Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 17.

Jodoh Rajawali Jilid 17.
Jodoh Rajawali Jilid - 17 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 17 Kian Bu juga memandang dengan ter¬tarik dan kagum. Dia mengenal gadis baju hijau yang hidungnya mancung itu. Pernah dia bertemu dengan wanita ini di dalam restoran. Bahkan wanita ini pernah menjamu para tamu dan mem¬bayar harga makanan dan minuman me¬reka, termasuk dia. Dan kemudian mun¬cul seorang pemuda yang kulitnya putih, matanya agak biru dan rambutnya co¬klat yang diakui sebagai suheng oleh wanita hijau itu dan mereka berdua ke¬mudian terluka dan pingsan oleh jarum-¬jarum beracun dari huncwe yang dilepas oleh Boan-wangwe. Benar, dia mengenal wanita itu dan kini diam-diam dia mem¬perhatikan betapa Kang Swi repot juga menghadapi wanita baju hijau yang ge¬rakannya amat cepat dan aneh itu, me¬ngandung gerakan liar yang tidak dia kenal. Entah dari cabang persilatan apa¬kah ilmu silat yang dimainkan oleh wa¬nita baju hijau ini. Melihat Kang Swi terdesak dan ge¬rakan pemuda tampan itu agak kaku, Kian Bu menarik napas panjang. Dia tahu bahwa pemuda tampan itu masih men¬derita luka akibat bentrok dengan dia ketika mereka memperebutkan Pangeran Yung Hwa di gubernuran Ho-nan. Be¬berapa kali Kang Swi terdesak dan ter¬huyung sambil menyeringai tanda bahwa dia merasa nyeri di dalam tubuhnya. Akan tetapi baik dia sendiri maupun Siauw Hong, kini telah menganggap Kang Swi sebagai musuh karena pemuda itu telah menjadi kaki tangan Gubernur Ho¬-nan yang dianggap memberontak, maka mereka berdua hanya menonton saja ketika melihat Kang Swi terdesak. Sementara itu, ketika Kang Swi melirik dan mengenal Kian Bu dan Siauw Hong, mukanya menjadi merah karena marahnya. Dua orang itu tadinya adalah sahabat-sahabat baiknya, yang tidak saja pernah melakukan perjalanan dengan dia, malah di dalam perjalanan mengobrol dan bergurau sebagai sahabat, bukan itu saja, malah dia telah membelikan kuda tung¬gangan untuk mereka! Akan tetapi kini mereka hanya menonton, padahal dia ter¬desak oleh lawan yang lihai ini. Hatinya terasa mendongkol bukan main dan ke¬marahannya memuncak, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan menerjang ke arah lawan dengan pukulan tangan kanan yang dimiringkan. Melihat serangan dahsyat ini, Kian Bu terkejut. Dia mengenal pukulan sakti, maka karena dia mengkhawatirkan ke¬selamatan gadis baju hijau itu, dia ber¬seru, “Awasss....!” Namun terlambat sudah. Pukulan itu datang dengan dahsyatnya dan tidak mungkin dapat dielakkan lagi, kecuali ditangkis. Dan wanita baju hijau itu pun agaknya tidak takut menghadapi pukulan itu. Dia mengangkat lengannya menang¬kis sambil mengerahkan seluruh tenaga¬nya, apalagi karena mendengar seruan Kian Bu. “Desssss....!” Hebat sekali pertemuan antara dua lengan yang mengandung te¬naga sinkang dahsyat itu. Akibatnya, tubuh Kang Swi terpelanting dan dia terbanting jatuh berdebuk, sedangkan kedua kaki gadis baju hijau itu ambles ke da¬lam tanah sampai setengah lutut dalam¬nya! Sambil menyeringai, gadis berbaju hijau itu menarik kedua kakinya dari dalam tanah dan menggoyangkan lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan tadi karena terasa ngilu dan panas. “Rettt....!” Kagetnya bukan main melihat betapa lengan bajunya sebatas siku terlepas dan ternyata lengan baju itu robek dan putus seperti digunting dan copot dari lengannya. Dia cepat meme¬riksa lengannya dan di bagian lengan yang tadi bertemu dengan lengan lawan nampak terluka melintang dan mengucur¬kan darah, kulitnya robek seperti terkena bacokan pedang atau golok. Bukan main kaget dan herannya. Dia tahu jelas bah¬wa lawannya itu tadi ketika memukul tidak mempergunakan senjata apa pun, akan tetapi lengannya yang dipakai me¬nangkis terluka, bahkan lengan bajunya terobek. Memang jarang sekali orang menyak¬sikan ilmu seperti yang dipergunakan oleh Kang Swi tadi. Dia sendiri pun ja¬rang mempergunakannya, bahkan ketika dia bertanding di atas panggung lui-tai, dia tidak mau mempergunakannya. Itulah ilmu pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) Biar¬pun dia belum melatihnya secara sempur¬na dan belum menguasai sepenuhnya, namun sudah demikian lihai dan berba¬haya. Wanita baju hijau itu menjadi marah sekali. Lawannya telah menurunkan ta¬ngan kejam, maka dia cepat menghadapi Kang Swi yang sudah bangkit berdiri lagi. Dengan sepasang mata mengeluar¬kan sinar berapi, wanita baju hijau itu kini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, lalu kedua tangan digerak-¬gerakkan dengan lingkaran-lingkaran di depan dadanya. Kang Swi yang melihat betapa pukulannya tadi telah berhasil melukai lengan lawan, biarpun tangkisan itu membuat dia terbanting keras, kini memandang rendah kepada lawannya. Sambil mengeluarkan lengking panjang lagi, dia hendak mengulangi pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang dan menerjang dengan dahsyatnya. Gadis berbaju hijau itu me¬nyambutnya dengan dorongan kedua ta¬ngan yang terbuka jari-jarinya. Kian Bu terkejut bukan main. Dia mengenal pukulan hebat dari gadis ber¬baju hijau itu, karena dia pernah melihat suheng dari si nona baju hijau itu dahulu di restoran juga mempergunakan pukulan dahsyat ini terhadap para lawannya. Mak¬lumlah dia bahwa Kang Swi yang tidak menduga apa-apa itu terancam bahaya maut. Dia tidak begitu suka kepada pe¬muda tampan yang banyak lagak ini biar¬pun pemuda itu telah bersikap baik se¬kali kepadanya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin melihat Kang Swi terkena hantaman yang demikian ampuh dan kejamnya, maka dari tempat dia berdiri, dia lalu mendorong dengan pukul¬an jarak jauh untuk membuyarkan tenaga serangan gadis baju hijau terhadap Kang Swi. Hebat bukan main pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Kian Bru. Kedua orang yang sedang saling adu tenaga ini merasa seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak, yang membuat tenaga mereka seperti tersedot lenyap. Oleh karena itu, ketika kedua tangan mereka bertemu, kekuatan mereka tidak sepenuhnya lagi. “Plakkk!” Biarpun tenaga gadis berbaju hijau dan Kang Swi hanya tinggal beberapa bagian saja karena telah dibuyarkan oleh tenaga sinkang yang didorongkan oleh Kian Bu, namun akibatnya masih parah bagi Kang Swi yang sudah terluka. Dia terjengkang dan terbanting, bergulingan dan rebah pingsan. Mukanya kelihatan biru seperti orang kedinginan. Melihat Kang Swi roboh seperti orang mati, Siauw Hong tiba-tiba menjadi ma¬rah. Dia teringat akan kebaikan pemuda tampan itu dan kini melihat pemuda itu dipukul mati, dia berteriak marah dan membentak, “Berani kau membunuh orang?” Akan tetapi sebelum serangannya di¬sambut oleh gadis berbaju hijau yang ke¬lihatan sedang mengumpulkan kekuatan karena benturan tenaga dengan Kang Swi tadi membuat dia terengah sedikit, dari samping muncul seorang laki-laki bermata kebiruan dan berkulit agak putih, gerakannya tangkas ketika dia menangkis pukulan Siauw Hong yang ditujukan ke¬pada gadis baju hijau tadi. Mereka se¬gera berkelahi dan dari tangkisan-tangkisannya, tahulah Siauw Hong bahwa laki-¬laki yang seperti orang asing ini me¬miliki tenaga yang amat kuat maka dia berlaku hati-hati dan memusatkan per¬hatian kepada gerakan-gerakannya. “Tahan...., Siauw Hong, mundurlah dan jangan berkelahi!” Kian Bu berseru. Mendengar ini, Siauw Hong lalu meloncat mundur dan cepat dia menghampiri Kang Swi yang masih menggeletak dengan muka biru. Melihat Kian Bu, gadis baju hijau dan laki-laki asing itu segera mengenalnya dan cepat mereka berdua menjura. “Kira¬nya Taihiap yang berada di sini....” Gadis baju hijau itu berkata dan sikapnya agak canggung dan gugup. “Mengapa Ji-wi berkelahi dengan dia?” Kian Bu bertanya sambil memandang tajam, tanpa menoleh kepada Siauw Hong yang sudah memondong tubuh Kang Swi. Siauw Hong merasa kasihan sekali me¬lihat Kang Swi rebah seperti mati, mu¬kanya menjadi biru pucat, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Kang Swi masih bernapas, sungguhpun napas yang senin-kemis, dia lalu memon¬dongnya dan membawanya ke tempat teduh di bawah sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat perkelahian itu. Dia tidak lagi mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan oleh Kian Bu dan dua orang itu. Melihat napas yang empas-empis dan muka yang pucat kebiruan, tahulah Siauw Hong bahwa bekas temannya ini men¬derita luka dalam yang cukup berbahaya dan tentu akan dapat menyebabkan ke¬matian kalau tidak cepat diobati. Sebagai murid terkasih dari Sai-cu Kai-ong si ahli obat, tentu saja Siauw Hong juga mempelajari ilmu pengobatan dan ter¬utama sekali ilmu mengobati luka-luka bekas pukulan, baik luka luar maupun luka dalam. Tahulah dia bahwa tanpa bantuan dari luar, Kang Swi terancam bahaya maut karena dalam keadaan se¬tengah pingsan itu tentu saja Kang Swi tidak dapat menyalurkan sinkang untuk mengobati lukanya. Tanpa ragu-ragu lagi dan tanpa mem¬pedulikan Kian Bu yang kelihatan masih bercakap-cakap dengan dua orang itu, Siauw Hong lalu membuka kancing baju Kang Swi. Dia melihat betapa di balik baju itu terdapat pula baju dalam. Hemm, pikirnya. Dasar pemuda royal dan banyak lagak, pakaian saja sampai berangkap-¬rangkap dan pakaian dalamnya menutupi tubuh dari leher ke bawah! Karena me¬lihat bahwa baju dalam itu tidak dapat dibuka semua, hanya terdapat kancing kecil di bagian pembukaan yang menye¬rong ke pundak, dia membuka dua buah kancing itu, lalu tangan kanannya me¬nyusup ke dalam untuk meraba dada mendekati ulu hati Kang Swi agar dia dapat menyalurkan sinkang melalui tela¬pak tangannya dan membantu pemuda tampan itu mengobati luka di dalam dadanya yang agaknya tergoncang oleh pertemuan tenaga dahsyat tadi. “Ehhh....! Dia menahan seruannya dan seperti orang menyentuh api, tangan¬nya yang menyusup di balik pakaian da¬lam Kang Swi itu ditariknya keluar, lalu dia memandang wajah yang pingsan ke¬biruan itu dengan bengong terlongong. Wajah yang amat tampan, terlalu tampan malah. Dia bengong seperti tidak percaya akan apa yang dialaminya. Setelah me¬ragu sejenak dia kembali memasukkan tangannya untuk meyakinkan dirinya bah¬wa apa yang dialaminya bukan dalam mimpi. “Uhhh....!” Kembali tangannya dicabut keluar dan seluruh mukanya dari bawah rambut kepala sampai leher menjadi merah sekali. Tidak salah lagi. Tangan¬nya yang menyusup tadi memang meraba sesuatu yang aneh! Dia menoleh dan melihat betapa Kian Bu masih bicara dengan tegang bersama empat orang. Entah dari mana datangnya dan kapan, di situ kini telah terdapat dua orang laki¬laki muda lain lagi dan mereka semua kelihatan bercakap-cakap dengan sikap tegang. “Heemmm.... aneh....“ dia berbisik dan kembali dia menatap wajah Kang Swi yang tampan. “Kalau tidak cepat ku¬tolong, dia bisa tewas. Akan tetapi dia.... tidak boleh aku menjamahnya.... ah, tapi dia bisa mati.... dia....“ Terjadi perang hebat di dalam hati pemuda remaja ini. Akan tetapi, melihat wajah yang pucat kebiruan itu, napas yang tersendat-sendat, Siauw Hong makin khawatir dan semua perasaan lain disapu bersih oleh rasa khawatir ini, maka dia memutuskan untuk cepat menolong Kang Swi dan membuktikan dugaannya. Dia membukai semua kancing, lalu menarik baju dalam itu ke bawah sehingga te¬robek sedikit dan dia memejamkan mata dan membuang muka ketika me¬lihat dua buah bukit tersembul keluar dan nampaklah dada putih yang dihias dua bukit dada itu. Kedua tangannya menggigil, akan tetapi cepat Siauw Hong menutupkan kembali baju dalam itu, menutupi dada dan juga menutupi tangan kanannya yang menempel di dada itu, tepat di tengah-tengah di antara dua buah bukit dada yang ranum. Dengan jantung berdebar Siauw Hong mengerah¬kan sinkangnya namun tetap saja seluruh tubuhnya panas dingin dan agak meng¬gigil biarpun dia sudah menenteramkan hatinya. “Ahhh.... ohhhhh.... tolol kau....!” Dia memaki diri sendiri dalam hatinya. “Biar dia perempuan, laki-laki atau banci, peduli apa kau? Yang penting adalah mengobatinya agar dia terbebas dari cengkeraman maut, jangan memikirkan dada yang indah itu!” Akan tetapi, suara hatinya berhenti pada kalimat “dada yang indah itu” dan terus saja dada yang putih dengan se¬pasang bukit yang bentuknya indah itu terbayang di depan matanya, walaupun dia telah memejamkan kedua matanya. Mulailah Siauw Hong mengobati Kang Swi sambil memejamkan matanya dan memerangi sendiri ketegangan hatinya yang timbul ketika dia memperoleh ke¬nyataan bahwa Kang Swi adalah seorang dara muda! Sementara itu, Kian Bu sedang sibuk melerai orang-orang yang sedang ngotot dan hendak saling serang. Siapakah dua orang pemuda yang baru datang itu? Mereka ini bukan lain adalah Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, dua orang pu¬tera dari Jenderal Kao Liang! Sedangkan laki-laki gagah yang rebah terluka tadi adalah Jenderal Kao Liang sendiri. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya ini telah kehilangan seluruh keluarga mereka ke¬tika keluarga mereka itu bersama harta benda mereka diculik dan dicuri orang tanpa mereka ketahui dengan pasti siapa yang melakukannya. Hanya akhirnya me¬reka yakin bahwa yang memusuhi mereka tentulah keluarga Pulau Es, yaitu putera¬-putera dari Suma Han yang mereka duga tentulah diperalat oleh kaisar untuk me¬nyingkirkan atau membasmi mereka meng¬ingat bahwa ayah mereka itu adalah mantu kaisar! Karena mereka merasa tidak kuat menghadapi keluarga Suma yang amat sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari pu¬tera sulung jenderal itu yaitu Sin-liong Kao Kok Cu, di Naga Sakti dari Gurun Pasir. Hanya putera sulungnya itulah yang akan mampu menghadapi musuh-¬musuh tangguh itu, pikir Jenderal Kao. Akan tetapi, di tengah perjalanan ayah dan anak ini bertemu dengan rom¬bongan gadis baju hijau dan suhengnya yang bule dan bermata kebiruan itu ber¬sama lima orang anak buah mereka. Dan tanpa bicara apa-apa lagi, gadis berbaju hijau dan suhengnya itu, dibantu oleh orang-orang mereka, langsung saja me¬nyerang Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya! Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi dan selain kalah banyak, juga jenderal dan dua orang puteranya itu kalah lihai. Akhirnya jen¬deral atau lebih tepat lagi bekas Jen¬deral Kao Liang tertawan akan tetapi sebelum roboh dan tertangkap dia me¬neriaki dua orang puteranya untuk cepat melarikan diri dan minta bantuan kakak mereka. Kok Tiong dan Kok Han terpaksa lari karena maklum bahwa ayahnya benar. Kalau mereka terus melawan, akhirnya mereka akan roboh juga sehingga selain tidak ada yang akan dapat melapor ke¬pada kakak mereka, juga tidak ada ha¬rapan lagi menolong keluarga mereka. Akan tetapi, ketika mereka melihat ayah mereka dibawa pergi, mereka tidak tega meninggalkan, dan diam-diam mereka membayangi rombongan gadis baju hijau yang menawan ayah mereka itu. Akhirnya, pada hari itu, rombongan yang menawan Kao Liang bertemu dengan Kang Swi. Melihat orang tua gagah itu ditawan serombongan orang, Kang Swi menegur dan terjadi bentrok antara dia dan gadis baju hijau. Si gadis baju hijau yang merasa memiliki kepandaian tinggi, melarang suhengnya dan lima orang anak buahnya untuk membantunya dan dia me¬lawan sendiri pemuda tampan itu sehing¬ga mereka berkelahi dengan seru sampai muncul Siluman Kecil atau Suma Kian Bu yang cepat melerai mereka. Ketika melihat munculnya pendekar yang ilmu¬nya amat tinggi itu, baik si gadis baju hijau maupun Kang Swi yang sudah me¬ngenalnya menjadi kaget dan jerih untuk melanjutkan pertandingan itu. Kao Liang yang terluka itu kini dapat bercerita kepada Kian Bu setelah pemuda ini bertanya dengan suara tenang. “Kali¬an berdua telah mengenal aku dan tahu bahwa Siluman Kecil selalu mencegah terjadinya permusuhan di antara orang-¬orang sendiri. Kalau kalian berdua mem¬punyai urusan dan di antara kalian ter¬dapat penasaran, mari kita perbincangkan dengan seadilnya.” Kao Liang yang sudah bangkit berdiri itu melihat betapa gadis baju hijau dan penolongnya si pemuda tampan itu ke¬lihatan jerih terhadap pemuda berambut putih yang baru tiba, apalagi mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, dia ter¬kejut dan cepat-cepat dia lalu menceri¬takan pengalamannya itu. Betapa dia dan putera-puteranya sama sekali tidak me¬ngenal gadis baju hijau yang menangkap mereka, dan betapa pemuda tampan itu datang untuk menolongnya. Kao Liang dan kedua orang puteranya juga meng¬haturkan terima kasih kepada Kang Swi yang telah mencoba untuk menolong orang tua itu, kemudian bekas jenderal itu menudingkan telunjuknya kepada mu¬ka gadis baju hijau sambil berkata, “Dia ini tentulah seorang di antara kaum se¬sat karena hanya orang-orang dari go¬longan hitam sajalah yang akan memusuhi keluarga kami!” Tentu saja Kian Bu mengenal Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang agaknya tidak mengenalinya karena ram¬butnya putih semua itu menutupi sebagi¬an dari mukanya. Akan tetapi, bukanlah menjadi watak Kian Bu untuk membantu orang yang telah dikenalnya begitu saja tanpa menyelidiki lebih dulu urusannya. Maka dia lalu menghadapi wanita baju hijau itu dan bertanya, “Nona, benarkah cerita mereka bahwa Nona menyerang dan menawan Paman ini tanpa sebab?” Wanita baju hijau itu tersenyum di¬ngin. “Nama Siluman Kecil telah meng¬gemparkan kolong langit dan kami ber¬dua saudara seperguruan sudah lama merasa kagum, apalagi semenjak peris¬tiwa di restoran itu. Karena Taihiap yang datang, meleraikan, maka meman¬dang muka Taihiap, kami menyabarkan diri. Akan tetapi hendaknya Taihiap ke¬tahui bahwa dia itu,” sampai di sini ga¬dis baju hijau itu menudingkan telunjuk¬nya ke arah muka Kao Liang dan me¬mandang dengan penuh kebencian. “Dia itu adalah bekas Jenderal Kao Liang. Dialah yang telah membasmi seluruh ke¬luargaku. Seluruh keluarga, tua muda laki perempuan, semua dihukum mati karena dia, dan hanya secara kebetulan saja ketika itu aku masih berada di tempat Subo sehingga tidak sekalian dibunuh. Kao Liang, urusan lima enam tahun yang lalu di utara, ketika engkau membasmi ke¬luarga Kim, aku tidak akan dapat me¬lupakannya begitu saja!” Jenderal Kao Liang terbelalak. “Ke¬luarga Kim....?” Dia mengingat-ingat. “Maksudmu keluarga pemberontak dan pengkhianat Kim Bouw Sin?” “Tutup mulutmu!” Gadis baju hijau itu membentak marah. “Engkau sudah mem¬basmi keluargaku dan kau masih berani memaki ayahku?” Kini kedua mata gadis itu menjadi basah. “Ahhhhh.... kiranya Nona adalah pu¬teri dari Kim Bouw Sin?” Kao Liang menarik napas panjang dan mengangguk¬-angguk, lalu meraba-raba jenggotnya. “Pantas....! Pantas engkau marah-marah dan membenci kami sekeluarga. Akan tetapi agaknya karena engkau tidak tahu akan duduknya persoalan yang sebenar¬nya, Nona. Kulihat engkau seorang yang berkepandaian tinggi, tentu berwatak gagah dan dapat mempertimbangkan keadaan. Baik kaudengar penuturanku meng¬apa keluarga ayahmu sampai terhukum semua. Semua itu adalah gara-gara per¬buatan mendiang ayahmu.” Bekas Jenderal Kao Liang lalu ber¬cerita tentang peristiwa yang terjadi lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, Kao Liang masih menjadi seorang pang¬lima besar, seorang jenderal gagah per¬kasa yang amat ditakuti oleh para pem¬berontak dan musuh-musuh negara yang berada di luar tapal batas. Jenderal Kao Liang bermarkas besar di utara karena pada waktu itu, musuh yang paling di¬takuti adalah suku-suku liar dari utara, di luar tembok besar. Yang menjadi pem¬bantunya, bahkan menjadi wakil panglima di utara itu adalah Kim Bouw Sin, se¬orang panglima yang lebih muda dan yang pandai pula, dipercaya sebagai wa¬kil oleh Jenderal Kao. Akan tetapi, seperti banyak di antara para pembesar, Panglima Kim Bouw Sin dapat dibujuk oleh dua orang pangeran yang merencanakan pemberontakan, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Panglima Kim Bouw Sin dijanjikan kedudukan tertinggi oleh dua orang pangeran yang memberontak itu sehingga dia tertarik dan memberontak¬lah panglima ini, berusaha menguasai bala tentara yang berada di bawah ke¬kuasannya di utara (baca cerita Sepasang Rajawali). Usahanya itu ternyata gagal sama sekali, dan tentu saja sebagai seorang pemberontak, dia seke1uarganya dijatuhi hukuman mati. “Demikianlah,” Jenderal Kao Liang mengakhiri penuturannya secara singkat itu. “Keluargamu terbasmi karena gara¬-gara pengkhianatan ayahmu terhadap kerajaan, Nona. Tidak ada permusuhan pribadi antara kami dan ayahmu. Ayahmu terkena bujukan Pangeran Liong Khi Ong dan Pangeran Liong Bin Ong. Dua orang pangeran khianat itulah yang menjadi biang keladi pemberontakan dan penye¬lewengan ayahmu.” “Orang she Kao! Kalau engkau tidak berhenti memaki ayahku, terpaksa aku akan menghancurkan mulutmu!” Tiba¬tiba pemuda berkulit putih dan bermata kebiruan itu melangkah maju dan me¬ngepal tinju mengancam Kao Liang. Dua orang putera bekas jenderal itu cepat maju untuk melawan. Kian Bu melerai dan menyuruh kedua fihak mundur. Kao Liang kini memandang pemuda asing itu dengan alis berkerut. “Orang asing, apakah maksudmu?” tanyanya. “Hemmm, Kao Liang, engkau tadi memaki ayahku. Pangeran Liong Bin Ong adalah ayah kandungku. Ibuku adalah seorang puteri Mongol yang berdarah orang kulit putih. Dengarlah, orang she Kao. Kami, aku dan Sumoiku ini menyadari akan kesalahan orang-orang tua kami yang melakukan pemberontakan terhadap kerajaan, maka kami tidak akan mengulang kesalahan mereka. Akan te¬tapi, sebagai anak-anak yang berbakti, kami harus membalaskan kematian ke¬luarga kami itu kepada yang bersangkut¬an! Karena hancurnya keluarga Kim-sumoi ini adalah karena engkau, maka Sumoi hendak membalaskan dendam keluarganya kepadamu!” Mendengar bahwa pemuda asing ini adalah putera mendiang pemberontak Liong Bin Ong, semua orang tercengang. “Ahhh.... sungguh aneh dan luar biasa. Mengapa anak-anak mereka juga dapat menjadi saudara-saudara seperguruan?” Kao Liang berseru heran. “Kao Liang, dalih apa pun yang kau¬kemukakan, tetap saja kuanggap bahwa engkau menjadi biang keladi terbasminya keluargaku, oleh karena itu aku harus membalas kepadamu!” Gadis baju hijau itu berseru. “Aku Kim Cui Yan bersum¬pah takkan mau sudah sebelum musuh besar keluargaku dapat terbasmi pula!” Sepasang matanya memandang penuh kebencian kepada Kao Liang dan dua orang puteranya itu yang sudah siap lagi untuk menghadapi terjangan wanita yang menjadi berbahaya karena sakit hati itu. “Dan mengingat bahwa engkau dahulu pun merupakan musuh dari mendiang ayahku, maka aku akan selalu membantu Sumoi menghadapi engkau dan keluarga¬mu, orang she Kao!” si pemuda asing berseru. “Aku Liong Tek Hwi juga sudah bersumpah akan membasmi musuh-musuh orang tuaku!” Melihat kedua fihak sudah mau ber¬gerak saling serang lagi, Kian Bu cepat melangkah maju dan membentak. “Cukup! Selagi aku berada di sini, aku tidak akan membiarkan pertempuran lagi. Aku tidak membantu siapapun juga, akan tetapi aku akan menghadapi siapa saja yang hendak memamerkan kepandaian!” bentaknya keras dan sikapnya menyeramkan sehingga Kim Cui Yan dan Liong Tek Hwi yang berkepandaian tinggi itu menjadi gentar. Mereka bukan penakut, akan tetapi me¬reka merasa segan untuk melanggar la¬rangan Siluman Kecil yang selain hebat kepandaiannya, juga pernah menolong mereka. Juga, nama Siluman Kecil sudah cukup membuat mereka tunduk dan me¬ngalah. Kim Cu Yan menjura kepada Kian Bu. “Baiklah, Taihiap. Memandang muka Taihaip dan nama Siluman Kecil, biarlah kami mengalah dan tidak akan meng¬gunakan kekerasan di depan Taihiap.” Lalu dia menoleh kepada bekas jenderal itu. “Akan tetapi, orang-orang she Kao, ingatlah bahwa selama aku Kim Cui Yan masih hidup, jiwa kalian selalu akan dibayangi oleh pembalasanku! Liong¬suheng, mari kita pergi!” Dua orang itu lalu melangkah pergi diikuti oleh lima orang anak buahnya, berjalan cepat tanpa menoleh lagi. Jen¬deral Kao Liang mengelus jenggotnya dan berkata seperti kepada diri sendiri namun cukup jelas terdengar oleh orang lain yang berada di situ. “Aihhh...., kekerasan...., kekerasan...., dalam bentuk apa pun juga, tentu mendatangkan kekerasan yang lain lagi, sebab akibat, balas-mem¬balas tiada berkeputusan seperti lingkar¬an setan. Betapa menyedihkan....!” “Aduhhhhh....!” Kian Bu dan tiga orang ayah dan anak itu terkejut dan cepat menengok ke arah datangnya suara itu. Kian Bu me¬lihat Siauw Hong terlempar dan roboh terbanting, pingsan! Sedangkan Kang Swi lari pergi dari bawah pohon sambil me¬nangis terisak-isak, sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon. Kian Bu terkejut dan heran. Bukankah tadi Siauw Hong memondong tubuh Kang Swi yang terluka parah itu ke bawah po¬hon dan mengobatinya? Apa yang ter¬jadi? Mengapa kini Siauw Hong terpukul sampai pingsan dan mengapa pula pe¬muda tampan yang kaya raya itu melari¬kan diri sambil menangis terisak-isak seperti itu? Kian Bu cepat meloncat dan berlutut memeriksa Siauw Hong. Tidak terluka parah dan dengan beberapa kali pijatan di kedua pundaknya dan tengkuk¬nya, pemuda remaja itu telah siuman kembali. Begitu siuman, Siauw Hong bangkit duduk, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari. “Kau mencari siapa?” Kian Bu ber¬tanya. “Dia.... mana dia....“ Siauw Hong bertanya. “Kang Swi? Dia telah lari dan aneh¬nya, dia lari sambil menangis seperti anak kecil. Siauw Hong, apakah yang telah terjadi?” Kian Bu bertanya. Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan dia menundukkan muka¬nya. Terbayanglah semua yang telah terjadi tadi. Biarpun dia merasa malu dan sungkan, akan tetapi demi untuk menyelamatkan Kang Swi yang ternyata adalah seorang dara remaja itu, terpaksa dia menempelkan telapak tangannya di dada itu, dada yang putih dan tangannya diapit-apit sepasang bukit indah, me¬nyalurkan sinkangnya dan perlahan-lahan memulihkan keadaan rongga dada yang terluka akibat guncangan pukulan tadi. Selagi dia melakukan pengobatan, tiba-¬tiba saja Kang Swi membuka matanya. Dara itu menahan jeritnya lalu meng¬hantam ke arah muka Siauw Hong. Pe¬muda ini terkejut, miringkan kepalanya se¬hingga hantaman itu meleset dan mengenai lehernya. Dia terlempar dan pingsan. “Apa yang telah terjadi, Siauw Hong?” tanya pula Kian Bu mendesak ketika dilihatnya pemuda itu menunduk saja tanpa menjawab. Siauw Hong menggeleng kepala “Tidak apa-apa.... tidak apa....,dia me¬mang orang aneh....“ jawabnya. Tentu saja Siauw Hong merasa sungkan sekali untuk menceritakan apa yang telah ter¬jadi. Pula terdapat perasaan aneh di dalam hatinya terhadap Kang Swi. Kalau Kang Swi ternyata seorang dara yang menyamar tentu berarti dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia seorang gadis. Nah, biarlah tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia! Sementara itu, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang tidak mau mencampuri urusan mereka, kini menghampiri Kian Bu dan orang tua gagah itu menura sambil berkata, “Kami telah menerima bantuan Sicu yang amat berharga. Kalau tidak ada Sicu, kiranya kami sudah terbunuh oleh wanita puteri pemberontak itu. Dan saya merasa se¬perti pernah mengenal wajah Sicu. Kami juga sudah mendengar akan nama besar Siluman Kecil, akan tetapi, bolehkah kami mengetahui nama Sicu?” Pada saat itu, Kian Bu masih me¬mandang kepada Siauw Hong dengan pandang mata penuh selidik. Dia menger¬ti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang aneh antara Kang Swi dan Siauw Hong, dan dia ingin tahu apa adanya peristiwa itu. Melihat pandang mata Kian Bu kepadanya Siauw Hong juga maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menyembunyi¬kan rahasia kalau didesak oleh Siluman Kecil, maka mendengar pertanyaan bekas jenderal itu, untuk mengalihkan perhatian dan mengubah percakapan, dia cepat menjawab, “Nama Taihiap ini adalah Suma....“ “Siauw Hong!” Kian Bu berseru se¬hingga Siauw Hong menjadi kaget dan tidak melanjutkan kata-katanya. Akan tetapi, sebutan she Suma itu sudahlah cukup bagi Kao Liang dan dua orang puteranya. Bekas jenderal itu me¬langkah maju, menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata tajam dan di baliknya terkandung kemarahan yang mengheran¬kan hati Kian Bu. “Jadi engkau adalah putera keluarga Pulau Es?” bentak be¬kas jenderal itu. Dengan pandang mata masih terheran¬-heran, Kian Bu mengangguk karena tidak perlu lagi untuk menyembunyikan diri setelah she-nya diketahui orang. “Keparat!” Tiba-tiba saja jenderal itu bersama dua orang puteranya telah maju menyerang kalang-kabut! “Ehhh....! Lhohhh....! Bagaimana pula ini....?” Siauw Hong kebingungan dan berteriak-teriak. Akan tetapi tiga orang itu tetap saja menyerang terus sungguh¬pun orang yang diserangnya itu terus mengelak dengan mudah. Melihat ini, Siauw Hong hendak menyerbu dan mem¬bantu Kian Bu, akan tetapi Kian Bu melarangnya. “Mundurlah kau, Siauw Hong! Paman dan Saudara-saudara Kao, hentikan se¬rangan kalian! Ketahuilah bahwa aku bukan orang yang menculik keluarga Kao maupun mencuri harta benda keluarga kalian!” Mendengar ini, Jenderal Kao dan dua orang puteranya menghentikan serangan, namun mereka masih memandang dengan penuh kecurigaan dan kemarahan. “Apa maksudmu? Dan bagaimana kau bilang bahwa kau bukan orang yang melakukan¬nya kalau kau mengetahui semua itu?” Kian Bu menghela napas. “Aku men¬dengar dari kakakku, Suma Kian Lee yang juga telah menceritakan betapa dia kalian serang kalang-kabut seperti tadi. Jelas bahwa kami berdua kakak beradik difitnah orang sehingga engkau menyang¬ka kami yang melakukan semua itu, Pa¬man Kao Liang. Sungguh aneh, Paman Kao tentu sudah mengenal baik keadaan kami sekeluarga. Apakah Paman dapat percaya begitu mudahnya mendengar bahwa kami kakak beradik dari Pulau Es kini menjadi perampok dan penculik? Begitu rendahkah Paman memandang kami berdua? Wajah bekas jenderal itu menjadi merah. Dia menarik napas panjang dan menjawab, “Kalau keadaan tidak seperti ini, tentu sampai mati pun kami tidak akan percaya. Akan tetapi, banyak bukti menunjukkan bahwa yang melakukan se¬mua kekejian terhadap keluarga kami adalah orang-orang she Suma. Dan meng¬ingat bahwa kami tidak terpakai lagi oleh kerajaan, mengingat bahwa ayah kalian adalah mantu kaisar, maka be¬sar kemungkinannya keluarga kalian yang dipergunakan oleh sri baginda atau mere¬ka yang berkuasa untuk membasmi kami. Bukan sebagai penculik atau perampok, melainkan sebagai pengemban perintah atasan.” Lalu diceritakanlah semua pe¬ngalaman yang menimpa dia sekeluarga¬nya itu kepada Kian Bu, dari awal sam¬pai saat itu mereka belum juga dapat menemukan keluarga mereka. “Demikianlah, Sicu. Semua bukti me¬nunjukkan bahwa keluarga Suma yang melakukan ini, dan sekarang Sicu ber¬sikap seperti ini. Sungguh membuat kami meragu dan bingung. Katakanlah, demi keadilan, demi kegagahan dan demi nama baik Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, katakanlah Suma-sicu, demi persaha¬batan antara keluarga kita, apakah kalian yang melakukan penculikan keluarga kami ataukah bukan?” Melihat wajah yang pucat dan muram penuh kekhawatiran dan kedukaan itu, melihat pandang mata yang penuh harap¬an itu, Kian Bu merasa terharu dan dengan tegas dia menjawab, “Bukan kami, demi kehormatan keluarga kami!” “Ohhh....!” Dan bekas jenderal itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Dua orang puteranya cepat berlutut dan memegang lengan ayah mereka. “Ayah....!” Kok Han mengeluh. “Ayah, kuatkanlah perasaan Ayah” kata Kok Tiong, dia sendiri menjadi pu¬cat mukanya dan menahan air matanya. Hati siapa tidak akan menjadi gelisah memikirkan lenyapnya isterinya di antara keluarga itu, juga dua orang anaknya? Kao Liang menurunkan kedua tangan¬nya. Pipinya basah akan tetapi dari ke¬dua matanya tidak lagi ada air mata mengalir. “Hatiku lega mendengar bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan perbuatan biadab itu,” katanya setelah dia berdiri lagi. “Akan tetapi bersama dengan kelegaan itu hatiku menjadi ma¬kin khawatir karena kami sama sekali tidak tahu siapa gerangan pelakunya.” “Ayah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan mencari Twako,” kata Kok Tiong. Ayahnya mengangguk-angguk. “Benar, akan tetapi tempat tinggal kakakmu terlalu jauh, aku khawatir kalau-kalau akan terlambat....“ Tiba-tiba Kian Bu berkata, “Paman, jangan khawatir. Aku dan kakakku sudah memperbincangkan urusan kalian itu dan kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membongkar rahasia ini. Bukan hanya untuk menolong keluargamu dan mencari harta bendamu, melainkan juga untuk membersihkan nama kami yang difitnah orang. Kakakku menderita sakit, terluka parah dan sedang berobat, bahkan sekarang pun aku sedang membelikan obat untuknya. Tunggu kalau dia sudah sembuh, kami berdua tentu akan me¬nyelidiki hal ini dan menangkap orangnya yang telah melakukan semua perbuatan secara sembunyi itu dan menggunakan nama kami!” Kian Bu bicara penuh se¬mangat. “Ah, kami menyesal sekali, kami per¬nah pula menyerang kakakmu. Hal itu adalah karena kami masih mengira....“ “Sudahlah, Paman Kao. Kakakku juga mengerti bahwa kalian salah paham dan tidak menaruh penyesalan.” “Betapapun juga, kami harus me¬nengoknya.” “Kalau begitu, marilah, Paman.” Berangkatlah Kian Bu, Siauw Hong, diiringkan oleh Kao Liong dan dua orang puteranya itu, menuju ke puncak Nelayan yang tidak berapa jauh lagi dari situ. Siauw Hong merasa girang dan lega se¬kali karena percakapan yang serius anta¬ra Kian Bu dan keluarga Kao tadi agaknya membuat semua orang, terutama Kian Bu, lupa akan keadaan Kang Swi sehingga tidak lagi bertanya-tanya. Me¬reka melakukan perjalanan cepat mendaki puncak dan matahari sudah mulai ber¬kurang panasnya. *** Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak Nelayan, tiba-tiba terdengar seru¬an, “Sute....!” Kian Bu dan Siauw Hong cepat me¬nengok dan cepat pula mereka berlari ke arah datangnya suara itu, diikuti oleh Kao Liang dan dua orang puteranya yang merasa terheran-heran melihat bahwa yang memanggil itu adalah seorang ber¬pakaian pengemis yang usianya sudah enam puluh lima tahun lebih. Pengemis ini berdiri bersandarkan batang pohon dan terikat pada batang pohon itu dari dada sampai ke kaki, sama sekali tidak mampu bergerak! “Suheng....! Kau kenapa....?” Siauw Hong bertanya penuh keheranan dan ce¬pat dia bersama Kian Bu melepaskan ikatan itu. Wajah Gu Sin-kai, pengemis itu, men¬jadi merah sekali. “Celaka,” katanya. “Gadis setan itulah yang melakukannya!” Siauw Hong terkejut. “Seorang gadis? Dan dia mampu mengalahkanmu dan membelenggumu seperti ini, Suheng?” Tentu saja Siauw Hong kaget bukan ma¬in. Suhengnya itu, Gu Sin-kai, edalah murid pertama dari gurunya, ilmu kepan¬daiannya tinggi, akan tetapi kini dapat dibelenggu oleh seorang gadis! Melihat pengemis itu ragu-ragu dan kelihatan seperti malu untuk mencerita¬kan karena di situ terdapat banyak orang, Kian Bu lalu berkata, “Gu Sin-kai, harap kau tidak ragu-ragu untuk menceritakan semuanya. Mereka ini bukan orang lain, melainkan Paman bekas Jenderal Kao Liang yang terkenal itu dan dua orang puteranya.” Memang nama Kao Liang amat ter¬kenal, apalagi hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw mengenal nama ini dengan perasaan hormat, maka begitu mendengar bahwa kakek gagah perkasa yang datang bersama sutenya dan Silu¬man Kecil itu adalah bekas panglima yang amat terkenal itu, dia cepat men¬jura dengan hormat. “Ah, kiranya Kao¬tai-ciangkun....“ Kao Liang tersenyum. “Jangan me¬nyebutku Tai-ciangkun karena aku se¬karang bukan lagi seorang panglima, bahkan perajurit pun bukan.” Gu Sin-kai mengangguk. “Maafkan saya, Kao-enghiong.” Lalu dia bercerita kepada Kian Bu dan Siauw Hong. “Tadi ada seorang gadis remaja yang liar naik ke sini. Ketika bertemu denganku, dia mengatakan bahwa dia hendak bertemu dengan Taihiap Suma Kian Lee. Aku merasa curiga dan mengatakan bahwa tidak boleh sembarangan bertemu dengan Suma-taihiap, akan tetapi dengan lagak sombong dia mengatakan bahwa kalau aku tidak mau menunjukkan, dia akan memukulku. Tentu saja aku makin curiga dan marah. Kami bertempur dan ternyata dia lihai bukan main....“ “Hemmm, gadis itu apakah pakai¬annya serba hitam?” tiba-tiba Kian Bu bertanya. “Ya benar! Apakah kau mengenalnya, Taihiap?” tanya Gu Sin-kai. Kian Bu menahan senyumnya dan membayangkan wajah Hwee Li. Siapa lagi kalau bukan gadis liar yang lihai itu yang dapat membelenggu Gu Sin-kai? Gadis itu liar, ganas, aneh dan ilmu kepandaiannya tinggi. Sukar diduga apa saja yang akan dilakukan oleh seorang dara seperti Hwee Li. “Mari kita cepat naik ke puncak!” katanya tanpa menjawab pertanyaan Gu Sin-kai tadi. Semua orang mengikutinya dan mereka mendaki puncak dengan ce¬pat. Apa yang dikhawatirkan oleh Kian Bu memang benar terjadi. Ketika dia dan yang lain-laintiba di depan pintu ger¬bang tempat tinggal Sai-cu Kai-ong, mereka melihat keributan sedang terjadi di situ. Dari jauh sudah nampak dua orang sedang bertanding dengan serunya. Para pengemis yang menjadi anak buah Sai-cu Kai-ong hanya mengurung dengan senjata di tangan, tidak berani turun ta¬ngan. Kian Bu maklum bahwa Sai-cu Kai¬-ong adalah seorang tua yang angkuh dalam hal pertandingan, sama sekali tidak memperbolehkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Padahal dia terdesak hebat dalam perkelahian itu! Di dekat situ nampak Hwee Li berdiri sam¬bil meringis kesakitan memegangi lengan kanannya yang agaknya terluka. Pertempuran itu memang hebat se¬kali. Kian Bu menjadi bengong dan ka¬gum. Lawan dari Sai-cu Kai-ong adalah seorang wanita muda yang amat luar biasa gerakannya. Melihat betapa Sai-¬cu Kai-ong sampai mempergunakan tong¬katnya melawan wanita yang bertangan kosong itu, dan masih terdesak, dapat diduga betapa lihainya wanita ini, wanita cantik yang pandang matanya tajam men¬corong namun alisnya berkerut seperti orang sedang marah atau berduka. Kian Bu, Siauw Hong, Kao Liang dan dua orang puteranya itu segera mengenal wanita itu. “Ceng Ceng....!” Terdengar bekas jenderal itu menahan seruannya ketika dia mengenal mantunya. Kian Bu yang tadinya teringat bahwa wanita itulah yang disebut “subo” oleh Hwee Li, men¬dengar disebutnya nama ini menjadi ter¬kejut sekali dan kini dia pun teringatlah bahwa guru Hwee Li itu adalah Ceng Ceng! Adapun Siauw Hong juga mengenal wanita perkasa itu ketika Ceng Ceng dan suaminya, Kao Kok Cu, berada di dalam restoran di mana Kok Cu membagi-bagi¬kan masakan kepada para pengemis. Melihat bahwa wanita itu adalah Ceng Ceng, yang baru sekarang diingatnya, Kian Bu cepat meloncat ke depan dan berseru. “Tahan....! Kita berada di an¬tara teman sendiri!” Ceng Ceng menahan gerakannya dan kini dia berdiri tegak, sepasang matanya mencorong memandang ke arah pemuda berambut putih yang berdiri di depannya. Sejenak mereka berpandangan dengan sinar tajam penuh selidik, kemudian ter¬dengar Kian Bu berkata lirih, “Ceng Ceng, Lupakah kau kepadaku? Aku Suma Kian Bu....“ “Ohhh....!” Sepasang mata itu ter¬belalak, bibir itu tersenyum dan dia cepat menjura. “Ahhh, kiranya Paman....“ katanya agak gagap karena memang be¬lum terbiasa olehnya menganggap pemuda dari Pulau Es ini sebagai pamannya. “Ceng Ceng....!” Wanita itu terkejet dan menengok. Bukan main kagetnya ketika dia melihat bahwa ayah mertuanya berada di situ pula. “Twa-so....!” Kok Tiong dan Kok Han juga berseru. “Ayah....! Adik Tiong dan Adik Han....!” Ceng Ceng cepat menghampiri dengan wajah berseri. “Ayah di sini?” Dia cepat memberi hormat. “Ceng Ceng, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Mana suamimu? Kami sedang hendak mencari kalian di utara” “Kami sudah lama meninggalkan utara, Ayah. Puteramu tidak jauh dari sini dan kami.... ah, panjang ceritanya, Ayah. Akan tetapi mengapa Ayah dan kedua adik berada di sini?” Bekas jenderal itu menarik napas panjang. Ceritanya juga panjang, nanti kuceritakan semua kepadamu....” Dia menoleh ke arah Kian Bu. “Ceng Ceng, sebaiknya urusanmu di sini dibereskan dulu. Apa yang terjadi dan kenapa kau berkelahi?” “Benar, Ceng Ceng, kenapa kau ber¬kelahi dengan Paman Sai-cu Kai-ong? Paman, apakah yang telah terjadi dan mengapa kalian berdua bertempur?” Kian Bu juga bertanya. “Ahhh, semua adalah gara-gara Hwee Li yang bengal! Hwee Li, hayo kauceri¬takan semua perbuatanmu yang mengakibatkan aku sampai bertempur dengan Locianpwe ini!” Ceng Ceng berkata ke¬pada Hwee Li sambil menghampiri mu¬ridnya itu dan memeriksa luka di lengan muridnya, mengobatinya dan membalut¬nya dengan saputangan. Mulut yang indah bentuknya itu cem¬berut, matanya yang tajam menyambar ke kanan kiri, mengamati semua orang dan agak lama berhenti di wajah Kian Bu. Lalu dia berkata kepada Kian Bu, “Eh, kau sudah kubantu mendapatkan obat untuk kakakmu, apakah engkau juga akan menyalahkan aku dan membantu tuan rumah yang galak ini?” Dia me¬nuding ke arah Sai-cu Kai-ong. Kian Bu menahan senyumnya. Dara itu sebenarnya bukan kanak-kanak lagi, baik dilihat dari wajahnya yang cantik jelita maupun bentuk tubuhnya, akan tetapi sikapnya benar-benar seperti seorang anak kecil! “Aku tidak menyalah¬kan siapa-siapa, kita berada di antara orang-orang sendiri, maka sebaiknya se¬mua kesalahfahaman diselesaikan dengan damai. Hwee Li, mengapa engkau mem¬belenggu Gu Sin-kai ini di bawah sana, mengikatnya pada sebatang pohon?” Hwee Li tersenyum. “Siluman Kecil, kau sudah tahu namaku sekarang?” “Tentu saja! Dan Lee-koko sangat berterima kasih kepadamu.” “Ah, bagaimana dengan dia? Ketahui¬lah, ketika aku mendengar darimu bah¬wa.... dia terluka parah, aku lalu me¬nyusul ke sini dan aku ingin sekali me¬nengoknya. Aku pernah mengenalnya, pernah mengobati pahanya dan kini men¬dengar dia menderita luka parah, aku ingin menengoknya. Salahkah itu? Akan tetapi.... para jembel ini....“ “Hwee Li!” Ceng Ceng menghardiknya. Hwee Li melirik ke arah Ceng Ceng dengan mulut cemberut. “Subo, harap Subo lihat pakaian mereka,” dia me¬nuding ke arah anak buah Sai-cu Kai¬-ong, “Bukankah mereka itu pengemis semua dan bukankah pengemis juga boleh disebut jembel?” “Hemmm, bocah bengal! Jangan ku¬rang ajar kau!” kembali Ceng Ceng meng¬hardik. Sering kali nyonya muda ini me¬rasa kewalahan menghadapi muridnya yang bengal dan pandai bicara itu, dan sering dia memarahi Hwee Li sungguhpun di dalam hatinya dia sayang sekali ke¬pada dara ini dan hal ini pun diketahui oleh Hwee Li sehingga murid ini tidak pernah merasa sakit hati dimarahi oleh subonya. “Baiklah, Subo. Siluman Kecil, ke¬tahuilah, ketika aku hendak menengok kakakmu, aku dilarang naik ke puncak oleh jem.... eh, oleh kakek itu.” Dia menuding ke arah Gu Sin-Kai. “Kami bertempur dan dia lalu kuikat di pohon agar tidak menghalangiku. Masih baik aku tidak mengetuk kepalanya....!” Dia melerok ke arah Gu Sin-kai yang hanya menundukkan mukanya dan masih ter¬heran-heran dan penasaran bagaimana dia telah dikalahkan oleh dara remaja yang sikapnya masih seperti anak kecil itu! “Kemudian, ketika tiba di depan pintu gerbang ini, muncul jem.... eh, kakek tua yang lihai ini. Aku kalah dan untung datang Subo yang membantuku setelah lenganku terluka oleh tongkat bututnya.” “Aku tadinya tidak tahu akan duduk perkaranya, akan tetapi melihat Hwee Li terluka oleh Locianpwe ini, tentu saja aku lalu membelanya, Paman,” kata Ceng Ceng kepada Kian Bu sehingga Sai-cu Kai-ong dan para murid serta anak buah¬nya terheran-heran mengapa nyonya mu¬da itu menyebut paman kepada Kian Bu, padahal usia mereka sebaya. Tentu saja bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah cucu isteri Pendekar Super Sakti, tahu akan hubungan mereka dan tidak menjadi heran. “Ahhh, sungguh kesalahan terletak pada kami,” Sai-cu Kai-ong berkata dan menjura ke arah Ceng Ceng. “Kepandaian Toanio sungguh amat hebat luar biasa dan harap suka memaafkan kami yang terlalu mencurigai orang. Suma Kian Lee sedang terluka parah dan tidak boleh sembarang ditengok orang, apalagi kami belum mengenal muridmu ini, maka kami melarangnya.” Akan tetapi Ceng Ceng sudah tidak memperhatikan lagi kata-kata itu. Dia menoleh kepada Kian Bu dan bertanya dengan wajah agak berubah, “Paman Kian Lee terluka parah....?” Dia bertanya. “Benar, Subo. Dan aku yang mencari¬kan obatnya. Kalau tidak ada aku, tidak mungkin Siluman Kecil bisa mendapat¬kannya dengan mudah.” “Kenapa kau tidak rnenceritakan ke¬padaku? Ah, bocah bodoh. Hayo kita cepat menengok Paman Kian Lee!” Kian Bu cepat memperkenalkan mere¬ka semua, keluarga Jenderal Kao Liang dan Ceng Ceng serta muridnya kepada Sai-cu Kai-ong. Kakek ini terkejut sekali mendengar bahwa para tamunya adalah orang-orang yang telah lama dikagumi dan dijunjung tinggi namanya, apalagi nama bekas Jenderal Kao Liang, dan dia terkejut mendengar bahwa nyonya muda bekas lawannya itu adalah isteri dari pendekar si Naga Sakti dari Istana Gurun Pasir! Dengan ramah dan penuh hormat dia lalu mempersilakan mereka semua masuk dan mereka langsung mengunjungi Suma Kian Lee yang masih rebah di atas pembaringan di dalam kamar. Akan te¬tapi setelah tiba di luar pintu, Sai-cu Kai-ong menahan mereka dan berkata halus, “Harap Cu-wi sekalian sudi me¬maafkan saya. Biarpun Kian Lee telah terbebas dari bahaya maut, akan tetapi tubuhnya masih lemah sekali, maka kun¬jungan banyak orang tentu akan menge¬jutkannya dan melelahkannya. Oleh kare¬na itu, sebaiknya kunjungan dilakukan secara bertahap dan terpisah, dan sebaik¬nya kalau satu demi satu?” “Aku akan, menengoknya lebih dulu!” Hwee Li sudah melangkah maju. Me¬lihat ini, yang lain mengalah dan diam¬-diam Ceng Ceng mengerutkan alisnya menyaksikan sikap muridnya itu. Akan tetapi di depan banyak orang, dia diam saja tidak mencegah dan pintu kamar itu dibuka oleh Sai-cu Kai-ong yang mem¬biarkan Hwee Li menyelinap masuk. Hwee Li melangkah perlahan men¬dekati pembaringan di mana Kian Lee rebah terlentang dengan mata terpejam. Wajahnya yang tampan masih agak pucat dan tubuhnya agak kurus. Hwee Li ber¬diri dekat pembaringan, pandang matanya menatap wajah itu tanpa berkedip. Se¬lama bertahun-tahun ini, semenjak dia mengobati paha Kian Lee ketika terluka dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali), dia tidak pernah melupakan Kian Lee yang dikaguminya. Kini, melihat pemuda itu, jantungnya berdebar aneh dan baru pertama kali ini selama hidupnya Hwee Li yang keras hati itu merasa terharu dan hampir saja dia meneteskan air mata kalau dia tidak cepat-cepat memejamkan mata dan mengeraskan hati menekan perasaan. Ketika dia membuka kembali matanya, dia melihat bahwa Kian Lee telah sadar dan menengok kepadanya, memandang kepadanya dengan mata ter¬belalak. Akan tetapi segera Kian Lee tersenyum dan mengenalnya, bahkan su¬dah bangkit duduk. “Ahhh, kiranya engkau yang datang, Hwee Li,” kata Kian Lee wajah gembira. Hwee Li cepat duduk di atas bangku dekat pembaringan. “Kau masih mengenal aku?” Suaranya agak gemetar karena dia masih terharu. “Tentu saja, apalagi karena adikku telah menceritakan betapa engkau yang membantunya mencari jamur panca war¬na. Hwee Li, beberapa tahun yang lalu engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika pahaku terluka oleh bibi gurumu, dan kini kembali engkau menyelamatkan nyawaku dengan bantuanmu mendapatkan jamur panca warna. Sungguh aku ber¬hutang budi kepadamu, Hwee Li.” “Ahhhhh, siapa ingin bicara tentang budi? Mukamu pucat sekali, Kian Lee, tubuhmu kurus dan kau kelihatan lemah sekali. Hemmm, sungguh keji sekali Silu¬man Kecil adikmu itu! Ingin aku menge¬tuk kepalanya karena dia berani me¬mukulmu seperti ini!” Kian Lee tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Melihat dan mendengar kata-kata gadis ini benar-benar men¬datangkan semangat dan gairah hidup, seolah-olah ada cahaya matahari cerah memasuki kamarnya dari jendela. “Sudah cukup kau menghajarnya, Hwee Li. Kasihanilah dia karena dia memukul aku tanpa disengaja. Kami berkelahi karena kami berdua dalam penyamaran dan tidak saling mengenal. Eh, kau dari mana saja, Hwee Li? Selama lima enam tahun tidak berjumpa, engkau kini telah menjadi seorrang gadis yang lihai dan sudah dewasa.” Sepasang mata itu bersinar-sinar amat indahnya. “Benarkah kau tidak melupakan aku? Aku telah banyak merantau, Kian Lee, sampai di gurun pasir, bahkan melintasi lautan bersama burung garuda. Akan tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu, dan baru secara kebetulan aku bertemu dengan Siluman Kecil yang ternyata adalah Kian Bu, adikmu.” Selama ini Kian Lee banyak menang¬gung penderitaan batin sehingga dia se¬lalu murung dan kurang gembira. Baru sekarang dia merasa gembira sekali me¬mandang dan bicara dengan gadis ini. Sungguh, luar biasa lucu dan menggembi¬rakannya melihat gadis ini bicara, me¬nyebut namanya dan nama adiknya begitu saja seolah-olah Hwee Li merasa lebih tua, lebih pandai dan lebih segala-gala¬nya! Akan tetapi di dalam semua itu terdapat kewajaran yang menyegarkan, sehingga orang tidak akan merasa ter¬singgung oleh sikapnya yang polos, wajar dan jujur sehingga agak kasar itu. Tidak ada bosannya mendengar Hwee Li ber¬cerita panjang lebar dengan gerakan kedua tangannya dan bibir itu bergerak¬-gerak dengan kenesnya, mata itu ber¬sinar-sinar. Dari cerita ini Kian Lee mendengar bahwa Hwee Li telah berguru kepada Ceng Ceng yang kini menjadi nyonya Kao Kok Cu, tinggal di Istana Gurun Pasir dan mempunyai seorang anak laki-laki yang telah lenyap! “Subo dan Suhu sekarang mencari¬-carinya....“ Pada saat itu, pintu kamar terbuka dan masuklah Sai-cu Kai-ong. “Nona, harap Nona menyudahi kunjungan Nona karena yang lain-lain juga ingin masuk. Maaf, dia tidak boleh diganggu terlalu lama.” “Akan tetapi siapa yang mengganggunya? Aku sama sekali tidak mengganggunya! Bukankah aku tidak mengganggumu, Kian Lee?” Hwee Li membantah. Kian Lee menggeleng kepala lalu bertanya kepada kakek itu, “Paman, si¬apakah yang akan mengunjungi aku?” “Ada Panglima Kao Liang di luar....“ “Ahhh!” Kian Lee terkejut dan dia lalu berkata kepada Hwee Li, “Hwee Li, maafkan aku. Harap kau suka keluar dulu dan membiarkan Jenderal Kao masuk.” “Huh, jadi kau lebih suka bercakap¬-cakap dengan segala macam jenderal, ya? Kau lebih senang bicara dengan dia daripada dengan aku?” Kian Lee tersenyum. “Tidak begitu, Hwee Li, akan tetapi kasihan dia yang sudah menanti sejak tadi.” Dengan mulut cemberut Hwee Li terpaksa meninggalkan kamar itu dan ketika di pintu kamar dia bertemu de¬ngan Kao Liang, dia mencibirkan bibirnya kepada bekas panglima besar itu! Bekas Jenderal Kao Liang memasuki kamar. Kian Lee memandangnya dan mempersilakan duduk dengan tangannya. Kao Liang duduk dan berkata, “Kedua orang puteraku berada di luar pula, akan tetapi karena kami tidak ingin banyak mengganggu Sicu yang sedang sakit, ma¬ka aku mewakili mereka untuk menengok dan sekalian minta maaf kepada Sicu atas sikap kami tempo hari.” “Ah, Lo-ciangkun terlalu sungkan....” “Sicu, saya bukan panglima lagi. Kami telah bertemu dengan adikmu dan baru¬lah kami tahu bahwa Sicu berdua sama sekali bukan orang yang telah meng¬ganggu keluarga kami, maka maafkanlah kami atas penyerangan kami terhadap Sicu tempo hari karena kami tadinya mengira bahwa....“ “Sudahlah Lo-enghiong. Aku pun su¬dah mengerti dan sudah menduga bahwa terjadi kesalahfahaman di sini. Bahkan aku dan adikku sudah bersepakat untuk kelak setelah aku sembuh, membantu keluarga Lo-enghiong dan membongkar rahasia itu, menghukum penjahatnya yang telah menjatuhkan fitnah kepada kami.” Kao Liang lalu bangkit berdiri dan menjura. “Terima kasih, Sicu. Sungguh bodoh sekali bahwa saya pernah meragu¬kan kemuliaan budi dan kegagahan ke¬luarga Pulau Es. Perkenankan saya keluar dan harap Sicu menjaga diri baik-baik agar cepat sembuh.” “Terima kasih.” Kao Liang lalu keluar dan tak lama kemudian pintu itu terbuka kembali dan masuklah seorang wanita cantik ke dalam kamar itu. Sejenak mereka berpandangan ketika wanita itu berdiri di tengah kamar. Wa¬jah Kian Lee sebentar pucat sebentar merah ketika dia memandang wajah can¬tik yang selama ini sukar untuk dilupa¬kannya itu, wajah wanita satu-satunya di dunia ini yang pernah mencengkeram hatinya, yang telah merampas cinta kasihnya akan tetapi juga yang kemudian menghancurkan hatinya karena wanita ini tidak mungkin menjadi jodohnya. Dia sa¬ma sekali tidak mengira bahwa Ceng Ceng akan memasuki kamarnya. “Kau.... kau.... Ceng Ceng....?” Dia berkata lemah dan gugup, lirih seperti bisikan saja. Sejenak hati Ceng Ceng seperti di¬remas oleh rasa haru. Dia tahu apa yang terjadi di dalam hati pemuda perkasa ini. Melihat betapa pemuda ini demikian kurus dan pucat, dan wajahnya tampan itu jelas membayangkan banyak penderi¬taan batin, dia merasa terharu karena merasa bahwa dialah yang berdosa telah mengecewakan hati pemuda yang amat baik ini. Dari pandang mata Kian Lee, dia dapat mengukur isi hatinya dan ma¬kin perih rasa hatinya melihat betapa besar sinar kemesraan dari cinta kasih masih saja terpancar dari sepasang mata itu yang kini memandangnya. “Paman....!” Cepat Ceng Ceng meng¬hampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Lee yang duduk di atas pembaringan. “Keponakan¬mu Ceng Ceng memberi hormat dan mengharapkan kesembuhan bagimu, Pa¬man Suma Kian Lee.” “Eh.... eh...., Ceng Ceng, bangunlah....!” Kian Lee berseru gugup. “Ha¬ha, hampir saja aku lupa bahwa engkau adalah keponakanku! Ceng Ceng, bangun¬lah dan duduklah di atas bangku itu....“ Mendengar ini, barulah Ceng Ceng bangkit dan duduk di atas bangku, muka¬nya menjadi merah sekali, mungkin kare¬na dia berlutut tadi demikian anggapan Kian Lee, padahal wanita ini dengan sekuat tenaga menahan air matanya. Hati Ceng Ceng menjadi lega melihat pemuda itu kini memandangnya tidak seperti tadi lagi, bahkan ada senyum di bibir pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan. “Terima kasih, Ceng Ceng, terima kasih atas kunjungan ini dan si¬kapmu yang ramah. Bagaimana keadaan¬mu? Mana, suamimu dan apakah engkau kini telah menjadi seorang ibu yang baik?” Ceng Ceng mengangguk-angguk lalu bangkit berdiri, menghampiri pembaring¬an. “Paman, keadaan kami baik-baik saja dan kami telah mempunyai seorang anak laki-laki. Akan tetapi biarlah kita bicara tentang hal itu kelak saja karena aku datang mendengar engkau terluka parah dan aku ingin mengobatimu, Paman.” Kian Lee tersenyum. “Aku sudah sem¬buh, Ceng Ceng, setidaknya, sudah ham¬pir sembuh berkat pengobatan Sai-cu Kai-ong.” “Aku tahu, Paman, aku sudah men¬dengar penuturan orang tua itu dan Pa¬man Kian Bu, akan tetapi selama ini aku memperdalam ilmu pengobatan dengan penggunaan sinkang dan kim-ciam (jarum emas) dari guru suamiku.” “Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir?” Ceng Ceng hanya mengangguk. “Hebat sekali!” “Marilah kuperiksa keadaanmu, Pa¬man. Harap kau suka rebah terlentang,” kata Ceng Ceng dan Kian Lee tidak membantah, lalu dia rebah terlentang dan hanya memandang ketika dengan cekatan jari-jari tangan itu menanggalkan semua kancing bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Dengan teliti dari halus, jari-jari tangan Ceng Ceng me¬meriksa dada dan sekitarnya, menekan sana-sini, meraba sana-sini, dipandang dengan sinar mata penuh keharuan oleh Kian Lee. Dia merasa amat terharu melihat betapa wanita yang selama bertahun-tahun ini dirindukannya, membuat dia merana, kini memeriksanya dengan sikap begitu lembut dan teliti, membuatnya teringat benar bahwa wanita ini adalah keponakannya sendiri! Kian Lee yang melihat betapa wanita yang selama ini merampas semangat hidupnya itu memeriksanya, wajahnya demikian dekat sehingga dia melihat wajah itu sejelasnya, merasakan benar kehadirannya, dan merasakan betapa jari-jari itu dengan amat teliti memeriksanya, memejamkan mata dan merasa malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak mau melihat kenyataan bahwa wanita ini adalah keponakannya, masih ada hubungan darah daging dengan ibunya sendiri, cucu dari ibunya! Kini jari-jari yang cekatan itu mengancingkan kembali bajunya dan terdengar Ceng Ceng berkata, "Seperti yang telah kuduga, Paman. Memang obat dari Sai-cu Kai-ong amat manjur dan telah menyelamatkanmu dari bahaya, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenagamu secara cepat dan tepat, kiranya hanya dapat dilakukan dengan bantuan sinkang dari luar dan tusukan jarum emas. Dan mengingat bahwa engkau memiliki dasar tenaga sinkang yang amat kuat, maka diperlukan tenaga yang jauh lebih kuat darimu, dan untuk itu kiranya kalau aku menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, engkau akan dapat mudah tertolong sehingga cepat sembuh dan pulih seperti biasa kembali." Kian Lee sudah bangkit duduk dan memandang kepada Ceng Ceng sambil tersenyum. "Sungguh bahagia mempunyai seorang keponakan seperti engkau, Ceng Ceng. Dan tentu saja aku suka sekali dapat segera sembuh dan kuat mengingat banyaknya persoalan yang kuhadapi." Ceng Ceng lalu membuka daun pintu dan memanggil masuk Suma Kian Bu dan Sai-cu Kai-ong. Kedua orang itu bergegas masuk dan kepada mereka Ceng Ceng lalu menceritakan hasil pemeriksaannya. "Harap Sai-cu Kai-ong suka memaafkan kelancanganku. Pengobatanmu memang luar biasa sekali dan engkau telah menyelamatkan nyawa Paman Kian Lee, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenaga secara cepat, pengobatan dengan mengandalkan ramuan obat itu kurang cepat. Paman Kian Lee terluka oleh pukulan sinkang, maka pengobatan satu-satunya yang tepat dan cepat hanyalah dengan penggunaan sinkang pula, dibantu dengan penusukan jarum emas untuk menahan dan membuka jalan-jalan darah tertentu." Sebagai seorang ahli pengobatan, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Sayang aku tidak pandai ilmu tusuk jarum, dan tentang pengobatan dengan sinkang, siapakah yang mampu menembus tubuh Kian Lee yang penuh dengan sinkang amat kuat itu?" "Aku akan menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, Kai-ong, dan tentang penggunaan jarum emas, kebetulan sekali aku telah mempelajarinya dari guru suamiku." "Bagus sekali kalau begitu!" Sai-cu Kai-ong berseru girang dan kagum. Juga Kian Bu merasa girang sekali dan cepat-cepat dia membantu Ceng Ceng membuka baju Kian Lee, kemudian pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan. Ceng Ceng lalu mengeluarkan empat batang jarum emas. Dengan gerakan hati-hati namun cekatan, dia lalu menancapkan jarum-jarum itu pada dahi di antara kedua mata, di tengkuk, dan di kedua pundak Kian Lee yang sama sekali tidak merasakan nyeri. Kemudian, Ceng Ceng menyuruh Kian Bu duduk bersila di belakang Kian Lee, sedangkan dia sendiri duduk bersila di depan pemuda yang diobati itu, kemudian mereka berdua mengulur lengan, menempelkan telapak tangan di punggung dan dada Kian Lee menurut petunjuk Ceng Ceng. Mulailah mereka mengerahkan tenaga sinkang mereka dari pusar, sesuai dengan petunjuk nyonya muda yang lihai itu. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa sebelum menjadi isteri Kao Kok Cu, Ceng Ceng pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li, seorang nenek iblis ahli racun yang amat lihai dalam hal ilmu terrtartg racun dan dari nenek ini Ceng Ceng telah mempelajari ilmu-ilmu yang mujijat tentang segala macam racun yang dipergunakan oleh dunia persilatan. Tentu saja, selain pandai menggunakan racun, dia pandai pula mengobati segala macam penyakit akibat racun. Setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, melihat keahliannya ini. Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Istana Gurun Pasir lalu menurunkan pelajaran ilmu pengobatan dari golongan putih yang mempergunakan sinkang dan jarum emas untuk mengubah keahlian yang berdasarkan ilmu kaum sesat itu menjadi ilmu yang bersih pula. Karena hawa pukulan yang melukai tubuh Kian Lee adalah penggabungan antara tenaga yang sifatnya panas dan dingin seperti yang dilatih oleh Kian Bu, maka cara pengobatannya juga menyalurkan dua macam tenaga. Ceng Ceng menyuruh Kian Bu menggunakan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan dia sendiri mempergunakan sinkang yang berhawa panas. Dengan dua macam hawa sakti itu, mereka berdua mengalirkan tenaga mereka ke dalam tubuh Kian Lee. Dan jarum-jarum emas itu melakukan tugasnya untuk mencegah masuknya hawa-hawa yang amat kuat ini ke bagian-bagian tertentu yang lemah dan untuk mengurung tenaga sinkang Kian Lee sendiri agar jangan bangkit melakukan perlawanan. Terasalah oleh Kian Lee betapa tubuhnya disusupi dua macam hawa yang amat dingin dan amat panas, dua hawa yang saling bertentangan dan yang mula-mula membuat tubuhnya kadang-kadang menggigil kedinginan dan kadang-kadang berkeringat kepanasan, akan tetapi lambat-laun dua tenaga itu seperti dapat bersatu dan membuat dia merasa nyaman sekali. Tanpa disadarinya, Kian Lee tertidur dan melihat ini, Ceng Ceng memberi tanda kepada Kian Bu untuk perlahan-lahan menarik kembali tenaganya. Kemudian nyonya muda ini dibantu oleh Kian Bu merebahkan Kian Lese yang pulas itu ke atas pembaringan setelah dia mencabuti kembali empat batang jarum emas tadi. "Biarkan dia tidur. Pengobatan ini diulang sekali lagi dan dia akan sembuh sama sekali," kata Ceng Ceng setelah mereka semua meninggalkan kamar itu dan menutupkan daun pintunya. Bukan main girangnya hati Kian Bu mendengar ini. Dia memegang tangan Ceng Ceng, mengepalnya erst-erat dan berkata, "Terima kasih, engkau benar-benar keponakanku yang amat hebat!" katanya. Ceng Ceng hanya tersenyum akan tetapi merasa betapa matanya menjadi basah. Sambil menanti sehari semalam lamanya untuk mengobati Kian Lee lagi, mereka semua bercakap-cakap di ruangan tamu yang luas. Kesempatan ini mereka pergunakan untuk saling menceritakan pengalaman mereka dan tentu saja masing-masing menjadi terkejut, marah, penasaran dan berduka sekali ketika mendengar malapetaka yang menimpa diri masing-masing. Bekas Jenderal Kao mengepal tinju dan matanya yang lebar terbelalak. "Brakkk!" Untung meja itu tidak pecah oleh hantaman tinjunya ketika orang tua ini dengan gemas menampar dengan tangannya ke atas meja di depannya. "Jahanam manakah berani menculik cucuku? Aihhh, jangan-jangan cucuku itu bukan diculik orang melainkan pergi sendiri dan hilang seperti yang dialami oleh ayahnya di waktu kecil?" Ceng Ceng menggeleng kepalanya. "Tidak, Ayah. Kami berdua sudah menyelidiki dan beberapa kali kami menemukan jejak Cin Liong diajak seseorang. Akan tetapi anehnya, orang yang mengajaknya itu selalu berganti-ganti sehingga kami menjadi bingung dan sampai sekarang kami berdua belum berhasil menemukannya." Nyonya muda itu mengusap air mata yang menetes turun. Betapapun gagahnya Ceng Ceng, namun sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya seperti disayat-sayat oleh kekhawatiran kalau dia nengingat akan puteranya yang hilang. Kini tiba giliran Kao Liang menceritakan tentang keadaannya yang dipecat atau istilah halusnya dipensiun dan betapa ketika dia sekeluarga hendak pulang ke kampung halaman, di tengah jalan terjadi malapetaka sehingga harta bendanya dicuri orang dan semua anggauta keluarganya diculik orang. "Ehhh....!" Kini Ceng Ceng yang bangkit berdiri dengan muka pucat. "Siapakah mereka yang begitu jahat?" Dia duduk kembali dan mendengarkan penuturan ayah mertua dan dua orang adik iparnya itu dan dia menggeleng-geleng kepala ketika mendengar betapa ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya pernah menyangka keluarga Pulau Es yang melakukannya, bahkan mereka pernah menyerang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu karena mengira bahwa mereka inilah yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka. "Akan tetapi, baru kemarin kami bertemu dengan Sicu Suma Kian Bu dan kami sadar bahwa bukan mereka yang melakukannya, bahkan mereka berjanji hendak membantu kami." Kakek itu menutup penuturannya sambil menarik napas panjang. Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Memang tidak mungkin kalau kedua orang Paman Suma yang melakukan kejahatan seperti itu. Ayah, kini timbul dugaanku bahwa sangat boleh jadi hilangnya Cin Liong ada hubungannya dengan penculikan terhadap keluarga kita itu!" "Ahhh....!" Kao Liong dan dua orang puteranya berseru kaget. "Saya dan puteramu telah mengunjungi semua orang yang agaknya dipandang sebagai orang-orang yang memusuhi Istana Gurun Pasir, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang melakukan penculikan atas diri Cin Liong. Oleh karena itu, agaknya hanya orangorang yang memusuhi Ayah saja yang akan melakukannya, tahu bahwa Cin Liong adalah cucu Ayah. Mengingat akan kedudukan Ayah dahulu, tentu banyak sekali orang-orang yang memusuhi Ayah." "Ahhh.... kiranya benar dugaanmu itu, mantuku. Benar sekali! Bahkan tempo hari kami bertiga pun hampir celaka oleh puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Sama sekali tidak pernah kusangka-sangka sebelumnya bahwa Kim Bouw Sin meninggalkan seorang anak yang kini hendak membalaskan kehancuran keluarganya kepadaku. Mungkin.... mungkin sekali musuh-musuhku yang selain melakukan penculikan atas diri keluarga kita juga telah menculik anakmu. Akan tetapi siapa? Para penjahat dan pemberontak yang jatuh olehku ketika aku masih menjadi panglima begitu banyak, ratusan, mungkin ribuan. Kemana kita harus menyelidiki?" "Saya dan Kok Cu koko berjanji akan bertemu di Pao-ting sepekan lagi. Mari kita berunding dengan dia untuk mengambil keputusan." Girang sekali hati ayah dan dua orang puteranya itu mendengar bahwa dalam waktu sepekan lagi mereka dapat bertemu dengan Kao Kok Cu karena hanya kepada pendekar inilah mereka menggantungkan harapan. Mereka lalu meneruskan percakapan, menceritakan pengalaman masing-masing. Sementara itu, atas kemauannya sendiri yang keras, Hweee Li minta agar dia diperkenankan menjaga Kian Lee di kamarnya. Sai-cu Kai-ong dan Kian Bu tidak bisa melarang gadis yang keras kepala ini sehingga akhirnya dia diperkenankan menjaga Kian Lee di dalam kamarnya, ditemani oleh Kian Bu. Adapun Sai-cu Kai-ong sendiri sibuk memasak obat karena dia hendak memberi kesempatan kepada Ceng Ceng dan ayah mertuanya untuk bercakap-cakap urusan kekeluargaan mereka yang tentu saja tidak boleh dicampuri atau didengarkan oleh orang luar. Siauw Hong membantu gurunya ini dengan tekun. Pada keesokan harinya, kembali Ceng Ceng dan Kian Bu mengerahkan sinkang mengobati Kian Lee yang ternyata benar saja sudah hampir sembuh sama sekali setelah menerima pengobatan pertama itu. Dibantu pula dengan obat-obat Sai-cu Kai-ong, maka setelah pengobatan ke dua yang dilakukan Ceng Ceng dibantu oleh Kian Bu, maka boleh dibilang keadaan Kian Lee sudah pulih kembali! Dia sudah sehat kembali, juga tenaganya sudah pulih dan hanya tubuhnya saja masih kurus dan mukanya masih agak pucat. Namun, dia telah sembuh sama sekali! Tentu saja Kian Bu girang bukan main. Demikian pula Sai-cu Kai-ong menjadi girang dan raja pengemis ini lalu memerintahkan para muridnya untuk mempersiapkan masakan dan minuman karena dia hendak menjamu para tamu yang terhormat itu. Semua orang bergembira dan mengucapkan selamat kepada Kian Lee yang tersenyum dengan wajah cerah di antara mereka yang mengelilingi meja perjamuan yang besar dan penuh dengan masakan dan minuman. "Terima kasih.... terima kasih," kata Kian Lee dengan terharu setelah dia minum arak menyambut ucapan selamat mereka. "Terutama sekali terima kasih kuhaturkan kepada Paman Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong yang telah menyelamatkan saya. Terima kasih kepada keponakan saya Ceng Ceng yang telah mempercepat kesembuhan saya dengan kepandaiannya yang tinggi, dan juga kepada Nona Hwee Li yang telah membantu adik saya memperoleh jamur panca warna. Kepada Paman Kao Liang dan kedua Saradara Kao, saya juga berterima kasih atas kunjungan mereka." Semua orang tersenyum dan merendahkan diri. Kemudian Kian Bu berkata, "Kita merupakan sekelompok orang yang masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau persahabatan. Bahkan Paman Yu Kong Tek ini adalah keturunan dari keluarga yang sejak dahulu bersahabat dengan keluarga Suling Emas yang tidak dapat dipisahkan dengan riwayat keluarga kami. Oleh karena itu, mengingat bahwa kita semua telah mengenal riwayat masing-masing, sukalah kiranya Paman Yu menceritakan riwayatnya, dan riwayat tempat kuno yang seperti benteng ini." Sai-cu Kai-ong teringat akan janjinya kepada dua saudara Suma bahwa dia akan memperlihatkan bangunan seperti istana peninggalan nenek moyangnya itu, maka dia lalu menghela napas panjang dan berkata, "Memang, tempat ini dahulunya merupakan istana-istana dari nenek moyang saya yang menjadi raja pengemis dan terkenal di seluruh dunia pengemis. Akan tetapi sekarang tinggal bekas-bekasnya saja karena saya lebih senang menyembunyikan diri di sini bersama beberapa orang murid dan dilayani oleh mereka yang masih setia kepada keluarga saya. Semenjak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang saya terkenal sebagai keluarga pendekar besar pendiri perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Apalagi ketika berada di bawah pimpinan kakek besar saya Yu Siang Ki, Khong-sim Kai-pang menjadi makin terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang hanya menggunakan pakaian pengemis sebagai tanda kesederhanaan, sebagai para pengikut pelajaran Buddha yang suci, hldup sederhana untuk diri sendiri tanpa banyak keinginan, akan tetapi selalu mempergunakan ilmu warisan keluarga untuk membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat jahat. Akan tetapi saya.... ah, setelah tua saya kehilangan semangat, bahkan tidak suka mencampuri urusan dunia lagi, hidup tenang dan sunyi di tempat ini sampai datang utusan dari kaisar yang memaksa saya berangkat memimpin pasukan ke Ho-nan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa." Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang tugasnya itu di mana dia bertemu dengan Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dan betapa Pangeran Yung Hwa telah berhasil diselamatkan dan kini telah dengan aman kembali ke istana. Setelah secara singkat menceritakan riwayat nenek moyangnya yang didengarkan penuh perhatian oleh semua orang, kakek itu lalu mengajak para tamunya untuk melihat-lihat keadaan bangunan kuno yang seperti istana itu. Bangunan itu memang amat besar dan luas, mempunyai banyak sekali ruangan-ruangan dan kamar-kamar dan di situ tergantung banyak gambar orang-orang yang berpakaian pengemis namun kelihatan gagah perkasa dan berwibawa. Itulah gambar-gambar dari para anggauta keluarga Yu dan Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek memperkenalkan gambar-gambar itu kepada para tamunya, siapa namanya, hidup di jaman apa dan bagaimana kedudukan masing-masing di Khong-sim Kai-pang. Juga dia memperlihatkan kamar-kamar bersejarah yang pernah dipakai oleh para nenek moyangnya, dan kamar-kamar itu dipergunakan ketika mereka menjabat ketua perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Semua kamar-kamar ini dijaga oleh anak murid yang bertugas menjaga kebersihan kamar itu dan juga menjaga agar jangan sampai kemasukan orang luar yang dapat mencuri benda-benda kuno di dalam kamar itu. Akhirnya Sai-cu Kai-ong membawa mereka ke sebuah kamar yang besar indah dan angker, yang di pintunya terjaga oleh empat orang pengemis. Melihat kamar ini lain daripada kamar yang lain, lebih besar dan lebih megah, Hwee Li tak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya, "Kai-ong, kamar apakah ini?" "Inilah kamar dari leluhur keluarga Yu yang langsung menurunkan saya," kata kakek itu dengan wajah sungguh-sungguh, "Dan kamar ini ditempati secara turun-temurun oleh keluarga yang menurunkan saya secara langsung. Mari, silakan Cu-wi masuk dan melihat-lihat." Kamar itu memang megah dan diatur seperti ruangan balairung istana, hanya bentuknya sederhana dan tidak mewah seperti istana yang terhias oleh emas permata. Biarpun tidak mewah, namun ruangan itu megah dan agung, membuat mereka yang masuk merasa kagum. Dinding ruangan itu terhias sutera beraneka warna, dan selain terdapat tulisan-tulisan indah yang menghias dinding, juga terdapat banyak gambar-gambar orang tergantung rapi. "Itu adalah gambar-gambar dari para leluhur saya yang pernah menjadi raja di perkumpulan kami," Sai-cu Kai-ong menerangkan dengan suara penuh hormat. Hwee Li yang mendahului orang-orang lain memandangi gambar-gambar itu, berhenti di depan sebuah gambar dan memandang gambar itu dengan melongo penuh kagum. "Gambar siapakah ini, Sai-cu Kai-ong?" tanyanya. "Tampan dan gagah sekali dia!" Sai-cu Kai-ong dan semua tamunya menghampiri Hwee Li. Ternyata gambar itu memperlihatkan seorang pria muda yang berpakaian pengemis dan bertubuh jangkung, kepalanya memakai topi pandan yang berhiaskan bunga mawar. Memang gambar itu memperlihatkan seorang pria yang gagah perkasa dan tampan. "Dia adalah kakek besar saya yang bernama Yu Siang Ki" kata Sai-cu Kai-ong dengan suara mengandung kebanggaan. "Dia adalah kebanggaan perkumpulan kami karena beliau yang mengangkat nama Khong-sim Kai-pang ke tempat tinggi sehingga dihormati oleh seluruh perkumpulan manapun juga. Beliau memimpin perkumpulan kami dengan adil dan usahanya itu diteruskan oleh putera tunggal beliau yang bernama Yu Goan, itulah gambarnya. Kakek besar Yu Goan itulah yang memperbaiki istana tua ini, bahkan dia yang pertama-tama mengumpulkan semua harta benda pusaka di sini, yang kami jaga terus-menerus dan turun-temurun. Dan deretan sana itu terdapat gambar-gambar para sahabat leluhur saya." Hwee Li yang berjalan paling dulu telah tiba di depan gambar yang berderet-deret di dinding sebelah kiri dan dia berseru, "Wah, dia ini lebih ganteng lagi! Siapakah dia?" Ceng Ceng terpaksa tersenyum karena pujian muridnya itu bukan keluar dari hati seorang wanita yang genit, melainkan pujian yang keluar dari hati yang jujur dan tulus seperti watak muridnya itu. Semua orang kini memandang gambar itu. Memang benar, pria yang bertubuh tinggi besar itu dan berpakaian sastrawan itu amat ganteng, dan tangannya memegang kipas. "Dia ini bukan orang sembarangan, dan menjadi sahabat baik dari kakek besar saya Yu Siang Ki. Dia bernama Kam Liong...." "Heeei.... bukankah itu sebatang suling emas yang terselip di pinggangnya?" Hwee Li berseru heran sambil menunjuk ke arah gambar pria ganteng itu. Kian Bu terkejut dan meneliti dan semua orang kini memang melihat gambar suling yang terselip di pinggang orang dalam gambar itu, suling yang berwarna kuning emas. "Memang benar," kata Sai-cu Kai-ong. "Beliau ini adalah putera kesayangan dari pendekar sakti Suling Emas yang termasyur itu. Tentu saja suling itu adalah senjata pusaka beliau yang mengangkat nama beliau menjadi pendekar besar Suling Emas. Ketika masih muda, beliau ini terkenal dengan sebutan Kam-taihiap, akan tetapi setelah tua, beliau lebih terkenal lagi sebagai Kam-taijin, seorang menteri yang setia. Akan tetapi sayang.... sayang beliau tewas dalam keadaan tidak begitu baik, mati sebagai seorang pemberontak" Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang. "Tidak!" Tiba-tiba Kian Lee membantah. "Beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa dan beliau tetap seorang menteri yang setia. Dia tewas karena fitnah seorang yang amat jahat, demikian menurut penuturan ibuku" Kian Lee dan Kian Bu saling pandang dengan alis berkerut, di dalam hati mereka merasa menyesal sekali kematian orang gagah keturunan Suling Emas ini adalah akibat perbuatan keji dari kakek besar mereka sendiri, yaitu Suma Kiat (baca cerita Istana Pulau Es)! Suma Kiat yang jahat itu mempunyai anak yang lebih jahat lagi, seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita) bernama Suma Hoat, dan dari Suma Hoat inilah ayah mereka Suma Han diturunkan. Sungguh amat tidak enak menghadapi gambar-gambar para orang-orang besar keturunan keluarga gagah perkasa itu, yang mengingatkan betapa keluarga Suma sejak dahulu amat jahat. Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Mungkin juga, karena aku sendiri pun selalu tidak percaya bahwa putera pendekar sakti Suling Emas sampai bisa menjadi pemberontak. Senjata pusaka suling emas itu selalu berada di tangan orang-orang gagah, sebuah senjata yang amat bagus, ampuh dan luar biasa. Jarang ada orang berkesempatan melihat pusaka itu...." "Aku pernah melihatnya!" Tiba-tiba Hwee Li berseru. Sai-cu Kai-ong kembali menghadapi Hwee Li setelah menoleh ke belakang, ke arah Siauw Hong yang sejak tadi diam saja dan mengikuti rombongan itu melihat-lihat. "Ah, benarkah itu, Nona? Di mana?" "Tentu saja di tangan Sin-siauw Seng-jin! Aku melihatnya beberapa bulan yang, lalu." "Benarkah itu? Sin-siauw Seng-jin adalah pewaris dari ilmu-ilmu keluarga Suling Emas. Dia adalah cucu murid dari Gu Toan yang pernah menjadi pelayan setia dari Kam-taijin atau Kam Liong itu. Gu Toan inilah yang mewarisi semua pusaka dan kitab-kitab ilmu yang sakti dari keluarga Suling Emas, dan kemudian secara turun-temurun pusaka-pusaka itu tiba di tangan Sin-siauw Seng-jin. Dimanakah Nona bertemu dengan dia?" Hwee Li menoleh kepada Kian Bu. "Kalau kau ingin tahu, Kai-ong, kautanyalah kepada Siluman Kecil ini! Dialah orangnya yang pernah mencoba keampuhan suling emas yang ternyata tidak berguna itu!" "Jangan sembarangan bicara!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dari belakang. Hwee Li menoleh dan ternyata yang mengeluarkan suara membentak marah itu adalah Siauw Hong yang tadi berlutut menghadap kepada gambar Kam Liong dan kini sudah bangkit berdiri. "Apa? Kau membentak-bentak aku, heh? Kau bocah ini belum pernah dihajar rupanya!" Hwee Li sudah maju menghampiri dan mengepal tinjunya sedangkan Siauw Hong juga sudah siap dan memandang marah. "Siapapun tidak boleh menghina kepada orang yang kami hormati dan junjung tinggi itu. Aku akan membelanya, dengan nyawaku!" kata pula Siauw Hong, suaranya penuh kesungguhan sehingga Kian Bu yang telah mengenalnya memandang dengan heran. "Hwee Li!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Mundur kau dan hayo cepat kau minta maaf!" Hwee Li masih mengepal tinju, akan tetapi dia menoleh ke arah subonya dan sejenak dua orang wanita itu saling "mengukur" tenaga dengan pandang mata mereka. Akhirnya Hwee Li mengeluh pendek, dan tersenyum, mata kirinya berkejap kepada subonya. "Aku paling tidak kuat kalau melihat Subo marah kepadaku...." lalu dia menoleh kepada Sai-cu Kai-ong dan berkata, "Kai-ong, harap kaumaafkan kelancanganku tadi, ya?" Dia sama sekali tidak memandang kepada Siauw Hong dan sengaja minta maaf kepada Sai-cu Kai-ong. Dasar gadis yang berhati keras seperti baja, mana dia mau mengalah dan minta maaf kepada Siauw Hong yang dianggapnya masih bocah itu? Akan tetapi, semua orang merasa heran ketika Sai-cu Kai-ong menghadapi Siauw Hong dan berkata, "Nona Kim telah minta maaf, hendaknya dilupakan saja kata-kata tadi." Dan Siauw Hong mengangguk!. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar