Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 47

Petualang Asmara Jilid 047

<--kembali

“Hemm, bocah sombong. Engkau telah mengenal kami. Siapakah engkau dan engkau yang masih amat muda dan cantik ini mengapa ingin membunuh diri dengan lancang memasuki Pulau Ular tanpa ijin?” Ban-tok Coa-ong berkata, suaranya mengandung ancaman karena kakek ini telah menjadi marah sekali. Kalau ada orang luar berani memasuki pulaunya tanpa ijin, hal itu selain merupakan pelanggaran yang harus dihukum mati, juga merupakan penghinaan kepadanya karena menunjukkan bahwa Si Pelanggar itu memandang rendah kepadanya.

“Ayah, Nona ini bernama Souw Li Hwa, cantik jelita dan gagah perkasa. Ayah, sekarang aku mengambil keputusan untuk menikah. Bukankah Ayah sering mengatakan bahwa aku sudah cukup dewasa untuk menikah dan bahwa Ayah ingin sekali menimang cucu? Ayah, dia itulah calon isteriku!”

Mendengar kata-kata yang jelas membayangkan kegilaan ini, Li Hwa menjadi marah bukan main. Dia melangkah maju menudingkan telunjuk kirinya kepada Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong lalu membentak, “Ban-tok Coa-ong, aku mondengar bahwa engkau dan Toat-beng Hoat-su sudah merampas bokor emas, maka aku datang untuk minta kembali bokor emas itu. Mungkin saja Suhu akan suka mengampuni kalian kalau kalian mengembalikan pusaka itu secara baik-baik kepadaku. Kalian tahu, kalau Suhu marah dan mendengar kalian tidak mau mengembalikan benda pusaka milik Suhu itu, kemana pun kalian melarikan diri dan bersembunyi, akhirnya kalian tentu akan menerima hukuman dari Suhu.”

Mula-mula Ban-tok Coa-ong marah sekali mendengar ucapan nona itu yang dianggapnya sombong. Akan tetapi ketika mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, dia dan Toat-beng Hoat-su terkejut.

“Kau... kau murid The Hoo?” Toat-beng Hoat-su bertanya dengan alis berkerut dan hati masih ragu-ragu. The Hoo adalah seorang panglima besar yang amat terkenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian hebat. Benarkah dara jelita yang muda ini muridnya?

“Panglima Besar The Hoo adalah guruku dan aku menerima tugas dari Suhu untuk minta kembali bokor emas yang terjatuh ke tangan kalian.” Li Hwa menjawab dengan suara lantang.

Muka Ban-tok Coa-ong berubah merah. “Bagus, kaukira aku mudah menyerah begitu saja? Bocah lancang sombong, jangan kau mempergunakan nama The Hoo untuk menakut-nakuti Ban-tok Coa-ong!”

“Wuuuuttt...!” Angin keras yang dahsyat menerjang ke arah Li Hwa ketika kakek bertubuh ular itu tahu-tahu telah menyerangnya. Kedua kakinya masih tidak bergeser, akan tetapi tubuh atasnya melengkung dan kedua tangannya dengan jari terbuka mencengkeram ke arah dara itu. Panjang tubuh disambung lengan cukup untuk menjangkau dan mencapai tubuh Li Hwa.

“Ayah, jangan lukai calon isteriku!” Ouwyang Bouw berseru.

Akan tetapi, betapapun lihai serangan itu, dengan mudah saja Li Hwa mengelak dengan gerakan cekatan sekali, dan lengannya bergerak, tangannya mengebut ke samping mengenai lengan tangan kanan kakek itu.

“Plakkk!”

Biarpun Li Hwa harus meloncat ke belakang karena pertemuan tenaga itu membuat lengannya tergetar, akan tetapi juga kakek Raja Ular itu merasa betapa kulit lengannya panas, tanda bahwa dara muda itu benar-benar memiliki kepandaian hebat dan tenaga sin-kang yang kuat!

Dengan marah dan penasaran, tanpa mempedulikan seruan puteranya, Ouwyang Kok sudah hendak menerjang lagi, akan tetapi Toat-beng Hoat-su mendekatinya dan membisikkan siasatnya, “Tunggu... dia merupakan sandera yang baik dan berharga sekali... mungkin dapat ditukar dengan bokor...!”

Mendengar ini, Ban-tok Coa-ong menghentikan gerakannya hendak menyerang dan dengan wajah berseri kakek ini menghadapi Li Hwa dan berkata lantang “Nona Souw Li Hwa. Engkau dapat menghindarkan seranganku, hal ini saja sudah membuat engkau cukup berharga untuk bicara denganku. Engkau mengaku murid The Hoo, dan puteraku jatuh cinta kepadamu. Semua itu baik-baik saia, akan tetapi engkau harus diuji lebih dulu apakah benar engkau murid The Hoo dan apakah engkau cukup berharga untuk menjadi mantuku, ha-ha-ha!” Kakek Raja Ular itu menggapai kepada seorang Nepal yang tubuhnya tinggi besar seperu raksasa dan kumis jenggotnya lebat sekali hampir menutupi seluruh mukanya, sambil berkata, “Maju dan lawanlah nona ini!”

Orang Nepal itu menyeringai sehingga tampaklah giginya yang besar-besar, dan dengan sikap jumawa sekali dia melangkah ke dalam lapangan itu menghadapi Li Hwa. Sengaja dia mengerahkan tenaga pada kedua kakinya sehingga langkahnya seperti langkah gajah, membuat tanah tergetar setiap kali dia membanting kakinya!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa mendengar ucapan Ban-tok Coa-ong tadi. Ucapan itu dianggap amat menghinanya, akan tetapi karena dia pun cukup maklum bahwa dia berada di sa-rang harimau dan menghadapi banyak lawan pandai, dia tidak mau terseret oleh kemarahannya. Gurunya pernah mengatakan kepadanya bahwa dalam menghadapi lawan tangguh, yang terpenting sekali adalah sikap tenang dan sikap tenang ini akan rusak apabila membiarkan diri dikuasai pikiran yang mendatangkan kemarahan, ketakutan, atau kesombongan. Maka kini menghadapi raksasa Nepal itu, dia bersikap tenang, sedikit pun tidak merasa takut, juga tidak memandang rendah dan sama sekali bebas dari kemarahan. Dengan sikapnya yang tenang, dia dapat memandang tajam dan segera dapat melihat bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki tenaga kasar yang amat kuat dan otot-otot yang menggembung di seluruh tubuh raksasa ini telah terlatih, Namun, sekilas pandang saja Li Hwa sudah dapat menduga kelemahan lawan ini yaitu kelambanan gerak sehingga dia sudah tahu bahwa untuk mengalahkannya dia harus mengandalkan kecepatannya.

Dengan pikiran ini, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerangnya Li Hwa sudah menerjang maju dan mengirim dua kali pukulan beruntun ke arah dada dan lambung. Gerakannya cepat bukan main karena dara ini telah mempergunakan jurus Ilmu Silat Jit-goat--sin-ciang-hoat. Dua pukulan yang dilakukan kedua tangan itu pun mengandung dua macam tenaga keras dan lembut, akan tetapi keduanya amat berbahaya karena yang keras dapat meremukkan tulang, dan yang lembut dapat merusak urat syaraf!

“Plakk! Blukk!”

Li Hwa terkejut bukan main karena kedua pukulannya, baik yang mengandung tenaga Yang-kang (keras) maupun Im-kang (lembut) bertemu dengan kulit dada dan kulit lambung yang kerasnya seperti baja! Tak disangkanya sama sekali bahwa raksasa itu memiliki tubuh yang kebal dan kuat bukan main. Dan lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba kedua lengannya telah ditangkap oleh raksasa itu dan dengan tenaga yang seperti tarikan gajah, tubuh Li Hwa telah diangkat ke atas!

“Jangan bunuh dia...!” bentakan Ouwyang Bouw itu dijawab dengan suara tertawa bergelak oleh raksasa Nepal itu yang cepat melontarkan tubuh Li Hwa ke atas dan sambil bertolak pinggang dia tertawa-tawa menanti turunnya tubuh itu. Dia jelas bendak mempermainkan tubuh dara itu seperti sebuah bola yang dilempar-lemparkan ke atas!

Li Hwa sudah mempergunakan gin-kangnya, ketika tubuhnya meluncur ke atas seperti anak panah meluncur, cepat dia berjungkir balik sampai lima kali untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian melayang turun. Dari atas dia melihat betapa lawannya sudah siap menyambutnya dengan kedua lengannya yang berbulu dan kuat sekali itu, kedua lengan yang sudah dikembangkan dan diacungkan ke atas. Sudah terdengar suara lawannya tertawa bergelak. Li Hwa maklum bahwa kalau dia tidak dapat merobohkan lawan dari atas, dia akan tak berdaya sama sekali begitu tubuhnya tertangkap oleh kedua tangan yang kuat itu. Untuk mempergunakan jarum peraknya, dia tidak sudi karena hal itu berarti bahwa dia jerih menghadapi lawan dengan terbuka. Pula, dengan kehadiran dua orang datuk kaum sesat itu, menggunakan senjata rahasia pun takkan ada gunanya. Maka dia lalu menggunakan akal dan sengaja membuat tubuhnya melayang turun seperti seorang yang tidak berdaya dan ketakutan.

“Ha-ha-ha, Nona manis, marilah kita main-main!” Orang Nepal itu berkata dengan logat bicaranya yang kaku.

Ketika tubuhnya sudah meluncur dekat, tiba-tiba Li Hwa membalik, kepalanya di bawah dan kedua tangannya seperti seorang yang kebingungan hendak mencari pegangan, akan tetapi begitu kedua tangan raksasa itu menangkap pinggang dan pundaknya, Li Hwa sudah menggerakkan kedua jari telunjuknya untuk menotok ke arah pundak dan tengkuk.

“Cusss! Cusss!”

“Auggghhh...!” Tubuh raksasa itu terguling dan cengkeraman kedua tangannya terlepas. Dia telah terkena serangan Ilmu Menotok Jalan Darah It-ci-san yang amat lihai. Biarpun tubuhnya kebal, namun totokan satu jari yang amat hebat itu dengan tepat mengenai jalan darahnya sehingga untuk sesaat tubuhnya seperti lumpuh yang menyebabkan tubuhnya terguling. Kesempatan ini tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh Li Hwa. Jari tangan kirinya menjambak rambut panjang lawannya dan dengan pengerahan tenaganya, ditariknya tubuh itu ke atas dan kemudian tangan kanannya yang dimiringkan menghantam ke arah tengkuk.

“Krekkkk!”

Tubuh itu terkulal dan raksasa Nepal itu roboh pingsan! Semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak, sama sekali tidak mengira bahwa raksasa Nepal yang terkenal hebat dan amat kuat itu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja!

“Tidak salah lagi, dia murid The Hoo...!” Toat-beng Hoat-su berkata lirih.

Ban-tok Coa-ong mengangguk. “Benar, tadi tentu It-ci-san yang terkenal dari The Hoo...”

Ban-tok Coa-ong kini menggapai kepada seorang Han yang tubuhnya pendek kecil, amat kurus seperti rangka hidup, mukanya pucat dan sepasang matanya yang cekung itu mengerikan sekali.

“Pek-mo (Iblis Putih), tangkap dia!”

Laki-laki bermuka pucat yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu mengangguk, mengeluarkan suara rintihan panjang seperti orang menangis dan tiba-tiba, tubuhnya sudah mencelat ke depan Li Hwa, matanya yang cekung bersinar mengerikan dan ketika mulutnya meringis, ternyata di dalam mulutnya tidak terdapat gigi sepotong pun!

Li Hwa memandang penuh perhatian. Keadaan tubuh orang ini sungguh merupakan kebalikan dari keadaan raksasa Nepal tadi. Kalau raksasa Nepal tadi membayangkan kekuatan dahsyat, orang ini sebaliknya kelihatan seperti seorang berpenyakitan yang sudah berdiri di ambang kuburan. Kelihatan lemah dan agaknya hembusan angin yang agak besar saja sudah akan cukup untuk merobohkannya. Akan tetapi Li Hwa tidak tertipu oleh keadaan luar, dan dia sudah dapat menduga bahwa orang yang kecil seperti mayat hidup ini tentulah memiliki kepandaian yang tinggi dan memiliki tenaga sin-kang yang kuat. Baru caranya meloncat ke depan tadi saja sudah membuktikan betapa Si Mayat Hidup ini mempunyai kegesitan yang tak boleh dipandang ringan! Maka tanpa menanti gerakan lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Si Mayat Hidup itu dengan totokan-totokan maut!

Orang kurus kecil itu mengeluarkan pekik menyeramkan, kemudian tubuhnya bergerak dan bersilat dengan cara yang aneh namun gesit sekali. Bagaikan gerakan seekor monyet, orang itu dapat menghindarkan totokan-totokan Li Hwa dan membalas dengan serangan yang berupa cengkeraman-cengkeraman. Yang hebat, kalau tadi jari tangannya kelihatan biasa, kini jari tangan itu menjadi bertambah panjang oleh kuku-kukunya! Ternyata orang itu mempunyai kuku-kuku jari yang aneh, yang dapat digulung dan kalau perlu, dengan kekuatan sin-kangnya, kuku yang tadinya bergulung itu dapat menegang dan panjangnya setiap kuku tidak kurang dari sepuluh senti!

“Brettt...!”

“Aihhh...!” Li Hwa menjerit kaget ketika ujung bajunya kena dicakar dan robek. Hal ini adalah karena dia tidak mengira bahwa kuku jari itu dapat memanjang maka ketika cengkeraman lawan dapat dielakkan, kuku-kuku yang memanjang itu masih dapat mencakar ujung bajunya. Untung bukan kulit lambungnya yang kena dicakar!

Marahlah Li Hwa. Dia tahu sekarang bahayanya lawan ini, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya mainkan jurus-jurus pilihan dari Jit-goat-sin-ciang-hoat, yang sukar dicari tandingannya itu. Gerakan kedua tangannya yang menyerang terisi dengan tenaga Im-yang-sin-kang, dan kadang-kadang pukulannya dicampur dengan It-ci-sian mengarah jalan darah yang berbahaya.

Ternyata bagi Li Hwa bahwa lawannya ini hanya kelihatannya saja menyeramkan dan berbahaya. Padahal ilmu silatnya hainyalah ilmu silat golongan hitam yang hanya berbahaya tampaknya dan tidak memiliki dasar yang kuat. Kalau berhadapan dengan ahli silat biasa, tentu Si Mayat Hidup ini merupakan lawan yang berbahaya sekali dan setiap serangannya dapat mendatangkan maut. Akan tetapi terhadap dia yang sudah menerima gemblengan seorang sakti seperti The Hoo, segera dara ini dapat melihat kelemahannya. Setelah bertanding selama tiga puluh jurus, tiba-tiba Li Hwa mengerahkan khi-kang, membentak keras sekali, kedua kakinya seperti kitiran angin melakukan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) sehingga lawannya merintih panjang dan terpaksa mengelak ke kanan kiri untuk menghindarkan tendangan bertubi-tubi yang amat berbahaya itu. Tiba-tiba tangan kiri Li Hwa bergerak dari atas, dikebutkan ke arah pundak lawan.

“Krekk!”

Si Mayat Hidup mengeluh dan sebuah tendangan tepat mengenai pinggulnya sehingga tubuh yang ringan itu terlempar sampai empat meter dan terbanting roboh. Di situ dia merintih karena tulang pundaknya terlepas dan pinggul yang tidak berdaging itu menjadi biru!

Terdengar orang bersorak. Kiranya Ouwyang Bouw yang bersorak “Hidup calon isteriku yang perkasa!” Dia berlari menghampiri Li Hwa dan menjura dengan hormat. “Terimalah rasa kagum dan hormatku, Nona Souw calon isteriku yang cantik dan gagah perkasa!”

Biarpun dia sudah menjaga diri agar tidak terserang marah, menghadapi pemuda ini, naik juga darah Li Hwa. Mukanya menjadi merah, matanya mendelik mengeluarkan sinar berapi dan dia membentak. “0rang gila menjemukan! Mampuslah!”

Tamparan tangan kiri Li Hwa itu sama sekali tidak ditangkis oleh Ouwyang Bouw yang hanya mengangkat sedikit kepalanya ke atas sehingga telapak tangan Li Hwa yang menampar kepala itu mengenal pipinya.

“Plakk...!”

“Wah, terima kasih, Nona. Telapak tanganmu sungguh halus, hangat, dan harum sekali!” kata Ouwyang Bouw sambil mengelus-elus pipinya yang kena tampar.

Bukan main marahnya hati Li Hwa, apalagi mendengar suara ketawa anak buah Pulau Ular yang tertawa-tawa. Dia maklum bahwa pemuda gila ini tidak beleh disamakan dengan jagoan Nepal dan Si Mayat Hidup tadi, dan dia pun maklum bahwa dia tidak dapat mundur lagi. Melarikan diri tak mungkin, maka jalan satu-satunya hanya mengadu kepandaian untuk menuntut dikembalikannya bokor emas atau kalau perlu berkorban nyawa.

“Srattt...!” Li Hwa sudah mencabut pedangnya. Dengan sikap gagah dia lalu berkata kepada Ban-tok Coa-ong, “Ban-tok Coa-ong, engkau sebagai tuan rumah di pulau ini, majulah. Mari kita tentukan siapa yang herhak membawa bokor emas di ujung pedang. Jangan mengajukan anakmu yang gila!”

“Ha-ha, Nona Souw yang manis, calon isteriku yang cantik. Jangan begitu, ah! Menggodaku beleh saja, tapi jangan keterlaluan. Aku memang gila, siapa tidak akan tergila-gila memandang wajahmu yang cantik manis? Engkau ingin main-main dengan pedang? Baik, mari kulayani. Memang calon suami isteri harus mengenal kelihaian masing-masing!”

Pemuda sinting itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang pedang yang berbentuk tubuh ular telah tercabut keluar. Sambil melintangkan pedang ular yang mengerikan itu di depan dada, Ouwyang Bouw memasang kuda-kuda dengan lagak yang dibuat gagah sehingga kelihatan lucu namun menjemukan bagi Li Hwa karena pemuda itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik kepadanya!

“Iblis bermulut busuk!” Dia memaki dengan marah, pedangnya sudah bergerak menerjang dengan kecepatan laksana kilat.

“Trang-trang-cringgg...!” Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu berkali-kali. Merasa betapa pedangya tergetar oleh tangkisan pemuda itu, Li Hwa maklum bahwa tenaga sin-kang lawannya tidak lemah, maka cepat dia menggunakan tenaga lawan ketika menangkis lagi untuk mencelat ke atas, berjungkir balik dan dari atas tangan kirinya diayun. Sinar putih berkeredepan menyambar ke arah Ouwyang Bouw. Itulah gin-ciam (jarum perak), senjata rahasia Li Hwa yang amat lihai.

“Aihhh... engkau pandai main jarum. Bagus...!” Ouwyang Bouw menggerakkan tangan kirinya dan lengan bajunya menerima jarum-jarum perak yang menancap dan berjajar rapi di ujung lengan bajunya! Sambil tersenyum dia menggerakkan lengan baju itu dan sinar perak menyambar ke arah kaki Li Hwa yang masih belum turun ke atas tanah. Dara ini cepat menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian rupa sehingga gulungan sinar pedang menggulung jarum-jarum peraknya sendiri itu, kemudian dia menggerakkan pedang dan jarum-jarum itu kembali melesat ke arah Ouwyang Bouw.

“Cuiiitttt... trakkk...!” Sinar perak itu bertemu dengan sinar merah dan runtuhlah jarum-jarum perak itu bertemu dengan jarum-jarum merah yang dilepaskan oleh Ouwyang Bouw. Li Hwa terkejut. Kiranya dalam kepandaian melemparkan jarum, pemuda sinting itu tidak kalah pandai olehnya. Maka dia lalu berteriak nyaring dan menerjang maju, memutar pedangnya dengan hebat karena dara ini telah mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya.

“Kau hebat... kau cantik menarik, kau gagah perkasa... heeeiiitttt!” Ouwyang Bouw terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Karena dia tadi bicara dan menggoda, maka hampir saja dia celaka oleh sinar pedang dara itu yang amat hebat. Dia cepat meloncat lagi melihat pedang lawan terus mengejarnya, menangkis dan terpaksa balas menyerang ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dara itu benar-benar amat lihai dan sama sekali tidak boleh dia lawan sambil bersendau-gurau!

Pertandingan itu berlangsung dengan seru sekali dan ternyata oleh kedua pihak bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, baik mengenai kecepatan maupun tenaga sin-kang. Hanya bedanya, kalau ilmu pedang Li Hwa mengandung dasar yang amat kuat dan aseli, mempunyai daya tahan yang kokoh dan daya serang langsung dan menekan, sebaliknya ilmu pedang yang dimainkan oleh Ouwyang Bouw mengandung perkembangan yang penuh tipu muslihat, banyak gerakan pancingan dan pura-pura yang amat curang. Akan tetapi, karena Li Hwa selalu menyerang dengan niat membunuh lawan sedangkan sebaliknya pemuda yang tergila-gila itu tidak ingin melukai apalagi membunuh lawan, perlahan-lahan pemuda itu terdesak dan gulungan sinar pedangnya makin tertekan.

“Jelas dia murid The Hoo dan kalau dia bisa dijadikan tawanan sebagai sandera, tentu The Hoo tidak berani mengganggu kita!” Toat-beng Hoat-su barkata.

“Benar sekali,” jawah Ban-tok Coa--ong sambil memperhatikan pertandingan antara dara itu dengan puteranya. “Bouw-ji (Anak Bouw) tidak tega melukainya, keadaannya amat berbahaya. Kalau sampai dia terluka, tentu dia akan lupa diri dan jangan-jangan dia akan membunuh dara itu. Sebaiknya kita turun tangan menangkapnya.”

Toat-beng Hoat-su tidak percaya bahwa pemuda itu akan dapat mengalahkan Li Hwa, akan tetapi dia diam saja, hanya mengangguk dan kedua kakek ini lalu bergerak maju ke medan pertandingan. Pada saat itu, pedang di tangan Li Hwa sedang bertemu dengan pedang ular di tangan Ouwyang Bouw. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang datuk yang lihai itu untuk turun tangan, Ban-tok Coa-ong mengetuk pergelangan tangan kanan Li Hwa sehingga pedangnya terlepas sedangkan Toat-beng Hoat-su menepuk pundaknya. Li Hwa mengeluh dan roboh, tubuhnya disambar oleh pelukan Ouwyang Bouw. Dara itu yang lumpuh kedua tangannya, menggerakkan kaki menendang pusar, akan tetapi pemuda itu menangkap kakinya dan menotok punggungnya sehingga kini kedua kakinya lumpuh pula. Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw memondong tubuh dara itu dan tangan kanannya masih memegang pedang ular, lalu membawa dara itu lari.

“Bouw-ji... awas jangan kau sampai membunuhnya!” teriak Ban-tok Coa-ong.

Ouwyang Bouw menoleh sambil tertawa. “Apakah Ayah telah menjadi gila? Aku cinta kepadanya, mana mungkin membunuhnya? Ha-ha-ha!”

“Ha-ha-ha, engkau memang sudah pantas kawin, Anakku!”

“Setahun lagi Ayah akan memondong cucu!” Pemuda gila itu tertawa-tawa sambil lari memhawa Li Hwa memasuki pondok yang menjadi tempat kediamannya.

Ban-tok Coa-ong menyuruh anak buahnya menyingkirkan mayat Madhula dan mayat Sanghida yang tinggal tulang kemudian bersama Toat-beng Hoat-su dia kembali ke dalam pondok besar.

“Harus dicegah agar puteramu jangan sampai membunuh tawanan penting itu,” kata Toat-beng Hoat-su, khawatir juga menyaksikan kelakuan pemuda yang edan-edanan itu.

“Jangan khawatir. Agaknya anakku sekali ini benar-benar jatuh cinta. Alangkah baiknya kalau aku dapat berbesan dengan The Hoo. Tentu soal bokor emas bukan hal yang perlu dia ributkan lagi.”

“Lebih penting lagi, dia tentu akan mau membuka rahasia bokor itu. Sungguh menjengkelkan. Susah-payah dicari dan diperebutkan, setelah berada di tangan kita, kita tidak mampu membuka rahasianya.” kata Toat-beng Hoat-su dengan wajah kesal. Berhari-hari mereka berdua menyelidiki bokor emas, membolak-balik, menekan sana-sini, namun belum juga dapat menemukan rahasianya. Padahal kabarnya bokor itu mengandung petunjuk tempat penyimpanan harta pusaka kitab-kitab pusaka yang amat luar biasa. Tidak takut bokor itu rusak dan rahasianya ikut pula terusak, tentu mereka sudah membanting pecah benda pusaka itu! Kini mereka memasuki kamar rahasia dan kembali kedua orang kakek yang menjadi datuk kaum sesat itu melanjutkan penyelidikan mereka tentang bokor emas. Memang ada guratan-guratan aneh di sebelah dalam bokor, akan tetapi mereka tidak dapat memecahkan rahasia guratan-guratan ini karena guratan-guratan itu bukan merupakan huruf-huruf yang dapat terbaca, juga bukan merupakan peta yang dapat dimengerti.

Sementara itu, Li Hwa yang sadar akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya itu dipondong oleh Ouw-yang Bouw dan dibawa masuk ke dalam pondoknya, terus memasuki kamarnya dan dengan hati-hati, bahkan dengan lemah-lembut dan mesra dibaringkannya tubuh dara itu di atas pembaringannya yang mewah, bersih dan harum baunya. Namun diam-diam Li Hwa bergidik melihat betapa di dalam kamar itu penuh dengan belasan ekor ular-ular berbisa yang melingkar di sana-sini, merayap di sana-sini dalam keadaan jinak seolah-olah ular berbisa itu adalah binatang peliharaan dan kesayangan! Diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kalau dia sempat dia akan memukul mati pemuda ini, kemudian mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa karena dia pun mengerti bahwa keselamatannya terancam hebat, bukan karena nyawanya yang terancam, juga kehormatannya!

Setelah merebahkan tubuh Li Hwa, Ouwyang Bouw duduk di pinggir pembaringan itu, menatap wajah yang cantik itu penuh kagum, penuh kasih sayang, bahkan dengan pandang mata mesra. Pandang mata yang membuat Li Hwa bergidik karena pandang mata itu seolah--olah dapat dia rasakan menyelusuri seluruh tubuhnya, seolah-olah pandang mata itu mampu menelanjanginya!

“Moi-moi yang manis... kau menurutlah menjadi isteriku, hidup dengan makmur dan mulia di pulau ini, sebagai ratu! Ya, aku akan memuliakanmu sebagai seorang ratu... adikku yang tercinta...!”

Namun Li Hwa memandang dengan mata mendelik penuh kebencian biarpun di dalam hatinya dia merasa khawatir sekali. Dia maklum bahwa jika pemuda gila itu pada saat dia lumpuh kaki tangannya melakukan segala kekejian terhadap dirinya, dia tidak akan mampu mempertahankan kehormatannya, tidak akan mampu membela diri. Hampir dia pingsan memikirkan kemungkinan yang mengerikan ini. Akan tetapi untung baginya pemuda itu memang tidak suka memperkosa wanita dan biarpun dia ingin sekali menguasai tubuh Li Hwa, namun dia mempunyai perasaan lain terhadap dara ini, tidak seperti perasaannya terhadap wanita-wanita lain yang telah menjadi korbannya. Dia sudah jatuh cinta kepada Li Hwa dan ingin mengambil Li Hwa ini sebagai isterinya! Karena itu, dia tidak akan menggunakan cara-cara yang keji untuk sementara waktu ini, hanya ingin mengandalkan bujukan dan rayuannya. Setelah dia menggunakan tali kain sutera yang halus akan tetapi kuat sekali untuk membelenggu kaki tangan dara itu, dia membebaskan totokan pada tubuh Li Hwa sehingga dara itu tidak terlalu tersiksa, dapat menggerakkan kaki tangannya sungguhpun tidak berdaya melawan karena kaki dan tangannya dibelenggu di belakang tubuhnya.

“Adikku sayang, kalau menurut, engkau akan kubebaskan dan kita akan merayakan pesta pernikahan kita di pulau ini”

“Huh, lebih baik aku mati!” Li Hwa menjawab sambil membuang muka.

Ouwyang Bouw tersenyum. “Kita sama lihat saja apakah engkau akan dapat terus berkeras kepala, Adikku. Engkau menolak orang seperti aku? Ha-ha, hendak memilih yang macam bagaimana? Lihat baik-baik, bukankan aku seorang pemuda yang tampan dan gagah?”

Melihat betapa Li Hwa tidak mau menoleh, Ouwyang Bouw lalu meloncat dekat dan sekali menotok, dia membuat Li Hwa tak mampu menggerakkan lehernya lagi sehingga ketika mukanya dihadapkan kepada pemuda itu, dia tidak dapat membuang muka. Terpaksa dia melihat pemuda itu bergaya di depannya, dengan senyum dibuat-buat dan dada diangkat. Bahkan kemudian pemuda itu menyelinap ke kamar lain dan ketika muncul kembali, dia telah mengenakan pakaian lain yang lebih mewah. Sampai tiga kali pemuda itu bertukar pakaian dan bergaya di depan Li Hwa seperti lagak seorang peragawan memamerkan pakaian.

“Lihat, bukankah aku tidak kalah tampan oleh para pangeran di istana? Banyak wanita tergila-gila kepadaku, akan tetapi aku hanya memilih engkau, Li Hwa! Aku cinta kepadamu dan kau sudah tahu akan kelihaian ilmuku.”

Li Hwa mencibirkan bibirnya, sengaja memperilhatkan muka dan sinar mata mengejek dan memandang rendah.

“Apa engkau belum puas? Bukan hanya pakaianku saja yang membuat aku kelihatan tampan dan gagah, bahkan seluruh tubuhku pun tidak ada cacadnya! Nah, kaulihat baik-baik!” Pemuda yang sinting itu kini menanggalkan pakaiannya satu demi satu! Tadinya Li Hwa mengira pemuda itu memamerkan bentuk tubuhnya yang memang tegap berotot, akan tetapi matanya yang terbelalak itu kemudian dipejamkan ketika tenyata bahwa pemuda itu menanggalken seluruh pakaiannya, termasuk pakaian dalamnya sehingga pemuda itu berdiri telanjang bulat di depannya, hanya mengenakan sepatunya!

lanjut ke Jilid 048-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar