Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 99

Petualang Asmara Jilid 099

<--kembali

Kun Liong menarik napas panjang tiga kali, barulah dia dapat menenangkan gelora hatinya yang dibangkitkan oleh getaran cinta kasihnya kemudian berkata, “Hong Ing, setelah keadaan telah menjadi baik kembali, ayahmu telah sembuh sama sekali, kini aku...aku... terus terang meminangmu untuk menjadi isteriku, Hong Ing.”

Sejenak mereka berpandangan, kemudian kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan mukanya ditundukkan. Mereka sudah saling menyatakan cinta tanpa sungkan dan malu-malu lagi, akan tetapi mendengar pinangan untuk menjadi isteri pemuda yang dikasihinya ini, Hong Ing menjadi canggung dan malu juga.

“Bagaimana jawabanmu, Hong Ing?”

“Kun Liong, kenapa... kenapa engkau memilih aku menjadi... isterimu?”

“Kenapa? Ah, tentu saja karena aku cinta padamu, Hong Ing.”

Hong Ing mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar memandang dan dia bertanya lagi, “Mengapa engkau cinta padaku? Kun Liong, berhari-hari sudah aku menahan pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu ini. Sekaranglah saatnya. Kenapa engkau cinta kepadaku. Kun Liong? Kenapa?”

Kun Liong memegang kedua tangan kekasihnya dan memandang tajam. “Aku memang telah bersikap bodoh sekali dan berkali-kali menyakiti hatimu, Hong Ing. Menyakiti hatimu karena kebodohanku dan kecanggunganku. Aku cinta padamu, semenjak kita pertama kali bertemu, namun aku terlalu angkuh, canggung dan tidak mau mengakui, biar terhadap diri sendiri sekalipun. Aku cinta padamu karena engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang bagiku sempurna tanpa cacat, engkaulah yang menciptakan bayangan wanita khayal yang kupuja-puja dahulu, karena engkaulah orangnya. Wanita khayal itu adalah engkau, Hong Ing, dan lebih lagi, kalau wanita khayal itu hanya angan-angan dan bayangan saja, engkau adalah seorang manusia dari darah daging, seperti aku, maka engkau bagiku lebih daripada wanita khayal itu. Engkau satu-satunya wanita yang kucinta, yang ingin kujadikan isteriku, teman hidupku selamanya, membentuk keluarga denganmu, mempunyai keturunan dan suka duka kita pikul bersama, Hong Ing.”

Hong Ing terisak dan rebah dalam pelukan Kun Liong. Dara ini merasa seperti diayun ke sorga ke tujuh. Kata-kata yang diucapkan Kun Liong tadi baginya merupakan nyanyian sorga yang amat merdu.

“Kun Liong, aku... aku hanyalah seorang gadis bodoh dan hina yang... sejak dahulu tak pernah berhenti mencintamu, yang setiap saat bermimpi menginginkan menjadi isterimu dan aku... aku menerima segalanya, aku... bersedia menjadi isterimu asal engkau suka mengirim Cia Keng Hong Locianpwe sebagai walimu untuk melamarku kepada Ayah.”

“Hong Ing...!” Kun Liong mendekap dan menciuminya. Sejenak mereka tenggelam ke dalam buaian cinta kasih yang memabukkan.

Akhirnya Hong Ing menarik tubuhnya agak menjauh dan menarik napas panjang beberapa kali. Kedua pipinya menjadi makin kemerahan, matanya sayu seperti mata orang mengantuk, bibirnya tersenyum aneh membayangkan rahasia hatinya. “Aih, Kun Liong, betapa mengerikan kalau aku mengenangkan waktu yang lalu, ketika aku melakukan segala siasat dan daya upaya agar engkau dapat datang ke tempat ini. Ketika itu, sudah bulat keputusanku bahwa aku lebih baik mati daripada tidak bertemu lagi denganmu.”

Kun Liong memegang kedua tangan dara itu. “Engkau hebat, Hong Ing. Dan betapa bahagianya seorang seperti aku mendapatkan cinta kasih seorang dara seperti engkau yang begini mulia! Padahal aku adalah seorang laki-laki yang bodoh, yang sombong dan angkuh, yang selalu merendahkan cinta. Betapa aku dahulu selalu memandang rendah kepada cinta kasih antara pria dan wanita! Semua ini timbul karena di dalam kehidupanku banyak sekali aku mengalami godaan asmara! Sungguh aku harus merasa malu kepada diri sendiri, dan aku menyesal sekali terutama sekali tentang satu hal... yang harus kuberitahukan kepadamu sebelum... sebelum kita menjadi suami isteri. Kalau tidak kuberitahukan kepadamu, hal ini hanya akan menjadi penghalang kebahagiaan kita...” Dia berhenti dengan ragu-ragu sambil memandang kekasihnya.

“Kun Liong! Apakah itu? Apa yang ingin kausampaikan? Mengapa wajahmu tiba-tiba kehilangan serinya dan engkau kelihatan khawatir dan ragu-ragu? Katakanlah, apakah hal yang kaurisaukan itu?”

“Hong Ing, apa yang akan kuceritakan adalah hal yang amat memalukan, hal yang amat kotor. Kalau nanti engkau marah kepadaku, mengutukku, bahkan kalau hal ini membuat engkau menolak aku, memandang rendah kepadaku, aku akan menerimanya dengan rendah hati, karena memang engkau patut mengutukku.”

Wajah Hong Ing menjadi pucat. “Tidak...! Tidak...! Kalau begitu lebih baik jangan kauceritakan itu!”

Kun Liong menggeleng kepala dan tersenyum duka. “Harus kuceritakan, Hong Ing. Daripada menyimpan rahasia. Rahasia yang terselip di antara suami isteri hanya akan menimbulkan bencana. Aku, harus menceritakan kepadamu, kemudian terserah kepadamu keputusannya. Engkau terlalu bersih dan murni, sedangkan aku akan merasa diriku kotor dan tidak berharga bagimu, selamanya kalau aku belum menceritakan hal ini.”

Hong Ing memandang kepada kekasihnya, dengan sinar mata penuh kekhawatiran, akan tetapi juga penuh iba, kemudian katanya lirih, “Kalau begitu, ceritakanlah, Kun Liong. Ceritakanlah semuanya dan sebelumnya aku sudah memaafkan segala kekeliruanmu.”

Kun Liong memegang kedua tangan kekasihnya, tidak dilepasnya lagi seolah-olah dia mendapatkan kekuatan batin dari kedua tangan kekasihnya itu untuk menceritakan hal yang amat menindih perasaannya itu. “Terima kasih, Hong Ing. Ingatkah engkau kepada wanita yang telah tewas bersama suaminya sebulan yang lalu di tempat ini ketika mereka berdua membelaku?”

“Dua orang murid pendekar Secuan itu? Tentu saja aku masih ingat, kasihan sekali mereka. Engkau telah memberi tahu kepadaku bahwa mereka adalah Tan Swi Bu dan Liem Hwi Sian.”

Kun Liong mengangguk. “Mereka adalah sahabat lamaku, terutama sekali Liem Hwi Sian. Ketika mereka roboh, sebelum menghembuskan napas terakhir, Hwi Sian meninggalkan pesan kepadaku.”

“Pesan apakah?”

“Bahwa dia mempunyai seorang anak yang ditinggalkannya di Kuil Kwan-im-bio di kaki bukit, dekat rumah gurunya dan dia berpesan kepadaku agar aku suka merawat anak itu...”

Pandang mata yang tadinya diliputi kekhawatiran itu kini berseri dan jari-jari tangan yang dipegang Kun Liong itu membalas dengan sentuhan lembut, mulut yang tadi agak terbuka itu kini tersenyum, “Aihhh, kau membikin orang menjadi tegang dan gelisah saja! Kalau hanya urusan itu, mengapa dirisaukan benar? Tentu saja aku setuju sepenuhnya untuk merawat anak yang bernasib malang itu!”

Akan tetapi Kun Liong masih memegang kedua tangan Hong Ing dan sikapnya masih sungguh-sungguh, pandang matanya masih penuh kegelisahan. “Bukan hanya itu, Hong Ing, akan tetapi... anak itu... anak Hwi Sian itu bukanlah keturunan suaminya, bukan anak Tan Swi Bu...”

“Ehhh...?” Hong Ing memandang tajam dengan alis berkerut, timbul persangkaan bahwa yang disebut rahasia itu adalah rahasia keburukan Hwi Sian, tentu sahabat suaminya itu telah melakukan penyelewengan sehingga melahirkan seorang anak bukan dari keturunan suaminya!

“Kun Liong, aku tidak ingin mengetahui rahasia orang lain, kalau kau mau menerima anak sahabatmu itu untuk kau rawat, aku setuju saja. Tidak perlu kau menceritakan rahasia pribadi Liem Hwi Sian itu.”

“Bukan begitu, Hong Ing, bukan rahasianya, melainkan rahasiaku. Dengarlah baik-baik, dahulu, setahun lebih yang lalu, sebelum aku bertemu denganmu, aku amat meremehkan soal cinta sehingga aku memandang rendah pula terhadap cinta kasih wanita terhadap diriku. Di antara mereka yang mencintaku adalah Hwi Sian. Akan tetapi aku yang suka menggodanya tidak membatas cinta kasihnya. Ketika dia ditunangkan dan akan dikawinkan dengan suhengnya, yaitu Tan Swi Bu, hatinya hancur dan dia mencariku, lalu... lalu... dia minta agar aku suka menjadi suaminya untuk semalam! Kalau menolak, dia akan membunuh diri karena dia tidak mencinta suhengnya, melainkan mencintaku. Dan aku... aku yang bodoh dan sombong, aku... aku menuruti permintaannya. Kemudian, ketika dia akan mati, dia meninggalkan pesan bahwa anak itu... anaknya itu... adalah... anak hasil dari hubungan kami semalam itu, dia adalah anakku...”

Hong Ing merenggut kedua tangannya, bangkit berdiri dan mukanya pucat sekali, sepasang matanya terbelalak seperti kelinci ketakutan memandang kepada Kun Liong.

Pemuda itu juga bangkit dengan tubuh gemetar. “Aku seorang manusia kotor, seorang rendah yang tidak patut untukmu, Hong Ing. Aku akan menerimanya kalau engkau mengutukku, ketika itu aku memandang rendah cinta kasih antara pria dan wanita. Aku menganggap bahwa semua cinta kasih menjurus kepada cinta berahi belaka. Akan tetapi, ternyata tidak... cinta kasih adalah sesuatu yang luhur dan mulia, yang bersih tak ternoda dari segala sesuatu, termasuk hubungan jasmani antara pria dan wanita, barulah suci dan murni kalau didasari cinta kasih. Tanpa cinta kasih, segala adalah kotor dan hina. Namun aku... aku seperti buta pada waktu itu, Hong Ing.”

Hong Ing tidak menjawab, hanya berdiri memandang dengan mata terbetalak dan muka pucat. Melihat keadaan kekasihnya ini, Kun Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi seperti seorang pesakitan yang menanti keputusan hakim, dia berdiri dan menundukkan mukanya, menanti suara Hong Ing.

Akhirnya terdengar tarikan napas panjang, disusul suara dara itu. Halus lirih dan mengandung isak tertahan, “Aku... aku cinta padamu bukan karena kebaikanmu... aku cinta padamu karena engkau... dan aku menerimamu dengan segala cacat celamu. Kau telah melakukan penyelewengan yang sudah kausadari... sudahlah, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi... dan anak itu... dia anakmu yang harus kita rawat baik-baik...”

“Hong Ing...!” Kun Liong terisak dan menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu. “Betapa mulia hatimu...!”

Sejenak Hong Ing berdiri menunduk, air matanya bercucuran, kemudian dia juga menjatuhkan diri berlutut dan merangkul Kun Liong. Keduanya berpelukan, berciuman sambil menangis, keharuan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu.

“Hong Ing, engkau dewiku, engkau mulia dan berbudi...!”

“Husshhh, aku merasa malu kepada Hwi Sian kalau kau berkata demikian, terlalu memujiku. Dialah wanita yang amat mencintamu...”

“Keliru, Hong Ing. Dia telah mencelakakan diri sendiri. Dia mengira bahwa cinta hanyalah hubungan badan... tapi sudahlah, betapapun juga, Hwi Sian telah membuktikan cintanya dengan mengorbankan diri untuk membantuku. Dan semua memang kesalahanku... aku dahulu terlalu nakal suka menggoda wanita, sungguhpun godaanku tidak terlalu mendalam, tidak memancing hubungan badan namun telah mendatangkan akibat-akibat yang menyedihkan. Aku dahulu sebelum berjumpa denganmu... ahhh, harus kuceritakan semua kepadamu.” Sambil duduk di atas rumput dan saling berangkulan, Kun Liong lalu menceritakan semua riwayatnya, semua petualangannya dengan banyak wanita yang dijumpainya, tentang Yo Bi Kiok yang kini menjadi guru adik kandungnya dan yang menunjukkan cinta terhadap dirinya, cinta yang garang dan mengerikan, kemudian dia bercerita pula tentang lain wanita yang dijumpainya, diantaranya mendiang Souw Li Hwa, Cia Giok Keng, Liem Hwi Sian dan Lauw Kim In, kemudian Pek Hong Ing sendiri. Menceritakan betapa dia menggoda mereka itu.

Setelah mendengarkan semua penuturan yang terus terang dari kekasihnya, Hong Ing tersenyum lalu berkata. “Dengan menceritakan semua itu kepadaku berarti bahwa mulai saat ini engkau telah menghentikan semua perbuatan itu.”

“Memang dahulu aku bodoh dan dungu sesuai dengan kepalaku yang gundul. Akan tetapi sejak bertemu denganmu, perasaan yang luar biasa telah membuka mataku. Dahulu aku memang sombong dan pongah, bodoh dan...”

“Dan petualang asmara yang canggung!”

“Petualang asmara?”

“Ya, engkau seorang petualang asmara yang canggung dan yang kini terjerat oleh asmara itu sendiri. Sekarang, sudah mengertikah engkau apa artinya mencinta?”

Kun Liong memeluk. “Sudah mengerti, kekasihku. Karena engkau yang mengajarku, dengan sikapmu yang sederhana dan terbuka. Cintamu kepadaku begitu tulus dan polos bersih, dan biarlah aku mencontohmu. Aku cinta kepadamu karena engkau adalah engkau, Hong Ing, aku mencintamu dari ujung rambut kepalamu sampai ke kuku jari kakimu, tidak ada kecualinya, aku mencintamu dengan segala kebaikanmu dan semua keburukanmu, dengan segala kesempurnaanmu sampai kepada segala cacatmu, kalau memang ada keburukan dan cacatmu. Karena dengan cinta kasih, tidak adalah cacat dan keburukan itu.”

Hong Ing balas memeluk dan suaranya agak manja ketika dia berkata, “Dan aku hanyalah calon isterimu yang setia, bodoh dan penurut...”

“Suci Hong Ing...! Liong-twako...!”

Sepasang muda mudi yang sedang berpelukan itu cepat melepaskan diri masing-masing dan meloncat berdiri. Sambil tersenyum mereka memandang tubuh Bun Houw yang berlari-larian mendaki lereng itu dari bawah.

Cia Bun How, putera pendekar Cia Keng Hong ini masih berada di Tibet. Kok Beng Lama menuntut kepada Ketua Cin-ling-pai itu agar dia boleh menurunkan ilmu-ilmunya kepada Cia Bun Houw yang sudah menjadi muridnya. Tadinya, Biauw Eng merasa keberatan, akan tetapi karena suaminya merasa bahwa Bun Houw berhutang nyawa kepada kakek itu, pula melihat bahwa kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, terpaksa meluluskan. Untuk menyenangkan hati isterinya, Cia Keng Hong menjanjikan kepada Kok Beng Lama untuk kelak mengirim Bun Houw ke Tibet dan berguru kepadanya setelah puteranya itu berusia lima belas tahun. Kok Beng Lama maklum bahwa suami isteri pendekar yang lihai itu ingin menanamkan dasar-dasar kepandaian mereka kepada putera mereka lebih dulu, maka dia pun setuju, hanya minta agar anak itu diperbolehkan tinggal di situ dan kelak kembali ke Cin-ling-san bersama Kun Liong.

Demikianlah, Cia Keng Hong dan isterinya kembali ke Cin-ling-san dan meninggalkan Bun How di tempat itu. Pada pagi hari itu, Bun Houw berlari-lari dan memanggil-manggil Kun Liong dan Hong Ing yang sedang duduk bercakap-cakap di lereng bukit.

“Eh, Sute, ada apakah engkau berlari-lari menyusul kami?” Hong Ing bertanya setelah anak itu tiba di depannya.

“Suhu memanggil Suci dan Twako.”

Mereka bertiga lalu menuruni lereng kembali ke markas yang sedang dibangun kembali itu. Kok Beng Lama sudah menanti mereka di bangunan samping yang masih utuh, setelah mereka menghadap, dia menyuruh Bun Houw untuk keluar dari ruangan dan bermain-main di luar.

“Kun Liong dan Hong Ing,” katanya ramah, “pinceng telah mengetahui akan hubungan kalian dan pinceng merasa gembira sekali serta memberi restu. Akan tetapi, mengingat bahwa Hong Ing sudah cukup umurnya, pinceng minta kepadamu mengirim pinangan agar hari pernikahan dapat ditetapkan dengan segera.”

Mendengar ini, wajah Hong Ing menjadi merah sekali. “Ihh... Ayah...!” katanya sambil berlari keluar!

Kok Beng Lama tertawa. “Engkau tentu mengerti, Kun Liong, bahwa penghargaan yang terutama bagi seorang gadis adalah pinangan, karena hanya pinangan saja yang merupakan bukti bagi seorang pemuda bahwa dia mencinta gadis itu dan menghendakinya sebagai isterinya. Pinceng tahu bahwa selain kalian berdua saling mencinta dengan penuh kesetiaan, juga bahwa engkau sudah tidak ada ayah bunda, dan pinceng pun sudah setuju, akan tetapi demi menghargai diri Hong Ing, engkau harus mengajukan pinangan secara resmi.”

Kun Liong menunduk. “Hal itu sudah kami bicarakan tadi, Locianpwe. Dan saya akan pergi ke Cin-ling-san, mengajak Adik Bun Houw pulang ke sana, sekalian minta pertolongan Supek dan Supek-bo untuk mengajukan pinangan secara resmi serta menetapkan hari pernikahan itu. Akan tetapi... saya hanyalah seorang pemuda sebatang kara yang... yang miskin dan...”

“Hushhh! Apa kaukira bahwa pinceng hendak menjodohkan anak pinceng dengan harta benda?”

“Maaf, Locianpwe.”

“Sudahlah, kau berangkat hari ini juga dan ajaklah Bun Houw. Sampaikan salamku kepada Cia Keng Hong Tai-hiap dan isterinya.”

“Maaf, saya tidak dapat berangkat hari ini karena ada suatu urusan yang harus saya selesaikan lebih dulu.”

“Huh, apa lagi?” kakek itu membentak.

Pada saat itu, Hong Ing datang berlari. Tadi dia tidak pergi jauh, hanya bersembunyi di balik pintu dan mendengarkan percakapan antara kekasihnya dan ayahnya maka kini mendengar ucapan Kun Liong, dia cepat lari masuk.

“Ayah, aku dan dia mau pergi ke Kuil Kwan-im-bio di rumah mendiang Gak-taihiap untuk mengambil seorang anak yang dititipkan di kuil itu.”

“Huh? Apa? Anak siapa?”

Hong Ing yang khawatir kalau-kalau kekasihnya yang jujur itu akan menceritakan rahasianya bersama mendiang Hwi Sian, cepat mendahului Kun Liong dan berkata, “Tahukah Ayah tentang suami isteri yang tewas di sini ketika mereka membela kami berdua? Mereka itu adalah murid-murid Gak-taihiap di Secuan, sahabat-sahabat dari Kun Liong. Mereka telah mengorbankan diri demi kami berdua, dan pada saat terakhir mereka minta kepada Kun Liong agar kami berdua suka merawat anak mereka yang ditinggalkan di kuil itu. Bagaimana menurut pendapat Ayah? Setelah ayah bundanya tewas demi membela kami, apakah kami tidak seharusnya memenuhi permintaan mereka itu?”

Kok Beng Lama termenung, mengerutkan alisnya lalu mengangguk-angguk. “Tentu... tentu saja! Aku akan membencimu kalau kau tidak memenuhi permintaan mereka itu. Nah, cepat ambil anak yang ditinggalkan itu. Kasihan dia!”

“Ayah, aku bersama Kun Liong akan ke Secuan menjemput anak itu dan selain itu...”

“Apa lagi?” Ayahnya membentak.

“Kami berhutang budi kepada orang tuanya, maka, kami berdua telah bersepakat untuk mengambil anak itu sebagai anak kami.”

“Huh! Belum menikah sudah mempunyai anak! Tapi... aku akan benci kalian kalau kalian tidak melakukan itu!”

Hong Ing dan Kun Liong berlari ke luar dan setelah tiba di luar bangunan itu, Kun Liong merangkul kekasihnya dengan hati penuh keharuan.

“Hong Ing, engkau..., engkau seorang dewi yang berhati mulia...”

Hong Ing membalas pelukan Kun Liong, melingkarkan lengannya di pinggang pemuda itu dan berkata lirih manja, “Ah, aku hanyalah calon isterimu yang bodoh...”

Maka berangkatlah Kun Liong dan Hong Ing ke Secuan. Setelah bertemu dengan Poa Su It yang berduka sekali mendengar tentang kematian sute dan sumoinya, mereka lalu diajak oleh Poa Su It mengunjungi Kuil Kwan-im-bio dan dari ketua nikouw (pendeta wanita) mereka menerima seorang anak perempuan yang baru berusia tiga empat bulan! Seorang anak perempuan yang mungil dan sehat karena sejak kecil, juga setelah ditinggalkan ibunya, dia dipelihara dengan baik oleh para nikouw di Kwan-im-bio yang memanggilkan seorang inang pengasuh, dibesarkan dengan air susu sapi.

Kun Liong memandang anak itu dengan jantung seperti ditusuk-tusuk rasanya. Anaknya! Keturunan dan darah dagingnya! Dia terharu sekali, apa pula ketika melihat betapa Hong Ing meraih dan memondong anak itu dengan penuh kasih sayang!

Poa Su It merasa girang sekali dan berkali-kali menghaturkan terima kasih bahwa Kun Liong dan Hong Ing, calon suami isteri itu, suka mengambil Mei Lan, demikian nama anak itu, sebagai anak mereka! Tentu saja dia tidak pernah tahu bahwa anak itu sebetulnya adalah anak Kun Liong! Disangkanya bahwa anak itu adalah anak Hwi Sian dan Tan Swi Bu, hasil dari hubungan mereka sebagai suami isteri!

“Harap Poa-toako suka merahasiakan pemungutan anak ini agar anak ini kelak tidak mengetahui bahwa dia hanyalah anak pungut,” Kun Liong berkata.

“Tentu saja!” Poa Su it menjawab. “Sejak hari ini namanya menjadi Yap Mei Lan, anak Ji-wi berdua. Saya sudah merasa bingung sekali mendengar akan kematian ayah bundanya, tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan anak ini. Syukur bahwa Ji-wi sudi mengambilnya sebagai anak memenuhi pesan terakhir mereka.”

Kun Liong dan Hong Ing lalu berpamit kembali ke Tibet membawa Mei Lan bersama inang pengasuhnya yang juga diajak untuk merawat anak itu, karena Hong Ing belum berpengalaman merawat anak kecil dan merasa khawatir dan tidak berani.

Setelah tiba kembali di Tibet, Kun Liong lalu meninggalkan anak itu bersama Hong Ing dan mengajak Bun Houw untuk meninggalkan Tibet, kembali ke Cin-ling-san. Kok Beng Lama dan Hong Ing mengantar keberangkatan mereka sampai di ujung lereng pertama dan Kun Liong didesak sampai berkali-kali mengucapkan janji bahwa dia tidak akan lama pergi dan akan cepat mengajak Cia Keng Hong dan isterinya untuk datang mengajukan pinangan yang dinanti-nanti itu.

Cia Giok Keng berjalan dengan wajah bersungut-sungut, sedangkan Lie Kong Tek berjalan melangkah dengan langkah-langkah tetap di belakangnya. Keduanya tidak bicara, hanya berjalan dengan sunyi di dalam panas terik matahari siang itu. Hati Giok Keng mendongkol bukan main. Telah berhari-hari dia melakukan perjalanan bersama Kong Tek dan selama ini merasa betapa hatinya makin tertarik dan makin kagum kepada pemuda tinggi besar ini. Tampak jelas olehnya betapa jauh bedanya pribadi Kong Tek dibandingkan dengan pemuda-pemuda lain seperti Kun Liong dan terutama sekali Bu Kong. Pemuda ini gagah perkasa, kuat dan tahan menderita, juga jujur dan pendiam, tidak banyak cakap, tidak pula suka menggodanya, bahkan sama sekali tidak pernah memujinya, apalagi menjilat atau bermuka-muka! Hal inilah yang menimbulkan kesal dan mendongkol hatinya. Semua pemuda, bahkan semua laki-laki yang dijumpainya, sudah pasti akan memandangnya dengan sinar mata jelas membayangkan kekaguman, mata laki-laki yang bersinar kagum dan kurang ajar, yang ceriwis dan nakal, namun yang diam-diam memuaskan dan membuat hatinya bangga karena semua itu membuktikan kecantikan dan daya tariknya. Akan tetapi Kong Tek memandangnya biasa saja, tanpa sinar berapi dan kagum, bahkan seolah-olah dia dipandang seperti kalau pemuda itu memandang pohon, awan, atau tanah saja! Mengkal hatinya!

Sudah berkali-kali dia sengaja hendak memancing perhatian Kong Tek, hanya untuk memancing pujian, memancing pandang mata penuh gairah dan kagum namun hasilnya sia-sia belaka. Betapa pun dia menggigiti bibirnya sampai menjadi merah dan basah hampir berdarah, betapa dia menyanggul rambutnya atau mengurainya sehingga terlepas panjang sampai ke pinggul, betapa dia mengatur pakaiannya sehingga serapi-rapinya, atau mencuci muka dan menggosoknya sampai kedua pipinya menjadi kemerahan dan segar seperti sepasang buah tomat, betapa dia bergaya sampai merasa menjadi seorang sripanggung pemain opera, hasilnya sia-sia belaka! Sama halnya dengan bersolek dan bergaya di depan sebuah patung mati yang berhati batu!

Apalagi pengalamannya tadi membuat dia cemberut dan bersungut-sungut, penuh kekecewaan dan kemendongkolan hati. Dia tadi sudah memancing pemuda itu dengan omongan dan masih terngiang di telinganya jawaban-jawaban Kong Tek yang membuat bibirnya makin cemberut.

Tadi mereka sedang duduk di bawah pohon rindang, berlindung dari terik panas matahari. Sambil mengusap peluhnya dari muka dan lehernya dengan saputangan, dia berkata, “Lie-toako, kalau aku teringat akan pengalaman-pengalamanku di Pek-lian-kauw, masih bergidik ngeri dan bangkit bulu tengkukku. Untung aku tertolong, kalau tidak... hemmm, entah apa jadinya dengan diriku.”

“Memang kau beruntung sekali tidak jadi menjadi isteri Liong Bu Kong, Nona.”

Sebutan nona itu sudah mulai membuat hatinya tidak senang. Sudah beberapa kali dia mengatakan bahwa pemuda itu tidak selayaknya menyebut dia nona setelah mereka menjadi sahabat, akan tetapi pemuda itu selalu lupa dan menyebutnya nona sehingga dia tidak peduli lagi untuk menegurnya.

“Mengapa beruntung, Toako?” dia mendesak.

“Ya, beruntung karena tidak jadi isteri orang seperti dia.”

“Lalu pantasnya aku menjadi isteri orang macam apa, Toako?”

“Hemm, pantasnya menjadi isteri seorang yang tidak seperti Liong Bu Kong.”

“Siapa, misalnya?” Giok Keng mendesak lagi.

Kong Tek menggerakkan kedua pundaknya yang lebar. “Entahlah, pendeknya yang tidak jahat dan palsu seperti Bu Kong.”

Hening sejenak dan hati Giok Keng sudah mulai tidak puas. Sukar betul membongkar hati dan perasaan pemuda ini. Dari perbuatan dan pembelaannya yang berani mempertaruhkan nyawa, dia yakin bahwa pemuda ini cinta kepadanya. Akan tetapi dia tidak pernah menyatakannya, baik dari pandang mata, maupun suara mulut, atau gerak-geriknya. Inilah yang membuat dia penasaran dan tersinggung “harga dirinya”!

“Eh, Toako, sekarang sudah berapakah usiamu?”

Ditanyai usianya, Kong Tek memandang kepadanya dengan mata terbelalak heran, akan tetapi lalu menjawab juga, “Sudah dua puluh lima tahun.”

“Dan kau sudah menjadi duda.”

“Aku belum menikah!”

“Tapi sudah bertunangan dengan Bu Li Cun.”

“Ya, kasihan sungguh gadis itu...” Kong Tek menghela napas dan termenung.

Giok Keng mengerutkan alisnya. Agaknya pemuda yang luar biasa ini telah “patah hati” karena kematian tunangannya itu, pikirnya.

“Lie-toako, cinta sekalikah engkau kepadanya?”

“Hah...?” Kong Tek balas bertanya, terbelalak karena belum menangkap maksud pertanyaan itu.

“Engkau tentu amat mencinta mendiang Bu Li Cun itu...”

Kong Tek menghela napas panjang dan menyusut peluh dari dahinya sambil menggeleng kepalanya. “Nona, selama hidupku, baru satu kali itu aku bertemu dengan dia. Kami ditunangkan sejak kecil oleh orang tua, aku tidak pernah kenal dengan dia, mana bisa mencinta.”

Hening sampai lama, akhirnya kembali suara Giok Keng memecah kesunyian, “Akan tetapi, usiamu sudah dua puluh lima tahun, dan engkau tentu telah mempunyai banyak pengalaman selama perantauanmu dengan suhumu yang lihai.”

lanjut ke Jilid 100-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar