Jumat, 07 Februari 2014

Serial Pedang Kayu Harum 32

Pedang Kayu Harum Jilid 032

<--kembali

Sukar? Bukankah suhunya dahulu sering mengatakan bahwa tidak ada hal yang sukar didunia ini? Ataukah dia yang bodoh? Juga gurunya pernah mengatakan bahwa tidak ada manusia pintar atau bodoh di dunia ini. Keng Hong memejamkan matanya, mengingat-ingat. Apapun yang dikatakan gurunya dahulu tentang sukar dan mudah ,tentang bodoh dan pintar? Ia ingat betapa dahulu dia membantah, kemudian betapa dia dapat menangkap inti sari wejangan itu dan dapat membenarkannya. Ah, dia ingat sekarang. "Di dunia ini tidak ada hal yang sukar maupun yang mudah, muridku. Juga tidak ada atau tidak tepatlah kalau disebut seseorang itu bodoh atau pun pintar. Biasanya, orang berpendapat sukar adalah pendapat orang bodoh dan mudah itu pendapat orang pintar. Sebetulnya tidak demikian. Tidak ada sukar , tidak ada mudah, tidak ada bodoh tidak ada pintar. Yang ada hanya MENGERTI dan BELUM MENGERTI. Yang mengerti tentu bisa dan kalau sudah bisa menjadi mudah. Yang belum mengerti tentu tidak bisa dan kalau belum bisa menjadi sukar. Jadi , tidak ada hal sukar di dunia ini selama orang mau belajar agar mengerti dan bisa. Kalau belum mengerti, carilah, pergunakan akal budi yang dianugerahkan kepadamu sebagai manusia. Segala hal pasti akan dapat diatasi!"

Demikianlah wejangan gurunya yang kini terngiang di telinganya. Cari,cari caranya! Tentu akan dia dapatkan! Biar dia terhalang jurang begini lebar, biarpun tampaknya amat sukar dan tidak ada jalan keluar, hal ini hanya karena dia BELUM MENGERTI jalannya maka harus dia cari sampai dapat!

Dengan landasan wejangan gururnya ini, sejak saat itu Keng Hong memutar otak, mencari akal bagaimana dia akan dapat keluar dari tempat itu. Menggunakan ilmu kepandaiannya melompati jurang, tidak akan mungkin. Hal seperti ini tentu hanya dapat dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam dongeng seperti Sun Go Kong atau Kauw cee Thian si raja kera putih dalam dongeng See-yu saja! Dapatkah gurunya melompati jurang selebar ini? Kiranya tidak mungkin. Dan bagaimana dengan Thai kek Couwsu? Dapatkah kakek yang dikatakan berkepandaian seperti dewa itu dapat melompati jurang ini? Kalau dapat bukan melompat namanya, melainkan terbang! Tidak masuk akal! Dia hanya mencari jalan, menggunakan akalnya. Manusia berakal budi, tidak seperti binatang yang talanjang. Manusia berpakaian...ah, pakaian..! Keng Hong memandang pakaian yang menutupi tubuhnya. Pakaian warna putih dari sutera yang dia ambil dari dalam peti. Agaknya peninggalan Thai kek Couwsu. Pakaian putih dari sutera halus dan amat kuat, lagi ulet dan kuat! Benar! Pakaian-pakaian putera, sutera ulet itulah!

Keng Hong berlari-lari memasuki kamar, membuka peti dan mengeluarkan semua pakaian sutera putih. Ia mengukur-ukur, kemudian merobek-robek semua pakaian itu, menjadi robekan-robekan kecil panjang, kemudian memilinnya menyambung-nyambung sehingga menjadi tali sutera yang panjang sekali, hanya sebesar kelingking akan tetapi amat ulet dan kuat!

Disambungnya terus sampai habis semua pakaian sutera putih yang kini berubah menjadi tali yang amat panjang. Disambungnya tali sutera ini dengan tambang yang masih setengah jarak jurang itu. Kemudian, dengan jantung berdebar dan hati berdoa kepada Thian, dia melontarkan ujung tambang yang ada kaitannya ke seberang setelah mengikatkan ujung tali sutera pada batu karang. Tenaga lontarannya amat kuat dan baja kaitan itu melayang ke seberang, tepat mengait pada batu di seberang. Tali sutera itu ternyata cukup panjang! Terbentanglah kini "jembatan" terbuat dari tabang disabung tali sutera! Keng Hong hampir berteriak-teriak saking girang hatinya. Akan tetapi dia menekan kegirangannya. Dia tidak mabuk kemenangan. Bahaya masih harus ditempuhnya. Sebelum sampai ke seberang, dia harus menyeberang melalui "jembatan' ini dan hal itu tidaklah semudah kalau menyeberang tambang seperti setahun yang lalu. Tapi sutera itu amat kecil lagi licin dan dia masih harus mempertaruhkan nyawanya karena kalau tali itu kurang kuat dan putus...! Akan tetapi tidak ada jalan lagi dan soalnya hidup selamanya di tepat itu, sampai mati sebagai seorang kakek tua renta dan kurus kering, mati kesunyian. Kalau dia menyeberang, andaikata gagalpun hanya akan menemui kematian. Akan tetapi kalau berhasil..!

Keng Hong menyelipkan Siang-bhok-kiam di ikat pinggangnya, menyembunyikan pedang itu di balik bajunya yang kebesaran ,baju sutera putih, satu-satunya yang tidak dia robek-robek untuk dijadikan tali penyeberang. Kitab Thai-kek Sin-kun dia masukkan dalam saku baju.

Setelah berdiri mengheningkan cipta di tepi jurang, menengadah dan di dalam hati mohon perlindungan Thian dan mohon bantuan arwah Thai-kek Couwsu dan dan Sin-jiu kiam-ong, Keng Hong lalu mengerahkan ginkangnya dan mulai melangkah menginjak tali sutera yang melintang jurang didepannya. Setelah kedua kakinya menginjak tali sutera dan merasa yakin bahwa tali itu cukup kuat, tidak bergoyang dan tubuhnya dapat berdiri tegak lurus, dia lalu mulai melangkah maju perlahan-lahan .Menurutkan hasrat hatinya yang ingin cepat-cepat sampai di seberang, ingin dia berlari cepat. Akan tetapi dia menyabarkan hatinya dan tetap menjaga keseimbangan tubuhnya tetap tegak sehingga jembatan itu tidak terlalu bergoyang dan tidak terlalu berat tubuhnya membebani tali sutera. Bahkan bernapas pun dia tahan sehingga napasnya panjang-panjang dan lambat. Seolah-olah jarak yang setahun lalu setiap hari ditempuhnya itu kini menjadi lima kali lebih panjang dari biasa! Seolah-olah tidak akan pernah sampai di seberang. Akan tetapi kakinya kini tidak menginjak tali sutera lagi, melainkan menginjak tambang, tanda bahwa jarak setengahnya telah dilalui.

Kini dia mempercepat langkahnya dan tak lama kemudian dia melompat ke tepi jurang di mana dahulu Cui Im berdiri mentertawakannya! Keng Hong menjatuhkan diri berlutut ke arah tempat di mana tadi dia mulai menyeberang, seakan -akan tadi dia hendak menghaturkan terima kasih atas bantuan arwah Thai Kek Couwsu dan Sin-jiu Kiam-ong. Memang sesungguhnyalah bahwa dia menerima bantuan kedua orang sakti itu, yaitu dengan mempelajari ilu-ilmu dari kedua orang sakti itu. Kalau dia tidak memiliki sinkang yang hebat, dan kalau ilmunya tidak diperdalam setahun lagi menurut petunjuk kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, terutama sekali kalau dia tidak menerima peninggalan pakaian sutera putih dari pendiri Kun-lun-pai itu, agaknya tidaklah secepat itu dia akan dapat menyeberangi jurang!

Dari pengalaman Keng Hong ini ternyatalah bahwa berharga atau tidaknya sebuah warisan.lebih luas lagi, berharga atau tidaknya sebuah benda, tergantung daripada pengetrapan penggunaannya. Kadang-kadang, benda yang biasanya dianggap tidak berharga, sekali waktu pada saatnya yang tepat amatlah dibutuhkan dan berubah menjadi benda yang amat berharga.

***

Sebaliknya, benda yang biasa dianggap amat berharga, jika tidak diperlukan akan menjadi benda yang sama sekali tidak ada harganya! Apa artinya segunung emas di padang pasir yang kering tiada airnya? Manusia yang hampir mati kehausan di situ akan dengan rela dan senang hati menukar setiap bongkah emas dengan seteguk air! Dalam halnya Keng Hong, setumpuk pakaian tua itu ternyata jauh lebih berharga daripada segala macam pusaka yang diperebutkan oleh tokoh kang-ouw seluruh dunia!

Keng Hong segera berlari memasuki lorong dan memeriksa semua ruangan. Tepat sekali yang dia duga, Cui Im lenyap dan demikian pula semua kitab peninggalan suhunya berikut tiga batang pedang pusaka , dan sebagian besar perhiasan-perhiasan yang paling indah. Wanita itu benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan unuk memuaskan nafsu ketamakannya!

Biarpun senjata-senjata pusaka di situ masih banyak , dan juga barang-barang berharga tersebut daripada emas perak dan permata, namun Keng Hong tidak ada sedikitpun niat di hatinya untuk membawa benda-benda pusaka itu. Ia hanya membawa pedang Siang-bhok-kiam dan kitab Thai-kek Sin-kun, kemudian dia terus keluar dari tempat itu melalui lorong atau terowongan kecil sambil merangkak, seperti ketika dia datang dahulu.

Masih teringat dia betapa Cui Im yang merangkak di belakangnya ketakutan, kadang-kadang memegang lengannya, kadang-kadang mendorong pinggulnya Keng Hong tersenyum. Betapapun marah dan bencinya kepada Cui Im, kalau teringat akan kelakukan gadis itu geli juga hatinya kadang-kadang.

Di ujung lorong, dia melihat batu-batu bertumpuk dan dia dapat menduga bahwa pintu yang menutup terowongan itu hancur kena gempuran batu-batu dari atas. Tadinya dia memikirkan bagaimana Cui Im akan dapat keluar dari tempat itu tanpa bantuan pedang Siang-bhok-kiam sebagai kunci. Akan tetapi ternyata bahwa batu yang menutupi lubang itu pecah-pecah, agaknya tertimpa batu dari atas dan tentu ketika keluar dari tempat ini,Cui Im telah membongkar batu-batu itu. Melihat banyaknya batu-batu itu, Keng Hong dapat membayangkan betapa sukarnya pekerjaan itu. Tentu akan waktu berhari-hari! Diam-dia dia tersenyum memikirkan betapa Cui Im dengan susah payah membongkar batu-batu yang menimbuni mulut terowongan, dan betapa pekerjaan susah payah itu tanpa disangka-sangka kini dipergunakan oleh Keng Hong yang dapat keluar tanpa bekerja sedikit pun!

Setelah keluar dari lubang dan berada dilereng batu pedang, Keng Hong menarik napas dalam. Angin gunung meniup mukanya dan dia memicingkan matanya terhadap sinar matahari. Hatinya terharu. Ia merasa seolah-olah hidup kembali !

Lima tahun lamanya dia berada di sebelah dalam batu pedang, seolah-olah telah terkubur di situ.

Dan setahun lamanya dia merasa telah terjebak tanpa ada jalan keluar. Kini dia telah berada di lereng batu pedang! Keng Hong mengangkat sebuah batu besar, sebesar kerbau sehingga lubang itu tertutup oleh tumpukan batu-batu besar. Kemudian dia mulai merayap turun dengan hati penuh kegembiraan dan dengan semangat tinggi. Tugas penting terbentang luas di depannya. Andaikata tidak ada Cui Im yang mengganggu, tentu sekarang dia telah membawa kitab-kitab dan pusaka-pusaka untuk di kembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Akan tetapi, semua pusaka itu telah dirampas oleh Cui Im, maka tugas utama dan pertama baginya adalah mencari Cui Im untuk merampas kembali benda-benda itu. Nama besar suhunya tetap akan tercemar dan tetap akan dimusuhi dunia kang-ouw sebelum benda-benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak. Akan tetapi sebelum mencari Cui Im dia akan pergi lebih dulu mengunjungi Kun-lun-pai untuk menyerahkan Thai-kek Sin-kun peninggalan pendiri Kun-lun-pai dan sekalian minta maaf atas segala kesalahannya yang lalu. Ia percaya bahwa fihak Kun-lun-pai, terutama sekali kiang Tojin, akan dapat memaafkannya, dan andaikata tidak, dia pun tidak gentar dan dia percaya bahwa tingkat kepandaiannya yang sekarang, dia akan dapat dengan mudah menyelamatkan diri! Dengan gembira Keng Hong lalu bersenandung, melagukan lagu ciptaannya ketika dia dahulu sering kali bermain suling sambil duduk di punggung kerbaunya, ketika di masih menjadi kacung Kun-lun-pai.

Keng hong mengira bahwa turunnya dari batu pedang tentu akan dihadang oleh orang-orang kang-ouw yang masih teringat akan semua pengalamannya lima tahun yang lalu. Memang, pengalaman-pengalaman yang paling pahit merupakan kenang-kenangan yang paling mengesankan! Ia mereka-reka dan merenungkan bagaimana dia akan menghadapi mereka yang pernah mengejar-ngejarnya lima tahun yang lalu. Setelah dia mengalami hal-hal yang pahit dengan Cui Im, kini dia dapat melihat bahwa dibandingkan dengan Cui Im, tokoh-tokoh kang-ouw itu tidaklah begitu jahat dan tamak. Cui Im tega melakukan hal-hal keji hanya terdorong semata-mata oleh nafsunya yang amat besar. Adapun para tokoh kang-ouw itu mengejar-ngejarnya dengan mempunyai dasar yang tentu saja mereka itu masing-masing mengangkapnya benar. Mereka yang memperebutkan pusaka peninggalan gurunya, merasa benar karena mereka itu telah di sakiti hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong dan merasa berhak menagih hutang itu dengan jalan memiliki pusaka peninggalannya. Adapun mereka yang mengejarnya untuk membunuh juga merasa benar karena mereka menaruh dendam kepadanya atas kematian murid-murid mereka.

Akan tetapi setelah dia tiba di bawah batu pedang, keadaan disitu sunyi saja, tidak tampak seorang pun manusia. Bahkan ketika dia meneliti dari tempat tinggi ini, melihat ke bawah ke sekililing puncak, tidak ada tampak bayangan manusia, sunyi sekali keadaan di situ. Ah, mungkin kini Kun-lun-pai telah melakukan penjagaan ketat, melarang semua orang asing mendatangi wilayah Kun-lun! Ia menuruni puncak Kiam-kok-san di mana markas Kun-lun-pai berada. Disepanjang jalan sunyi saja , tidak ada pula tampak tosu-tosu Kun-lun-pai melakukan penjagaan.

Tiba-tiba dia melihat segunduk tanah seperti kuburan orang, akan tetapi tidak ada batu nisannya dan sebagai gantinya terdapat sebongkah batu kasar yang ada tulisannya, diukir kasar, buruk dan berbunyi; DI SINI THIAN TI HWESIO MATI DI TANGAN ANG-KIAM BU-TEK. Ia terkejut. Thian Ti Hwesio adalah seorang di antara tokoh Siauw-lim-pai yang kitabnya dicuri Sin-jiu Kiam-ong. Hwesio itu lihai sekali, merupakan hwesio tingkat dua dari Siauw-lim-pai, Siapakah Ang-kiam Bu-tek (Pedang Merah Tanpa Tanding) itu? Tiba-tiba jantung Keng Hong berdebar, mukanya panas saking marahnya ketika dia teringat dan menduga keras bahwa Ang-kiam Bu-tek itu tentulah Ang-kiam Tok-sian -li Bhe Cui Im! Siapa lagi kalau bukan dia? Untuk dapat membunuh seorang seperti Thian Ti Hwesio haruslah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia tahu bahwa tingkat Cui Im sekarang amatlah hebat .

***

Dan julukan itu! Ang -kiam (Pedang Merah) adalah pedang gadis itu, dan agaknya dia membuang julukan Tok-sian-li (Dewi Racun) dan menggantinya menjadi Bu-tek (Tanpa Tanding). Dan memang dalam tingkatnya sekarang ini, Cui Im tidak memerlukan lagi bantuan racun untuk menghadapi lawan. Setiap pukulannya dengan sendirinya sudah merupakan tangan beracun yang amat ampuh, karena gadis itu mencampuradukkan ilmu dipelajarinya dari kitab-kitab peninggalan gurunya dengan ilmu yang diterimanya dari Lam-hai Sin-ni, tentu saja ilmu silat golongan sesat.

"Cui Im, kalau benar-benar engkau yang melakukan pembunuhan itu, aku akan menghajarmu!" gerutunya di dalam hati.

Ia berjalan terus dan di dalam hutan itu dia melihat sebatang pohon besar yang sebagian kulit batangya terbuka dan pada kayu pohon yang putih itu terdapat pula ukiran-ukiran huruf yang buruk kasar : DI SINI KIU-BWE TOANIO DIKALAHKAN ANG-KIAM BU-TEK. Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak salah lagi, tentu perbuatan Cui Im semua ini. Ukiran huruf-huruf itu demikian halus yang hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli pedang, sedangkan bentuk huruf-huruf itu sendiri amatlah buruknya yang hanya menunjukkan tulisan seorang setengah buta huruf seperti Cui Im.

Ia kini mengerti mengapa keadaan di situ begitu sunyi, mengapa tidak ada tokoh-tokoh kang-ouw yang menghadangnya. Kiranya mereka itu ada yang menghadangnya setahun yang lalu akan tetapi tentu saja mereka itu hanya berjumpa dengan Cui Im dan celakalah nasib mereka begitu bertemu dengan Cui Im yang bagaikan seekor harimau ganas dan kini telah bertambah sayap itu. Pemuda itu berjalan terus dan sebelum keluar dari hutan, kembali dia melihat gundukan tanah dan ternyata dari batu terukir disitu adalah Sin-to Gi-hiap yang mati di tangan Ang-kiam Bu-tek lagi! Keng Hong membanting kakinya dengan gemas. Entah siapa lagi yang dikalahkan atau dibunuh oleh Cui Im.. Dan mengapa semua pembunuhan ini terjadi di wilayah Kun-lun-pai tanpa campur tangan fihak Kun-lun-pai bersama puluhan orang tosu turun tangan, kiranya tidak akan begitu mudah bagi Cui Im untuk mengganas.

Keng Hong bergegas menuju ke puncak Kun-lun-pai dan mendaki puncak Kun-lun-pai dan mendaki puncak tertinggi pegunungan itu yang dijadikan arkas partai Kun-lun-pai. Tiba-tiba dia berhenti dan menyelinap di balik pohon ketika dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Cepat dia berindap-indap mempergunakan ginkangnya sehingga dia dapat menghampiri tepat suara dengn cepat namun tidak menimbulkan berisik. "Sudahlah, Totiang, jangan terlalu lama menahanku di sini, nanti suamiku tahu dan.." Terdengar suara wanita.

"Ha-ha-ha, suamimu yang lemah seperti cacing itu? Tahu juga bisa apa dia?Bukankah aku jauh lebih kuat dari suamimu yang kurus kering itu? Ha-ha-haa-ha-ha, jangan tergesa-gesa, Manis, kita bersenang-senang sampai sepuasnya...!"

Keng Hong terbelalak ketika mengintai di balik semak-semak dan melihat seorang tosu empat puluh tahun, murid Kun-lun-pai, memeluk seorang wanita muda yang melihat pakaiannya tentulah seorang wanita dusun. Wanita itu cukup manis dan sikapnya genit. Keng Hong terheran-heran. Betapa mungkin terjadi hal seperti ini? Seorang anak murid Kun-lun-pai bermain asmara dengan seorang wanita isteri penduduk dusun? Padahal sepanjang pengetahuannya, para tosu Kun-lun-pai memegang teguh pantangan mengadakan hubungan dengan wanita! Dan dalam hal itu, para pimpinan Kun-lun-pai memegang teguh peraturan dan berdisiplin keras sekali. Akan tetapi dia segera teringat akan Lian Ci Tojin yang dahulu memperkosa Tan Hun Bwee, maka hatinya menjadi khawatir. Melihat betapa Cui Im dapat mengganas di Kun-lun, dan kini melihat seorang anak murid Kun-lun-pai berani melanggar pantangan di tempat yang begitu dekat dengan markas Kun-lun-pai, bahkan dindingnya sudah tampak dari situ, membuat dia menduga bahwa tentu terjadi perubahan di Kun-lun-pai. Kemana perginya Kiang Tojin si orang kuat dari Kun-lun-pai ? Dan mengapa Thian Seng Cinjin, ketua Kun-lun yang sakti itu, menjadi begini lemah?

Keng Hong menyingkap semak-semak itu dan berkata nyaring, "Totiang, aku ingin bicara denganmu!" Lalu dia meloncat mundur, memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk membereskan apa yang perlu di bereskan.

Tosu itu meloncat bangun dengan pakaian kedodoran. Saking gugup dan kagetnya karena menyangka bahwa tentulah suami wanita itu yang datang dan menangkap basah penyelewengan isterinya, sampai sukarlah dia membereskan pakaian,Akan tetapi, dia segera mengangkat muka membusungkan dada. Suami wanita ini hanya seorang dusun, mau apakah? Ia lalu menarik tangan wanita yang menggigil dengan muka pucat itu keluar dari semak-semak dan langsung berteriak-teriak.

"Petani busuk! Pinto sedang berusaha mengusir keluar siluman yang mengganggu isterimu, mengapa kau menganggu..?" Akan tetapi tosu itu menghentikan kata-katanya dan melongo memandang ke arah Keng hong yang tersenyum-senyum geli, sedangkan wanita itu tersipu-sipu malu dan menundukkan mukanya,akan tetapi dengan hati lega karena ternyata pemergok itu bukan suaminya.

"Totiang, engkau bukan mengeluarkan siluman, sebaliknya malah memasukkan setan!" Keng Hong tertawa geli, membuat tosu itu merah mukanya saking malu dan marah.

"Engkau...? Bukankah engkau ini pemuda setan itu..? Celaka, benar engkaulah orangnya !" Tosu itu lalu menerjang maju mengirim pukulan ke arah dada Keng Hong yang diterima oleh pemuda itu dengan mulut tersenyum.

"Krekkk! Auugggh!"Tosu itu meringis kesakitan sambil memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya di dekat pergelangan tangan. Ia marah sekali dan mengirim tendangan dengan kaki kiri, menendang ke arah bawah pusar Keng Hong. Pemuda ini tetap tidak menangkis atau mengelak, hanya menekuk sedikit kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah dan tendangan itu mengenai pusarnya,

"Krakkkk! Aduuuu-du-duuuuhhh…!!" Tosu itu kini mengangkat kaki kirinya ke atas, memegangi dengan tangan kiri dan berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan sambil mengaduh-ngaduh dan mendesis-desis kesakitan karena tulang-tulang jari kakinya remuk-remuk!

Wanita itu menggigil dan menahan jerit dengan menutupkan tangan di depan mulut. Keng Hong memandang kepadanya dan berkata halus, "Engkau pulanglah cepat sebelum terlihat suamimu." Mendengar ini, wanita itu lalu menggerakkan kakinya berlari menuruni gunung tanpa berani menoleh lagi. Dari belakng tampak sepasang buah pinggulnya bergerak-gerak seperti menari-nari dan Keng Hong tertawa, mengenal seorang wanita hamba nafsu berahi, seperti Cui Im!

"Totiang, sekarang ceritakanlah dengan sejelasnya keadaan Kun-lun-pai atau jawab terus terang kalau Totiang tidak ingin tulang-tulang Totiang patah-patah dan remuk semua. Nah, kumulai. Di manakah adanya Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai.

***

Tosu itu agaknya menjadi lapang dadanya. Tadinya dia mengira akan ditanya mengenai perhubungannya dengan wanita dusun itu. Ia lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tangan kirinya sibuk mengelus-ngelus secara bergantian tangan kanan dan kaki kirinya yang patah-patah tulangnya sehingga rasa nyeri berdenyut-denyut sampai menembus ubun-ubun dan jantung.

"Mengapa engkau menanyakan beliau? Thian Seng Cinjin kakek guruku itu telah meninggal dunia setahun yang lalu..."

Keng Hong terkejut, teringat akan Cui Im yang meninggalkannya setahun yang lalu. "Apa..? Siapa pembunuhnya...?

Sambil meringis tosu itu berkata, "Tidak ada yang membunuh, mati karena usia tua."

"Ahhh!" Lapang rasa dada Keng Hong. "Dan Kiang Tojin di mana?"

"Kiang-supek (uwak guru Kiang)? Ah, dia telah menjadi seorang hukuman di dalam ruangan hukuman murid-murid Kun-lun-pai!"

"Apa? Siapa yang menghukumnya?"

"Tentu saja ketua kami.."

"Siapa ketua Kun-lun-pai?"

"Dia? Eh, dia guru pinto.."

Keng Hong menjadi marah mendengar bahwa Kiang Tojin, tokoh utama di Kun-lun-pai sesudah Thian Seng Cinjin dihukum di Kun-lun-pai. Mendengar jawaban-jawaban singkat ini, dia lalu menggerakkan tangannya dan dicengkeramnya pundak tosu itu. "Jangan main-main. Hayo lekas ceritakan siapa gurumu itu!"

"Aduhhh…. Ampun..., guru pinto adalah Sian Ti Tojin.."

"Aahhhh..!" Keng Hong teringat kepada dua orang tosu itu, Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin.

"Hayo cepat ceritakan apa yang telah terjadi! Ceritakan seluruhnya kalau kau tidak ingin semua tulangmu kupatahkan!" Keng Hong mengancam.

"Ah, Keng Hong. eh, Taihiap…. Kasihanilah pinto, tidak ingatkah engkau betapa dahulu aku baik sekali kepadamu….?" Keng Hong tidak ingat lagi kepada tosu ini karena tosu Kun-lun-pai amat banyak, akan tetapi harus dia akui bahwa dahulu ketika dia menjadi kacung di Kun-lun-pai, semua tosu bersikap baik kepadanya. "Aku tidak akan mengganggumu asal saja kau suka bercerita sejujurnya tentang apa yang telah terjadi setelah Thian Seng Cinjin meninggal dunia dan apa yang menyebabkan Kiang Tojin sampai dihukum."

Sambil menahan rasa nyeri di tubuhnya, tosu itu lalu bercerita, "Setelah kakek guru meninggal dunia setahun yang lalu, terjadilah perebutan kedudukan ketua di antara tujuh orang muridnya. Terutama sekali yang berebut adalah Kiang Tojin di satu fihak dan suhu Sian TI Tojin bersama susiok Lian Ci Tojin di lain fihak. Empat orang paman guru yang lain berfihak kepada suhu, karena menurut anggapan semua murid Kun-lun-pai, Kiang-supek terlampau keras dan bengis terhadap anak murid Kun-lun-pai!"

"Hemmm, kurasa Kiang Tojin berada di fihak yang benar karena beliau adalah murid tertua, bahkan tadinya mewakili Thian Seng Cinjin. Aku yakin pula Kiang Tojin tidak akan kalah, biarpun menghadapi enam orang sutenya."

"Memang tadinya tidak kalah. Perebutan kedudukan itu menjadi pertandingan dan tidak seorang pun di antara suhu dan para susiok dapat mengalahkan Kiang-supek yaang amat lihai, akan tetapi."

"Akan tetapi apa? Hayo lanjutkan!"

"Selagi suhu dan para sutenya terdesak oleh Kiang-supek, tiba-tiba muncul Ang-kiam Bu-tek..."

"Apa? Bagaimana? Teruskan..!" Kali ini Keng Hong benar-benar terkejut sekali mendengar munculnya Cui Im di Kun-lun-pai.

"Wanita cantik jelita itu sungguh hebat! Hebat bukan main! Tidak hanya hebat kecantikannya, hebat bentuk tubuhnya, akan tetapi hebat pula ilmu pedangnya sehingga Kiang-supek terluka begitu dia turun tangan membantu suhu dan para susiok. Kiang-supek terluka dan terpaksa menyerah, lalu dihukum dan suhu diangkat menjadi ketua Kun-lun-pai, sedangkan Lian Ci susiok amat beruntung, selain menjadi wakil ketua juga agaknya dapat bersahabat baik sekali dengan wanita yang seperti bidadari itu."

"Katakan mengapa wanita itu mebantu suhumu menentang Kiang Tojin."

"Ketika itu dia memaki-maki Kiang-supek, mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu Kiang-supek pernah menangkapnya dan hal itu dianggap penghinaan maka dia datang membalas dendam dan merobohkan Kiang-supek. Dia hebat sekali dan."

Akan tetapi tubuh Keng Hong sudah berkelebat lenyap dari depan tosu itu yang saking kagum dan herannya sampai melongo, lupa akan rasa nyeri tubuhnya.

Akan tetapi setelah keheranannya mereda, kaki tangannya yang patah tulangnya itu senut-senut, rasa nyeri menyusup tulang sumsum sehingga dia merintih-rntih lalu merangkak karena tak dapat berjalan.

Keng Hong yang menjadi amat marah mendengar betapa Kiang Tojin dirobohkan Cui Im yang membantu tosu-tosu sesat macam Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, berlari cepat sekali mendaki puncak menuju ke dinding Kun-lun-pai yang sudah dekat dari tempat itu. Dia harus menolong Kiang Tojin, apapun yang terjadi, sebagai pembalasan atas segala kebaikan Kiang Tojin kepadanya. Karena kini ginkang yang dimiliki Keng Hong sudah mencapi tingkat tinggi sekali, maka tak lama kemudian dia telah tiba di pintu gerbang dinding tebal Kun-lun-pai yang terjaga oleh beberapa orang tosu.
Munculnya Keng Hong menggegerkan para tosu yang segera mengenal pemuda berpakaian putih ini, dan cepat nmereka bersiap untuk menyerang sedangkan seorang penjaga cepat-cepat lari masuk untuk menyampaikan pelaporan mengenai munculnya pemuda yang sudah dikabarkan mati itu.

"Totiang sekalian, aku datang bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, aku hanya ingin bertemu dan bicara dengan Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin!" Keng Hong berkata dengan suara nyaring. "Kamu tunggu di luar! Tidak boleh kamu masuk mengotorkan dan mencemarkan lantai Kun-lun-pai dengan kakimu yang kotor!" bentak seorang tosu.

Keng Hong memandang ke arah kedua kakinya yang tak bersepatu dan memang kotor, lalu dia menjawab, "Kaki kotor mudah saja dibersihkan dengan air, Totiang. Akan tetapi hati yang kotor sukar dicuci bersih! Apalagi kalau orang itu tidak merasa betapa kotor hatinya!"

"Wah, masih saja amat sombong bocah ini!" teriak para tosu yang tetap melarang Keng Hong melewati pintu gerbang Mereka sudah berbaris menghadang di pintu dengan senjata mereka ditodongkan, siap untuk menyerang apabila Keng Hong memaksa. Diam-dia pemuda itu mengeluh. Betapa banyaknya perubahan pada partai Kun-lun-pai yang tadinya merupakan partai besar itu, merupakan temapat bertapa para tosu yang kasar dan galak ini, kelakuan tosu yang dia patahkan tulang kakinya, lebih pantas menjadi kelakuan dan sikap anak buah perampok! Dalam waktu lima tahun saja, alangkah banyaknya perubahan terjadi di Kun-lun-pai.

Keng Hong menjadi makin penasaran dan dia berkata dengan suara tegas, "Totiang sekalian, Keng Hong bukanlah seorang yang tak mengenal budi dan aku telah berhutang budi diantara semua tosu di Kun-lun-pai, terutama sekali kepada Kiang Tojin aku berhutang budi. Ku harap Totiang sekalian suka melaporkan kepada Sian To Tojin dan Lian Ci Tojin karena aku hendak bicara dengan mereka. Aku tidak ingin menggunakan kekerasan terhadap Kun-lun-pai, akan tetapi kalau Totiang sekalian mencegah aku dengan kekerasan, apa boleh buat, aku akan memaksa masuk!"

Dengan pandang matanya yang tajam Keng Hong dapat melihat bahwa yang bersikap keras dan memandang kepadanya dengan sinar mata menentang hanya beberapa orang saja, sedangkan yang lain-lain ketika dia menyebut nama Kiang Tojin sudah menundukkan pandang mata mereka seolah-olah mereka menyimpan atau menyembunyikan perasaan hati mereka. Namun Keng Hong sudah awas dan maklum bahwa sebagian besar para tosu yang menjadi anak murid Kun-lun-pai ini masih setia kepada Kiang Tojin, hanya karena mereka bertekun dan takut kepada ketua dan wakilnya yang baru, terutama kepada Sian Ti Tojin yang merupakan orang ke dua sesudah Kiang Tojin, maka mereka terpaksa tunduk kepada perintah kedua orang tosu yang memegang pimpinan baru di Kun-lun-pai itu. Keng Hong sudah bersiap-siap untuk menggunakan kepandaiannya merobohkan mereka yang bersikap keras dan melewati mereka yang pandang matanya ragu-ragu, dan para tosu itu pun sudah siap mengeroyoknya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Mundurlah kalian semua!"

Semua tosu merangkapkan kedua tangan dan mundur ke kanan kiri, memberi jalan orang yang meneriakkan perintah itu. Tampak oleh Keng Hong dua orang tosu dan dia menahan ketawanya.


lanjut ke Jilid 033-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar