Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 31.

Jodoh Rajawali Jilid 31.
Jodoh Rajawali Jilid - 31 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 31 Dugaannya memang benar, dan ketika ada angin berkesiur, muncullah kakek yang seperti gorilla atau monyet besar itu, dengan langkahnya yang kaku dan kedua lengannya tergantung di bawah lutut! Suma Han memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi juga penuh kewaspadaan. “Ji-moi, sudah lama aku ingin sekali melihat rajawali dari Pulau Es. Biar kupanggil dia ke sini!” kata kakek bermuka orang utan itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan suaranya yang halus. Kemudian dia mengangkat kedua tangan¬nya ke atas, ke arah rajawali yang ter¬bang berputaran di atas, pohon-pohon sambil mengeluarkan suara yang meng¬getar tinggi. Burung rajawali itu seperti kaget dan tiba-tiba terbangnya menjadi kacau. Melihat ini, Suma Han merasa khawatir akan keselamatan burungnya yang sudah tua itu, maka dia lalu me¬ngeluarkan suara melengking halus, suara yang menjadi tanda bagi rajawalinya untuk terbang tinggi menjauhi tempat itu, kemudian dengan suara yang tenang dia berkata, “Sobat, apakah engkau hen¬dak bermain-main dengan rajawali? Nah, dia sudah datang menyambarmu!” Twa-ok Su Lo Ti adalah seorang Jahat Nomor Satu, biarpun dia bersikap lembut dan bersuara halus, namun di dalam hati¬nya selalu terkandung keinginan untuk mencelakakan orang lain secara halus namun keji! Tadi begitu melihat Ji-ok berhadapan dengan Majikan Pulau Es, dia tidak langsung menghadapi pendekar yang amat terkenal itu, melainkan lebih dulu hendak meruntuhkan tunggangannya, yaitu burung rajawali. Biarpun dia tidak lang¬sung memusuhi Pendekar Siluman, me¬lainkan secara halus hendak mencelakai burungnya, namun jelas bahwa perbuatan¬nya ini selain amat kejam, juga menun¬jukkan bahwa dia lebih dulu ingin meng¬ganggu dan menyusahkan lawan sebelum berhadapan secara langsung! Ketika dia mendengar pendekar itu mengeluarkan suara melengking halus, dia merasa betapa jantungnya berdebar dan suaranya yang menggetar dan yang ditujukan ke arah burung rajawali di atas itu membuyar. Maka dia terkejut dan cepat menengok, memandang ke arah pendekar itu ketika mendengar pendekar itu bicara kepadanya. Dan pada saat itu, sehabis ucapan pendekar dari Pulau Es itu, dia mendengar suara sayap burung dan ketika dia memandang kembali ke depan, dia melihat seekor rajawali sudah terbang meluncur hendak menyambarnya! “Ha-ha-ha, burung yang baik, hendak terbang ke manakah engkau?” katanya dan dia cepat menggerakkan kedua tangannya, di goyang-goyang di depan mukanya, dengan tubuh agak membongkok. Burung rajawali yang sedang terbang itu, tertahan terbangnya dan biarpun dia menggerak-gerakkan kedua sayapnya, mencakar-cakar dan memekik-mekik, namun burung itu tetap saja tidak mam¬pu terbang pergi, seolah-olah kakinya terikat oleh tali yang tidak nampak! “Ha-ha-ha, burung yang baik, aku butuh beberapa lembar bulumu untuk kujadikan sapu. Hayo lepaskan beberapa ekor bulumu, burung rajawali yang baik!” Kakek bermuka gorilla itu menggerak-gerakkannya jari tangannya ke arah bu¬rung yang tidak mampu terbang pergi dan benar saja, beberapa lembar bulu panjang dari ekor dan sayapnya jatuh berguguran ke bawah. Pada saat itu, kepala dusun dan para penghuni dusun itu sudah maju dekat. Mereka tertarik sekali melihat betapa kakek tua yang buntung itu berhadapan dengan nenek iblis dan betapa kini muncul pula seorang kakek seperti gorilla. Saking tertariknya, mereka tidak ingat lagi bahwa nenek itu telah melakukan hal yang keji, dan mereka lupa akan takutnya. Tiba-tiba Ji-ok berseru, “Eh, Twa¬ko, apa yang kaulakukan itu? Lihat baik-baik, itu bukan rajawali! Engkau telah dipermainkan orang!” Mendengar ucapan Ji-ok ini, Twa-ok cepat menahan napas, mengerahkan sinkangnya dan mengeluarkan suara ge¬rengan seperti monyet. Dia adalah se¬orang yang telah mempelajari ilmu sihir dan kebatinan, maka begitu dia menge¬rahkan kekuatan batinnya, kini matanya dapat melihat jelas dan ternyata burung rajawali yang dipermainkannya tadi bukan lain hanyalah sepotong ranting pohon dengan daun-daunnya, dan yang bergugur¬an tadi adalah daun-daun dari ranting itu! Kiranya tadi Suma Han telah me¬lemparkan sepotong ranting, dan menyulapnya menjadi rajawalinya yang kini telah terbang tinggi menurut perintah majikannya! “Hemmm....!” Kakek yang menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok men¬dengus dan begitu dia menghentikan kedua tangannya, ranting itu pun meluncur jatuh ke atas tanah. Tadi ranting itu di¬tahan oleh tenaga kedua tangannya yang mempermainkannya, dan andaikata burung rajawali yang tadi dipermainkan dengan hawa sakti kedua tangannya, tentu raja¬wali itu sudah tewas! Pada saat Twa-ok dan Ji-ok menoleh ke arah kakek buntung itu, mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu lenyap dari depan mereka Keduanya terkejut bukan main. Bagai¬mana mungkin seorang berkaki buntung sebelah dapat bergerak secepat itu? Seperti kilat menyambar saja! Dan memang hal ini tidak mengherankan kalau mereka mengetahui bahwa Pendekar Super Sakti memang telah mempergunakan kesaktian¬nya untuk menghadapi mereka. Ketika mereka berdua menoleh, ter¬nyata kakek buntung itu telah berdiri di depan rombongan penghuni dusun, mem¬belakangi orang-orang itu seperti hendak melindungi mereka. Melihat ini, Twa-ok cepat menjura dengan hormat ke arah Suma Han. Pendekar Super Sakti sudah siap dan waspada, karena dia harus me¬lindungi semua orang ini. Akan tetapi ternyata kakek bermuka gorilla itu tidak melakukan penyerangan, dan hanya menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada secara wajar. “Aih, sudah puluhan tahun kami men¬dengar nama besar Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es, dan ternyata nama besar itu bukanlah kosong belaka. Akan tetapi, setelah puluhan tahun tidak mun¬cul di dunia kang-ouw, sekarang begitu muncul telah memamerkan permainan sulapnya yang sungguh mengagumkan, apakah kiranya tidak dipertunjukkan ke tempat yang keliru?” Dengan kata-kata yang halus ini, Twa-ok hendak mengejek permainan sihir tadi, sungguhpun dia telah terpedaya. Suma Han hanya memandang dengan sikap tenang dan sungguh-sungguh. “Aku pun telah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok dan sungguh beruntung sekali sekarang dapat berjumpa dengan Twa-ok dan Ji-ok, dua orang tertua dari Im-kan Ngo-ok yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi, sungguh mengheran¬kan mengapa Twa-ok dan Ji-ok yang ter¬sohor itu hanya seperti anak-anak kecil yang mempermainkan binatang-binatang yang tidak bersalah, membunuhi delapan ekor lembu dan hendak mencelakai bu¬rung rajawali?” “Wah, bukankah orang-orang tua itu hanyalah anak-anak kecil yang besar badannya?” Twa-ok menjura lagi. Akan tetapi sekali ini, tiba-tiba ketika dia mengangkat kedua tangannya, ada hawa pukulan yang dahsyat bukan main me¬nyambar ke arah Suma Han! Sejak tadi memang Suma Han sudah bersiap sedia dan waspada selalu, maka kini dia telah mendahului, menggerakkan tangan kanan¬nya mendorong ke depan, menyambut pukulan jarak jauh dari Twa-ok itu de¬ngan iimu pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Pada saat itu, Ji-ok yang curang juga sudah cepat menudingkan telunjuknya, menggerakkan Ilmu Kiam-ci untuk menyerang ke arah kakek buntung itu. Tong¬kat di tangan kiri Suma Han diangkat dan menyambut serangan Ji-ok ini dan sekaligus Suma Han telah menyambut serangan kedua orang itu, telapak tangan kanannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang mendatangkan hawa panas sedangkan tongkat di tangan kirinya me¬nyambar hawa Swat-im Sin-ciang yang amat dingin! Perlu diketahui bahwa dalam usia enam puluh tahun lebih itu, Suma Han telah memiliki tenaga sinkang yang sukar diukur lagi dalamnya, maka kedua ilmu¬nya itu sudah mencapai tingkat yang hampir sempurna dan luar biasa kuatnya. Maka, sekaligus dia dapat membagi dirinya, menyambut serangan Twa-ok dengan hawa sakti panas dan serangan Ji-ok dengan hawa sakti dingin. Orang pertama dan ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu terkejut bukan main ke¬tika mereka merasa betapa ada hawa yang panas sekali dan dingin sekali me¬nyambut mereka. Dan ketika mereka berdua mengerahkan tenaga dan men¬desak, secara tiba-tiba saja terdengar Suma Han mengeluarkan suara meng¬getar dari dalam dada dan mendadak Twa-ok agak menggigil dan Ji-ok berseru kaget. Kiranya, begitu mengeluarkan suara menggetar tadi, Pendekar Super Sakti telah mengubah hawa saktinya, kalau tadi yang kanan panas dan yang kiri dingin, kini berubah sama sekali, yang menghadapi Twa-ok berubah dingin dan yang melawan Ji-ok berubah panas. Kedua orang datuk kaum sesat itu ter¬kejut dan cepat-cepat mereka melangkah mundur sambil menghentikan serangan mereka! Suma Han juga tidak mendesak dan menghentikan pula tenaga saktinya. Kemudian, Suma Han mengetukkan tong¬katnya ke atas tanah. Batu yang terkena ketukan itu mengeluarkan bunyi keras dan nampak api berpijar saking kerasnya ujung tongkatnya menumbuk batu. “Twa-ok dan Ji-ok, dengarlah baik-baik. Aku sengaja meninggalkan pulau bukan sekali-kali untuk bermusuhan de¬ngan siapapun juga, melainkan untuk mencari putera-puteraku dan mengajak mereka pulang. Akan tetapi jangan me¬ngira bahwa aku akan membiarkan orang-orang menghinaku atau mengganggu orang lain di depan mataku!” Ucapan itu halus, akan tetapi me¬ngandung wibawa yang hebat dan gagah, dan dua orang tokoh Im-kan Ngo-ok itu terbelalak memandang ketika melihat betapa tubuh Suma Han perlahan-lahan berubah menjadi besar seperti raksasa! Akan tetapi mereka segera sadar bahwa Pendekar Siluman itu mempergunakan kekuatan batinnya, maka cepat mereka menunduk, berkemak-kemik dan menguat¬kan batin, sehingga ketika mereka me¬mandang lagi, tubuh pendekar itu sudah biasa lagi, hanya kelihatan berwibawa dan menimbulkan rasa jerih di dalam hati mereka. Twa-ok bukan seorang bo¬doh. Dia tadi bersama Ji-ok telah mengadu tenaga dan kalau terjadi pertanding¬an, belum tentu dia dan Ji-ok akan mam¬pu menandingi Pendekar Super Sakti yang benar-benar amat lihai ini. Kalau saja tiga orang saudaranya yang lain berada di situ, tentu dia akan nekat menggunakan kekuatan untuk menyerang dan me¬ngeroyok. Akan tetapi, tugasnya masih banyak dan dia menganggap belum tiba saatnya untuk mempertaruhkan kesela¬matannya mengadu nyawa dengan seorang tokoh besar seperti Majikan Pulau Es ini. Maka dia lalu tersenyum dan menjura lagi, pemberian hormat yang wajar. “Maaf, maaf, kalau belum mengadu tenaga belum saling mengenal kata orang!” Dia mengangguk-angguk. “Pende¬kar Super Sakti memang lihai sekali, kami berdua amat kagum. Akan tetapi kalau Taihiap bermaksud mencari putera¬mu Siluman Kecil, kurasa belum tentu dia akan mau pulang ke Pulau Es.” Mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, Suma Han tertarik. “Siluman Ke¬cil? Siapa yang kaumaksudkan?” “Ha-ha-ha, apakah Taihiap juga hen¬dak merahasiakan keadaan puteramu yang penuh rahasia itu? Bukankah puteramu itu bernama Suma Kian Bu, biarpun usianya masih muda namun rambutnya sudah putih semua, di dunia kang-ouw dijuluki Siluman Kecil?” Suma Han hanya mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa di dunia kang-ouw Suma Kian Bu dijuluki orang Siluman Kecil, dan tidak tahu pula bah¬wa rambut puteranya itu telah menjadi putih semua! “Dia tidak mungkin mau pulang se¬telah dia hidup penuh kesenangan ber¬sama seorang dara cantik jelita....” Twa-ok sengaja menghentikan kata-katanya yang merupakan pancingan dan dia mem¬perhatikan wajah pendekar itu. Akan tetapi dia belum mengenal baik siapa adanya Suma Han, seorang pendekar yang amat hebat kekuatan batinnya sehingga kalau dia hendak “membaca” keadaan hati pendekar itu, dia kecelik. Tidak ada tanda apa-apa pada wajah yang berwibawa itu, kecuali sepasang matanya saja yang menyambar dan membuat seorang manusia iblis seperti Twa-ok Su Lo Ti sendiri sampai bergidik. Bukan mata manusia, pikirnya. “Kalau kau hendak memberi tahu, lanjutkanlah. Kalau tidak, aku pun tidak akan memaksakan keterangan apa pun darimu, Twa-ok.” Wajah kakek bermuka gorilla itu men¬jadi merah karena malu. “Dia ke mana¬pun berdua dengan Nona Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Nera¬ka. Agaknya mereka itu saling men¬cinta.... ha-ha-ha, begitulah orang muda.” Mendengar ini, sesungguhnya hati Suma Han terkejut bukan main, terkejut, penasaran dan tidak senang, akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu sehingga Twa-ok tidak tahu apakah bi¬dikannya itu mengenai sasaran ataukah tidak. “Twa-ok, mari kita coba lagi, aku masih penasaran. Tidak mungkin kita berdua kalah oleh kakek buntung!” Ji-ok berkata, akan tetapi Twa-ok meng¬geleng kepalanya. “Ji-moi, engkau seperti seorang gadis bodoh saja. Kalau kau mau main-main dengan dia, nah, lakukanlah, akan tetapi aku tidak ikut campur. Dan engkau sudah membunuh delapan ekor lembu milik orang dusun. Sungguh lancang, Ji-moi, sungguh kasihan sekali orang-orang dusun itu.” Kakek bermuka gorilla itu lalu me¬noleh kepada orang-orang kampung yang dikepalai oleh kepala dusun itu, lalu menjura sambil berkata, “Kami mohon maaf atas kelancangan kami dan bukan maksud kami hendak merugikan kalian yang sudah hidup serba kekurangan. “Oleh karena itu, biarlah kami mengganti harga delapan ekor lembu ini....“ Kakek itu merogoh saku jubahnya yang lebar, lalu mengeluarkan beberapa potongan uang perak, dikepalnya uang itu lalu diletak¬kannya di atas batu dekat bangkai-bang¬kai lembu. “Dan daging-daging tembu ini kami berikan kepada kalian untuk dipakai berpesta.” Dia lalu menghampiri bangkai-bangkai lembu itu dan menepuk-nepuk perut-perut lembu yang gemuk. “Lembu gemuk, daging lezat....“ katanya berkali-kali sampai semua lembu ditepuk-tepuk¬nya. Kemudian dia berkata kepada Ji-ok, “Ji-moi, hayo kita pergi!” Tanpa pamit lagi kedua orang datuk kaum sesat itu berkelebat dan lenyap dari situ. Suma Han sejak tadi mengikuti gerak-gerik kakek muka gorilla itu, dan hatinya lega ketika dia tidak melihat kakek itu menyerang orang-orang dusun seperti yang telah dikhawatirkannya. Dia tadi sudah siap sedia untuk turun tangan melindungi orang-orang dusun itu apabila kakek muka gorilla dan nenek muka teng¬korak itu menyerang mereka. Melihat kesudahan dari peristiwa itu, kepala dusun menjadi girang bukan main. Bukan saja lembu-lembunya diganti de¬ngan uang perak yang dari jauh saja sudah nampak cukup banyak untuk peng¬ganti harga lembu-lembunya, akan tetapi juga kakek dan nenek aneh yang semula disangka siluman jahat itu malah mengembalikan bangkai-bangkai lembu agar dagingnya dapat mereka makan! Dan daging delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk itu merupakan bahan makanan yang amat lezat dan banyak bagi orang-orang dusun yang mungkin hanya setahun sekali pernah menikmati daging lembu! Maka dia lalu berseru, “Saudara-saudara, kita telah kejatuhan rejeki, tak usah sungkan-sungkan, mari kita bagi-bagi daging lembu-lembu itu!” Para penduduk dusun itu bersorak girang dan kepala dusun itu pun sudah lari ke arah batu di mana Twa-ok tadi menaruh beberapa potong uang perak. “Jangan sentuh perak itu dan jangan dekati lembu-lembu itu!” Tiba-tiba ter¬dengar suara nyaring dan semua orang terkejut ketika melihat bahwa kakek berkaki buntung sebelah tadi kini sudah berdiri menghadang antara mereka de¬nngan bangkai-bangkai lembu dan uang di atas batu itu. Tentu saja kepala dusun dan anak buahnya menjadi terkejut dan marah. Kiranya kakek buntung ini malah yang jahat! Nenek bermuka tengkorak yang mereka sangka siluman itu bersama temannya yang bermuka monyet, ter¬nyata malah orang-orang yang amat baik, karena biarpun telah membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi selain lembu-lembu itu dibayarnya dengan cukup, juga daging lembu-lembu itu diberikan kepada orang dusun. Sebaliknya kakek berkaki buntung sebelah ini malah agaknya yang akan merampas atau merampok uang dan daging lembu itu! “Orang tua, apa maksudmu? Apakah kau hendak merampok semua itu?” Ke¬pala dusun bertanya dan dia sudah me¬megang tombaknya erat-erat, sedangkan para penduduk dusun itu pun sudah mem¬persiapkan senjata mereka. Kalau tadi saja menghadapi siluman yang berwajah mengerikan mereka tidak takut, apalagi menghadapi kakek berkaki buntung se¬belah ini! Tentu saja semua pertandingan adu tenaga sakti antara kakek buntung ini dan kedua orang kakek dan nenek yang menyeramkan tadi tidak ada se¬orang pun yang mengetahui, dan mereka hanya mengira bahwa kakek tua ini ada¬lah seorang biasa saja. Ditegur seperti itu, Suma Han me¬narik napas panjang. “Ah, kalian tidak tahu akan bahaya yang mengancam nya¬wa kalian. Ketahuilah bahwa pada per¬mukaan uang perak itu telah dilumuri racun dan sekali saja kalian menyentuh¬nya, kalian akan tewas. Dan bangkai¬bangkai lembu itu pun telah mengandung racun.” Semua orang terkejut akan tetapi tidak percaya. “Bohong.... bohong....! Dia ingin memiliki sendiri semua itu!” terdengar mereka berteriak-teriak. Suma Han melihat ada beberapa ekor burung gagak terbang datang dan hing¬gap di atas cabang pohon yang berdekat¬an. Dia tahu bahwa burung-burung itu tertarik oleh bangkai-bangkai lembu, maka dia lalu berkata, “Kalian lihatlah sendiri!” Dia menggunakan tongkatnya mencokel daging di punggung seekor lembu, lalu melontarkan gumpalan daging itu ke arah gagak-gagak yang bertengger di cabang pohon. Tiga ekor burung gagak cepat menyambut daging itu dan mempe¬rebutkannya. Akan tetapi, begitu mereka menelan sedikit potongan daging, tiga ekor burung itu tiba-tiba berkaok nyaring lalu tubuh mereka terbanting ke atas tanah, berkelojotan dan mati! Semua orang terkejut bukan main! Ternyata tiga ekor burung gagak itu telah mati keracunan! Tubuh mereka kini menggigil ketakutan dan mereka memandang kepada Suma Han dengan muka pucat. “Daging lembu-lembu ini sudah tidak dapat dibersihkan lagi. Maka harap kalian cepat mengubur mereka di sini juga agar racun itu tidak menjalar ke mana-mana. Tentang uang perak itu, jangan khawatir, aku setua ini tidak lagi membutuhkan perak dan emas, dan aku akan mencoba untuk membersihkan racun yang berada di situ.” Kini kepala dusun percaya penuh dan dia lalu mengerahkan orang-orangnya untuk menggali lubang besar, kemudian mereka menyeret kaki mayat lembu-lembu itu dan menguburnya di dalam lubang besar dan menutupnya dengan tanah. Sementara itu, Suma Han mengerahkan sinkang ke telapak kedua tangannya, lalu mengambil uang perak itu dan mengerah¬kan Hwi-yang Sin-ciang. Kepala dusun itu melihat dengan mata terbelalak betapa dari uang perak itu mengepul uap hijau! Setelah “membakar” racun yang melumuri perak itu sampai habis, barulah Suma Han meletakkan uang perak itu ke atas batu sambil berkata, “Sekarang kau boleh mengambil perak ini tanpa bahaya. Dan kuperingatkan kalian, kalau kalian me¬lihat dua orang itu atau seorang di an¬tara mereka, lebih baik kalian menying¬kir dan sama sekali jangan mendekati mereka. Nah, aku pergi!” Melihat kakek itu melangkah pergi dibantu tongkatnya, kepala dusun dan anak buahnya segera berlutut dan kepala dusun itu berseru, “Harap Locianpwe sudi meninggalkan nama besar Locianpwe untuk kami ingat.” Suma Han menoleh, menarik napas panjang ketika melihat mereka berlutut, dan berkata, “Aku hanya seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung.” Setelah berkata demikian, dia melangkah terus, diikuti pandang mata para pen¬duduk dusun itu dengan terbelalak sampai akhirnya kakek yang berjalan dengan agak terpincang itu lenyap dari pandang mata mereka. Seperti kita ketahui, Twa-ok dan Ji-ok itu sedang menjalankan tugas dan diperintahkan oleh Pangeran Nepal me¬lalui koksu, yaitu untuk mencari Siluman Kecil dan Hwee Li, juga Puteri Syanti Dewi dari Bhutan. Mereka itu mencari-cari jejak tiga orang itu tanpa hasil sampai akhirnya tiba di dusun itu. Sa¬king jengkelnya karena tidak juga ber¬hasil menemukan tiga orang buronan itu, Ji-ok yang berwatak aneh dan keji itu mencari perkara dan hendak melampias¬kan kemendongkolan hatinya dengan membunuhi semua orang dusun di tempat itu! Dan andaikata tidak secara kebetul¬an Suma Han lewat di situ, sudah tentu seluruh penghuni dusun itu akan menjadi korban kekejaman wanita yang merupa¬kan Si Jahat Nomor Dua dari Im-kan Ngo-ok itu. Suma Han telah memanggil burung rajawalinya dan kini dia melanjutkan penerbangannya untuk mencari putera-puteranya. Dia sudah tidak ingat lagi kepada dua orang jahat itu, akan tetapi ucapan Twa-ok tentang Pendekar Siluman Kecil benar-benar menggores di hatinya. Siluman Kecil! Kian Bu ki¬ni berjuluk Siluman Kecil? Hampir dia tertawa. Mengapa puteranya itu memakai julukan seperti itu? Dia sendiri, di luar kehendaknya, dijuluki orang-orang dari dunia sesat sebagai Pendekar Siluman, julukan yang sesungguhnya amat tidak disukainya. Akan tetapi kini puteranya malah berjuluk Siluman Kecil! Dan rambutnya sudah putih semua? Benarkah itu? Diam-diam hati pendekar sakti ini merasa tegang. Apa yapg telah menimpa diri puteranya yang nakal itu sehingga rambutnya menjadi putih semua dan berjuluk Siluman Kecil? Benar-benar pendekar yang sakti luar biasa ini merasa amat heran dan dia tertawa seorang diri mengingat kemungkinan akan kebenaran berita itu. Kalau benar, mengapa Kian Bu menuruni rambutnya yang putih? Dan lebih aneh pula, dia sendiri dijuluki orang Pendekar Siluman, kenapa justeru puteranya itu pun mempunyai julukan Siluman Kecil? Benar-benar luar biasa dan sama sekali tidak diduga-duganya. Akan tetapi ketika dia teringat berita yang mengatakan bahwa puteranya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, alisnya yang sudah putih itu berkerut. Puteranya bermain gila dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka yang dia tahu bukan merupakan manusia baik itu? Hal ini sungguh tidak menyenangkan dan harus dicegah! Ketika Pendekar Super Sakti ini teringat akan berita tentang puteranya, maka dia pun membayangkan pula dua orang tokoh golongan sesat yang baru saja dijumpainya itu. Biarpun Suma Han adalah seorang pendekar yang sudah berpuluh-puluh tahun dan entah sudah berapa ribu kali berkecimpung di dunia kang-ouw dan bertemu dengan para datuk kaum sesat, namun teringat akan kekejaman Twa-ok dan Ji-ok, dia bergidik juga. Ji-ok si nenek iblis itu jelas adalah amat jahat dan kejam, akan tetapi Twa-ok yang licik itu ternyata lebih berbahaya dan lebih kejam pula. Biarpun jahat dan keji, Ji-ok tidak menyembunyikan kekejamannya, sebaliknya Twa-ok bersikap baik, lemah lembut dan ramah, akan tetapi diam-diam dia merencanakan untuk membunuh semua orang dusun itu secara amat mengerikan. Pada lahirnya, dia bersikap baik, memberikan daging semua lembu, bahkan memberi uang pengganti, akan tetapi ternyata semua itu dijadikan jebakan untuk membunuh para penduduk dusun. Akan tetapi segera dia melupakan lagi wajah kedua orang datuk sesat itu dan kembali dia memikirkan putera-puteranya. Ke mana dia harus mencari Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee? Mencari mereka ke kota raja pun percuma, pikirnya. Kalau dulu, sudah pasti dua orang puteranya itu pergi ke kota raja atau kalau tidak berada di kota raja, agaknya dia akan dapat mencarinya dengan bertanya kepada puterinya, yaitu Puteri Milana yang dulu berada di kota raja. Akan tetapi, sekarang Milana tidak lagi berada di kota raja, dan sudah pergi meninggalkan kota raja bersama suaminya yang baru, Gak Bun Beng, dan dia sendiri tidak pernah tahu di mana adanya mereka itu. Tidak, dia tidak akan mencari ke kota raja. Dan sekarang dia sudah mempunyai pegangan, yaitu hendak mencari Pendekar Siluman Kecil yang tentu akan lebih mudah dicari daripada mencari Suma Kian Bu, karena tentu orang-orang kang-ouw lebih mengenal julukan itu daripada nama aselinya. *** Andaikata Pendekar Super Sakti tidak berpendapat demikian dan langsung pergi ke kota raja, tentu dia akan dapat berjumpa dengan puteranya itu karena ketika itu Milana telah memenuhi undangan dari Pangeran Mahkota Yung Cheng. Akan tetapi tentu saja pendekar itu tidak mengetahuinya. Kita tinggalkan dulu Pendekar Super Sakti yang melayang-layang di atas punggung burung rajawali itu, pertanda bahwa dunia persilatan tentu akan mengalami geger dengan munculnya kakek yang sakti ini dan kita tengok apa yang terjadi di kota raja pada waktu itu. Seorang pemuda tampan dan gagah memasuki kota raja dengan tergesa-gesa. Pakaian pemuda ini kelihatan kusut dan agak kotor berdebu, wajahnya juga muram dan penuh kekhawatiran, agak pucat dan dia nampak lelah sekali seperti orang yang melakukan perjalanan jauh dengan tergesa-gesa dan jarang berhenti mengaso. Ketika dia memasuki kota raja, dia kelihatan lega, akan tetapi kekhawatiran tidak pernah menghilang dari pandang matanya ketika dia memasuki sebuah rumah makan karena semenjak kemarin dia belum makan. Memang selama beberapa hari ini dia seperti lupa makan dan minum dan lupa tidur saking tegang dan khawatir hatinya. Masuknya pemuda ini ke rumah ma¬kan, tidak menarik perhatian banyak orang. Di kota raja memang banyak terdapat seorang muda seperti dia ini, usia¬nya kurang lebih sembilan belas tahun, gagah dan tampan, kelihatan terpelajar dengan gerak-gerik yang halus, namun pakaiannya yang kusut dan kotor itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang di antara pemuda-pemuda terpelajar kota yang miskin. Akan tetapi, orang akan keliru kalau menyangka demikian. Tidak, pemuda ini sama sekali bukanlah pemuda miskin, bahkan dia seorang pemuda yang tadinya menjadi putera seorang yang berkedudukan tinggi sekali. Dan kenyataan ini agaknya tidak lepas dari pandang mata seorang tua berusia lima puluh tahun yang duduk di sudut rumah makan itu dan makan mi goreng dengan lahapnya. Ketika kakek ini melihat munculnya pemuda tampan itu, tiba-tiba saja dia menghentikan sepasang sumpitnya yang tadi dengan cekatan mengantar bakmi ke mulutnya, bahkan dia hampir tersedak dan cepat mendorong makanan yang menyesak di tenggorokannya itu dengan minuman. Semua ini dikerjakan dengan mata yang tidak pernah berkedip memandang kepada pemuda itu yang duduk menghadapi meja kosong dengan muka pucat dan memesan makanan kepada pelayan. Kemudian, kakek ini cepat membayar makanannya dan pergi meninggalkan rumah makan dengan tergesa-gesa. Pemuda itu sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi, dan setelah makanan yang dipesannya dihidangkan, dia makan dengan tenang dan lambat-lambat, cara makan seorang yang terpelajar dan yang selalu mengendalikan perasaannya. Akan tetapi, rasa lapar membuat dia makan dengan lahapnya, dan pada saat itu, yang menjadi perhatiannya hanyalah makanan di depannya, dan untuk sejenak itulah dia melupakan segala hal yang selama ini mengganggu hati dan pikirannya. Dia sama sekali tidak tahu betapa ketika dia sudah selesai makan, di luar rumah makan itu terdapat enam orang, yaitu kakek yang tadi makan bakmi bersama lima orang lain, berdiri di luar rumah makan dengan sikap mencurigakan dan jelas bahwa mereka itu sedang memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Agaknya enam orang itu memang menanti sampai pemuda itu selesai membayar harga makanan dan minuman, kemudian menarik napas lega karena perutnya tidak lapar lagi dan tenaganya agak pulih, pemuda itu lalu melangkah keluar rumah makan. Pada saat dia berada di luar rumah makan itulah dia terkejut ketika tiba-tiba enam orang yang tidak dikenalnya menghampirinya, membuat gerakan mengurung dan seorang di antara mereka, seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berkata lirih dengan nada suara mengancam, “Kao Kok Han, menyerahlah engkau dan ikut bersama kami!” Pemuda itu bukan lain adalah Kao Kok Han, putera bungsu dari Jenderal Kao Liang. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini bersama ayahnya dan kakaknya, Kao Kok Tiong, pergi menyelidiki ke sepanjang lembah Sungai Huang-ho untuk mencari jejak keluarga mereka yang diculik orang. Ketika Jenderal Kao Liang dihadang oleh utusan-utusan dari Pangeran Liong Bian Cu, yang dikepalai oleh Hoa-gu-ji tokoh Kui-Tiong-pang, untuk memaksa Jenderal Kao menyerahkan diri dengan memperlihatkan cincin Nyonya Kao Liang dan tusuk konde Nyonya Kao Kok Tiong, Jenderal Kao menyuruh putera bungsunya ini untuk cepat pergi ke kota raja dan mencari putera sulungnya, yaitu Si Naga Sakti Kao Kok Cu dan menyampaikan berita penangkapan atas dirinya itu. Jenderal Kao Liang bersama Kao Kok Tiong lalu dibawa pergi dan Kok Han sendiri dengan cepat lalu melarikan diri dan melakukan perjalanan jauh itu dengan hati risau. Saking khawatirnya karena melihat betapa, keluarganya yang terculik secara aneh masih belum diketahuinya nasibnya dan kini bahkan ayahnya dan kakaknya juga ditawan orang sedangkan dia belum dapat bertemu dengan kakak sulungnya, pemuda ini sama sekali tidak teringat bahwa kembalinya ke kota raja sama artinya dengan kembali ke gua singa. Dia sekeluarga telah diusir dengan halus dari kota raja di mana diam-diam banyak terdapat musuh-musuh ayahnya, maka kini dia kembali ke kota raja, tentu saja banyak orang akan mengenalnya. Baru setelah enam orang itu menghadang dan hendak menangkapnya, Kok Han terkejut dan insyaf bahwa dia berada di tempat yang berbahaya! Teringatlah dia akan musuh-musuh ayahnya, maka dia dapat menduga bahwa enam orang ini tentulah utusan seorang di antara musuh-musuh ayahnya itu. Kok Han mewarisi ketabahan ayahnya, maka biarpun dia sudah dikepung, dia tidak menjadi gentar dan dengan sinar mata tajam dan suara te¬nang dia menghampiri mereka dan berkata, “Siapakah kalian? Apa sebabnya kalian hendak menangkapku?” “Tidak perlu banyak cakap, lebih baik engkau ikut bersama kami dengan tenang dan kau boleh bicara, dengan majikan kami,” kata seorang di antara mereka yang mukanya hitam dan sikapnya bengis sekali. Kok Han mengerutkan alisnya, sikap¬nya masih tenang. “Siapakah majikan kalian? Dan bagaimana kalau aku tidak sudi menyerah?” “Bocah sombong, kami akan menggunakan kekerasan dan engkau akan menyesal!” bentak si muka hitam sambil meraba gagang goloknya, sikapnya keren sekali. Kini Kok Han menjadi marah. Hatinya sedang tertekan kekhawatiran teringat akan keadaan keluarganya, dan juga sedang bingung karena dia tidak tahu ke mana harus mencari kakak sulungnya di dalam kota raja yang besar itu, dan kini dia diganggu orang. Apalagi karena dia tahu bahwa orang-orang ini adalah kaki tangan musuh-musuh ayahnya yang mungkin juga menjadi biang keladi malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya, maka pemuda ini menjadi marah bukan main. Mukanya yang pucat itu berubah merah dan dia menatap wajah enam orang itu dengan mata terbelalak. “Penjahat-penjahat hina! Kami keluarga dari bekas Panglima Kao Liang tidak mengenal takut, apalagi terhadap kaki tangan segala macam pembesar durna yang memusuhi kami!” Dia berseru dengan keras dan nyaring sehingga terdengar sampai jauh dan dengan gerakan cepat Kok Han sudah menerjang ke depan. Enam orang itu terkejut, lebih terkejut mendengar bentakan itu daripada menghadapi serangan pemuda itu, sehingga dua orang di antara mereka kena dipukul oleh Kok Han dan mereka terpelanting ke atas tanah. Empat orang yang lain sudah menubruk dan menyerang Kok Han yang melawan dengan nekat. Terjadilah perkelahian di depan rumah makan itu, mengejutkan semua orang dan biasa seperti setiap kali ada perkelahian, orang-orang hanya menjauhkan diri atau menonton saja. Tempat itu segera terkurung oleh banyak orang yang menonton. Biarpun dua orang yang dipukulnya tadi kini sudah bangkit kembali dan dia dikeroyok oleh enam orang, namun Kok Han adalah seorang pemuda yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya dan memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan baik. Maka kini dia mengamuk dan enam orang itulah yang sering menerima pukulan dan tendangan oleh pemuda ini sehingga jatuh bangun. Enam orang itu menerima perintah untuk menangkap Kok Han, maka mereka tadi tidak mempergunakan senjata. Akan tetapi ketika mereka mendapat kenyataan betapa lihainya pemuda itu, kini mereka mulai mencabut senjata masing-masing dan para penonton menjadi gempar dan cepat menjauhkan diri. Namun Kao Kok Han tidak menjadi gentar. Dia berdiri tegak di tengah-tengah, memandang kepada enam orang yang telah mengelilinginya dengan senjata pedang dan golok di tangan itu. Kok Han diam-diam meraba gagang pedangnya dan mengambil keputusan untuk membela diri sekuatnya. “Tahan....!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan enam orang itu berhenti bergerak, lalu menjura ke arah kakek berusia enam puluh tahun yang muncul di antara para penonton itu. Ketika Kok Han menoleh, wajahnya berubah pucat. Kakek itu adalah seorang panglima yang berpakaian preman dan dia mengenal benar Panglima Chang ini, seorang panglima tua yang menjadi musuh besar ayah¬nya karena ayahnya pernah membongkar praktek kecurangan dan korupsi dari Panglima Chang ini sehingga panglima ini pernah mengalami hukuman turun pangkat sampai beberapa tingkat! Dia maklum bahwa pencampurtanganan panglima yang tentu diam-diam amat membenci ayahnya itu merupakan hal yang tidak menguntungkan baginya. Dugaannya memang benar karena panglima itu lalu melangkah maju dan tertawa mengejek. “Hemmm, kiranya bocah anak dari bekas jenderal pengkhianat! Eh, bocah she Kao, di mana adanya ayahmu yang khianat itu? Apakah engkau diutus untuk memata-matai kerajaan?” Tentu saja Kok Han tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Saking marahnya dia sampai melupakan sopan santun lagi dan terhadap panglima tua ini dia mendamprat, “Kakek tua bermulut busuk! Ayahku adalah seorang gagah sejati, bukan pengkhianat macammu!” Memang inilah yang dikehendaki oleh Panglima Chang ini. Agar semua orang mendengar bahwa dia dimaki dan dihina oleh pemuda ini sehingga dia dapat turun tangan dengan ada alasannya. Maka dia lalu berkata keras, “Ah, bocah sombong! Engkau berani menghina dan memaki aku, Panglima Chang? Biarpun aku berpakaian preman, akan tetapi aku masih mampu untuk menangkapmu. Ayahmu adalah seorang pengkhianat, kalau tidak mana mungkin dia sampai dihentikan dan diusir? Dan kau hendak memberontak pula dengan menghina seorang panglima?” “Manusia she Chang yang hina! Siapa tidak mengenal kepalsuanmu?” Kok Han kembali membentak, makin marah. “Cu-wi sekalian mendengar betapa bocah ini menghinaku. Terpaksa aku harus menghajarmu!” Setelah berkata demikian, kakek ini lalu bergerak maju, tangannya menyambar dan ujung lengan bajunya yang lebar itu telah menyerang ke depan dan menotok ke arah pundak Kok Han! Kao Kok Han maklum bahwa kakek ini tidak boleh disamakan dengan enam orang pengeroyoknya tadi. Kalau enam orang tadi hanya kaki tangan pembesar yang hanya mengandalkan kekasaran dan kekerasan belaka seperti tukang-tukang pukul bayaran, kakek ini adalah seorang panglima yang memiliki kepandaian ting¬gi. Maka begitu melihat tangan kakek itu bergerak dan ujung lengan bajunya me¬nyerang ke arah pundaknya, dia cepat melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, lengan baju yang luput sambarannya itu disusul oleh cengkeraman jari-jari tangan ke arah leher pemuda itu. “Ehhh!” Kok Han berseru kaget dan cepat dia membuang tubuh ke atas ke belakang dan pada saat itu, sambil ter¬tawa kakek itu sudah menendang. Kok Han yang sedang membuang tubuh atas ke belakang itu tentu saja menjadi makin kaget, dia terpaksa menjatuhkan diri, akan tetapi gerakannya kurang cepat sehingga betisnya masih tersentuh ujung sepatu. Dia bergulingan dan meloncat bangun, betis kakinya terasa nyeri, akan tetapi Kok Han tidak peduli dan dia sudah mencabut pedangnya. Kakek itu memandang sambil terse¬nyum lebar. “Bagus, kau malah membawa senjata untuk membunuh orang? Nah, majulah!” Hati yang diliputi kedukaan dan ke¬khawatiran mudah menjadi marah dan nekat. Melihat kakek yang menjadi musuh besar ayahnya, yang mengeluarkan kata-kata menghina ayahnya, dan kini menantangnya, biarpun dia maklum bah¬wa kakek ini lihai sekali, membuat Kok Han lupa diri dan dia menjadi marah bukan main. Orang yang marah lupa segala, lupa akan kesadaran dan yang ada hanyalah kebencian di dalam hatinya yang perlu dilampiaskan dengan ucapan atau tindakan kasar dan keras untuk menyakiti orang yang dibencinya. Sambil berseru keras, Kok Han menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi, Chang-ciangkun sudah siap dengan sebatang cambuk kulit berwarna hitam yang tadi dipakainya sebagai ikat pinggang. “Tar-tar-tarrr....!” Tiga kali ikat pinggang cambuk itu meledak dan pedang itu bukan saja sudah ditangkisnya, malah dua kali cambuk itu sudah mematuk dan Kok Han meloncat ke belakang sambil mengusap pangkal lengan kanannya yang berdarah dan juga pundaknya yang ber¬darah. Bajunya di dua bagian itu telah robek berikut kulitnya! Bukan main lihai¬nya permainan cambuk kakek itu! Panglima Chang tertawa bergelak. Girang bukan main hatinya. Sudah belas¬an tahun lamanya semenjak rahasianya dibongkar oleh Jenderal Kao sehingga dia tidak hanya mengalami penurunan pang¬kat, akan tetapi juga merasa dibikin malu dan terhina, telah menahan-nahan hatinya yang penuh dendam terhadap Jenderal Kao. Akan tetapi karena jende¬ral itu amat lihai dan juga amat kuat kedudukannya, dia tidak dapat berbuat apa pun juga. Kini, dia memperoleh kesempatan, berhadapan dengan putera jenderal musuh besarnya itu, dan dia boleh menghajar anak ini sebagai peng¬ganti Jenderal Kao seenaknya karena bu¬kankah banyak saksinya betapa pemuda itu menghinanya? Mereka kini berhadapan sebagai dua orang yang bertanding ka¬rena mempertahankan kehormatan ma¬sing-masing! Dan dia tidak akan cepat-cepat membunuh putera Jenderal Kao ini, hendak dihajarnya sampai habis-habis kulitnya dengan cambuknya, barulah dia akan menangkapnya sebagai tuduhan ma¬ta-mata yang hendak memberontak! Ka¬lau sudah begitu, puaslah dia dapat membalas dendam sakit hatinya terhadap Jen¬deral Kao Liang! “Ha-ha-ha, bocah pelarian sombong! Bocah macam engkau ini berani melawan Chang-ciangkun? Ha-ha-ha, hayo kau berlutut minta-minta ampun dan ber¬sumpah tujuh turunan tidak akan berani melawanku lagi, baru aku akan meng¬ampunimu! Tar-tar-tarrr!” Kok Han cepat memutar pedangnya, akan tetapi cambuk¬an ke tiga mengenai lengan kanannya yang memegang pedang sehingga lengan itu berdarah. Akan tetapi dia tidak me¬lepaskan pedangnya, apalagi harus ber¬lutut minta ampun! “Manusia hina, lebih baik seribu kali mampus daripada menyerah kepada se¬orang pembesar durna macam engkau!” Dia memutar pedangnya dengan cepat dan menerjang lagi seperti seekor hari¬mau terluka dan yang tidak mengenal bahaya lagi. “Tar-tar-tar-suuuuuttttt....!” Karena jari-jari tangannya yang me¬megang pedang kena dihajar cambuk, maka ketika ujung cambuk itu membelit pedang dan ditarik, Kok Han tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi yang sudah terampas oleh kakek Chang. Kakek itu tertawa bergerak dan mengambil pedang itu, sekali dia menggerakkan kedua tangan terdengar bunyi nyaring dan pedang itu telah dapat dipatahkannya lalu dilempar ke atas tanah! Kok Han terkejut bukan main akan tetapi dia menjadi bertambah marah. Dengan nekat dia, menerjang maju lagi dengan tangan kosong, hanya untuk disambut oleh ujung cambuk yang melibat kedua kakinya dan ketika cambuk ditarik, pemuda itu tentu saja terguling ke atas tanah! “Tar-tar-tarrr!” Cambuk itu kini me¬ledak-ledak di atas kepala Kok Han, mematuk-matuk dan menyengat-nyengat. Kok Han hanya dapat menutupi dan me¬lindungi kepala dan mukanya, akan tetapi tentu saja tidak lagi mampu mengelak dari sambaran cambuk yang bertubi-tubi itu sehingga pakaiannya menjadi robek-robek berikut kulit tubuhnya sehingga pakaiannya mulai berlepotan darah. Akan tetapi pemuda itu meloncat bangun lagi dan hendak menyerbu ke depan. Melihat kenekatan pemuda ini, diam-diam Panglima Chang terkejut juga. Akan tetapi hatinya sudah puas, sudah dapat mencambuki putera musuh besarnya itu di tengah jalan. Kini dia memutar cambuk¬nya dan bermaksud untuk merobohkan pemuda itu dengan totokan ujung cambuk¬nya, untuk diserahkan kepada enam orang tadi yang dia tahu adalah anak buah seorang jaksa yang juga menjadi musuh besar Jenderal Kao, dan tentu saja jaksa itu akan menuntut pemuda ini sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak. Akan tetapi, begitu dia meluncurkan ujung cambuknya ke arah jalan darah di leher pemuda itu untuk menotoknya, tiba-tiba cambuk itu terhenti di tengah udara. Dia membetot-betot, akan tetapi sia-sia belaka dan ketika dia melihat, ternyata ujung cambuknya itu telah di¬pegang oleh seorang wanita cantik yang tahu-tahu telah berdiri di sebelah belakangnya. Wanita itu paling banyak ber¬usia dua puluh empat tahun, cantik jelita dengan sepasang mata yang amat tajam, akan tetapi rambutnya kusut dan wajah¬nya membayangkan kemuraman seolah-olah wanita muda secantik itu telah menderita tekanan batin yang hebat dan pada saat itu wanita ini kelihatan marah sekali sehingga sinar matanya seperti mengeluarkan api. “Siapa kau? Perempuan lancang, hayo lepaskan cambukku, berani kau men¬campuri urusan Panglima Chang?” bentaknya dan sekali lagi dia mencoba membetot cambuknya. Akan tetapi, tiba-tiba saja tangan kiri wanita itu bergerak ke depan, ke arah mukanya dan dua jari tangan yang kecil mungil menusuk ke arah kedua mata panglima itu dengan gerakan yang amat cepat dan sedemikian kuatnya sehingga sebelum jari tangan datang, lebih dulu ada angin menyambar ke muka panglima itu! Chang-ciangkun terkejut bukan main melihat serangan yang amat hebat ini karena kalau dia kurang cepat, tentu sepasang matanya akan menjadi buta! Maka dia lalu menggerakkan tangan kiri¬nya untuk menangkis dan sekalian me¬nangkap lengan tangan wanita itu. “Plakkk!” “Ahhh!” Chang-ciangkun berseru kaget ketika tiba-tiba tangan yang menusuk matanya itu mengubah gerakan dan me¬nampar ke arah tangan kanannya dan yang memegang gagang cambuk. Tangan¬nya menjadi lumpuh rasanya dan ketika ujung cambuk ditarik oleh wanita itu, dia tidak mampu mempertahankan lagi. Cambuk itu telah dirampas! “Jahanam busuk, berani kau mencam¬buki adik iparku? Mestinya engkau ku¬bunuh untuk itu, akan tetapi biarlah kuambil dulu kedua telingamu!” “Tar-tar-tarrr!” Cambuk itu meledak-ledak di udara ketika diputar oleh wanita itu. Chang-ciangkun marah bukan main. “Bangsat perempuan, engkau harus dihajar!” bentaknya dan dia sudah men¬cabut pedangnya. Akan tetapi, wanita cantik itu meng¬gerakkan tangannya dan cambuk itu me¬nyambar ke bawah seperti kilat cepat¬nya. Chang-ciangkun terkejut dan men¬coba untuk menangkis dengan pedangnya, akan tetapi tangkisannya itu luput dan ujung dari cambuk itu masih terus me¬luncur ke bawah, ke arah telinga kirinya. “Prattt! Aduhhhhh....!” Chang-ciangkun menjerit dan menggunakan tangan kiri untuk mendekap telinganya. Daun telinga¬nya yang kiri telah putus dan terlempar ke atas tanah, seperti dikerat dengan pisau tajam saja ketika disambar oleh ujung cambuk tadi! “Dan sekarang telinga kananmu!” Wa¬nita itu membentak dan kembali cambuk¬nya menyambar. Chang-ciangkun sudah terkejut dan ketakutan setengah mati. Tahulah dia bahwa wanita ini lihai bukan main, dan kini dia pun memutar pedangnya me¬lindungi tubuhnya. Namun, seperti sinar kilat saja, ujung cambuk itu sudah men¬desing-desing dan menyambar-nyambar, kemudian mencari jalan masuk melalui sinar pedang, menyambar ke arah telinga kanan. “Prattt! Aughhhhh....!” Chang-ciangkun menjerit dan melempar pedangnya untuk menggunakan tangan kanan mendekap pinggir kepala kanan yang sudah tidak berdaun telinga lagi itu. Darah bercucur¬an dari kedua tempat bekas sepasang daun telinga yang telah putus. Cambuk itu masih meledak-ledak di udara. “Sekarang engkau mampus! Atau¬kah lebih dulu kusayat hidungmu?” Wa¬nita cantik itu mengancam dengan suara bengis. Mendengar ini Chang-ciangkun terisak dan kedua kakinya menggigil, lalu dia jatuh berlutut dan dengan suara setengah menangis dia minta-minta ampun! Takutnya bukan main karena dia maklum bahwa nyawanya berada di tangan wanita itu. “Sudah, isteriku, jangan bunuh dia!” tiba-tiba terdengar suara halus dan Ceng Ceng, wanita itu, lalu menoleh. Ketika dia melihat Kao Kok Cu si Naga Sakti sudah berada di sebelahnya, dia menarik napas panjang dan membuang cambuknya. “Twako....! Twaso....!” Kok Han ber¬seru dengan girang bukan main. Tadi ketika dia melihat twasonya (kakak ipar terbesar) datang menolongnya dan meng¬hajar Chang-ciangkun, dia sudah merasa girang bukan main. Kini melihat muncul¬nya kakaknya, tentu saja dia amat gi¬rang, melupakan penderitaannya dan dia lalu menghampiri sambil berseru girang memanggil mereka. “Mari kita pergi dari tempat ini,” kata Kao Kok Cu dengan tenang dan tanpa mempedulikan lagi kepada Panglima Chang yang masih bcelutut sambil me¬nangis, dan para penonton yang memandang kepada mereka dengan mata ter¬belalak, tiga orang itu lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumah penginapan di mana Kao Kok Cu dan isterinya ber¬malam. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Si Naga Sakti Gurun Pasir ini bersama isterinya telah berhasil melapor kepada Pangeran Yung Hwa sehingga pangeran itu memanggil kakaknya, yaitu Pangeran Mahkota Yung Cheng yang berada di Kuil Siauw-lim-si. Akhirnya pangeran mahkota pulang ke kota raja dan berhasil mengundang datang Puteri Milana yang segera tiba di kota raja. Mendengar perkembangan ini, Kao Kok Cu dan isterinya merasa lega karena mereka merasa yakin bahwa dengan pim¬pinan Puteri Milana, tentu usaha kaum pemberontak akan dapat dihancurkan. Mereka mulai melakukan penyelidikan sendiri untuk mencari jejak hilangnya keluarga ayah mereka. Akan tetapi mereka belum juga berhasil dan pada hari itu, secara kebetulan sekali Ceng Ceng melihat Kok Han sedang dihajar oleh Panglima Chang. Tentu saja Nyonya muda ini menjadi marah sekali dan hampir saja dibunuhnya panglima itu kalau saja suami¬nya tidak cepat datang mencegahnya. Akan tetapi hatinya sudah puas karena dia telah memberi hajaran keras, mem¬buntungi kedua daun telinga pembesar yang sewenang-wenang itu. Setelah mereka tiba di rumah peng¬inapan, Kok Cu lalu memeriksa luka-luka adiknya dan merasa lega bahwa luka-luka itu tidak berbahaya, hanya merupakan pecah-pecah pada kulit belaka dan dia cepat memberi obat kepada adik¬nya dan Kok Han lalu berganti pakaian. Semua ini dikerjakan sambil bercakap-cakap dan Kok Han menceritakan semua yang telah terjadi, betapa ayahnya dan kakaknya, Kok Tiong, ditawan oleh tokoh Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, juga bahwa keluarga Kao tentu juga ditawan di lembah. “Hoa-gu-ji, tokoh Kui-liong-pang itu memperlihatkan cincin ibu dan hiasan rambut ji-soso (kakak ipar ke dua), maka ayah dan ji-ko tidak berani melawan dan bukti itu jelas menyatakan bahwa semua keluarga tentu ditawan di lembah.” Kao Kok Cu mengepal tinjunya. “Mari kita serbu ke sana!” teriak Ceng Ceng tidak sabar lagi. Anak mereka diculik orang belum juga berhasil mereka temu¬kan, sekarang keluarga suaminya semua ditawan orang! Nyonya muda ini benar-benar merasa berduka dan marah bukan main. Memang di waktu belum menikah dahulu, Ceng Ceng adalah seorang gadis yang berhati baja, keras dan ganas, apa¬lagi dia pernah menjadi murid dari Ban-tok Mo-li (baca Kisah Sepasang Rajawali), maka begitu kini dilanda duka yang ber¬tubi-tubi, kekerasan hatinya pun muncul kembali sehingga dia memberi hajaran yang ganas sekali kepada Chang-ciangkun tadi. Akan tetapi Kao Kok Cu yang biasa bersikap tenang dalam segala macam ke¬adaan itu, biarpun hatinya juga terasa panas mendengar betapa ayahnya juga ditawan musuh, lalu berkata dengan nada suara halus dan tegas, “Kita pergi meng¬hadap Puteri Milana lebih dulu untuk melaporkan keadaan lembah yang men¬curigakan itu. Aku mempunyai perasaan bahwa ditangkapnya ayah dan semua keluarga ini tentu ada hubungannya dengan usaha para pemberontak itu, entah apa kehendak mereka.” Maka pada hari itu juga, Kao Kok Cu, Kao Kok Han, dan Ceng Ceng pergi menghadap Panglima Puteri Milana yang ketika itu sedang membuat persiapan dengan bala tentaranya yang hendak di¬pimpinnya untuk menghancurkan usaha para pemberontak. Girang sekali hati Puteri Milana ketika dia melihat siapa orangnya yang minta menghadap dia itu. Segera dia mengenal Ceng Ceng. “Kau.... Ceng Ceng....?” seru puteri itu sambil melangkah maju dan meme¬gang tangan wanita itu. “Akan tetapi kenapa kau nampak muram seperti ini? Apa yang telah terjadi?” Berjumpa dengan wanita agung yang masih menjadi bibi tirinya itu, dan me¬lihat sikap yang ramah, hampir saja Ceng Ceng menitikkan air matanya. Akan te¬tapi dia segera teringat dengan siapa dia berhadapan. Puteri Milana adalah seorang wanita perkasa, puteri Pendekar Super Sakti, yang selain memiliki ilmu kepandai¬an silat yang tinggi sekali, juga memiliki kepandaian ilmu perang yang hebat. Ma¬ka tidak patutlah kalau sampai dia me¬nangis di depan wanita perkasa itu. “Ah, dan engkau adalah Kao-taihiap yang dulu berjuluk Si Topeng Setan itu, bukan? Hebat, aku sudah lama mendengar julukanmu yang baru, yaitu Naga Sakti Gurun Pasir, Taihiap!” kata pula Milana sambil memandang wajah pria yang me¬nimbulkan rasa kagum di hatinya itu. “Paduka terlalu memuji,” kata Kao Kok Cu. “Dia ini adalah adik saya, Kao Kok Han, dan dia datang membawa beri¬ta tentang keadaan lembah Huang-ho yang mencurigakan, maka kami meng¬ambil keputusan untuk menghadap Paduka Puteri Milana untuk....“ “Ahhh, Kao Kok Cu! Bukankah engkau ini suami Ceng Ceng? Isterimu adalah keponakanku, maka engkau harus menyebut bibi kepadaku, jangan begitu merendah, membikin aku merasa tidak enak saja. Pula, aku sekarang bukan lagi pu¬teri istana, melainkan tenaga bantuan dari luar yang diminta oleh Pangeran Mahkota Yung Ceng.” Melihat sikap yang terbuka dan ramah ini, diam-diam Kok Cu merasa kagum sekali dan dia bersama isterinya lalu bercerita tentang keadaan keluarga Jenderal Kao yang hilang diculik orang, juga tentang putera mereka yang juga lenyap diculik orang. Puteri Milana menarik napas panjang dan memotong, “Aihhh, demikianlah memang kehidupan orang-orang gagah dan orang-orang ternama, di mana-mana mempunyai banyak musuh dan sewaktu-waktu tentu ada saja perbuatan musuh curang untuk mencelakai kita. Sungguh aneh sekali, siapa orangnya yang begitu berani menculik keluarga yang demikian banyaknya dari Jenderal Kao Liang? Dan menculik putera kalian dari Gurun Pasir! Sungguh berani mati sekali!” “Bukan itu saja, Bibi,” kata Ceng Ceng. “Bahkan adik Kok Han baru saja datang dan menceritakan bahwa ayah mertuaku dan adik Kok Tiong juga ter¬paksa pergi mengikuti musuh karena mereka membawa bukti bahwa keluarga Kao telah mereka tawan.” Lalu Kok Han menceritakan kembali pengalamannya kepada Milana yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Kok Han selesai bercerita, Kok Cu berkata kepada Milana, suaranya sungguh-sungguh. “Sebetulnya, urusan keluarga kami ini adalah urusan kami sendiri dan kami tidak akan berani mengganggu Bibi yang sudah cukup repot untuk menanggulangi para pemberontak dengan tugas Bibi yang mulia itu. Bahkan kami sendiri, men¬dengar akan adanya usaha pemberontakan, tanpa diminta tentu akan membantu Bibi sekuat tenaga, kalau saja tidak ada urus¬an pribadi yang cukup hebat ini. Akan tetapi, kami merasa bahwa ada pertalian antara diculiknya keluarga ayah dengan usaha pemberontak. Kalau memang para penculik itu hanya memusuhi ayah secara pribadi, mengapa mereka menawan semua keluarga, tidak membunuhnya? Juga mereka kini menawan ayah, tentu ada kehendak mereka yang tersembunyi, dan keadaan lembah itu sungguh mencurigakan. Karena itulah maka kami sengaja melapor kepada Bibi.” Milana mengangguk-angguk. “Memang aku pun mempunyai kecurigaan demikian, Kok Cu. Setelah aku memimpin pasukan menggempur Ho-nan, tentu aku memimpin pasukan menyelidiki ke lembah itu.” “Terserah kepada kebijaksanaan Bibi Milana, akan tetapi kami tidak dapat membantu usaha mulia Bibi itu karena kami hendak lebih dulu menyelidiki ke lembah. Hanya adik saya Kok Han ini kiranya akan dapat menyumbangkan te¬naganya, mewakili ayah untuk membantu Bibi menghadapi para pemberontak.” Kok Han yang memang sebetulnya telah diberi tahu oleh kakaknya, segera berkata dengan gagah, “Semenjak muda ayah telah menghabiskan waktu dan te¬naganya untuk membela negara, maka karena kini ayah tidak dapat membantu, biarlah saya mewakili ayah untuk mem¬bela negara, Bibi Milana. Harap bantuan saya yang tidak berharga ini dapat diterima.” Milana memandang kagum dan meng¬angguk-angguk. “Keluarga Kao memang terkenal keluarga gagah perkasa dan setia kepada negara sampai turun-temurun, sayang sekali istana tidak sadar akan hal ini dan tenaga sehebat itu kini dihenti¬kan dan dikeluarkan dari istana. Baiklah, Kao Kok Han, kau membantu kami.” Setelah meninggalkan Kok Han ber¬sama Milana agar pemuda itu dapat membantu Milana menghadapi pemberontak, Kok Cu dan Ceng Ceng lalu meninggalkan kota raja, menuju ke lembah untuk melakukan penyelidikan lebih dulu. Mereka sengaja meninggalkan Kok Han di kota raja bersama Milana, bukan hanya agar memberi kesempatan kepada adik itu untuk ikut membela negara menghan¬curkan pemberontak, akan tetapi juga karena mereka berdua akan lebih leluasa untuk melakukan penyelidikan berdua saja, mengingat bahwa tingkat kepandai¬an Kok Han belum dapat diandalkan un¬tuk menghadapi lawan-lawan yang tang¬guh. Kok Han lalu ikut bersama Milana untuk menyusun dan menggembleng pasu¬kan-pasukan yang akan dipimpin untuk menggempur para pemberontak dan putera bungsu dari Jenderal Kao ini oleh Milana diserahi pimpinan atas sebuah pasukan istimewa. Milana sengaja me¬laporkan tentang putera Jenderal Kao yang membantu ini dan pangeran mah¬kota menerima laporan dengan girang. “Memang ayahanda kaisar lemah se¬kali, mendengarkan omongan dan bujukan pembesar-pembesar khianat sehingga Jenderal Kao yang gagah perkasa men¬jadi korban. Kalau saja tidak terjadi hal itu, kalau saja Jenderal Kao masih ber¬tugas di sini, kiranya pemberontakan itu tidak akan sampai berlarut-larut dan sudah dihancurkannya sebelum menjadi kuat. Sekarang puteranya ikut mewakili ayahnya membantu, sungguh menggirang¬kan hatiku!” kata pangeran itu. Beberapa hari kemudian, Milana sudah siap dengan pasukannya dan ketika dia sudah bersiap-siap untuk memimpin pasu¬kannya, secara tidak terduga-duga muncullah Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li! “Enci Milana....!” begitu menghadap panglima wanita itu, Suma Kian Bu ber¬seru dengan suara girang sekali karena dia memang sudah merasa amat rindu kepada kakaknya itu. Sejenak Milana tertegun, memandang kepada pemuda berambut putih panjang yang berdiri di depannya itu. Rambut itulah yang membuatnya tertegun dan ragu-ragu akan tetapi tiba-tiba dia me¬loncat turun dari kursinya, berlari meng¬hampiri pemuda itu. “Bu-te....! Kian Bu.... benar-benar engkaukah ini....?” “Enci Milana....!” Milana merangkul adiknya, mereka saling berangkulan menumpahkan rasa rindu masing-masing. Enci dan adik se¬kandung ini saling pandang dan di kedua mata Milana nampak air mata membasahi matanya. “Kian Bu.... kau.... kenapakah kau? Rambutmu ini....“ Kian Bu tersenyum dan melangkah mundur setelah kakaknya melepaskan rangkulan. “Enci, lupakah Enci bahwa rambut ayah juga putih semua!” “Tapi.... tapi ayah....“ Milana sudah mendengar dari ibunya bahwa putihnya rambut ayahnya adalah karena penderita¬an hati yang amat hebat selagi ayahnya masih muda, maka teringatlah dia akan keadaan adik kandungnya ini, tentang kegagalan cinta kasih adiknya itu dengan Puteri Syanti Dewi! Hatinya seperti di¬tusuk rasanya dan kembali dia melangkah maju dan merangkul leher adiknya sam¬bil memejamkan mata agar jangan sam¬pai air matanya keluar. “Enci yang baik, apakah buruknya rambut putih?” Kian Bu berkata untuk menghibur hati encinya, akan tetapi kata-kata itu bahkan dirasakan seperti me¬nikam hati wanita perkasa itu. “Aihhh, sungguh mengharukan sekali, Kian Bu. Pertemuan mengharukan antara enci yang mencinta dan adiknya....“ Mendengar suara wanita yang nyaring dan seperti mengejek ini, Milana cepat melepaskan rangkulannya dan memandang. Dia tadi memang melihat bahwa adiknya datang bersama seorang dara berpakaian hitam yang amat cantik, akan tetapi pertemuannya dengan adiknya itu mem¬buat dia lupa kepada dara itu dan kini setelah dara itu mengeluarkan suara yang demikian mengejek, dia cepat memandang dengan alis berkerut, sinar matanya tajam menyambar dengan penuh selidik kepada dara yang berdiri dengan sikap tenang dan lagak yang angkuh itu. Memang Hwee Li, dara itu, marah sekali menyaksikan pertemuan antara enci dan adik yang demikian mengharukan dan mereka berdua itu seolah-olah sudah melupakan dia, seolah-olah dia tidak ada di situ! Maka dia sengaja mengeluarkan kata-kata mengejek tadi. Bagi Hwee Li, dia memang tidak mengenal apa artinya takut, apa artinya sopan santun. Biar di dalam istana sekalipun, di depan kaisar sekalipun, dia akan mengeluarkan apa pun yang berada dalam pikirannya me¬lalui mulut tanpa sungkan-sungkan dan ragu-ragu lagi. “Siapakah dia ini?” Milana bertanya, Kian Bu yang juga mendengar ucapan Hwee Li tadi cepat-cepat memperkenal¬kan gadis itu kepada encinya. “Enci, dia ini adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo....“ “Ehhh....? Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka? Pantas! Dia puteri dari iblis jahat itu! Kenapa kauajak dia ke sini, Bu-te?” Milana menjadi merah muka¬nya dan matanya melotot memandang kepada Hwee Li, siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu. “Dia.... dia bukan musuh, Enci, bah¬kan dia telah beberapa kali menolongku, menolong Lee-ko. Dia adalah sahabat baikku, Enci, dan dia bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, maksudku bukan anak kan¬dungnya, hanya anak angkat....“ “Anak angkat pun bukan, bahkan tua bangka iblis itu adalah musuh besarku, pembunuh dari ibu kandungku!” Hwee Li melanjutkan. Agar jangan menimbulkan salah sang¬ka karena sikap Hwee Li yang kasar itu, Kian Bu cepat-cepat menceritakan semua hal mengenai Hwee Li kepada encinya, betapa dia pernah tertawan di dalam benteng dan diselamatkan oleh Hwee Li, kemudian dia menceritakan tentang ke¬adaan di dalam benteng lembah. Dalam penuturan ini, Hwee Li yang mengetahui lebih banyak tentang lembah, juga me¬nambah cerita Kian Bu dan setelah ber¬cakap-cakap, Milana mendapat kenyataan betapa Hwee Li adalah seorang dara yang polos, jujur dan terbuka, juga pem¬berani dan tidak suka untuk berpalsu-palsu dengan sopan santun buatan. Ketika mendengar keadaan di dalam benteng lembah, terkejutlah Milana. Betapa ben¬teng itu dibangun oleh Jenderal Kao yang dipaksa karena seluruh keluarganya tertawan di situ, betapa putera Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga berada di situ. Malah Puteri Syanti Dewi juga tertawan di lembah dan mereka telah gagal dalam usaha mereka untuk menyelamatkan Syanti Dewi. Akan tetapi yang paling mengejutkan hati Milana adalah keadaan di lembah yang telah menjadi benteng amat kuat itu. Apalagi ketika dia mendengar bahwa Pangeran Liong Bian Cu, keturunan dari Pangeran Liong Khi Ong yang mem¬berontak, kini mengumpulkan orang-orang sakti dan memaksa Jenderal Kao mem¬bentuk barisan amat kuat di benteng yang kuat pula itu, maklumlah dia bahwa keadaannya benar-benar amat gawat. “Ah, sungguh celaka! Kiranya keturun¬an dua orang Pangeran Liong yang mem¬berontak itu telah menimbulkan pem¬berontakan pula yong lebih berbahaya, Karena benteng itu didirikan di antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, maka keadaannya menjadi lebih berbahaya dari¬pada pemberontakan kedua pangeran Wi beberapa tahun yang lalu. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga baru saja datang melapor, maka sebaiknya kalian berdua juga cepat pergi menyusul mereka, mem¬bantu mereka yang menyelidiki lembah. Aku akan mengerahkan pasukan, lebih dulu menyerbu Ho-nan untuk menakluk¬kan Gubernur Ho-nan karena dari sana¬lah sumbernya tenaga bantuan kepada para pemberontak.” Kian Bu dan Hwee Li tidak lama tinggal di kota raja. Mereka lalu berangkat lagi untuk kembali ke lembah, untuk membantu Kok Cu dan Ceng Ceng kare¬na mereka pun maklum bahwa tempat itu amat berbahaya, membutuhkan bantu¬an orang-orang sakti dan juga membutuh¬kan serbuan pasukan yang kuat untuk dapat menghancurkan pemberontakan-pemberontakan dan juga menyelamatkan semua orang yang tertawan di situ. Setelah dua orang muda itu pergi, Milana lalu mengirim utusan cepat-cepat memberitahukan kepada suaminya tentang keadaan yang berbahaya itu. Dia menulis surat kepada suaminya, menceritakan semuanya dan mengharapkan suaminya untuk turun tangan pula membantu, agar suaminya langsung menuju ke lembah karena dia hendak memimpin pasukan menyerbu Propinsi Ho-nan lebih dulu. *** Pagi yang amat sunyi di tepi Sungai Huang-ho. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, isterinya, duduk di atas batu-batu besar yang memenuhi sepanjang tepi sungai itu. Batu-batu sebesar kerbau yang halus dan keputihan. Bagian tepi sungai ini sunyi sekali, karena jalan menuju ke situ ter¬tutup oleh semak-semak belukar dan hutan-hutan yang lebat. Sudah lama juga, tidak kurang dari satu pekan lamanya, suami isteri itu berada di tepi Sungai Huang-ho. Dari tempat yang mereka pergunakan sebagai tempat meiewatkan malam ini dapat nampak tembok benteng lembah yang kokoh kuat. Mereka berdua bercakap-cakap. Semenjak terjadinya peristiwa penyerbuan, kini tembok ben¬teng itu oleh Pangeran Liong Bian Cu diperkuat penjagaannya, tidak hanya pen¬jagaan di setiap pintu gerbang dan pe¬rondaan di sepanjang tembok benteng, akan tetapi juga di atas tembok dipasangi alat-alat rahasia, jebakan-jebakan dan juga banyak disembunyikan pasukan-pasu¬kan panah dan orang-orang pandai untuk mencegah masuknya mata-mata musuh. Suami isteri ini telah menyelidiki selama beberapa hari dan mendapat kenyataan bahwa tempat itu memang kokoh kuat, dan juga penuh dengan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Ceng Ceng sudah tidak sabar menanti lebih lama lagi. Suaminya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan dia sendiri pun tidak akan mudah dikalahkan orang. Mengapa suaminya belum juga mau menyerbu masuk, padahal keluarga suaminya semua berada di dalam benteng itu? “Kalau menyelinap secara diam-diam tidak mungkin, marilah kita serbu saja dari pintu gerbang. Apa sih sukarnya merobohkan puluhan orang penjaga di sana? Kalau kita sudah berada di dalam, kita akan bertindak melihat suasana dan keadaan. Kalau mereka mau diajak bi¬cara baik-baik, kita tuntut dibebaskannya seluruh keluarga, kalau mereka berkeras, kita turun tangan saja mengamuk!” Ceng Ceng berkata sambil duduk di atas batu dan matanya yang tadi melamun memandang ke arah tembok benteng, kini memandang suaminya dengan alis berkerut. Dia sudah tidak sabar lagi untuk lebih lama menanti. Kok Cu menggeleng kepalanya. “Isteri¬ku, dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana keselamatan semua keluarga terancam, amatlah tidak bijaksana kalau kita menggunakan kekerasan begitu saja. Memang tentu mudah bagi kita untuk menyerbu masuk, akan tetapi kalau tempat itu penuh dengan pasukan musuh, dan banyak pula terjaga oleh orang-orang pandai, bagaimana kita akan dapat mem¬bebaskan semua keluarga ayah itu? Se¬belum kita bergerak, kalau mereka itu mengancam keselamatan keluarga ayah, apa yang dapat kita lakukan? Harap kau bersabar. Kita menanti kesempatan baik, kalau ada di antara anggauta pasukan yang keluar dan dapat kita tangkap, kita akan dapat memaksanya menceritakan semua keadaan sehingga kita dapat me¬1akukan tindakan tepat.” Ceng Ceng hendak membantah, akan tetapi suaminya memberi isyarat dengan matanya dan ketika Ceng Ceng men¬curahkan perhatian, dia pun mendengar suara yang mencurigakan di sebelah belakang, dari dalam hutan kecil yang lebat itu. Suami isteri ini masih duduk dengan tenang, akan tetapi waspada dan semua syaraf di tubuh mereka menegang. Ke¬duanya makin yakin bahwa penjagaan di sekitar tembok benteng itu memang amat kuat dan cermat sehingga agaknya ke¬hadiran mereka telah diketahui oleh fi¬hak musuh! Dugaan mereka ini ternyata benar segera terdengar suara sebelum orangnya nampak. “Ha-ha-ha, Ngo-te, sungguh akhir-akhir ini Sam-ko menjadi penakut sekali. Hanya dua orang laki-laki dan wanita muda di sini. Sepasukan orang saja cukup untuk menangkap mereka, mengapa mesti menyuruh kami? Ha-ha-ha, ini namanya menangkap dua ekor ikan teri menggunakan jala yang besar! Ha-ha-ha!” Lalu terdengar suara ke dua, suara orang yang agaknya malas bicara, “Su-ko, kuku ibu jari perempuan itu untukku!” “Ha-ha-ha, dia cantik juga, Ngo-te. Engkau memang beruntung hari ini!” Ceng Ceng dan Kok Cu masih duduk ketika nampak dua bayangan berkelebat. Mereka berdua terkejut. Melihat cara bayangan itu berkelebat sedemikian cepat¬nya, suami isteri ini maklum bahwa yang datang bukanlah orang-orang biasa, me¬lainkan dua orang yang termasuk orang-orang yang berilmu tinggi sekali, bukan tokoh-tokoh kang-ouw umum saja yang mampu bergerak seperti itu. Maka suami isteri ini cepat bangkit berdiri dan memandang kepada dua orang itu dengan mata terheran-heran karena yang ber¬diri di depan mereka adalah dua orang yang amat aneh bentuk tubuhnya. Yang seorang amat jangkung sehingga Kao Kok Cu sendiri yang sudah termasuk seorang pria yang tinggi, agaknya hanya sampai di bawah pundak kakek jangkung itu! Dan yang seorang lagi, yang kepalanya gundul, berpakaian hwesio, adalah se¬orang yang amat gendut akan tetapi juga amat pendek, begitu pendeknya sehingga paling-paling sampai di dada Ceng Ceng tingginya. Benar-benar seorang tosu jang¬kung dan seorang hwesio pendek yang aneh, karena keadaan tubuh keduanya amat berlawanan, yang seorang tinggi kurus dan yang ke dua gendut pendek. Sebaliknya, Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su sama sekali tidak mengenal suami isteri itu, karena biarpun namanya terkenal di seluruh dunia persilatan sebagai seorang tokoh sakti seperti dalam dongeng, namun Kok Cu dan isterinya jarang sekali meninggalkan Istana Gurun Pasir. Ketika melihat betapa cantiknya Ceng Ceng, seketika kumatlah penyakit Ngo-ok Toat-beng Sian-su dan dia sudah memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh nafsu, terutama memandang kepada ibu jari tangan Ceng Ceng dengan kukunya yang mengkilap dan terpelihara baik-baik itu. “Su-ko, aku tidak tahan lagi. Kau¬lihatlah pertunjukan yang menarik!” kata si jangkung dengan suara serak. Yang dimaksudkan dengan pertunjukan menarik adalah betapa dia dengan cara sadis memperkosa wanita di depan Su-ok, ke¬mudian mencabut kuku ibu jari wanita yang telah diperkosanya lalu dibunuhnya. “Heh-heh-heh, senang sekali, aku suka menonton. Kau juga, lengan buntung?” tanya si gendut pendek kepada Kok Cu. Senang karena dia melihat si lengan buntung ini akan dipaksa menyaksikan isteri¬nya diperkosa sampai mati secara kejam sekali oleh si jangkung. Akan tetapi Kok Cu diam saja, wajahnya yang tampan sama sekali tidak memperlihatkan apa-apa, juga Ceng Ceng hanya berdiri memandang si jangkung hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kilat dan diam-diam Ceng Ceng sudah menge¬rahkan tenaganya yang mujijat dan kedua tangannya yang berkulit putih halus itu tanpa diketahui orang kini telah berubah menjadi dua tangan maut yang mengan¬dung Ilmu Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun)! Tiba-tiba si jangkung melangkah maju dan Kok Cu berbisik kepada isterinya, “Berhati-hatilah.” Lalu suami ini malah menyingkir dari samping isterinya. Ceng Ceng berdiri dengan kedua kaki terpen¬tang, sepasang matanya tidak pernah meninggalkan si jangkung yang memandang kepadanya dengan mata seperti ter¬pejam. Setelah jarak di antara mereka tinggal kurang dari dua meter, si jangkung berhenti dan kedua mata sipit itu bergerak-gerak mengamati tubuh Ceng Ceng dari atas ke bawah, lalu dia meng¬angguk-angguk puas, dan begitu kakinya yang panjang melangkah dan tubuhnya bergerak, tahu-tahu ada dua lengan pan¬jang sekali menyambar dari kanan kiri, menubruk ke arah kedua pundak Ceng Ceng! Ngo-ok yang jangkung itu tentu saja memandang rendah kepada Ceng Ceng dan mengira bahwa wanita cantik yang menjadi calon korbannya ini sekali tubruk saja tentu akan menyerah dan dapat dipeluknya. Akan tetapi sekali ini, Si Jahat Nomor Lima ini benar-benar ke¬celik sekali. Karena wanita cantik yang ditubruknya dengan menggunakan kedua lengan panjangnya itu sama sekali tidak mengelak atau meloncat mundur, bahkan Ceng Ceng melangkah maju dan kedua tangannya dihantamkan ke arah dada dan lambung Ngo-ok! “Wuuuttttt....!” Melihat pukulan yang mengeluarkan suara aneh dan nampak sinar menghitam dari tangan itu, Ngo-ok terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa pukulan itu adalah pukulan yang mengandung racun amat hebatnya. Tidak percuma dia men¬jadi datuk kaum sesat, maka tentu saja dia segera mengenal pukulan ini. Dia mengeluarkan suara teriakan serak dan tubuhnya ditarik ke belakang, terpaksa kedua tangannya ditarik pula untuk me¬lindungi tubuhnya. “Duk! Dukkk!” Kedua lengan Ceng Ceng dapat di¬tangkisnya, akan tetapi akibatnya, tubuh si jangkung terlempar ke belakang dan kedua lengannya terasa panas sekali! Dan pada saat itu, Ceng Ceng sudah melang¬kah maju pula dan melancarkan pukulan-pukulan saktinya. “Aaahhhhh....!” Si jangkung kaget setengah mati dan cepat dia sudah ber¬jungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di atas, tangan dan kakinya sibuk menangkisi pukulan-pukulan Ceng Ceng yang menjadi agak bingung juga melihat tubuh yang tiba-tiba membalik itu. Melihat ini, maklumlah Su-ok bahwa orang-orang muda yang disangkanya le¬mah ini ternyata adalah orang-orang pandai. Mengertilah dia kini mengapa koksu telah memerintahkan dia dan Ngo-ok untuk menangkap dua orang ini. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia pun sudah meloncat ke depan Kok Cu, tubuhnya berjongkok dan karena tidak ingin mem¬buang waktu untuk segera merobohkan laki-laki berlengan buntung kemudian membantu Ngo-ok, si pendek gendut ini begitu menyerang telah mempergunakan Ilmu Pukulan Katak Buduk yang amat lihai itu. Angin pukulan dahsyat disertai bau amis menyambar ke arah Kok Cu. Akan tetapi pendekar sakti ini bersikap tenang saja. Ketika pukulan itu sudah datang dekat, tiba-tiba lengan kiri yang buntung, yang hanya tinggal lengan baju¬nya saja itu bergerak menyambar ke depan lalu bergoyang-goyang dan pukulan Katak Buduk itu membuyar! Dan tiba-tiba tangan kanan pendekar itu sudah menyelonong ke atas kepala Su-ok, me¬ngancam hendak mencengkeram kepala yang botak itu! Su-ok terkejut, cepat melempar diri¬nya ke atas batu dan menggelundung, lalu meloncat dan menyerang lagi dengan pukulan Katak Buduk. Akan tetapi sekali ini, Kok Cu menerima pukulan itu dengan dorongan tangan kanannya. Per¬temuan dua tenaga dahsyat itu hebat bukan main dan akibatnya, Su-ok terpen¬tal ke belakang dan dadanya terasa sesak! “Tahan....!” katanya terengah. “Apakah.... apakah Sicu ini SI Naga Sakti Gurun Pasir?” Mendengar pertanyaan ini, Ngo-ok mengeluarkan seruan aneh dan dia pun cepat meloncat ke belakang sambil mem¬balikkan tubuhnya lagi, memandang dengan kaget kepada laki-laki buntung le¬ngan kirinya itu. Kok Cu mengangguk. “Bukankah kalian ini Su-ok dan Ngo-ok dari Im-kan Ngo-ok? Hemmm.... jadi kalian inikah yang telah menculik keluarga ayahku?” Di dalam suara itu terkandung ancaman hebat dan sepasang mata itu kini mencorong, membuat dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam menjadi jerih sekali. Su-ok lalu berkemak-kemik, mengerahkan tenaga khikang untuk menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu me¬ngirim suara dari jauh untuk memberi tahu kepada koksu. Juga Ngo-ok mem¬bantunya sehingga dua orang aneh itu hanya berdiri seperti patung, dan hanya bibir mereka yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara. Tentu saja Kok Cu tahu artinya ini dan dia hanya tersenyum mengejek karena dia tahu bahwa dua orang itu belum mahir benar dalam ilmu ini. Dugaan pendekar ini memang benar. Su-ok dan Ngo-ok demikian kaget dan gentar mendengar bahwa si lengan bun¬tung ini adalah Naga Sakti Gurun Pasir, maka mereka tidak berani menyerang lagi dan segera mengirim berita kepada koksu melalui ilmu mengirim suara dari jauh. Tak lama kemudian, terdengarlah lapat-lapat suara koksu yang ditujukan kepada pendekar itu dan isterinya. “Koksu Negara Nepal mengundang Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya untuk memasuki benteng lembah!” Mendengar ini, Kao Kok Cu lalu mengangkat mukanya menghadap ke arah benteng, dadanya yang bidang itu mekar dan tiba-tiba terdengar suaranya, tidak keras akah tetapi suara itu mengandung getaran hebat dan suara itu dapat men¬capai tempat jauh sekali, “Kami datang memenuhi undangan Koksu Nepal!” Su-ok dan Ngo-ok saling pandang dengan muka pucat. Cara Naga Sakti itu mengeluarkan suaranya saja sudah me¬nunjukkan bahwa pendekar ini memiliki tenaga sinkang yang jauh lebih kuat dari¬pada mereka. Orang yang sudah dapat berteriak seperti itu, menunjukkan ke¬kuatan sinkang yang sukar diukur lagi berapa dalamnya! Untung bahwa mereka tadi tidak lancang terus menyerang ka¬rena keduanya maklum bahwa mereka bukanlah tandingan Si Naga Sakti dan isterinya ini. “Heh-heh-heh, maafkan kami....heh-heh, kami tidak tahu bahwa Sicu adalah Si Naga Sakti dari Gurun Pasir. Heh-heh, koksu sudah mengundang Ji-wi, mari kita antarkan....“ kata Su-ok yang pandai bicara dengan sikap ramah, sedangkan Ngo-ok hanya cemberut saja karena un¬tuk ke sekian kalinya kembali dia gagal memperoleh seorang wanita yang telah membangkitkan berahinye! “Kalian jalanlah lebih dulu” kata Kok Cu dengan sikap dingin. Dua orang kakek itu lalu berkelebat cepat. Mereka sengaja menggunakan gin¬kang mereka untuk bergerak cepat agar suami isteri itu tertinggal di belakang dan agar suami isteri itu minta kepada mereka jangan terlalu cepat. Akan tetapi ketika mereka menoleh, mereka melihat betapa suami isteri itu sudah berada dekat sekali di belakang mereka tanpa kelihatan mengerahkan tenaga sedikit pun juga, padahal mereka berdua sudah ber¬usaha sekuat tenaga untuk meninggalkan mereka. Karena mereka berjalan dengan pengerahan tenaga ginkang, sebentar saja mereka telah tiba di pintu gerbang. Di sini, dua orang kakek itu berjalan dengan langkah biasa dan ketika meiewati pintu gerbang yang terjaga oleh pasukan yang kuat, Su-ok dan Ngo-ok mengangkat dada dan berjalan dengan lagak dua orang panglima yang menang perang atau dua orang yang telah berhasil “menawan” seorang pendekar sakti seperti Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya! Mereka lalu mempersilakan Kok Cu dan isterinya untuk berjalan di depan. Kok Cu dan Ceng Ceng juga tidak takut. Mereka melihat betapa tembok benteng itu tebal dan terjaga kuat dan diam-diam mereka terkejut menyaksikan betapa benteng itu berlapis-lapis dan luar biasa kuatnya. Memang tidak mudahlah bagi pasukan untuk menyerbu tempat ini, apalagi kalau penjagaan dilakukan sedemikian ketatnya. Juga nampak pasukan yang berjaga-jaga secara teratur sekali, ada pasukan tombak, pasukan golok, pasukan pedang dan pasukan panah. Di atas tembok juga berjajar pasukan-pasukan yang siap me¬nangkis setiap penyerbuan dan diam-diam Kok Cu menahan napas. Hebat memang penjagaan di benteng ini dan dia merasa lega bahwa pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang ahli seperti Puteri Milana. Biarpun demikian, dia masih menyangsi¬kan apakah pasukan pemerintah akan dapat membobol benteng yang sedemikian kuatnya ini. Lalu dia terkejut dan mulai mengerti! Agaknya ayahnya yang berdiri di belakang semua ini! Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang mampu menciptakan benteng sekuat dan sehebat ini? Ah, tentu ayahnya dipaksa, dan karena keluarga ayahnya menjadi tawanan, maka ayahnya lalu menurut saja untuk me¬nyelamatkan keluarganya! Benarkah duga¬annya ini? Dia masih ragu-ragu. Tak mungkin ayahnya mau membantu musuh, lebih baik mati, demikian tentu pendirian ayahnya. Suami isteri pendekar itu makin ter¬kejut ketika mengenal orang-orang pandai di dalam benteng, di antaranya mereka melihat Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo¬kwi, tiga orang tua yang mereka duga tentulah Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok ka¬rena mereka pernah mendengar bagaimana rupanya Im-kan Ngo-ok. Masih banyak pula orang-orang yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi akan tetapi yang tidak mereka kenal. Mereka semua itu dipimpin oleh Sam-ok yang berpakai¬an sebagai seorang pembesar, yang ber¬tubuh raksasa berkepala botak, mengena¬kan mantel merah dan pakaiannya me¬wah. Inilah tentu Koksu Nepal, pikir Kok Cu sambil memandang penuh perhatian. Ketika melihat orang-orang yang ber¬macam-macam bentuknya itu menyambut, Kok Cu lalu bertanya, “Apakah kami berhadapan dengan Koksu Nepal yang mengundang kami?” Ban Hwa Sengjin, yaitu Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok, atau Koksu Negara Nepal, menjura dengan sikap hormat. Diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada pendekar lengan buntung ini. Sejak tadi dia sudah memperhatikan dan memang pria berlengan buntung sebelah ini patut menjadi seorang pendekar sakti. Dia masuk bersama isterinya dengan tangan kosong dan suami isteri itu melangkah dengan gagahnya, tenang dan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Sikap ini bukan hanya mengagumkan hati Sam-ok, akan tetapi iuga mencengangkan semua tokoh yang sebelumnya memang sudah gentar mendengar nama Naga Sakti Gurun Pasir itu. “Selamat datang di benteng kami, Sicu,” kata koksu. “Tidak salah perkiraan Sicu, saya adalah Koksu Nepal....“ “Hemmm, kalau begitu Sam-ok dan Im-kan Ngo-ok?” tiba-tiba Ceng Ceng bertanya karena dia melihat betapa Im-kan Ngo-ok berdiri berjajar, di se¬belah kanan koksu itu nampak nenek Ji-ok dan kakek Twa-ok, sedangkan Su-ok dan Ngo-ok berdiri di sebelah kiri koksu. “Li-enghiong berpemandangan awas benar!” kata koksu memuji. “Tidak salah, selain sebagai Koksu Nepal, saya juga menjadi Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Ji-wi melihat sendiri betapa kuatnya keada¬an kami, dengan bantuan semua tokoh yang pandai dari dunia kang-ouw.” “Apa maksudmu mengundang kami?” Kok Cu bertanya singkat dan tegas. “Sicu, kami atas nama Pangeran Bha¬ruhendra dari Nepal menyampaikan undangan kepada Sicu berdua, mengajak Sicu berdua untuk bekerja sama....“ “Hemmm, apa hubungannya Pangeran Nepal dengan kami? Mengapa pula pa¬ngeran dari Nepal membuat benteng di sini? Apakah Pangeran Nepal berhubung¬an dengan mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?” Semua orang saling pandang. Pendekar ini bicaranya tegas dan terus terang, penuh keberanian dan keangkuhan. Akan tetapi koksu tersenyum. “Sicu, hendaknya Sicu rnenyadari keadaan. Pangeran Bha¬ruhendra adalah juga Pangeran Liong Bian Cu, putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong, yang hanya melanjutkan cita-cita besar ayahnya, yaitu menum¬bangkan kekuasaan sekarang yang lemah dan lalim untuk membentuk suatu pemerintahan yang kokoh kuat dan bijak¬sana. Banyak orang yang sudah mem¬bantu perjuangan ini....” “Hanya pengkhianat-pengkhianat yang mau membantu pemberontakan!” cela Ceng Ceng. “Kami tidak sudi bekerja sama dengan pemberontak!” sambung Kok Cu. “Sicu, ingatlah. Apakah Sicu masih hendak bersetia kepada kaisar yang begitu sewenang-wenang, memecat dan mengusir seorang yang berjasa besar seperti ayah¬mu, Jenderal Kao itu? Ingat, bahkan ayahmu pun kini sudah bekerja sama dengan kami. Lihat benteng ini, ayahmu¬lah yang membangun! Lihat pasukan-pasukan itu. Ayahmulah yang membentuk dan melatih sehingga keadaan kami be¬gini kuat.” “Tidak! Ayahku kalian paksa maka sudi melakukan semua ini!” bentak Kok Cu marah dan kini matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti sehingga semua orang menjadi gentar sekali. “Dan pula, siapa percaya bahwa ayahku berada di sini membantu kalian?” Dengan ucapan ini Kok Cu memang hendak melihat bukti bahwa ayahnya masih dalam keadaan selamat. “Sicu agaknya belum percaya kepada kami? Lo-mo, harap kaupanggil Jenderal Kao ke sini!” Mendengar perintah ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan pergi. Jantung Kok Cu berdebar tegang. Tak lama kemudian Hek-tiauw Lo¬-mo datang kembali, dan bersama dia datang pula Jenderal Kao Liang. Kok Cu membalikkan tubuh dan memandang ke¬pada ayahnya, sukar dibayangkan bagai¬mana perasaan hati pendekar sakti ini karena pada wajahnya yang tampan dan keras itu tidak terbayang sesuatu. Ceng Ceng juga memandang kepada ayah mer¬tuanya dengan muka berubah agak pucat, akan tetapi juga wanita ini yang sudah pandai menguasai perasaannya, tidak berkata apa-apa. Agaknya Jenderal Kao itu tidak diberi tahu oleh Hek-tiauw Lo-mo mengapa dia dipanggil. Tadinya dia berjalan dengan langkah tenang saja di samping Hek-tiauw Lo-mo menuju ke tempat itu. Akan te¬tapi begitu dia melihat puteranya itu, tiba-tiba langkahnya terhenti dan mata¬nya terbelalak memandang ke arah wajah Kok Cu, wajahnya berubah pucat sekali dan tiba-tiba saja dia membalikkan tu¬buhnya, membelakangi puteranya itu untuk menyembunyikan air mata yang keluar dari sepasang matanya. Dia tidak mau dilihat puteranya mengeluarkan air mata, akan tetapi kakek ini tidak dapat menahan tangisnya ketika melihat puteranya karena berbagai perasaan menceng¬keram hatinya. Ada rasa haru, duka, dan juga malu bahwa puteranya tentu telah melihat, mendengar betapa dia kini telah menghambakan diri kepada pemberontak! Lalu dengan langkah perlahan dan kepala menunduk, Jenderal Kao pergi lagi meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi. Kok Cu mengerti dan merasa terharu sekali. Dia tahu betapa hancur hati ayah¬nya, dan dia tahu pula bahwa ayahnya melakukan hal itu karena terpaksa, karena tidak ingin melihat keluarganya ter¬siksa atau terbunuh! Dia tahu bahwa tentu koksu itu, Orang Jahat Nomor Tiga dari Im-kan Ngo-ok yang dia tahu tentu tidak segan-segan melakukan apa saja yang paling keji sifatnya, untuk memaksa ayahnya dengan jalan mengancam para keluarga yang sudah tertawan di tempat itu. Maka setelah ayahnya pergi dan le¬nyap di tikungan, dia lalu membalik dan menghadapi lagi koksu dan para pembantunya dengan sinar mata penuh tan¬tangan. “Koksu, engkau telah berhasil mem¬perdayai ayahku, memaksa ayahku untuk bekerja untukmu dengan ancaman keluar¬ga ayah. Akan tetapi jangan harap eng¬kau akan dapat membujuk aku untuk membantu pekerjaanmu yang terkutuk ini!” katanya dengan suara tenang dan tegas dan di dalam suara itu saja koksu ini telah mengerti benar bahwa memang tidak mungkin dapat membujuk seorang yang berhati keras dan teguh seperti Naga Sakti Gurun Pasir itu. “Apa pun yang kautuduhkan, kenyata¬an adalah bahwa ayahmu, Jenderal Kao Liang, telah bekerja sama dengan kami,” kata Koksu Nepal. “Oleh karena itu se¬kali lagi, kami harap agar engkau dan isterimu suka bekerja sama dengan kami, Sicu. Andaikata tidak secara suka rela, tentu engkau akan melakukannya dengan bijaksana, melihat keadaan yang tak mungkin dapat diubah lagi. Sicu dan Li-enghiong, kalian lihat siapakah yang di sana itu!” Koksu Nepal itu menuding ke belakang dua orang suami isteri itu yang segera membalikkan tubuhnya memandang. Hampir saja Ceng Ceng mengeluarkan teriakan ketika dia melihat siapa yang berada di sana, berdiri dengan sepasang mata terbelalak, dijaga oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tentu akan turun tangan dengan keji kalau sampai suami isteri ini bergerak. Juga Kok Cu memandang dengan sepasang mata terbelalak ketika dia melihat pu¬teranya di situ. Sungguh sama sekali tidak pernah mereka sangka bahwa pu¬tera mereka yang terculik itu ternyata juga berada di situ pula! Sekarang mengertilah Kok Cu betapa makin berat penanggungan ayahnya. Dengan seluruh keluarga, termasuk puteranya pula di tangannya, tentu saja koksu memiliki senjata yang amat ampuh dan kuat untuk memaksa ayahnya melakukan apa pun juga. Betapapun, dia menganggap ayahnya terlalu lemah! Apa artinya pengorbanan ayahnya itu kalau dia harus melakukan sesuatu yang demikian hina? Bukankah noda dan aib yang dilakukannya itu akan mencemarkan nama seluruh keluarganya. Mengapa ayahnya tidak melihat hal ini? NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar