Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 78

Petualang Asmara Jilid 078

<--kembali

“Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai...?” Tentu saja dia terkejut bukan main. Biarpun dia sendiri belum pemah bertemu dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong namun nama besar pendekar itu telah didengarnya lama sekali. Dengan sinar mata penuh selidik dia memandang kepada Giok Keng dan kini tentu saja dengan pandang mata lain setelah dia mendengar bahwa dara yang cantik jelita dan bersikap gagah perkasa ini adalah puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai.

Giok Keng mengangkat mukanya memandang kakek itu. “Benar, Ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, akan tetapi karena dia tidak menyetujui perjodohan kami, maka kami datang ke sini mohon pertolongan Pek-lian-kauw.”

“Tapi... tentu ayahmu akan marah kepada Pek-lian-kauw dan menuduhnya lancang...”

“Saya yang akan bertanggung jawab kalau orang tua saya marah. Mereka telah mencuci tangan tentang perjodohan saya, dan saya sendiri yang bertanggung jawab mengenai urusan jodoh saya, Locianpwe,” jawab Giok Keng dengan suara mengandung rasa penasaran mengingat akan sikap ayahnya terhadap perjodohannya dengan pemuda yang dipilihnya sendiri.

Kakek itu mengangguk-angguk. “Bukan karena kami takut kepada Cin-ling-pai, hanya... ah, biarlah kami bicarakan urusan ini lebih dulu. Urusan ini bukanlah urusan remeh, maka kami persilakan kepada Nona Cia untuk beristirahat, dan kami akan mengadakan perundingan dulu dengan Liong-Sicu.”

Ketua itu lalu memanggil pelayan wanita, memerintahkan para pelayan untuk mengantar Giok Keng ke dalam sebuah kamar tamu yang cukup mewah dan bersih. Dara ini tidak berani membantah, maka setelah bertukar pandang dengan Bu Kong, dia mengikuti para pelayan menuju ke sebuah kamar tamu yang berada di sebelah belakang bangunan besar itu.

Giok Keng memperoleh pelayanan istimewa, disuguhi hidangan makan siang yang longkap dan lezat bahkan ada dua orang pendeta wanita Pek-lian-kauw yang menemaninya dan temyata mereka itu selain muda dan cantik, juga mempunyai pengetahuan luas mengenal ilmu silat dan ilmu sastra. Makin kagumlah hati Giok Keng terhadap Pek-lian-kauw yang sebelumnya dianggap sebagai perkumpulan para pemberontak liar.

Akan tetapi, hatinya mulai khawatir ketika malam tiba dan belum juga ada kabar tentang kekasihnya yang tadi ditinggalkannya karena hendak berunding dengan pimpinan Pek-lian-kauw mengenai permintaan mereka untuk menikah di perkumpulan itu.

“Di manakah adanya Liong-koko? Aku ingin bicara dengan dia dan mendengar keputusan perundingannya dengan pimpinan Pek-lian-kauw.” tanyanya kepada dua orang pendeta wanita yang baru datang menggantikan yang dua pertama.

Seorang di antara mereka tersenyum manis. “Harap Kownio tenangkah hati, Liong-sicu sedang beristirahat di kamar sebelah dan dia berpesan agar Kouwnio suka beristirahat malam ini melepaskan lelah dalam perjalanan.”

“Hi-hik, baru berpisah sehari saja masa sudah rindu?” kata pendeta wanita ke dua.

Merah sekali muka Giok Keng mendengar ini dan dia makin curiga. Sikap dan kata-kata para pelayan muda dan pendeta wanita di tempat ini benar-benar mencurigakan, begitu genit!

“Harap suka panggil dia ke sini atau antarkan aku ke kamarnya, aku mau bicara sedikit dengan dia!” katanya pula tidak mempedulikan dua orang pendeta wanita yang tersenyum-senyum penuh arti itu.

“Aih, Kouwnio. Apa tidak kasihan kepadanya? Dia baru beristirahat dan bersenang-senang... dia... tidak memilih kami dan menyuruh kami menemani Nona di sini...”

Makin curiga dan tidak enak hati Giok Keng mendengar ini. Namun karena dia mengharapkan pertolongan dari pihak Pek-lian-kauw untuk pernikahannya dengan Bu Kong, maka dia menahan sabar. Bahkan dia lalu memijat pelipis kepalanya dengan alis berkerut dan berkata, “Harap Ji-wi (Kalian) suka meninggalkan saya karena saya merasa pening dan hendak tidur...”

“Perlukah kami pijiti badan dan kepalamu, Kouwnio?” seorang pendeta wanita bertanya dengan manis.

“Tidak usah, harap Ji-wi jangan repot-repot dan harap suka meninggalkan saya sendiri...”

Dua orang pendeta wanita itu lalu bertepuk tangan memanggil pelayan, membersihkan meja bekas perjamuan, kemudian sambil tersenyum-senyum mereka meninggalkan kamar Giok Keng dan menutupkan daun pintu kamar itu.

“Selamat tidur, Kouwnio!”

“Selamat bermimpi, calon pengantin!”

“Jangan khawatir, pengantin pria akan tetap utuh...”

“Kecuali agak lemas tentunya, hi-hik!”

Giok Keng meloncat ke pintu dan memasang palang pintu, mukanya merah dan alisnya berkerut. Sikap dua orang wanita itu sungguh mencurigakan. Apa yang terjadi dengan kekasihnya? Jangan-jangan Pek-lian-kauw berlaku curang dan mencelakai Bu Kong. Dia harus menyelidiki! Siapa tahu kalau-kalau dia dan Bu Kong terjebak ke dalam perangkap musuh. Akan tetapi dia harus berlaku hati-hati. Di tempat ini merupakan sarang orang-orang pandai. Baru para pendeta wanita genit yang menemaninya tadi saja jelas memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi ketuanya. Bergidik dia kalau mengingat kelihaian kakek itu, yang dalam pertemuan pertama siang tadi sudah mendemonstrasikan kepandaiannya, ilmu sihir yang mengerikan, yang membuat kakek itu pandai “menghilang”.

Giok Keng mengatur bantal guling di atas pembaringan, diseilmutinya sehingga kelihatan seperti orang tidur, memadamkan lampu kamar, kemudian dengan gerakan ringan dan hati-hati sekali dia menyelinap keluar dari jendela kamar meloncat dengan gerakan seperti seekor burung.

Malam sudah larut, karena memang dia menanti sampai sepi sebelum keluar dari kamarnya itu. Tidak tampak seorang pun manusia dan lorong-lorong di perkampungan Pek-lian-kauw itu cukup gelap sehingga dia dapat menyelinap di dalam bayang-bayang yang gelap sambil memandang ke kanan kiri dengan waspada. Mula-mula dia hendak mencari kamar di mana Bu Kong bermalam karena dia harus bicara dengan kekasihnya itu, memperingatkan Bu Kong agar berhati-hati karena dia menaruh curiga kepada Pek-lian-kauw dengan pendeta-pendeta wanitanya yang genit.

Setelah mengintai di beberapa kamar dalam rumah-rumah yang berjajar di sekitar ruangan tamu, akhirnya dia mendengar suara yang keluar dari sebuah kamar yang lampunya masih bernyala.

Mula-mula dia mendengar suara wanita, dan karena dia menganggap bahwa kamar itu tentulah kamar pendeta-pendeta wanita yang lihai, dia ingin melewatinya saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar suara laki-laki yang dikenalnya seperti suara Bu Kong, dia terkejut dan cepat mendekati jendela kamar, merunduk dan mendengarkan.

“Sudah cukup... ahhh, sudah terlalu banyak aku minum... Ji-wi terlalu baik dan manis... ha-ha...!” terdengar suara Bu Kong, suara orang yang sudah mulai mabok!

“Hayaaa... seorang gagah seperti Sicu, masa mudah saja mabok? Sudah terlalu lama kami tidak berjumpa dengan seorang laki-laki jantan dan ganteng seperti Sicu... marilah Sicu, kupilihkan daging yang paling empuk...” terdengar suara merdu merayu seorang wanita.

“Dan minumlah secawan lagi, Sicu. Lihat, biar aku minum setengahnya... aihhh, Sicu sungguh tampan sehingga gemas hatiku dibuatnya. Ingin aku menjadi cawan...”

“Ha-ha, sungguh aneh kau ini! Mengapa ingin menjadi cawan?” terdengar Bu Kong bertanya kepada wanita ke dua yang suaranya terdengar lebih halus dari pada wanita pertama.

“Hi-hik, kalau aku menjadi cawan, tentu akan berkenalan dengan bibir sicu...”

“Hih, Kul Lan, kalau memang kepingin dicium, bilang saja...!” kata wanita pertama sambil terkekeh genit.

“Ha-ha-ha, mengapa kalian berdua begini menantang? Ingat, aku sedang kelaparan, sudah berbulan tidak pernah berdekatan dengan wanita. Kalau kalian menggoda terus, bisa kumakan habis kalianp ha-ha-ha!”

“Aihh, calon pengantin pria bicara bohong! Selama ini mengadakan perjalanan berduaan saja dengan calon pengantin wanita, asyik masyuk, tentu sampai kekenyangan. Masa sekarang bilang kelaparan?”

“Sungguh mati! Biarpun dia calon isteriku, namun sialan sekali! Dia tidak mau disentuh sebelum kami menikah.”

“Aihhh, benarkah itu?”

“Aku mau bersumpah, masa aku suka berbohong kepada dua orang nona manis seperti kalian?”

“Hi-hik, kalau begitu, kau benar-benar lapar sekali...”

“Lapar seperti harimau kelaparan!”

“Hi-hik benarkah itu?”

“Tentu saja aku mampu menerkam kalian berdua sekaligus.”

“Aihhh, coba saja, Sicu! Kaukira kami berdua orang-orang lemah? Coba kaulawan kami, hendak kami lihat apakah benar-benar calon pengantin prianya sudah siap dan kuat, hik-hik!”

Wajah Giok Keng menjadi merah sekali, matanya bersinar-sinar mengeluarkan cahaya berapi. Hampir dia tidak dapat mempercayai pendengaran telinganya sendiri. Benarkah itu suara Bu Kong? Benarkah Bu Kong yang bicara seperti itu? Dia merasa penasaran karena dia tidak percaya bahwa pria yang dicintanya, tunangannya, calon suaminya, dapat bicara seperti itu bersama dua orang wanita. Maka dia lalu membuat lubang di jendela dengan jari yang dibasahi dengan lidahnya, lalu mengintai ke dalam. Hampir saja dia menjerit ketika menyaksikan apa yang tampak di dalam! Kamar itu masih terang, meja bekas makan minum yang kacau dan di atas pembaringan, Bu Kong sedang bergumul dengan dua orang pendeta wanita!

Hampir saja Giok Keng menghantam jendela dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi sebagai puteri seorang pendekar besar, dia menekan perasaannya. Kalau dia membuat ribut, berarti dia akan mencoret hitam mukanya sendiri! Semua orang di Pek-lian-kauw tentu akan tahu kalau dia membuat ribut di saat itu, dan dia akan menjadi buah tertawaan. Hatinya sakit sekali, wajahnya yang tadi merah seperti dibakar, kini menjadi pucat. Air mata bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Kiranya orang yang dicintanya adalah seorang laki-laki macam itu! Membicarakan dia di depan dua orang wanita yang tiada bedanya dengan pelacur-pelacur!

Dengan perasaan muak dan jijik, Giok Keng meninggalkan tempat itu, akan tetapi karena kepalanya terasa pusing, pandang matanya berkunang setelah menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar itu dia salah jalan dan tanpa disengaja dia tiba di ruangan tamu di mana siang tadi dia dan Bu Kong berjumpa dengan Thian Hwa Cinjin. Dan di ruangan tamu itu tampak lampu masih bernyala dan bahkan ada suara orang-orang bercakap-cakap di situ. Timbul keinginan tahu hati Giok Keng yang sudah kacau dan perih tersayat kekecewaan dan cemburu itu, dan dengan hati-hati dia menyelinap mendekati ruangan tamu dan melihat bahwa yang berada di situ adalah Thian Hwa Cinjin sendiri bersama beberapa orang tosu Pek-lian-kauw, dia lalu menyelinap mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika mendengarkan percakapan itu, wajah Giok Keng berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah dan kedua tangannya dikepal. Hampir dia menjerit dan memaki-maki saking marahnya.

“Akan tetapi, Kauwcu, kami percaya bahwa putera Kwi-eng-pang itu tentu saja mau membantu kita. Hanya anak Cia Keng Hong itu, mana mungkin dia mau membantu kita? Jangan-jangan kelak dia hanya akan menimbulkan bencana!” kata seorang tosu.

“Jangan-jangan dia malah mata-mata pemerintah untuk menyelidiki kita!” kata yang ke dua.

“Mungkin Liong Bu Kong itu sudah menjadi kaki tangan mereka pula! Kita harus ingat bahwa Cia Keng Hong selalu membantu The Hoo dan beberapa kali sudah menghancurkan usaha perjuangan kita. Persekutuan kita dengan orang-orang Portugal pun dihancurkan dengan bantuan Cia Keng Hong! Kita harus waspada...”

“Memang, kita harus waspada,” kata Ketua Pek-lian-kauw. “Dan justeru karena kewaspadaan inilah maka kedatangan Bu Kong amat baik bagi kita. Pemuda itu sudah berjanji bahwa kalau puteri Ketua Cin-ling-pai itu sudah menjadi isterinya tentu akan menurut segala kehendaknya. Dan baiknya, setelah puterinya berada di sini dan kita yang menikahkan, berarti bahwa Pek-lian-kauw berbesan dengan Cin-ling-pai. Kita akan mengumumkan hal ini! Kenyataannya tidak ada yang bisa membantah bahwa puteri Cin-ling-pai itu menjadi pengantin di sini, dan Pek-lian-kauw yang mengurusnya. Setelah kenyataan ini, mau tidak mau Cin-ling-pai tentu akan berbaik dengan kita dan akan mudah kita tarik sebagai sekutu karena pemerintah sendiri tentu akan mencurigai Cin-ling-pai.”

“Hemm, kalau begitu bagus juga siasat ini, Kauwcu. Mudah-mudahan saja berhasil baik. Betapapun juga, pinto merasa khawatir harus berurusan dengan Ketua Cin-ling-pai yang lihai itu.”

“Ha-ha-ha, takut apa? Tentu dia tidak akan mau mencelakakan puterinya sendiri. Untung puterinya itu tergila-gila kepada Liong Bu Kong. Andaikata Ketua Cin-ling-pai berkeras kepala dan mengorbankan puterinya, tak usah khawatir, pinto sanggup menghadapinya. Kalau pinto masih kalah kuat dalam ilmu silat, dengan hoat-sut (ilmu sihir) pinto tentu akan dapat menguasainya.”

“Bagaimana kalau sesudah menikah, puteri Cin-ling-pai itu tetap tidak mau membantu kita?”

“Liong-sicu sudah setuju bahwa kalau isterinya membandel, kita diperbolehkan menawannya dan menggunakannya sebagai sandera terhadap ayahnya.”

Hampir saja Giok Keng pingsan mendengar semua itu. Kalau tadi melihat Liong Bu Kong bermain cinta, berjina dengan dua orang pendeta wanita, hatinya sudah tertusuk, kini mendengar percakapan itu dan tahu akan pengkhianatan yang dilakukan Bu Kong terhadap dirinya, dia merasa ulu hatinya tertikam dan membuatnya hampir tak dapat bernapas. Kemarahannya memuncak dan dia sudah lupa akan segala kewaspadaannya lagi. Yang ada hanyalah kemarahannya kepada Liong Bu Kong. Baru terbuka matanya sekarang orang macam apa adanya Liong Bu Kong! Baru dia tahu bahwa ternyata ayahnya benar! Dia telah salah pilih, dia telah salah menjatuhkan hatinya, menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang laki-laki keji dan jahat. Dari perbuatannya di Pek-lian-kauw terbukalah kedok Liong Bu Kong bahwa pemuda itu sesungguhnya tidak mencintanya dengan murni.

Dia lari menuju ke kamar Liong Bu Kong dan masih terdengar suara orang bercumbu di dalam kamar itu.

“Bu Kong, engkau jahanam, keparat! Keluarlah untuk menerima kematianmu!” Giok Keng membentak dengan suara parau. Dia berdiri di luar kamar, wajahnya tertimpa sinar lampu penerangan yang suram, kelihatan menyeramkan. Mukanya pucat dan penuh dengan air mata yang bercucuran, bibirnya digigit dan tangan kanannya memegang sebatang pedang terhunus, pedang Gin-hwa-kiam, sedangkan tangan kirinya memegang sarung pedang. Sepasang mata yang telah menjadi merah karena tangisnya itu memancarkan sinar maut!

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu Kong yang berada di dalam kamar ketika mendengar bentakan suara Giok Keng itu. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Dikiranya bahwa dara itu sudah nyenyak karena gembira dan lega hatinya mendapatkan persetujuan Ketua Pek-lian-kauw untuk menikah di situ! Dia sedang bermain cinta dengan dua orang pendeta wanita yang manis dan menarik maka begitu mendengar bentakan kekasihnya, dia menjadi pucat.

Cepat dia mengenakan pakaiannya, menyambar pedangnya dan meloncat keluar, tangan kirinya masih membetulkan kancing terakhir dari bajunya. Melihat Giok Keng sudah berdiri di luar dengan pedang Gin-hwa-kiam di tangan, Bu Keng cepat berkata, “Moi-moi... ada... ada apakah?”

Dia bertanya gugup, melirik ke arah kamarnya dan dengan lega dia tidak melihat dua orang pendeta wanita itu keluar.

“Huh, keparat keji, manusia berhati iblis, kau masih berpura-pura bertanya lagi?” Giok Keng hampir menjerit dan sudah menerjang maju dengan hebatnya, menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam menusuk.

“Cringgg... plakkk!” Bu Kong terhuyung ke belakang. Dia berhasil menangkis tusukan pedang yang mengenai punggungnya.

“Keng-moi, bicaralah dulu. Ada apakah...?”

“Anjing tak tahu malu!” Giok Keng memaki lagi dan menudingkan pedangnya ke arah muka pemuda itu. “Pantas saja engkau anak datuk sesat, kiranya engkau adalah searang yang cabul dan tak bermalu, engkau seorang berhati palsu! Bersiaplah untuk mampus di ujung pedangku!” Giok Keng menerlang lagi dengan hebatnya, dan pada saat itu, dua orang pendeta wanita telah meloncat ke luar dari kamar. Melihat mereka itu, hati Glok Keng seperti dibakar rasanya, dia meninggalkan Bu Kong yang sibuk menangkis, tubuhnya melayang ke arah dua orang pendeta wanita itu dan pedangnya menyambar ganas.

“Aihhh...!” Dua orang pendeta wanita Pek-lian-kauw itu adalah murid-murid Thian Hwa Cinjin dan mereka cepat mengelak. Namun, dibandingkan dengan Giok Keng, tentu saja tingkat mereka masih jauh di bawah tingkat dara perkasa itu, maka dua kali gebrakan saja mereka itu terluka hebat, seorang di leher dan seorang lagi di lambung.

“Mampuslah, perempuan jalang...!” Giok Keng membentak dan pedangnya mengirim tusukan maut.

“Trangg...! Cringgg...!” Dua kali pedang tertangkis dan terpental. Ketika Giok Keng mengangkat muka memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah tongkat hitam di tangan Thian Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw yang sudah berada di situ bersama beberapa orang tosu Pek-lian-kauw dan puluhan orang anak buah Pek-lian-kauw yang mengurung tempat itu.

“Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Memang kami ingin sekali melihat sampai di mana hebatnya kepandaian puteri Ketua Cin-ling-pai. Liong-sicu, tangkap dia hidup-hidup untuk kami!”

Liong Bu Kong menggelengkan kepalanya dan berkata duka, “Maaf Locianpwe. Terus terang saja, untuk mengalahkan dia, kepandaian saya masih terlampau rendah, apalagi untuk menangkap hidup-hidup.”

“Ha-ha-ha, engkau sayang kalau sampai membunuh calon isterimu yang tercinta ini? Ha-ha-ha, Bong Khi Tosu, kautangkap dia!” katanya kepada seorang tosu kurus yang berdiri di sebelahnya.

“Baik, Kauwcu.” Tosu ini meloncat maju menghadapi Giok Keng. Dara ini sudah dapat menekan hatinya dan dia mengerti bahwa menghadapi banyak orang pandai seperti para tokoh Pek-lian-kauw itu, dia harus waspada dan bersikap tenang. Maka dia mengusir kemarahannya terhadap Bu Kong, kini memusatkan perhatiannya kepada lawan yang sudah menghampirinya.

Tosu yang bernama Bhong Khi Tosu ini usianya hampir enam puluh tahun, tubuhnya kurus sekali seperti kucing kelaparan, punggungnya agak bongkok dan melihat begitu saja, dia seperti seorang penderita busung lapar karena tubuhnya kurus kering, perutnya buncit, mukanya pucat dan agaknya akan terguling bila tertiup angin kencang! Tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang panjangnya hanya tiga kaki, tongkat terbuat dari bambu kuning hanya sebesar ibu jari tangan.

“Heh-heh, Nona muda. Mengapa kau marah-marah melibat kekasihmu bermain cinta dengan wanita lain? Hal itu sudah biasa bagi seorang laki-laki, mengapa kau marah-marah? Sudahlah, untuk apa kau mengamuk dan melawan kami? Percuma saja, lebih baik kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf kepada Kauwcu, tentu kau dimaafkan.”

“Benar... ha-ha-ha, benar sekali ucapan Bong Khi Tosu! Perlu apa marah? Kalau kekasihmu dapat bermain cinta dengan orang lain, apakah kau juga tidak bisa? Dan pinto akan memaafkanmu kalau kau suka bersikap manis kepada pinto.”

Ucapan Ketua Pek-lian-kauw ini membuat dada Giok Keng terasa panas seperti dibakar. Tahulah dia bahwa dia telah terjebak ke dalam tempat pecomberan di mana orang-orangnya adalah manusia tidak tahu malu, cabul, dan jahat. Diam-diam dia bergidik memikirkan bagaimana dia sampai dapat tergila-gila kepada seorang manusia seperti Liong Bu Kong yang kini hanya berdiri tersenyum-senyum di situ!

“Kauwcu, sekali ini saya mohon pertolongan Kauwcu untuk dapat menangkap dan menjinakkan calon isteri saya ini. Untuk budi itu, saya akan menghadiahkan dua buah benda pusaka dari Siauw-lim-pai kepada Kauwcu!” kata Liong Bu Kong dan mendengar ini, tentu saja kemarahan Giok Keng memuncak. Memang benda-benda pusaka itu belum dikembalikan ke Siauw-lim-pai oleh Bu Kong yang pernah mengatakan bahwa setelah mereka menikah, mereka akan pergi ke Siauw-lim-pai mengembalikan benda pusaka sambil minta maaf. Kiranya pemuda itu bukan hanya membohonginya, bahkan kini hendak menghadiahkan benda pusaka itu kepada Ketua Pek-lian-kauw!

“Bu Kong manusia berhati iblis!” Dia menjerit dan tubuhnya sudah berkelebat menerjang pemuda itu.

“Trang-tranggg...!” Bu Kong menangkis satu kali lalu meloncat ke belakang dan tangkisan kedua kalinya dilakukan oleh Bong Khi Tosu.

“Heh-heh, Nona manis. Pintolah lawanmu!”

Tiba-tiba Bong Khi Tosu mengeluarkan pekik yang amat dahsyat. Pekik melengking tinggi menimbulkan getaran hebat yang langsung menyerang jantung di dalam dada Giok Keng. Dara perkasa ini terkejut sekali, dan sebagai puteri pendekar sakti tentu saja dia segera mengenal pekik ini. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli Sai-cu Ho-kang (Pekik Auman Singa) yang dikeluarkan dengan khi-kang kuat untuk menggetarkan jantung lawan dan merobohkannya. Maka cepat dia mengerahkan sin-kangnya disalurkan melindungi isi dada, kemudian dia membentak dengan suara melengking tinggi. “Pendeta palsu, majulah!”

Bong Khi Tosu terkejut sekali ketika suara dara itu mengandung khi-kang yang tak kalah kuatnya, menyerangnya seperti pisau runcing menusuk ulu hatinya. Maklum bahwa dia tidak akan dapat mengalahkan dara itu dengan Ilmu Sai-cu Ho-kang, dia lalu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka, dan tangan kanannya sudah menggerakkan tongkatnya untuk menyerang tubuh Giok Keng. Dara ini melihat betapa ujung tongkat lawan tergetar dan seperti berubah menjadi banyak, kemudian ujung tongkat itu meluncur melakukan serangan totokan ke arah tujuh jalan darah di sebelah depan tubuhnya!

“Haiittt... trang-cring-cring-tranggg...!”

Bertubi-tubi datangnya serangan totokan yang dapat melumpuhkan lawan itu, namun dengan baiknya Giok Keng dapat menangkis semua totokan tongkat itu dan bukan hanya menangkis, bahkan dara ini dapat membalas secara kontan keras dengan serangan-serangannya yang dahsyat.

Pertandingan berlangsung seru dan hebat. Pedang dan tongkat lenyap bentuknya dan yang tampak hanya gulungan sinar perak dari pedang Gin-hwa-kiam, dan sinar hitam dari tongkat di tangan tosu itu. Namun segera tampak nyata betapa gulungan sinar perak itu makin lama menjadi meluas dan membesar, sedangkan sinar hitam menjadi makin memyempit. Ini menandakan bahwa gerakan tongkat itu menjadi terbatas dan hanya dapat menangkis saja karena terdesak dan terhimpit oleh pedang di tangan Cia Giok Keng.

Memang segera ternyata bahwa Bong Khi Tosu bukanlah lawan Giok Keng. Tosu ini lihai sekali, merupakan pembantu atau murid yang pilihan dari Thian Hwa Cinjin, akan tetapi menghadapi puteri pendekar sakti Ketua Cin-ling-pai ini dia “mati kutu” dan selalu terdesak. Apalagi dia tidak berani melanggar perintah ketuanya, yaitu agar dia menangkap hidup-hidup gadis ini. Kalau dia diperbolehkan merobohkannya atau membunuh, masih mending, sungguhpun hal itu tidak dapat memastikan apakah dia akan menang. Kini, dia hanya menggunakan tongkatnya untuk merobohkan lawan tanpa membunuh, sebaliknya, pedang Gin-hwa-kiam menyambar-nyambar seperti seekor naga yang haus darah!

“Aaaahhhh!” Tiba-tiba tosu yang selalu terdesak itu mengeluarkan bentakan nyaring, suara khi-kang dari dalam perutnya yang menggetarkan semua orang yang mendengarnya, tongkatnya meluncur ke depan dengan serangan dahsyat ke arah ulu hati Giok Keng.

Dara ini melihat datangnya serangan, tidak mau menangkis melainkan mengelak dengan loncatan ringan ke kiri, membiarkan tongkat lewat untuk kemudian membalas dengan sabetan pedang dari samping. Akan tetapi tiba-tiba ujung tongkat itu membalik, terdengar suara “Wuuuttt!” dan jarum-jarum hitam menyambar dari ujung tongkat mengarah kedua kaki Giok Keng! Inilah kelihaian tongkat para tokoh Pek-lian-kauw. Kiranya tongkat di tangan Bong Khi Tosu itu yang terbuat dari bambu, berlubang di dalamnya dan kini oleh tosu itu dipergunakan sebagai sebatang sumpit yang pelurunya terdiri dari jarum-jarum hitam beracun! Hanya, mengingat akan perintah ketuanya, tosu ini menujukan jarum-jarumnya ke arah kedua kaki Giok Keng!

“Hyaaahhhh!” Giok Keng mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke atas dengan kecepatan seperti seekor burung walet, berjungkir balik beberapa kali dan tubuh itu melayang turun sambil menyerang dengan pedangnya ke arah ubun-ubun Bong Khi Tosu!

“Hayaaa...!” Bong Khi Tosu terkejut bukan main. Tak disangkanya dara itu akan dapat bergerak secepat itu. Bukan hanya menghindarkan diri dari jarum-jarumnya, bahkan loncatan itu merupakan serangan yang amat cepat dan tak terduga-duga. Dia menangkis dan mencoba untuk mengelak.

“Srattt...! Aduhhhh...!” Tubuh Bong Khi Tosu terjungkal karena biarpun dia sudah mengelak dan menangkis, tetap saja ujung pedang Gin-hwa-kiam merobek baju di punggungnya berikut kulit punggung dan sedikit daging!

“Trangggg...!” Untung bagi Bong Khi Tosu bahwa pada saat itu sebatang tongkat hitam yang panjang telah menangkis pedang Gin-hwa-kiam yang sudah meluncur untuk mengirim tusukan maut kepadanya.

Giok Keng meloncat mundur dengan kaget. Tangannya yang memegang pedang tergetar hebat oleh tangkisan itu dan ternyata bahwa yang menangkisnya adalah Thian Hwa Cinjin sendiri! Tangkisan itu saja sudah menunjukkan bahwa kakek itu memiliki sin-kang yang amat kuat. Namun tentu saja Giok Keng tidak menjadi gentar.

Dara perkasa ini sejak kecil digembelang oleh ayah bundanya sehingga dia menjadi seorang dara yang selain berkepandaian tinggi, juga berwatak berani dan gagah, tidak mengenal artinya takut.

“Thian Hwa Cinjin!” Dia membentak sambil menudingkan pedangnya ke arah muka kakek itu. “Aku Cia Giok Keng tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Pek-lian-kauw, dan aku hanya ingin membunuh si jahanam laknat Liong Bu Kong! Aku minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan antara kami! Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa aku takut kepada Pek-lian-kauw. Mundurlah, dan biarkan aku berhadapan dengan anjing busuk Liong Bu Kong!”

Thian Hwa Cirijin tertawa, suara ketawanya terdengar halus dan menggetarkan hati Giok Keng. Sambil memutar-mutar tongkatnya, kakek itu berkata, “Cia Giok Keng, engkau seorang wanita muda yang cantik, mengapa menggunakan kekerasan seperti itu? Dan engkau berhadapan dengan pinto, Ketua Pek-lian-kauw yang memiliki tingkat jauh lebih tinggi darimu, baik dipandang dari kedudukan, usia, maupun kepandaian, mengapa kau tidak menaruh hormat? Hayo kau lekas berlutut! Kuperintahkan engkau untuk berlutut, Cia Giok Keng...!”

lanjut ke Jilid 079-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar