rahasia hatinya, maka dia tidak tahan lagi dan menunduk. Air mata mengalir dari sepasang mata¬nya, perlahan-lahan seperti butiran-butir¬an mutiara terlepas dari untaiannya, menggelinding turun satu-satu melalui sepasang pipinya yang kemerahan. “Karena.... karena.... aku tidak ingin melihat engkau saling mencinta dengan wanita lain.... tidak semenjak subo.... kau tidak boleh mencinta wanita lain....“ “Hemmm....“ “Kecuali.... kecuali aku....“ “Hwee Li....!” Dara itu mengangkat mukanya dan mereka saling pandang, mata Hwee Li masih basah dan wajah itu kelihatan demikian cantik jelita bagi Kian Lee sehingga pemuda ini merasa terharu se¬kali. Dia mendekat dan memegang kedua pundak dara itu, menariknya sehingga mereka berdua berdiri, saling berpandang¬an. “Hwee Li...., apakah maksudmu? Apa yang akan kaukatakan? Mengapa engkau berpendirian demikian....?” Karena ingin sekali mendapatkan keyakinan maka Kian Lee mendesak dengan pertanyaan ini. Sepasang mata yang basah itu ber¬sinar lembut, lenyap sinar lincah kekanak-kanakan seperti biasanya itu, terganti dengan sinar lembut mesra seorang wanita dewasa yang jatuh cinta. “Kian Lee koko, apakah benar engkau belum mengerti atau belum dapat men¬duga isi hatiku? Semenjak beberapa ta¬hun yang lalu, ketika aku masih kecil dan menolong merawat luka di kakimu, semenjak itu aku tidak lagi dapat lupa kepadamu, Koko. Aku merindukanmu, mengharapkan untuk dapat bertemu de¬nganmu akan tetapi engkau lenyap, kem¬bali ke Pulau Es dan aku tidak berani dan tidak dapat menyusulmu ke sana. Akhirnya aku berhasil menjumpaimu di Bukit Nelayan dan membantu untuk men¬cari obat guna menyembuhkanmu dan yang terakhir aku melihat engkau berdua bersama dara itu! Betapa hancur hatiku, betapa panas perasaanku, dan sekarang engkau masih bertanya apa yang kumak¬sudkan?” Kian Lee merasa terharu sekali, ter¬haru dan juga girang, akan tetapi masih ada keraguan di dalam hatinya. “Akan tetapi.... kukira tadinya, melihat engkau bersama adikku, kukira engkau saling mencinta dengan Kian Bu, maka aku sengaja mundur dan....“ “Sungguh bodoh engkau, Lee-koko.... ah, kalau begitu engkau sama bodohnya dengan aku! Kita berdua telah salah menduga, aku mengira bahwa engkau dan Siang In saling mencinta, sebaliknya eng¬kau menduga aku dan Kian Bu saling mencinta pula. Padahal.... padahal Kian Bu tahu betul betapa aku.... aku cinta kepadamu seorang, Koko sampai dia ku¬haruskan menyebutku enci....“ “Hwee Li....!” Kian Lee merasa de¬mikian girang dan terharu mendengar pengakuan dara ini sehingga dia tak ku¬asa menahan getaran hatinya, langsung dia meraih dan merangkul dara itu. Hwee Li menarik napas panjang, terisak dan dia menyandarkan kepalanya di dada yang tegap itu, memejamkan kedua ma¬tanya. Dengan jari-jari tangan gemetar Kian Lee mendekap kepala itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam lebat dan panjang itu dengan penuh kasih sayang yang meluap-luap dari perasaan hatinya. “Hwee Li.... Moi-moi.... sungguh tak kusangka...., sungguh tidak kukira bahwa engkaulah orangnya yang akan dapat mendatangkan sinar terang dalam hidupku yang gelap.... tak kusangka seorang dara seperti engkau sudi melimpahkan cinta kepada diriku. Aku.... aku juga cinta padamu, Moi-moi, bukan semenjak engkau menolongku yang pertama kali dahulu, kuanggap ketika itu bahwa engkau masih seorang dara remaja setengah anak-anak. Akan tetapi ketika aku mendengar dari Kian Bu bahwa engkau yang mencarikan obat untukku, kemudian.... dalam pertemuan kita ketika aku sakit, melihat engkau sudah dewasa dan.... dan demi¬kian cantik jelita, aku.... sudah jatuh hati. Akan tetapi, aku hampir tidak be¬rani mengakui hal itu kepada diri sendiri, aku sudah hampir jera.... hampir kapok untuk jatuh cinta.” Hwee Li membuka matanya, mene¬ngadah dan dari bawah dia menatap wa¬jah pemuda yang sejak dahulu menjadi pujaan hatinya itu. “Lee-ko, aku tahu dan karena engkau pernah gagal dalam asmara, engkau pernah kecewa dalam cintamu terhadap subo.... karena itulah aku makin kasihan kepadamu, ingin meng¬hiburmu, ingin aku menggantikan tempat subo di dalam hatimu. Karena itulah aku tidak ingin wanita lain menguasaimu, kecuali aku sendiri, sebagai pengganti subo....“ “Hwee Li....“ Kian Lee menghela napas panjang. “Engkau tahu akan urusan¬ku dengan.... dengan Ceng Ceng?” Hwee Li tersenyum dan menggerakkan kepala dengan manja dalam pelukan pe¬muda itu. “Aku sudah menjadi muridnya, bukan? Dan subo amat cinta kepadaku, tentu saja aku sudah dapat menduganya dan akhirnya subo menceritakan kepada¬ku....“ “Ahhh.... akan tetapi urusan itu telah lewat, Hwee Li. Dia adalah keponakanku sendiri, dan.... sekarang aku sudah men¬dapatkan gantinya, yang lebih hebat dan lebih segala-galanya daripada semua wanita di dunia ini, yaitu engkau....“ Kian Lee menunduk dan hendak mencium bibir yang berjebi ketika mendengar pujiannya itu. Akan tetapi Hwee Li mengelak dan melepaskan diri dari rangkulan Kian Lee. Sambil membereskan rambutnya yang agak kusut, Hwee Li tersenyum, meman¬dang kepada Kian Lee. Sejenak mereka berpandangan, lalu dara itu menundukkan muka, kemalu-maluan! Aneh sekali rasa¬nya melihat seorang dara seperti Hwee Li dapat menunduk malu-malu seperti itu! Kian Lee menguluarkan kedua tangan dan otomatis Hwee Li melangkah maju dan kembali dia sudah dipeluk oleh Kian Lee. Akan tetapi ketika Kian Lee men¬dekapnya erat dan mendekatkan muka hendak menciumnyra, kembali dia meronta dan melepaskan diri! “Kenapa, Li-moi? Kenapa.... kau menolak? Bukankah kita saling men¬cinta....?” Dara itu menarik napas panjang, lalu dia memegang tangan Kian Lee, digan¬dengnya pemuda itu dan diajaknya duduk di atas batu di bawah pohon. Sambil duduk, dia tetap memegang tangan Kian Lee sehingga jari-jari tangan mereka saling genggam, saling mengeluarkan getaran hangat yang timbul dari jantung mereka yang berdebar penuh gairah ke¬mesraan. “Lee-koko, harap kaumaafkan aku. Percayalah tidak ada kebahagiaan lebih besar bagiku selain dekat denganmu dan betapa selama ini aku merindukan kasih sayangmu dan.... pelukanmu. Akan tetapi.... semenjak apa yang kualami.... semenjak saat itu.... aku telah bersum¬pah di dalam hatiku sendiri, aku ber¬sumpah bahwa aku tidak akan membiar¬kan diri dicium oleh pria manapun juga kecuali oleh suamiku! Engkau.... ah, betapa aku cinta padamu, Koko, akan tetapi.... karena sumpahku itu, maka aku pun dengan berat hati terpaksa tidak berani melanggarnya sebelum engkau.... menjadi suamiku.... kaumaafkanlah aku, Lee-ko....“ Kian Lee mengerutkan alisnya. Se¬betulnya dia merasa bangga dan girang akan pendirian dara yang dicintanya itu, akan tetapi mendengar bahwa sumpah itu dilakukan semenjak suatu saat tertentu, semenjak apa yang dialami oleh dara itu, dia menjadi ingin tahu. “Moi-moi, mengapa engkau mengucap¬kan sumpah itu? Dan semenjak apakah? Apakah yang telah kaualami sehingga engkau mengucapkan sumpah itu?” “Dahulu, aku selalu merindukanmu, dalam mimpi aku mendambakan pelukan¬mu yang mesra, merindukan ciumanmu, akan tetapi.... semenjak saat jahanam itu.... pangeran dari Nepal itu.... men¬ciumku, semenjak saat itulah aku bersumpah....“ “Ahhh....!” Wajah Kian Lee sebentar menjadi pucat lalu berubah merah sekali, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. Hwee Li terkejut melihat wajah dan sinar mata itu. “Kenapa, Koko....?” “Dan kau senang?” “Senang apa maksudmu?” “Kau senang di.... ciumnya?” Hwee Li cepat memegang tangan pemuda itu. “Eh, kau ini kenapa sih, Koko? Bagaimana engkau bisa mengata¬kan bahwa aku senang diciumnya? Aku benci bukan main, aku muak dan jijik, akan tetapi aku tidak berdaya, aku tertawan dan tidak mampu bergerak.” “Hemmm, dan selain diciumnya, kau diapakannya lagi?” Pandang mata pemuda itu penuh selidik, matanya membayang¬kan kemarahan besar yang disebabkan oleh iri hati dan cemburu. “Diapakan? Aihhhhh.... kaumaksudkan apakah dia memperkosaku? Tidak, Koko. Dia itu sungguh cinta kepadaku, maka dia tidak mau memperkosa, dia menghendaki aku menyerahkan diri secara suka rela. Akan tetapi aku benci sekali karena ciumannya dan karena itu aku bersumpah tidak akan mau dicium siapa¬pun selain suamiku.” “Kalau begitu, aku akan mencarinya dan membunuhnya, karena dia telah menghinamu!” Kian Lee mengepal tinju¬nya, makin panas hatinya membayangkan betapa bibir pangeran itu mengecup bibir kekasihnya ini. “Baik sekali, dan aku pun akan mem¬bagi beberapa kali pukulan sebelum kau membunuhnya!” Hwee Li berkata penuh semangat. Kian Lee tercengang dan kini dia memandang dengan penuh keheranan. “Eh, bagaimana pula ini? Bukankah kemarin engkau mencegah atau melarangku ketika kau mengira aku hendak membunuhnya? Dan sekarang engkau malah hendak mem¬bantuku membunuhnya!” Hwee Li menggenggam jari-jari ta¬ngan Kian Lee dan tersenyum. “Tentu saja, kemarin aku masih mengira bahwa engkau tidak mencintaku, melainkan men¬cinta gadis lain.” “Kalau begitu?” “Aku marah kepadamu, dan karena kusangka dia satu-satunya pria yang men¬cintaku dengan sepenuh hatinya, maka aku tidak suka melihat engkau membunuh¬nya.” “Dan sekarang?” “Sekarang, engkau mencintaku, Lee-koko, dan persetan dengan segala pange¬ran dari Nepal, dan kalau perbuatannya terhadap diriku memarahkan hatimu, dia harus mampus. Dan memang dulu pun sudah beberapa kali dia hampir mati di tanganku.” Dara itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama dia ditahan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu, betapa dia telah mempergunakan berbagai akal untuk membunuh pangeran itu dan nyaris dia berhasil. Kian Lee mendengarkan dengan penuh perhatian, penuh kagum dan kini dia pun dapat mengerti betapa besar rasa cinta kasih di dalam hati pangeran itu terhadap Hwee Li. Timbullah rasa kasihan di dalam hatinya terhadap pria itu kare¬na dia sudah merasakan betapa sengsara¬nya derita batin ditanggung seorang pria yang tidak dibalas cintanya. “Hwee Li, setelah kita sekarang ber¬temu di sini, engkau hendak pergi ke manakah?” “Dan engkau sendiri hendak ke mana, Koko?” Hwee Li balas bertanya. Kian Lee memejamkan matanya se¬bentar, pikirannya bekerja keras. Ter¬dapat hal-hal yang meruwetkan pikiran¬nya sehubungan dengan kenyataan bahwa dia dan Hwee Li saling mencinta. Dia harus mengakui bahwa dia memang benar mencinta dara ini, akan tetapi dia pun melihat pula kenyataan betapa di dalam cinta mereka berdua itu terdapat banyak hal yang menghalang. Pertama, dia me¬lihat kenyataan betapa watak dara ini liar, dan ganas sekali di samping kelin¬cahan dan kejenakaannya. Hal ini me¬rupakan kewajibannya kelak untuk mem¬bimbingnya agar dara itu dapat meng¬hentikan sifat liar yang dia tahu tentu timbul karena dara ini adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo. Dan dia pun melihat mengapa dia tertarik sekali kepada Hwee Li. Tidak lain karena dara ini memiliki sifat dan watak yang hampir sama de¬ngan watak Ceng Ceng di waktu masih gadis dahulu. Ceng Ceng juga memiliki watak yang liar dan ganas semenjak menjadi murid Ban-tok Mo-li. Akan tetapi, persoalan pertama ini tidak begitu memusingkannya karena dia yakin bahwa dengan cinta kasihnya, dia akan mampu mengubah watak ganas itu. Hal yang ke dua adalah perbedaan yang amat me¬nyolok antara orang tuanya dan orang tua dara ini. Dia merasa sangsi sekali apakah ayahnya dan ayah Hwee Li akan menyetujui kalau mereka berdua saling berjodoh! Dia tahu akan kekerasan hati ayahnya terhadap kejahatan, dan ayah dara yang dicintanya ini adalah seorang pentolan atau datuk dari kaum sesat! “Bagaimana, Lee-koko? Engkau belum menjawab pertanyaanku!” Tiba-tiba Hwee Li merangkul pundaknya dengan sikap manja dan ini menyentakkan Kian Lee kembali kepada kenyataan. Dia meman¬dang wajah itu, merasa betapa lembut, halus dan hangat tangan dara itu me¬rangkulnya, merasa getaran yang tersalur melalui jari-jari tangan itu dan melalui sinar mata bening itu dan dia sudah mengambil keputusan pada saat itu juga untuk menghadapi segala macam kesukar¬an apa pun untuk membela cinta kasih antara mereka. Sekali ini dia tidak mau gagal lagi! Apa pun yang terjadi, yang merupakan penghalang tali perjodohan antara dia dan Hwee Li, akan ditantang¬nya. Dia sudah merasakan betapa pahit dan nyerinya gagal dalam ikatan cinta, maka sekali ini dia tidak mau gagal lagi. “Hwee Li, aku akan pergi ke bekas benteng pemberontak untuk menemui Kian Bu, kemudian aku akan mengajak¬nya pulang ke Pulau Es.” “Aku ikut denganmu, Koko!” Melihat sikap dara itu yang penuh semangat, Kian Lee merasa girang se¬kali. Hidup di samping dara ini tentu akan penuh kegembiraan penuh semangat dan seolah-olah Hwee Li merupakan ca¬haya yang setiap saat menyinari kehidup¬annya. Dia merangkul pinggang yang ramping itu, menarik tubuh Hwee Li sehingga merapat ke tubuhnya dan de¬ngan mesra dia mencium dahi Hwee Li. Tadinya dara itu terkejut, akan tetapi melihat betapa kekasihnya hanya men¬cium dahinya, dia terengah dan memeluk dengan erat. “Baik, Moi-moi, memang aku ingin memperkenalkan engkau kepada.... ibu¬ku.” Dia tidak berani menyebut ayahnya karena diam-diam dia merasa ngeri mem¬bayangkan ayahnya menerima kedatangan¬nya dengan calon isterinya yang ternyata adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo! Hwee Li tersenyum manis. “Aku gi¬rang sekali, Koko. Aku memang ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan ibumu. Aku sudah mendengar dari adik Kian Bu bahwa ibumu di waktu masih muda menjadi ketua Pulau Neraka.” “Benar, Li-moi.” “Ah, betapa hebat ibumu! Dan aku pun sudah banyak mendengar tentang ayahmu yang sakti itu. Aku akan merasa bangga dan gembira sekali dapat meng¬hadap ayah bundamu, Koko. Mari kita cepat berangkat mencari adik Kian Bu!” Mereka pun pergi meninggalkan hutan di pegunungan itu dan diam-diam Kian Lee merasa geli juga melihat kenyataan dan liku-liku kehidupan yang serba aneh. Dara yang dicintanya ini mengangkat diri menjadi kakak dan menyebut adik kepada Kian Bu, padahal sudah tentu saja Kian Bu jauh lebih tua daripada Hwee Li. Dan yang lebih ruwet lagi, kekasihnya ini adalah murid dari Ceng Ceng, wanita yang pernah dicintainya, bahkan cinta pertamanya, dan lebih dari itu, keponakan¬nya! Yang lebih hebat lagi, dia adalah putera majikan Pulau Es, sedangkan Hwee Li adalah puteri ketua Pulau Neraka, padahal, menurut sejarahnya, terdapat permusuhan antara kedua pulau itu. Akan tetapi, ada hal yang membesarkan hati¬nya, yaitu keadaan ibunya. Ibunya juga pernah menjadi ketua Pulau Neraka, oleh karena itu, sudah pantaslah kalau dia berjodoh dengan gadis Pulau Neraka ini! Sambil bergandeng tangan dan men¬dengarkan Hwee Li bercerita dengan sifatnya yang gembira, Kian Lee tersenyum penuh harapan, penuh kebahagia¬an. Kelincahan dara ini hampir sama dengan Siang In, akan tetapi ada sesuatu pada diri Hwee Li yang amat menarik hatinya, yang sukar dikatakan apa daya tarik keistimewaan yang tidak ada pada wanita lain dan hal seperti ini selalu dirasakan oleh orang-orang yang sedang jatuh cinta! Cinta asmara, betapa penuh rahasia betapa kuat penuh kuasa, mencengkeram seluruh raga dan jiwa menerbangkan manusia ke sorga menghempaskan manusia ke neraka! Cinta asmara, terkadang suci dan mulia penuh kelembutan indah dan mesra mendatangkan suka cita terkadang kotor bernoda penuh cemburu benci dan hina mendatangkan duka nestapa! Penggambaran tentang cinta seperti itu semenjak ribuan tahun yang lalu te¬lah menjadi sasaran penulisan sajak para seniman. Cinta dipuja-puja kalau sedang mendatangkan nikmat hidup karena ber¬hasil, sebaliknya cinta dikutuk kalau sedang mendatangkan derita hidup karena gagal. Cinta dianggap mendatangkan ke¬bahagiaan dan juga dianggap mendatang¬kan kesengsaraan. Penggambaran seperti itu jelas di¬dasari oleh penilaian untung rugi, enak atau tidak enak, pendeknya didasari oleh pendapat demi kesenangan diri sendiri, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin yang sesungguhnya tak dapat di¬pisahkan. Kalau jasmani dan rohani kita merasa nikmat oleh cinta, maka kita memuja-muja cinta sebagai jembatan yang membawa kita ke sorga. Sebaliknya kalau jasmani dan terutama rohani kita merasa menderita karena kecewa oleh kegagalan cinta, maka kita mengutuknya sebagai jalan yang membawa kita ke neraka. Akan tetapi, kalau mendatangkan penderitaan batin, adakah itu cinta ka¬sih? Yang mendatangkan penderitaan batin bukanlah cinta kasih, melainkan pikiran yang selalu berpusat kepada ke¬pentingan diri sendiri. Pikiran yang be¬rupa si aku yang mengejar kesenangan diri sendiri inilah yang menciptakan se¬gala suka dan duka, di dalam apa yang dinamakan cinta sekalipun! Baik cinta, maupun hal-hal seperti hujan, panasnya matahari, dan sebagainya, bisa saja di¬anggap sebagai berkah atau pun malape¬taka oleh si aku yang selalu mengejar dan mencari kesenangan. Kita, sebagai akibat dari si aku ma¬sing-masing yang mengejar kesenangan, telah merumuskan cinta kasih, sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari si aku dan membagi-bagi cinta kasih sesuai dengan “tempatnya” yang semua sarat de¬ngan kepentingan kita masing-masing. Maka muncullah istilah cinta terhadap Tuhan, cinta terhadap negara, cinta ter¬hadap orang tua, cinta terhadap isteri, cinta terhadap pacar, cinta terhadap anak, dan sebagainya lagi, termasuk cin¬ta terhadap sahabat. Cinta kasih dipecah-pecah dan dibagi-bagi. Akan tetapi, selama cinta kasih itu menjadi milikKu atau milikMu atau milikNya, maka yang dinamakan cinta kasih itu bukan lain hanyalah nafsu mencapai kesenangan belaka. Cinta seperti itu tidak dapat dihindarkan lagi pasti dikuasai oleh un¬tung rugi bagi si aku dan dalam keadaan seperti itu, cinta sama artinya dengan yang menyenangkan aku. Itulah sebabnya mengapa orang tua yang tadinya meng¬aku cinta kepada anaknya berubah membenci anak itu karena dikecewakan hati¬nya oleh si anak yang tidak menurut kepadanya dan sebagainya, pokoknya si anak tidak menyenangkan lagi hatinya! Demikian pula cinta seperti itu terhadap isteri, terhadap sahabat, terhadap partai, terhadap apa saja. Selama masih men¬datangkan kesenangan atau yang dianggap menyenangkan lahir maupun batin, maka cinta semacam itu masih subur. Namun, begitu yang dicinta itu tidak lagi men¬datangkan kesenangan, bahkan sebaliknya mendatangkan kekecewaan, lenyaplah perasaan cinta itu dan mungkin saja ter¬ganti oleh perasaan benci. Ini pula yang menjadi sebab mengapa manusia selalu ingat kepada Tuhan sewaktu berada da¬lam duka nestapa, sewaktu berada dalam ketakutan, dalam kesengsaraan. Harapan untuk memperoleh hiburan, memperoleh pertolongan, yang merupakan jalan ke arah kesenangan, inilah yang membuat kita berpaling kepada Tuhan. Dan kita akan melupakan Tuhan apabila kebutuhan akan hiburan, akan pertolongan, akan janji-janji kesenangan itu tidak ada. Da¬lam keadaan senang, kita tidak ingat kepada Tuhan, sebaliknya dalam keadaan susah di waktu kita membutuhkan hibur¬an, kita teringat kepada Tuhan dan kita menganggap bahwa kita mencinta Tuhan. Akan tetapi, benarkah yang demikian itu, kesemuanya itu, dapat dinamakan CINTA KASIH? Bukankah semua itu ha¬nya merupakan jembatan dan sarana untuk memperoleh kesenangan belaka? Sehingga dengan demikian, semua itu adalah palsu belaka? Tentu saja kita sebagai manusia hidup sudah sewajarnya kalau menikmati ke¬senangan dan kita memang berhak me¬nikmati kesenangan dalam kehidupan. Akan tetapi, mengejar-ngejar kesenangan jelas menuntun kita kepada kemunafikan dan kepalsuan. Uang merupakan satu di antara alat untuk menikmati kesenangan lahiriah dalam kehidupan, hal itu tak dapat disangkal oleh siapa pun juga. Akan tetapi kita dapat melihat jelas pula betapa PENGEJARAN terhadap uang itulah yang menimbulkan adanya pencuri¬an, perampokan, penipuan, penggelapan, korupsi, dan segala tindakan lain yang merugikan orang lain. Demikian pula dengan segala macam bentuk kesenangan. Penulis tidak menganjurkan agar kita menolak atau menjauhi kesenangan, hidup sebagai pertapa di tengah hutan, sama sekali tidak. Melainkan mengajak kepada kita semua untuk membuka mata dan melihat yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran kita sendiri. Melihat kenyata¬an yang terjadi di dalam diri kita sendiri, di dalam dunia. Setelah melihat kenyataan tentang cinta kasih yang di¬bagi-bagi dan yang sesungguhnya bukan¬lah cinta kasih itu, timbul pertanyaan Apakah adanya cinta kasih? Betapa mungkin menguraikan cinta kasih! Betapa mungkin menggambarkan Tuhan! Betapa mungkin menerangkan kebenaran! Sudah jelas bahwa di mana ada pikiran atau si aku yang berkuasa, yang mencengkeram cinta kasih sebagai miliknya, maka tidak akan ada cinta kasih. Oleh karena itu, selama masih ada si aku yang mengejar kesenangan, si aku yang ingin menjadi orang baik, si aku yang ingin benar, si aku yang ingin mem¬peroleh yang baik-baik dan yang enak-enak saja, maka tidak mungkin bicara tentang cinta kasih! Betapa kecewa hati Kian Lee dan Hwee Li ketika mereka tiba di bekas benteng pangeran dari Nepal yang kini telah hancur dan bekas terbakar itu. Me¬reka melihat benteng hancur yang sunyi, dijaga oleh puluhan orang perajurit yang ditinggalkan oleh Puteri Milana untuk menjaga tempat itu. Dua orang muda ini lalu mencari keterangan dari para pera¬jurit tentang Kian Bu yang mereka cari-cari. Para perajurit hanya mengatakan bahwa semua pendekar telah pergi semua dan mereka tidak tahu ke mana perginya Pendekar Siluman Kecil, tidak tahu pula apakah pendekar berambut putih itu ikut bersama Panglima Puteri Milana kembali ke kota raja ataukah tidak. Akan tetapi ada seorang perajurit yang melihat bahwa pendekar itu pergi ke arah timur. Mendengar ini, giranglah hati Kian Lee dan Hwee Li. Mereka lalu cepat pergi ke timur meninggalkan ben¬teng rusak itu untuk mencari Kian Bu. sampai berhari-hari mereka mengejar dan mencari, akan tetapi belum juga mene¬mukan jejak Kian Bu. Tidak ada seorang pun di sepanjang jalan yang mereka lalui tahu tentang pendekar berambut putih itu sehingga hati kedua orang muda ini menjadi makin bingung. Kurang lebih sepekan kemudian, me¬reka mendengar dari seorang petani bah¬wa dia melihat orang-orang yang lari seperti terbang memasuki hutan. Men¬dengar keterangan yang tidak jelas ini, Kian Lee dan Hwee Li cepat mengejar ke dalam hutan. Akan tetapi sampai malam tiba, mereka tidak bertemu de¬ngan siapapun dan akhirnya mereka ter¬paksa bermalam di dalam kuil tua karena cuaca sudah terlalu gelap untuk berke¬liaran di dalam hutan itu. Karena mere¬ka berdua belum tahu siapa adanya orang-orang yang oleh si petani dikabarkan seperti orang-orang yang terbang me¬masuki hutan, kawan ataukah lawan, maka Kian Lee dan Hwee Li yang ber¬sikap hati-hati tidak membuat penerang¬an di dalam kuil. Hwee Li membersihkan lantai dan mereka berdua duduk di dalam ruangan kuil tua melepaskan lelah sam¬bil bercakap-cakap. Sebelum gelap tadi, mereka sudah berhenti di dekat sumber air di hutan itu untuk makan dan minum, maka kini mereka tinggal beristirahat saja. Malam itu tidak terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li sudah terbangun oleh suara ayam hutan berkokok dan berkeruyuk. Dia me¬noleh ke kiri dan tidak melihat Kian Lee. Tentu pemuda itu telah bangun lebih dulu dan pergi ke sumber air yang berada agak jauh di belakang kuil, pikir¬nya. Dia masih merasa malas untuk ba¬ngun, hari masih terlampau pagi dan hawa udara demikian sejuknya sehingga kembali Hwee Li melingkar dan berseli¬mut jubah Kian Lee yang oleh pemuda itu semalam diselimutkan kepadanya tanpa dia ketahui. Tiba-tiba dara ini meloncat dan se¬ketika dia menjadi sadar betul seperti biasanya seorang ahli silat kalau men¬dengar sesuatu yang mencurigakan. Se¬luruh urat syarafnya menegang dan cepat dia menyelinap di balik dinding, mengintai ke luar dari mana dia mendengar suara orang memasuki kuil itu, suara langkah kaki yang ragu-ragu dan hati-hati. Dan dia melihat seorang wanita memasuki kuil itu, seorang wanita muda yang me¬megang sebatang pedang. Wanita itu cantik dan pakaiannya berwarna hijau. Kim Cui Yan, wanita baju hijau sumoi dari Liong Tek Hwi saudara misan Pa¬ngeran Nepal! Tentu saja Hwee Li segera mengenal wanita ini, wanita cantik yang masih terhitung kakak tirinya itu! Akan tetapi karena enci tirinya ini pernah membantu Pangeran Nepal, atau setidak¬nya termasuk kelompok lawan, maka Hwee Li diam saja dan mengintai penuh perhatian. Dia melihat betapa Kim Cui Yan berdiri sambil mundur-mundur dan memandang ke arah pintu kuil. Di luar kuil masih gelap dan amat sunyi. Cui Yan nampak gelisah sekali, wajahnya tidak begitu nampak jelas di keremangan cuaca, namun gerak-geriknya menunjuk¬kan bahwa dia sedang dilanda ketakutan dan pedang telanjang di tangannya itu dilintangkan depan dada, siap untuk di¬gerakkan menyerang lawan. Makin teranglah keadaan di dalam kuil rusak itu ketika sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan. Hwee Li me¬lihat enci tirinya itu masih berdiri se¬telah mundur-mundur sampai punggungnya menempel dinding retak-retak. Kini dia dapat melihat wajah yang agak pucat itu, wajah yang jelas memperlihatkan rasa takut dan juga lelah. Agaknya se¬malam itu encinya tidak tidur, dan ber¬ada dalam ketakutan, mungkin dikejar-kejar musuh. Hati Hwee Li menjadi pa¬nas. Betapapun juga, wanita ini adalah enci tirinya, seayah dengan dia, maka sudah sepatutnya kalau dia bela. Dia akan menanti dan melihat sampai musuh yang agaknya ditakuti encinya itu mun¬cul, dan kalau perlu, dia akan membantu enci tirinya. Hwee Li bersiap-siap dan menduga-duga siapa adanya musuh yang begitu ditakuti encinya, padahal dia tahu bahwa Kim Cui Yan yang berjuluk Si Walet Hijau ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak akan mudah dikalahkan orang begitu saja. Tak lama kemudian, suasana yang penuh ketegangan yang mencekam hati itu dipecahkan oleh suara wanita yang nya¬ring, “Perempuan kejam, hendak lari ke manakah engkau?” Hwee Li terkejut bukan main men¬dengar suara yang amat dikenalnya itu dan begitu wanita itu muncul di ambang pintu, Hwee Li memandang terbelalak dari tempat persembunyiannya. Wanita itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Ceng Ceng atau isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Wajah nyonya muda ini kelihatan bengis dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia memasuki ruangan kuil itu dengan tenang, namun di setiap langkahnya terkandung ancaman maut yang membuat Hwee Li menggigil. Dia melihat betapa Cui Yan juga terkejut dan muka enci tirinya itu menjadi makin pucat, akan tetapi tangan yang memegang pedang itu tidak gemetar. “Kau.... kau terlalu mendesakku!” kata Cui Yan dan kini dia melangkah maju dengan pedang siap di tangan. “Perempuan keparat, ketika engkau menculik dan melarikan puteraku, apakah perbuatanmu itu tidak terlalu kejam? Engkau membuat duniaku hampir kiamat rasanya, dan sekarang engkau bilang aku mendesakmu?” Nyonya muda itu berkata, suaranya mengandung penuh kebencian. Karena sudah tersudut, agaknya Kim Cu Yan menjadi berani dan nekat. Dia menjawab dan suaranya terdengar penuh penyesalan, “Hemmm, seluruh keluarga ayahku tewas karena ayah mertuamu, kalau aku melarikan puteramu dan di sepanjang jalan aku merawatnya, men¬jaganya dan sama sekali tidak pernah menyiksanya, bukankah aku masih jauh lebih baik daripada ayah mertuamu?” Sepasang mata Ceng Ceng mengeluar¬kan sinar berkilat. “Ayahmu adalah pem¬berontak, sudah selayaknya dihukum!” “Ayahku boleh jadi pemberontak, akan tetapi apakah ibuku, keluarga ayah, juga berdosa?” Cui Yan balas menghardik. Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berhati keras seperti baja. Biarpun dia dapat mengerti akan rasa penasaran di hati dara itu karena seluruh keluarganya tewas, akan tetapi tentu saja dia membela fihaknya sendiri. “Tidak perlu banyak cerewet, engkau memegang pe¬dang. Nah, kita sudah berhadapan, mari membuat perhitungan. Engkau boleh me¬lepaskan dendam kematian keluarga ayah¬mu, dan aku akan membalasmu dan menghukummu karena engkau pernah menculik puteraku. Atau barangkali engkau takut, pengecut seperti mendiang ayahmu?” “Perempuan sombong!” Kim Cui Yan menjerit dan pedangnya menyambar. Ceng Ceng cepat mengelak dan balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung tenaga sakti yang luar biasa itu. Hwee Li menonton dari balik pintu tembusan itu dengan mata terbela¬lak dan bingung. Tadi dia sudah meng¬ambil keputusan untuk membela dan membantu enci tirinya berhadapan dengan musuh, akan tetapi setelah melihat bah¬wa musuh encinya itu bukan lain adalah gurunya sendiri, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Maka dia hanya bengong dan melihat ke arah per¬tandingan yang berjalan amat seru itu dengan bingung, mengepal tinju dengan hati amat gelisah dan khawatir. Kim Cui Yan adalah murid terkasih dari nenek Kim-mou Nio-nio, datuk barat di luar tembok besar yang amat sakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Apalagi dia kini memegang sebatang pedang dan mainkan Ilmu Pedang Swat-lian Kiam¬sut (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang ber¬hawa dingin, maka dia merupakan se¬orang lawan yang lihai dan berbahaya. Akan tetapi, kini dia berhadapan dengan Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nyonya muda ini semenjak minum sari darah anak naga (baca Kisah Sepasang Rajawali) telah memiliki tenaga sinkang yang luar biasa dahsyatnya, di¬tambah lagi memperoleh bimbingan sua¬minya dalam ilmu silat tiinggi, maka dia merupakan seorang tokoh wanita yang jarang dapat ditemukan tandingannya di waktu itu. Pertandingan itu berjalan cepat dan juga seru, karena Kim Cui Yan yang maklum akan kehebatan lawan itu berkelahi mati-matian. Namun, akhirnya dia harus mengakui keunggulan lawannya ketika dengan tenaganya yang dahsyat, Ceng Ceng berhasil memukul pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya ter¬lepas dan terampas oleh lawan. Di lain saat, Ceng Ceng sudah menodongkan ujung pedang rampasan itu ke leher la¬wan sampai menempel di kulit teng¬gorokan Cui Yan yang tak berani ber¬gerak lagi karena bergerak berarti leher¬nya tertembus ujung pedangnya sendiri! Cui Yan hanya melangkah mundur, na¬mun ujung pedang itu tidak pernah me¬ninggalkan kulit tenggorokannya sedikit pun, terus menempel ketika Ceng Ceng melangkah maju pula mengikutinya sam¬pai akhirnya Cui Yan tak mampu mundur lagi karena punggungnya telah menumbuk bekas perapian di ruangan kuil tua itu. “Bunuhlah, siapa takut mati?” teriak Cui Yan sambil memandang dengan mata terbelalak. “Perempuan keji, memang aku akan membunuhmu....“ “Tunggu! Jangan bunuh dia, Subo....!” Hwee Li menjerit dan meloncat keluar dari tempat persembunyiannya. Ceng Ceng menahan pedangnya dan memandang kepada muridnya itu dengan kaget dan heran. Tanpa menurunkan pe¬dangnya yang menodong leher Cui Yan, dia membentak, “Apa maksudmu, Hwee Li? Mengapa engkau mencegah aku mem¬bunuh penculik puteraku ini?” “Subo, jangan bunuh dia.... dia adalah enciku sendiri....“ Ceng Ceng merasa terkejut bukan main mendengar ini sehingga otomatis pedang itu diturunkannya dari leher Cui Yan yang juga merasa heran mendengar itu dan memandang kepada Hwee Li dengan mata penuh keheranan. “Encimu? Jadi dia ini juga puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?” tanya Ceng Ceng dengan alis berkerut. “Bukan, Subo. Akan tetapi dia adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin....” “Dan engkau puteri Hek-tiauw Lo-mo, bagaimana kau bisa bilang dia enci¬mu?” “Tidak, teecu hanya anak angkat saja dari Hek-tiauw Lo-mo, sebetulnya teecu adalah puteri Kim Bouw Sin juga, dari seorang selir yang dilarikan oleh Hek¬tiauw Lo-mo. Teecu Kim Hwee Li adalah adik tirinya seayah dengan Enci Cui Yan. Oleh karena itu, harap Subo memandang muka teecu dan suka mengampuni Enci Cui Yan.” Keterangan ini membuat Ceng Ceng melangkah mundur tiga langkah dan dia demikian tercengang sehingga tangan kirinya naik dan mengusap pipinya sen¬diri. Kenyataan ini merupakan pukulan baginya. “Ah, kau.... jadi engkau ini anak pemberontak? Aihhh, sungguh celaka sekali. Jadi selama ini aku mengambil anak pemberontak keji dan hina sebagaimurid ?” Saking menyesalnya, Ceng Ceng lalu menggunakan kedua tangan menekuk pedang di tangannya itu. “Krekkk!” Pedang Cui Yan itu patah menjadi dua dan Ceng Ceng melempar¬kannya ke atas tanah, matanya menatap wajah muridnya dengan penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Kemudian dia mengeluh dan sekali berkelebat, dia sudah meloncat keluar dari kuil itu. “Ahhh....“ Hwee Li rnemejamkan kedua matanya dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia merasa lega bahwa nyawa enci tirinya terlepas dari ancaman maut, akan tetapi juga berduka sekali karena maklum bahwa gurunya itu me¬rasa kecewa dan menyesal dan dia me¬rasa bahwa semenjak saat tadi, tali per¬hubungan antara dia dan gurunya telah diputuskan oleh gurunya, seperti gurunya mematahkan pedang tadi. Tiba-tiba terdengar suara yang mem¬buat Hwee Li cepat membuka mata, membalikkan tubuh dan memandang ke arah jendela. Di luar jendela itu telah berdiri Kian Lee, wajahnya pucat, mata¬nya terbelalak dan kerut-merut duka terbayang di wajah itu. “Ya Tuhan.... jadi engkau ini anak Kim Bouw Sin pem¬berontak hina itu....?” Setelah berkata demikian, Kian Lee berkelebat pergi. “Lee-koko....!” Hwee Li menjerit dan meloncat ke dekat jendela, akan tetapi ketika dia memandang, bayangan Kian Lee telah lenyap dari situ dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengejar pemuda itu yang dapat lari jauh lebih cepat daripada dia, bahkan lebih cepat dari gurunya tadi. Maka tak tertahankan lagi Hwee Li menangis terisak-isak sam¬bil bersandar di ambang jendela yang retak-retak. Memang tadinya dia sudah merasa berduka sekali oleh sikap gurunya yang tercinta, yang kelihatan kecewa dan meninggalkanya dengan marah dan me¬nyesal. Sikap gurunya sudah membuat dia hampir menangis maka sikap Kian Lee yang mengeluarkan kata-kata yang sama dengan ucapan gurunya menjebol bendung¬an hatinya yang seperti disayat rasanya. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Hwee Li menoleh dan melihat Cui Yan berdiri di dekatnya. Mereka saling pandang dan Hwee Li melihat betapa kedua mata gadis itu penuh air mata, betapa mata itu memandangnya penuh perasaan iba. Tiba-tiba, seperti ada sesuatu yang menarik mereka, keduanya saling rangkul dan menangislah dua orang dara itu tersedu-sedu. Kakak beradik yang saling jumpa dalam keadaan yang menyedihkan. Setelah tangis mereka mereda, biar¬pun Hwee Li masih sesenggukan, akan te¬tapi Cui Yan telah dapat menguasai hati¬nya. Sambil merangkul adiknya, dia berkata, “Aku sudah menduga-duga dengan penuh keheranan mengapa engkau serupa sekali dengan ibu ke tiga, yaitu selir ayah yang cantik. Aku berusia kurang lebih enam tahun ketika ibumu itu lenyap. Kiranya engkaulah puterinya yang ketika itu baru berusia tiga bulan. Mengapa engkau ti¬dak bilang kepadaku bahwa engkau adikku ketika kita berada di benteng?” Hwee Li menghapus air matanya dan keduanya lalu duduk di atas lantai ru¬angan itu. “Aku.... aku tidak ingin di¬ketahui oleh.... mereka bahwa aku ada¬lah puteri pemberontak, maka aku diam saja walaupun aku sudah mendengar bah¬wa engkau adalah kakak tiriku, Enci Cui Yan.” Gadis baju hijau itu menarik napas panjang. “Aku mengerti. Mereka itu se¬mua membenci ayah kita. Sungguh meng¬gemaskan sekali! Apa hubungannya ayah kita dengan kita? Mengapa kita diikutkan memikul kesalahan yang diperbuat oleh ayah kita?” Kemudian Cui Yan merang¬kul lagi leher adiknya. “Engkau.... engkau telah berkorban untuk keselamat¬anku, Adikku! Engkau telah menyelamat¬kan nyawaku, akan tetapi untuk itu engkau kehilangan guru.... dan pemuda itu....” Diingatkan begini Hwee Li menangis lagi. Dia merebahkan diri di atas dada encinya dan kembali keduanya bertangis¬an. Memang demikianlah satu di antara “kebiasaan umum” yang sudah membuda¬ya dalam kehidupan kita. Manusia dinilai bukan dari keadaan manusia itu sendiri pada saat itu, melainkan dinilai dari segala yang melekat pada dirinya. Ada penilaian terhadap manusia didasarkan atas kebangsaannya, sukunya, masyarakat¬nya, agamanya, orang tuanya, keluarga¬nya, pendidikannya, kedudukannya, harta¬nya dan sebagainya lagi. Sungguh merupakan suatu kebiasaan yang amat buruk dan palsu. Sudah menjadi kebiasaan dalam peradaban kita ini untuk menilai dan menentukan keadaan seseorang dan apa yang nampak oleh kita. Padahal, tidak ada orang yang dapat menilai orang lain, kecuali dirinya sendiri. Kalau kita mem¬benci bangsanya atau sukunya, setiap orang yang menjadi anggauta bangsa atau suku itu pun kita benci. Kalau kita mem¬benci ayahnya, setiap keluarga dari si ayah itu pun kita benci. Pandangan se¬perti ini tentu saja amat sesat. Pandang¬an seperti ini menimbulkan konflik an¬tara suku, antara bangsa, antara agama, antara keluarga dan antara perorangan. Dapatkah kita hidup di dunia ini sedemi¬kian bebasnya dari pandangan ketergan¬tungan dan penilaian ini sehingga kita menghadapi siapapun juga tanpa meng¬ingat kebangsaannya, kesukuannya, aga¬manya, kaya miskinnya, pintar bodohnya, keluarganya, melainkan sebagai manusia dengan manusia lain pada saat itu juga, tanpa diembel-embeli latar belakang atau latar depannya, asal-usulnya atau segala perbuatannya yang telah lampau? Kalau tidak dapat, maka konflik antara manu¬sia pun takkan pernah dapat dihentikan! Kakak beradik itu lalu saling men¬ceritakan pengalaman dan riwayat me¬reka masing-masing. Dengan segala ke¬jujuran mereka membuka rahasia hati masing-masing sehingga mengertilah Hwee Li bahwa encinya ini saling mencinta dengan Liong Tek Hwi dan merencanakan pernikahan mereka. Sebaliknya, Kim Cui Yan mendengar bahwa adik tirinya ini sesungguhnya saling mencinta dengan Suma Kian Lee, pemuda yang tadi mg¬ninggalkan adiknya karena kecewa men¬dengar bahwa adiknya itu puteri pem¬berontak. “Sudahlah, jangan engkau terlalu ber¬duka, Adikku. Setelah kita saling jumpa, aku tidak akan membiarkan engkau ter¬hina oleh siapa pun juga. Biar kita di¬anggap anak-anak pemberontak yang hina, kita pun tidak butuh dengan me¬reka. Marilah engkau ikut bersamaku, hidup di samping encimu ini yang akan menghibur dan melindungimu, Hwee Li.” Akan tetapi Hwee Li bangkit berdiri dan sambil menghapus air mata yang masih terus mengalir di atas kedua pipi¬nya, dia berkata keras, “Tidak....! Aku harus mencarinya, aku harus menyusul¬nya.... aku.... aku tidak dapat hidup tanpa dia, Enci!” Dan Hwee Li lalu ber¬lari meninggalkan Cui Yan yang bangkit dan berdiri termangu-mangu memandang dari jendela ke arah adiknya yang berlari cepat sambil menangis. Setelah bayangan Hwee Li lenyap, gadis baju hijau ini menghela napas pan¬jang dan menggeleng kepala. “Kasihan Hwee Li.... ah, semua ini gara-gara Hek-tiauw Lo-mo dan pangeran dari Ne¬pal yang konyol itu! Kalau bertemu de¬ngan mereka, akan kuhajar mereka! Dan aku pun harus mengajak suheng untuk mencari pemuda itu dan menjodohkan Hwee Li dengan dia....“ Dengan pikiran penuh rasa iba kepada adiknya, Cui Yan lalu meninggalkan kuil untuk pergi menemui suhengnya, yaitu Liong Tek Hwi. Dia bersama suhengnya itu setelah meninggalkan benteng yang terbakar, lalu untuk sementara tinggal di rumah dusun yang dibeli suhengnya. Me¬reka menanti datangnya Kim-mouw Nio-nio, guru mereka yang akan mengunjungi mereka dan akan mempersiapkan hari pernikahan mereka. Dia sedang keluar dari rumah ketika di tengah jalan dia bertemu dengan Ceng Ceng yang segera menyerangnya. Karena merasa kewalahan menghadapi nyonya muda yang amat lihai itu, Cui Yan melarikan diri dan terus dikejar oleh musuhnya. Cui Yan dapat melarikan diri ke dalam hutan dan ma¬lam itu musuhnya terus mengejar dan mencari-carinya di dalam hutan sampai pada keesokan paginya Cui Yan bersem¬bunyi ke dalam kuil itu dan akhirnya ditemukan juga oleh Ceng Ceng. Tentu suheng sedang mencari-cari aku dengan bingung, pikirnya. Dia pergi se¬jak kemarin dan kepada suhengnya hanya berpamit untuk berbelanja ke kota. Maka dengan cepat dia berlari menuju ke du¬sun tempat tinggal suhengnya yang cukup jauh karena ketika melarikan diri dia mempergunakan ilmu lari cepat, dan terus dikejar oleh musuh sampai ke hu¬tan itu. Kim Cui Yan mengambil keputusan untuk mengajak suhengnya mencari Hwee Li dan Kian Lee. Untuk keperluan itu, dia rela untuk mengundur hari pernikah¬annya dengan suhengnya yang juga men¬jadi kekasihnya itu. Kini urusan pribadi telah beres. Keluarganya yang terbasmi habis karena Jenderal Kao telah himpas dendamnya karena jenderal itu sendiri pun telah tewas. Dan kini terbuka mata batinnya bahwa Jenderal Kao Liang ada¬lah seorang gagah perkasa yang selain setia kepada negara juga rela berkorban apa saja demi keselamatan keluarganya. Jenderal itu gagah perkasa, para pende¬kar yang mendukungnya terdiri dari orang-orang yang berjiwa satria yang gagah perkasa pula. Maka dia telah menghapus dendam pribadi itu dari hatinya, dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tidak memperdalam dendam itu dengan mencelakai cucu Jenderal Kao Liang atau putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, walaupun baru saja dia hampir tewas di tangan ibu dari anak yang diculiknya itu yang masih marah kepadanya. Diam-diam dia bergidik kalau teringat akan pengalamannya bertanding melawan isteri Si Naga Sakti Gu¬run Pasir. Baru isterinya saja sudah de¬mikian saktinya sehingga biarpun dia mempergunakan pedang, sama sekali dia tidak berdaya mendesak wanita itu. Agak¬nya bahkan gurunya sendiri pun belum tentu dapat menangkan wanita itu dengan mudah. Apalagi Si Naga Sakti sen¬diri! Koksu Nepal yang demikian sakti¬nya, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok juga tidak mampu menandingi Si Naga Sakti. Dia bergidik. Biarlah dia mencari adiknya, mengurus perjodohan adiknya itu, baru dia akan ikut bersama suhengnya, atau kekasihnya, atau calon suaminya, ke utara, jauh sekali ke utara, ke tempat asal ibu dari suhengnya yang juga menjadi tempat asal guru mereka, nenek Kim-mouw Nio-nio. Matahari telah naik tinggi ketika gadis baju hijau itu memasuki sebuah hutan. Dia harus berjalan cepat agar dapat tiba di dusun yang menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu, di ma¬na suhengnya tentu sedang menanti ke¬datangannya dengan gelisah. Tiba-tiba di sebelah depan berkelebat bayangan orang dan dari balik pohon-pohon muncullah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap yang kepalanya memakai sorban dan di bagian depan sorban itu terthias bulu burung yang amat indah. Segera Cui Yan mengenal orang itu. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu! Me¬lihat pangeran ini, hati Cui Yan yang masih dipenuhi rasa iba dan duka karena adiknya, seketika menjadi panas karena dia teringat bahwa pangeran inilah yang menjadi gara-gara sehingga adiknya itu kini mengalami hal-hal yang menyengsa¬rakan hati. Huh, laki-laki macam ini mau memaksa Hwee Li menjadi isterinya! Liong Bian Cu juga segera mengenal Cui Yan, sumoi dan kekasih dari saudara¬ misannya itu, maka dengan tersenyum lebar dia cepat menghampiri dan begitu berhadapan dia berkata, “Ah, kiranya Nona Kim berada di sini. Sungguh meng¬gembirakan hati dapat bertemu dengan calon iparku yang begini cantik manis! Eh, di mana adanya saudaraku Liong Tek Hwi?” Sikap yang ceriwis itu makin me¬manaskan hati Cui Yan. Dia berdiri te¬gak memandang wajah pangeran itu dengan sepasang mata terbelalak, mukanya merah dan mulutnya cemberut, hidungnya yang mancung itu bergetar dan cuping hidungnya kembang-kempis karena ke¬marahan membuat napasnya agak mem¬buru. Kemudian terdengar dia berkata, suaranya nyaring dan kaku, “Pangeran, engkau adalah seorang laki-laki yang tidak tahu malu!” Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan sepasang mata yang agak dalam dan mempunyai pandangan tajam itu menatap wajah Cui Yan yang cantik. Memang cantik manis sekali calon iparku ini, pikir sang pangeran. Terutama sekali hidungnya yang mancung itu, manis sekali. Akan tetapi mengapa dia marah-marah dan berani memakinya? Hati pangeran ini memang sedang tertekan oleh kekecewaan dan kedukaan. Gerakannya telah gagal total, bentengnya telah han¬cur dan dia tentu akan mendapat ke¬marahan besar dari pamannya yang kini menjadi raja di Nepal. Selain itu, juga baru saja dia kehilangan Hwee Li, gadis yang dicintanya. Dalam keadaan murung seperti itu, kini bertemu dengan wanita ini yang datang-datang memakinya se¬bagai laki-laki yang tidak tahu malu, tentu saja diam-diam dia merasa penasaran dan marah sekali. Dia, Pangeran Nepal, yang biasanya disembah-sembah orang, yang biasanya dihujani kerling dan senyum manis oleh setiap orang wanita, tua atau pun muda, yang selama hidup¬nya belum pernah dihina wanita kecuali Hwee Li yang dicintanya, sekarang me¬rasa dihina oleh wanita ini! Namun, dia dapat menyembunyikan kemarahannya dan masih tersenyum memandang wanita yang marah-marah sampai kedua pipinya ke¬merahan dan amat menarik itu. “Calon iparku yang manis, mengapa begitu bertemu engkau marah-marah dan memaki aku? Biarpun kalau marah eng¬kau kelihatan bertambah cantik, akan tetapi iparmu ini ingin mengetahui mengapa engkau marah kepadaku.” Sikap dan kata-kata Liong Bian Cu merupakan minyak pembakar yang di¬siramkan pada api yang menyala di dalam Cui Yan. Mukanya bertambah merah dan matanya mengeluarkan sinar ber¬kilat. “Cih, laki-laki tak sopan! Engkau tahu bahwa adikku Hwee Li tidak suka kepadamu, kenapa engkau hendak me¬maksanya menjadi isterimu? Engkaulah yang membuat dia merana!” Pangeran Nepal itu memandang de¬ngan sepasang mata mulai berseri. Ter¬ingatlah kini dia bahwa wanita yang berdiri di depannya dan sedang marah-marah ini adalah kakak tiri Hwee Li, puteri dari mendiang Kim Bouw Sin, ha¬nya berlainan ibu dengan Hwee Li. Me¬mang ada kemiripan antara keduanya, terutama sikap galaknya dan bibir yang membayangkan kelembutan di balik kekerasan itu. Maka timbullah dua macam perasaan di dalam hatinya, perasaan yang terdorong oleh kecewa dan penasaran karena kegagalannya. Perasaan itu adalah perasaan marah karena dia dihina wanita, bercampur dengan perasaan ka¬gum karena memang keberanian wanita ini mengingatkan dia akan keberanian Hwee Li dan itulah yang membangkitkan berahinya! Biar aku luput mendapatkan adiknya, biar kudapatkan kakaknya, demikian bisikan hatinya yang mulai panas. Kalau aku bisa mendapatkannya dan mem¬bawanya ke Nepal sebagai seorang di antara selir-selirku, sewaktu-waktu aku rindu kepada Hwee Li, wanita ini bisa nnenjadi penggantinya dan kuanggap saja dia Hwee Li! “Ah, Kim Cui Yan, nona yang cantik manis. Kalau kauanggap aku demikian, lalu bagaimana? Engkau mau menghukum¬ku? Nah, silakan, aku menyerah kepada seorang wanita denok manis seperti eng¬kau.” Sepasang nrata wanita itu berapi-api saking marahnya. “Pangeran ceriwis! Engkau harus menyatakan bersalah, minta ampun di depanku dan berjanji bahwa selanjutnya engkau tidak akan mengganggu adikku Hwee Li lagi!” Tentu saja diam-diam Pangeran Bha¬ruhendra menjadi marah sekali, akan tetapi dia masih tersenyum sungguhpun pandang matanya mulai berapi. “Kalau aku tidak mau minta ampun bagaimana?” “Aku akan menghajarmu!” bentak Cui Yan sambil mengepalkan kedua tinjunya dan berdiri tegak. “Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya eng¬kau mengajak aku untuk bertanding meng¬adu kepandaian? Baik, akan tetapi per¬tandingan ini harus ada taruhannya. Ka¬lau aku kalah, biarlah aku akan minta ampun kepadamu seperti yang kauminta, akan tetapi sebaliknya, kalau engkau kalah....“ Pangeran itu mengelus dagunya yang dicukur licin, “Engkau cantik manis seperti adikmu, kalau engkau kalah, eng¬kau harus menemani aku sehari semalam, menghibur hatiku yang sedang gundah-gulana....“ “Keparat!” Cui Yan membentak dan dara ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Saking marahnya, begitu menyerang dia sudah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat diandalkan, yaitu Swat-lian Sin-ciang. Pukulan ini adalah pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang amat kuat dan ber¬bahaya, tenaga Im-kang yang mengandung hawa dingin sekali. Ketika merasa betapa ada hawa di¬ngin menyambar ke arah dadanya, pa¬ngeran itu berseru, “Bagus sekali!” dan cepat dia mengelak ke belakang, lalu siap menghadapi terjangan lawan. Cui Yan yang sudah marah terus mendesak dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kini pangeran itu pun mempergunakan ilmu pukulan sakti untuk menyambutnya, yaitu ilmu pukulan Im-yang Sin-ciang yang juga sama kuatnya. Ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang yang dimiliki Cui Yan bukanlah ilmu pukulan sembarangan. Ilmu pukulan ini mengan¬dung tenaga Im-kang tingkat tinggi yang diciptakan oleh gurunya, yaitu Kim-mouw Nio-nio di daerah utara dekat kutub di mana setahun penuh segala sesuatu di¬selimuti es dari salju, hawanya dingin bukan main. Biarpun tingkat Cui Yan belum sehebat gurunya, namun pukulan-pukulannya sudah sedemikian kuatnya sehingga kalau lawannya kurang kuat, maka darah dan segala cairan dalam tubuh lawan dapat membeku terlanda hawa pukulannya, atau setidaknya, hawa dingin akan membuat lawan menggigil dan tidak mampu bertahan lagi. Namun, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Ban Hwa Sengjin atau pendeta dari Nepal yang bernama Lak¬shapadma, yang selain menjadi seorang koksu dari Nepal juga merupakan orang ke tiga dari Ngo-ok yang pada waktu itu termasuk datuk-datuk kaum sesat yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Maka, dengan menggunakan I1mu Im-yang Sin-ciang, pangeran itu dengan tepat sekali dapat menahan semua se¬rangan Cui Yan biarpun setiap kali le¬ngan mereka bertemu, dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang lengannya, sebaliknya, karena memang kalah kuat, Cui Yan selalu terdorong dan terhuyung ke belakang. Mulailah Cui Yan terdesak dan dara ini merasa menyesal mengapa pedangnya telah dipatahkan oleh Ceng Ceng sehing¬ga dalam pertempuran melawan Pangeran Nepal ini dia tidak dapat mengandal¬kan permainan pedangnya. Setelah ber¬tanding lima puluh jurus lebih, kini Liong Bian Cu mulai melancarkan serangan-serangan hebat yang membuat dara itu menjadi kewalahan. Memang, kalau dibandingkan, tingkat kepandaian Pangeran Nepal itu masih lebih tinggi, maka be¬gitu dia menekan, dara itu menjadi sibuk sekali dan pada saat kedua lengan me¬reka kembali beradu, Liong Bian Cu mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram pergelangan tangan kanan dara itu. Dia tertawa bergelak dan se¬belum Cui Yan mampu melepaskan le¬ngannya, dia sudah tertotok dan menjadi lemas! Kalau dia dihantam atau dibunuh, Cui Yan tentu akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi kini pangeran itu merangkul dan memeluknya dan dara itu terbelalak dan merasa ngeri setengah mati ketika pangeran itu mendekatkan muka lalu menciumnya penuh nafsu! Cui Yan memejamkan mata dan berusaha meronta, namun dia telah tertotok se¬hingga tenaganya habis. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan Swat-im Sin-kang untuk membuat tubuhnya dingin. Ter¬paksa dia menyerah saja diciumi dan di¬belai oleh pangeran itu yang tertawa-tawa. “Engkau cantik, manis, engkau seperti Hwee Li.... ha-ha-ha, Cui Yan yang cantik, engkau telah kalah, engkau harus membayar taruhan.” Lalu dipondongnya tubuh dara itu. “Lepaskan aku ! Atau.... kaubunuh saja aku....“ Cui Yan meratap, kini me¬rasa takut bukan main. Baru sekarang ini dia merasa amat ketakutan, amat ngeri menghadapi apa yang akan menimpa diri¬nya. “Lepaskan? Nanti dulu, Sayang, kau harus membayar taruhan dulu. Membunuh¬mu? Sayang sekali, engkau terlalu cantik.... ha-ha-ha....!” Cui Yan tak mampu berdaya apa-apa lagi dan dia dilarikan oleh pangeran itu ke sebuah dusun di mana terdapat sebuah gedung yang dibangunnya semen¬jak dia bertualang di daerah ini. Ketika dia memondong tubuh Cui Yan memasuki rumah itu, Cui Yan melihat Koksu Nepal berada di situ pula! Melihat muridnya memondong gadis yang dikenalnya se¬bagai nona yang pernah datang ke lembah atau ke dalam benteng, kakek botak itu hanya tersenyum saja, sama sekali tidak bertanya apalagi menegur. Dia hanya memandang ketika muridnya itu membawa tubuh yang dipondongnya me¬masuki kamarnya dan menutupkan kamar itu dengan kakinya. Pada jaman itu, baik di Tiongkok maupun di bagian dunia lain di Asia, terutama di Nepal, memang kaum wanita dipandang sebagai benda mainan atau sebagai sumber kesenangan bagi pria belaka. Wanita dianggap tidak berhak untuk menentukan nasibnya, tergantung sepenuhnya dari orang tua atau dari pria yang menguasainya, seperti benda-benda hiasan atau binatang-binatang peliharaan, dijadikan alat pemuas nafsu, dijadikan milik kebanggaan. Maka, bukan hal yang aneh melihat wanita dipaksa oleh pria yang memiliki kedudukan seperti Pange¬ran Nepal, seolah-olah setiap orang wanita yang berada di dalam kekuasaan¬nya harus tunduk kepadanya, bahkan di¬pilih oleh seorang pangeran dianggap sebagai kehormatan besar bagi si wanita, tidak peduli wanita itu dipilih dengan paksa atau dengan suka rela. Oleh kare¬na itulah, Ban Hwa Sengjin hanya tersenyum saja melihat muridnya memon¬dong seorang wanita cantik, seolah-olah melihat suatu hal yang lucu. Apalagi karena memang Ban Hwa Sengjin adalah seorang yang amat keji hatinya. Sam-ok dari Ngo-ok yang terkenal sebagai Lima Datuk yang paling kejam di seluruh dunia ini. Kim Cui Yan hanya dapat merintih dan menangis dengan hati hancur lebur. Dia tidak mampu menolak, tidak mampu meronta, tidak mampu mengelak ketika Liong Bian Cu memperkosanya disertai bujuk rayu yang tentu akan ditolaknya dan ditentangnya dengan taruhan nyawa kalau saja dia mampu bergerak. Akan tetapi, Pangeran Nepal itu cerdik, dia ditotok sehingga kaki tangannya menjadi lemas tak berdaya, hanya mampu ber¬gerak lemah tanpa mampu mengerahkan tenaga sinkangnya. Dia hanya mampu membuang muka dan air matanya ber¬cucuran ketika dia dipermainkan oleh pangeran itu yang agaknya tidak ada puas-puasnya menuruti nafsu kejinya. Sudah bulat tekad di dalam hati Cui Yan untuk membunuh diri begitu dia memperoleh kesempatan. Untuk melaksa¬nakan kebenciannya dan membunuh pa¬ngeran itu, tentu saja dia tidak mampu, apalagi mengingat bahwa di tempat itu terdapat koksu yang sakti pula. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh diri untuk mencuci dirinya dari aib dan penghinaan. Akan tetapi, kalau hanya membunuh diri begitu saja akan sia-sia. Dia harus lebih dulu dapat bertemu dengan suhengnya, dengan kekasihnya, calon suaminya, untuk menceritakan semua malapetaka yang menimpa dirinya ini. Akan tetapi, Liong Bian Cu yang sudah berpengalaman dalam hal mem¬perkosa wanita, dapat melihat dan men¬duga bahwa Cui Yan tentu akan mem¬bunuh diri kalau diberi kesempatan, oleh karena itu dia selalu menjaga dan me¬notok jalan darah wanita itu. Baru se¬telah ada tanda-tanda bahwa Cui Yan membalas belaiannya dan seolah-olah menjawab pernyataan cintanya, dia mulai memberi kelonggaran karena dia mengira bahwa dia telah berhasil “menundukkan” wanita ini, seperti menundukkan seekor kuda betina liar yang mulai menjadi “jinak”, seperti yang sudah sering kali dia alami. Di antara para selirnya, ba¬nyak yang tadinya juga melawan dan tidak rela menyerahkan diri, akan tetapi kemudian malah menjadi selir yang amat mendambakan cintanya, bahkan saling berebutan untuk melayaninya! Dan dia mengira bahwa Cui Yan juga termasuk wanita seperti itu. Kini Cui Yan mulai suka tersenyum kepadanya! Karena merasa bahwa setelah sepekan lamanya dia memaksa Cui Yan melayaninya dan jarang meninggalkan wanita ini, dia mulai memberi kelonggaran. Akan tetapi, pada malam ke lima itu, malam pertama dia meninggalkan Cui Yan sebentar untuk berbincang-bincang dengan koksu, ketika dia kembali ke kamarnya, burung itu telah terbang menghilang! Dia cepat mengejar dan mencari, namun sia-sia belaka. Cui Yan telah lenyap! Ke manakah perginya Cui Yan? Wa¬nita, yang ditimpa malapetaka hebat ini. melarikan diri dengan secepatnya me¬ninggalkan dusun tempat tinggal Liong Bian Cu, sambil menangis dia terus lari sekuatnya semalam suntuk itu, menuju ke dusun tempat tinggal suhengnya. Hampir putus napasnya ketika pada keesokan harinya dia tiba di depan rumah suheng¬nya, karena semalam suntuk dia terus berlari cepat, sedikit pun tidak pernah mengurangi kecepatannya dan mengerah¬kan segenap tenaganya. Bukan main kaget hati Liong Tek Hwi ketika dia melihat sumoinya datang berlari-lari, lalu menubruk padanya, me¬rangkul dan menangis tersedu-sedu. “Sumoi, apa yang telah terjadi? Ke mana saja selama ini engkau pergi? Aku dan subo mencari-carimu sampai ke ma¬na-mana, hatiku risau dan bingung se¬kali....“ Pemuda berkulit putih bermata kebiruan itu merangkul dan mengelus rambut kekasihnya. “Cui Yan, apa yang telah terjadi?” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan ketika mendengar ini, Cui Yan kaget dan menengok, kemudian dia menjerit dan melepaskan rangkulan leher suheng¬nya, menubruk kaki nenek itu sambil menangis sesenggukan. Nenek itu bukan lain adalah gurunya, Kim-mouw Nio-nio. Nenek ini sudah tua sekali, sudah sem¬bilan puluhan tahun usianya, dan keadaan¬nya amat mengerikan. Rambutnya pirang keemasan sudah penuh uban, matanya agak kebiruan dan di kedua lengannya nampak dua buah gelang, yang kanan terbuat dari emas dan yang kiri dari perak. Sepasang gelang emas dan perak itu selain menjadi perhiasan, juga merupakan senjatanya yang ampuh sekali. Melihat muridnya itu menangis tersedu-sedu sambil merangkul kakinya, nenek itu menyeringai dan sekali menggerakkan kakinya, tubuh muridnya itu terjengkang. “Wuhhh, memalukan sekali! Apakah selama ini aku mengajar engkau menjadi wanita lemah dan cengeng? Ha¬yo katakan apa yang telah terjadi!” Dengan air mata bercucuran Cui Yan bangkit berdiri dan ketika dia bertemu pandang dengan kekasihnya, kembali dia tersedu-sedu. Liong Tek Hwi melangkah maju dan memegang tangan sumoinya, memandang dengan penuh kekhawatiran dan bertanya halus, “Sumoi, ada apakah? Engkau benar-benar membuat aku gelisah sekali. Ceritakanlah.” “Suheng.... demi Thian.... engkau harus membunuh si jahanam Liong Bian Cu....!” Tentu saja ucapan itu membuat Liong Tek Hwi terkejut bukan main. Liong Bian Cu adalah saudara misannya dan sekarang sumoinya atau kekasihnya ini minta kepadanya untuk membunuh saudara misannya itu! “Sumoi, apakah yang terjadi? Mengapa engkau mengaju¬kan permintaan yang luar biasa ini?” “Sepekan yang lalu.... aku bertemu dengan dia, kami bertempur karena aku menyalahkan dia yang ingin memaksa adikku Kim Hwee Li menjadi isterinya dan karena dia kurang ajar kepadaku, aku kalah dan tertawan. Aku dibawa ke dusun sebelah barat hutan di mana jaha¬nam itu tinggal bersama gurunya, Koksu Nepal dan.... dan....“ Cui Yan kembali menjerit dan menangis terisak-isak. Sepasang alis Tek Hwi berkerut dan pandang mata yang ditujukan kepada sumoinya itu penuh kekhawatiran. “Lalu bagaimana, Sumoi?” “Dia.... selama sepekan ini.... dia.... memaksaku, dia memperkosa aku.... dan aku tidak berdaya.... ditotoknya dan.... diperkosanya.... hu-hu-huuu!” “Ahhh....!” Liong Tek Hwi menge¬luarkan suara bentakan nyaring dan wa¬jahnya seketika menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tinjunya dikepal kuat-kuat. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar