Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 28.

Jodoh Rajawali Jilid 28.
Jodoh Rajawali Jilid - 28 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 28 “Hi-hi-hik, kalian ini dua orang tua bangka masih suka main-main seperti anak-anak saja. Kalau encimu ini tidak cepat datang, tentu kalian tadi sudah saling serang, kembali seperti belasan tahun yang lalu. Apakah selama ini kali¬an tidak makin tua, akan tetapi berubah kembali menjadi anak-anak?” Dari atas pohon melayang turun tubuh seorang wanita dan ketika Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi memandang, mereka bergidik. Mereka sudah mendengar ten¬tang wanita ini, yang merupakan Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dari Im-kan Ngo-ok. Tingkat wanita ini bahkan lebih ting¬gi setingkat dibandingkan dengan koksu dari Nepal, dan kabarnya memiliki ke¬kejaman yang sukar dibayangkan orang-orang kejam seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sekalipun! Kabarnya pernah wanita ini setiap hari mengisap darah dan otak anak kecil yang belum satu tahun usianya untuk “jamu”, dan ketika orang sedusun mengepungnya, dia mengamuk, menangkapi dan menotok seluruh penghuni dusun yang jumlahnya ratusan orang itu, mengumpulkan mereka di rumah kepala dusun, lalu menyiram sekeliling rumah dengan minyak dan di¬bakarnya rumah itu. Dia menanti sampai semua orang yang ratusan banyaknya itu terbakar habis dan dia tertawa-tawa ketika mendengar teriakan dan jeritan mereka. Yang tidak ikut dibakarnya ha¬nya anak-anak kecil yang belum satu tahun usianya, ada puluhan orang anak banyaknya, dibawanya mereka semua ke dalam guanya, dipelihara baik-baik sam¬pai gemuk-gemuk, akan tetapi setiap hari tentu berkurang satu anak karena men¬jadi “jamunya”! Dan menurut kabar, ilmu kepandaian wanita ini juga luar biasa sekali. Tadi saja sudah terbukti betapa lengking suara¬nya mengandung khikang yang demikian ampuhnya sehingga tanpa disengaja mam¬pu menembus jalan darah kedua orang kakek iblis itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tidak berdaya sa¬ma sekali karena jalan darah kematian dan ubun-ubun mereka telah diancam oleh dua drang anggauta Ngo-ok, dan mereka kini hanya dapat memandang ke depan, ke arah wanita yang baru datang itu dengan jantung berdebar tegang. Wanita itu memang menyeramkan sekali. Bahkan dua orang kakek iblis yang namanya saja biasanya membikin orang menggigil ketakutan itu kini me¬rasa betapa bulu tengkuk mereka me¬remang. Wanita itu bertubuh tinggi lang¬sing, seperti tubuh seorang wanita yang masih muda. Mukanya tidak dapat dilihat karena muka itu memakai topeng, bukan topeng buatan biasa atau topeng palsu, melainkan topeng dari tengkorak manusia sungguh-sungguh! Tengkorak manusia yang masih lengkap dengan giginya yang besar-besar dan matanya yang berlubang dan dari lubang mata tengkorak ini nampak sepasang mata yang tajam dan liar atau mengerikan, bukan seperti manusia me¬lainkan pantasnya menjadi mata setan! Hanya rambutnya yang sudah putih se¬mua itu membuktikan bahwa wanita ini sesungguhnya adalah seorang nenek yang sudah tua! Kabarnya, sebelum menjadi anggauta nomor dua dari Im-kang Ngo-ok, wanita ini adalah seorang yang me¬miliki ilmu tinggi yang hidup malang melintang di Ko-le-kok, di mana dia ditakuti sebagai seorang yang amat ting¬gi ilmunya. Akan tetapi, perangainya berubah ketika dia jatuh cinta kepada seorang pangeran negeri itu dan karena cintanya tidak dibalas dan pangeran itu menikah dengan wanita lain, dalam pe¬rayaan pesta dia mengamuk, membunuhi sang pangeran dan isterinya dan seluruh keluarga, bahkan ratusan orang tamu ikut pula menjadi korban. Dan dia lalu me¬menggal leher pangeran itu, membawa kepalanya ke mana-mana sampai menjadi tengkorak, bahkan dia lalu memakai tengkorak itu sebagai topengnya ketika dia menjadi anggauta Im-kan Ngo-ok untuk menunjukkan bahwa dia cukup kejam dan pantas menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu! “Ahhh, Ji-ci mengapa begitu sungkan? Bukankah kita memenuhi panggilan dari Sam-ko untuk berkumpul? Setelah ber¬kumpul, mengapa kita tidak sekalian mencoba kepandaian masing-masing? Si¬apa tahu aku dari Su-ok bisa menjadi Ji-ok! Ha-ha-ha!” “Huh, cebol kepala gundul tak tahu diri! Engkau hendak menandingi cicimu? Oho, kau boleh belajar seratus tahun lagi, adikku!” Si topeng tengkorak itu mengejek. Wanita ini adalah Ji-ok (Jahat ke Dua) yang bernama Kui-bin Nio-nio (Wanita Muka Setan) yang juga seperti yang lain telah lama sekali mengundur¬kan diri dan baru sekarang muncul kare¬na undangan Sam-ok yang kini telah menjadi Koksu Negara Nepal! Mungkin karena jabatan koksu inilah yang mem¬buat Ji-ok yang setingkat lebih tinggi itu sudi pula untuk datang memenuhi panggilan! “Lihat ini!” Wanita itu menuding¬kan telunjuknya dan menggerakkan se¬dikit tangannya. “Cuiiiiittttt....!” Dari telunjuknya itu menyambar hawa yang dingin sekali, mengenai batu besar di dekat Su-ok dan debu beterbangan seolah-olah batu itu di “bor” dan ketika wanita topeng tengkorak menghentikan gerakannya, maka terdapat ukiran berbunyi “Ji-ok” di permukaan batu itu! Su-ok menjulurkan lidahnya dan masih tertawa-tawa sambil berkata nya¬ring. “Aha, kepandaian Ji-ci masih hebat! Akan tetapi aku bukan batu mati, dan agaknya tidak akan mudah begitu saja Kiam-ci (Jari Pedang) dari Ji-ci akan dapat mengalahkan aku!” Akan tetapi agaknya wanita itu me¬rasa sebal dan tidak bersemangat untuk berdebat atau bertanding. Dia meman¬dang ke sekeliling dan berseru, “Mana dia adik ke tiga si Sam-ok? Apakah se¬telah menjadi koksu dia begitu congkak tidak mau menyambut kita? Dan apakah Twa-ko tidak mau datang?” Tiba-tiba menyambar angin halus dan terdengar suara dari jauh sekali, akan tetapi suara itu terdengar amat jelas, satu-satu seolah-olah orangnya berada di situ, akan tetapi tidak nampak apa-apa. Hal ini kembali mengejutkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena hal itu menandakan bahwa orang itu sudah memiliki kepandaian yang sukar diukur tingginya, sudah mampu melakukan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) secara sempurna sekali. “Hemmm, aku orang tua tak berguna bisa apakah?” “Twa-ko....!” Tiga orang itu berseru secara berbareng dan ketiganya bangkit berdiri memandang ke arah datangnya suara seolah-olah hendak menyambut. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Ka1au tadi mereka tidak berani berkutik adalah karena nyawa mereka terancam. Akan tetapi begitu kedua orang itu bergerak bangun, secepat kilat mereka sudah bergerak dan meng¬hantam ke arah punggung para penawan mereka! “Ha-ha-ha!” Si pendek gendut sudah bergerak ke depan, lalu menggelinding sehingga terlepas dari hantaman Hek-hwa Lo-kwi, sedangkan si jangkung itu dengan langkah lebar juga mengelak dan membalik hendak menangkap lengan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang berkepandaian tinggi itu sudah cepat mengelak dan kembali mengirim serangan yang ampuh, yaitu dengan ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang yang dicipta¬kannya dari kitab curiannya ketika dia memperoleh sebagian kitab dari Si Dewa Bongkok. Hawa beracun berupa uap hitam me¬ngepul dari kedua tangannya ketika dia menyerang si jangkung itu. “Hemmm....! Ngo-ok Toat-beng Sian-su mendengus dan tiba-tiba dia sudah berjungkir-balik. Agaknya dia mengenal pula pukulan sakti maka dia tahu bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan, maka orang ke lima dari Im-kan Ngo-ok itu sudah berjungkir-balik untuk me¬ngeluarkan kepandaiannya yang istimewa! Dan benar saja, Hek-tiauw Lo-mo men¬jadi bingung karena sasarannya menjadi aneh. Kalau biasanya dia memukul dada, kini pukulannya itu bertemu dengan paha dan ditangkis oleh tangan yang panjang itu, kalau dia memukul kepala, kini ber¬temu dengan lutut yang dapat bergerak dan menyerangnya kembali! Dan setiap gerakan kakek jangkung itu mendatang¬kan angin pukulan dahsyat, sedangkan pukulan Hek-coa-tok-ciang yang dimain¬kannya itu agaknya tidak mempengaruhi si jangkung karena beberapa kali si jang¬kung berani menangkisnya tanpa keracun¬an. Sebaliknya, sepasang kaki si jangkung membuat dia bingung karena kaki itu secara tiba-tiba dapat “memukulnya” dari belakang, ke arah punggungnya! Demikian pula, dengan keadaan Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ketua Kwi-liong-pang ini terkejut bukan main ketika menghadapi lawannya yang pendek gemuk itu. Sukar sekali menyerang lawan itu karena tubuh lawan itu bergerak secara aneh sekali, kadang-kadang bergulingan, kadang-kadang meloncat dan berlari-lari di sekelilingnya, dan kadang-kadang me¬nerima pukulannya akan tetapi pada saat pukulan hampir mengenai tubuh, dia me¬lejit lenyap dan tahu-tahu sudah mem¬balas serangannya dari bawah dengan dasyat! Hek-hwa Lo-kwi merasa pena¬saran sekali. Tidak peduli siapa adanya lawan ini, si pendek ini sudah menghina¬nya secara keterlaluan sekali, menduduki kepalanya dan tadi ketika si pendek ini duduk di atas kepalanya, biarpun tidak ada yang tahu karena tidak mengeluarkan suara, akan tetapi dia tahu betul bahwa dua kali si pendek ini melepas kentut yang bau busuk! Maka saking marahnya, Hek-hwa Lo-kwi lalu mengeluarkan ilmu barunya yang sakti dan mengerikan, yaitu Pek-hiat-hoat-lek. “Hehhhhh....!” Dia berseru keras, kedua tangannya bergerak melakukan dorongan ke depan. Nampaklah uap putih mengepul dan angin dahsyat menyambar ke arah kakek pendek itu. “Krok-krokkk!” Kakek pendek yang menghadapi pukulan maut itu tiba-tiba berjongkok, memasang kuda-kuda seperti seekor katak buduk dan kedua tangannya juga mendorong ke depan. “Desss....!” Akibat pertemuan tenaga yang dahsyat, tubuh Hek-hwa Lo-kwi terjengkang dan dia terbanting roboh dengan kepala pening. Akan tetapi kakek muka seperti tengkorak yang tinggi kurus ini dengan cekatan telah meloncat ba¬ngun dan menyerang lagi kalang-kabut. Ternyata ilmu barunya itu cukup tangguh sehingga menghadapi pukulan llmu Katak Buduk dari si pendek itu dia tidak sam¬pai mengalami luka, hanya terjengkang saja. Melihat ini, Su-ok Siauw-siang-cu merasa kagum juga. “Bagus, jongos maling, ilmumu luma¬yan juga!” katanya memuji akan tetapi sambil memaki. Justeru, Hek-hwa Lo-kwi paling benci kalau diingatkan bahwa dia dahulu adalah seorang pelayan dan seorang pelayan yang telah mencuri kitab majikannya! Maka sambil menggereng dia menubruk ke depan, akan tetapi si pen¬dek melejit lenyap dan main kucing-kucingan sambil tertawa-tawa. Di fihak lain, Hek-tiauw Lo-mo juga repot bukan main. Beberapa kali tubuh belakangnya kena digajul oleh kaki lawan secara aneh sampai dia hampir terpelan¬ting. Ngo-ok Toat-beng Sian-su tidak pernah mengeluarkan suara, akan tetapi tangan dan kakinya sungguh jahil dan menghina sekali. Kadang-kadang kedua tangan kakek ini bergerak cepat, tangan yang panjang itu tahu-tahu sudah me¬nyentil telinga Hek-tiauw Lo-mo, ke¬mudian kakinya menendang pinggulnya secara aneh melalui belakangnya. Kalau menggerakkan tangannya, maka kakek yang tingginya tidak lumrah ini hanya mengunakan kepala sebagai kaki, dan dia berloncatan sehingga kepalanya me¬ngeluarkan bunyi “duk-duk-duk!” memukul tanah! Tiba-tiba terdengar suara yang tadi, suara halus yang tadi terdengar dekat, “Hemmm, Ngo-ok dan Su-ok masih repot melayani dua ekor kera tua ini, sungguh harus dikatakan bahwa kepandaian kalian selama ini tidak ada kemajuan sama sekali!” Yang bicara itu adalah seorang kakek yang luar biasa sekali. Kakek ini tidak pantas disebut manusia, lebih patut di¬namakan gorila atau monyet besar sekali, seekor monyet besar yang memakai se¬patu dan pakaian seperti manusia, akan tetapi pakaiannya amat sederhana. Muka¬nya adalah muka campuran antara manu¬sia dan monyet, akan tetapi masih lebih mendekati monyet daripada manusia, se¬hingga pantasnya dia dinamakan monyet yang mirip manusia. Bahkan dari bibir monyetnya itu menonjol keluar dua buah taring di kanan kiri! Hanya kulitnya saja yang tidak seperti monyet, karena kulit muka dan tangannya tidak berbulu, dan rambutnya juga seperti rambut manusia, pendek sampai di pundaknya dan masih banyak hitamnya. Kedua tangannya besar, seperti tangan manusia, akan tetapi ke¬dua lengannya panjang melampaui lutut¬nya, ciri lengan tangan monyet! Dan biarpun wajahnya menyeramkan seperti monyet, akan tetapi suaranya halus dan lemah lembut seperti suara seorang pen¬deta, dan pakaiannya amat sederhana! Padahal dia adalah orang nomor satu dari Im-kan Ngo-ok, dan dia inilah yang disebut Twa-ok (Jahat Nomor Satu) ber¬nama Su Lo Ti, sebuah nama yang ber¬asal dari Pegunungan Himalaya, dan dia ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Koksu Nepal! Tentu saja, sebagai Twa-ok, kepandaiannya juga amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat sutenya yang hanya menduduki tingkat Sam-ok, dan dalam hal kekejaman, kiranya tidak ada lawannya di dunia ini! Akan tetapi hebatnya, biarpun wajahnya menyeramkan dan bengis, sikap dan suaranya lemah lembut seperti orang yang sabar dan memiliki watak budiman! Empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang kesemuanya sudah menyembunyikan diri selama belasan tahun, bertapa di tempat persembunyian mereka, menjauhkan diri dari dunia ramai itu, semua berpakaian sederhana sekali. Pakaian, cara kehidup¬an, dan sikap sederhana ini selalu me¬narik perhatian orang dan menimbulkan rasa hormat dalam hati setiap orang. Benarkah semua itu yang dinamakan kesederhanaan? Kita sudah terbiasa un¬tuk menilai segala sesuatu dari lahiriah belaka. Dan kita selalu mengejar sesuatu juga untuk kepentingan kesenangan diri sendiri dengan dasar-dasar lahiriah pula. Kesederhanaan adalah suatu hal yang menyangkut suatu keadaan rohani, keada¬an batiniah yang tidak ada sangkut-paut¬nya dengan keadaan jasmaniah atau la¬hiriah. Seorang pertapa boleh jadi hanya mengenakan cawat saja sebagai penutup tubuh, hanya makan sehari sekali atau kurang dari makanan seadanya, akan tetapi belum tentu dia itu berjiwa se¬derhana! Ada orang-orang yang kelihatan sederhana. Namun kesederhanaannya itu dipergunakannya sebagai pameran, me¬mamerkan kesederhanaannya, agar semua orang tahu bahwa dia adalah orang se¬derhana! Kesederhanaan macam ini ada¬lah kesederhanaan palsu, biarpun dia telah menyiksa tubuhnya sendiri, memaksa tubuhnya agar melaksanakan apa yang dianggapnya kesederhanaan. Kesederhana¬an yang diakuinya sendiri, dirasakannya sendiri ini hanyalah kesederhanaan pura-pura yang pada hakekatnya tak lain tak bukan hanyalah suatu kesombongan yang terselubung, suatu pamrih atau keinginan menonjolkan diri yang dibungkus dan diberi etiket berbunyi: Kesederhanaan! Kesederhanaan lahiriah yang disengaja seperti itu hanyalah merupakan daya upaya, merupakan cara untuk mencapai sesuatu belaka, yaitu: Agar orang lain tahu bahwa dia sederhana, bahwa dia suci, baik dan sebagainya yang pada akhirnya hanya menunjukkan bahwa dia berpamrih agar terpandang! Dan “terpan¬dang” ini merupakan sesuatu yang me¬nyenangkan hati! Jadi kesimpulannya adalah bahwa dia mempergunakan keseder¬hanaan lahiriah sebagai kedok untuk me¬ngejar kesenangan! Ada pula orang yang sengaja hidup sederhana, bertapa di gunung-gunung dan gua-gua, berpakaian setengah telanjang, jarang makan minum, menyiksa diri. Akan tetapi semua itu pun merupakan bentuk pemaksaan belaka, semua itu pun merupakan suatu jalan untuk mencapai sesuatu, oleh karena itu pun palsu ada¬nya. Hanya sebagai cara memenuhi ke¬inginannya, mencapai sesuatu dan segala yang berpamrih sudah pasti palsu ada¬nya, tidak WAJAR! Mungkin si pertapa yang menyiksa diri memaksa diri seder¬hana itu menghendaki sesuatu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan duniawi, bukan menghendaki harta, bukan pula menghendaki nama, atau menghendaki kedigdayaan yang kesemuanya adalah duniawi, bukan pula ingin memperoleh kemuliaan duniawi, akan tetapi meng¬inginkan sesuatu yang dinamakannya “le¬bih tinggi” yang pada umumnya dinama¬kan “kesempurnaan”, atau “kesucian”, atau “kebahagiaan”, bahkan ada pula yang menyebutnya Tuhan! Akan tetapi, semua sebutan itu pasti dihubungkan sebagai hal yang MENYENANGKAN! Baik itu kesempurnaan, kebahagiaan atau lain¬nya, tentu digambarkan oleh PIKIRAN sebagai sesuatu YANG MENYENANGKAN, atau yang lebih baik, lebih enak, lebih menyenangkan daripada yang sekarang ada padanya! Dengan demikian, kembali lagi lingkaran setan itu terbukti, bahwa yang dikejar adalah kesenangan! Baik jas¬maniah, atau pun batiniah, tetap saja yang dicari-cari adalah kesenangan me¬nurut ukuran pikiran! Karena yang selalu mengukur sesuatu dengan untung rugi, dengan senang susah, yang selalu menge¬jar-ngejar kesenangan adalah pikiran itulah! Kesederhanaan, seperti cinta kasih seperti juga kebenaran, kebaikan, ke¬bajikan dan sebagainya, jelas tidak dapat dilatih! Karena sesuatu yang dilatih itu berarti penekanan, berarti pemaksaan, dan sesuatu yang dilatih itu sudah pasti mengandung pamrih untuk memperoleh sesuatu! Dan kalau sudah ada pamrih, dan semua pamrih selalu berputar untuk kemudian menuju kepada pencapaian kesenangan sendiri, apakah itu dapat dinamakan kesederhanaan lagi? Keseder¬hanaan, seperti juga kebaikan atau ke¬bajikan, adalah suatu keadaan, bukan suatu hal yang mati. Sekali kita merasa bahwa kita baik, maka itu bukanlah baik lagi namanya! Sekali kita menganggap bahwa kita sederhana, itu tiada lain hanyalah kesombongan yang berselubung dengan cap kesederhanaan. Kita dapat melihatnya semua ini secara gamblang di dalam diri kita sendiri kalau kita mau membuka mata setiap saat dan meman¬dang diri sendiri. Dan untuk mengenal apa yang di¬namakan cinta kasih, kebahagiaan, ke¬indahan, keagungan alam, apa yang dinamakan kekuasaan Tuhan yang biasanya kita hanya menerima saja dari pendapat-pendapat yang sudah ditentukan oleh kitab dan para ahli, untuk dapat mengenal itu semua secara nyata, bukan hanya teori belaka, bukan hanya harapan belaka, dibutuhkan jiwa yang sungguh-sungguh sederhana! Dan kesederhanaan tak mung¬kin ada selama di situ terdapat aku yang berpamrih, aku yang ingin senang, selama terdapat pikiran yang mencari-cari hal yang menyenangkan. Batin yang hening, tidak dibikin hening dengan sengaja, me¬lainkan batin yang hening dengan sen¬dirinya, bukan buatan, batin yang tidak pernah mengharap, tidak pernah meng¬inginkan sesuatu yang tidak ada, batin demikian ini yang berada dalam keadaan sederhana. Namun sayang, sejak kecil kita sudah terbiasa oleh hal-hal yang palsu. Pen¬dapat-pendapat umum yang dibangun semenjak kita dapat berpikir, mempenga¬ruhi kita, membutakan mata kita betapa palsunya semua itu. Kita menjadi buta dan hanya melihat hal-hal lahiriah belaka. Oleh karena itu maka kebanyakan dari kita mempergunakan hal-hal lahiriah ini untuk mengelabuhi orang lain, yang tentu saja bersumber lagi kepada pamrih untuk menarik keuntungan lahir batin sebanyaknya, pamrih untuk mengejar kesenangan pribadi. Empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu tentu saja hanya mempergunakan pakaian dan sikap sederhana untuk pamer belaka. Biarpun tidak kelihatan demikian, namun seolah-olah mereka itu berkaok-kaok, “Lihat nih! Aku adalah orang sederhana, lain daripada yang lain! Aku bukan orang biasa! Aku sederhana dan baik, suci dan sebagainya!”. Ketika mendengar teguran twako mereka, Ngo-ok dan Su-ok menjadi me¬rah mukanya, akan tetapi pada saat itu, Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah berkata de¬ngan suaranya yang nyaring melengking, “Hai, Twa-ko! Yang mendekati ilmumu hanya aku, mari kita berlomba memper¬mainkan dua orang iblis ini!” “Hemmm, kau boleh lihat, Ji-moi. Dua ekor kera ini boleh kita jadikan alat percobaan!” Memang menggeiikan sekali mereka itu. Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang memakai topeng tengkorak dan lebih mirip iblis daripada manusia itu paling suka me¬namakan orang lain iblis, dan sebaliknya Twa-ok Su Lo Ti yang mukanya benar-benar mirip kera itu paling suka me¬maki orang lain monyet! Demikianlah watak dan sifatnya orang-orang yang tidak pernah mau mengenal diri sendiri. Kalau saja mereka itu, se¬perti kita, mau pula untuk belajar hidup setiap hari, belajar mengerti hidup de¬ngan mengamati diri sendiri, mengenal diri sendiri setiap saat, maka kiranya mereka tidak akan mencela dan memaki orang lain. Kalau kita nnencela orang lain, ini sudah pasti terjadi karena kita menganggap diri sendiri sebagai orang baik, setidaknya lebih baik daripada dia yang kita cela. Akan tetapi benarkah demikian? Mari kita bercermin setiap hari, bukan hanya bercermin untuk melihat wajah kita setiap hari, melainkan terutama sekali bercermin setiap seat dengan mengamati diri sendiri dalam hubungan kita setiap hari dengan orang lain atau dengan benda, dengan pikiran dan apa saja, yaitu mengamati setiap saat segala macam pikiran kita, perasaan kita, gerak-gerik kita lahir batin. Bukan mengendalikan diri sendiri. Bukan me¬ngoreksi diri sendiri, bukan mencari ke¬salahan diri sendiri, karena semua itu merupakan bentuk-bentuk perlawanan dan pemaksaan belaka yang akhirnya ternyata adalah permainan pikiran yang berpamrih menghendaki sesuatu yang “lebih”! Me¬ngamati saja, memandang saja, dengan penuh perhatian, tanpa mencela atau memuji, tanpa pamrih sama sekali. Da¬patkah? Tiba-tiba Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Twa-ok Su Lo Ti bergerak hampir bersamaan, meloncat ke depan dan ketika kedua orang ini menggerakkan tangan ke depan, Ngo-ok dan Su-ok terpaksa ming¬gir dan melompat ke belakang karena ada suara angin mencicit keluar dari gerakan mereka berdua itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tadi dipermainkan oleh Ngo-ok dan Su-ok, kini tiba-tiba merasa ada angin menyambar dahsyat. Keduanya cepat membalik dan berusaha menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang, akan tetapi tiba-tiba saja tangan mereka yang menangkis itu seperti lumpuh dan tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, tahu-tahu tengkuk mereka telah dipegang dan tubuh mereka telah diangkat ke atas lalu dilontarkan! Ji-ok menangkap Hek-tiauw Lo-mo dan melontarkan kakek raksasa itu ke arah Twa-ok, sebaliknya Twa-ok telah mencengkeram tengkuk Hek-hwa Lo-kwi dan kini melontarkan tubuh kakek ini ke arah Ji-ok! Ji-ok menerima tubuh Hek-hwa Lo-kwi, memandang wajah kakek ini sambil berkata, “Wajahmu tidak buruk!” Padahal wajah Hek-hwa Lo-kwi seperti tengkorak hidup! Agaknya karena mirip tengkorak itulah maka dia dipuji, akan tetapi tahu-tahu tubuh kakek ini sudah melayang lagi ke udara, berbareng dengan tubuh Hek-tiauw Lo-mo yang juga melayang kem¬bali ke arah Ji-ok. Demikianlah, dua orang pertama dan ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu telah mempermainkan tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi seperti dua orang anak kecil bermain bola saling mengoperkan tanpa dua orang kakek iblis itu mampu melawan! Tentu saja dua orang kakek iblis yang berkepandaian tinggi itu berusaha me¬lawan, akan tetapi setiap kali mereka menggerakkan tangan untuk memukul, lengan mereka menjadi lumpuh karena mereka jauh kalah cepat, lebih dulu di¬totok lumpuh untuk beberapa menit la¬manya dan dilontar-lontarkan di antara dua orang manusia aneh itu! Tentu saja dua orang kakek itu marah bukan main, marah, penasaran dan merasa terhina dan malu sekali! Akan tetapi dalam adu ilmu secara aneh ini nampak betapa Ji-ok masih kalah setingkat, buktinya, tubuh dua orang kakek iblis itu lebih gencar me¬layang ke arah Ji-ok sehingga nenek ini menjadi kewalahan! Baru saja dia me¬lontarkan tubuh seorang kakek kembali kepada Twa-ok, tubuh kakek ke dua su¬dah datang menyambar, dan sambaran itu makin lama makin berat terasa olehnya, tanda bahwa Twa-ok menambah tenaga lontarannya! “Ah, Twa-ko dan Ji-ci, harap suka hentikan main-main itu!” Tiba-tiba ter¬dengar suara orang berseru keras dan kaget. “Mereka itu adalah pembantu-pembantu kita sendiri!” “Ha-ha-ha, Sam-ko telah mengkhawa¬tirkan orang-orangnya!” Terdengar si gendut pendek Su-ok tertawa. Akan tetapi mendengar suara Koksu Nepal ini, dua orang yang sedang ber¬main-main itu lalu melontarkan tubuh dua orang kakek itu ke arah Ban Hwa Sengjin! Koksu Nepal ini mengebutkan kedua tangannya dan tubuh dua orang kakek itu meluncur turun ke atas tanah. Setelah kini tidak tertotok lagi, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi ber¬seru keras, berjungkir balik dan turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri dan tidak terbanting. Mereka memandang kepada Twa-ok dan Ji-ok dengan mata marah, kemudian mereka mengeluarkan suara menggereng dan siap untuk mener¬jang maju. “Sudahlah, Lo-mo dan Lo-kwi. Mereka ini adalah saudara-saudaraku sendiri!” Koksu ini berkata kepada dua orang pem¬bantu itu. “Mereka itu menghina kami!” berkata Hek-tiauw Lo-mo dengan marah. “Tidak ada orang boleh mempermain¬kan kami seperti itu!” Hek-hwa Lo-kwi juga berkata dengan geram. “Sudahlah, dua orang kakakku ini memang gemar bermain-main dan andai¬kata mereka tidak tahu bahwa kalian adalah orang-orang sendiri, apakah kalian kira saat ini kalian masih dapat hidup?” kata pula Ban Hwa Sengjin dengan suara sungguh-sungguh. Dua orang kakek iblis itu terpaksa membenarkan pendapat ini karena kalau mereka tadi menghendaki, dua orang itu tentu sudah dapat mem¬bunuh mereka berdua dengan amat mudahnya. Diam-diam mereka bergidik me¬nyaksikan kehebatan ilmu kepandaian empat orang di antara Ngo-ok itu. “Ah, Koksu yang mulia, sungguh tidak melanggar janji. Sayangnya masih ada orang-orang yang mengintai kami, apakah Koksu sengaja menyambut kami dengan mata-mata yang menyelidik?” tanya Twa-ok Su Lo Ti, suaranya masih halus se¬perti tadi. “Heh-heh-heh, agaknya Koksu sudah kurang percaya kepada kita, Twa-ko!” kata Ji-ok Kui-bin Nio-nio sambil ter¬tawa. Koksu Nepal itu mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya. “Hemmmmm, hemmm.... mengapa Twa-ko dan Ji-ci menyebut koksu kepadaku? Tidak seperti Su-te dan Ngo-te yang masih bersikap biasa!” “Ha-ha-ha, mungkin pakaianmu, Sam-ko!” kata Su-ok sambil bergelak tertawa, sedangkan Ngo-ok hanya berdiri diam saja dengan muka muram dan mulut cemberut seperti orang ngambek. “Pakaianku, mengapa? Ah, pakaian mewah ini? Tentu saja aku harus me¬nyesuaikan diri dengan kedudukanku. Hendaknya Twa-ko dan Ji-ci ingat bahwa aku adalah koksu, yang memimpin negara yang rakyatnya berjuta orang! Aku harus menjaga nama dan kehormatan.” “Lalu bagaimana dengan mata-mata yang mengintai itu?” tanya pula Twa-ok, masih halus suaranya akan tetapi jelas nampak tidak senang. “Mata-mata yang mana yang Twa¬ko maksudkan? Aku datang, tidak tahu tentang mata-mata,” tanya Ban Hwa Sengjin. “Hi-hik, kalau begitu bukan mata-mata yang dipasang oleh Sam-te, Twa¬ko!” kata Ji-ok. “Aku tidak melihat orang lain!” kata Su-ok. “Twa-ko dan Ji-ci lihai, aku pun tidak melihat orang!” kata Ngo-ok, kini dia pun tertarik dan menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dan membuka kedua mata¬nya yang sipit dan seperti mau tidur terus saja itu. “Heh-heh, Twa-ko, kalau begitu mari kita sekali lagi bertanding ilmu, siapa yang dapat merobohkan mata-mata itu lebih dulu, dia lebih unggul!” kata Ji-ok dan nenek yang tidak peduli akan segala kecurangan ini sudah mendahului, tiba-tiba saja tangannya bergerak dan terdengar suara mencicit ketika jari te¬lunjuk tangannya menyambar hawa dingin ke arah semak-semak. Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak, tangan kanannya mendorong ke arah sebatang pohon. “Krakkkkk!” Biarpun kakek bermuka gorila itu bergerak belakangan, akan tetapi akibat hantamannya telah lebih dulu mengenai sasaran dan pohon itu roboh. Dari balik pohon itu berkelebat bayangan orang yang cepat bukan main dan dengan kibasan lengan bajunya, bayangan itu telah dapat menangkis tenaga dahsyat yang dilepas oleh Twa-ok Su Lo Ti tadi! Bahkan kini bayangan itu men¬celat ke belakang semak-semak yang diserang oleh pukulan jarak jauh dengan ilmu mujijat Kiam-ci (Jari Pedang) dari nenek bertopeng tengkorak itu. “Syeeettttt....!” Cabang ranting dan daun semak-semak itu berhamburan, akan tetapi tubuh Siang In telah didorong sampai terguling-guling oleh Kian Lee sehingga dara ini terbebas dari maut! Kiranya sejak tadi Kian Lee dan Siang In telah tiba di tempat itu dan diam-diam mereka melakukan pengintaian dengan hati-hati sekali. Orang-orang seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, juga yang lebih lihai lagi seperti Ngo-ok dan Su-ok, tidak melihat tempat per¬sembunyian mereka. Ban Hwa Sengjin juga tidak melihat karena memang kakek botak ini baru tiba, akan tetapi ternyata Twa-ok dan Ji-ok dapat mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya orang pertama dan orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu! Serangan kedua orang itu memang hebat bukan main karena mereka tadi menyerang untuk membunuh dan karena mereka mempergunakan serangan itu untuk menguji kepandaian masing-masing antara orang pertama dan orang ke dua, tentu saja mereka telah mengerahkan tenaga agar lebih dulu merobohkan la¬wan. Akan tetapi siapa kira, serangan mereka keduanya tidak berhasil dan kini muncullah seorang pernuda yang gagah dan tampan sekali bersama seorang dara yang amat cantik jelita dari dua tempat yang mereka serang tadi, berdiri ber¬dampingan dengan gagah perkasa dan penuh keberanian! Diam-diam Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengenal Kian Lee terkejut sekali. Mereka maklum akan kelihaian pemuda putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu, akan tetapi ka¬rena mereka masih merasa mendongkol kepada empat orang dari Im-kan Ngo-ok, maka, mereka diam saja, hendak me¬lihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Di lain fihak, Kian Lee juga kaget se¬kali ketika mengenal orang-orang yang amat lihai itu. Dia sudah mengenal Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi dua orang kakek iblis ini tidak membuat dia jerih. Hanya ketika mengenal Ban Hwa Sengjin, diam-diam dia merasa khawatir akan keselamatan Siang In karena dia tahu betapa lihainya Koksu Nepal ini. Dan biarpun dia belum me¬ngenal empat orang aneh yang lain itu, namun dari gerakan-gerakan mereka tadi saja dia sudah tahu bahwa mereka itu pun merupakan lawan-lawan yang amat tangguh! Sementara itu, Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang sejak tadi diam saja dan seperti orang mengantuk atau orang murung dan ngambek, tiba-tiba kini mem¬belalakkan matanya yang sipit, meman¬dang kepada Siang In dan seketika mu¬lutnya mengeluarkan air liur yang keluar dari ujung kiri mulutnya, hampir menetes turun akan tetapi sudah cepat disedotnya kembali ke dalam mulutnya. Dia mulai menyeringai, kemudian dia berkata, “Be¬rikan kuku ibu jarimu kepadaku!” Dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk dengan gerakan mengejutkan ke arah Siang In! Karena langkahnya panjang, dan lengan¬nya yang panjang sudah menyambar hen¬dak menangkap tangan Siang In, maka gerakannya itu cepat bukan main dan hampir saja lengan dara itu dapat di¬tangkapnya! “Ihhh!” Siang In menjerit dan tubuh¬nya mencelat ke belakang dengan hati penuh jijik melihat orang jangkung ini. Akan tetapi Ngo-ok yang melihat betapa sambarannya yang pertama dapat dielak¬kan, tahu bahwa dara yang luar biasa cantiknya itu ternyata memiliki kepan¬daian yang boleh juga, sudah menerjang lagi, kini kedua lengannya yang panjang itu seperti sepasang capit kepiting menyerang dari atas, tinggi sekali dan ke¬dua tangannya menyambar turun ke ba¬wah, dari kanan kiri menutup semua jalan lari dari Siang In! Teng Siang In adalah murid terkasih dari See-thian Hoat-su, maka selain ilmu sihir, tentu saja dia banyak mewarisi ilmu silat tinggi yang lihai dari gurunya itu. Menghadapi serangan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia terkejut akan tetapi tidak menjadi gugup. Payungnya sudah menyambar dan tubuhnya bergerak cepat, dia sudah mengelak dari sambaran tangan kiri, payungnya menangkis tangan kanan lawan dan secepat kilat dia balas menyerang dengan tendangan Soan-hong-twi! “Dukkk!” Biarpun payung di tangan Siang In membalik, namun tangan kanan kakek jangkung itu dapat tertangkis dan kini secara tiba-tiba saja kaki yang kecil mungil itu telah menyambar ke arah pusar Ngo-ok! Betapapun lihainya Ngo-ok Toat-beng Sian-su, akan tetapi dia tidak mau coba-coba menerima tendang¬an yang jelas dilakukan dengan pengerah¬an sinkang kuat itu dengan pusarnya ka¬rena hal ini amat berbahaya. Maka si jangkung ini cepat menekuk tubuhnya melengkung ke belakang sehingga ten¬dangan itu luput! Karena tubuh itu jang¬kung dan panjang sekali, maka dengan melengkung tengahnya ke belakang, dia sudah dapat mengelak dan tendangan pertama dari Siang In jauh dari sasaran¬nya. Akan tetapi ilmu tendangan Soan-hong-twi dari dara itu hebat bukan main. Biarpun tendangan pertama luput, akan tetapi tendangan ke dua, ke tiga, ke empat dan seterusnya datang bertubi-tubi menghujani bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari si kakek jangkung! Kini kakek itu agak repot juga. Tu¬buhnya yang panjang itu melengkang-lengkung ke sana-sini untuk mengelak dan beberapa kali kedua tangannya juga menangkis sehingga perkelahian itu ke¬lihatan ramai. Semua orang menonton dan tidak ada yang mempedulikan Kian Lee karena mereka tidak inginketinggalan menonton perkelahian itu! Akan tetapi, segera nampak keunggul¬an Ngo-ok. Setelah si jangkung ini dapat memulihkan ketenangannya menghadapi serangan tendangan dari dara itu, mulailah dia menangkis, kaki Siang In mem¬balik dan dara itu menyeringai kesakitan. Maklumlah Siang In bahwa lawannya memang hebat, maka tiba-tiba saja dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan cepat dia membentak, “Lihat siapa aku!” Mendengar ini, otomatis Ngo-ok me¬mandang ke arah wajah dara itu dan pada saat itu Siang In berseru nyaring, suaranya mengandung getaran hebat dan aneh, “Aku adalah ibumu, kau tidak lekas berlutut?” Tiba-tiba Ngo-ok mengeluarkan suara aneh, matanya terbelalak memandang wajah dara yang cantik jelita itu. Siapa tidak akan menjadi kaget dan heran ka¬lau tiba-tiba melihat ibunya yang telah puluhan tahun meninggal dunia itu kini berdiri di depannya dalam keadaan segar bugar? Seluruh tubuh Ngo-ok menggigil dan dia menjatuhkan dirinya berlutut! Pada saat itu, Siang In mengirim ten¬dangan Soan-hong-twi. “Duk-plak-desss....!” Tubuhnya yang jangkung itu terguling-guling dan pada saat itu terdengar suara melengking nya¬ring, suara yang dikeluarkan oleh Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Siang In terkejut karena suara ini menggetarkan jantungnya dan sekaligus membuyarkan kekuatan sihirnya atas batin Ngo-ok. Ngo-ok yang berguling¬an terkena tendangan bertubi-tubi itu, kini meloncat bangun dan menggosok-gosok matanya karena melihat bahwa “ibunya” sudah lenyap dan yang adalah dara cantik yang telah menendanginya seenaknya! “Arghhh....!” Dia menggereng, mak¬lum bahwa dia telah dipermainkan de¬ngan sihir, maka tiba-tiba saja tubuhnya sudah berjungkir-balik dan kini bagaikan badai mengamuk, tubuh yang membalik itu telah menyerang kalang-kabut ke arah Siang In! Dara ini terkejut bukan main. Untuk menggunakan sihirnya, amat sukar karena mencari wajah orang itu pun sudah amat sukar. Empat kaki dan tangan itu bergerak-gerak aneh, semua menyambar ke arahnya dengan cepat bukan main dan betapapun dia berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja dia kena ditampar dan ditendang. Tamparan ke tiga yang mengenai tengkuknya membuat dia terlempar dengan kepala pening dan tahu-tahu dia telah dirangkul Kian Lee dan sudah menggerakkan tangan menangkis tamparan berikutnya dari tangan panjang itu. “Desss....!” Kini tubuh yang berjung¬kir balik itu terlempar oleh tangkisan Kian Lee! Ngo-ok terkejut bukan main dan cepat dia bangkit berdiri sambil memandang dengan penuh perhatian kepada Kian Lee. Tak disangkanya betapa tangkisan itu mengandung hawa panas yang seperti hendak membakar seluruh langannya tadi, maka saking kagetnya dia telah membalik dan menghentikan serangannya. Siang In yang masih pening kini duduk di atas tanah sambil memijit-mijit tengkuknya yang kena ditampar tadi. Melihat Ngo-ok, Su-ok dan Ji-ok hendak maju, tiba-tiba Twa-ok Su Lo Ti berteriak, “Biarkan dia menghadapi aku! Dia sudah menjadi lawanku sejak pertama tadi!” Mendengar teriakan halus ini, tiga orang adik angkatnya itu tidak berani maju, sedangkan Ban Hwa Sengjin yang juga mengenal Kian Lee hanya meman¬dang dengan tenang. Dia merasa girang dengan munculnya saudara-saudaranya, karena hal itu berarti memperkuat ke¬dudukannya dan kini dia hendak menik¬mati tontonan menarik, betapa suhengnya atau juga twakonya itu akan menandingi pemuda yang dia tahu amat lihai ini. Dia merasa yakin bahwa suhengnya sudah pasti akan mampu mengalahkan pemuda ini, maka hatinya tidak khawatir dan dia hanya menonton dengan tenang. Juga Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan jantung berdebar tegang. Mereka mengenal kelihaian putera Pendekar Super Sakti, maka mereka kini ingin melihat sampai di mana kelihaian kakek seperti monyet besar itu. Kian Lee maklum bahwa dia meng¬hadapi banyak lawan tangguh. Tak di¬sangkanya bahwa sejak para penculik putera Ceng Ceng itu menuju ke lembah di mana dia akan bertemu dengan begini banyak orang lihai yang aneh-aneh dan belum pernah dijumpainya. Karena sudah terlanjur ketahuan, maka dia harus meng¬hadapi segala bahaya, untuk membela diri dan juga untuk menyelamatkan Siang In, karena dari sikap dan ucapan-ucapan mereka maklumlah dia bahwa dia ber¬hadapan dengan datuk-datuk dari kaum sesat yang amat jahat dan kejam sehing¬ga kalau sampai dia dan Siang In ter¬tawan, maka keadaan dan keselamatan dara yang cantik jelita itu pasti terancam hebat! Maka melihat betapa kakek yang se¬perti gorila itu kini melangkah maju menghampirinya, dia sudah siap dan diam-diam dia telah mengerahkan sinkangnya untuk menghadapi segala kemungkinan sambil matanya menatap tajam wajah lawan dan gerak-gerik lawan yang aneh. Dia melihat kakek itu berdiri biasa saja, dengan kedua kaki agak terpentang dan agak ditekuk, punggungnya membongkok dan kedua lengan panjang itu bergantung ke bawah, persis sikap seekor monyet besar! Kemudian, perlahan-lahan kedua tangan itu diangkat ke depan, dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap keluar, juga gerakan ini tiada ubahnya seekor monyet! Kian Lee belum pernah menyaksikan pasangan kuda-kuda ilmu silat seperti itu, kecuali kalau kuda-kuda itu dilakukan oleh seekor monyet yang hendak menyerang musuh! Akan tetapi dia tetap waspada dan ketika kakek itu menggerakkan tangan kiri yang mukanya menghadapi kepadanya itu, dia siap. “Wirrrrr....!” Angin yang dahsyat keluar dari tangan kiri kakek itu dan angin ini berpusing seperti angin puyuh, menyambar ke arah Kian Lee, disusul oleh sebuah tangan yang tiba-tiba “mu¬lur” sehingga biarpun jarak antara kakek itu dan dia ada dua meter jauhnya, bah¬kan lebih, tangan itu masih dapat men¬capainya dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepalanya! Hebat, pikir Kian Lee! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Melihat betapa angin pukulan tangan kiri itu berhawa dingin, dia lalu mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang dan dengan tangan kanannya dia menangkis cengkeraman itu sambil memperkuat kedudukan kuda-kuda kaki¬nya. “Dukkk!” “Ehhh....?” Kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan tangannya yang mulur tadi kini mengkeret kembali. Akibat pertemuan kedua lengan itu, cengkeram¬an kakek itu dapat tertangkis akan te¬tapi kuda-kuda kaki Kian Lee agar ter¬geser sedikit, tanda betapa kuatnya te¬naga sinkang kakek gorila itu! Hanya sebentar saja kakek itu ter¬heran dan kaget karena kini tangan ka¬nannya yang bergerak ke depan, juga mulur seperti tangan kirinya tadi. Kini tangan kanan itu didahului angin yang mengeluarkan suara mendesis-desis dan Kian Lee merasa betapa tangan yang kini menampar ke arah lehernya itu men¬datangkan hawa panas membakar! Dia pun tidak mau kalah, cepat mengerahkan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan kembali dia menangkis. “Desss....!” Pertemuan kedua lengan sekali ini lebih hebat lagi, keras lawan keras se¬hingga kini tubuh Kian Lee terhuyung ke belakang, akan tetapi kakek itu menjadi makin kaget dan matanya yang seperti mata monyet itu mendelik. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang berhasil menangkis serangan tangan kiri dan kanannya, dan yang juga menggunakan hawa Im-kang yang amat kuat kemudian tenaga Yang-kang yang juga amat dahsyat! “Kau.... kau.... dari Pulau Es?” ta¬nyanya kaget, karena dia mendengar bahwa hanya orang-orang dari Pulau Es saja yang memiliki kemampuan untuk menguasai dua macam tenaga Im dan Yang secara berselang-seling seperti itu. Kini Hek-tiauw Lo-mo mendapatkan kesempatan untuk mengejek, “Ha-ha-ha, baru puteranya saja sudah mengejutkan orang, apalagi kalau ayahnya yang da¬tang, agaknya si kaki buntung itu tidak ada yang berani melawannya!” Wajah kakek gorila itu berseri dan mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi dan taring yang menyeramkan, akan tetapi dia segera kembali bersikap lemah lembut. “Aha, kiranya kau benar putera Pendekar Siluman dari Pulau Es? Bagus, sudah lama memang aku ingin mencoba kelihaian Pulau Es.” Setelah berkata demikian, tiba-tiba kakek ini menggerak¬kan tubuhnya berpusing! Makin lama makin cepat tubuhnya berpusing, seperti seorang penari ballet yang mahir. Sukar sekali dilihat ke mana dia menghadap, akan tetapi tubuh yang berpusing itu mengeluarkan angin yang dahsyat, juga berpusing sehingga orang-orang yang ber¬dekatan cepat mundur. Tubuh itu kini menerjang ke arah Kian Lee dan dari pusingan itu nampak menyambar kaki atau tangan yang mencuat dengan cepat dan dahsyat secara tiba-tiba, tidak tentu mana yang diserangnya sehingga sukar untuk dijaga. Akan tetapi, Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti. Biarpun dia mak¬lum bahwa lawannya ini hebat bukan main kepandaiannya, bahkan lebih hebat daripada tingkat kepandaian Koksu Nepal, dan hal ini dapat diukurnya ketika dia dua kali menangkis pukulannya tadi, na¬mun dia tidak menjadi gentar. Kian Lee adalah seorang pemuda yang tenang dan waspada, maka kini dia mempergunakan ketenangannya itu untuk membentuk benteng pertahanan yang kokoh kuat. Dia tidak bergerak, hanya diam saja penuh kewaspadaan, hanya setiap kali ada kaki atau tangan menyambar saja maka dia bergerak untuk mengelak atau menangkis dengan pengerahan seluruh tenaga, ka¬dang-kadang tenaga Swat-im Sin-ciang, kadang-kadang tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Akan tetapi, kakek itu memang benar-benar hebat. Agaknya dia hendak mengu¬ras ilmu dari pemuda itu, maka dia se¬ngaja mempermainkan Kian Lee. Hal ini dirasakan pula oleh Kian Lee yang mulai menjadi pening juga ketika kakek itu berputaran di sekeliling tubuhnya. Sukar baginya untuk menyerang dan hanya mempertahankan diri saja tentu lama-lama dia takkan dapat bertahan terus. “Haittttt....!” Tiba-tiba dia menge¬luarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya mencelat ke sana-sini ketika Kian Lee mulai membalas dengan sera¬ngan-serangannya. Akan tetapi, terdengar kakek itu tertawa girang dan kakek itu menandinginya tanpa menyerang lagi, hanya mengelak ke sana-sini dengan tu¬buh masih berpusing. Melihat ini, sadariah Kian Lee bahwa fihak lawan akan mempelajari ilmu silatnya, maka dia lalu menyimpan kembali jurus-jurus Toat-beng Bian-kun, satu di antara ilmu silat tinggi yang dikuasai pemuda itu. Dia baru me¬ngeluarkan beberapa jurus dari melihat betapa ilmu silatnya ini tidak akan ber¬hasil merobohkan lawan, bahkan mungkin akan dapat dipelajari dan dicuri oleh kakek iblis ini sehingga kelak akan me¬rugikan pihak Pulau Es. Setelah memancing terus tanpa hasil, kakek itu menjadi jengkel juga maka dia berseru keras sekali, dari tubuhnya yang berpusing itu menyambar hawa pukulan dahsyat bukan main. Kian Lee yang su¬dah siap waspada itu menggunakan kedua tangannya menangkis, akan tetapi tetap saja tubuhnya terpental dan terbanting keras di atas tanah dan dia tak dapat bangkit karena kepalanya terasa pening! “Lee-koko....!” Siang In menjerit dan cepat menubruk pemuda itu, kemudian dara ini mengembangkan payungnya, me¬mandang kepada mereka sambil berteriak nyaring, “Kami berdua pergi!” Ngo-ok dan Su-ok terkejut, demikian pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena benar saja, tiba-tiba dara cantik dan pemuda itu lenyap dari situ! Akan tetapi kembali Ji-ok sudah me¬ngeluarkan suara melengking nyaring, suara lengking yang mengandung khikang amat kuatnya dan kini mereka berempat melihat betapa pemuda itu digandeng dan dibantu oleh dara itu sedang berjalan pergi meninggalkan tempat itu dengan diam-diam! Siang In yang menyangka bahwa sihir¬nya sekali ini berhasil, melihat betapa orang-orang tua yang buruk rupa itu ber¬diri diam tak bergerak, maka dia merasa girang sekali dan menarik lengan tangan Kian Lee agar cepat-cepat pergi dari tempat itu. Setelah dia merasa aman, dia menoleh dan tidak lagi melihat me¬reka, hatinya lega sekali, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar sesuatu. Dia mengangkat mukanya dan.... tujuh orang tua aneh itu kembali sudah berdiri di situ, mengurung dia dan Kian Lee! “Ohhh.... tidak....!” Dia menjerit dan kembali dia mengerahkan sihirnya, meng¬gerakkan payungnya yang terbuka me¬nutupi tubuh mereka berdua sambil ber¬seru nyaring sekali, “Kami berdua pergi!” Kembali terdengar Ji-ok Kui-bin Nio-nio mengeluarkan suara melengking dan Siang In cepat-cepat mengajak Kian Lee pergi, dibiarkan saja oleh tujuh orang tua itu. Ketika Siang In dan Kian Lee tiba di atas lapangan rumput, kembali ter¬dengar suara dan tujuh orang kakek itu telah mengurung mereka berdua! “Percuma, In-moi, mereka tidak ter¬pengaruh sihirmu“ Dengan perlahan Kian Lee berkata. Dia tahu apa yang terjadi. Sihir dari Siang In selalu di¬buyarkan oleh suara lengking dari nenek bertopeng tengkorak itu yang agaknya kebal terhadap pengaruh sihir nona itu. “Huh, kau mau lari ke mana? Kuku ibu jari tanganmu harus menjadi milik¬ku!” Kembali Ngo-ok Toat-beng Sian-su berseru dan lengannya yang panjang menyambar Siang In yang sudah lemah dan masih pening oleh tamparan tadi, berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pundaknya sudah kena diceng¬keram, kemudian tubuhnya diangkat ting¬gi sekali oleh tangan itu sampai dia menjerit ketakutan. Kakek itu memang sudah amat tinggi, kini lengannya yang panjang itu mengangkat tubuh Siang In ke atas, tentu tingginya lebih dari tiga meter dari tanah! “Huh!” Kini tangan kiri kakek itu sudah mencengkeram ke arah pakaian Siang In, siap untuk merobeknya karena Ngo-ok ini akan memperlihatkan kekejam¬annya yang luar biasa, yaitu memperkosa dara itu di depan mata semua orang begitu saja sebelum disiksa dan dicabuti kukunya, dibeset-beset kulit dagingnya sampai mati seperti biasa! Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin sudah mengenal kebiasaan Ngo-ok ini, maka tiba-tiba dia berkata dengan suara yang nyaring berwibawa, “Ngo-te, jangan laku¬kan itu! Kaulepaskan dia!” Sejenak si jangkung itu menentang pandang mata koksu, mukanya yang su¬dah muram itu makin keruh dan dia seperti akan menangis, mula-mula dia seperti hendak menentang, akan tetapi akhirnya dia melemparkan tubuh Siang In. “Brukkk....!” Dara itu merangkak mendekati Kian Lee yang masih lemah dan pening. “Sam-ko, apa artinya sikapmu ini?” Ngo-ok menuntut dengan suara marah. “Ha-ha-ha-ha-ha, setelah menjadi koksu, Sam-ko telah berubah rupanya! Telah menjadi lemah dan menaruh kasih¬an. Ha-ha-ha! Betapa lucunya, ada se¬orang anggauta Ngo-ok yang menaruh kasihan! Ha-ha-ha, kalau begitu memang sepatutnya disebut koksu saja!” “Sute, jangan bicara sembarangan kau!” Tiba-tiba koksu berkata, suaranya terdengar nyaring. “Aku sama sekali tidak lemah seperti yang kalian kira! Akan tetapi aku ingin bertanya dulu, kalian berempat ini, sudah sudi datang ke sini atas undangan dan permintaanku, sebetulnya mau apakah? Apakah hanya mau mempermainkan anak yang tidak ada artinya ini? Ataukah mau membantu gerakan kami yang besar, yang kelak akan dapat mengangkat nama kita se¬bagai Ngo-ok sehingga nama kita menjadi termasyur dan harum sampai selama-lamanya?” “Tentu saja kita semua ingin mem¬bantumu, Sam-te. Kalau tidak, perlu apa kita meninggalkan tempat klta yang aman dan enak!” kata Twa-ok. “Benar, tanpa dasar itu, perlu apa aku berkeliaran ke sini?” kata pula Ji-ok. “Ha-ha-ha, benar juga. Aku pun be¬gitu, akan tetapi aku tetap tidak me¬ngerti, mengapa kau melarang Ngo-te untuk bermain-main dengan gadis ini agar aku dapat menonton dengan enak!” “Ya, pertanyaan itu harus dijawab!” kata Ngo-ok. “Kalian tahu bahwa aku adalah se¬orang koksu yang memimpin pergerakan besar yang dikepalai oleh Pangeran Bha¬ruhendra dari Nepal! Ini urusan besar, urusan negara, mengertikah kalian? Ka¬rena kita adalah orang-orang penting yang memegang puncak pimpinan, maka kita harus mementingkan urusan negara dan pergerakan lebih dulu. Urusan pri¬badi adalah urusan kecil dan kelak kalau sudah selesai pergerakan ini, biar Ngo-ok mau mempermainkan puteri-puteri cantik sehari sampai seratus orang, siapa peduli? Akan tetapi kalau kini dia me¬lakukan hal itu, lalu terlihat oleh semua anak buah, apa akan kata mereka? Tentu akan merendahkan nama puncak pimpinan dan juga memberi contoh buruk sehingga akan ditiru oleh para pasukan. Kalau pasukan melakukan hal seperti itu, me¬nuruti nafsu belaka, apa gunanya mereka dalam perang? Tentu pergerakan kita akan gagal!” Ngo-ok bersungut-sungut, akan tetapi dia mengangguk dan tangannya menge¬luarkan seuntai kuku yang bermacam-macam bentuknya, akan tetapi semua kuku yang diuntai itu adalah kuku wanita-wanita yang telah menjadi korbannya. “Sayang.... kuhitung kemarin.... empat ratus kurang satu! Kalau ditambah kuku¬nya, genap empat ratus....“ Siang In mengkirik dan mau muntah menyaksikan kuku-kuku yang diuntai itu dan tanpa disadari dia menggenggam semua kuku jarinya, seolah-olah hendak menyembunyikan kuku-kuku itu agar ja¬ngan dicabut! “Ha-ha-ha, omongan Sam-ko sebagai koksu memang hebat!” Si pendek gundul mengacungkan ibu jari tangan kanannya ke atas tinggi-tinggi, akan tetapi karena tubuhnya cebol, tetap saja ibu jarinya tidak mencapai perut si jangkung Ngo-ok. “Lalu, ingin sekali aku melihat ba¬gaimana keputusan seorang koksu negara besar terhadap dua orang mata-mata musuh yang tertangkap. Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa seorang koksu amat bijaksana dan keputusannya ditaati se¬mua orang, adil dan memuaskan. Ha-ha-ha, yang mulia Koksu, hukuman apa¬kah yang harus dijatuhkan kepada dua orang mata-mata ini? Ataukah mereka itu akan dibebaskan begitu saja?” Akan tetapi Ban Hwa Sengjin tidak mempedulikan ejekan dari Su-ok itu, dan dengan sikap keren dan berwibawa dia lalu menghadapi Kian Lee yang masih menunduk pening dan Siang In yang mu¬lai merasa ngeri menyaksikan sikap orang-orang aneh yang luar biasa lihainya itu. Ketika tadi mendengar bahwa pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, Ban Hwa Sengjin terkejut dan dia pun tidak berani main-main. Bermusuhan dengan Pulau Es merupakan suatu hal yang amat berba¬haya, pikirnya. Akan tetapi, setelah pe¬muda ini menentang mereka, lebih baik kalau dibunuh saja agar jangan sampai ada yang tahu dan kalau tidak ada saksi¬nya, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan tahu pula ke mana lenyapnya pute¬ranya ini dan siapa yang membunuhnya! Akan tetapi, dia adalah seorang koksu, tidak bisa membunuh secara begitu saja, dan dia harus memperlihatkan wibawanya! “Heh, kalian dua orang muda yang sudah lancang menjadi mata-mata dan menentang kami, dengarlah baik-baik keputusanku! Menurut patut, kalian me¬mang sudah semestinya dihukum mati dan sudah patut pula kalau Ngo-ok Toat-beng Sian-su mempermainkan kalian lalu membunuh kalian. Akan tetapi, kami adalah orang-orang yang tahu akan per¬aturan, tahu akan hukum, maka kalian akan dijatuhi hukuman menurut aturan! Akan tetapi, tidak ada hukuman tanpa pembelaan, maka kalian kuberi kesem¬patan untuk menentukan hukuman kalian. Kalian boleh mengeluarkan pendapat terakhir dan kalau pendapat kalian itu tepat, hukuman kalian akan lebih ringan!” Sampai di sini, Ban Hwa Sengjin ter¬senyum-senyum dan memandang kepada para saudaranya untuk melihat reaksi mereka. Empat orang saudaranya itu memandang kagum dan Siang In meman¬dang penuh harapan, sedangkan Kian Lee masih menunduk saja. “Orang tua, lekas katakan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada kami? Dan benarkah engkau ini seorang pem¬besar tinggi?” Siang In bertanya, bingung menyaksikan sikap mereka yang aneh-aneh itu. Ban Hwa Sengjin tersenyum lebar. “Nona cilik, ketahuilah olehmu bahwa aku adalah Ban Hwa Sengjin, aku adalah koksu dari negara Nepal yang agung, dan bahwa keputusanku merupakan hukum yang harus dilaksanakan. Nah, kalau kali¬an mengeluarkan pendapat yang keliru dan tidak tepat, kalian akan kuserahkan kepada Ngo-ok Toat-beng Sian-su agar menyiksa kalian sampai mati, dan mungkin saja kuku ibu jarimu itu akan me¬lengkapi koleksinya, Nona!” Siang In ber¬gidik ngeri melihat wajah si jangkung itu makin muram, dan wajah si pendek ter¬kekeh geli, sedangkan nenek muka teng¬korak dan kakek gorila itu memandang seperti patung, sedikit pun tidak ber¬gerak atau berkedip. “Dan kalau pendapat kami benar kau akan membebaskan kami?” Siang In ber¬tanya penuh harapan. Dia akan dapat mengandalkan kecerdikannya untuk men¬cari kata-kata yang benar atau tepat agar dapat selamat. Akan tetapi dengan muka keren Ban Hwa Sengjin berkata, suaranya lantang sekali, “Mana ada aturan membebaskan orang yang bersalah? Kalau pendapat kalian benar, kalian memperoleh keringan¬an, yaitu bukan dihukum mati, melainkan dihukum potong hidung dan kedua telinga agar semua orang selamanya akan tahu bahwa kalian telah berani melakukan dosa terhadap Koksu Nepal!” Mendengar ini, Su-ok Siauw-siang-cu bertepuk tangan memuji dan tertawa gembira. “Ha-ha-ha-ha-ha, kiranya Sam-ok Ban Hwa Sengjin masih mempertahan¬kan gelarnya!” Memang, begitu berkumpul dengan saudara-saudaranya, kumat lagilah watak Sam-ok ini. Dia mempermainkan orang, memberi harapan, akan tetapi hanya un¬tuk di “banting” dengan keputusan hu¬kuman yang mengerikan itu, hanya untuk membuktikan bahwa kejahatan dan ke¬kejamannya masih belum berubah dan dia masih patut menjadi Sam-ok! Tentu saja luar biasa kejamnya menghukum orang-orang muda yang begitu tampan dan begitu cantik jelita dengan potong hi¬dung dan telinga, hukuman yang bahkan lebih berat daripada mati! Mendengar ini, biarpun mukanya masih keruh, Ngo-ok sudah menggosok-gosok kedua tangannya yang panjang dan menjilat-jilat bibirnya yang basah karena kembali dia sudah mulai mengilar. Kini agaknya dia akan memperoleh kesempatan untuk menonjol¬kan kekejamannya di depan saudara-saudaranya! Dan sekali ini untuk melak¬sanakan “hukuman”, jadi demi negara dan pergerakan! Mendengar ucapan Koksu Nepal itu, marahlah Suma Kian Lee. Dia masih pening dan belum dapat bangkit untuk melawan, akan tetapi dia mengangkat muka dan memandang kakek raksasa yang botak itu. “Ban Hwa Sengjin, bagus sekali omonganmu! Engkau sebagai se¬orang Koksu Negara Nepal telah me¬rencanakan pemberontakan dengan Gu¬bernur Ho-nan, siapa yang tidak tahu akan hal itu? Sekarang aku telah ter¬jatuh ke tanganmu, mau bunuh hayo bunuhlah, siapa sih yang takut mati? Tidak perlu lagi engkau mengeluarkan segala omongan kosong!” Akan tetapi Siang In memegang le¬ngan pemuda itu dan cepat dia menda¬hului koksu itu, berkata, “Koksu, aku mendengar bahwa pangkat koksu amatlah tinggi dalam sebuah negara, dan bahwa kata-kata koksu merupakan keputusan yang harus ditaati, hampir sama kuatnya dengan kata-kata keputusan raja sendiri. Sekali seekor koksu mengeluarkan kata-kata, maka kata-katanya itu merupakan keputusan yang tidak boleh dibantah, tidak boleh ditarik mundur kembali. Pen¬deknya, seorang koksu berbeda dengan seekor anjing keparat yang curang dan yang suka makan tahi, bukan?” Siang In sengaja berkata-kata dengan nyaring dan panjang lebar ketika dia melihat datang¬nya rombongan pasukan penjaga. Itulah pasukan penjaga pintu gerbang benteng Kui-liong-pang yang tertarik oleh suara ribut-ribut dan puluhan orang perajurit kini mengepung tempat itu dan tentu saja ikut mendengarkan. Muka Koksu Nepal itu sudah menjadi merah karena dia merasa dihina. “Bocah lancang mulut, apa maksudmu?” “Maksudku, Koksu, bahwa seorang koksu adalah seorang yang tentu me¬megang kata-katanya yang dianggap lebih berharga daripada nyawa, bukan seorang yang suka menjilat kembali kata-katanya seperti anjing yang suka makan tahi. Koksu, aku hendak bertanya apakah eng¬kau biasa suka makan tahi?” Sepasang mata itu mendelik dan Kian Lee menjadi heran dan bingung. Akal apa yang hendak dipergunakan Siang In maka dara ini begitu nekat membakar hati koksu sedemikian rupa yang mendekati penghinaan paling besar? “Ha-ha-ha-ha-ha! Baru ini aku men¬dengar seorang koksu dipermainkan bocah cilik, ditanya apakah biasa makan tahi? Hi-hik, Ngo-te, bagaimana sih rasanya tahi orang? Mungkin enak juga, ya?” “Bocah perempuan bosan hidup, kalau kau bermaksud menghinaku....!” Ban Hwa Sengjin hampir tak dapat menahan ke¬sabarannya lagi karena dia melihat be¬tapa di antara para perajurit juga ada yang menutupi mulut tanda bahwa me¬reka juga merasa geli. Siang In mengangkat kedua tangan ke depan. “Sabar.... sabarlah, Koksu yang mulia! Aku tidak menghina, aku hanya bertanya, karena aku pun tentu saja tidak percaya bahwa Koksu suka men¬jilat ludah sendiri, suka menarik janjinya sendiri. Seorang koksu negara tidak mung¬kin menarik kata-katanya sendiri, juga seorang locianpwe tingkat atas, baik dari dunia terang maupun gelap, kiranya akan menjaga nama dan tidak sudi menarik janjinya sendiri.” “Sudah tentu saja tidak! Lebih baik mati daripada menarik janji sendiri!” kata koksu yang cerdik itu. “Aku ber¬janji, dengarkan kalian semua! Aku ber¬janji kepada Nona ini dan kepada pe¬muda ini bahwa mereka boleh mengaju¬kan pendapat yang terakhir. Kalau pen¬dapat mereka itu tidak tepat dan keliru atau bohong, mereka akan di jatuhi hu¬kuman mati dan pelaksanaannya akan diserahkan kepada Toat-beng Sian-su! Sebaliknya kalau pendapat mereka itu tepat, benar dan tidak bohong, mereka akan dihukum dengan potong hidung dan kedua telinga, tidak dibunuh. Nah, kata-kataku ini siapa yang berani membangkang atau menarik kembali?” Siang In kini bangkit berdiri, tangan kanannya masih menggandeng tangan Kian Lee yang masih duduk di atas ta¬nah. Dengan wajah berseri dia berkata lantang, “Koksu yang terhormat, maukah engkau bersumpah bahwa engkau akan ¬menepati janjimu?” Ban Hwa Sengjin makin marah, me¬ngepal tinju dan tentu dia sudah, meng¬hantam remuk kepala anak perempuan itu di saat itu juga kalau saja tidak ada begitu banyak orang yang menonton. “Tidak perlu sumpah, aku memper¬taruhkan kedudukanku sebagai koksu dan sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok!” teriaknya berang. “Sudahlah, In-moi, biar aku yang me¬nyatakan pendapatku sebagai ucapan terakhir seorang gagah....” “Sssttttt....! Kau tidak boleh bicara apa-apa, Koko. Akulah yang bertanggung jawab dan aku yang mewakili kita ber¬dua,” kata Siang In. Melihat dara dan pemuda itu bisik-bisik, Ban Hwa Sengjin ingin melampias¬kan rasa mendongkolnya karena merasa dihina dan dipermainkan oleh dara itu. “Kami masih mempunyai banyak urusan penting, dan urusan orang-orang seperti kalian berdua adalah urusan kecil yang harus segera diselesaikan. Hayo ucapkan pendapat kalian yang terakhir. Kami memberi waktu hitungan sampai dua puluh. Su-ok, kauhitunglah!” Kakek pendek gendut itu tertawa dan dasar orang licik bukan main, dia lalu menghitung dengan kecepatan membalap, “Satu-dua-tiga....” dan selanjutnya, akan tetapi hitungannya sedemikian cepatnya sehingga sebentar saja dia sudah meng¬hitung sampai lima belas. Kian Lee me¬mandang dara itu dengan jantung ber¬debar penuh ketegangan. “Berhenti!” tiba-tiba Siang In berseru nyaring, “Dengarkan pendapat kami yang terakhir!” Kakek pendek gendut itu berhenti dan suasana menjadi sunyi bukan main, sunyi yang amat menegangkan karena setiap orang seolah-olah menahan napas ingin mendengar apa yang akan menjadi pen¬dapat atau ucapan terakhir dari dara itu. Suma Kian Lee juga menahan napas ka¬rena pemuda ini berpikir, apa artinya mengucapkan pendapat terakhir? Apa pun pendapatnya, tidak ada pilihan lain, kalau ucapan itu tepat dihukum potong hidung dan telinga, kalau tidak tepat dibunuh. Lebih baik mengatakan sesuatu yang dapat memukul atau menusuk hati mereka dan biarlah dibunuh, karena hiduppun apa gunanya kalau dipotong hidung dan telinganya? Apalagi bagi seorang dara seperti Siang In! Tiba-tiba Kian Lee merasa kasihan sekali kepada dara itu dan tak disadarinya dia menggenggam tangan dara itu lebih erat lagi. Dia tahu nasib apa yang menanti Siang In. Kalau dipotong hidung dan telinganya, dara itu akan menjadi seorang yang berubah menakutkan, dan itu lebih hebat daripada mati. Kalau dihukum bunuh, tentu akan dihina dan diperkosa lebih dulu oleh si jangkung tanpa dia mampu menolongnya. Maka dia sudah mengambil keputusan, sebelum dijatuhkan hukuman kepada dia dan Siang In, dia akan menggunakan te¬naga terakhir untuk membunuh dara itu! Lebih baik dia membunuh dara itu dari¬pada dara itu mengalami penghinaan yang hebat!. Siang In menoleh dan memandang kepada Kian Lee karena merasa tangan¬nya digenggam erat, dia tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya kepada pemuda itu! Bukan main! Dalam keadaan seperti itu, dara ini masih pandai ber¬gurau! Lalu dara itu mengangkat muka¬nya dan berdiri tegak, lalu berkata de¬ngan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di situ. “Koksu, dengarlah baik-baik kata-kata terakhir kami berdua yang tidak boleh diubah oleh siapapun juga, yaitu be¬gini: Kami berdua akan dihukum mati!” Suasana masih hening dan ketika dara itu telah mengucapkan kata-katanya yang amat singkat dan lantang itu dan semua orang saling pandang. Mengapa dara itu, hanya meninggalkan kata-kata terakhir seperti itu? Kami berdua akan dihukum mati! Cuma sebegitu, apa artinya? “Ha-ha-ha! Jadi hanya itu yang men¬jadi pendapat atau pesan terakhir kalian? Bagus, memang sebaiknya begitu karena kami masih banyak urusan. Nah, Ngo-ok, engkau kuserahi tugas untuk meng¬hukum mati mereka berdua!” Tiba-tiba Siang In berseru. “Ah, jadi ternyata Koksu dari Nepal adalah se¬orang yang biasa makan tahi?” Semua orang terkejut sekali dan Ban Hwa Sengjin terkejut dan marah. “Kau sudah mau mampus masih berani meng¬hina orang! Dasar anak perempuan se¬tan....!” Sementara itu, Ngo-ok sudah melon¬cat ke depan, tangannya yang panjang sudah digerakkan dan pada saat itu, Kian Lee juga mengerahkan tenaganya untuk turun tangan membunuh Siang In agar jangan mengalami penghinaan. “Dukkk!” Tiba-tiba Ji-ok Kui-bo Nio-nio menangkis lengan Ngo-ok sampai Ngo-ok menyeringai dan meloncat mun¬dur. “Tahan dulu!” Ji-ok Kui-bin Nio-nio berkata, “Sam-te, aku tidak ingin me¬lihat engkau menjadi seorang pemakan tahi!” “Eh, apa ini? Apa maksudmu?” Ban Hwa Sengjin memandang terlongong, me¬nyangka bahwa Ji-ok itu agaknya tentu kena sihir sehingga mengulangi kata-kata Siang In. Akan tetapi Ji-ok menggeleng-geleng kepalanya. “Sam-te, engkau sudah menjadi koksu, mengapa masih begitu kurang luas pikir¬anmu? Bagaimana bunyi janji tadi? Kau¬bilang bahwa kalau kata-kata terakhir mereka itu benar, mereka akan dihukum potong hidung dan telinga, tidak dihukum mati. Nah, dara itu bilang bahwa mereka berdua akan dihukum mati! Kalau seka¬rang engkau menjatuhkan hukuman mati, berarti kata-katanya itu benar! Dan ka¬lau kata-katanya benar, dia tidak boleh dihukum mati, melainkan dihukum potong hidung dan telinga seperti janjimu. Meng¬apa kau hendak melanggar janjimu?” “Ohhh....!” Koksu Nepal menjadi me¬rah sekali mukanya dan mengangguk. “Ah, benar juga. Kalau mereka dihukum mati, ucapan gadis ini jadi benar dan mereka tidak boleh dihukum mati. Un¬tung engkau mengingatkan aku, Ji-ci. Terima kasih! Heh, Ngo-ok, terpaksa membikin kecewa hatimu. Hayo kaulak¬sanakan hukuman ke dua, yaitu potong hidung dan telinga!” Ngo-ok tentu saja kecewa sekali ka¬rena kini setelah ada puluhan orang perajurit di situ, ingin dia memperkosa gadis ini agar namanya makin tersohor, sebagai seorang paling kejam! Akan te¬tapi dia tidak berani membangkang pe¬rintah. “Huh, kiranya Koksu Nepal hanya seorang yang biasa makan tahi busuk!” kembali terdengar Siang In berseru. Ngo-ok sudah bergerak ke depan, ta¬ngannya menyambar. “Desss....!” Kini lengannya ditangkis oleh lengan Twa-ok dan karena tenaga Twa-ok lebih hebat maka Ngo-ok yang sial itu kini terlempar dan terhuyung. “Eh, eh apa sih salahku?” teriak orang yang sial ini. “Sam-te, sekarang aku yang tidak ingin melihat Sam-te menjadi seorang pemakan tahi!” kata Twa-ok, seperti mengulang kata-kata Siang In sehingga sang koksu dari Nepal makin bengong terlongong. “Apa.... apa maksudmu, Twa-ko....?” “Sam-te, kau tidak boleh menghukum mereka dengan potong hidung dan telinga atau hukuman ke dua....!” Kakek seperti gorila itu berkata dengan suaranya yang halus. “Kalau kau melakukan itu, berarti engkau melanggar janjimu tadi!” “Eh, mana mungkin? Kalau menjatuh¬kan hukuman ke satu, hukuman mati, baru namanya melanggar janji karena kata-kata mereka itu benar dan mereka tidak boleh dihukum mati, harus dihukum potong telinga dan hidung, hukuman ke dua. Bukankah kata-kata mereka itu benar dan harus dihukum yang ke dua itu?” “Mana bisa?” bantah Twa-ok. “Mereka berkata bahwa mereka akan dihukum mati. Nah, kalau sekarang kau menjatuh¬kan hukuman ke dua, yaitu potong hi¬dung dan telinga, berarti bahwa kata-kata terakhir mereka itu tidak benar. Dan menurut janji, kata-kata yang tidak benar dijatuhi hukuman mati!” Ban Hwa Sengjin menjadi pucat wa¬jahnya dan matanya terbelalak. “Kalau begitu hukum mati!” “Tak mungkin! Kalau dihukum mati mereka berkata benar dan harus dihukum potong!” bantah Ji-ok. “Kalau begitu hukum potong....!” kata pula Ban Hwa Sengjin. “Tidak bisa! Kalau dihukum potong berarti kata-kata mereka bohong dan untuk itu mereka harus dihukum mati!” Ban Hwa Sengjin menjatuhkan dirinya di atas batu dan memegangi kepala de¬ngan kedua tangan, bingung sekali. Di¬hukum mati salah, dihukum potong pun salah! Sementara itu, Kian Lee meman¬dang kepada Siang In dengan penuh ke¬kaguman. Tak disangkanya bahwa dara ini benar-benar memiliki kecerdikan yang amat hebat! Dalam keadaan berbahaya seperti itu, dalam waktu sesingkat itu, dapat menemukan akal yang demikian luar biasa, agaknya tidak masuk di akal akan tetapi memang benar dan tepat! Dengan akal itu, Ban Hwa Sengjin di¬bikin mati kutu, tidak berdaya karena hukuman apa pun yang dijatuhkannya, berarti dia melanggar janji dan.... makan tahi! Empat orang dari Im-kan Ngo-ok juga bengong dan penuh kagum, juga Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, demikian pula puluhan orang perajurit itu bengong, ikut memikirkan. Siang In tersenyum. “Boleh kaupikirkan lagi, Koksu. Kami kini bebas, kecuali kalau kau mau makan tahi lebih dulu!” Setelah berkata demikian, Siang In me¬narik tangan Kian Lee dan diajak pergi dari tempat itu dengan sikap tenang sekali. Dan lima orang Im-kan Ngo-ok yang ditakuti oleh semua orang dunia hitam itu hanya memandang dengan be¬ngong saja tanpa mampu berbuat sesuatu! Bahkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi juga tidak berani berkutik karena kalau mereka turun tangan mencegah, sama halnya dengan mendorong Koksu Nepal untuk “makan tahi” yang berarti menjadi anjing penjilat janjinya sendlri! Tentu saja pasukan yang mendengar semua itu pun tidak ada yang berani ber¬gerak tanpa perintah koksu. Setelah pemuda dan dara itu pergi jauh dan tidak nampak lagi, barulah ter¬dengar Ngo-ok Toat-beng Sian-su me¬ngomel, “Inilah kalau Sam-ok berubah menjadi pembesar negeri yang menjaga nama dan kehormatan! Rugi kita! Ru-¬gi....!” “Ha-ha-ha, gadis itu otaknya cerdas sekali! Ha-ha-ha, Sam-ko yang terkenal cerdik masih kena diakalinya! Ha-ha-ha!” Si gendut pendek terpingkal-pingkal geli. Memang watak lima orang Ngo-ok ini luar biasa sekali. Girang kalau melihat orang lain menderita! Agaknya memang mereka itu sengaja melakukan hal-hal yang paling buruk di dunia ini agar sesuai dengan julukan mereka se¬bagai Si Jahat dari Akhirat! Muka koksu sebentar pucat sebentar merah, kedua tangannya mengepal dan sepasang matanya beringas, akan tetapi di hadapan sekian banyaknya orang, tentu saja dia tidak sudi dianggap anjing pen¬jilat janjinya kembali! Apalagi, dia ada¬lah seorang yang amat cerdik. Men¬dengar bahwa pemuda itu adalah putera Pendekar Super Sakti, dia juga harus hati-hati dan biarlah dia mendapat malu sedikit karena diakali gadis itu, akan tetapi hitung-hitung dia membebaskan putera Pendekar Super Sakti dan men¬cegah munculnya seorang musuh yang menggiriskan hatinya. “Sudahlah! Salahku sendiri, juga bocah-bocah itu dibunuh atau tidak pun apa sih artinya bagiku? Mari kita ke lembah, ada urusan lebih penting yang harus kita selesaikan!” Maka pergilah tujuh orang kakek sakti itu diikuti oleh pasukan memasuki lem¬bah kembali dengan hati mendongkol. Sementara itu, Kian Lee yang hanya nanar dan lemas seketika, akan tetapi tidak sampai terluka parah, dalam waktu tidak lama pun sudah pulih kembali ke¬sehatannya. Mereka berdua merasa lega bahwa para kakek sakti itu tidak me¬lakukan pengejaran, dan Kian Lee seperti masih belum dapat mempercayai bahwa mereka dapat lolos dari bahaya sedemi¬kian mudahnya. Kian Lee berhenti dan berkata kepada Siang In sambil memandang penuh ka¬gum, “Adik Siang In yang hebat! Sungguh masih sukar aku untuk dapat percaya betapa dengan mudahnya kita dapat ter¬lepas dari bahaya maut! Dan hampir aku tidak percaya bahwa, engkau yang begini muda dapat mengakali orang-orang sakti seperti mereka itu. Dalam waktu sedemi¬kian singkatnya engkau telah memperoleh akal yang demikian mengagumkan!” Siang In tersenyum, senang hatinya dipuji seperti itu tentu saja! Akan tetapi dia seorang dara yang jujur, maka dia menahan ketawanya dan berkata, “Ah, Lee-koko, siapa sih yang pintar? Aku sama sekali tidak pintar, hanya koksu itu yang tolol!” “In-moi, akalmu itu benar-benar hebat dan menandakan bahwa engkau memang pintar sekali, mengapa merendahkan diri? Dengan akalmu itu, memang koksu menjadi tak berdaya dan mati kutu sama sekali, karena menjatuhkan hukuman kepada kita dengan cara apa pun, tetap saja berarti dia melanggar janji. Bukan main!” “Hi-hik, memang demikianlah, Koko. Akan tetapi itu sama sekali bukanlah akalku, karena aku hanya menirunya dari dongeng kuno yang pernah kubaca! Jadi bukan akalku, melainkan akal kuno yang pernah dipergunakan orang untuk menye¬lamatkan diri dari hukuman seorang raja lalim yang menjatuhkan peraturan hukuman yang seperti itu.” “Ah, begitukah?” Kian Lee terheran. Siang In tertawa. “Itulah hasilnya orang suka membaca, asalkan bukan sem¬barangan membaca, melainkan memper¬hatikan isinya dengan seksama. Dari bacaan itu kita dapat memperoleh ba¬nyak manfaatnya, Koko. Koksu itu saja yang tolol tidak mengenal akal kuno yang kupergunakan, hi-hik!” Suma Kian Lee tertawa juga, men¬tertawakan kebodohan koksu, akan tetapi diam-diam makin kagum kepada dara ini yang sudah memperlihatkan ketabahan dan kecerdikan luar biasa, yang telah berhasil menyelamatkan nyawa mereka, akan tetapi tidak menjadi sombong, se¬baliknya malah membuka rahasia kecer¬dikannya dengan jujur bahkan kecerdikan¬nya itu hanyalah meniru dari akal dalam dongeng kuno belaka! Akan tetapi kegembiraan segera me¬reda ketika dia teringat akan peristiwa tadi dan melihat betapa gawatnya keadaan. Agaknya Koksu Nepal itu telah mengumpulkan orang-orang pandai di lembah itu! “In-moi, aku harus menyeli¬diki keadaan di lembah! Aku harus tahu apa yang sedang diiakukan oleh koksu itu....“ ”Ah, hal itu berbahaya sekali, Lee-ko! Baru empat orang teman koksu tadi saja sudah memiliki kepandaian yang amat mengerikan, dan di sana terdapat banyak pula pasukan anak buah koksu. Mana mungkin engkau seorang diri akan dapat menghadapi mereka semua!” Siang In memandang khawatir, tidak lagi ber¬sendau-gurau mendengar niat pemuda itu yang hendak menyelidiki sarang dari koksu yang lihai dan dibantu oleh banyak orang pandai itu. “Aku bukan bermaksud melawan me¬reka, In-moi, melainkan hendak menyeli¬diki keadaan mereka, kemudian aku harus segera melaporkan ke kota raja. Sudah menjadi kewajibanku untuk mencegah bahaya yang mengancam kota raja. Agak¬nya ada apa-apa di lembah itu, agaknya koksu sedang merencanakan gerakan be¬sar yang berbahaya bagi kota raja. “Kalau begitu memang baik sekali, Lee-ko, akan tetapi aku ikut!” “Baru saia kau terlepas dari ancaman bahaya dahsyat, Siang In, moi-moi, lebih baik kau jangan ikut, terlalu berbahaya bagimu.” Siang In mengerutkan alisnya. “Biar¬pun aku bodoh, kiranya sedikit banyak aku akan dapat membantumu, Lee-ko, dan dengan pergi dua orang, kalau ada bahaya kita dapat saling membantu, bu¬kan?” Kian Lee tidak dapat membantah atau melarang lagi, apa pula kalau di¬ingat bahwa andaikata tidak ada Siang In di waktu dia menghadapi para kakek sakti tadi, tentu dia telah tewas. “Baik¬lah, In-moi. Kita pergi berdua, karena memang aku pun hanya hendak menyeli¬diki keadaan luarnya saja. Akan tetapi kita harus berhati-hati sekali karena sekali lagi kita bertemu dengan mereka, kiranya mereka tidak akan mau mem¬biarkan kita lolos lagi.” Siang In menjadi gembira, sekali. Timbul kembali kenakalan dan kejenakaan¬nya. “Wah, kalau cuma menghadapi tua bangka-tua bangka tolol macam itu saja, aku menyimpan banyak macam akal un¬tuk mengelabui mereka, Lee-ko!” “Akal dari dongeng kuno?” Siang In terkekeh dan menutupi mu¬lutnya sehingga terpaksa Kian Lee juga tersenyum. Dekat dengan seorang dara seperti Siang In ini, tidak mungkin orang dapat berdiam diri saja tanpa ketularan kegembiraannya. Maka berangkatlah dua orang itu dengan hati-hati, menyelinap dan bersembunyi-sembunyi, menuju ke benteng lembah untuk menyelidiki ke¬adaan benteng itu. *** Pangeran Liong Bian Cu girang bukan main ketika melihat munculnya Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi membawa dua orang tawanan, yaitu Kian Bu dan Hwee Li! Akan tetapi dia tidak melihat adanya burung garuda, maka pangeran ini merasa khawatir dan bertanya, “Bagus, Ji-wi telah berhasil menangkap merekea kembali. Akan tetapi di mana adanya burung garuda itu?” Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya dan berkata dengan suaranya yang parau, “Celaka, anak durhaka ini telah melukai¬nya dan sekararg saya membiarkan bu¬rung itu mengobati lukanya sendiri dan beristirahat di hutan, di luar benteng.” Keterangan itu melegakan hati Pa¬ngeran Liong Bian Cu dan dia meng¬hampiri Hwee Li dengan wajah berseri. “Sayang, beruntung sekali engkau dapat bebas dari mata-mata ini!” Akan tetapi Hwee Li cemberut dan Hek-tiauw Lo-mo lalu berkata, “Bocah ini kalau dibiarkan terlalu bebas bisa berbahaya, Pangeran. Maka sebaiknya kuatur penjagaan di sekitar kamar dia dan sang puteri sekarang juga.” “Dan saya mohon ijin untuk mem¬bunuh pemuda yang telah melukai saya ini! Saya terluka oleh pukulannya dan setelah dia sekarang tertawan, hati saya tidak akan pernah puas sebelum mem¬balas dendam ini dengan nyawanya!” kata Hek-hwa Lo-kwi yang memegang lengan Kian Bu atau Siluman Kecil yang ter¬belenggu. Pangeran Liong Bian Cu memang merasa agak jerih kepada Siluman Kecil, apalagi mendengar bahwa pemuda rambut putih ini adalah putera Pendekar Super Sakti, maka dia tidak berani sembarang¬an. Sekarang, mendengar bahwa Hek-hwa Lo-kwi hendak membunuhnya karena dendam pribadi, berarti dia bebas dari pemuda yang ditakutinya itu. “Kalau engkau mau membunuhnya karena urusan pribadimu, terserah, Lo-kwi. Akan tetapi harus kaubereskan juga agar tidak ada bekas-bekasnya!” Hek-hwa Lo-kwi tertawa. “Ha-ha¬ha, jangan khawatir, Pangeran!” Pada saat itu, sang pangeran sedang menjamu saudara misannya, yaitu Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan. Ketika dua orang ini melihat betapa Siluman Kecil menjadi tawanan, mereka terkejut bukan main. Mereka pernah diselamatkan oleh pemuda rambut putih itu, maka kini melihat betapa pemuda itu tertawan dan akan dibunuh, tentu saja mereka terkejut. “Kanda Pangeran, jangan bunuh dia!” Tiba-tiba Liong Tek Hwi berseru dan bangkit dari tempat duduknya. “Dia adalah Siluman Kecil, pendekar ternama....” Liong Bian Cu tersenyum. “Benar, adikku, dia adalah Siluman Kecil, akan tetapi dia adalah juga putera Pendekar Siluman, dan dia adalah cucu kaisar, dan dia adalah mata-mata yang menyelidiki ke benteng kita! Sekarang, dia telah membikin sakit hati kepada Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi ini, maka terserah ke¬pada Lo-kwi kalau hendak membunuh¬nya!” Bukan main herannya hati kedua orang murid Kim-mouw Nio-nio mendengar bahwa Siluman Kecil adalah cucu kaisar dan putera Pendekar Siluman dari Pulau Es. Akan tetapi selagi mereka terce¬ngang, Kian Bu sudah berkata kepada mereka dengan nada tidak senang, “Hemmm, melihat bahwa kalian adalah sekutu dari pangeran pemberontak ini, aku tidak sudi kalian bela!” Dan Hek-hwa Lo-kwi sudah cepat mendorongnya pergi dari situ bersama Hek-tiauw Lo-mo yang juga memegang lengan tangan Hwee Li dan setengah menyeret dara itu meninggalkan ruangan. Pangeran Liong Bian Cu tertawa dan minum araknya kemudian memperkenal¬kan dua orang kakek yang baru saja pergi itu kepada saudara misannya. Ke¬mudian dia menambahkan, “Kaulihat ga¬dis itu tadi, adikku? Aku.... aku meng¬ambil keputusan untuk menikah dengan dia.” Sementara itu, Kim Cui Yan sejak tadi bengong saja memandang ke arah perginya Hwee Li. Melihat wajah Hwee Li, Kim Cui Yan merasa seperti pernah mengenal dara cantik berpakaian hitam itu, akan tetapi biarpun dia mengingat-ingatnya, tetap saja dia tidak dapat mengingat kapan dia pernah mengenal dara itu. Hal ini tidak mengherankan karena wajah Hwee Li memang mirip benar dengan wajah mendiang ibu kan¬dungnya, dan di waktu dia berusia ku¬rang lebih lima enam tahun, Kim Cu Yan tentu saja sering melihat ibu tiri¬nya, yaitu Ibu kandung Hwee Li yang menjadi selir ayahnya! Jadi, bukan Hwee Li yang pernah dikenalnya, melainkan ibu kandung dari dara baju hitam itu. Seperti dapat kita duga, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang baru datang menghadap Pangeran Liong Bian Cu di sore hari itu dan membawa Kian Bu dan Hwee Li sebagai tawanan, se¬betulnya bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling bersama muridnya, Ang-siocia atau Kang Swi Hwa! Dengan penyamaran mereka yang tepat sekali, bahkan Pangeran Liong Bian Cu yang cerdik itu pun sama sekali tidak me¬ngenal mereka. Saking girangnya melihat Hwee Li dapat kembali, pangeran itu tidak menaruh curiga akan sikap ter¬gesa-gesa dari dua orang kakek iblis itu yang tidak mau lama-lama berhadapan dengan dia. “Kakanda Pangeran!” Liong Tek Hwi berkata lagi, “Kuharap engkau tidak mem¬biarkan Siluman Kecil dibunuh karena ketahuilah bahwa dia pernah menyelamat¬kan nyawaku dan Sumoi. Tidak mungkin aku berdiam lebih lama lagi di sini kalau dia dibunuh sepengetahuanku. Harap kau memaklumi perasaan kami ini!” Pemuda berkulit putih itu sudah bangkit berdiri, diturut oleh sumoinya. Pangeran Liong Bian Cu mengangguk-angguk. “Baiklah, biar kusuruh pengawal memberi tahu kepada Lo-kwi agar pemuda itu ditahan saja dulu dan jangan dibunuh sekarang.” Pangeran Liong Bian Cu bertepuk tangan dan muncullah se¬orang Panglima Nepal dan pangeran itu lalu memberi perintah dengan cepat da¬lam bahasa Nepal. Orang yang berkulit coklat kehitaman itu berlutut dengan kaki kanan, lalu membalikkan tubuh dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu untuk menyusul Hek-hwa Lo-kwi dan menyampaikan perintah majikannya. Sementara itu, setelah berhasil me¬nipu Pangeran Liong Bian Cu, empat orang itu, ialah Ang-siocia yang menya¬mar sebagai Hek-tiauw Lo-mo, si Raja Maling yang menyamar sebagai Hek-hwa Lo-kwi, dan kedua orang “tawanan” me¬reka, yaitu Kian Bu dan Hwee Li, cepat meninggalkan ruangan itu dan dengan Hwee Li bertindak sebagai penunjuk ja¬lan, pergilah mereka ke ruangan bela¬kang! Sementara itu, cuaca di luar sudah mulai gelap dan tergesa-gesa empat orang itu menuju ke ruangan di mana keluarga Kao ditahan. Karena di tempat ini terdapat banyak penjaga, maka kem¬bali Hwee Li dan Kian Bu pura-pura menjadi tawanan yang dikawal oleh dua orang kakek itu sehingga para penjaga tidak menaruh curiga apa-apa. Ketika melihat betapa banyaknya keluarga Kao yang berada di dalam ta¬hanan itu, Kian Bu terkejut bukan main, demikian pula Ang-siocia dan gurunya. Ma¬na mungkin menyelamatkan begitu banyak orang dari tempat sekuat benteng itu? Akan tetapi mereka telah berhasil me¬nyelundup masuk, maka harus mencari jalan untuk menyelamatkan mereka, dan Siluman Kecil sudah mencari-cari dengan pandang matanya ke dalam ruangan tahanan di balik pintu jeruji besi itu. “Mana puteri....?” bisiknya tanpa menggerakkan bibir kepada Hwee Li sehingga yang dapat mendengar hanya Hwee Li seorang. Hwee Li lalu memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi palsu yang segera mem¬bawa mereka pergi dari situ. Para pen¬jaga tidak ada yang menaruh curiga. Mereka sudah mengenal watak aneh dari dua orang kakek iblis itu, apalagi Hek¬tiauw Lo-kwi adalah ketua dari Kui-liong-pang, pemilik tempat itu. Mereka ha¬nya menduga bahwa tawanan baru yang berambut putih itu tentu sengaja disuruh melihat keluarga Kao yang ditawan. Dan ketika di antara mereka ada yang me¬ngenal pemuda rambut putih itu sebagai Siluman Kecil, mereka hanya dapat me¬mandang heran dan setelah empat orang itu pergi, bisinglah tempat itu karena mereka berbisik-bisik bahwa Siluman Kecil yang selama ini menggemparkan daerah lembah Huang-ho, kini telah men¬jadi tawanan pula| NEXT>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar