Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 45

Petualang Asmara Jilid 045

<--kembali

“Jelas bukan perahu nelayan, akan tetapi, kelau perahu pelancong mengapa sampai begini jauh meninggalkan pantai?”

“Kita tabrak saja biar terguling dan menjadi mangsa ikan!” kata temannya.

Pemimpin orang-orang Nepal itu memegang kemudi perahu, diputarnya perahu Angin Barat sehingga kini membelok dan dengan laju meluncur ke arah perahu kecil. Kakek yang memegang dayung, menggunakan kedua tangan mendayung perahu untuk menghindari tubrukan. Memang terhindar, akan tetapi ombak yang dibuat oleh Angin Barat membuat perahu kecil oleng.

“Berpegang erat-erat!” kakek itu berseru, kemudian dayungnya bergerak cepat dan perahu kecil itu meluncur terbang ke atas perahu besar Angin Barat!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya orang-orang Nepal itu melihat perahu kecil itu dapat “terbang” ke atas perahu besar mereka. Tentu saja perahu kecil itu bukannya terbang, melainkan terlempar ke atas ketika kakek kurus itu menggunakan dayungnya untuk menekan langkan perahu Angin Barat dan menggunakan kakinya untuk mengait papan di dalam perahu kecilnya. Dari kenyataan ini saja dapat dibayangkan betapa lihainya kakek kurus itu.

Dua orang Nepal hendak menyerbu, akan tetapi kakek itu menggunakan dayungnya menampar dan dua orang itu roboh pingsan! Terdengar suara keras ketika perahu kecil itu mendarat di atas dek perahu Angin Barat, dan empat orang Nepal dengan marah datang menerjang. Kembali dayung itu bergerak empat kali dan empat orang ini pun roboh tak dapat bangkit kembali!

Tentu saja pemimpin orang Nepal yang roboh dan patah tulang pundaknya itu terkejut sekali dan timbul rasa takut di hatinya ketika kakek tinggi kurus itu melangkah menghampirinya.

“Hayo katakan di mana adanya Toat-beng Hoat-su!”

Pemimpin orang Nepal itu makin terkejut ketika mendengar orang tinggi kurus ini membentak kepadanya dalam bahasa Nepal yang cukup baik! Tahulah dia bahwa orang tinggi kurus ini adalah seorang aneh yang berkepandaian tinggi, maka sambil merintih dia berkata. “Ampunkan... hamba... hamba tidak tahu... kami hanyalah nelayan-nelayan...”

“Hemm... masih berani membohong? Kalian tentu pelarian dari penjaga di Nepal yang belum lama ini memberontak dengan bantuan Ban-tok Coa-ong, bukan? Jangan mengira aku tidak mengerti. Kau berhadapan dengan pengawal pertama dari Panglima Besar The Hoo.”

Mendengar ini, orang Nepal itu dan juga teman-temannya yang sudah siuman terkejut dan cepat mereka menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun adalah orang kurus tinggi itu bukan lain adalah Pengawal Thio Hok Gwan, Si Pengantuk yang lihai itu! Dan orang yang datang bersamanya dalam perahu adalah dua orang pengawal yang selalu menemaninya, yaitu Si Muka Pucat Kui Siang Han dan Si Muka Merah Song Kim! Setelah selesai menggempur para pemberontak di Sungai Huang-ho, dan mendengar bahwa bokor emas dilarikan Kwi-eng Niocu, Si Pengantuk ini mengajak dua orang teman itu untuk pergi melakukan pengejaran dan hal itu disetujui oleh Souw Li Hwa. Memang pengawal suhunya itu bertugas untuk mencari kembali bokor emas, maka dia mengalah dan dialah yang mengawal tawanan ke kota raja, setelah dia membebaskan Yuan de Gama.
“Aku sudah tahu bahwa Kakek Toat-beng Hoat-su pagi tadi kalian bantu di hutan, kemudian lari ke perahu Angin Barat ini. Hayo katakan ke mana dia pergi bersembunyi.”

Tahulah kini orang-orang Nepal itu bahwa mereka tidak mungkin dapat membohong lagi. “Dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong telah pergi dengan perahu layar kecil ke Pulau Ular.”

“Pulau Ular? Di mana dia itu? Tempat apa?” Tio Gwan membentak.

“Kami sendiri belum lama dibawa oleh Ban-tok Coa-ong ke tempat itu, dan letaknya di bagian selatan Teluk Pohai. Pulau kosong yang amat berbahaya, penuh ular berbisa.”

Tio Hok Gwan tidak berani sembrono melakukan pengejaran ke pulau itu. Dia tahu betapa lihainya Toat-beng Hoat-su. Menghadapi datuk pertama ini saja belum tentu dia dan dua orang pembantunya dapat menang, apalagi di sana masih ada Ban-tok Coa-ang yang amat lihai dan berbahaya, dan kabarnya putera dari Raja Ular itu juga amat lihai, ditambah lagi dengan tempat berbahaya penuh ular dan mungkin anak buah mereka yang banyak jumlahnya.

Dia lalu memerintahkan dua orang pembantunya untuk melayarkan perahu Anginn Barat itu ke pantai, kemudian menyerahkan enam orang Nepal itu sebagai tahanan di kota terdekat dan dia sendiri bersama dua orang pembantunya, segera kembali ke kota raja untuk melaporkan kepada Panglima Besar The Hoo akan bokor emas yang kini berada di Pulau Ular!

Kun Liong berjalan seorang diri sambil kadang-kadang tersenyum geli. Dia masih teringat akan nikouw yang diobatinya dan merasa geli kalau teringat betapa tanpa disangka-sangkanya, dia berkesempatan untuk meraba-raba pinggul seorang wanita yang begitu halus dan mulus! Biarpun dia tidak berniat melakukan perbuatan itu melainkan terpaksa untuk mengobatinya, namun kini teringat akan itu, teringat pula betapa nikouw itu menjadi malu, dia tersenyum sendiri. Betapa anehnya semua hal yang dialaminya, pikirnya. Hal-hal yang berhubungan dengan wanita! Dia selalu merasa senang berurusan dengan wanita! Banyak sudah terjadi hal yang menyenangkan.

DENGAN Liem Hwi Sian yang diciumnya dan yang ternyata menyatakan cinta kepadanya! Dengan Cia Giok Keng yang cantik jelita akan tetapi galak dan gagah perkasa. Dengan Yo Bi Kiok yang juga menyatakan cinta kepadanya! Dengan Souw Li Hwa yang angkuh. Kemudian dengan nikouw yang hanya dikenal pinggul sebelahnya saja! Aneh semua itu! Sudah ada dua orang dara cantik jelita mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi mana mungkin dia membohongi mereka dan mengaku cinta? Tidak, dia tidak sekejam itu! Dia tidak mau membohongi dara-dara yang amat disukanya itu.

Mengenangkan kedua orang dara itu, dia merasa kasihan kepada Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengapa dua orang dara itu begitu bodoh dan jatuh cinta kepadanya? Benarkah bahwa mereka mencintanya? Mengapa ketika dia berterus terang menyatakan bahwa dia suka akan tetapi tidak cinta, ketika ternyata bahwa dia tidak membalas cinta mereka, kedua orang dara itu menjadi marah dan berduka? Apakah cinta itu menuntut balasan? Cintakah atau nafsu berahikah itu yang mendorong pria dan wanita saling mendekat dan masing-masing mencurahkan perasaannya dengan tuntutan yang menjadi dasar, tuntutan itu saling memiliki, saling menguasai, dan saling menyenangkan dan disenangkan? Kalau ada tuntutan seperti itu, sudah pasti sekali tercipta kecewa, duka, cemburu dan benci. Benarkah bahwa cinta menimbulkan se-mua kesengsaraan ini? Kalau begitu, bu-kanlah cinta namanya, yang menimbulkan kecewa, duka, cemburu, benci dan iri adalah pikiran, ingatan. Kalau pikiran memasuki hati, semuanya menjadi keruh
dan rusak, karena pikiran memperkuat si aku sehingga segala gerak tubuh, segala gerak hati dan pikiran selalu ditujukan demi kepentingan dan kesenangan si aku. Maka cinta pun menjadi bukan cinta lagi karena di situ terkandung tuntutan supa-ya aku dicinta, aku diperhatikan, aku dipuaskan, engkau menjadi milikku, aku menggantungkan semua harapan akan kepuasan dan kenikmatan hidup kepada-mu. Selama engkau melayani segala ke-butuhanku lahir batin, selama engkau memuaskan aku, selama engkau menye-nangkan aku, selama engkau menjadi mi-likku pribadi, mulut ini tak segan-segan menyatakan “aku cinta padamu”. Akan tetapi kalau engkau mengingkari semua tuntunanku itu, kalau engkau tidak mau melayani kebutuhan lahir batin dariku, kalau engkau mengecewakan aku, kalau engkau tidak menyenangkan aku, kalau engkau melepaskan diri dariku dan lari kepada orang lain, cintaku berubah men-jadi cemburu dan benci!

Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya. Yang begitukah cinta? Betapa rendah tipis dangkal dan tidak bermutu! Betapapun juga, dia menyesal teringat bahwa dia menyebabkan dua orang dara itu berduka dan kecewa. Akan tetapi, nanti dulu! Benarkah dia yang menyebabkan mereka berduka? Bukankah yang menjadi penyebab adalah pikiran mereka sendiri? Di dunia ini apa pun yang menimpa diri secara batiniah, yang menimbulkan perasaan girang-sedih, cinta-benci, puas-kecewa dan suka-duka, sama sekali tidak disebabkan dari luar, melainkan disebabkan oleh ingatannya sendiri. Ingatan yang menimbulkan itu semua. Kalau orang tidak mengingat akan masa lalu apakah ada itu yang dinamakan benci, duka dan sebagainya? Membenci seorang lain tentu ditimbulkan oleh ingatan akan masa lalu, apa yang telah dilakukan oleh orang itu terhadap dirinya, tentu saja yang merugikan akunya. Ingatannya yang menjadi gara-gara kesengsaraan hidup. Dapatkah manusia hidup bebas dari ingatan, bebas dari pikiran?

Kun Liong menggerakkan kedua pundaknya dan melanjutkan perjalanannya memasuki hutan terakhir di kota Liok-bun. Agaknya kota ini dinamakan Liok-bun (Enam Pintu) karena pintu gerbangnya berjumlah enam buah.

Ingatan memang ada perlunya, dia menjawab pertanyaannya sendiri sambil melangkah ke dalam hutan yang indah itu. Akan tetapi ingatan itu hanya perlu untuk menghadapi urusan lahiriah yang nyata, untuk keperluan pemeliharaan dan kelangsungan hidup ini. Tanpa ingatan tentu akan kacau-balau kehidupan lahir-iah ini. Akan tetapi, sekali ingatan membayangkan segala hal yang lalu dan yang akan datang, membayangkan peristiwa-peristiwa yang dibagi dua sebagai hal yang menyenangkan dan tidak menye-nangkan, kalau pikiran memasuki batin, maka terciptalah segala perasaan yang bertentangan dan menjadikan hidup manusia ini seperti dalam neraka yang diceritakan dongeng.

Tiba-tiba Kun Liong sadar dari lamunannya oleh suara yang datang terbawa angin. Suara tambur dan terompet, suara banyak orang, suara pasukan yang besar! Suara itu datang dari arah depan, dari kota Liok-bun. Agaknya di kota itu terdapat banyak pasukan, pikirnya sambil mempercepat langkahnya karena dia menjadi ingin sekali tahu mengapa tempat itu penuh dengan pasukan.

Ketika dia melangkah dengan tergesa-gesa itu, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya. “Eh, bukankah kau Kun Liong...?”

Kun Liong cepat menahan langkahnya dan menoleh ke kiri. Betapa girangnya ketika dia mengenal Pendekar Sakti Cia Keng Hong sedang duduk seorang diri di bawah pohon! Cepat dia menghampiri dan memberi hormat.

"Cia-supek...! Mengapa Supek berada di sini seorang diri?"

Cia Keng Hong yang berpakaian sederhana dan membungkus rambut kepalanya dengan sutera kuning itu tersenyum. “Duduklah, Kun Liong. Aku sedang mengaso dan menjauhkan diri dari kesibukan pasukan. Betapa indah menyenangkan di tempat sunyi ini setelah berpekan-pekan sibuk menghadapi banyak orang dan melihat kekerasan dan perang. Sungguh benar ucapan seorang pujangga kuno bahwa di mana ada manusia, di situ tentu timbul kekerasan, kekejaman, dan kekacauan. Kebenaran itu terasa sekali kalau kita duduk menyendiri di tempat yang sunyi dari kehadiran manusia seperti di tempat ini.”

Kun Liong duduk di atas rumput dengan pendekar sakti itu. “Memang tepat sekali apa yang Supek katakan. Teecu (murid) sendiri sudah berkali-kali menyaksikan kekerasan dan kekejaman yang terjadi antara manusia. Apakah selama kita berpisah di Ceng-to dahulu itu keadaan Supek baik-baik saja?”

Cia Keng Hong menarik napas panjang. “Entah bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu itu. Aku telah melapor ke kota raja, pasukan dikirim dan aku ditugaskan untuk membantu. Pasukan pemerintah berhasil menghancurkan pemberontak, sisanya melarikan diri cerai-berai dan memasuki hutan-hutan. Mereka sudah terpecah belah, tidak membahayakan keamanan negara lagi. Bahkan orang-orang asing itu telah menghubungi pemerintah dan dengan langsung dari kota raja mereka diperbolehkan untuk mendarat dan berdagang, akan tetapi terbatas di sekitar pantai Pohai saja. Aku melihat perang, melihat ratusan orang roboh dan tewas, saling bunuh dan saling sembelih. Entah keadaan seperti itu baik atau buruk.” Pendekar sakti itu menarik napas panjang.

Kun Liong juga menghela napas. Dia sendiri merasa ngeri menyaksikan keganasan manusia saling bunuh.

“Bagaimana dengan engkau sendiri?” Cia Keng Hong bertanya. “Apa yang terjadi dengan gadis yang kita tolong dari rumah Hek-bin Thian-sin di Ceng-to dahulu itu?”

“Nona itu bernama Liem Hwi Sian dan bersama kedua orang suhengnya dia menerima tugas dari gurunya yang bernama Gak Liong di Secuan untuk membantu pemerintah menyelidiki para pemberontak.”

“Hemmm, jadi murid dari pendekar Secuan itu! Pantas dia gagah dan berani sekali, sungguhpun kurang perhitungan dan hampir celaka. Pendekar Gak Liong di Secuan adalah murid keponakan dari Panglima Besar The Hoo dan namanya sudah terkenal, sungguhpun dia sendiri tidak pernah terjun ke dunia ramai. Bagaimana dengan usahamu mencari kedua orang tuamu?”

Kun Liong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya yang gundul.

“Belum ada hasilnya sama sekali, Supek. Teecu merasa heran sekali ke mana perginya Ayah dan Ibu.”

Cia Keng Hong memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam, kemudian terdengar dia berkata, “Kun Liong, aku merasa khawatir sekali akan keadaan orang tuamu. Kalau mereka itu masih hidup, tidak mungkin mereka berdua menyembunyikan diri selama bertahun-tahun ini, setidaknya mereka tentu akan datang mengunjungi kami di Cin-ling--san.”

Kun Liong terkejut dan memandang wajah pendekar itu. “Maksud... maksud Supek...?”

“Aku khawatir bahwa telah terjadi sesuatu dengan mereka, Kun Liong.”

“Bagaimana Supek dapat menduga demikian?” Kun Liong bertanya, wajahnya agak pucat.

“Pertama, ayah bundamu adalah orang-orang gagah yang tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut sampai bertahun-tahun. Ke dua, kalau mereka menghadapi kesukaran, ada dua tempat di mana mereka dapat datang, yaitu di Cin-ling-san atau di Siauw-lim-si. Akan tetapi di kedua tempat itu mereka tak pernah muncul. Dan ke tiga, kedaan dunia makin kacau, orang-orang golongan sesat bermunculan dan mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apalagi dengan munculnya orang-orang asing. Karena itu, setelah aku sendiri berusaha menyelidiki dan mendengar-dengar tentang mereka tanpa hasil seolah-olah orang tuamu lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak, mulailah aku ragu-ragu apakah mereka itu masih hidup.”

“Supek...!”

“Kun Liong, kita sebagai manusia harus berani menghadapi kenyataan hidup yang bagaimanapun juga. Kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan, kita harus berani membuka mata menyambut datangnya segala sesuatu yang kita hadapi, baik itu merupakan hal yang semanis-manisnya atau sepahit-pahitnya. Tidak perlu mencari-cari hiburan kosong bagi hati yang dirundung kekhawatiran, karena dengan demikian rasa takut akan makin menggerogoti hati. Kenyataannya adalah bahwa orang tuamu telah lenyap tak meninggalkan bekas, dan ini adalah tidak wajar sama sekali kecuali tentu saja kalau mereka itu telah tewas.”

Kun Liong memejamkan kedua matanya. Sampai lama dia duduk mengatur napas untuk menahan pukulan batin yang timbul dari kekhawatirannya mendengar kata-kata pendekar sakti itu. Cia Keng Hong memandang dengan penuh rasa terharu dan juga kagum. Pemuda ini menarik hatinya dan makin condong hatinya untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda ini. Dia mendiamkan saja sampai pemuda itu membuka kembali kedua matanya dan sepasang mata yang tajam itu kelihatan membasah.

“Supek benar. Kita harus berani menghadapi kenyataan hidup, betapapun pahitnya. Dan setelah teecu pikir-pikir, memang tidak mungkin Ayah dan Ibu bersembunyi sampai bertahun-tahun ini. Besar sekali kemungkinan bahwa kedua orang tua teecu itu, telah... telah tewas. Namun tetap teecu akan mencarinya, setidaknya mencari tahu bagaimana hal itu terjadi, kalau benar-benar mereka telah tewas.”

Cia Keng Hong mengangguk. “Memang semestinya begitu, dan aku pun akan berusaha mencari keterangan dari kenalan-kenalanku. Sekarang engkau hendak ke mana, Kun Liong?”

“Pertama-tama, teecu akan melanjutkan usaha teecu mengambil kembali dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Kwi-eng-pang. Selain itu, juga teecu harus minta kembali pusaka bokor emas yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.”

“Bokor emas? Pusaka The-taiciangkun yang hilang?” Cia Keng Hong bertanya.

Kun Liong mengangguk dan dia lalu dengan singkat menceritakan tentang perebutan pusaka yang telah berada di tangannya itu dan terpaksa dia melemparkannya kepada Kwi-eng Niocu dengen harapan kelak dapat dia minta kembali.

Mendengar penuturan itu, Cia Keng Hong menarik napas panjang. “Aihhhh, tugasmu sungguh amat berbahaya dan berat, Kun Liong. Telaga Kwi-ouw sangat terkenal sebagai tempat yang amat berbahaya, sesuai dengan namanya. Entah sudah berapa hanyak tokoh kang-ouw tewas ketika berusaha mendatangi pulau di tengah telaga yang dijadikan sarang Kwi-eng-pang.”

“Teecu pernah mendarat di pulau itu, Supek.”

Cia Keng Hong kelihatan terkejut. “Heh? Benarkah?”

Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dia pergi ke pulau di tengah Telaga Setan itu, betapa di tepi telaga dalam hutan dia bertemu dengan Toat-beng Hoat-su yang tidak dikenalnya, kemudian betapa dia ditipu oleh pelayan wanita Kwi-eng Niocu sehingga tertawan dan dia dijadikan rebutan antara Siang-tok Mo-li dan Toat-beng Hoat-su sehingga akhirnya dia menjadi tawanan kakek datuk kaum sesat nomor satu itu.

“Aihhh, kalau begitu engkau sama sekali belum mengenal Telaga Setan dan pulaunya itu,” kata Cia Keng Hong. “Dan masih untung engkau tertawan secara itu karena andaikata engkau yang belum mengenal rahasia Telaga Setan itu datang sendiri ke sana dan melakukan pendaratan, mungkin engkau akan celaka dan tewas dalam jebakan-jebakan rahasia yang amat berbahaya. Aku pemah mendengar penuturan seorang sahabat yang telah berhasil menyelidiki rahasia itu maka kalau kau hendak mendarat ke sana, sebaiknya engkau mempelajari rahasia-rahasia yang akan kaulukiskan untukmu.”

Pendekar sakti itu lalu bertepuk tangan dan menggapai kepada seorang penjaga di luar pintu gerbang kota Liok-bun yang tampak dari situ. Perajurit yang memegang tombak itu berlari-lari mendatangi dan memberi hormat kepada pendekar ini. Cia Keng Hong menyuruhnya mengembalikan kertas dan alat tulis. Penjaga itu cepat berlari memasuki pintu gerbang kota Liok-bun. Tak lama kemudian dia datang berlari-lari membawa kertas lebar bergulung dan alat tulis yang diminta pendekar itu. Kemudian, penjaga itu berdiri agak menjauh sambil berdiri dengan tombak tetap di tangan, berjaga dan menanti perintah selanjutnya dari pendekar itu.

Cia Keng Hong lalu mulai membuat gambaran telaga dan pulaunya sambil memberi petunjuk kepada Kun Liong yang memandang penuh perhatian.

“Tepi Telaga Kwi-ouw dari tiga jurusan, yaitu barat, selatan dan timur, merupakan daerah yang kelihatannya datar dan aman, akan tetapi justeru tiga bagian inilah yang paling berbahaya bagi para pendatang dari luar. Tiga daerah ini penuh dengan alat-alat jebakan yang berbahaya sekali.”

“Akan tetapi, Supek. Ketika teecu ikut dengan perahu pelayan itu, teecu juga melalui dari selatan.”

“Karena pelayan itu telah mengenal daerahnya, tentu sala dia dapat mendayung perahunya dengan aman. Di bagian selatan itu, di bawah permukaan air terdapat banyak sekali ranjau yang berupa batu karang di bawah permukaan air, akan tetapi sekali saja disentuh oleh perahu asing, anak panah yang hanyak sekali dan yang sudah dipasang di dalam batu karang buatan itu akan meluncur ke luar dan menyerang penumpang perahu secara tiba-tiba dan hebat sekali. Selain ini, begitu orang mendarat di pulau itu dari selatan, biarpun di situ penuh pasir, namun terdapat begian pasir yang berputar dan menyedot kaki orang yang menginjaknya sehingga tanpa petunjuk orang yang mengenal daerah itu, sekali kakimu terseret, sukarlah bagimu untuk menyelamatkan diri.”

Kun Liong terbelalak dan bergidik ngeri.

“Daerah barat yang amat berbahaya karena penuh dengan lubang-lubang jebakan yang tertutup dengan rumput hidup, dan di dalam setiap lubang terisi banyak ular berbisa yang siap menyambut setiap orang yang terjeblos masuk. Juga air di bagian itu banyak sekali terdapat ganggang yang hidup di bawah permukaan air, penuh dan dapat mendamparkan perahu yang lewat. Tentu saja bagi mereka yang sudah hafal, mereka tahu bagian mana yang tumbuhan ganggangnya tidak begitu banyak dan dapat dilalui perahu. Kemudian bagian timur, biarpun tidak dipasangi jebakan pada permukaan air telaga, namun di situ terdapat air berpusing yang amat berbahaya, dapat menyeret dan menyedot perahu ke dalam pusingan air. Agaknya ada sebuah lubang besar di bagian ini yang menciptakan air berpusing. Sedangkan di daratan pulau di timur ini terdapat alat-alat rahasia yang kalau dilanggar kaki asing, akan membuat timbunan batu besar yang menggunung di bagian ini runtuh ke bawah dan tentu saja akan menyerang para pendatang, sukar untuk menyelamatkan diri dari serangan batu-batu besar itu.”

“Ihhh, keji sekali!” Kun Liong berseru dan merasa lega bahwa dia telah diberi tahu akan hal-hal yang membahayakan itu sehingga dia dapat lebih berhati-hati.

“Satu-satunya jalan adalah dari utara. Akan tetapi bagian ini yang bersih dari jebakan merupakan daerah yang amat sukar didatangi. Tepi daratan pulau di bagian ini amat terjal, merupakan tebing tinggi yang curam sekali dan tidak mudah didaki dari bawah.” Cia Keng Hong membuat lukisan tebing tinggi itu sambil memberi penjelasan. “Akan tetapi, sahabatku itu pernah melihat beberapa kera memanjat ke atas dan hal ini memberi dia petunjuk bagaimana caranya mendatangi pulau dengan aman. Yaitu dengan memanjat akar-akar yang menonjol keluar di dinding tebing itu, memanjat melalui akar dan batu menonjol. Tentu saja hal ini harus dilakukan dengan hati-hati, membutuhkan keringanan tubuh dan kecekatan, karena biasanya hanya monyet saja yang dapat memanjat ke atas. Sekali injakan kaki atau pegangan tangan terlepas, engkau akan terjatuh ke bawah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri lagi dari maut.”

“Agaknya, memang jalan melalui tebing itu yang paling aman,” Kun Liong berkata sambil memandang lukisan su-peknya.

“Betapapun juga, engkau harus berhati-hati sekali karena siapa tahu bahwa Kwi-eng-pang yang kuat itu kini telah memasangi jebakan pula pada jalan paling sukar akan tetapi paling aman ini.”

Tiba-tiba perajurit yang tadi berdiri berjaga dengan tombak di tangan berseru, “Tai-hiap, Liu-ciangkun datang menghadap!”

Kun Liong menoleh dan Cia Keng Hong memandang seorang perwira yang bertubuh tinggi besar. Perwira itu cepat memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan berkata, “Seorang utusan dari kerajaan datang membawa sepucuk surat yang disampaikan kepada Tai-hiap, dari Panglima Besar The Hoo sendiri.”

Cia Keng Hong menggulung gambar itu, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian dia bangkit berdiri dan menerima sampul tertutup. Setelah mengucapkan terima kasih dan perwira itu pergi pula dan berdua dengan Kun Liong, pendekar itu kembali duduk di bawah pohon dan membuka surat dari Panglima Besar The Hoo. Wajahnya yang masih tampan dan gagah tidak membayangkan sesuatu ketika membaca surat itu sehingga sukar bagi Kun Liong untuk menduga apakah surat itu membawa berita baik ataukah buruk. Setelah selesai membaca, Cia Keng Hong melipat surat, menyimpan ke dalam saku jubahnya, memandang Kun Liong dan berkata, “Ahhh, sungguh hebat sekali, bokor emas itu benar-benar menimbulkan geger di dunia kang-ouw. Kun Liong, bokor itu telah terlepas lagi dari tangan Kwi-eng Niocu seperti yang kauceritakan kepadaku dan kini bokor itu berada di tangan Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong. Mereka membawa bokor itu ke Pulau Ular! Panglima Besar The Hoo mendengar laporan ini dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Hemmm, Pulau Ular di Teluk Pohai. Berbahaya sekali! Dan Nona Souw secara lancang pergi sendiri melakukan penyelidikan ke sana!”

Kun Liong terkejut. “Apakah Supek maksudkan Nona Souw Li Hwa?”

“Engkau sudah mengenalnya?”

“Sudah beberapa kali teecu berjumpa dengan Nona Souw Li Hwa,” jawab Kun Liong singkat. Dia merasa malu kalau harus menceritakan betapa dia pernah menjadi tawanan nona cantik! “Bukankah dia murid Panglima Besar The Hoo?”

“Memang dari gurunya dia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi dia masih amat muda dan belum berpengalaman. Bagaimana dia begitu lancang untuk pergi seorang diri ke Pulau Ular? Betapa mungkin dia dapat melawan dua orang datuk kaum sesat yang lihai itu? Ah, sungguh mengkhawatirkan sekali. Panglima The Hoo minta kepadaku untuk merampas kembali bokor itu, akan tetapi berita tambahan tentang kepergian nona itu ke Pulau Ular, benar-benar membikin gelisah.”

“Supek, kalau begitu, biarlah teecu lebih dulu menyusulnya ke sana.”

Cia Keng Hong memandang kepadanya. Dia maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, apalagi kini telah menjadi pewaris Thi-khi--i-beng sehingga boleh diandalkan. Dia sendiri harus mengepung Pulau Ular itu karena kalau dia menyerbu begitu saja, kedua orang datuk itu akan dapat melarikan diri dan membawa bokor emas. Maka dia harus mengepung ketat pulau itu, barulah dia akan turun tangan. Dengan demikian, dua orang datuk itu tidak akan mendapat kesempatan untuk membawa lari bokor emas milik Panglima The Hoo itu.

“Baiklah kalau kau suka membantu, Kun Liong. Memang bokor itu perlu sekali diselamatkan. Kalau sampai terjatuh ke tangan penjahat, bisa berbahaya. Bokor itu selain mengandung petunjuk tempat rahasia penyimpan harta pusaka terpendam yang amat besar jumiahnya, juga penyimpanan kitab-kitab pusaka pelajaran ilmu silat yang mujijat. Demikian menurut keterangan yang kuperolch dari Panglima The Hoo sendiri. Bokor itu dahulu milik seorang pendeta perantau berilmu tinggi yang kemudian meninggal dunia di Nepal. Setelah berpindah-pindah tangan, akhirnya bokor itu terjatuh ke tangan Panglima The Hoo dan sampai sekarang, belum ada yang dapat membuka rahasia tempat penyimpanan pusaka itu.”

Kun Liong mengangguk-angguk. “Memang teecu harus ikut berusaha mendapatkannya kembali, bukan hanya mengingat bahwa teecu ikut bersalah membiarkan bokor terjatuh ke tangan datuk kaum sesat, juga dahulu teecu sudah berjanji kepada perwira pengawal Tio Hok Gwan untuk kelak menghaturkan bokor itu kepada Panglima The Hoo sendiri!”

Kun Liong tidak mendapat keterangan sejelasnya tentang letak Pulau Ular, kemudian dia menerima bekal secukupnya dari Cia Keng Hong, karena untuk keperluan itu dia harus membeli sebuah perahu di pantai Pohai. Setelah menerima petunjuk dan nasihat, Kun Liong berangkat secepatnya seorang diri menuju ke daerah Teluk Pohai, sedangkan Cia Keng Hong lalu berunding dengan para perwira yang memimpin pasukan pemerintah untuk mengatur siasat, mengepung Pulau Ular dan mengatur persiapan.

lanjut ke Jilid 046-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar