Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 48

Petualang Asmara Jilid 048

<--kembali

“Ha-ha-ha, engkau tidak tahan melihatku dan memejamkan mata? Bagus, kalau kau tidak memejamkan mata, engkau tentu akan tergila-gila, kepadaku!”

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan jijik rasa hati Li Hwa menghadapi pemuda gila ini. Ketika tadi dia melihat pemuda itu menanggalkan baju dalamnya, sebelum dia memejamkan mata, dia melihat dada yang telanjang dan aneh, begitu dia memejamkan mata, tampaklah dada telanjang dari Yuan de Gama! Lebih aneh lagi, muncul rasa rindu hatinya kepada Yuan, pemuda yang bersikap sopan santun kepadanya, menjadi kebalikan dari pemuda sinting ini. Tanpa disadarinya, dalam keadaan terancam seperti itu, dia membayangkan wajah Yuan dan hatinya menjeritkan nama pemuda asing itu!

Sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mengenakan lagi pakaiannya kemudian meninggalkan kamar setelah menyuruh beberapa orang penjaga melakukan penjagaan di luar kamarnya. Li Hwa ditinggalkan seorang diri di dalam kamar itu dan dia termenung, memutar otaknya mencari akal untuk dapat meloloskan diri dari tempat berbahaya ini. Satu-satunya harapannya adalah gurunya. Gurunya tahu akan bokor emas, telah menerima laporan pengawal Tio Hok Gwan dan gurunya tahu pula bahwa dia sendirian melakukan penyelidikan. Gurunya tentu mengirim orang-orang pandai, mungkin Tio Hok Gwan sendiri, mungkin pula Pendekar Sakti Cia Keng Hong, untuk menyerbu Pulau Ular dan saat inilah yang ditunggu-tunggunya karena hanya itu yang mungkin akan memberi harapan baginya untuk lolos dari bahaya ini.

Maka Li Hwa juga tidak mengambil keputusan pendek setelah dengan jelas dia melihat gelagat bahwa Ouwyang Bouw tidak akan memperkosanya, melainkan hendak membujuknya agar dia suka tunduk dan menyerahkan diri. Kini dia dipindahkan ke dalam sebuah kamar tahanan. Belenggu kaki tangannya dilepaskan, akan tetapi kedua kakinya diikat dengan rantai baja yang panjang, yang memungkinkan untuk bergerak dan berjalan di dalam kamar tahanan itu, akan tetapi tidak memungkinkan dia untuk melarikan diri. Juga kedua tangannya dibelenggu dengan rantai baja yang panjang.

Hanya rantai itu yang menyatakan bahwa dia menjadi tawanan. Akan tetapi selain dari rantai itu dia diperlakukan dengan baik, diberi kesempatan untuk mandi dan makan, bahkan para penjaga bersikap hormat kepadanya karena dia dianggap sebagai calon isteri Ouwyang Bouw! Sampai berhari-hari lamanya, Li Hwa tetap tidak mau tunduk dan selalu menyambut kedatangan Ouwyang Bouw ke kamarnya dengan caci maki. Di samping ini, dia berlaku hati-hati sekali, selalu menggunakan jarum peraknya untuk memeriksa setiap makanan dan minuman agar jangan sampai dia dipengaruhi racun. Akan tetapi, ternyata bahwa Ouwyang Bouw belum sampai sejauh itu usahanya untuk menguasainya. Ouwyang Bouw menghendaki agar wanita yang membuatnya tergila-gila itu benar-benar tunduk bukan karena terpaksa oleh pengaruh racun atau karena dia perkosa. Dan kesabaran seorang glia seperti dia memang luar biasa sekali!

Tiga hari kemudian sejak Li Hwa ditangkap, sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke Pulau Ular dari daratan Teluk Pohai. Di dalam perahu itu hanya ada seorang pemuda berkepala gundul yang bukan lain adalah Kun Liong. Pemuda ini mulai dengan penyelidikannya untuk membantu Li Hwa yang dikabarkan telah lebih dahulu melakukan penyelidikan. Kun Liong maklum betapa berbahayanya tempat tinggal orang-orang seperti Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong maka dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Li Hwa. Dia mulai mencari Pulau Ular dan hari telah malam ketika dia melihat bayangan pulau yang bentuknya seperti ular melingkar di atas batok di sebelah selatan itu, presis seperti penjelasan dan gambaran yang didapatkannya dari keterangan Cia Keng Hong sebelum dia berangkat.

Tiba-tiba Kun Liong terkejut. Hampir perahunya terguling ketika ombak tiba-tiba datang bergelombang! Dan malam itu mendadak saja menjadi gelap, bintang-bintang yang tadi menghias angkasa kini lenyap tertutup awan hitam. Wah, celaka! Benarkah datuk-datuk kaum sesat itu menggunakan ilmu hitam seperti yang didongengkan orang, sehingga setelah perahunya mendekati Pulau Ular dia diserang badai? Ilmu hitam atau bukan, dia harus berjuang melawan ombak yang datang bergulung-gulung! Dia memegang dayungnya dan sejenak pemuda yang biasanya tabah ini menjadi bingung juga. Tidak tampak lagi pulau tadi, tidak tampak pula deratan. Di sekelilingnya air menghitam dengan suara menderu-deru. Perahunya diombang-ambingkan ombak, tak tentu lagi arahnya.

Betapapun tabahnya, Kun Liong menjadi gelisah. Selama ini, pengalamannya dengan air hanya di sepanjang Sungai Huang-ho, dan betapa pun lebar Sungai Huang-ho, dibandingkan dengan laut ini bukan apa-apa. Bagaimana kalau perahunya terguling? Dahulu dia pernah hanyut di sungai. Baru hanyut di sungai saja sudah sukar baginya untuk berenang ke tepi. Apalagi sampai hanyut di laut!

Tiba-tiba tampak otehnya sinar api di depan. Terlambat dia mengetahui bahwa sinar itu adalah sinar lampu yang bergantungan di sebuah perahu yang besar. Tahu-tahu di depannya muncul tubuh perahu besar sekali, seperti iblis lautan hendak melawannya.

“Heiii... ada perahu.. minggir...!” Kun Liong menggunakan suara yang didorong oleh tenaga khi-kang yang amat kuat untuk berseru. Suaranya melengking tinggi melawan gemuruh air laut yang bergelombang. Akan tetapi terlambat. Terdengar suara keras, perahunya pecah terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!

“Heii...! Tolooong, auuupp...!” Kun Liong gelagapan ketika mulutnya yang menjerit itu kemasukan air yang rasanya sampai pahit saking asinnya!

Dia menggerakkan kaki tangan dan terasa betapa tubuhnya ringan sekali dan lebih mudah baginya untuk mengambang di permukaan air. Ini pengalaman baru baginya karena dia tidak tahu bahwa air yang asin membuat tubuhnya lebih ringan, tidak seperti di air tawar.

Teriakan-teriakan Kun Liong yang amat nyaring tadi karena didorong oleh tenaga khi-kang ternyata ada juga gunanya karena terdengar oleh mereka yang berada di atas perahu. Beberapa sosok bayangan orang tampak di langkan pinggir perahu, menjenguk ke bawah dan ada suara orang dalam bahasa asing. Kemudian tampak segulung tambang dilontarkan ke bawah. Melihat ini, Kun Liong cepat menyambar tambang itu dan dengan girang dia merasa betapa tubuhnya diseret. Kemudian ditarik naik ke tubuh perahu. Beberapa pasang tangan membantunya naik. Kun Liong duduk terengah-engah di atas dek perahu, tidak peduli kepada beberapa orang yang datang membawa lampu perahu yang bergoyang-goyang. Dia mengerahkan hawa di perut untuk mendorong keluar air laut yang membuat perutnya membusung. Beberapa kali dia muntahkan air laut sampai perutnya kosong kembali. Terlalu kosong sampai lapar! Barulah dia memperhatikan muka orang-orang yang merubungnya. Muka-muka yang asing berkulit putih. Mata yang biru! Akan tetapi pandang matanya terpikat dan melekat pada sepasang mata biru indah yang... bukan main! Bulu matanya panjang, alisnya melengkung dan hidungnya mancung sekali di atas sepasang bibir yang... bukan main! Baru sekarang Kun Liong menyaksikan kecantikan seorang wanita yang hebat dan aneh dan... khas. Tahulah dia bahwa wanita muda yang memandangnya dengan mata setengah terpejam itu adalah seorang wanita sebangsa dengan Yuan de Gama, akan tetapi cantik bukan main.

“Engkau siapakah? Mengapa malam-malam begini naik perahu kecil seorang diri? Apakah kau seorang nelayan?” Bibir yang merah manis itu menghujankan pertanyaan.

Kun Liong tidak menjawab, terpesona oleh gerak bibir manis yang kadang-kadang memperlihatkan kilauan gigi putih tertimpa sinar lampu merah.

“Ahh, apakah bahasaku tidak jelas? Aku baru belajar bahasa pribumi, maafkan kalau kaku...”

“Aku mengerti semua, Nona. Bahasamu baik sekali... terima kasih... aku bukan nelayan, aku... aku sedang melancong...”

“Ha-ha-ha, melancong di malam hari di atas perahu kecil di tengah laut! Bukan main anehnya bangsa pribumi!” Terdengar suara parau besar dan suara tertawa itu bergelak seperti gelora ombak gemuruh tidak terkekang. Kun Liong menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan, namun rambutnya yang keemasan sudah mulai memutih di atas kedua telinga. Kumisnya tebal melintang di atas mulut dan sinar matanya lembut.

Tiba-tiba terdengar seruan-seruan keras dalam bahasa asing disusul jeritan beberapa orang wanita muda yang berlari mendatangi. Keadaan di atas perahu besar itu menjadi kacau balau. Dara jelita tadi bersama teman-teman perempuan lainnya berlari-larian memasuki bilik perahu, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah tadi mengeluarkan suara memerintah. Anak buah perahu yang terdiri dari belasan orang laki-laki asing yang berkaos loreng, sibuk hilir-mudik di atas perahu.

Kun Liong merasa heran. Kesehatannya telah pulih kembali dan dia bangkit berdiri. Keadaan di atas perahu itu kini terang benderang karena para anak buah perahu menyalakan banyak lampu yang digantungkan di sekeliling perahu. Kiranya di dekat perahu besar itu kini tampak muncul enam buah perahu kecil yang seperti iblis bermunculan dari dalam gelap, dan di atas perahu-perahu kecil itu berdiri orang-orang yang mremegang senjata golok dan pedang. Setiap perahu terdapat tiga orang sehingga semuanya ada delapan belas orang. Setelah perahu-perahu kecil menempel pada perahu besar seperti sekumpulan lintah, tampak tali-tali melayang dari bawah, ujungnya ada kaitannya dan orang-orang itu memanjat ke atas, bahkan ada yang langsung meloncat dari perahu kecil ke atas perahu besar dengan gerakan ringan sekali.

“Hemmm, bajak-bajak laut,” pikir Kun Liong dan cepat dia melangkah maju.

Cepat sekali para bajak itu sudah berada di atas perahu besar dan terjadilah perkelahian seru antara para bajak laut dan anak buah perahu. Kakek tua gagah perkasa itu pun ikut berkelahi. Dengan kedua tangan terkepal dia mengamuk. Seorang bajak menyerangnya dengan golok, kakek asing itu mengelak, akan tetapi bahu kirinya terserempet golok sehingga terluka. Tanpa mempedulikan lukanya, kakek itu menghantam dada bajak itu dengan kepalan tangan kanannya, membuat bajak itu terjengkang dan terbatuk-batuk. Bajak ke dua sudah datang menyerbu dengan pedang diputar-putar di atas kepala, langsung membacok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku karena dari belakang dia telah ditotok oleh Kun Liong. Pemuda ini lalu menarik lengan bajak itu, sekali dia mengayun tangan, tubuh bajak itu terlempar ke luar perahu besar!

Kun Liong tidak mempedulikan seruan girang kakek berkumis melintang yang agaknya menjadi pemilik perahu besar itu, terus dia menyerbu ke depan. Seorang bajak menyambutnya dengan bacokan golok. Kun Liong miringkan tubuhnya, menampar lengan yang memegang golok. Orang itu berterlak kesakitan, goloknya terlepas, akan tetapi dia nekat dan menerjang Kun Liong dengan tangan kanan mencengkeram leher, Kun Liong menyambut tangan itu dengan tangkisan, kemudian kakinya menendang.

“Desss!” Tubuh bajak ini pun terlempar keluar dari perahu besar.

Kun Liong tahu bahwa pada saat itu ada golok menusuk dari belakang mengarah punggungnya.

“Saudara muda, hati-hati belakangmu...!” Kakek itu berseru, akan tetapi Kun Liong yang sudah menangkap seorang bajak lain, tidak mempedulikan tusukan itu melainkan mengerahkan sin-kangnya. Ujung golok itu mengenai punggungnya, merobak bajunya sampai terbuka lebar akan tetapi ketika mengenai kulitnya yang terlimdung sin-kang dari dalam, golok itu meleset. Kun Liong melemparkan orang yang ditangkapnya, membalik dan tendangannya membuat orang yang menusuknya tadi terjungkal, kemudian dia pun melemparkan orang ini ke luar perahu.

Amukan Kun Liong membuat para bajak yang terdiri dari orang Nepal berambut panjang dan orang-orang Han yang kasar itu menjadi jerih. Mereka bersuit panjang dan seorang demi seorang melompat keluar dari perahu besar. Para anak buah perahu besar menjenguk ke luar, melihat betapa para bajak yang pandai berenang itu saling bantu menyelamatkan diri dengan perahu-perahu kecil mereka dan sebentar saja perahu-perahu itu lenyap ditelan kegelapan malam.

Kun Liong dirubung semua orang. Kakek asing itu memerintahkan agar perahunya mengambil arah ke utara, menjauhi sebuah pulau yang sore tadi nampak, karena dia menduga bahwa agaknya bajak-bajak itu datang dari pulau itu, deratan yang terdekat dari situ.

Kun Liong menghapus peluh den air laut yang membasahi muka, leher dan kepalanya yang gundul. Dia dihujani pertanyaan oleh orang-orang yang merubungnya, akan tetapi karena pertanyaan itu ditujukan dalam bahasa asing, dia hanya tersenyum, tak tahu apa yang mereka maksudkan.

“Kalian telah menolong aku dari laut, sudah semestinya aku membantu kalian mengusir bajak-bajak jahat itu,” katanya berkali-kali karena dia menduga bahwa agaknya mereka itu menyatakan terima kasih mereka.

Makin bingunglah Kun Liong ketika muncul dara jelita bermata biru tadi bersama tiga orang wanita muda lain yang agaknya adalah pelayan-pelayannya. Tiga orang wanita muda yang rambutnya memakai kerudung dan wajahnya manis-manis, sikapnya genit-genit itu pun menghujaninya dengan pertanyaan, senyuman dan kerling mata penuh kagum, membuat Kun Liong tersenyum meringis dengan kemalu-maluan sambil memandang ke arah dara jelita yang sejak tadi memandangnya dengan senyum dan pandang mata kagum.

“Ahhh, ternyata engkau sebangsa pendekar yang sering kudengar diceritakan kakakku. Dan engkau mentang hebat, pendekar gundul...!” kata dara jelita itu.

Kun Liong tersenyum-senyum dan menggerak-gerakkan kepalanya yang gundul. Baru sekarang gundulnya tidak dipergunakan orang untuk mengejek atau dianggap pendeta, melainkan dijadikan sebutan pendekar gundul!

“Aaaah, aku... aku biasa saja, Nona...!” katanya agak gagap karena sinar mata biru itu benar-benar mempesona.

“Heiiii, jangan dirubung seperti ini! Minggir, minggir!” Tiba-tiba kakek asing itu datang dan sambil tertawa girang dia menyodorkan tangannya kepada Kun Liong. Tentu saja Kun Liong tidak mengerti dan memandang tangan yang disodorkan, bahkan otomatis sin-kangnya bergerak ke arah perut dan dada karena dia mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya!

Sebetulnya kakek asing itu mengajaknya bersalaman, tanda menghormat bagi bangsanya. Akan tetapi persangkaan Kun Liong lain lagi. Melihat tangan yang besar dan kelihatan kuat itu diacungkan miring seperti hendak menyodoknya, otomatis dia “memasang” sin-kangnya melindungi perut dan memandang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik!

“Perkenalkan, saya adalah Richardo de Gama. Siapakah nama Tuan Muda yang gagah perkasa dan yang telah menolong dan menyelamatkan kami dari serbuan bajak laut?”

Mendengar ucapan yang kaku namun jelas itu barulah Kun Liong mengerti bahwa dia salah sangka, maka ketika tangan itu menjabat tangannya, dan mengguncang-guncang, dia diam saja tidak menarik tangannya dan balas tersenyum ramah. Apalagi mendengar nama itu, teringatlah dia akan Yuan de Gama!

“Nama saya Yap Kun Liong dan harap Tuan jangan bicarakan tentang pertolongan. Bajak-bajak itu memang jahat dan pantas diusir. Mendengar nama Tuan, apakah Tuan masih ada hubungan dengan Yuan de Gama?”

“Yuan...?” Terdengar seruan halus dan ternyata dara permata biru tadi yang berseru dan memegang lengan Kun Liong, memandangnya penuh perhatian. “Yuan adalah kakakku. Apakah engkau kenal dengan Yuan?”

Berseri wajah Kun Liong. Kiranya dara jelita ini adalah adik perempuan Yuan de Gama. Dengan mata terbelalak dan terpesona menatap wajah cantik dan mata biru itu, dia menggumam, “Engkau... Adik Yuan?”

Gadis itu mengangguk. Manis sekali ketika senyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih mengkilap. “Aku Yuanita... Yuanita de Gama.”

“Yuanita...!” Nama yang terdengar aneh, lucu dan indah bagi telinga Kun Liong, dan ketika dia menyebut nama itu, logat lidahnya juga terdengar aneh dan lucu bagi Yuanita, lucu akan tetapi menyenangkan sehingga dia tertawa geli. “Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan dia, seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa,” Kun Liong melanjutkan kata-katanya dengan setulusnya karena memang dia menyaksikan sikap Yuan de Gama yang pernah bertanding dalam beberapa jurus dengannya dan pernah dilihatnya ketika pemuda itu menyelamatkan Li Hwa.

“Ha-ha-ha! Kiranya sahabat Yuan! Pantas saja begini hebat. Tuan Muda, ternyata engkau adalah seorang tamu kehormatan, seorang sahabat baik. Terima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan kami dengan engkau!”

“Ayah, pakaian Yap-taihiap (Pendekar Besar Yap) basah semua dan robek-robek. Selayaknya seorang tamu agung disambut dengan hormat dan baik,” kata Yuanita.

“Ha-ha-ha! Saking girang hatiku, aku sampai lupa. Terserah kepadamu!” kata kakek itu.

Yuanita lalu memberi aba-aba kepada tiga orang pelayannya. Tiga orang gadis yang genit-genit itu tertawa, lalu mereka memegang kedua lengan Kun Liong dan menarik-narik pemuda itu memasuki ruangan perahu di bawah.

“Eh-eh... apa ini...? Ke mana...? Eh, mengapa menyeret saya...?” Kun Liong membantah, akan tetapi dia pun tidak tega untuk menggunakan kekerasan, maka dia membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh tiga orang pelayan muda itu, diikuti suara ketawa bergelak dari Richardo de Gama dan anak buahnya serta senyum lebar yang manis dari Yuanita.

Kun Long yang tersenyum-senyum masam karena malu dan bingung itu ditarik oleh tiga orang pelayan wanita muda dan genit-genit yang tertawa-tawa itu ke dalam sebuah kamar di perahu itu.

“Eh, kalian ini mau apa?” Berkali-kali Kun Liong bertanya.

Akan tetapi tiga orang wanita itu mengeluarkan ucapan dalam bahasa asing yang sama sekali tidak dimengerti oleh Kun Liong. Mereka menunjuk-nunjuk ke sebuah tong kayu besar bundar yang terisi air jernih. Karena tidak mengerti, Kun Liong menghampiri tong air itu dan menjenguk ke dalam. Airnya jernih sekali, akan tetapi tidak ada apa-apanya yang aneh, maka dia tersenyum menyeringai, memandang tiga orang gadis pelayan itu berganti-ganti dan mengangkat pundaknya.

“Ini air... dalam tong, airnya jernih sekali, tapi ada apa?” Kun Liong bertanya.

Tiga orang itu saling pandang, lalu saling bicara ramai dalam bahasa yang bagi telinga Kun Liong seperti kicau burung yang tidak karuan artinya. Kemudian seorang di antara mereka, yang agaknya sudah dapat “memungut” sepatah dua patah kata-kata dalam bahasa pribumi, menunjuk ke arah air di tong air itu sambil berkata kaku, “Mandi...! Man-di...!”

“Mandi...!” Dua orang gadis lainnya bersorak dan menunjuk-nunjuk ke tong air.

Kun Liong terbelalak, “Mandi...?” Dia bertanya dan memandang bingung. Jadi dia disuruh mandi? Dipandangnya pakaiannya yang basah kuyup dan robek, dan hidungnya memang mencium bau amis air laut. Dilihatnya seorang di antara tiga pelayan wanita muda itu menuangkan sesuatu dari dalam botol kecil dan terciumlah bau wangi sekali ketika isi botol itu memasuki air di tong.

“Mandi...!” Tiga orang dara itu berkali-kali mendesaknya.

Kun Liong makin bingung. Ah, lebih baik diturut saja kehendak tiga siluman cantik ini, pikirnya, kalau tidak tentu mereka tiada akan sudahnya mengganggunya.

“Baiklah. Aku akan mandi. Nah, kalian keluarlah dari kamar ini!” Telunjuknya menuding ke arah pintu kamar itu.

Tiga orang gadis itu saling pandang dan kelihatan bingung. Mereka kelihatan menjadi hilang sabar dan mendekati Kun Liong, mendorong-dorongnya dengan halus sambil menunjuk-nunjuk ke arah tong air dan bibir mereka berkata dengan kaku dan sukar, “Mandi... mandi... mandi...!” Celaka, pikir Kun Liong. Kalau dia menolak dan memaksa diri lari keluar untuk membebaskan diri dari desakan tiga orang gadis itu, tentu dia akan menghadapi keadaan yang membuatnya tidak enak dan canggung. Begitu pun aneh dan asingnya, jelas bahwa pihak tuan rumah bersikap hormat dan baik kepadanya. Agaknya karena mereka tadi melihat pakaiannya kotor basah dan robek, dia dipersilakan mandi lebih dulu. Akan tetapi mana mungkin mandi dijaga oleh tiga orang gadis pelayan yang cantik-cantik, genit-genit, dan cerewet akan tetapi tidak dia mengerti ucapannya itu?

“Baiklah! Mandi ya mandi...!” Akhirnya dia berkata kesal dan serta merta dia meloncat ke dalam tong air!

“Byuuurrr...!” Air itu sungguh sejuk menyegarkan dan berbau harum!

Seperti induk-induk ayam berkotek, petok-petok dengan sikap yang sibuk sekali, tiga orang gadis pelayan itu mengelilingi tong air. Mereka berteriak-teriak tanpa dimengerti oleh Kun Liong, kemudian seorang di antara mereka agaknya ingat akan hafalannya dan berkata, “Pakaian... pakaian...!”

“Hehh? Apa? Pakaian...?” Kun Liong tidak mengerti dan tiba-tiba tiga orang gadis pelayan itu menyerbunya, menarik-narik baju dan celananya dengan paksa untuk menanggalkan pakaiannya!

“Heiii... eh-eh, heeiiittt... aduh bagaimana ini...?” Kun Liong berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang wanita muda itu tertawa-tawa dan tidak mau melepaskan lagi pakaiannya sehingga akhirnya baju dan celananya terlepas dan ditarik lolos dari tubuhnya.

“Wah, kalian rusuh...! Kailan melanggar susila...! Wah, bagaimana ini...?” Kun Liong yang kini telanjang bulat itu merendam tubuh di dalam air dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi bawah pusar. Hanya kepalanya yang gundul itu tampak di atas permukaan air, kepalanya menjadi merah mengikuti warna mukanya, merah karena jengah, malu, dan juga bingung dan ngeri!

Akan tetapi tiga orang gadis pelayan itu tidak mempedulikan semua protesannya. Mereka melemparkan pakaian kotor itu di sudut kamar, kemudian dengan senyum manis mereka menyerbu Kun Liong dan mulailah mereka memandikan pemuda itu. Ada yang menyabuni tubuhnya, ada yang menggosok-gosok kepala gundulnya, dan ada yang menggunakan air harum itu menyiram mukanya. Sabun itu pun wangi sekali dan kini mengertilah Kun Liong bahwa mereka itu ternyata benar-benar sedang memandikannya! Digosok-gosok dan dipijit-pijit pundaknya, terasa nyaman sekali sehingga dia tidak meronta lagi. Hanya bersandar kepada pinggiran tong itu dengan kedua tangan masih melindungi anggauta rahasianya dan matanya merem melek, bukan karena keenakan saja melainkan karena kadang-kadang terasa pedas kemasukan air sabun. Mulutnya mengomel panjang pendek, sungguhpun bukan omelan marah lagi. “Ihh, kalian ini apa-apaan sih? Apakah aku ini dianggap bayi? Mentang-mentang kepalaku gundul... masa ada bayi sebegini besarnya? Sudahlah, sudah... aku bisa mandi sendiri!”

Akan tetapi tentu saja tiga orang gadis itu tidak mengerti ucapannya dan terus memandikannya sambil bicara sendiri dalam bahasa mereka, tersenyum-senyum dan kadang-kadang, seorang di antara mereka yang termanis dan tergenit, menggunakan telunjuk dan ibu jari tangannya mencubit paha Kun Liong.

Menghadapi tiga dara yang berwajah cantik manis, bersikap lincah dan genit, mencium bau harum dari air tong, sabun, dan yang keluar dari rambut dan pakaian tiga orang pelayan itu, merasakan betapa jari-jari tangan yang halus itu memijit-mijitnya dengan mesra, mendengar suara mereka bersendau-gurau biarpun dia tidak mengerti artinya, semua ini mendatangkan perasaan aneh pada dirinya. Debar jantungnya makin keras, menggedur-gedur seperti akan memecahkan dadanya, tubuhnya panas dingin dan tegang. Keadaan dirinya ini membuat Kun Liong menjadi makin bingung dan akhirnya dia maklum bahwa kalau tiga orang pelayan itu tidak segera pergi, dia takkan kuat bertahan dan entah akan apa jadinya!

“Sudah! Sudah... cukup! Aku bisa mandi sendiri. Pergilah kalian, pergilah...!” katanya sambil menggunakan sebelah tangan menepuk-nepuk air sehingga air memercik ke arah muka tiga orang pelayan itu, sedangkan tangan yang sebelah lagi tetap dipergunakan untuk menutupi tubuh bawah. Karena Kun Liong mempergunakan sin-kang, maka tepukannya itu mengandung tenaga kuat sekali sehingga percikan air itu terasa pedas dan panas ketika mengenai muka tiga orang pelayan itu. Mereka menjerit dan mundur kemudian bicara dalam bahasa mereka dan seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk pakaian yang ditaruhnya di atas bangku.

“Keluar! Keluarlah kalian!” Kun Liong berkata sambil menuding ke arah pintu. Tiga orang pelayan itu mengangkat pundak, menggerakkan kepala untuk memindahkan gumpalan rambut yang terurai itu ke belakang, kemudian sambil tersenyum dan tertawa-tawa mereka keluar dari kamar itu.

Bukan main lega hati Kun Liong. Cepat sekali, takut kalau mereka kembali, dia meloncat keluar dari tong air. menyambar handuk dan menyusuti tubuhnya yang basah, kemudian mencari-cari pakaiannya. Celaka, pakaiannya tidak ada lagi, tentu diambil oleh gadis-gadis itu! Karena takut mereka itu kembali sebelum tubuhnya yang telanjang itu tertutup pakaian, dia lalu menyambar pakaian yang ditinggalkan oleh mereka di atas bangku. Ternyata pakaian itu adalah sepotong celana dan sepotong baju yang bersih dan aneh karena selain jubah berlengan panjang terdapat pula baju berlengan pendek dan kain pembungkus atau pelindung leher. Terpaksa dia memakai pakaian itu dan diam-diam dia mengeluh ketika dia melihat tubuh bawahnya yang sudah bercelana. Celana itu potongannya sempit sekali sehingga biarpun seluruh pakaiannya tertutup, dia merasa seperti masih telanjang! Betapapun juga, ini jauh lebih baik daripada tidak berpakaian sama sekali. Maka, sambil mengingat-ingat cara Yuan de Gama berpakaian, dia lalu memakai rompi dan jubahnya, sedangkan pelindung leher itu hanya dia kalungkan saja di lehernya. Di ujung kamar itu terdapat sebuah cermin. Ketika Kun Liong melihat bayangannya sendiri di cermin itu, dia menyeringai. Betapa lucu keadaannya!

Daun pintu kamar terbuka, dan terdengar suara halus, “Sudah selesaikah Tai-hiap mandi? Kami telah menunggu-nunggu Tai-hiap untuk makan malam.”

Kun Liong cepat membalikkan tubuh dan memandang Yuanita. Sejenak dia terpesona. Dara ini agaknya sudah bertukar pakaian. Pakaian dari sutera biru yang panjang sampai ke kaki, rambutnya disanggul indah dan dihias permata. Teringatlah dia akan keadaannya sendiri dan tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Dara ini demikian cantik jelita, sedangkan dia seperti badut!

“Maaf... aku... aku tentu kelihatan seperti seorang badut wayang!” Akhirnya dia berkata ketika dia melihat betapa dara itu pun memperhatikannya.

Yuanita tertawa. Tertawa dengan bebas lepas, tidak malu-malu atau menutupi mulut yang tertawa dengan tangan seperti kebiasaan dara-dara pribumi. Akan tetapi anehnya, kebebasan dara ini tidak membayangkan kekasaran, padahal tertawa seperti itu kalau dilakukan oleh seorang gadis pribumi, tentu akan kelihatan kasar dan tidak sopan!

Kun Liong makin kikuk, mengira bahwa dara itu tentu mentertawakan keadaan pakaiannya yang lucu dan tidak cocok untuknya itu. “Aku seperti badut dan... dan Nona... begitu cantik seperti bidadari...!”

Yuanita menghentikan tawanya dan kini dia memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh kagum. “Yap-taihiap, engkau mengingatkan aku kepada seorang panglima muda di Thian-cin yang menjadi utusan Kaisar menemui Ayah. Aku amat kagum kepada panglima muda itu, tampan, gagah perkasa dan... seperti engkau. Hanya bedanya, dia angkuh sedangkan engkau begini rendah hati. Hal ini membuat aku makin kagum kepadamu, Tai-hiap. Engkau telah memperlihatkan kegagahan, menolong kami, engkau begini gagah dan tampan akan tetapi engkau merendahkan diri dan memuji-muji orang lain.”

Kata-kata ini membuat Kun Liong makin merasa canggung. “Ahhh, aku... aku orang biasa saja... seorang gundul yang...”

Kembali Yuanita tertawa dan melangkah maju, menggandeng lengan Kun Liong sambil berkata, “Sudahlah, kalau engkau merendah terus seperti itu, aku bisa menjadi bersedih dan menangis! Ayah sudah menanti kita di ruangan makan. Hayolah!”

Jantung Kun Liong berdebar tidak karuan. Sikap dara ini begini bebas. Mana ada seorang dara jelita yang baru saja dikenalnya telah berani menggandeng-gandengnya seperti itu, lengan mereka saling bergandengan, ketika berjalan kadang-kadang si pinggul yang meliuk-liuk itu menyentuh pahanya.

lanjut ke Jilid 049-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar