Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 46

Petualang Asmara Jilid 046

<--kembali

Kini pulau itu menjadi sebuah tempat tinggal yang indah akan tetapi juga menyeramkan bagi orang luar. Pulau itu bertanah subur, bahkan sebagian tanahnya telah diolah menjadi ladang yang subur dan yang menghasilkan bahan makanan, dikerjakan oleh anak buah Ban-tok Coa-ong. Akan tetapi, datuk kaum sesat ini pun telah menangkap banyak ular-ular beracun dan ular-ular ini kemudian dilepas di pulaunya sehingga beberapa tahun kemudian, pulau ini penuh dengan ular dari segala macam ukuran dan warna, kesemuanya mengandung bisa yang amat jahat. Maka terkenallah Pulau Ular dan tidak ada seorang pun pelancong atau nelayan yang berani mendekati pulau itu. Karena sudah bertahun-tahun tidak ada orang berani mendekati pulau, ditambah pula dengan keadaan pulau yang terlindung oleh tembok benteng tebal dan mengandalkan nama besarnya yang ditakuti, maka Ban-tok Coa-ong tidak melakukan penjagaan dan membiarkan pulau itu “terbuka”. Namun, semenjak Toat-beng Hoat-su datang dan berhasil membawa bokor emas, anak buah Ban-tok Coa-ong dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sekeliling pulau, di atas tembok-tembok benteng.

Anak buah Ban-tok Coa-ong yang tinggal di Pulau Ular terdiri dari orang-orang Nepal dan pribumi, tentu saja mereka adalah orang-orang dari golongan hitam. Mereka berjumlah kurang lebih lima puluh orang dan sebagian di antara mereka ada yang membawa keluarga mereka. Bahkan di antara orang-orang Nepal adapula yang membawa isteri dan tinggal di Pulau Ular dengan beberapa orang anak mereka.

Karena bertahun-tahun tidak ada orang luar berani memasuki Pulau ular, maka anak buah Ban-tok Coa-ong tidak pernah menghadapi serangan musuh. Hal ini membuat mereka amat percaya kepada kekuatan sendiri, terutama mengandalkan nama besar pemimpin mereka. Biarpun kini mereka menerima tugas untuk berjaga-jaga, namun karena mereka tidak percaya akan ada orang berani datang ke pulau itu, mereka melakukan penjagaan dengan malas-malasan. Apalagi di pulau itu selain pemimpin mereka, Ban-tok Coa-ong yang sakti, masih terdapat pula putera pemimpin mereka itu yang mereka sebut Ouw-yang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang), bahkan masih ada lagi kakek tua renta yang kabarnya tidak kalah lihai dibandingkan pemimpin mereka yaitu Toat-beng Hoat-su.

Karena penjagaan yang tidak ketat itulah yang memudahkan Li Hwa untuk mendaratkan perahunya di pinggir Pulau Ular tanpa diketahui oleh para penjaga. Setelah menyembunyikan perahunya di dalam semak-semak di pinggir telaga, Li Hwa lalu mulai dengan penyelidikannya, menuju ke tengah pulau di mana tampak olehnya bangunan-bangunan pondok. Dia melihat para penjaga, makin ke tengah makin banyak, akan tetapi para penjaga itu sedang bercakap-cakap dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan penjagaan mereka. Apalagi ketika dia tiba di antara pondok-pondok yang berdiri berjajar di tengah pulau, dia meihat betapa banyak penjaga sedang tertarik oleh sebuah peristiwa yang terjadi di tempat terbuka depan sebuah pondok terbesar, Li Hwa menyelinap di antara pobon-pohon dan pondok-pondok, kemudian berhasil meloncat naik ke atas sebuah pohon besar dan mengintai ke bawah.

Ada belasan orang laki-laki membentuk sebuah lingkaran lebar tempat itu. Mereka itu terdiri dari tujuh orang Nepal yang berambut panjang dan selebihnya orang Han biasa, dan rata-rata mereka bersikap kasar dan pada saat itu mereka tersenyum menyeringai lebar seolah-olah menghadapi sebuah tontonan yang menarik hati. Di ujung sana duduk seorang pemuda berwajah tampan yang menyeringai lebar dan mata pemuda tampan ini bergerak-gerak liar menyeramkan. Melihat sikap dan pakaiannya yang seperti pakaian seorang putera bangsawan itu, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang yang tinggi kedudukannya di antara mereka, dan bahkan Li Hwa dapat menduga bahwa agaknya pemuda itu adalah Ouwyang Bouw, pemuda iblis putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang kabarnya memiliki kekejaman melebihi ayahnya.

Akan tetapi pada saat itu, yang menarik perhatian Li Hwa adalah tontonan yang membuat belasan orang itu tertarik, yaitu yang terdapat di tengah-tengah lingkaran mereka. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita. Melihat bentuk wajah dan model rambut mereka, mudah diketahui bahwa laki-laki dan wanita itu tentulah bangsa asing Nepal seperti tujuh orang pria yang menonton di situ. Laki-laki itu tinggi besar, usianya antara empat puluh tahun, sedangkan wanitanya berkulit putih tidak seperti kaum prianya, berusia antara tiga puluh tahun. Yang mengherankan hati Li Hwa adalah bahwa bahwa kedua orang itu telanjang bulat sama sekali! Wanita itu kelihatan takut, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar memandang ke sana-sini seperti orang minta tolong. Sedangkan yang pria hanya menunduk, kelihatannya seperti orang yang sudah putus harapan dan menyerahkan diri kepada nasib.

Tiba-tiba pemuda tampan yang bermata liar, yang memang bukan lain adalah Ouwyang Bouw itu, mengangkat tangan ke atas dan agaknya ini merupakan isyarat karena semua orang yang tadinya menonton sambil berbisik-bisik, kini diam semua, dan hanya memandang ke arah wanita telanjang bulat yang berusaha sedapat mungkin untuk menggunakan kedua tangannya menutupi tubuhnya, lengan kiri melintang di depan dada dan tangan kanan menutupi bagian bawah pusarnya, kedua kaki dirapatkan dan wanita itu berlutut setengah menelungkup, hanya mukanya diangkat ke atas memandang kepada para penonton dengan sinar mata minta pertolongan. Adapun laki-laki telanjang itu hanya menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya sambil berlutut dan menundukkan muka.

“Hemmm, kalian sudah tertangkap basah. Sanghida, kau mau bilang apa lagi? Mengapa engkau berjina dengan isteri Rajid?”

Laki-laki telanjang itu makin menunduk dan dengan suara lemah dia menjawab, “Saya mencinta dia, Ouwyang-kongcu.”

“Benarkah? Apa engkau menganggap dia cukup berharga, untuk kaubela dengan nyawa?”

Sanghida, orang Nepal itu, mengangguk. “Saya bersedia membelanya dengan nyawa.”

“Ha-ha-ha, agaknya Madhula pandai sekali melayanimu sehingga engkau tergila-gila, ha-ha-ha!” Ouwyang Bouw tertawa dan semua orang yang menonton ikut pula tertawa, kecuali seorang di antara mereka yang bertubuh gemuk, seorang Nepal yang mukanya merah.

“Heii, Madhula! Engkau yang berjina dengan laki-laki lain, apakah senang kepada Sanghida daripada kepada suamimu sendiri?” Kembali Ouw-yang Bouw bertanya, kini ditujukan kepada wanita itu.

Wanita itu menoleh dan memandang kepada Ouwyang Bouw dengan sinar mata penuh kemarahan. Li Hwa dari atas dapat melihat bahwa wanita itu memang cantik sekali, kecantikan yang aneh, khas dan menarik.

“Ouwyang-kongcu, engkau tentu lebih tahu apa yang telah terjadi! Karena aku telah menolak cintamu, menolak bujukan dan rayuanmu untuk berjina denganmu karena aku selalu setia kepada suamiku, maka engkau telah mempergunakan Si Jahanam Sanghida ini untuk memperkosaku! Engkau menaruh racun dalam minuman kami sehingga kami berdua teracun dan mabok, melakukan perbuatan di luar kesadaran kami berdua selagi suamiku kausuruh berjaga di luar. Kemudian kau sendiri yang sengaja menangkap kami dan menuduh kami berjina. Semua ini kaulakukan untuk membalas penolakanku terhadap bujukanmu!”

“Tutup mulutmu!” Ouwyang Bouw membentak marah sekali, akan tetapi kemudian dia tertawa-tawa lagi. Sikap yang berubah-ubah ini amat menyeramkan, dan Li Hwa yang berada di atas pohon menduga bahwa agaknya pemuda itu memang benar-benar gila seperti disohorkan dunia kang-ouw.

“Semua tuduhan itu tidak ada buktinya. Akan tetapi perjinaan kalian sudah jelas terbukti. Kalau kalian tidak berjina, mana mungkin kalian berdua berada dalam satu kamar dan satu pembaringan tanpa pakaian sama sekali?” Dia tertawa dan semua orang tertawa pula.

Wanita itu tidak menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan kepada Ouwyang Bouw.

Pemuda ini kembali tertawa bergelak dan secara tiba-tiba menghentikan ketawanya, memandang wanita itu dan berkata, “Madhula, engkau memang cantik sekali, pantas diperebutkan oleh kaum pria. Heii, Rajid, apa katamu? Setelah kau melihat sendiri betapa isterimu dipeluk dan ditiduri oleh Sanghida, beranikah engkau mempertahankannya dan melawan Sanghida?”

Orang Nepal yang bermuka merah dan bertubuh gemuk, yang sejak tadi bermuke muram dan tidak Ikut tedawa seperti yang lain, meloncat ke depan, memandang kepada dua orang yang telanjang itu, kemudian meludah ke bawah dan berkata, “Perbuatan mereka yang terkutuk ini sudah jelas! Anjing jantan ini harus dibunuh dan anjing betina ini pun tidak patut dibiarkan hidup!”

“Ha-ha-ha, kalau begitu, kuberikan Sanghida kepadamu, Rajid!” kata Ouw-yang Bouw.

Mendengar ucapan ini, orang Nepal yang gemuk itu mengeluarkan suara teriakan keras dan tubuhnya sudah cepat menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan terkepal ke arah kepala Sanghida yang telanjang. Biarpun tubuhnya gemuk, akan tetapi orang Nepal bermuka merah ini gerakannya cepat, menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, dengan tangan kiri masih menutupi bawah pusarnya, Sanghida mengelak dan meloncat ke belakang. Gerakannya sigap sekali dan ketika Rajid menerjang lagi, Sanghida menangkis dengan lengan kanan.

Tubuh Rajid terhuyung ke belakang dan ternyata bahwa dia kalah tenaga.

“Rajid... aku tidak ingin bertempur denganmu...!” Sanghida berkata dan kembali dia menangkis, kini sambil menangkis, tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan Raiid dan sekali menariknya, tubuh Rajid terdorong ke depan dan hampir terbanting jatuh. Rajid makin marah, mukanya makin merah ketika dia meloncat membalik dan mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang golok melengkung dan tajam sekali.

Li Hwa yang besembunyi di atas pohon, memandang dengan alis berkerut. Dia tidak merasa ngeri menonton pertempuran karena gadis ini sudah terbiasa dengan pertempuran dan perang, apalagi dia sendiri sudah menghadapi pertandingan seringkali. Akan tetapi yang membuat dia merasa ngeri dan canggung karena malu adalah melihat betapa Sanghida bertanding dengan tubuh telanjang bulat! Selama hidupnya belum pernah dia melihat laki-laki telanjang dan kini dia melihat seorang laki-laki tinggi besar bertelanjang bulat dan berkelahi pula! Kalau mungkin, dia ingin menjauhkan pandangan matanya dari tubuh bawah laki-laki telanjang itu, akan tetapi karena dia ingin pula melihat bagaimana kesudahan perkelahian itu, terpaksa dia menonton terus dan sedapat mungkin menghindarkan pandang matanya dari bagian yang dianggap mendatangkan rasa malu luar biasa itu.

“Rajid... aku tidak mau bertanding melawanmu. Aku sudah bersalah kepadamu, kau sahabatku dan... dan Madhula...”`

“Tutup mulutmu!” Rajid membentak dan goloknya sudah menyambar lagi.

“Singgg...!” Sinar menyilaukan mata dari golok itu agaknya tentu akan dapat membabat tubuh tinggi besar itu buntung menjadi dua kalau mengenai sasaran, akan tetapi Sanghida ternyata amat tangkasnya. Kini menghadapi penyerangan lawan yang memegang golok, biarpun tingkat kepandaiannya lebih tinggi, dia terpaksa harus menggunakan kedua tangannya sehingga dia sama sekali tidak lagi dapat menutupi bagian tubuh bawahnya. Tentu saja hal ini mendatangkan penglihatan yang luar biasa, lucu sedangkan bagi para penonton pria, akan tetapi mendirikan bulu roma bagi Li Hwa!

“Rajid... maafkan aku...! Aku scorang laki-laki sejati, harus membela diri kalau diserang... dan kami... aku dan Madhula... kami melakukan hal itu tanpa kami sengaja...”

“Siuuutttt... plak! Plak!” Sambil mengelak, Sanghida berhasil menampar lengan kanan Rajid sehingga sambaran golok menyeleweng dan tamparan ke dua mengenai pundak Rajid, membuat suami yang penuh cemburu dan kemarahan ini terhuyung pula.

“Sanghida! Engkau atau aku yang harus mampus untuk memperoleh Madhula!” Rajid membentak pula. “Kalau aku mati, kau boleh mengambil dia, kalau kau yang mati, dia harus kuhukum, mampus pula!”

“Rajid...! Kau boleh membunuh aku, tapi jangan membunuh dia! Dia tidak berdosa... seperti yang dikatakannya tadi, kami terkena racun perangsang... auuhhh...!” Tiba-tiba Sanghida terhuyung ke belakang dan Rajid menubruk ke depan, goloknya menyambar.

“Crapppp.... Aduuhhh...!” Perut Sanghida terobek oleh golok, tubuhnya terjengkang dan darah muncrat keluar dari perut itu, diikuti oleh isi perut yang keluar dari luka lebar itu. Tubuh Sanghida berkelojotan, namun tidak lama karena Rajid sudah membacokkan goloknya dua kali yang membuat leher lawannya putus!

Li Hwa melihat betapa Ouwyang Bouw telah menyerang Sanghida dari jauh, dengan gerakan jari tangan dan tampak sinar merah kecil menyambar ke arah orang Nepal tinggi besar itu sehingga dia terhuyung dan terkena bacokan golok Rajid. Tahulah Li Hwa bahwa memang Ouwyang Bouw sengaja hendak membunuh Sanghida dan mungkin sekali karena dia tidak suka mendengar rahasianya dibocorkan. Li Hwa menjadi penonton tak diundang ini segera dapat menyimpulkan peristiwa itu. Jelas baginya bahwa memang agaknya semua ini sudah diatur oleh pemuda iblis itu.

Mungkin benar tuduhan Madhula yang cantik bahwa berkali-kali Ouwyang Bouw membujuk rayunya, akan tetapi selalu ditolak oleh isteri Rajid itu. Hal ini membuat Ouwyang Bouw menjadi sakit hati dan dengan curangnya pemuda itu menaruh racun perangsang ke dalam makanan atau minuman Sanghida dan Madhula sehingga terjadilah perjinaan di antara mereka, perjinaan di luar kesadaran mereka yang terpengaruh racun, pada saat Rajid disuruh berjaga oleh Ouwyang Bouw. Tentu saja pemuda iblis ini sudah mengatur perangkapnya dan begitu kedua orang mabok itu melakukan perjinaan, dia menangkap basah mereka!

Semua orang yang menonton kelihatan puas dengan pertunjukan kekejaman ini, dan melihat waiah mereka yang seolah-olah haus darah dan kini semua mata ditujukan kepada tubuh telanjang Madhula seperti serombongan srigala kelaparan, Li Hwa bergidik. Dia berhadapan dengan orang-orang yang telah mati perasaan kemanusiaan mereka, manusia-manusia yang haus darah dan yang menganggap kekejaman seperti sebuah kesenangan yang mengasyikkan. Maka timbullah perasaan kasihan kepada wanita yang bernasib malang itu. Li Hwa adalah seorang yang masih amat muda, maka tentu saja perasaannya amat halus dan mudah tersinggung. Melihat peristiwa ini di depan mata, dia sudah melupakan tugasnya, tugas sebagai seorang penyelidik yang ingin menyelidiki tentang bokor emas. Kini baginya yang terpenting hanyalah urusan yang terjadi di depan matanya, yaitu menolong Madhula! Kelemahannya sebagai seorang muda inilah yang mengkhawatirkan hati Panglima The Hoo dan Pendekar Cia Keng Hong ketika mendengar bahwa dara itu melakukan penyelidikan seorang diri, sungguhpun mereka tahu bahwa ilmu kepandaian dara itu sudah cukup tinggi untuk bekal penyelidikan berbahaya itu.

Madhula roboh telentang menyaksikan kematian Sanghida yang demikian menyedihkan. Dia tidak mencinta laki-laki tinggi besar itu. Dia mencinta suaminya, dan karena cintanya ini pula maka tidak seperti kaum wanita lainnya di pulau itu yang bahkan mengharapkan rayuan Ouw-yang-kongcu, dia menolak godaan pemuda itu. Akan tetapi dia pun tahu kini bahwa Sanghida mencintanya. Sahabat baik suaminya dan dia itu sesungguhnya mencintanya, dan kini menjadi korban karena kelicikan Ouwyang Bouw. Semua mata para penonton kini dapat berpesta pora dan melahap tubuh wanita cantik yang telentang polos itu, tidak terlindung lagi oleh kedua lengannya.

“Perempuan hina ini pun harus mampus!” Rajid yang seperti kemasukan setan karena dendam dan cemburu, mengangkat goloknya membacok ke arah tubuh isterinya yang biasanya merupakan sebuah benda hidup yang paling disayangnya di dunia ini.

“Singg... tringggg!” Golok itu terlempar ketika terbentur oleh sebuah batu kecil yang dilemparkan oleh tangan Ouw-yang Bouw. Melihat ini, Li Hwa menjadi kagum dan maklumlah dia bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tak lemah!

“Ehhh... Ouwyang-kongcu... mengapa...?” Rajid memandang pemuda itu dengan mata penuh penasaran.

“He-heh, sabarlah, Rajid. Memang dia harus dihukum, akan tetapi hukuman seperti yang hendak kaulakukan itu kurang menarik. Pokoknya kau menghendaki dia mati, bukan? Nah, biarlah dia dihukum dengan caraku dan panggil semua wanita ke sini agar mereka menyaksikan pula betapa berat hukuman bagi mereka yang berani melanggar hukum kami di sini!” Rajid mengangguk-angguk dan beberapa orang laki-laki sudah berlari memanggil semua wanita yang berada di pulau itu. Hanya ada dua puluh orang wanita tua muda yang datang ke situ dengan muka pucat. Para suami girang, dengan hal ini, mengharap isteri-isteri mereka takut dan tidak berani berjina dengan laki-laki lain. Akan tetapi, para wanita yang memandang dengan muka pucat itu mempunyai pengertian lain ketika mendengar kata-kata Ouwyang-kongcu.

“Kalian lihatlah. Begini nasib wanita yang berani melanggar hukum kami di sini!” kata Ouwyang-kongcu setelah menyuruh Rajid mengikat tubuh telanjang Madhula kepada sebuah tiang, diikat kaki dan tangannya pada tiang itu sehingga tubuh bagian depannya tampak nyata, sedikit pun tidak terlindung, kecuali rambut hitam panjang terurai yang sebagian menggantung ke depan. Para wanita itu mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Ouwyang-kongcu, hukuman ini akan jatuh menimpa wanita yang berani menolak majikan muda itu!

Ouwyang Bouw yang agak miring otaknya itu memang mempunyai kegemaran yang aneh dan mengerikan. Dia sudah tergila-gila oleh wanita cantik maupun tidak cantik. Bahkan pernah dia tergila-gila oleh seorang wanita nenek-nenek, dan pernah pula tergila-gila kepada seorang anak perempuan yang masih kecil! Dan mereka semua harus menyerahkan diri kepadanya! Dia sama sekali tidak pemah memperkosa, dia tidak mau memperkosa wanita. Akan tetapi dia mempunyai cara lain untuk membuat setiap orang wanita tunduk kepadanya dan mau menyerahkan diri, yaitu dengan ancaman dan bayangan penyiksaan yang mengerikan. Hampir semua wanita, besar kecil, tua muda yang menyerah kepadanya tentu didorong oleh rasa takut dan ngeri, bukan karena sukarela karena sikap pemuda ini, biarpun wajahnya tampan dan tubuhnya menarik, jelas menunjukkan gejala otak miring yang mendatangkan rasa ngeri dan menjijikkan!

Madhula masih pingsan ketika Ouwyang-kongcu mengeluarkan sebatang suling kecil yang panjangnya hanya dua jengkal. Mulailah pemuda itu menyuling. Suara suling yang melengking dengan nada tinggi membuat Li Hwa terkejut karena dia maklum bahwa suara melengking yang menggetar itu mengandung tenaga khi-kang yang kuat sekali. Dia melihat betape semua penonton kini berkumpul di belakeng Ouwyang-kongcu, seolah-olah menanti sesuatu dengan penuh ketegangan. Adapun tubuh Madhula yang diikat pada tiang itu pun menghadap kepada mereka, sedangkan mayat Sanghida yang berlumuran darah menggeletak tak jauh diri kaki Madhula.

Sebelum ular itu tiba, Li Hwa sudah dapat menduga dengan hati diliputi penuh kengerian bahwa suara suling dari pemuda iblis itu tentulah merupakan tanda panggilan kepada ular-ularnya. Hal ini mudah saja diduga karena pertama, pemuda itu adalah putera Si Raja Ular! Ke dua, mereka berada di Pulau Ular, dan memang biasanya pada ahli ular mengundang ular-ular mereka dengan suara melengking tinggi, biasanya suara suling.

Memang tepat dugaan Li Hwa. Akan tetapi ketika ular-ular itu datang, biarpun dia sudah menduganya, dia menjadi kaget bukan main karena tidak menyangka bahwa yang datang demikian banyaknya! Rombongan demi rombongan ular berdatangan dari empat penjuru, dan warna kulit mereka pun berbeda-beda, ada yang hijau, ada yang hitam kemerah-merahan, kuning, dan ada yang belang-belang. Biarpun Li Hwa tidak mengenal banyak ular, namun dia dapat menduga bahwa ular-ular itu tentulah ular berbisa yang amat berbahaya. Ular-ular yang lewat di dekat Ouwyang-kongcu dan anak buahnya, seperti takut menghadapi api, dan binatang yang merayap dekat cepat menyingkir dan mengambil jalan memutar. Setelah ular-ular itu tiba di tempat itu, Li Hwa hampir tidak kuat melihat lebih lama lagi. Ular-ular yang mendesis-desis itu kini berebutan menyerang mayat Sanghida, melahap dan merobek-robek mayat itu sehingga mayat itu seperti hidup kembali karena bergerak-gerak ke sana-sini, seperti berkelojotan. Dalam waktu sebentar saja, habislah semua kulit, daging dan isi perut mayat itu, tinggal rangka yang kering, tidak ada setetes pun darah yang tampak karena semua telah dijilat habis!

Kini ular-ular itu mulai merayap, ke arah Madhula dan wanita ini pun baru siuman dari pingsannya. Dengan mata terbelalak ia tadi melihat betapa potongan-potongan daging terakhir dari Sanghida dibuat perebutan ular-ular itu. Dia maklum akan nasibnya, akan tetapi betapapun dia berusaha untuk memejamkan kedua matanya menerima maut, kedua mata itu malah selalu terbelalak kembali memandang ke arah ular-ular yang merayap-rayap di sekelilingnya. Ular-ular itu adalah ular-ular kecil, paling besar dua kaki panjangnya dan jumiahnya ada empat puluh ekor lebih, menggeliat-geliat seperti sekumpulan cacing, akan tetapi tidak ada yang berani menyerang Madhula, agaknya menanti “perintah” suara suling yang masih terus melengking sejak tadi.

Memang benar demikian. Ular-ular itu seolah-olah bergerak menurut getaran suara suling dan tiba-tiba suara suling itu berubah merendah. Ular-ular itu kelihatan gelisah, kemudiah seekor demi seekor, ular-ular itu meninggalkan tempat itu, membuat semua penonton menjadi heran.

“Mengapa dia tidak dihukum?” Rajid membanting kaki dan memandang penasaran.

Ouwyang Bouw sudah melepas sulingnya dan sambil memandang ke arah tubuh Madhula dia berkata, “Kurang menarik, kalau disuruh mengeroyok ular-ular kecil yang sudah kenyang itu. Dia yang sudah mau berjina dengan Sanghida, tentu tidak puas dengan ular-ular kecil itu. Kaulihatlah saja.” Sambil berkata dia lalu menempelkan lubang suling di depan bibirnya dan kini terdengarlah lengking suara suling yang berbeda dari tadi. Suaranya naik turun dengan nada rendah, namun mengandung getaran yang amat kuat sehingga para penonton ada yang kelihatan menggigil kedua kakinya.

Tak lama kemudian terdengarlah suara mendesis-desis. Li Hwa terkejut dan memandang ke bawah. Seekor ular yang amat besar sedang merayap lewat dibawah pohon. Dia menggigil jijik. Ulat ini berkulit hitam kehijauan, sepasang matanya seperti mata manusia, lidahnya merah menjilat-jilat keluar, besar tubuhnya sama dengan pahanya dan panjangnya ada sepuluh kaki!

Madhula juga sudah melihat ular itu dan wanita ini mengeluarkan rintihan panjang, mukanya makin pucat dan matanya terbelalak, penuh kengerian. Suara suling menuntun ular itu mendekat dan terdengarlah suara berbisik orang-orang yang menonton karena tegang dan tertarik ketika melihat betapa dengan perlahan ular besar itu mendekati tiang di mana tubuh Madhula terikat. Ular itu mendesis-desis, lidahnya yang merah makin sering menjilat-jilat. Melihat bentuk mulutnya yang besar agaknya dia akah sanggup menelan tubuh wanita Nepal itu! Suara suling makin meninggi dan kini moncong ular mulai naik dan lidah itu mulai menjilati kaki yang telanjang. Madhula mengeluarkan suara rintihan ketika merasa betapa ular mulai merayap naik melalui betisnya! Semua penonton menahan napas, mata mereka memandang melotot seperti hendak meloncat keluar dari pelupuknya. Ketika suara rintihan Madhula makin sering dan ular itu mentaati suara suling, kini merayapi seluruh tubuh telanjang itu, membelit-belit dan tampak seolah-olah ular itu membelai-belai tubuh Madhula seperti hendak mengajak wanita itu bermain cinta, para penonton menelan ludah penuh nafsu berahi dan gairah. Makin hebat suara suling yang ditiup Ouwyang Bouw, makin cepat ular itu bergerak-gerak, mengeliat-geliat menyelusuri seluruh tubuh Madhula yang kini sudah memejamkan mata dan merapatkan kedua bibirnya, sama sekali tidak bersuara lagi.

Li Hwa menanti saat baik dan ketika kepala ular itu kebetulan merayap naik dan lebih tinggi dari kepada Madhula, tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar perak meluncur ke arah kepala ular itu. Ular itu menggerakkan kepala seperti gila, berkelojotan dan tanpa disengaja dia mempererat belitannya pada tubuh Madhula. Kembali ada sinar perak menyambar dan kepala ular yang sudah ditembusi dua batang jarum perak itu terkulai, tubuhnya perlahan-lahan melepaskan belitan. Akan tetapi betapa kagetnya hati Li Hwa ketika dia melihat darah bertetesan dari kedua bibir Ma-dhula yang dirapatkan. Dia cepat meloncat turun dari atas pohon sambil berteriak, “Ouwyang Bouw manusia iblis yang kejam!”

Ouwyang Bouw sudah meloncat bangun, dan semua pembantunya yang tadi terheran-heran melihat ular itu menghentikan permainannya bahkan berkelojotan di bawah, kini juga marah dan siap untuk mengeroyok orang yang menjadi pengacau. Akan tetapi ketika mereka melihat seerang dara yang amat cantik jelita melayang turun dari atas pohon, mencabut pedang dan membabat putus belenggu kaki tangan Madhula mereka tercengang dan memandang kagum! Madhula membuka mata, membuka mulut akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar karena begitu mulutnya dibuka, darah menyembur keluar dan dengan penuh kengerian Li Hwa maklum bahwa wanita itu telah menggigit putus lidahnya sendiri! Dalam keadaan ngeri dan tersiksa, Madhula mengambil keputusan nekat, membunuh diri dengan menggigit lidahnya. Lidah itu putus di tengahnya, dan tidak mungkin nyawanya dapat tertolong lagi, apalagi karena dia telah mengeluarkan banyak sekali darah yang tadi dia paksa menelan darahnya sendiri agar jangan sampai Ouwyang-kongcu menyelamatkan nyawanya.

Melihat keadaan wanita itu, Li Hwa yang tadi memeluk tubuh yang terguling setelah belenggunya terlepas, perlahan-lahan menurunkan tubuh Madhula. Tubuh itu lemas dan orangnya sudah tidak ingat apa-apa lagi, darah terus mengalir keluar dari lidah yang buntung. Madhula dalam sekarat, seperti juga tubuh ular yang sekarat, hanya bedanya, kalau tubuh Madhula sama sekali tidak bergerak, tubuh ular itu berkelojotan, menggeliat-geliat dan darah mengalir keluar dari dua lubang kecil di antara kedua matanya.

Ouwyang Bouw tadi juga terkejut sekali. Gadis cantik itu telah dapat menyclundup ke dalam pulau tanpa ada yang tahu, bahkan telah berada di atas pohon tanpa dia sendiri mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dara itu tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apalagi ketika dibuktikannya dengan membunuh ularnya menggunakan jarum, ini menjadi tanda pula bahwa dalam hal penggunaan senjata rahasia jarum dara itu belum tentu kalah lihai olehnya yang juga mahir menggunakan senjata rahasia jarum kecil merah yang berbisa. Akan tetapi, kini Ouwyang Bouw telah dapat menguasai rasa kagetnya, matanya terputar-putar menggerayangi seturuh tubuh Li Hwa dan dia tertegun penuh kekaguman. Seorang dara yang masih muda, seorang perawan yang amat jelita, akan tetapi juga amat gagah perkasa! Begitu melihat Li Hwa, sekaligus hati Ouwyang Bouw telah jatuh! Selama petualangannya dengan wanita dari segala macam bentuk dan usia, dia merasa belum pernah dia memperoleh seorang dara muda seperti yang kini berdiri di depannya dengan sikap gagah perkasa itu! Dan dia harus memperolehnya, dengan cara bagaimanapun juga!

“Aihhh, harap Nona sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan seorang tamu agung seperti Nona sehingga tidak mengadakan penyambutan selayaknya!” Ouwyang Bouw berkata sambil melangkah maju dan memberi hormat dengan menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada.

Diam-diam Li Hwa terkejut dan terheran. Tak disangkanya bahwa pemuda yang disohorkan sebagai seorang iblis muda yang kejam dan gila ini ternyata pandai bersikap demikian sopan-santun seperti seorang terpelajar dan bersusila! Terseret oleh sikap yang begitu hormat, otomatis dia pun mengangkat kedua tangan, membalas penghormatan. Teringat akan hal ini, dia terkejut dan cepat menurunkan lagi tangannya, diam-diam dia maklum betapa berbahaya dan lihainya pemuda ini yang dengan gerak dan kata-kata sudah dapat menyeretnya!

“Aku Souw Li Hwa bukan tamu dan tidak mengharap sambutan. Akan tetapi menyaksikan kekejaman yang biadab tadi, aku tak mungkin mendiamkannya saja. Bukankah engkau yang disebut Ouwyang Bouw, pemuda iblis yang gila?”

Biarpun anak buahnya sudah mengeluarkan suara marah, Ouwyang Bouw tersenyum saja mendengar makian ini, bahkan memandang makin kagum dan sesaat kedua bola matanya seperti lupa untuk berputaran seperti biasa. “Dugaanmu benar, Nona Souw Li Hwa. Aku adalah Ouwyang Bouw, majikan muda dari Pulau Ular ini, dan aku merasa senang sekali dapat berkenalan denganmu. Bolehkah aku mengetahui apa sesungguhnya kehendak Nona memberi kehormatan kepada kami dengan mengunjungi pulau ini?”

Ditanya demikian, barulah Li Hwa teringat dan terkejut. Celaka! Rusaklah usahanya menyelidiki bokor emas yang katanya dibawa ke pulau itu! Akan tetapi karena sudah terlanjur, maka dia membentak, “Cih! Siapa sudi berkenalan denganmu? Aku datang hendak membunuhmu dan membersihkan pulau ini dari iblis-iblis macam kalian dan ular-ular jahat!”

“Hayaaa...! Dari mana datangnya nona cantik yang sombong ini?” Tiba--tiba terdengar seruan orang dan muncullah dua orang kakek yang dipandang oleh Li Hwa dengan penuh perhatian. Yang berseru tadi adalah seorang kakek tua berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi sekali, tinggi kurus dengan leher panjang sehingga kalau dia bergerak-gerak, tubuhnya seperti seekor ular. Matanya sipit memandang tajam penuh selidik dan melihat kakek kurus tidak ragu lagi hati Li Hwa menduganya bahwa tentu kakek inilah Si Raja Ular Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok. Adapun kakek ke dua adalah seorang kakek yang lebih tua lagi, tujuh puluh tahun lebih usianya, juga tubuhnya tinggi kurus dan dia tidak berkata-kata, hanya terbatuk-batuk, rambutnya tidak terpelihara, panjang penuh uban, juga jenggot dan kumisnya tidak terpelihara. Karena pakaiannya sederhana, kakek ini makin kelihatan jorok (kotor). Diam-diam Li Hwa menduga dengan hati penuh ketegangan bahwa tentu kakek ini yang disebut datuk sesat nomor satu Toat-beng Hoat-su. Tahulah dia bahwa dia telah dikurung oleh orang-orang jahat yang berlimu tinggi, namun sedikit pun hatinya tidak merasa takut, bahkan dia tidak mau berpura-pura lagi, dengan sikap gagah dan suara lantang dia bertanya,

“Apakah kalian berdua orang tua Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su?”

lanjut ke Jilid 047-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar