Si Tangan Sakti Jilid 32
32
“Giok-moi.... kenapa engkau menangis....?” Suara yang lembut
dan sentuhan halus pada pundaknya membuat Kim Giok terkejut. Ia bangkit
duduk dan melihat Seng Bu sudah duduk di tepi pembaringannya, dan kini
pemuda itu merangkul pundaknya.
“Koko....aku.... aku merasa gelisah sekali....”
Seng Bu menarik gadis itu ke dadanya dan mengelus rambutnya yang halus.
“Giok-moi
tersayang, kenapa engkau gelisah? Bukankah di sini ada aku yang selalu
siap untuk melindungimu dan membahagiakan hatimu?” Dia mengusap dahi
gadis itu dengan bibirnya. “Apakah yang telah terjadi, sayangku.”
“Koko,
betapa hatiku tidak akan gelisah dan risau? Ketika aku mencoba untuk
membujuk Sian Li dan Hui Eng, aku hanya mendapat teguran, ejekan dan
penghinaan. Ketika aku menemui tawanan baru itu, ternyata pemuda itu
adalah twako Gak Ciang Hun, dan aku pun di sana menerima celaan dan
makian. Ahhh, Koko, sungguh aku merasa malu dan bersedih sekali....”
“Kalau begitu, biar kuhajar mereka, kusiksa mereka yang berani menghina dan mengejekmu!”
Kim Giok memegang lengan pemuda itu.
“Jangan,
Koko! Bukan begitu maksudku. Aku gelisah dan risau karena aku merasa
bimbang. Kenapa mereka menolak berjuang bersama kita? Mengapa mereka
menganggap engkau bersalah dan jahat?”
Rangkulan Seng Bu semakin erat, dan dia berbisik dekat telinga gadis itu.
“Giok-moi,
apakah engkau tidak percaya kepadaku? Tentu saja mereka memusuhiku
karena mereka semua itu memihak Yo Han, tidak tahu bahwa Yo Han telah
berubah, telah membunuhi para pemimpin Thian-li-pang, bahkan hampir saja
membunuhku. Engkau tahu sendiri betapa aku hampir mati, Giok-moi. Kalau
engkau pun seperti mereka, tidak percaya kepadaku, habislah sudah
harapan hidupku. Engkaulah satu-satunya orang yang memberi harapan
kepadaku. Biar seluruh manusia di dunia ini tidak percaya kepadaku dan
memusuhiku, akan kuhadapi dan kulawan mereka yang memusuhiku!”
“Koko....”
Kim Giok yang kurang pengalaman itu terbuai oleh kemesraan kata-kata
yang diucapkan Seng Bu. “Aku akan selalu berpihak padamu, membelamu dan
setia kepadamu.”
“Terima kasih, Giok-moi, aku cinta padamu,
Giok-moi, aku cinta padamu sepenuh jiwa ragaku.” Ucapan ini menggetar
penuh perasaan dan baru saat itulah Seng Bu benar-benar bicara dari
lubuk hatinya. Memang dia jatuh cinta kepada Kim Giok, walaupun cintanya
bergelimang nafsu berahi, cintanya timbul karena baginya, tidak ada
gadis yang lebih cantik menggairahkan daripada Kim Giok. Dengan tubuh
gemetar, dia mendekap dan mencium pipi dan bibir gadis itu.
Kim Giok
agak terkejut dan ia dengan halus melepaskan diri dari rangkulan. Ia
sendiri kalau mau jujur, merasa senang dengan perlakuan penuh kemesraan
itu, akan tetapi karena hatinya memang sedang risau, ia pun tidak ingin
melanjutkan kemesraan yang membuat jantungnya berdebar keras itu.
“Koko, aku ingin bicara padamu.”
Seng Bu tersenyum.
“Ehhh? Bukankah sudah sejak tadi kita bicara?” Dia hendak merangkul lagi akan tetapi Kim Giok menolak dengan tangannya.
“Aku
tidak main-main dan harap engkau bersungguh-sungguh, Bu-ko. Aku minta
kepadamu agar engkau suka membebaskan mereka bertiga, yaitu Sian Li,
enci Hui Eng, dan Gak-twako. Kalau engkau tidak membebaskan mereka,
hatiku akan selalu merasa risau. Maukah engkau, Koko?”
Seng Bu mengerutkan alisnya dan sejenak dia menatap wajah kekasihnya. penuh selidik.
“Giok-moi,
tidak salahkah apa yang kudengar ini? Engkau minta kepadaku agar aku
membebaskan orang-orang yang memusuhi aku dan yang hendak membunuhku?”
Dia tersenyum, akan tetapi senyumnya masam. “Itu berarti melepaskan tiga
ekor harimau yang akan selalu mengancam keselamatanku, keselamatan
kita, bahkan akan menggagalkan usaha perjuangan kita. Itukah yang kau
kehendaki.”
“Tentu saja tidak, Koko. Aku akan mengajukan syarat
kepada mereka, kuminta mereka berjanji tidak memusuhimu kalau kita
bebaskan mereka.”
“Itu berbahaya sekali, Giok-moi.Ingat, masih ada
seorang lagi dari mereka yang lolos, yaitu Pangeran Cia Sun. Dia
merupakan ancaman besar bagi kita selama dia masih belum tertangkap.
Setelah dia tertawan, baru kita bicarakan lagi tentang permintaanmu itu.
Percayalah padaku, Giok-moi. Bukankah selama ini aku tidak pernah
berbohong kepadamu dan kuperintahkan anak buah kita agar memperlakukan
para tawanan itu dengan baik?” Kembali Seng Bu meraih dan merangkul,
hendak mencium dan hendak merebahkan gadis itu ke atas pembaringan. Kim
Giok meronta dan melepaskan diri, meloncat turun dari pembaringan,
memandang kepada kekasihnya dengan alis berkerut.
“Koko, apa yang kaulakukan ini?”
“Giok-moi,
kita saling mencinta dan aku tahu, aku selalu sibuk dengan pekerjaan
ini. Aku.... aku ingin.... memiliki dirimu sepenuhnya. Giok-moi....”
Pemuda itu hendak merangkul lagi, akan tetapi Kim Giok melangkah mundur
menghindar.
“Bu-ko, kita tidak boleh kita belum menikah!”
“Giok-moi,
kasihanilah aku. Kita pasti akan menikah, akan tetapi aku harus
meminangmu dulu kepada orang tuamu dan hal itu akan makan waktu lama.
Aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya, sekarang....”
“Tidak, aku tidak mau!”
“Giok-moi....!”
Seng Bu menjulurkan kedua tangannya, akan tetapi Kim Giok meloncat
keluar dari dalam kamar itu, dikejar kekasihnya. Sebetulnya, Seng Bu
bukanlah seorang pemuda yang gila wanita, bukan pula hamba nafsu berahi.
Akan tetapi, dia sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Kim Giok dan dia
takut kehilangan gadis itu yang agaknya kini meragu dan bahkan minta
agar para tawanan dibebaskan. Kalau dia dapat menggauli Kim Giok
sekarang, tentu gadis itu terikat kepadanya dan tidak akan lepas lagi
dari tangannya, bahkan akan lebih kuat dan patuh kepadanya. Karena itu,
sikapnya sekarang seperti hendak memaksa Kim Giok menyerahkan diri lebih
dipengaruhi perhitungan yang menguntungkan dirinya daripada sekedar
terseret nafsu berahi.
Kim Giok berlari keluar dari bangunan itu,
dikejar oleh Seng Bu yang tentu saja tidak hendak berlaku kasar, hanya
mengejar untuk membujuk kekasihnya.
“Giok-moi, tunggu....!” serunya
sambil tertawa karena merasa betapa kekasihnya itu seperti mengajaknya
bermain kejar-kejaran seperti kanak-kanak saja.
Pada saat itu,
terdengar suara terompet dan tambur, disusul kegaduhan luar biasa di
bawah puncak. Beberapa orang anak buah Thian-li-pang berlari-larian dan
ketika Kim Giok dan Seng Bu yang berhenti berlari memandang, nampak Kui
Thian-cu, Im Yang-ji dan Siangkoan Kok datang pula berlarian.
“Ah, celaka, Pangcu!” kata Im Yang-ji dengan muka pucat. Tosu Pat-kwa-pai yang tinggi kurus ini nampak gugup.
“Apa yang terjadi? Kenapa kalian begitu panik?” Seng Bu bertanya.
“Pangcu, pasukan besar pemerintah telah mengepung kita dari empat penjuru!” kata pula Im Yang-ji.
“Jahanam!”
Seng Bu berseru marah dan matanya mulai mencorong aneh sehingga Kim
Giok yang melihatnya menjadi terkejut. Dalam keadaan marah seperti itu,
Seng Bu seolah telah berubah, wajahnya bengis, pandang matanya mencorong
dan otaknya mendadak saja menjadi cerdik dan licik sekali. “Im Yang-ji
Totiang, dan Kui Thian-cu Totiang, kalian cepat atur pasukan kalian
masing-masing menyambut musuh dari sayap kanan dan kiri. Dan engkau,
paman Siangkoan, cepat atur barisan Thian-li-pang kita, bagi menjadi dua
untuk mempertahankan depan dan belakang. Aku akan menangkap para
tawanan untuk dijadikan sandera, karena aku yakin Pangeran Cia Sun
berdiri di belakang penyerbuan ini!”
Tiga orang pembantu itu segera
pergi melakukan perintah dan Seng Bu hendak berlari masuk, agaknya sudah
lupa sama sekali kepada Kim Giok.
“Koko, jangan!” Kim Giok melompat dan gadis ini sudah berdiri menghadang Seng Bu.
“Giok-moi,
minggirlah kau!” bentak Seng Bu marah, matanya yang mencorong itu sama
sekali sudah tidak mengandung sinar kasih sayang, melainkan kebengisan
dan kemarahan.
“Tidak, Bu-koko! Engkau tidak boleh membuat mereka
bertiga menjadi sandera. Bahkan setelah pasukan pemerintah menyerang,
jelas bahwa mereka tidak mempunyai hubungan dengan itu karena mereka
berada di sini sebagai tawanan, maka kita sudah seharusnya membebaskan
mereka sekarang juga. Mungkin mereka akan menyadari dan membantu kita
untuk melawan pasukan pemerintah.”
“Minggir, Giok-moi! Kalau mereka tidak boleh dijadikan sandera, mereka bahkan harus dibunuh agar berkurang musuh kita.”
“Bu-ko,
musuh kita adalah penjajah Mancu, bukan anggauta keluarga besar para
pendekar!” kata Cu Kim Giok dan kini Koai-liong-pokiam telah terhunus di
tangannya.
“Aku tidak memperkenankan siapapun membunuh para tawanan itu!”
Mendengar ini, tiba-tiba Ouw Seng Bu tertawa, dan suaranya tawanya sungguh mendirikan bulu roma, mengerikan.
“Haha-ha-ha-ha,
kiranya engkau pun kini menjadi musuhku, Giok-moi? Engkau kucinta
sepenuh jiwa ragaku, engkau pun memusuhi aku? Engkau tega sekali,
Giokmoi....” dan laki-laki ini pun menangis! Kim Giok sampai menjadi
bengong dan baru sekarang ia dapat menduga bahwa pria yang dicintanya
ini adalah seorang yang miring otaknya.
“Ha-ha-ha,” Seng Bu tertawa
lagi. “Engkau hendak membela mereka?” Dia pun berteriak kepada
sekelompok anak buahnya yang berlari dekat. “Heiii, kalian! Cepat suruh
bakar tempat tahanan. Sekarang juga, cepat!”
“Baik, Pangcu!” sahut mereka dan mereka pun berlarian ke arah rumah tahanan.
“Tidaaak, jangan....!” Kim Giok melompat ke depan untuk mengejar dan mencegah anak buah Thian-li-pang itu melakukan pembakaran.
“Cu
Kim Giok, engkau musuh kami!” terdengar bentakan Seng Bu dan dia pun
sudah meloncat lalu langsung mengirim pukulan ketika tubuhnya dan tubuh
Kim Giok masih melayang di udara.
Karena tidak menduga bahwa pria
yang dikasihinya itu akan menyerangnya, juga karena serangan aneh itu
datangnya amat cepat, membawa angin dingin, maka biarpun Kim Giok
berusaha melakukan gerakan poksai (salto) untuk menghindar, tetap saja
lambungnya terkena pukulan itu.
“Aughhh....!” Kim Giok mengeluh dan
tubuhnya terkulai, jatuh ke atas tanah. Ia rebah miring dan merasa
betapa lambungnya seperti dimasuki benda dingin sekali, seperti
sebongkah air beku dan dadanya sesak, pandang matanya berkunang.
“Giok-moi....
kekasihku.... Giok-moi....!” Seng Bu menangis dan dia menghampiri tubuh
yang roboh miring itu. Akan tetap pada saat itu, terdengar suara yang
membuat Seng Bu terkejut seperti disengat binatang berbisa dan
tengkuknya terasa dingin dan tebal saking ngeri dan takutnya.
“Ouw
Seng Bu, pengkhianat keji manusia berhati iblis!” Suara Yo Han. Cepat
Seng Bu membalikkan tubuhnya dan dia sudah berhadapan dengan Yo Han! Dia
merasa seperti dalam mimpi dan menatap wajah Yo Han dengan mata
terbelalak. Apalagi mendengar suara gaduh pertempuran yang menunjukkan
bahwa pasukan pemerintah sudah menyerbu ke dalam perkampungan
Thian-li-pang.
Sementara itu, Kim Giok mengangkat mukanya dan ia
terbelalak melihat api telah membakar rumah tahanan. Melihat api mulai
berkobar, seakan timbul semangat dan kekhawatirannya. Ia meloncat dan
dengan pedang di tangan, ia seperti melupakan rasa nyeri di lambungnya.
Ia berlari menuju ke rumah tahanan itu, tidak mempedulikan lagi kepada
Seng Bu.
Setelah tiba di dekat rumah tahanan itu, dia melihat
beberapa orang anggauta Thian-li-pang sedang membakar bagian samping
rumah tahanan yang sudah mulai berkobar.
Dengan marah Kim Giok
menggerakkan pedangnya dan empat orang anggauta Thian-li-pang roboh. Dua
orang lagi yang menjadi terkejut melihat tunangan ketua mereka
mengamuk, tahu bahwa calon nyonya ketua itu kini menjadi musuh. Mereka
menggerakkan golok, akan tetapi mereka pun segera terpelanting mandi
darah, menjadi korban pedang Koai-liong Po-kiam di tangan gadis dari
Lembah Naga Siluman itu. Kim Giok tidak mempedulikan berkobarnya api,
dengan cepat ia meloncat masuk, menyelinap dan berlari menuju ke kamar
tahanan. Ia melihat betapa Sian Li dan Hui Eng telah dapat mematahkan
rantai yapg membelenggu kaki tangan mereka dan mereka berdua kini sedang
berusaha sekuat tenaga untuk menjebol jeruji baja dengan menarik dan
membetot-betot, namun agaknya usaha ini tidak akan membawa hasil. Juga
di bagian ujung sana, di mana Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang
tosu ditahan, terdengar suara gaduh ketika mereka mendorong-dorong pintu
baja kamar tahanan mereka.
Dengan sisa tenaga terakhir, Kim Giok
menyambut empat orang anggauta Thian-li-pang yang agaknya hendak
meninggalkan ruangan yang mulai terbakar itu. Mereka adalah para penjaga
sebelah dalam dan ia tahu bahwa kunci kamar-kamar tahanan itu pasti
berada di tangan mereka. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dan
robohlah empat orang itu. Kim Giok memeriksa pakaian mereka dan
menemukan gelang besi yang digantungi beberapa buah kunci. Cepat ia
menghampiri kamar tahanan di mana Sian Li dan Hui Eng sejak tadi
memandangnya dengan sinar mata penuh harapan dan kegembiraan. Tentu saja
mereka berdua merasa gembira sekali bahwa pada saat terakhir, ternyata
Kim Giok menunjukkan bahwa ia tetap seorang puteri sepasang pendekar
dari Lembah Naga Siluman yang gagah perkasa!
Setelah Kim Giok
berhasil membuka kunci pintu dan menarik daun pintu baja terbuka, ia pun
terhuyung. Ia menyerahKan gelang kunci kepada Sian Li sambil berpegang
kepada jeruji.
“Cepat.... bebaskan mereka.... di ujung sana....!” Dan ia pun terkulai roboh.
“Kim Giok....!” Sian Li berseru dan cepat merangkulnya. Kepada Hui Eng ia berkata,
“Enci Eng, cepat bebaskan tawanan di ujung sana, bahkan kalau masih ada yang lain, bebaskan mereka semua.”
Hui Eng menerima kunci dan tak lama kemudian ia sudah membuka pintu kamar tahanan di mana Ciang Hun dan lain-lain dikeram.
Sian
Li masih memeriksa keadaan Kim Giok dan terkejutlah ia ketika melihat
lambung gadis itu terdapat tanda menghitam dan sekali raba saja tahulah
ia bahwa isi perut gadis itu telah menderita luka yang agaknya tidak
mungkin disembuhkan lagi.
“Kim Giok....!” Ia merangkul, penuh
keharuan. Biarpun gadis yang terluka parah itu tidak menerangkan, Sian
Li sudah dapat menduga bahwa tentu Kim Giok terpukul oleh Ouw Seng Bu
ketika gadis ini nekat hendak membebaskan ia dan Hui Eng. Hanya yang
membuat ia heran, bagaimana Kim Giok tetap masih dapat membebaskannya,
padahal pukulan itu saja merupakan pukulan maut yang mematikan.
“Sian Li.... mintakan ampun.... kepada ayah ibu....” Kim Giok mengeluh dan terkulai.
“Sian
Li, cepat kita harus meninggalkan tempat ini. Kebakaran mulai membesar
dan sebentar lagi tidak akan ada jalan keluar,” kata Hui Eng yang datang
bersama Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu Bu-tong-pai.
Sian Li memandang dan Ciang Hun juga berkata,
“Benar, adik Sian Li, kita harus cepat pergi. Ah, bukankah itu adik Cu Kim Giok? Kenapa ia?”
Sian Li menjawab dengan suara gemetar,
“Gak-twako....tanpa
pertolongan Kim Giok, kita semua akan hangus dan mati terbakar. Ia yang
menolong kita membukakan pintu tahanan dan ia.... ia telah tewas. Mari,
bantu aku membawanya keluar, Twako.”
Tanpa diminta untuk kedua
kalinya, Ciang Hun sudah mengangkat tubuh yang masih hangat dan lemas
itu, memondong dan membawanya ke luar bersama yang lain.
Melihat di
luar sudah terjadi pertempuran hebat antara anak buah Thianli-pang
melawan pasukan pemerintah yang menyerbu masuk, Sian Li menyerahkan
jenazah Kim Giok agar ditunggu oleh lima orang tosu Bu-tong-pai yang
masih menderita luka-luka, sedangkan ia sendiri bersama Hui Eng, Ciang
Hun dan Bi Kim lalu mengamuk, membantu pasukan menyerbu para anggauta
Thian-li-pang sehingga mereka itu cerai-berai dan banyak yang jatuh.
“Aku harus mencari Seng Bu!” teriak Sian Li dengan marah.
“Aku akan mencari Siangkoan Kok!” kata pula Hui Eng.
Akan
tetapi, mereka melihat Siangkoan Kok dan dua orang tosu pembantu, yaitu
Im Yang-ji tokoh Pat-kwa-pai dan Kui Thian-cu tokoh Pek-lian-kauw,
mengamuk dan membuat para perajurit dan perwira yang mengeroyok menjadi
kocar-kocir dan banyak perajurit yang roboh. Hui Eng yang melihat
Siangkoan Kok mengamuk, segera mencabut pedangnya dan menyerang bekas
ayah angkatnya, juga gurunya itu. Memang Ouw Seng Bu tidak merampas
senjata para tawanan itu sehingga kini mereka dapat mempergunakan
senjata masing-masing. Melihat gadis itu nekat menyerang bekas ketua
Pao-beng-pai yang lihai itu, Sian Li merasa khawatir dan ia pun sudah
menerjang maju membantu Hui Eng mengeroyok Siangkoan Kok. Adapun Gak
Ciang Hun dan Gan Bi Kim sudah membantu para perwira dan perajurit yang
mengeroyok dua orang tosu dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw.
Siangkoan
Kok yang terkejut sekali melihat para tawanan sudah lolos, terpaksa
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang
gadis yang tangguh itu. Tingkat kepandaian bekas puteri dan muridnya itu
sudah hampir menyusulnya, sedangkan Si Bangau Merah juga merupakan
seorang wanita yang amat lihai, maka dia pun harus mengeluarkan seluruh
kepandaiannya untuk membela diri.
Jumlah pasukan yang menyerbu
amatlah banyaknya sehingga orang-orang Thian-li-pang menjadi kewalahan
dan terdesak hebat. Tiba-tiba muncul Cia Sun yang memimpin sebuah regu
perajurit pilihan dan melihat betapa kekasihnya sudah bertanding melawan
Siangkoan Kok dibantu Tan Sian Li, dia pun segera memerintahkan para
perwira dan perajurit yang memiliki kepandaian untuk ikut pula
mengeroyok. Pertandingan berat sebelah itu tidak berlangsung terlalu
lama. Biarpun mereka bertiga berhasil merobohkan banyak perajurit, namun
Siangkoan Kok, Im Yang-ji, dan Kui Thian-cu setelah menderita banyak
luka-luka, akhirnya roboh. Siangkoan Kok tewas dengan dada tertembus
pedang di tangan Hui Eng. Im Yang-ji dan Kui Thian-cu juga tewas dengan
tubuh penuh luka.
Cia Sun gembira sekali melihat Hui Eng selamat.
“Adik Sian Li, di sana ku lihat kakak Yo Han sedang bertanding melawan Ouw Seng Bu.”
Sian
Li mengeluarkan suara seperti sorak gembira mendengar ini dan ia pun
berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Cia Sun diikuti oleh yang
lain. Setelah tiba di tempat yang dimaksudkan, mereka tertegun
menyaksikan sebuah pertandingan yang luar biasa hebatnya. Ketika ada
yang hendak bergerak membantu Yo Han, Sian Li cepat berkata,
“Jangan
ada yang bergerak, Han-koko tidak akan kalah dan dia tidak senang kalau
dibantu dengan pengeroyokan.” Mendengar ucapan ini, semua orang maklum
dan mereka menonton dengan kagum dan juga tegang, kecuali Sian Li yang
percaya sepenuhnya bahwa kekasih hatinya tidak akan kalah.
Pertemuan
antara Yo Han dan Ouw Seng Bu tentu saja membuat ketua Thianli-pang itu
terkejut setengah mati. Wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak,
akan tetapi perlahan-lahan wajah itu berubah merah dan matanya menjadi
mencorong liar penuh kebencian dan kemarahan.
“Kau....???!!” Seng Bu
berseru dan suaranya terdengar dingin dan tajam mengiris jantung,
mulutnya kini membentuk senyum menyeringai yang amat bengis. Yo Han
sendiri merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang ini tidak waras, pikirnya.
“Ouw Seng Bu, kenapa engkau membunuh Lauw Pangcu dan para pimpinan Thian-li-pang?”
Seng Bu merasa tidak perlu lagi merahasiakan semua perbuatannya dan dia tertawa.
”Ha-ha-ha,
mereka itu tidak ada gunanya, membuat Thian-li-pang menjadi lemah saja.
Thian-li-pang harus menjadi yang terkuat, harus dapat mengajak seluruh
kekuatan untuk menghancurkan penjajah Mancu. Mereka itu orang-orang
lemah!”
“Ouw Seng Bu, engkau membunuh mereka dan menguasai
Thian-li-pang, bukan demi perjuangan melainkan untuk mencari kedudukan
tinggi. Engkau bersekutu dengan golongan sesat, engkau membiarkan anak
buah Thian-li-pang melakukan perbuatan jahat. Bahkan engkau secara tak
tahu malu dan curang sekali menjebak aku ke dalam sumur. Heran sekali
kenapa engkau, murid Lauw Pangcu yang dahulu amat dipercaya dan baik,
mendadak berubah seperti iblis? Apakah engkau telah menjadi gila?”
“Yo
Han, semua orang Thian-li-pang memujamu. Kau lalu menjadi sombong.
Kaukira hanya engkau yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng? Ha-ha-ha,
aku pun telah menguasainya dan aku akan membunuhmu untuk kedua kalinya!”
Setelah berkata demikian, Ouw Seng Bu menyerang dengan gerakan yang
aneh dan dahsyat sekali.
Diam-diam Yo Han merasa heran dan terkejut
mendengar bahwa orang ini telah menguasai Bu-kek Hoat-keng, dan melihat
serangan yang luar biasa itu. Yang membuat dia heran adalah mengenal
gerakan tangan Seng Bu ketika menyerangnya. Memang itu adalah gerakan
dari Bu-kek Hoat-keng!
Karena merasa heran, Yo Han ingin sekali
melihat lebih banyak lagi gerakan itu dan dia pun mengelak cepat tanpa
membalas, membiarkan Seng Bu menyerang lagi bertubi-tubi.
Dan tidak
salah lagi, jurus-jurus yang dimainkan Seng Bu ketika menyerangnya
adalah ilmu Bukek Hoat-keng, akan tetapi semakin lama, semakin aneh saja
perkembangan jurus-jurus itu. Hebatnya, serangan itu mengandung hawa
dingin yang aneh karena ketika satu kali dia menangkis, tangannya yang
bertemu lengan lawan itu terasa panas! Pukulan Seng Bu itu mengandung
hawa beracun yang amat ganas! Berbahaya sekali bagi lawan dan tidak
mengherankan kalau Lauw Kang Hui dan yang lain-lain tewas di tangan Seng
Bu. Dia sendiri kalau tidak menguasai Bu-kek Hoat-keng, tentu akan
terpengaruh hawa beracun itu.
Seng Bu yang merasa bahwa dia telah
memiliki ilmu yang tak terkalahkan, makin berbesar hati melihat Yo Han
tak pernah membalas dan hanya lebih banyak mengelak dan berloncatan
untuk menghindarkan serangan-serangannya. Akan tetapi dia pun merasa
penasaran melihat dia belum juga berhasil. Dia harus dapat membunuh Yo
Han secepatnya agar dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri,
karena dia melihat betapa banyaknya pasukan pemerintah menyerbu
perkampungan Thian-li-pang itu. Maka, dia segera berteriak memanggil
anak buahnya dan sedikitnya dua puluh orang anak buah Thian-li-pang kini
menggunakan senjata mereka mengepung dan mengeroyok Yo Han!
Yo Han
maklum bahwa Seng Bu mencari kesempatan melarikan diri dan hal ini
haruslah dicegah. Maka, dia pun tidak pernah meninggalkan atau menjauhi
Seng Bu. Dia mulai menggunakan ilmunya untuk menyerang dan menutup jalan
keluar Seng Bu, sedangkan para anak buah Thian-li-pang yang mengepung
dan mengeroyoknya dengan ragu-ragu dan gentar, dia robohkan dengan
tendangan dan tamparan saja, tidak membuat mereka terluka parah.
“Para
anggauta Thian-li-pang, cepat kalian ajak teman-teman untuk melarikan
diri! Jangan hiraukan lagi Ouw Seng Bu yang menyeret kalian ke dalam
penyelewengan!” beberapa kali Yo Han berseru.
“Kelak aku sendiri
yang akan membangun kembali Thian-li-pang!” kembali Yo Han berseru.
Terjadi kebimbangan dalam hati para anggauta Thian-li-pang. Mereka yang
memang berwatak jahat dan lebih senang dipimpin Seng Bu karena di bawah
bimbingan Seng Bu mereka dapat melampiaskan nafsu dan keserakahan mereka
secara bebas, tidak mempedulikan seruan Yo Han ini dan mereka tetap
melakukan perlawanan dan setia kepada Seng Bu. Akan tetapi, lebih banyak
lagi angauta yang hanya terpaksa mentaati ketua baru itu, dan kini para
anggauta ini segera menyampaikan pesan kepada kawan-kawan sehaluan dan
mereka pun mulai berserabutan mencari lubang untuk meloloskan diri dari
penyerbuan pasukan pemerintah.
Mendengar teriakan Yo Han dan melihat
betapa anak buahnya yang mengeroyok Yo Han terpelanting ke kanan kiri
sehingga dia tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk meloloskan diri
dari Yo Han, Seng Bu menjadi marah dan nekat.
“Yo Han, engkau harus
mati di tanganku!” bentaknya dan dia pun menyerang lagi sambil
mengeluarkan teriakan yang menyeramkan, bukan teriakan manusia lagi
melainkan teriakan iblis. Dan pada saat itulah Sian Li dan para tokoh
lain muncul dan menjadi penonton.
Yo Han juga melihat mereka dan
hatinya berdebar girang bukan main melihat Sian Li dalam keadaan sehat
dan selamat. Dia pun mengenal Hui Eng dan Cia Sun, membuat hatinya
menjadi semakin girang bahwa adik angkatnya itu telah bersatu dengan
kekasihnya. Akan tetapi hanya sebentar dia dapat melirik ke arah Sian Li
dan yang lain-lain karena dia harus memperhatikan lawannya yang
ternyata amat tangguh dan memiliki ilmu silat yang amat aneh itu.
“Hyaaattt....!!”
Seng Bu nekat melihat munculnya para tawanan. Tahulah dia bahwa dia
harus membela diri mati-matian dan tidak ada jalan keluar kecuali dia
dapat membunuh Yo Han. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia
menyerang dengan gencar, kedua tangannya melakukan pukulan dengan cara
mendorong dengan telapak tangan, dan dari kedua tangannya itu menyambar
hawa yang dingin seperti es, dan nampak pula uap hitam membiru keluar
dari kedua telapak tangan itu.
“Hemmm....!!” Yo Han mengelak dan
menampar dari samping. Lawannya agaknya mengenal gerakan serangan ini
dan dapat mengelak dengan baik, lalu membalas dengan dorongan tangan
kanan. Diam-diam Yo Han semakin heran. Dia mengenal benar gerakan kaki
tangan Seng Bu itu.
Datang lagi serangan dahsyat dari Seng Bu yang
mengerahkan seluruh tenaganya dalam setiap serangan. Yo Han merasa aneh.
Dia yakin bahwa gerakan-gerakan itu benar ilmu Bu-kek Hoat-keng seperti
yang pernah dipelajarinya dari kakek Ciu Lam Hok.
Bagaimana mungkin
Seng Bu dapat mempelajarinya? Kakek itu telah meninggal, dan semua
coret-moret di dalam lorong sumur tua telah dihapus. Dia tidak tahu
bahwa kakek Ciu Lam Hok pernah membuat coret-moret lain di sumur ke dua,
yang ditemukan Seng Bu, catatan ilmu itu yang tidak lengkap sama sekali
dan yang telah dipelajari dengan keliru oleh Seng Bu. Yo Han mengenal
semua gerakan itu, akan tetapi ilmu Bu-kek Hoat-keng yang dipelajarinya
mempungai daya mengembalikan setiap pukulan lawan. Bu-kek Hoat-keng
bukan pukulan untuk merobohkan orang, melainkan mempunyai daya tolak
yang luar biasa sehingga serangan yang bagaimana hebat pun, akan
membalik kepada penyerangnya sendiri. Akan tetapi, gerakan yang mirip
Bu-kek Hoat-keng dan dimainkan Seng Bu ini memiliki daya serang yang
demikian dahsyatnya, mengandung hawa maut dan beracun! Kalau dia sendiri
mempergunakan tenaga Bu-kek HoatKeng, tentu pukulan aneh dari Seng Bu
itu akan membalik dan mana mungkin ada manusia dapat bertahan kalau
terkena pukulan sehebat itu? Dia tidak ingin membunuh Seng Bu, walaupun
dia tahu bahwa Seng Bu telah membunuh Lauw Kang Hui dan para pimpinan
lain dan pemuda itu telah membawa Thian-li-pang menyeleweng. Dia ingin
menyadarkan Seng Bu dan membuat pemuda itu bertaubat. Tidak ada istilah
terlambat untuk bertaubat selagi manusianya masih hidup.
Akan
tetapi, justeru karena dia tidak mau membunuh lawan, maka perkelahian
itu menjadi amat seru dan juga tidak mudah bagi Yo Han untuk menundukkan
lawannya.
Karena dia memiliki ilmu Bukek Hoat-keng yang asli, tentu
saja tingkatnya lebih tinggi dibandingkan Seng Bu. Bu-kek Hoat-keng
yang dimiliki dan dikuasai Seng Bu telah menjadi ilmu sesat yang amat
keji dan berbahaya, sedangkan yang dikuasai Yo Han adalah ilmu yang
mengandung keajaiban, yang memiliki daya menolak semua kekuatan jahat,
bahkan menolak semua hawa beracun. Namun, karena Yo Han tidak bermaksud
membunuh, tidak membalas serangan lawan dengan jurus ampuh mematikan,
dan bahkan dia tidak mau menggunakan tenaga menolak balik serangan Seng
Bu, maka perkelahian itu menjadi ulet dan lama. Seng Bu mengerahkan
seluruh tenaganya, namun semua hawa sakti yang keluar dari tubuhnya,
bagaikan batu besar dilempar ke dalam telaga saja ketika dipakai
menyerang Yo Han, semua tenaga itu tenggelam dan tidak mendatangkan
akibat apa pun. Setiap kali Yo Han menangkis, tangan Seng Bu tergetar
hebat dan seperti lumpuh. Seng Bu tidak tahu bahwa kalau Yo Han
menggunakan tenaga sakti dari Bu-kek Hoat-keng, maka tenaganya bukan
hanya tenggelam, melainkan membalik dan seolah dia memukul dirinya
sendiri.
Bagi mereka yang menonton perkelahian itu, tentu saja
nampak amat seru dan menegangkan. Sian Li sampai bermandi peluh
menyaksikan perkelahian itu karena tidak kelihatan kekasihnya unggul,
walaupun juga tidak nampak terdesak. Agaknya kedua orang itu memiliki
ilmu dan kekuatan yang serupa dan setingkat!
“Haaaiiihhhhh....!!”
Kembali Seng Bu menyerang, sekali ini tubuhnya mencelat ke atas,
bagaikan seekor burung garuda dia menyambar turun dengan kedua tangan
dijulurkan lurus ke depan, dengan pengerahan tenaga sepenuhnya ke arah
kedua telapak tangannya yang berwarna kehitaman dan mengeluarkan uap
hitam.
Melihat serangan maut yang amat berbahaya ini, Sian Li
mengepal tangan kanannya dan memandang dengan mata terbelalak. Sebagai
seorang ahli ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah), ia
tahu betapa besar bahayanya serangan seperti itu, karena di dalam ilmu
silatnya terdapat pula jurus penyerangan sambil melayang seperti itu.
Akan
tetapi Yo Han juga mengenal jurus yang berbahaya ini dan tahulah dia
bahwa Seng Bu sudah nekat dan hendak mengadu nyawa! Dengan tenang saja
Yo Han sudah mengambil keputusan bahwa dia harus cepat menundukkan Seng
Bu dan merobohkannya, walaupun tidak harus membunuhnya. Pemuda ini
agaknya sudah miring otaknya, maka kalau dibiarkan lolos dan membawa
pergi ilmunya yang sesat, akan merupakan bahaya besar bagi umum,
terutama sekali bagi dunia kang-ouw. Dia harus dapat berusaha
menyadarkannya atau merampas ilmu sesat itu. Bagaikan seekor burung
walet, tiba-tiba tubuh Yo Han juga mencelat ke atas menyambut serangan
Seng Bu.
Melihat ini, Seng Bu mengeluarkan suara tawa aneh karena
dia girang dan yakin sekali ini akan mampu membunuh Yo Han. Dengan
pengerahan seluruh tenaganya, dia menggunakan kedua tangannya mendorong
ke arah tubuh Yo Han.
“Wuuuttt....!” Seng Bu terkejut karena
tiba-tiba tubuh itu lenyap dari depannya dan kedua tangannya menghantam
udara kosong. Maklum bahwa dia terkecoh, dia berusaha membuat gerakan
jungkir balik seperti yang dilakukan Yo Han dengan cepat ketika mengelak
tadi, namun terlambat. Dari sebelah atasnya, Yo Han telah menggunakan
tangan yang dimiringkan untuk memukul punggung Seng Bu.
“Desss....!!” Seng Bu mengeluarkan keluhan lirih dan tubuhnya terbanting ke atas tanah.
Yo
Han menyusul dengan melayang turun. Akan tetapi, dapat dibayangkan
kagetnya hati Pendekar Tangan Sakti ini ketika tiba-tiba tubuh yang
tadinya terbanting roboh itu, telah bergerak meloncat bangun dan
menyambut Yo Han yang baru saja turun itu dengan dorongan kedua tangan,
dahsyat bukan main karena Seng Bu mengerahkan seluruh tenaga terakhir
dalam serangan mendadak ini. Ternyata Seng Bu memiliki kekuatan luar
biasa sehingga pukulan Yo Han tadi seolah tidak terasa olehnya!
Tidak ada lain jalan bagi Yo Han kecuali dia juga menyambut dengan kedua tangannya didorongkan ke depan.
“Wuuuttt....
plakkk!” Dua pasang tapak tangan itu bertemu dan melekat! Yo Han merasa
betapa ada hawa yang amat dingin menyerangnya. Akan tetapi, dia
mengerahkan tenaga panas dan kini Seng Bu yang merasa betapa kekuatannya
terdorong oleh tenaga yang dahsyat sekali. Dia mempertahankan dan
terjadilah dorong mendorong dengan menggunakan ilmu yang sama, yaitu
Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi kalau ilmu yang dikuasai Yo Han murni,
sebaliknya yang dikuasai Seng Bu merupakan ilmu sesat yang timbul karena
keliru latihan.
Dari kepala Yo Han mengepul uap putih, sebaliknya
dari kepala Seng Bu mengepul uap hitam. Seng Bu mendengus-dengus, muka
dan lehernya sudah penuh keringat dan perlahan-lahan, tenaganya
mengendur sedangkan hawa panas dari tapak tangan Yo Han mulai memasuki
dirinya melalui kedua tapak tangannya.
Yo Han merasa mendapatkan
kesempatan. Dia harus menggunakan tenaga saktinya untuk mendorong keluar
hawa beracun itu dari tubuh Seng Bu, dan merusak pusat penghimpunan
sin-kang agar selanjutnya Seng Bu tidak dapat lagi mempergunakan ilmu
sesatnya itu. Dia sudah mengambil keputusan bahwa itulah satu-satunya
jalan untuk memaksa Seng Bu kembali ke jalan benar, yaitu dengan
mengadakan kekuatan yang akan mendorongnya melakukan kekejian. Kalau
Seng Bu sudah tidak memiliki kekuatan yang dapat dia andalkan, tentu dia
tidak akan mampu merajalela lagi.
Sian Li, Hui Eng, Ciang Hun, Cia
Sun, dan Bi Kim yang maklum apa artinya adu tenaga sin-kang antara kedua
orang muda yang lihai itu, menonton dengan hati tegang. Terutama sekali
Sian Li. Gadis ini maklum bahwa dalam adu tenaga sin-kang seperti itu,
berarti adu nyawa, dan kalau sampai kekasihnya kalah dalam adu tenaga
sin-kang ini, ia tahu bahwa Seng Bu pasti tidak segan-segan untuk
membunuhnya. Untuk membantu, ia tidak mau karena hal itu akan
merendahkan Yo Han dan tidak sesuai dengan watak pendekar. Maka,
wajahnya sudah mulai pucat karena ia merasa gelisah sekali.
“Jangan
takut, dia pasti menang,” terdengar Hui Eng berbisik di sampingnya dan
Sian Li mengangguk, berterima kasih karena ia pun tahu bahwa Hui Eng
cukup lihai untuk dapat menduga yang tepat, menghilangkan keraguannya
sendiri.
Dan memang ucapan Hui Eng itu bukan sekedar hiburan kosong
belaka. Gadis lihai ini sudah melihat betapa Seng Bu terdesak hebat
dalam adu tenaga itu, membuat uap tebal menghitam keluar dari kepalanya,
matanya mendelik dan keringatnya membasahi muka dan leher, juga nampak
betapa tubuh Seng Bu mulai menggigil.
Seng Bu maklum bahwa dia tidak akan menang, akan tetapi dia pun tidak mau menyerah.
Masih
dikerahkan tenaganya yang terakhir dan dia seperti mendengar suara
tulang patah di dalam dadanya, dan dia pun melangkah mundur, kedua
tangannya ditarik lepas dari tangan Yo Han dan menggunakan kedua tangan
untuk menekan dadanya yang terasa nyeri. Dia pan muntahkan darah segar,
terhuyung ke belakang.
“Ouw Seng Bu, masih ada kesempatan hidup bagimu. Pergi berobat dan bertaubatlah!” kata Yo Han lembut.
Dengan
mata mendelik penuh kebencian Seng Bu memandang kepada Yo Han,
kemudian, dia masih nekat hendak mengerahkan tenaga dan menyerang lagi.
Akan tetapi begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, isi dada perutnya
seperti diremas, membuat dia mengeluh dan terhuyung, dan dia memandang
kepada Yo Han dengan mata terbelalak bingung.
“Seng Bu, engkau tidak
akan dapat menggunakan tenaga berbuat kejahatan lagi. Bertaubatlah!”
kata Yo Han lembut dan dalam suaranya terkandung perasaan iba.
Mendengar ini, tahulah Seng Bu bahwa sudah habis baginya, habis segalanya.
Dia
teringat secara mendadak kepada Cu Kim Giok, gadis yang dicinta dan
mencintanya, dan di dalam lubuk hatinya timbul penyesalan yang amat
mendalam. Dia mengeluarkan keluhan panjang lalu tubuhnya membalik dan
dia sudah berlari menuju ke tempat tahanan yang kini berkobar dimakan
api. Yo Han dan semua orang mengejarnya.
Ketika Seng Bu melihat lima
orang tosu Bu-tong-pai, berdiri dan tak jauh dari situ rebah sesosok
tubuh, ia tersentak kaget mengenal tubuh Kim Giok yang dicarinya. Tanpa
mempedulikan apa pun, dia berseru memanggil,
“Giok-moi....!!” Dan, dia pun menubruk mayat gadis itu.
“Giok-moi ah, Giok-moi....!” Dia meratap dan menangis. Yo Han dan yang lain-lain sudah tiba di situ.
“Ouw
Seng Bu iblis busuk, tak perlu lagi engkau pura-pura menangis! Simpan
saja air mata buayamu itu, karena Kim Giok tewas oleh pukulanmu.
Engkaulah yang telah membunuhnya, kenapa engkau kini pura-pura
menangis?” tegur Sian Li gemas dan marah.
Mendengar ucapan Sian Li, tangis Seng Bu semakin menjadi-jadi. Seperti anak kecil dia menangis dan meratap, sesenggukan.
“Giok-moi....
Kim Giok.... ampunkan aku.... ampunkan aku....” demikian ratapnya
berulang kali, kemudian tanpa diduga-duga oleh semua orang, tiba-tiba
dia menggerakkan tangan kanannya, meringis menahan nyeri ketika
mengerahkan tenaga terakhir dan tangan itu menyambar dan mencengkeram
ubun-ubun kepalanya sendiri. Terdengar suara tulang patah dan dia pun
roboh dan tewas di atas jenazah Kim Giok yang masih hangat.
Semua orang terbelalak, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
“Mungkin inilah yang terbaik....” kata Yo Han halus penuh rasa haru dan iba.
“Kakak
Yo Han, untung engkau dapat muncul dalam keadaan selamat, kalau
tidak.... sukar aku membayangkan apa yang akan terjadi dengan kami
semua,” kata Cia Sun.
Yo Han memandang kepada adik angkatnya itu
sambil mengerutkan alisnya dan suaranya memang lembut, namun penuh
teguran ketika dia berkata,
“Cia-siauwte, kenapa engkau melanggar janji, mengerahkan pasukan pemerintah untuk menyerbu perkumpulan pejuang?”
---lanjut ke jilid 33 (TAMAT)---