Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 80

Petualang Asmara Jilid 080

<--kembali

Dua hari kemudian, Kun Liong tak dapat tertawa-tawa lagi. Dia berada di tengah padang pasir yang tidak kelihatan tepinya. Yang tampak hanyalah pasir dan gunung pasir, batu-batu kering dan tanah tandus! Tidak ada setetes pun air kecuali peluhnya sendiri yang bercucuran karena panasnya. Tidak ada tempat berteduh dan kerongkongannya terasa kering dan haus sekali!

“Celaka...!” pikirnya. Tak disangkanya bahwa padang pasir itu seluas itu. Untuk kembali dia enggan. Dia harus melanjutkan perjalanannya ke barat, harus cepat mencari Hong Ing di Tibet. Akan tetapi kalau dilanjutkan, berapa lama dia akan dapat melewati padang pasir itu?

Dua hari kemudian, sudah empat hari empat malam Kun Liong melalui padang pasir. Hari itu panasnya bukan main, tubuhnya sudah mulai lemah, kerongkongannya kering dan haus dan perutnya lapar. “Uh-uh... masih berapa jauhnya?” dia menggumam, berhenti di dekat batu besar untuk berteduh di bayangan batu itu, menghapus keringatnya dengan kain leher yang sudah basah. Tubuhnya gemetar dan matanya setengah terpejam karena silau oleh pasir yang berkilauan tertimpa panas terik matahari!

Kun Liong menjatuhkan diri duduk di atas pasir yang panas. Dikeluarkannya bungkusan emas permata dari sakunya.

“Sialan!” gerutunya memandang bungkusan itu dan mengantonginya kembali. “Aku akan senang sekali menukar bungkusan ini dengan semangkok bubur dan sepoci air jernih!”

Teringatlah dia betapa nilai sesuatu benda ditentukan oleh kebutuhan. Pada saat seperti itu, dalam keadaan kehausan dan kelaparan, semangkok bubur dan sepoci air jernih lebih berharga daripada emas permata! Betapa tololnya manusia di tempat ramai, untuk memperebutkan emas permata mereka tidak segan-segan untuk saling bunuh! Padahal, dalam keadaannya sekarang ini, semua harta benda tidak ada gunanya, tidak lebih berharga daripada semangkok bubur sepoci air.

Dia bangkit lagi. Makin lama dia beristirahat, makin berbahayalah keadaannya. Dia harus cepat-cepat keluar dari gurun pasir itu, kalau tidak, besar kemungkinannya dia akan mati konyol di tempat ini. Di depan sudah nampak pegunungan dan di balik pegunungan pasir ini, tampak samar-samar puncak sebuah gunung menghijau, akan tetapi masih amat jauh. Dia harus cepat-cepat mencapai gunung menghijau itu sebelum dia roboh dan mati di atas pasir.

Makin tinggi matahari naik, makin panaslah sinarnya menimpa pasir sehingga Kun Liong merasa makin tersiksa karena dia diserang hawa panas dari atas dan bawah. Pasir yang tertimpa sinar matahari menjadi panas dan hawa dari dalam bumi keluar membuat Kun Liong merasa seperti dipanggang tubuhnya. Peluhnya bercucuran dan pandang matanya berkunang-kunang.

“Celaka...!” keluhnya ketika dia terpaksa menjatuhkan tubuhnya yang kehabisan tenaga karena terlalu banyak berkeringat itu ke atas pasir. Sejenak dia merebahkan dirinya di belakang batu besar yang agak teduh, rebah miring, pipinya menyentuh pasir hangat. Betapa nikmatnya! Betapa nikmatnya melepaskan lelah di tempat itu, tidak bangkit lagi, rebah di dalam pelukan bayangan batu, ditilami pasir yang lembut dan hangat. Dia memejamkan matanya, tubuhnya terasa nikmat, mengendur dan lepas semua urat tubuhnya.

“Eh, apakah aku harus mati dalam keadaan begini?” Tiba-tiba terbayang wajah Hong Ing dan cepat dia membuka mata dan bangkit duduk.

“Tidak! Aku tidak boleh mati seperti ini!” hardiknya di dalam hati kepada dirinya sendiri. Dia meloncat berdiri akan tetapi terguling lagi karena matanya berkunang dan kepalanya pening sekali.

“Aku harus keluar dari neraka ini! Aku harus mencari Hong Ing!” Ketekadan hati ini membuat Kun Liong merangkakrangkak meninggalkan tempat itu. Kepalanya pening, dia tidak dapat berdiri dan berjalan, maka merangkak pun jadilah asal dia dapat melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat berbahaya itu, menuju ke gunung menghijau di depan itu.

Akan tetapi, pasir tertimpa matahari yang membuat matanya silau, kembali memaksa dia menghentikan usahanya merangkak. Dia rebah lagi dan memejamkan matanya. Terlampau nikmat rebah begini, dan terlampau sengsara melanjutkan perjalanan!

Tiba-tiba dia terkejut. Telinganya yang menempel di atas pasir mendengar suara bergemuruh. Dia mengangkat tubuhnya dan terdengarlah lapat-lapat suara derap kaki kuda. Tak lama kemudian, dari sebelah depan muncullah sepasukan orang, sebagian kecil berkuda, menuju ke tempat itu! Di depan sendiri tampak seorang laki-laki bangsa asing dengan rambut putih kekuningan membalapkan kudanya. Ketika tiba di tempat di mana Kun Liong masih berlutut dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan seperti orang merangkak, laki-laki itu berseru keras, meloncat turun dari kuda dan menghampiri. Dia berkata dalam bahasa asing yang tak dimengerti oleh Kun Liong. Ketika Kun Liong menoleh, orang itu memaki, “Keparat! Tentu dia merampok anak buahku. membunuh dan merampas pakaiannya!” Dengan gerakan cepat, orang itu mencabut beberapa batang anak panah yang tergantung di punggung, memasangnya di busur.

“Wir-wir-wir... cuat-cuat-cuatt!”

Bukan main cepatnya orang itu mainkan anak panah dengan busur. Kun Liong yang masih pening itu hanya melihat sinar-sinar kilat berkelebat dan anak anak panah menyambar dan menancap di sekeliling tempat dia berlutut! Dia telah dikurung pagar anak panah. Bukan main pandainya orang asing itu menggunakan busur dan anak panah dan teringatlah dia akan pesan orang yang ditolongnya beberapa hari yang lalu. Dewa Panah! Agaknya orang inilah yang dijuluki Dewa Panah, dan memang ilmu panahnya hebat!

Kemudian orang yang memegang anak panah itu meloncat dan hanya dengan dua kali loncatan saja dia sudah berdiri di depan Kun Liong yang kini sudah berhasil bangkit berdiri dalam pagar anak panah yang menancap di atas pasir di sekelilingnya itu. Loncatan orang itu pun membuktikan bahwa selain lihai ilmu panahnya, orang asing yang masih muda itu juga memiliki kepandaian yang tinggi.

Akan tetapi hal ini tidak menarik hati Kun Liong yang tentu saja menganggap kepandaian seperti itu tidak ada artinya. Yang menarik hati Kun Liong adalah ketika dia mengenal orang asing yang bukan lain adalah Marcus, bekas kekasih Kim Seng Siocia!

Dugaannya ini memang tidak keliru. Orang itu adalah Marcus, pemuda bangsa Portugis bekas anak buah Legaspi yang tadinya menjadi kekasih Kim Seng Siocia kemudian ketika Kim Seng Siocia tewas, dia berhasil melarikan diri membawa kitab-kitab pusaka dan barang berharga dari nona gemuk itu. Dan di antara ilmu kepandaiannya Kim Seng Siocia yang dapat dia warisi, di antaranya adalah ilmu panah yang lihai! Marcus berhasil pula menghimpun beberapa orang bekas rekannya sehingga terkumpul lima orang Portugis yang masih berkeliaran, kemudian dia bersama lima orang anak buahnya itu menggabungkan diri dengan golongan orang Mongol yang berniat memberontak dan menyerbu ke selatan. Gerombolan pemberontak ini terdiri dari ribuan orang dan merupakan pasukan yang kuat, dan sudah siap untuk bergerak ke selatan. Dalam usaha pemberontakan ini, gerombolan orang Mongol yang dinamakan Pasukan Tombak Maut mengadakan kontak dan persekutuan dengan kaum Pek-lian-kauw!

Berkat ilmu silat dan ilmu panahnya yang cukup lihai, Marcus memperoleh kedudukan terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut dan sebentar saja dia terkenal sebagai Dewa Panah karena ilmu panahnya memang hebat dan dikagumi oleh semua orang Mongol.

Pada hari itu, Marcus mengiringkan komandannya bersama sepasukan oreng. Mongol berjumlah dua puluh orang lebih dan pasukan ini secara kebetulan melalui gurun pasir di antara pegunungan itu dan bertemu dengan Kun Liong yang sudah terancam bahaya maut karena lelah, lapar dan terutama sekali haus. Melihat Kun Liong mengenakan pakaian seorang anak buahnya, dia menjadi curiga dan segera mengancam Kun Liong dengan anak panahnya. Kini dia menghadapi Kun Liong dan di belakangnya, duduk di atas kuda sambil memandang tajam, Sang Komandan Pasukan Tombak Maut menyaksikan tanpa membuka suara. Komandan ini masih muda, tampan dan gagah, matanya tajam dan gerakan biji matanya liar.

Kun Liong masih nanar dan pening, pandang matanya masih berkunang sehingga ketika dia memandang kepada Marcus dan kepada komandan itu, hatinya terkejut dan dia mengira berada dalam mimpi. Dia mengenal pula komandan itu. Tentu saja dia tidak akan pemah dapat melupakan wajah Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok Si Raja Ular!

“Hemm, dia tentu mata-mata dari selatan yang menyamar. Tangkap saja dia, kita periksa di markas!” bentak Ouwyang Bouw tanpa turun dari kudanya. Agaknya baik dia maupun Marcus tidak mengenal Kun Liong, bukan hanya karena pakaiannya yang aneh akan tetapi terutama sekali karena Kun Liong yang dahulunya gundul pelontos itu kini telah memiliki rambut hitam lebat.

Ketika beberapa orang anggauta Pasukan Tombak Maut, yaitu orang-orang Mongol anak buah Ouwyang Bouw, berhasil menghampiri dan mentaati perintah Ouwyang Bouw untuk menangkapnya, Kun Liong sama sekali tidak mau melawan. Dia maklum bahwa andaikata dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk melawan, tak mungkin dia yang kelaparan dan kehausan itu mampu mengalahkan Ouwyang Bouw yang dia tahu amat lihai. Pula begitu melihat Ouwyang Bouw, teringatlah dia akan cerita Hong Ing tentang suci dara itu, yaitu Lauw Kim In, wanita cantik manis pendiam yang berhati keras dan galak. Menurut cerita Hong Ing, Nona Lauw Kim In telah ditangkap oleh Ouwyang Bouw dan telah dibawa pergi menjadi isteri orang berotak miring ini. Teringat akan ini selain tidak kuat untuk melawan, Kun Liong membiarkan dirinya diringkus dan ditawan karena dia pun ingin sekali mengetahui bagaimana dengan nasib suci dari Hong Ing, di samping ingin memulihkan tenaganya lebih dulu sebelum melawan.

“Beri dia makan dan minum, jangan sampai dia mati kelaparan dan kehausan. Kita perlu mengorek semua rahasia musuh dari mulutnya!” kata pula Ouwyang Bouw dan diam-diam Kun Liong merasa berterima kasih dengan perintah ini. Dapat dibayangkan betapa segar rasanya air dari guci air yang diberikan kepadanya, betapa nikmat roti kering dan daging yang dimakannya. Diam-diam di dalam hatinya dia berjanji sendiri bahwa untuk makan dan minum saja dia sudah berhutang nyawa kepada Ouwyang Bouw. Biarpun dahulu Ouwyang Bouw menggunakan jarum merah beracun menyerangnya dan membuat kepalanya gundul, namun sekali ini Ouwyang Bouw dianggapnya telah menyelamatkannya maka dia pun berjanji takkan mengganggu keselamatan putera Raja Ular itu.

Kun Liong dibawa oleh rombongan itu sebagai seorang tawanan dan melihat dia tidak melakukan perlawanan dan sama sekali tidak membayangkan sebagai seorang yang pandai ilmu silat, biarpun dia dianggap sebagai seorang mata-mata musuh namun dia tidak diperlakukan kasar, hanya disuruh berjalan kaki mengikuti rombongan itu, tanpa dibelenggu kedua tangannya, hanya rantai yang dihubungkan dengan belenggu sebelah kakinya dipegang oleh seorang anggauta pasukan.

Kiranya markas Pasukan Tombak Maut itu berada di gunung yang dari jauh tampak kehijauan tadi. Perjalanan menuju ke pegunungan itu masih memakan waktu sehari semalam sehingga diam-diam Kun Liong bergiclik. Kalau dia tidak bertemu dengan gerombolan ini, menjadi tawanan dan diberi makan, agaknya belum tentu dia akan dapat tiba di pegunungan ini dalam keadaan masih bernyawa. Barulah dia mengalami sendiri betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir tandus tanpa bekal secukupnya.

Ketika rombongan itu tiba di puncak gunung, Kun Liong melihat dengan kaget bahwa puncak itu merupakan sebuah perkampungan gerombolan yang besar dan kuat. Bangunan-bangunan yang kokoh kuat dilingkari tembok benteng dan dijaga seperti sebuah benteng tentara saja. Dia dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan dan didorong masuk ke dalam sebuah kamar itu, pintu ditutup rapat dan tempat itu dijaga kuat.

Pada keesokan harinya, barulah dia diambil oleh empat orang penjaga dan dia diiringkan memasuki sebuah ruangan besar di mana tampak duduk Marcus, Ouwyang Bouw, beberapa orang Mongol berpakaian perwira dan di tengah-tengah mereka, di atas sebuah kursi tinggi berukir indah, duduk seorang wanita cantik yang berpakaian indah seperti seorang ratu. Melihat wanita ini, Kun Liong terkejut karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Lauw Kim In! Wanita cantik ini, dengan sikapnya yang agung, kecantikannya yang dingin, memandang dan dari sinar matanya yang bercahaya itu Kun Liong dapat menduga bahwa suci dari Hong Ing itu agaknya mengenalnya.

Bagaimanakah Lauw Kim In dapat berada di situ dan agaknya menjadi tokoh tertinggi, menjadi pucuk pimpinan di antara gerombolan orang Mongol itu? Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan sumoinya, Pek Hong Ing, bertemu dengan Ouwyang Bouw di tengah hutan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Ouwyang Bouw berhasil merobohkan dua orang kakak beradik seperguruan itu. Ouwyang Bpuw jatuh cinta kepada Kim In, maka dia mengancam untuk membunuh Hong Ing dan akhirnya secara tidak terduga-duga oleh Hong Ing sendiri, sucinya itu menyerah dan menerima menjadi isteri Ouwyang Bouw! Hong Ing dibebaskan oleh Ouwyang Bouw yang kegirangan dan sambil tertawa-tawa, Ouwyang Bouw berlari cepat memondong tubuh Lauw Kim In meninggalkan Pek Hong Ing.

Kim In memejamkan matanya dan menguatkan hatinya, menerima semua perlakuan Ouwyang Bouw kepadanya, bahkan dia tidak membantah atau melawan sedikit pun ketika Ouwyang Bouw mencumbunya, menciuminya dan menjadikan dia sebagai isterinya pada malam hari itu juga, di dalam hutan, di sebuah kuil tua. Kim In sengaja mengorbankan kehormatannya, bukan semata-mata untuk menolong dan menyelamatkan sumoinya, bukan pula semata-mata untuk menyelamatkan nyawanya sendiri melainkan karena dia melihat keuntungan jika dia menjadi isteri pemuda tampan akan tetapi setengah gila ini. Dia melihat betapa Ouwyang Bouw memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dia ingin mempelajari ilmu dari pemuda yang menjadi suaminya ini, suami yang diterimanya bukan karena cinta. Sama sekali bukan. Bahkan dia merasa muak dan jijik setiap kali Ouwyang Bouw mendekatinya dan menidurinya, namun semua itu dipertahankannya dengan tabah dan dengan mematikan segala perasaannya.

Bagi Ouwyang Bouw sendiri, kerelaan hati Kim In menerimanya sebagai seorang suami tanpa pernikahan resmi, membuat dia makin tergila-gila dan pemuda sinting ini benar-benar jatuh cinta kepada Lauw Kim In. Setelah menderita siksaan batin pada masa “pengantin baru” tanpa menjadi pengantin ini, Kim In mulai mempergunakan pengaruh kekuasaan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw. Dia minta diajari ilmu-ilmu tertinggi dari suaminya itu dan Ouwyang Bouw dengan suka hati mengajarinya bahkan dapat dikatakan dia terpaksa menuruti permintaan isterinya, karena Kim In selalu mengancam tidak mau melayaninya kalau tidak mau menurunkan ilmunya yang paling tinggi! Kim Ing mulai mempergunakan tubuhnya yang membuat Ouwyang Bouw tergila-gila itu sebagai alat untuk memeras! Semua ini dilakukan hanya dengan satu niat, yaitu membalas dendam kepada musuh yang dibencinya, yang dianggapnya mendatangkan segala malapetaka yang dideritanya sampai sekarang. Musuh itu adalah Thian-ong Lo-mo! Dahulu, Lauw Kim In telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tampan dan yang diam-diam telah menjatuhkan hati Lauw Kim In. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hati dara ini ketika mendengar berita bahwa tunangannya itu tewas dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo karena tertangkap basah sedang bercinta dengan selir muda yang cantik dari Thian-ong Lo-mo! Peritiwa itu mendatangkan dua akibat dalam hati Lauw Kim In. Pertama, dia menjadi seorang dara yang berwatak dingin dan bahkan selalu kelihatan membenci kaum pria yang dianggapnya semua hidung belang dan tidak setia seperti tunangannya itu. Ke dua, dia menaruh dendam yang amat mendalam kepada Thian-ong Lo-mo yang telah membunuh tunangannya. Anggapannya bahwa kalau tidak ada Thian-ong Lo-mo, tentu tidak ada selirnya yang cantik, tunangannya tidak berjina dan tidak akan terbunuh mati. Akan tetapi, ketika itu, untuk dapat membalas dendam adalah hal yang mustahil karena tingkat kepandaian kakek itu adalah setingkat kepandaian subonya sendiri, mana mungkin dia dapat menang menghadapi kakek itu?

Itulah yang menyebabkan Kim In tidak peduli lagi bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada seorang pria seperti Ouwyang Bouw yang sama sekali tidak dicintanya. Baginya, semua pria sama saja! Dan dia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari “suaminya” itu dengan tekun sampai dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya telah maju pesat sekali. Terutama dia mempelajari pukulan-pukulan beracun dari suaminya yang ahli dalam hal ini.

Setahun kemudian, dengan memaksa suaminya yang makin tunduk dan makin takut kepadanya karena makin tergila-gila, Lauw Kim In dapat membujuk Ouwyang Bouw untuk pergi ke kaki Pegunungan Go-bi-san mencari Thian-ong Lo-mo! Pada waktu itu, Thian-ong Lo-mo telah melarikan diri karena gagal membantu Kwi-eng Niocu. Dia berhasil lolos dari maut ketika pasukan pemerintah menyerbu Kwi-eng-pang dan karena merasa putus harapan, dia lalu melarikan diri kembali ke tempat pertapaannya semula, yaitu di kaki Pegunungan Go-bi-san.

Kagetlah hati Thian-ong Lo-mo ketika pagi hari itu, di depan guhanya muncul dua orang muda, seorang pria dan seorang wanita. Tempat itu biasanya sunyi sekali dan dia tidak mengharapkan kedatangan siapapun juga. Apalagi dia sama sekali tidak mengenal pria dan wanita muda itu. Barulah dia memandang penuh perhatian ketika wanita itu membentak. “Thian-ong Lo-mo, aku datang untuk mencabut nyawamu!”

Thian-ong Lo-mo menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang keluar dari guha, berdiri menghadapi dua orang itu dan dia memandang penuh perhatian kepada Lauw Kim In. Akhirnya dia ingat akan dara ini dan dia menegur, “Eh, bukankah engkau ini seorang di antara dua orang murid Go-bi Sin-kow?”

“Benar, aku Lauw Kim In, dan aku datang untuk mencabut nyawamu, membalas kematian tunanganku!”

Thian-ong Lo-mo mengangguk-angguk maklum. Teringatlah dia akan tunangan dara yang telah berani bermain gila dengan selirnya sehingga terpaksa dibunuhnya. Tertawalah dia. “Ha-ha-ha, sungguh lucu, murid Go-bi Sin-kouw berani mengancam hendak membunuh aku! Eh, bocah. Kau lumayan juga, selain manis juga pemberani. Akan tetapi, melihat engkau telah memperoleh seorang tunangan baru, mengapa masih meributkan soal kematian tunanganmu yang lama? Apakah tunanganmu yang sekarang ini kurang mampu? Kalau begitu, lebih baik kau berganti pacar lagi, dan bagaimana kalau dengan aku? Ha-ha, biarpun aku sudah tua, kiranya tidak akan kalah kemampuanku dibandingkan dengan pacarmu yang pucat ini, ha-ha!”

“Thian-ong Lo-mo, kematian sudah di depan mata, engkau masih mengeluarkan kata-kata sombong. Makanlah ini!” Ouwyang Bouw berkata tenang akan tetapi tahu-tahu dari kedua tangannya menyambar sinar-sinar merah. Itulah jarum-jarum merah beracun yang digerakkan dengan sentilan jari-jari tangannya secara lihai sekali.

“Heiii...!” Thian-ong Lo-mo terkejut sekali ketika dia mengelak, tercium olehnya bau harum memuakkan, dan jarum itu sedemikian cepat luncurannya sehingga biarpun dia sudah cepat mengelak, ada sebatang yang hampir mengenai lehernya. Dia memandang dengan mata terbelalak kaget lalu bertanya, “Engkau siapa...?”

Ouwyang Bouw tidak menjawab segera, melainkan mencabut pedangnya perlahan-lahan, pedangnya yang berbentuk seekor ular. Kemudian dia berkata, suaranya seperti orang tidak acuh, namun nadanya penuh ancaman. “Dia adalah isteriku, engkau tua bangka berani menghina isteriku, karenanya harus mampus!”

Thian-ong Lo-mo kini mulai memandang orang muda yang tadinya dipandang rendah itu dengan penuh perhatian. Sikap orang muda itu membuat dia marah, akan tetapi serangan jarum itu tadi mengejutkannya dan ketika dia melihat pedang berbentuk ular di tangan Ouwyang Bouw, dia mengerutkan alisnya.

“Apa hubunganmu dengan Ban-tok Coa-ong?” tanyanya karena dia mengenal pedang ular itu.

“Kau menyebut-nyebut nama julukan ayahku mau apa?”

Thian-ong Lo-mo terkejut bukan main. Kiranya gadis murid Go-bi Sian-kouw yang mendendam kepadanya karena tunangannya dahulu dibunuhnya itu telah menjadi isteri putera Ban-tok Coa-ong! Dia merasa gentar juga karena dia sudah mendengar betapa lihainya putera Raja Ular itu, tidak berbeda dengan ayahnya!

“Ah, kalau begitu kita adalah orang sendiri!” serunya. “Orang muda, kalau engkau putera Ouwyang Kok, tentu engkau yang bernama Ouwyang Bouw dan ketahuilah bahwa antara ayahmu dan aku terdapat tali persahabatan yang erat.”

“Hemm, tidak seerat tali hubungan antara aku dan isteriku!” bantah Ouwyang Bouw.

“Kau keliru! Antara ayahmu dan aku terdapat hubungan seperjuangan! Ayahmu tewas di tangan Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo, dan aku pun musuh dari pemerintah lalim yang sekarang berkuasa. Kita malah harus bersatu untuk merobohkan pemerintah ini, untuk membalas dendam kematian ayahmu. Jangan kau sampai terseret oleh urusan pribadi isterimu. Sebetulnya antara dia dan aku pun tidak terdapat permusuhan apa-apa. Tunangannya dahulu kubunuh karena tunangannya itu telah berani berjina dengan selirku, mereka tertangkap basah, maka kubunuh.”

Mendengar omongan ini, Ouwyang Bouw kelihatan ragu-ragu. Memang dia menaruh dendam kepada Cia Keng Hong dan Panglima The Hoo atas kematian ayahnya.

“Ouwyang Bouw, kau masih diam seperti patung? Hayo bantu aku merobohkan tua bangka ini, akan tetapi awas, jangan sampai dia terbunuh di tanganmu. Aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Lauw Kim In berkata dengan suara dingin dan pandang mata marah kepada suaminya. Mendengar ini, lenyaplah semua keraguan dari wajah Ouwyang Bouw. Pedang ularnya berkelebat dan dia sudah menyerang Thian-ong Lo-mo dengan tusukan maut.

“Tranggg...!” Kakek tinggi besar brewok ini sudah menggunakan sabuk rantai gergaii untuk menangkis. “Ouwyang Bouw jangan bodoh kau! Ingat, banyak orang gagah roboh hanya karena bujukan mulut wanita!”

“Tua bangka keparat!” Lauw Kim In memekik nyaring dan pedangnya berubah menjadi sinar putih ketika meluncur ke arah leher Thian-ong Lo-mo dengan kecepatan kilat. Kakek itu cepat meloncat dan mengelak, diam-diam terkejut karena mendapat kenyataan bahwa gerakan wanita itu hebat sekali. Mengertilah dia bahwa wanita itu tentu telah memperdalam ilmunya setelah menjadi isteri Ouwyang Bouw. Dia adalah seorang tokoh dunia kaum sesat yang terkenal, memiliki banyak pengalaman dan tentu saja dia menjadi marah melihat dua orang muda itu mendesaknya.

“Bagus! Jangan kira Thian-ong Lo-mo takut kepada kalian!” Dia lalu memutar senjatanya sabuk rantai gergaji yang mengeluarkan bunyi berkerincingan nyaring itu, membalas serangan lawan dan terjadilah pertandingan yang seru, hebat dan mati-matian.

“Cringgg... wuuuttt! Wuuutttt!!” Senjata rantai gergaji itu menyambar dahsyat ke arah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In dengan suara berdencingan nyaring, namun kedua orang muda itu dapat mengelak dengan baik, bahkan meloncat ke kanan kiri dan dari dua jurusan ini pedang mereka menusuk ke lambung kiri dan leher kanan! Diserang dari dua jurusan ini, Thian-ong Lo-mo meloncat ke belakang, memutar senjatanya ke kanan kiri dengan cepat untuk menangkis.

“Cringg! Tranggg...!”

Namun, pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang tertangkis itu sudah meluncur seperti ular hidup, membalik dan menusuk ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan Lauw Kim In dengan gerakan yang sama, sudah membacokkan pedangnya ke arah mata kaki kiri kakek brewok itu.

“Cring?cringgg...! Wuuut?wuuuttt!!”

Hanya dengan kecepatan luar biasa dan dengan susah payah saja kakek itu berhasil menangkis serangan dua batang pedang dari kanan kiri itu dan memutar senjatanya, namun juga dapat dielakkan oleh dua orang pengeroyoknya yang memiliki keringanan tubuh mengagumkan sekali. Kini terjadilah serang-menyerang dengan gencar, kedua pihak mengeluarkan jurus-jurus maut dan berkali-kali terdengar berdencingan senjata yang bertemu dengan kerasnya, bersiutnya senjata menyambar yang membelah udara karena dapat dialakkan oleh sasarannya.

Thian-ong Lo-mo yang maklum bahwa dua orang lawannya itu, biarpun masih muda namun memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, telah mengeluarkan semua tenaga dan kepandaiannya. Berkat pengalamannya yang banyak selama puluhan tahun malang melintang di dunia kang-ouw, dia masih dapat mempertahankan diri, sungguhpun usia tuanya mulai memperlihatkan kelemahan daya tahannya dan napasnya yang mulai memburu.

“Hyaaahhh!” Tiba-tiba kakek itu memekik nyaring, pekik yang dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang sehingga mengandung tenaga mujijat yang menggetarkan lawan, sementara rantai gergaji di tangannya menyambar-nyambar ganas sekali.

“Sing-sing... wuuuttt... brettt!”

“Aihhh...!”

Saking dahsyatnya serangan Thian-ong Lo-mo tadi, biarpun Lauw Kim In sudah menangkis dan mengelak seperti yang dilakukan suaminya, tetap saja baju di punggungnya tercium rantai dan terobek lebar.

“Ha-ha-ha-ha!” Thian-ong Lo-mo tertawa, sengaja mengeluarkan suara ketawa untuk mengejek lawan, sungguhpun dia merasa kecewa bahwa senjatanya hanya berhasil merobek baju, tidak melukai tubuh lawan.

Di lain pihak, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In marah bukan main. Sambil berteriak keras mereka maju mendesak, mengirim serangan-serangan bertubi-tubi dan mengerahkan tenaga sin-kang mereka. Thian-ong Lo-mo terpaksa memutar senjatanya melindungi tubuhnya.

“Cring-cring-cringggg...!”

Thian-ong Lo-mo dan Lauw Kim In berteriak keras dan meloncat ke belakang. Senjata rantai gergaji itu patah, juga pedang Kim In patah. Hanya pedang ular di tangan Ouwyang Bouw yang masih utuh. Melihat senjatanya sudah patah dan rusak, Thian-ong Lo-mo membuang senjatanya. Juga Lauw Kim In membuang pedang yang tinggal sepotong.

“Ha-ha-ha, bersiaplah kau untuk mampus, tua bangka Thian-ong Lo-mo!” Ouwyang Bouw tertawa bergelak sambil menyimpan pedang ularnya.


Menyaksikan kesombongan Ouwyang Bouw yang tidak mau menghadapi dia yang sudah bertangan kosong itu dengan pedangnya, diam-diam Thian-ong Lo-mo girang hatinya. Pemuda sombong, pikimya, kesombonganmu ini akan kautebus dengan nyawamu!

Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menggereng dan maju menyerang dua orang pengeroyoknya dengan kedua tangannya. Hebat bukan main penyerangan Thian-ong Lo-mo. Mula-mula dia menggerak-gerakkan kedua tangannya saling bersilang dengan jari-jari tangan terbuka. Jari-jari tangan itu tergetar, menggigil terisi penuh dengan tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga dalam keadaan seperti itu, bahkan kuku-kuku jari tangannya berubah menjadi sekuat cakar baja! Kemudian dia menyerbu ke depan, tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Ouwyang Bouw sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah dada Kim In. Serangan maut yang digerakkannya ini. Namun kedua orang lawannya sudah siap. Mereka berdua maklum bahwa dalam hal kekualan sin-kang mungkin mereka masih kalah setingkat melawan kakek yang lihai itu. Akan tetapi keduanya memiliki andalan dan andalan ini pula yang membuat Ouwyang Bouw berani memandang rendah sehingga dia menyimpan pedangnya tadi. Mereka berdua mengandalkan tok-ciang (tangan beracun) mereka!

Lauw Kim In yang baru kurang lebih setahun bersama-sama dengan suaminya, telah memiliki sepasang tangan beracun yang amal lihai. Hal ini hanya dapat terjadi karena bujukannya terhadap Ouwyang Bouw yang sebetulnya merahasiakan ilmu keturunan ini. Namun karena dia sudah tergila-gila kepada Kim In, dia memenuhi permintaan isterinya tercinta itu dan setiap hari dia merendam kedua tangan dan lengan istrinya sampai ke batas siku dengan cairan ramuan obat yang mengandung racun ular Cobra! Di samping ini dia melatih istrinya dengan pukulan-pukulan dari tok-ciang itu. Baru berlatih setahun saja, dengan sekali pukul, tangan kiri atau kanan wanita muda ini dapat membuat lawan roboh dan tewas dengan tubuh bengkak-bengkak seperti tergigit ular Cobra! Dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan Ouwyang Bouw yang sudah dilatih belasan tahun itu!

“Dukk! Dukkk!”

Kedua lengan kakek Thian-ong Lomo tertangkis oleh lengan kedua orang lawannya. Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu berani menangkisnya, diam-diam dia menjadi girang dan dia telah mengerahkan sin-kangnya. Benturan lengan mereka membuat Ouwyang Bouw dan Kim In terhuyung ke belakang dan terdengarlah suara ketawa Thian-ong Lo-mo yang merasa girang karena benturan lengan tadi membuktikan bahwa sin-kangnya masih lebih kuat daripada kedua orang lawannya.
“Ha-ha-ha... ehhh...?” Suara ketawanya terhenti dan terganti teriakan kaget. Dia memandang kedua buah lengannya dan matanya terbelalak. Ketika dia menyingsingkan lengan baju, dia melihat lengannya merah dan terasa gatal-gatal.

lanjut ke Jilid 081-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar