Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 79

Petualang Asmara Jilid 079

<--kembali

Suara itu demikian penuh wibawa yang amat kuat dan sepasang mata itu seperti melumpuhkan semangat Giok Keng sehingga dara ini, di luar kehendaknya sendiri, tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. Begitu lututnya menyentuh lantai, Giok Keng terkejut dan sadar. Pernah dia mendengar penuturan ayahnya tentang kekuatan sin-kang yang amat hebat, yang disalurkan melalui pandangan mata dan suara, sehingga pandang mata dan suara itu dapat mempengaruhi hati dan pikiran lawan dan dengan mudah dapat mengalahkan lawan tanpa menggerakkan tangan. Ilmu ini adalah ilmu sihir yang oleh ayahnya disebut ilmu Ihun-to-hoat (semacam Hypnotism), yaitu ilmu menguasai hati dan pikiran orang. Dia menjadi sadar, mengerahkan sin-kangnya dari pusar dan dengan hawa murni di tubuhnya dia mengerahkan kemauannya melawan kekuasaan yang mencekamnya itu, dan sambil memekik nyaring seperti orang baru sadar dari mimpi, Giok Keng meloncat bangkit berdiri dan membentak, “Tosu siluman, aku tidak takut kepadamu!” lalu tanpa banyak cakap lagi dara pendekar ini telah menyerang Thian Hwa Cinjin dengan pedang peraknya!

“Aahhh...!” Kakek itu berseru kagum melihat betapa dara itu dapat membebaskan diri dari pengaruh sihirnya. Terpaksa dia mengangkat tongkatnya menangkis sambil mengerahkan sin-kang untuk membuat pedang lawan terlepas dari pegangan. Akan tetapi, betapa kaget dan kagumnya melihat pedang itu sudah berubah gerakannya dah menyerang ke arah perutnya dari bawah. Hati Ketua Pek-lian-kauw ini menjadi gembira sekali. Dia mengelak dengan loncatan ke belakang sambil tertawa dan berkata, “Ha-ha, aku ingin sekali melihat sampai di mana hebatnya ilmu silat dari Cin-ling-pai!”

Giok Keng maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun tidak mau berlaku sungkan lagi, begitu pedangnya digerakkan, dia telah menyerang dengan ilmu simpanannya, yaitu ilmu Silat Thai-kek Sin-kun!

“Wuuuttt... sing-sing-sing...!”

“Heiii...! Hayaaaa...”

Thian Hwa Cinjin berteriak-teriak saking kaget dan kagumnya menghadapi gerakan pedang yang demikian cepat dan aneh. Gerakannya kelihatan lambat, namun daya serangnya lebih cepat daripada ilmu pedang yang pernah dikenalnya. Dia tadinya hendak mengelak saja sambil memperhatikan ilmu pedang lawan karena dia sudah mendengar bahwa Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan tokoh pertama di dunia persilatan pada waktu itu dan kabarnya memiliki ilmu silat yang luar biasa. Kini dia bertemu dengan puterinya, maka maksud hati kakek ini ingin menyaksikan kehebatan ilmu silat Cin-ling-pai untuk sekedar mempelajari dasarnya sehingga kelak dapat berguna kalau dia sampai bertemu dan bertanding melawan Ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, baru belasan jurus saja dia menjadi kaget setengah mati karena dia maklum bahwa kalau hanya mengandalkan pengelakan saja, besar kemungkinan dia akan roboh oleh pedang yang digerakkan secara ajaib itu! Terpaksa dia mulai mainkan tongkatnya dan dalam waktu singkat, kedua orang itu sudah bertanding dengan hebatnya!

Dapat dibayangkan kagetnya hati Thian Hwa Cinjin ketika mendapat kenyataan bahwa dia sama sekali tidak dapat mendesak lawan! Ilmu silat yang dimainkan dara itu terlalu hebat, terlalu aneh sehingga dia sendiri harus berhati-hati agar jangan sampai “dicium” ujung pedang. Sementara itu, para tokoh Pek-lian-kauw yang menyaksikan kelihaian nona muda itu, memandang kagum dan juga terheran-heran. Hanya Liong Bu Kong yang memandang dengan sinar mata biasa saja karena dia memang maklum akan kelihaian Giok Keng yang harus diakuinya memiliki ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya daripada dia. Dia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa dia menuruti nafsu berahinya, bermain gila dengan dua orang pendeta wanita itu di tempat di mana Giok Keng bermalam sehingga ketahuan oleh kekasihnya itu. Kini, semua telah terlanjur dan dia tahu akan kekerasan hati Giok Keng, maklum bahwa tidak mungkin dia mendapatkan maaf, tidak mungkin hubungannya dengan dara itu menjadi baik kembali seperti yang sudah-sudah. Sekarang, satu-satunya kemungkinan baginya untuk tetap mendapatkan dan menguasai dara cantik jelita, yang membuatnya tergila-gila itu, hanyalah dengan bantuan Ketua Pek-lian-kau. Kini melihat pertandingan yang amat hebat itu, timbul kekhawatirannya kalau-kalau Thian Hwa Cinjin akan membunuh dara yang dicintanya itu.

“Locianpwe, harap jangan kesalahan tangan membunuh dia!” teriaknya dengan hati khawatir.

Tadinya, Thian Hwa Cinjin memang merasa penasaran sekali karena dia tidak dapat mendesak Giok Keng. Masa dia, Ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, seorang yang terkenal memiliki kepandaian hebat, sekarang tidak mampu merobohkan seorang gadis remaja? Hal ini dianggapnya amat memalukan dan tadi dia sudah mengambil keputusan untuk merobohkan Giok Keng dan membunuhnya kalau perlu! Sekarang, begitu mendengar suara Bu Kong, timbul kembali kecerdikannya dan perhatiannya akan cita-citanya meraih kedudukan tinggi melalui Pek-lian-kauw. Dia harus mengesampingkan rasa penasaran pribadinya. Memang dara ini tidak boleh dibunuh. Pertama, untuk menarik tenaga Liong Bu Kong dan sisa perkumpulan Kwi-eng-pang agar membantu Pek-lian-kauw, ke dua dia akan dapat mempergunakan dara ini sebagai sandera kelak untuk melumpuhkan Cia Keng Hong apabila pendekar sakti itu membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw.

Setelah mendapatkan pikiran ini, tiba-tiba Thian Hwa Cinjin berteriak nyaring dan tongkatnya menusuk ke depan. Giok Keng yang sudah tahu akan tenaga sin-kang lawan yang amat kuat, seperti telah dilakukannya sejak mereka bertanding hebat, tidak mau menangkis melainkan mengelak dan siap untuk melanjutkan pengelakannya dengan serangan balasan dari sudut yang tidak terduga-duga oleh lawan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara mendesis dan dari ujung tongkat lawan itu meluncur asap hitam!

Setelah tadi mengalami penyerangan gelap dari ujung tongkat Bong Khi Tosu, Giok Keng sudah berlaku hati-hati karena dia memang sudah menyangka bahwa tentu di ujung tongkat Ketua Pek-lian-kauw ini pun terdapat senjata rahasia yang amat berbahaya. Akan tetapi tidak disangkanya sama sekali bahwa yang meluncur keluar hanyalah asap hitam! Dia cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, bergulingan menjauh kemudian meloncat bangun sambil memutar pedangnya melindungi dirinya. Asap itu tertiup angin dan membuyar, sedangkan Giok Keng yang cerdik tadi sudah menutup pernapasannya sehingga dia tidak sampai menyedot asap beracun itu.

Thian Hwa Cinjin berteriak marah dan meloncat maju mengejar sambil menyerang dengan tongkatnya. Hebat bukan main serangan ini sehingga terpaksa Giok Keng menangkis dengan pedang.

“Cringgg....!”

Kedua senjata bertemu dan tiba-tiba Giok Keng menjerit kaget. Hidungnya mencium bau amat harum yang mencurigakan. Biarpun dia cepat menahan napas, namun dia telah menyedot asap yang tidak tampak, dan inilah kelihaian Ketua Pek-lian-kauw itu. Tadi, asap hitam yang pertama kali keluar dari ujung tongkatnya, hanyalah asap biasa yang tidak berbahaya, dan itu dikeluarkan hanya untuk menipu lawan. Setelah asap hitam keluar, maka tentu saja Giok Keng tidak begitu memperhatikan dan ketika pedangnya menangkis tongkat, asap putih tipis yang keluar dari tongkat itu tentu saja tidak diperhatikan olehnya dan dia telah menyedot asap yang harum beracun ini!

Racun asap putih itu tidaklah mematikan orang, hanya mengandung pengaruh memabokkan. Giok Keng hanya merasa mengantuk, akan tetapi dara yang cerdik ini maklum bahwa dia telah terkena hawa beracun, maka dia tidak mau menuruti rasa kantuk ini dan gerakan pedangnya lebih cepat lagi melindungi tubuhnya.

“Ha-ha-ha, Cia Giok Keng, kau bertanding dengan siapa? Aku tidak ada lagi di depanmu!”

Giok Keng terkejut sekali. Dia memandang ke depan dan melihat betapa tubuh lawannya itu berubah menjadi asap dan menghilang! Namun dia masih menggerakkan pedangnya, menyerang ke depan dan melindungi tubuhnya sendiri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung.

“Ha-ha-ha, kaulihatlah padaku, Cia Giok Keng, lihatlah!”

Giok Keng menjadi bingung, apalagi ketika dia melihat bahwa sebagai ganti tubuh kakek itu, kini yang tampak hanyalah sepasang mata yang seolah-olah tergantung di udara tanpa kepala tanpa badan! Dia terheran-heran dan sekali perhatiannya tertarik, dia sudah tercengkeram ke dalam kekuasaan gaib dari sinar mata yang luar biasa itu.

“Cia Giok Keng, kita adalah keluarga sendiri... keluarga sendiri... keluarga sendiri...” Suara itu bergema dengan aneh, seolah-olah keluar dari dalam tanah dan membuat seluruh tubuh Giok Keng tergetar. Dia berdiri bingung, kedua tangannya tergantung dan sama sekali tidak menggerakkan pedangnya lagi, memandang ke arah sepasang mata itu dan bibirnya berkomat-kamit, “Keluarga sendiri...? Ya, kita adalah keluarga sendiri... keluarga sendiri...” Dia berbisik-bisik menirukan suara yang amat berwibawa itu.

“Ha-ha-ha, bagus, Cia Giok Keng. Engkau harus menurut... harus menurut... harus menurut...”

“Aku harus menurut... harus menurut...” bibir Cia Giok Keng berbisik-bisik.

“Lemparkan pedangmu, kita keluarga sendiri, tidak ada yang memusuhimu, tenanglah dan lemparkan pedangmu...!”

Giok Keng melemparkan pedang dan sarung pedangnya ke atas tanah tanpa membantah sedikitpun juga. Matanya terbelalak memandang ke depan, ke arah mata Thian Hwa Cinjin yang sebenarnya masih berdiri di depannya, akan tetapi yang hanya tampak matanya saja oleh dara yang telah dikuasai dengan sihir oleh kakek itu.

“Engkau lelah, Cia Giok Keng, engkau mengantuk, tidurlah... tidurlah dengan nikmat... tidak ada apa-apa lagi, kau lelah dan mengantuk tidurlah...!”

Sepasang mata Cia Giok Keng yang tadi terbelalak, kini perlahan-lahan terpejam dan tubuhnya bergoyang-goyang, lalu dia roboh tergelimpang dalam keadaan tidur nyenyak! Akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai, Bu Kong sudah melangkah maju dan memeluknya.

“Ha-ha-ha-ha!” Thian Hwa Cinjin tertawa girang. “Sekarang bawalah pengantinmu itu ke dalam kamar, Liong-sicu. Akan tetapi, akan merepotkan sekali kalau pinto selalu harus menguasai dengan sihir. Pinto masih mempunyai banyak urusan, maka sebaiknya menjinakkan dia dengan obat ini. Berilah satu sendok teh setiap hari, dicampurkan ke dalam minumannya, tentu dia akan selalu menurut kehendak Sicu.”

Liong Bu Kong menerima bungkusan obat dari kakek itu lalu berkata, “Terima kasih banyak atas bantuan Locianpwe. Akan tetapi, bagaimana dengan pernikahan kami...?”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Pinto akan laksanakan, dan sekarang juga kita akan menyebar undangan. Ha-ha-ha, Pek-lian-kauw berbesan dengan Cin-ling-pai, sungguh merupakan berita paling hebat di dunia kang-ouw! Ingin aku melihat bagaimana wajah Kaisar dan Panglima The Hoo mendengar berita ini! Dan semua tokoh kang-ouw akan menyaksikan pernikahan ini, pernikahan tanpa paksaan, ha-ha-ha!”

Liong Bu Kong menjadi girang sekali.

“Kapankah hari baik itu diadakan, Locianpwe?”

“Untuk menyebar undangan membutuhkan waktu. Kita tentukan harinya nanti, kira-kira sebulan lagi. Nah, bawalah nona ini ke kamarnya, Sicu. Engkau beruntung sekali mendapatkan dara seperti ini, hemmm... dia akan menjadi seorang isteri yang takkan pernah membosankan, ha-ha-ha!”

Liong Bu Kong memondong tubuh Giok Keng yang tidur pulas secara tidak wajar itu ke kamarnya. Hatinya girang sekali, akan tetapi juga timbul kekecewaan besar di hatinya. Dia ingin mendapatkan diri dara ini secara sukarela, tidak hanya ingin memperoleh dan menguasai tubuhnya, melainkan juga hatinya, cinta kasihnya. Sekarang terpaksa dia hanya akan mendapatkan tubuhnya saja, dan dia merasa seolah-olah tubuh dara yang telentang pulas di atas pembaringan itu bukan lagi Cia Giok Keng, melainkan boneka hidup!

Obat bubuk yang diberikan kepada Giok Keng oleh Bu Kong, benar-benar amat manjur. Obat itu membuat Cia Giok Keng seperti seorang yang hilang ingatan dan tidak mempunyai semangat sama sekali! Dia hanya menurut dan mengangguk, disuruh makan dia makan, disuruh tidur dia tidur, tak pernah membantah. Akan tetapi, ketika Bu Kong berusaha untuk bermain cinta dengannya, dara itu menolak dan menggelengkan kepala. Bahkan dapat berkata, “Kita belum menikah.”

Hal ini menggirangkan hati Bu Kong. Ternyata bahwa naluri gadis itu amat kuat sehingga biarpun berada dalam keadaan mabuk, dara itu masih menolak hubungan badan sebelum menikah dengan resmi! Kiranya gadis itu sudah lupa sama sekali akan peristiwa malam itu! Timbul pula harapan di hati Bu Kong. Siapa tahu, kelak kalau sudah menikah dengan resmi, Giok Keng akan benar-benar dapat mencintanya kembali, melupakan pengalaman malam itu, dan tidak perlu lagi menggunakan obat perampas ingatan!

Harapan ini membuat Bu Kong dengan tekun dan sabar melayani Giok Keng dan tidak lagi menurutkan nafsu berahinya, tidak lagi mencoba untuk menggagahi gadis yang dicintanya itu. Sebulan tidaklah lama, pikirnya, dan betapa akan manisnya kalau Giok Keng menyerahkan diri secara sukarela, sebagai isterinya yang syah! Membayangkan kenikmatan saat seperti itu membuat Bu Kong menjadi sabar, bahkan dia menahan diri tidak mau melayani godaan para pendeta wanita yang haus lelaki itu!

Perahu kecil yang amat sederhana ini dengan susah payah didayung oleh Kun Liong melawan ombak yang kembali dari pantai. Ketika perahu tiba di bagian di mana air dari tengah laut bertemu dengan air yang kembali dari pantai sehingga air memecah dan membuih, mengeluarkan suara berdebur keras, perahu kecil itu terangkat dan terombang-ambing, hampir terbalik. Kun Liong cepat mengerahkan tenaga dan mendayung perahunya, meluncur hampir seperti ikan meloncat, melalui buih tombak dan meluncur terus ke pantai. Setelah dayungnya dapat menyentuh pasir, dia sudah tidak sabar lagi, meloncat dari atas perahu mendarat dan meninggalkan perahu buatannya sendiri yang amat sederhana itu, membiarkannya terbawa ombak, sebentar ke tengah sebentar ke pinggir.

Karena dia meninggalkan pulau kosong itu tanpa mengenal jalan, hanya mengarahkah perahunya ke barat selalu, maka dia tersesat jalan dan tidak tahu bahwa perahunya mendarat di bagian paling utara, yaitu di sebelah utara Tembok Besar di sebelah selatan kota Cin-sian. Oleh karena itu, begitu mendarat dan melakukan perjalanan cepat menuju ke barat di mana menurut perkiraannya tentu terdapat Tibet, dia telah bertemu dengan pegunungan yang sambung-menyambung dan kadang-kadang diselingi padang pasir yang luas!

Kun Liong sama sekali tidak mengira bahwa dia berada di luar Tembok Besar, yaitu berada di perbatasan antara daerah Mongolia Dalam dan daerah Mancuria yang kesemuanya tentu saja berada dalam kekuasaan Pemerintah Ceng pada waktu itu. Maka dia sendiri menjadi terheran-heran dan bingung juga ketika selama berhari-hari melakukan perjalanan, dia tidak pernah bertemu dengan dusun, tak pernah berjumpa manusia dan perjalanan yang ditempuhnya amat sukar karena selain harus melalui pegunungan yang tinggi dan hutan-hutan yang liar, juga kadang-kadang dia harus melalui padang pasir yang amat luas sehingga sampai dua tiga hari belum juga habis pasir yang dilaluinya!

Pada suatu pagi, setelah bermalam di sebuah guha di kaki bukit dia melanjutkan perjalanan, memasuki sebuah hutan yang amat lebat. Namun dia kelihatan girang dan wajahnya selalu berseri. Memang baginya tentu saja jauh lebih baik melakukan perjalanan melalui hutan-hutan liar daripada melalui padang pasir yang mengerikan itu. Pernah dia hampir mati kelaparan dan kehausan ketika melalui padang pasir selama tiga hari tiga malam. Di mana-mana pasir melulu! Kalau di dalam hutan, dia tidak akan kekurangan air, tidak akan kekurangan makan dan minum. Andaikata tidak ada binatang hutan, dia dapat saja makan daun-daun muda, buah-buahan atau akar. Dia sudah biasa akan penghidupan sederhana seperti itu! Akan tetapi pasir!

Selama berhari-hari ketika dia meninggalkan pulau, hatinya terhimpit kedukaan karena memikirkan Hong Ing. Hatinya penuh kerinduan sehingga hampir setiap dia tidur, dia bermimpi dan bertemu dengan dara yang dikasihinya itu. Hampir gila dia merindukan dara itu. Akan tetapi lambat laun dia dapat menekan hatinya, dapat menenangkan perasaannya dan dia percaya bahwa kalau memang dia berjodoh dengan Hong Ing, pasti pada suatu hari dia akan bertemu dengan dara pujaan hatinya itu.

Sambil berjalan memasuki hutan, Kun Liong mengenangkan semua pengalamannya. Tampak nyata dalam ingatannya betapa bodohnya dia dahulu. Betapa sombongnya dia dahulu terhadap cinta kasih! Betapa dia meremehkan cinta kasih yang dianggapnya hanyalah cinta yang mengandung nafsu berahi belaka! Betapa dia tidak percaya akan cinta kasih yang sesungguhnya, cinta kasih yang dapat menciptakan sorga maupun neraka bagi orang yang dihinggapinya, seperti yang dia rasakan sekarang! Dan mengingat ini semua, seringkali dia termenung dengan muka pucat, mengingat akan dara-dara yang pernah dikenalnya selama petualangannya dalam dunia ini. Terutama sekali dia merasa terharu dan berduka, merasa menyesal sekali kalau dia teringat kepada Hwi Sian. Satu-satunya gadis yang telah menyerahkan tubuhnya, menyerahkan kehormatannya kepadanya! Satu-satunya gadis yang telah membuktikan cintanya melalui pengorbanan yang paling hebat bagi seorang wanita. Dan dia telah tega meninggalkan gadis itu! Seperti seekor kumbang yang terbang pergi begitu saja setelah menikmati madu kembang itu, setelah dihisapnya habis. Dia merasa menyesal sekarang. Dia tidak mencinta Hwi Sian, hanya suka, mengapa dia mau melakukan hubungan badan dan tentu akan membuat dara itu makin rusak hatinya? Hwi Sian yang mengaku akan menikah dengan suhengnya, telah sengaja menyerahkan diri kepadanya, untuk membuktikan cinta kasihnya. Akan tetapi dia yang tidak mencinta, mengapa mau menerimanya?

“Bodoh kau!” Dia menampar kepalanya sendiri, akan tetapi telapak tangannya itu tinggal di kepalanya karena baru teringat sekarang bahwa kepalanya sudah berambut! Dia tersenyum geli. Mengapa sekarang jalan pikirannya berubah setelah kepalanya ada rambutnya? Apakah dahulu itu semua ketololannya adalah akibat dari kepalanya yang tidak terlindung rambut sehingga mudah sekali dimasuki angin jahat? Dia menggosok-gosok kepalanya. Rambutnya sudah mulai panjang, ada sejari panjangnya dan tumbuh dengan subur. Akan tetapi karena baru sejari rambut itu masih kaku dan kacau tumbuhnya, mencuat ke sana-sini tidak teratur. Dan pakaiannya! Merah mukanya ketika dia menunduk dan memandang pakaiannya. Lebih pantas seorang jembel kotor! Atau seorang manusia liar yang belum mengenal peradaban, seorang manusia biadab! Betapa mungkin dia dapat menjumpai orang di kota atau dusun dalam pakaian seperti ini? Tentu dia akan dianggap seorang jembel yang sudah terlantar, atau mungkin akan dicurigai orang. Ah, dia tidak khawatir, di sakunya terdapat emas dan permata, dia akan membeli pakaian begitu ada kesempatan.

Tiba-tiba Kun Liong menghentikan langkah kakinya. Di sebelah kanannya terbentang jurang yang dalam dan luas. Dia mendengar suara dari bawah, dari bawah jurang! Suara orang berteriak minta tolong atau semacam itu karena suara itu hanya terdengar gemanya saja, tidak begitu jelas. Dua macam perasaan mengaduk hati Kun Liong. Girang dan cemas. Girang karena dia mendengar suara orang, dan cemas karena dari suara itu, biarpun tidak jelas, dia menangkap ketakutan hebat seolah-olah orang itu terancam bahaya besar.

Cepat dia menuruni jurang yang curam itu. Dia harus berhati-hati karena sekali terpeleset, atau sekali pegangannya terlepas, tubuhnya tentu akan melayang ke bawah dan dia taksir bahwa tebing itu dalamnya tidak kurang dari seribu kaki! Tubuhnya tentu akan hancur, atau setidaknya akan robek-robek kulitnya kalau dia sampai terguling-guling ke bawah sana!

Kembali dia mendengar suara teriakan. Benar-benar teriakan minta tolong! Dia mempercepat gerakannya merayap turun, bergantungan pada akar-akar dan batu-batu di sepanjang tebing dan akhirnya tibalah dia di bawah. Ternyata di bawah tebing itu pun terdapat sebuah hutan dan suara tadi keluar dari hutan itulah.

Dengan gerakan yang cepat sekali Kun Liong berlari memasuki hutan. Hatinya berdebar ketika dia melihat belasan orang mengeroyok seorang laki-laki asing!

Seorang laki-laki sebangsa Yuan de Gama yang memegang sebatang golok dan membela diri mati-matian terhadap pengeroyokan tiga orang itu! Akan tetapi, orang asing itu sudah terluka parah, pakaiannya penuh darah dan tubuhnya sudah lemah, gerakannya tidak leluasa lagi sehingga ketika Kun Liong tiba di situ, sekaligus orang asing itu menerima bacokan-bacokan yang membuatnya roboh.

“Heiii, jangan bunuh orang...!” Kun Liong berteriak sambil meloncat ke depan. Tiga belas orang itu menengok dan mereka segera mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti oleh Kun Liong. Sebelum Kun Liong dapat mencegahnya, tiga belas orang laki-laki bertubuh tegap kuat dan bersenjata golok dan pedang itu telah lari menyerbunya sambil mengeluarkan teriakan-teriakan liar! Kun Liong terkejut sekali, maklum bahwa dia berhadapan dengan suku bangsa yang berbeda bahasanya, segerombolan orang-orang kasar dan liar, maka dia mengerti bahwa bicara pun tidak akan ada gunanya. Maka dia mempergunakan kepandaiannya, ketika mereka datang menyerbu, dia mengerahkan gin-kangnya melompat melewati atas kepala mereka dan berlutut memeriksa orang asing yang sudah rebah dan mengerang kesakitan itu.

“Aduhhh... mati aku... tolong aku...!” Orang asing itu, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, merintih dan dengan suara kaku minta tolong kepada Kun Liong. Logat bicaranya mengingatkan Kun Liong kepada Yuan de Gama, maka dia berkata menghibur, “Jangan khawatir, aku akan mencegah mereka menyerangmu...!” Akan tetapi di dalam hatinya, Kun Liong maklum bahwa orang ini tidak dapat ditolong lagi. Luka-lukanya terlalu parah, bahkan leher kanannya yang pecah mengucurkan darah yang takkan dapat dibendung lagi.

Tiga belas orang Mongol itu terkejut ketika melihat lawan mereka berkelebat dan “terbang” di atas kepala mereka. Cepat mereka membalikkan tubuh dan kini mereka menyerbu sambil berlari dan mengeluarkan pekik dahsyat.

Kun Liong menoleh, tangan kanannya mencengkeram tanah dan batu pasir, kemudian dia menyambit sambil mengeraKkan sin-kangnya.

“Siuuuttt... aughhh! Ahh! Aduhhh!” Empat orang Mongol yang berlari paling depan jatuh bergelimpangan, menjeritjerit sambil memegangi kaki mereka yang terasa perih, pedih, dan ngilu karena tanah dan pasir itu menembus kulit memasuki daging sampai ke tulang kering kaki mereka!

Melihat empat orang kawannya roboh, sembilan orang Mongol yang lainnya terkejut sekali dan menghentikan gerakan kaki mereka, memandang dengan mata terbelalak seolah-olah tidak percaya bahwa pemuda berambut pendek itu dapat merobohkan kawan-kawan mereka dari jarak jauh, hanya sambil berlutut dan menyambitkan tanah!

Pemimpin mereka, seorang tinggi besar bermata sipit sekali, agaknya merasa penasaran. Dia adalah seorang jago silat bangsa Han, sungguhpun pakaiannya seorang jembel, dia melangkah maju dan berkata dalam bahasa Han yang kaku sekali, “Engkau jagoan, ya? Hayo kaulawan aku, tanpa menggunakan senjata rahasia! Tanpa menggunakan ilmu setan!”

Kun Liong maklum bahwa berhadapan dengan orang-orang kasar seperti ini, dia hanya dapat mengandalkan kepandaian silatnya untuk menundukkan mereka. Maka dia segera bangkit berdiri menghadapi raksasa bermata sipit itu. “Hemm, aku menggunakan pasir kaucela, akan tetapi engkau menggunakan senjata tajam, dan mengandalkan jumiah banyak mengeroyok orang!”

MULUT raksasa itu cemberut, dan dia melempar goloknya kepada seorang teman.

“Lihat, aku hanya mengandalkan tangan dan kaki. Beranikah kau melawanku?”

Kun Liong bangkit berdiri, menghampiri dan berkata, “Tentu saja aku berani, majulah!”

Raksasa Mongol itu menerjang maju, memukul dengan kedua tangannya. Seperti dua buah cakar biruang raksasa, kedua tangan itu menyambar dari kanan kiri. Kun Liong mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya menangkis.

“Plak! Plak!” Raksasa Mongol itu telah memegang kedua lengan Kun Liong yang terlalu kecil bagi jari-jari tangannya yang panjang dan besar! Tahu-tahu, Kun Liong merasa tubuhnya terangkat ke atas.

Akan tetapi, ketika raksasa itu berusaha melontarkan tubuh Kun Liong, pemuda ini sudah memegang pula lengan lawan sehingga mereka saling berpegangan dan tubuh Kun Liong tidak dapat terlempar! Bahkan ketika raksasa itu mengerahkan seluruh tenaga dan untuk kesekian kalinya melontarkan, Kun Liong meminjam tenaganya, ditambah tenaga sendiri sambil memperberat tubuhnya dan... kini tubuh raksasa itulah yang melayang ke atas begitu kaki Kun Liong menyentuh tanah dan tubuh yang tinggi besar itu terlempar dan terbanting keras ke atas tanah.

“Brukkkk!!” Debu mengebul tinggi dan raksasa sipit itu merangkak bangun, menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengusir kepeningan, lalu bangkit berdiri lagi dan berjalan maju setengah berbongkok seperti seekor biruang besar hendak menerkam! Kun Liong menanti dengan tenang. Dia tahu bahwa lawannya ini hanyalah mengandalkan tenaga luar saja, bukan merupakan lawan berbahaya. Akan tetapi dia pun harus meyakinkan mereka semua akan kepandaiannya, karena dengan demikian barulah mereka itu akan mundur.

“Haarrrggghhh...!” Raksasa sipit itu menggereng dan tubuhnya sudah meloncat dan menubruk ke arah Kun Liong.

“Duk! Duk! Dessss!”

Orang-orang Mongol itu hanya melihat tubuh pemimpin mereka terjengkang lalu roboh tak berkutik lagi! Mereka tidak tahu bahwa Kun Liong tadi memapaki lawan dengan dua kali totokan yang melumpuhkan kaki tangan orang itu, kemudian menampar keras membuat lawannya pingsan.

“Bawa dia pergi!” Bentak Kun Liong kepada mereka.

Dengan muka membayangkan rasa takut, orang-orang Mongol itu lalu menolong pemimpin dan teman-teman yang kakinya terluka, kemudian berlari-lari meninggalkan tempat itu.

Setelah melihat orang-orang Mongol itu pergi jauh, Kun Liong kembali berlutut di dekat orang asing yang kini hanya mengerang lemah sekali karena kehabisan darah. Sekali lagi Kun Liong meneliti, akan tetapi hanya mendapat keyakinan bahwa orang itu tidak akan dapat tertolong lagi nyawanya. Mukanya sudah mulai memucat karena kekurangan darah. Dia tidak dapat menolong lagi, maka dia hanya dapat bertanya, “Apakah yang terjadi, Tuan?”

Orang itu membuka matanya, bibirnya menggumam, “...terima kasih... terima kasih... mereka adalah gerombolan Mongol yang membenci kami orang-orang kulit putih... aku... aku utusan... Dewa Panah...”

“Dewa Panah? Siapakah dia? Dan diutus ke mana?”

Dengan susah payah orang itu mencoba menjawab, akan tetapi yang terdengar oleh Kun Liong hanyalah bisikan lemah, “...Pek-lian-kauw... di muara Sungai Huai... pantai Laut Kuning...” sampai di situ habislah napas orang asing itu, meninggalkan Kun Liong termangu-mangu karena tidak mengerti apa yang dimaksudkan.

Setelah menghela napas panjang berulang-ulang, menyesal bahwa perjumpaannya yang pertama dengan manusia ternyata begini tidak menyenangkan dan tiada gunanya baginya, Kun Liong lalu menggali tanah membuat lubang untuk mengubur jenazah orang itu. Setelah lubang yang digalinya cukup dan dia hendak mengangkat tubuh orang itu, tiba-tiba dia teringat akan pakaiannya, Kun Liong mengerutkan alisnya. Berdosakah dia kalau dia mengambil pakaian orang ini? Sesosok mayat tidak membutuhkan pakaian luar, akan tetapi dia amat membutuhkan karena pakaiannya sudah tidak karuan macamnya. Ah, kiranya tidak berdosa, dan si mati tentu akan memaafkannya. Setidaknya, dia telah menguburkan jenazahnya! Mulailah Kun Liong menanggalkan pakaian orang itu, pakaian luarnya dan hal ini masih mudah dilakukannya karena mayat itu masih belum kaku. Setelah dia melepaskan baju kemeja lengan panjang dan celana, sepatu boot dan kain leher orang itu sehingga yang masih menempel di tubuh mayat itu hanya pakaian dalam, Kun Liong berkata, “Terima kasih dan maafkan aku, Tuan!” Kemudian dia mengubur jenazah itu dan mengenakan pakaian model barat. Untung baginya, tubuh orang asing itu kecil, tidak berbeda banyak dengan tubuhnya, maka pakaiannya itu pas sekali, hanya lengannya lebih panjang sehingga terpaksa digulungnya sampai ke siku.

Tak lama kemudian, pemuda itu tertawa-tawa seorang diri dengan hati geli ketika dia bercermin di atas air jernih di dalam hutan. Mula-mula dia terkejut ketika menjenguk ke air dan melihat mukanya sendiri. Tak disangkanya mukanya seperti itu! Sudah lama dia tidak bercermin, dan sekali bercermin, melihat kepala yang biasanya gundul sehingga dia sudah terbiasa itu kini berambut, melihat seorang pemuda berambut pendek berpakaian aneh, dia kelihatan seperti seorang “sinyo” yang asing!

lanjut ke Jilid 080-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar