Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 98

Petualang Asmara Jilid 098

<--kembali

Sementara itu, Kun Liong sudah mengenal kakek tinggi besar yang muncul ini, kakek yang bernama Kok Beng Lama dan yang dulu pernah menolong dia dan Hong Ing, yang kemudian dia ketahui adalah ayah kandung dara itu. “Lociapwe, saya hendak menolong Hong Ing!” katanya ketika kakek itu menerjangnya. Namun terlambat, serangan telah tiba dan hebat bukan main serangan kaki itu. Pukulan yang dahsyat, mendatangkan hawa pukulan seperti halilintar menyambar, menuju ke arah dadanya. Kun Liong mengangkat kedua lengannya yang masih terbelenggu, mengerahkan sin-kangnya menangkis dari kiri ke kanan.

DESSS... belenggu itu kalah oleh api...!”

Tubuh Kun Liong terpental ke belakang sedangkan Kok Beng Lama juga terhuyung-huyung. Hal ini amat mengejutkan Kok Beng Lama karena pertemuan tenaga tadi membuktikan bahwa tenaga sin-kang pemuda itu amat kuatnya, tidak kalah kuat olehnya sendiri, bahkan mungkin lebih kuat atau setidaknya berimbang. Akan tetapi, Kun Liong juga terkejut dan girang karena pada saat lengan mereka bertemu tadi, dia mendengar bisikan kakek itu. Tahulah bahwa ayah kandung Hong Ing itu membantunya secara diam-diam dan dia tahu pula bahwa belenggu yang amat kuat itu, lebih kuat dari besi yang akan dapat dia patahkan, kiranya ada rahasia kelemahannya, yaitu api!

“Haiiiihhhh!” Lengking yang nyaring keluar dari dalam dada Kun Liong ketika tubuhnya melayang ke arah panggung yang mulai terbakar! Dia meloncat tinggi melewati kepala para pengeroyoknya dan ketika dia turun di dekat panggung, cepat dia merobohkan empat orang yang lari menerjangnya. Kemudian dia membalik, mengulur kedua tangannya ke api yang sudah menyala di bawah panggung. Betapa girang rasa hatinya ketika melihat lidah api menjilat belenggunya dan seperti daun kering saja, bulu-bulu hitam itu dimakan api dan dalam sekejap mata dia telah bebas! Berkat sin-kangnya yang tinggi, dia dapat menjaga kulit pergelangan tangannya sehingga tidak hangus oleh bakaran api yang tidak terlalu lama itu.

Kembali beberapa orang pendeta Lama mengeroyoknya dan kembali dia merobohkan empat orang. Akan tetapi dia melihat Kok Beng Lama juga lari mengejarnya, tepat pada saat Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama tiba di situ. Dan kini Kok Beng Lama berdiri melindunginya, bahkan menghadapi tiga orang sutenya sambil bertolak pinggang!

“Pengkhianat, kau berani membuat dosa lagi?” Sin Beng Lama membentak. “Kau tidak malu untuk melanggar janji?”

“Sin Beng Lama, pikir dulu baik-baik sebelum membuka mulut!” bentak Kok Beng Lama dengan mata melotot. “Siapa yang melanggar janji? Siapa yang membuat dosa? Tidak ada buktinya bahwa aku memberontak, maka aku tidak melanggar janji. Sebaliknya, kalian berjanji takkan mengganggu anakku buktinya kalian hendak mengorbankan dia!”

Tiga orang pimpinan Lama itu khawatir sekali melihat betapa Kun Liong sudah meloncat naik ke atas panggung dan bergegas membebaskan kekasihnya dari tiang yang sudah dihampiri oleh lidah api itu, kemudian menarik dara itu menjauhi api.

“Kun Liong...!”

“Hong Ing...!”

Mereka berpelukan, berdekapan, berciuman tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling mereka.

“Kun Liong... hu-huhhh... Kun Liong...!” Berkali-kali Hong Ing menyebut nama kekasihnya dengan mesra, akan tetapi dengan suara merintih dan menangis.

Kun Liong mengusap rambut kekasihnya penuh kemesraan, diangkatnya muka dara itu dan dipandangnya sampai lama dengan mata basah. “Hong Ing... kekasihku, pujaan hatiku... syukur aku tidak terlambat, semua ini berkat pertolongan ayahmu...”

“Ayah...?” Hong Ing yang masih berpelukan dengan kekasihnya itu menoleh ke bawah panggung. Juga Kun Liong kini teringat bahwa mereka masih belum bebas dari ancaman bahaya, masih terkepung oleh banyak lawan, maka cepat dia memandang ke bawah panggung.

Kok Beng Lama masih berhadapan dengan tiga orang sutenya, dan kini kakek itu berkata lantang, “Apa? Kau bilang bahwa anakku secara suka rela hendak mengorbankan dirinya? Benarkah itu? Mana buktinya? Itu dia, aku akan bertanya. Heiii, Hong Ing, benarkah kau dengan suka rela hendak mengorbankan dirimu menjadi mempelai dewa yang mulia?”

“Tidak, Ayah! Mereka memaksaku karena mereka menangkap Kun Liong dengan cara yang curang! Mereka mengancam hendak membunuhku sehingga Kun Liong menyerahkan diri dan untuk menolong agar Kun Liong tidak dibunuh, aku mau dibakar asal Kun Liong tidak diganggu. Mereka itu pendeta-pendeta yang berhati palsu!”

“Locianpwe, mereka adalah pemberontak-pemberontak yang bersekutu dengan Pek-lian-kauw untuk merampas Kerajaan Tibet dan Kerajaan Beng!” Kun Liong juga berteriak.

“Pengkhianat dan manusia rendah!” Sin Beng Lama sudah membentak marah sekali karena rahasianya dibongkar. Biarpun dia maklum akan kelihaian bekas suhengnya ini dan juga betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, namun dengan bantuan banyak anak buahnya, juga pasukan-pasukannya bersama pasukan Pek-lian-kauw berada di luar markas, tentu saja dia tidak takut.

“Serbuuu...! Bunuh mereka manusia-manusia berdosa ini!” Teriaknya nyaring dan dia sendiri bersama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama sudah menerjang Kok Beng Lama.

“Locianpwe, jangan khawatir, saya akan membantu!” Kun Liong berteriak sambil membawa Hong Ing meloncat turun dari panggung yang sudah terbakar.

“Desss...! Dukkk! Dukkk!” Tiga orang pimpinan Lama itu terdorong ke belakang ketika lengan Kok Beng Lama menangkis mereka dengan kekuatan yang amat dahsyat. Kok Beng Lama menoleh ke arah Kun Liong sambil berseru, “0rang muda, jangan bantu aku. Kaubawalah Hong Ing menyingkir, selamatkan dia, aku serahkan dia kepadamu dengan berkatku!”

Kun Liong mengangguk. “Hong Ing, mari kita pergi...!” katanya sambil memegang pergelangan tangan kekasihnya.

Hung Ing merenggutkan tangannya terlepas. “Tidak! Aku tidak mau meninggalkan Ayah dalam bahaya. Aku harus bantu dia! Aku akan menjadi seorang anak tak berbakti yang selamanya akan tersiksa batinku kalau aku meninggalkan ayahku yang sedang terancam bahaya.”

Kun Liong memandang kekasihnya dengan wajah berseri dan dia tersenyum, merangkul dan mencium dahi Hong Ing. Bagus! Memang begitulah seharusnya seorang wanita gagah dan berbakti. “Aku kagum kepadamu, Hong Ing, aku bangga!”

Kun Liong dan Hong Ing lalu menyerbu dan membantu Kok Beng Lama yang dikeroyok tiga oleh pimpinan Lama Jubah Merah yang sakti itu. Akan tetapi, para Lama menyerbu dan mengepung mereka sehingga terpaksa Kun Liong dan Hong Ing tidak dapat mendekati Kok Beng Lama dan menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta Lama. Mereka ini juga tidak berani membantu pimpinan mereka karena mereka maklum bahwa mencampuri pertandingan antara pimpinan Lama Jubah Merah amatlah berbahaya, sama dengan mengantar nyawa. Apalagi mereka memang merasa gentar terhadap Kok Beng Lama yang merupakan tokoh tertua di antara mereka, tokoh paling sakti pula.

Terjadilah pertandingan yang hebat sekali. Kok Beng Lama mengamuk dikeroyok oleh tiga orang sutenya, sedangkan Kun Liong bersama Hong Ing mengamuk dikeroyok puluhan orang pendeta Lama. Sementara itu, api dari panggung menjilat-jilat ke mana-mana dan karena tidak ada yang mengurus, api itu bahkah kini menjilat ke bangunan belakang markas itu! Betapa pun saktinya Kok Beng Lama, menghadapi pengeroyokan tiga orang sutenya yang penuh kemarahan itu, dia mulai terdesak juga. Demikian pula dengan Kun Liong yang menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta, bahkan masih ada puluhan orang lain yang siap mengeroyoknya menggantikan kawan yang roboh, di samping itu Kun Liong harus selalu melindungi kekasihnya pula. Keadaan mereka makin terdesak dan terancam hebat.

Tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai dan kegaduhan luar biasa di sebelah luar markas itu dan biarpun belum dapat melihat dengan mata kepala sendiri, Sin Beng Lama dan dua orang sutenya maklum bahwa pasukan mereka yang berada di luar telah diserbu musuh dan terjadi perang di luar markas. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan Sin Beng Lama berteriak kepada seorang anak buahnya untuk menyelidiki keluar markas.

Sebentar saja ributlah para pendeta Lama ketika terdengar berita bahwa di luar markas, tentara Pemerintah Beng telah menyerbu dan kini sedang berperang melawan pasukan Lama Jubah Merah yang dibantu oleh pasukan Pek-lian-kauw! Mendengar ini, para pendeta Lama yang tidak memperoleh kesempatan ikut mengeroyok Kun Liong dan Hong Ing, berserabutan lari keluar dari markas untuk membantu teman-teman mereka berperang menghadapi penyerbuan bala tentara Beng.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan pintu gerbang yang tadinya ditutup oleh para pendeta Lama yang menjaga di dalam, bobol dan berbondong-bondong masuklah bala tentara Beng dipimpin oleh dua orang laki-laki dan wanita yang amat gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, pendekar wanita Sie Biauw Eng! Bagaikan sepasang naga yang marah mengamuk, suami isteri ini menyerbu ke dalam dan setiap lawan yang berani menghadang tentu roboh dan tak dapat bangkit kembali.

Ketika melihat munculnya suami isteri pendekar ini, Kun Liong merasa girang bukan main karena kini dia merasa yakin bahwa dia, Hong Ing, dan ayah kekasihnya akan tertolong dari bahaya maut.

“Supek... Supekbo...!” teriaknya girang. “Harap Ji-wi suka membantu Kok Beng Lama Locianpwe menghadapi pimpinan mereka yang lihai!”

Mendengar ini dan melihat Kun Liong bersama seorang dara cantik mengamuk menghadapi pengeroyokan banyak pendeta Lama, Keng Hong dan isterinya agak terheran, akan tetapi mereka, diikuti oleh beberapa orang pengawal dari Panglima Besar The Hoo yang memimpin pasukan, lalu menyerbu ke tengah di mana Kok Beng Lama bertanding melawan tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang amat lihai.

Melihat kedatangan mereka itu, Sin Beng Lama mendengus marah, mengeluarkan seikat dupa dari sakunya dan sekali tiup, api di ujung lima dupa yang dipegangnya telah membakar semua ujung hio seikat itu, kemudian cepat sekali tangannya bergerak-gerak menyambit-nyambitkan dupa-dupa biting yang sudah membara ujungnya itu ke arah Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan para pengawal.

Tampak sinar-sinar kecil beterbangan ke arah pendatang-pendatang ini. “Awas...!” Cia Keng Hong berseru keras. Dia dan isterinya cepat menggerakkan kaki tangannya, kakinya menendangi hio-hio yang beterbangan di bawah, sedangkan jari-jari tangan mereka menyambar dan menjepit hio-hio yang menyambar tubuh atas mereka, lalu melempar benda-benda itu ke atas tanah. Akan tetapi, di belakang mereka terdengar jeritan-jeritan dan ternyata ada empat orang pengawal yang roboh berkelojotan, terkena hio-hio membara yang menancap di tubuh mereka.

Cia Keng Hong dan isterinya terkejut sekali. Para pengawal itu adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi, namun ternyata tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran hio-hio tadi dan sekali terkena senjata rahasia istimewa itu roboh berkelojotan dalam keadaan sekarat. Mereka menjadi marah, maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, maka Cia Keng Hong lalu mengeluarkan pedang Siang-bhok-kiam yang sejak tadi tidak pernah dipergunakannya itu. Pedang Kayu Harum ini mengeluarkan cahaya kehijauan ketika dicabut dan dengan mata memandang tajam dia bersama isterinya menerjang ke depan, disambut oleh Hun Beng Lama dah Lak Beng Lama.

“Trakkkk-trakkk!”

“Trangg! Cring...!”

Tasbih di tangan Hun Beng Lama bertemu dengan Siang-bhok-kiam dan Lama itu tergetar hebat, terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Juga tongkat di tangan Lak Beng Lama bertemu dengan Pek-in Sin-pian (Cambuk Lemas Sakti Awan Putih) yang berupa sehelai sabuk sutera putih yang dapat digerakkan menjadi kaku seperti baja oleh tangan halus yang penuh tenaga sin-kang sehingga kakek ini juga terkejut dan terhuyung ke belakang.

Sin Beng Lama yang kini harus menghadapi bekas suhengnya sendirian saja, segera terdesak hebat oleh Kok Beng Lama. Dari kedua ujung lengan jubah Kok Beng Lama menyambar-nyambar angin dahsyat dan betapa pun Sin Beng Lama berusaha untuk menyerang dengan dupa-dupa membaranya, percuma saja karena terkena sambaran angin itu dupa-dupanya menjadi padam dan patah-patah. Terpaksa Sin Beng Lama mencabut sebatang pedang lemas yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang. Sinar terang menyilaukan mata tampak dan disusul suara berdesing tinggi ketika sinar ini menyambar ke arah Kok Beng Lama. Kakek tinggi besar ini terkejut, mengelak cepat namun tetap saja kulit lehernya robek berdarah. Sambil menyeka darah di lehernya, Kok Beng Lama mendengus dan memandang penuh kemarahan kepada bekas sutenya.

“Manusia munafik!” Kok Beng Lama membentak dan menggerakkan kedua tangannya menyerang dengan lembut. Sin Beng Lama diam saja, kemudian cepat menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat putih menyilaukan mata itu. Dia tidak dapat menjawab makian bekas suhengnya karena dia tahu bahwa dia telah melanggar sumpah, sumpah kepala Lama Jubah Merah. Pedang itu adalah pedang pusaka yang selalu menjadi pegangan seorang Kepala Lama Jubah Merah, akan tetapi membunuh merupakan pantangan bagi seorang kepala Lama, apalagi membunuh dengan pedang pusaka ini! Pantangan ini diperkuat dengan sumpah bahwa kalau seorang Kepala Lama melanggarnya, dia akan tewas di ujung pedang pusaka itu sendiri. Dan kini, karena merasa tidak kuat menandingi bekas suhengnya, Sin Beng Lama melanggar sumpahnya sendiri dan mengandalkan pedang pusaka itu untuk memperoleh kemenangan.

Sambil mengeluarkan suara menggereng yang keluar dari dadanya, Kok Beng Lama menghadapi pedang pusaka di tangan Sin Beng Lama itu. Kedua lengan kakek tinggi besar ini mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat sehingga gulungan sinar pedang putih selalu terdorong mundur.

“Robohlah...!” Sin Beng Lama berteriak, melakukan penyerangan kilat, pedang pusakanya menyusul tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, menusuk dari samping menuju lambung lawan.

Kok Beng Lama maklum akan jurus serangan yang amat berbahaya ini, akan tetapi dia sudah mengambil keputusan nekat untuk membunuh bekas sutenya yang kejam dan hampir membunuh anaknya itu. Apalagi mendengar dari Kun Liong tadi bahwa sutenya ini telah menyelewengkan perkumpulan mereka, bersekutu dengan Pek-lian-kauw untuk merampas Kerajaan Tibet. Sungguh merupakan dosa yang tak dapat diampunkan.

Bagaikan sepasang garuda yang menyambar cepatnya, kedua tangannya bergerak, yang kanan menangkap tangan sutenya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, yang kiri dengan gerakan membalik dari samping, dengan telapak tangan terbuka memukul ke arah pedang yang menusuk lambungnya.

“Desss! Trangggg...!” Pedang itu terlepas dari pegangan, bahkan tangan kanan Sin Beng Lama sudah tertangkap pula oleh tangan kiri Kok Beng Lama sehingga kini kedua tangan Ketua Lama Jubah Merah telah ditangkap oleh bekas suhengnya! Keduanya saling mengerahkan sin-kang, namun tahulah Sin Beng Lama bahwa dia kalah tenaga dan kedua lengannya sudah menggigil hebat.

“Haaaaiiiikkkk...!” Tiba-tiba Sin Beng Lama mengeluarkan pekik yang menggetarkan seluruh tempat itu dan kepalanya yang gundul menyeruduk seperti seekor kerbau mengamuk ke arah perut Kok Beng Lama. Inilah serangan maut yang amat berbahaya karena kepala gundul yang kini mengeluarkan uap putih itu mengandung pemusatan sin-kang yang amat dahsyat sehingga batu karang sekalipun akan hancur lebur kalau kena diseruduk oleh kepala ini!

“Ceppppp...!” Kok Beng Lama yang melihat serangan ini, tidak mengelak bahkan memasang perutnya, menerima serudukan, bahkan perutnya yang gendut itu tiba-tiba menjadi lunak sekali, membuat kepala Sin Beng Lama menancap ke dalam rongga perutnya, terus disedot dengan pengerahan sin-kang.

Terdengar suara berkerotokan keras dan tubuh Sin Beng Lama menjadi lemas. Ketika Kok Beng Lama menarik napas panjang dan melembungkan lagi perutnya, tubuh Sin Beng Lama terlempar ke belakang dalam keadaan tak bernyawa lagi karena kepalanya retak-retak dan remuk di sebelah dalamnya. Kok Beng Lama membalikkan tubuh untuk mencari dua orang musuhnya lagi, yaitu Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama.

Begitu dia memandang, dia menjadi bengong dan terbelalak. Dua orang pendeta lama itu sedang bertanding melawan seorang laki-laki dan seorang wanita yang memiliki gerakan amat luar biasa hebatnya. Pada saat itu, sabuk sutera putih di tangan wanita cantik itu melayang seperti seekor naga putih, menyambar-nyambar ke arah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dan ketika kedua orang pendeta Lama ini menggerakkan tasbih dan tongkat untuk menangkis, kedua uJung sabuk itu telah melibat senjata-senjata mereka! Kedua orang Lama ini mengerahkan tenaga untuk menarik dan membikin putus dan rusak sabuk sutera putih, akan tetapi pada saat itu, berkelebat sinar kehijauan dari Pedang Kayu Harum, dan dua orang pendeta Lama itu mengeluh lalu roboh dan tak dapat bangkit kembali. Sedemikian cepatnya pedang itu menembus dada dan keluar lagi sehingga tidak tampak oleh pandangan mata.

Siasat kerja sama yang dilakukan oleh Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memang hebat. Tadinya, ketika Keng Hong menghadapi Hun Beng Lama dan Biauw Eng melawan Lak Beng Lama, keadaan ramai bukan main. Keng Hong dapat mendesak Hun Beng Lama, namun, Biauw Eng merasa repot menghadapi serbuan tongkat Lak Beng Lama sehingga sampai lama kedua orang suami isteri perkasa ini belum mampu merobohkan lawan. Tiba-tiba Biauw Eng berseru keras dan ini adalah tanda bagi suaminya akan siasatnya bekerja sama. Dan ternyata berhasil baik karena selagi kedua orang lawan tangguh itu bersitegang untuk menarik kembali senjata dan merusak sabuk sutera, Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong memperoleh kesempatan untuk melakukan serangan kilat yang berhasil baik.

Kok Beng Lama mengeluarkan suara gerengan hebat. Dia kaget dan heran, juga kagum akan tetapi marah sekali. Dia kaget dan heran melihat betapa dua orang sutenya itu sampai kalah, kagum melihat kelihaian suami isteri perkasa itu, akan tetapi dia marah sekali setelah kini melihat betapa para pendeta Lama diserbu oleh musuh dan banyak yang telah roboh dan tewas. Setelah kini tiga orang sutenya tewas semua, lenyap pulalah semua permusuhan di dalam hatinya terhadap perkumpulan Lama Jubah Merah, bahkan timbul kemarahannya karena dia merasa bahwa golongannya diserbu musuh. Sambil berteriak marah dia menyambar pedang pusaka yang tadi dipergunakan Sin Beng Lama, lalu berlari ke depan menyerang Keng Hong dan Biauw Eng.

“Singgg... trangg-trakkk... singgg...!” Keng Hong dan Biauw Eng yang sudah menangkis itu terdorong ke belakang dan mereka terkejut. Kiranya pendeta Lama tinggi besar ini bahkan jauh lebih lihai lagi dibandingkan dengan dua orang pendeta Lama yang telah berhasil mereka robohkan! Namun, Keng Hong cepat mendahului isterinya, menggerakkan Siang-bhok-kiam menerjang kakek itu sambil berseru, “Mundurlah, biarkan aku menghadapinya!”

Biauw Eng mengerti akan peringatan suaminya. Memang suaminya telah melihat betapa lihainya Lama tinggi besar ini sehingga kalau dia maju, akan membahayakan dirinya. Betapapun juga, Biauw Eng siap dengan sabuk sutera di tangannya, siap membantu kalau suaminya sampai terdesak dan terancam keselamatannya.

Serangkaian serangan pertama yang dilakukan Keng Hong terhadap Kok Beng Lama amatlah hebatnya sehingga mengejutkan hati pendeta Lama tinggi besar itu. Sinar kehijauan dari Siang-bhok-kiam diikuti bau yang harum dan halus menyambar-nyambar, mula-mula dari atas dengan gerakan miring membacok ke bawah mengarah leher, ketika dapat ditangkis oleh pedang di tangan kakek tinggi besar itu, pedang Siang-bhok-kiam terus menyeleweng ke samping dan membacok serta menusuk bertubi-tubi mengarah tujuh jalan darah terpenting di tubuh depan lawan, sedangkan tangan kiri pendekar sakti itu mengimbangi gerakan pedang, melakukan pukulan-pukulan tangan kosong dari jurus Thai-kek Sin-kun disertai tenaga mujijat Thi-khi-i-beng!

Kok Beng Lama repot setengah mati menghadapi serangkaian serangan ini, menangkis dengan pedang, dengan lengan kiri, mengelak dan berloncatan ke sana-sini sehingga akhirnya dia mampu lolos dari serangkaian serangan itu, setelah meloncat ke belakang dia lalu menyerbu ke depan dan membalas dengan serangannya yang tak kalah dahsyatnya sehingga kini tiba giliran Keng Hong untuk menghadapi serangan itu dengan kaget namun berhasil pula menyelamatkan diri. Terjadilah serang-menyerang yang amat seru dan Biauw Eng yang menonton di pinggir harus mengakui bahwa agaknya baru sekarang ini suaminya menghadapi tanding yang amat kuat dan seimbang! Dan biarpun tingkat kepandaiannya sendiri sudah tinggi, namun dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan pendeta Lama tinggi besar ini.

“Supek... harap tahan senjata... Locianpwe ini bukan musuh...!”

“Ayah...! Ayah, jangan melawan, Ayah...!”

Munculnya Kun Liong dan Hong Ing ini membuat Keng Hong dan Kok Beng Lama meloncat mundur. Kun Liong menghampiri Keng Hong yang memandangnya dengan alis berkerut penuh pertanyaan, sedangkan Hong Ing lalu mehubruk ayahnya. “Ayah, lekas... markas terbakar dan Sute berada di dalam...!”

Kok Beng Lama terbelalak dan cepat membalikkan tubuhnya memandang markas yang benar-benar telah menjadi lautan api itu. Dia menyelipkan pedang pusaka di pinggangnya, kemudian terdengar dia mengeluarkan seruan yang keras sekali seperti gerengan seekor singa. “Bun Houw...!” Dan tubuhnya yang tinggi besar sudah melesat ke depan.

“Brakkkkk!” Dinding itu diterjangnya saja sampai ambrol.

“Bresss!” Dinding yang ke dua ambrol lagi dan tampak kakek itu menerjang melalui dinding yang diruntuhkannya memasuki lautan api!

“Ayaaahhh...!” Hong Ing juga lari ke arah lautan api, akan tetapi tiba-tiba pinggangnya dirangkul Kun Liong dari belakang. Dara itu meronta dan menangis. “Biarkan aku menyusul Ayah!”

Namun Kun Liong memperkuat pelukannya. “Hong Ing... ingatlah, ayahmu sedang berusaha menyelamatkan Bun Houw, tidak ada gunanya engkau membuang nyawa sia-sia di situ.”

Sementara itu, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi pucat mukanya ketika melihat kakek tinggi besar tadi menerjang api dan meneriakkan nama Bun Houw, putera mereka!

“Kun Liong, apa artinya ini? Mana Bun Houw?” Keng Hong bertanya.

“Supek, saya pun baru saja mendengar dari Hong Ing bahwa Adik Bun Houw berada di sini, di dalam markas yang terbakar itu.”

Hong Ing kini menghadapi Cia Keng Hong dan isterinya, tanpa banyak sopan santun lagi karena keadaan sedang tegang seperti itu segera berkata, “Sute Cia Bun Houw diambil murid oleh Ayah... dan... kini Ayah sedang mencarinya ke dalam sana...”

“Houw-ji (Anak Houw)...!” Sie Biauw Eng menjerit.

“Harap Supek-bo tenang...!” Kun Liong berkata khawatir melihat keadaan nyonya yang perkasa itu, yang memandang ke arah api dengan mata terbelalak.

“Ayahku lebih tahu akan keadaan di dalam, mudah-mudahan dapat menyelamatkan Sute.” Hong Ing berkata lirih, seperti kepada diri sendiri.

“Aku akan mencarinya!” Biauw Eng hendak meloncat, akan tetapi tangannya disambar suaminya.

“Ucapan Nona ini tepat. Ayahnya lebih mengenal keadaan, kalau kau atau aku yang masuk ke lautan api itu tanpa mengenal keadaan dan tanpa mengetahui persis di mana adanya Bun Houw sama dengan membunuh diri.”

“Aku tidak takut mati untuk membela anakku!” Biauw Eng berteriak marah dan meronta.

Keng Hong terpaksa merangkul dan memeluknya seperti yang dilakukan oleh Kun Liong kepada Hong Ing tadi. “Siapa takut mati? Aku pun tidak takut, akan tetapi perlukah mati konyol? Bagaimana kalau nanti Bun Houw selamat akan tetapi kita berdua mati terbakar di sana?”

Kata-kata ini dapat diterima oleh Biauw Eng. Dia memandang dengan muka pucat dan menahan napas. Bukan hanya dia, juga Keng Hong, Kun Liong, dan Hong Ing memandang ke arah lautan api dengan muka pucat dan menahan napas, dalam suasana yang amat menegangkan hati. Sampai lama mereka berdiri tanpa bergerak, seolah-olah mereka lupa keadaan sekeliling di mana masih terdapat pertempuran-pertempuran berat sebelah antara pasukan pemerintah melawan para pendeta Lama yang hanya melakukan perlawanan dengan setengah hati karena selain pasukan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir dan lari bersama pasukan sukarela terdiri dari penduduk dusun, juga pimpinan mereka telah tewas semua.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dari dalam lautan api dan muncullah tubuh tinggi besar dari Kok Beng Lama yang berlari meloncat keluar dari dalam lautan api, kedua tangannya memondong Bun Houw yang diselimuti jubah merahnya.

Ketika Kok Beng Lama tiba di dekat Hong Ing, dia mengeluh dan roboh terguling, akan tetapi Bun Houw tetap berada di dalam pondongannya.

“Houw-ji...!”

“Ibu...!”

Biauw Eng cepat menyambar Bun Houw yang selamat dan hanya menderita sedikit luka-luka ringan, akan tetapi Kok Beng Lama pingsan dengan tubuh hitam semua, mukanya hitam gosong dan tubuhnya penuh luka terbakar! Keng Hong cepat menolong pendeta Lama itu sedangkan Hong Ing dan Kun Liong lalu membujuk semua pendeta untuk menghentikan perlawanan sehingga perang dapat dihentikan.

Keng Hong sendiri lalu memerintahkan pasukan untuk mundur dan keluar dari tempat itu, sedangkan Hong Ing, dibantu oleh Kun Liong dan para pembantu Lama, membawa Kok Beng Lama ke dalam bangunan samping yang belum terbakar, lalu merawat kakek ini penuh ketekunan.

Sebulan kemudian tampak betapa bangunan Lama Jubah Merah yang terbakar lebih dari separuhnya itu mulai diperbaiki oleh sisa-sisa anggauta Lama yang sudah insyaf dan diampuni oleh Pemerintah Tibet. Kini, atas saran dan tanggungan dari pendekar Cia Keng Hong, Kok Beng Lama ditunjuk oleh Pemerintah Tibet untuk menjadi ketua baru dari Lama Jubah Merah. Dan pendeta tinggi besar yang kini mukanya berubah hitam itu memimpin sendiri pembangunan itu dengan wajah yang berseri. Dia mengambil keputusan di dalam hatinya untuk memperbaiki nama Lama Jubah Merah ygng telah dicemarkan dan diselewengkan oleh Sin Beng Lama bertiga.

Tak jauh dari tempat itu, di lereng gunung yang sunyi, Kun Liong dan Hong Ing duduk berdua di atas rumput hijau sambil bercakap-cakap. Wajah mereka berseri dan segar tanda bahwa hati mereka bergembira, terutama sekali Hong Ing yang telah mengalami perubahan yang amat hebat dalam hidupnya. Tadinya, dia menghadapi ancaman hebat, terpisah dari Kun Liong yang dicintanya, dan ayah kandungnya juga menjadi orang hukuman ygng tidak berdaya. Kini, ayah kandungnya sudah sembuh dan bahkan menjadi Ketua Lama Jubah Merah, dan terutama sekali Kun Liong yang dicintanya berada di sampingnya!

“Hong Ing...”

“Hemmm... ?”

Di dalam panggilan dan jawabannya yang memecah kesunyian tempat itu terkandung kemesraan dan cinta kasih yang tak perlu dinyatakan lagi dalam kata-kata karena di dalam nada suara yang singkat itu terkandung getaran penuh kasih sayang yang terasa sampai di lubuk hati masing-masing. Demikian hebat pengaruh getaran ini sehingga Kun Liong menjadi terharu dan terpesona, membuatnya sukar untuk melanjutkan kata-katanya. Hong Ing mendesaknya dengan pertanyaan melalui pandang matanya.

lanjut ke Jilid 099-->

<--kembali

Petualang Asmara Jilid 098

<--kembali

Sementara itu, Kun Liong sudah mengenal kakek tinggi besar yang muncul ini, kakek yang bernama Kok Beng Lama dan yang dulu pernah menolong dia dan Hong Ing, yang kemudian dia ketahui adalah ayah kandung dara itu. “Lociapwe, saya hendak menolong Hong Ing!” katanya ketika kakek itu menerjangnya. Namun terlambat, serangan telah tiba dan hebat bukan main serangan kaki itu. Pukulan yang dahsyat, mendatangkan hawa pukulan seperti halilintar menyambar, menuju ke arah dadanya. Kun Liong mengangkat kedua lengannya yang masih terbelenggu, mengerahkan sin-kangnya menangkis dari kiri ke kanan.

DESSS... belenggu itu kalah oleh api...!”

Tubuh Kun Liong terpental ke belakang sedangkan Kok Beng Lama juga terhuyung-huyung. Hal ini amat mengejutkan Kok Beng Lama karena pertemuan tenaga tadi membuktikan bahwa tenaga sin-kang pemuda itu amat kuatnya, tidak kalah kuat olehnya sendiri, bahkan mungkin lebih kuat atau setidaknya berimbang. Akan tetapi, Kun Liong juga terkejut dan girang karena pada saat lengan mereka bertemu tadi, dia mendengar bisikan kakek itu. Tahulah bahwa ayah kandung Hong Ing itu membantunya secara diam-diam dan dia tahu pula bahwa belenggu yang amat kuat itu, lebih kuat dari besi yang akan dapat dia patahkan, kiranya ada rahasia kelemahannya, yaitu api!

“Haiiiihhhh!” Lengking yang nyaring keluar dari dalam dada Kun Liong ketika tubuhnya melayang ke arah panggung yang mulai terbakar! Dia meloncat tinggi melewati kepala para pengeroyoknya dan ketika dia turun di dekat panggung, cepat dia merobohkan empat orang yang lari menerjangnya. Kemudian dia membalik, mengulur kedua tangannya ke api yang sudah menyala di bawah panggung. Betapa girang rasa hatinya ketika melihat lidah api menjilat belenggunya dan seperti daun kering saja, bulu-bulu hitam itu dimakan api dan dalam sekejap mata dia telah bebas! Berkat sin-kangnya yang tinggi, dia dapat menjaga kulit pergelangan tangannya sehingga tidak hangus oleh bakaran api yang tidak terlalu lama itu.

Kembali beberapa orang pendeta Lama mengeroyoknya dan kembali dia merobohkan empat orang. Akan tetapi dia melihat Kok Beng Lama juga lari mengejarnya, tepat pada saat Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama tiba di situ. Dan kini Kok Beng Lama berdiri melindunginya, bahkan menghadapi tiga orang sutenya sambil bertolak pinggang!

“Pengkhianat, kau berani membuat dosa lagi?” Sin Beng Lama membentak. “Kau tidak malu untuk melanggar janji?”

“Sin Beng Lama, pikir dulu baik-baik sebelum membuka mulut!” bentak Kok Beng Lama dengan mata melotot. “Siapa yang melanggar janji? Siapa yang membuat dosa? Tidak ada buktinya bahwa aku memberontak, maka aku tidak melanggar janji. Sebaliknya, kalian berjanji takkan mengganggu anakku buktinya kalian hendak mengorbankan dia!”

Tiga orang pimpinan Lama itu khawatir sekali melihat betapa Kun Liong sudah meloncat naik ke atas panggung dan bergegas membebaskan kekasihnya dari tiang yang sudah dihampiri oleh lidah api itu, kemudian menarik dara itu menjauhi api.

“Kun Liong...!”

“Hong Ing...!”

Mereka berpelukan, berdekapan, berciuman tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling mereka.

“Kun Liong... hu-huhhh... Kun Liong...!” Berkali-kali Hong Ing menyebut nama kekasihnya dengan mesra, akan tetapi dengan suara merintih dan menangis.

Kun Liong mengusap rambut kekasihnya penuh kemesraan, diangkatnya muka dara itu dan dipandangnya sampai lama dengan mata basah. “Hong Ing... kekasihku, pujaan hatiku... syukur aku tidak terlambat, semua ini berkat pertolongan ayahmu...”

“Ayah...?” Hong Ing yang masih berpelukan dengan kekasihnya itu menoleh ke bawah panggung. Juga Kun Liong kini teringat bahwa mereka masih belum bebas dari ancaman bahaya, masih terkepung oleh banyak lawan, maka cepat dia memandang ke bawah panggung.

Kok Beng Lama masih berhadapan dengan tiga orang sutenya, dan kini kakek itu berkata lantang, “Apa? Kau bilang bahwa anakku secara suka rela hendak mengorbankan dirinya? Benarkah itu? Mana buktinya? Itu dia, aku akan bertanya. Heiii, Hong Ing, benarkah kau dengan suka rela hendak mengorbankan dirimu menjadi mempelai dewa yang mulia?”

“Tidak, Ayah! Mereka memaksaku karena mereka menangkap Kun Liong dengan cara yang curang! Mereka mengancam hendak membunuhku sehingga Kun Liong menyerahkan diri dan untuk menolong agar Kun Liong tidak dibunuh, aku mau dibakar asal Kun Liong tidak diganggu. Mereka itu pendeta-pendeta yang berhati palsu!”

“Locianpwe, mereka adalah pemberontak-pemberontak yang bersekutu dengan Pek-lian-kauw untuk merampas Kerajaan Tibet dan Kerajaan Beng!” Kun Liong juga berteriak.

“Pengkhianat dan manusia rendah!” Sin Beng Lama sudah membentak marah sekali karena rahasianya dibongkar. Biarpun dia maklum akan kelihaian bekas suhengnya ini dan juga betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, namun dengan bantuan banyak anak buahnya, juga pasukan-pasukannya bersama pasukan Pek-lian-kauw berada di luar markas, tentu saja dia tidak takut.

“Serbuuu...! Bunuh mereka manusia-manusia berdosa ini!” Teriaknya nyaring dan dia sendiri bersama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama sudah menerjang Kok Beng Lama.

“Locianpwe, jangan khawatir, saya akan membantu!” Kun Liong berteriak sambil membawa Hong Ing meloncat turun dari panggung yang sudah terbakar.

“Desss...! Dukkk! Dukkk!” Tiga orang pimpinan Lama itu terdorong ke belakang ketika lengan Kok Beng Lama menangkis mereka dengan kekuatan yang amat dahsyat. Kok Beng Lama menoleh ke arah Kun Liong sambil berseru, “0rang muda, jangan bantu aku. Kaubawalah Hong Ing menyingkir, selamatkan dia, aku serahkan dia kepadamu dengan berkatku!”

Kun Liong mengangguk. “Hong Ing, mari kita pergi...!” katanya sambil memegang pergelangan tangan kekasihnya.

Hung Ing merenggutkan tangannya terlepas. “Tidak! Aku tidak mau meninggalkan Ayah dalam bahaya. Aku harus bantu dia! Aku akan menjadi seorang anak tak berbakti yang selamanya akan tersiksa batinku kalau aku meninggalkan ayahku yang sedang terancam bahaya.”

Kun Liong memandang kekasihnya dengan wajah berseri dan dia tersenyum, merangkul dan mencium dahi Hong Ing. Bagus! Memang begitulah seharusnya seorang wanita gagah dan berbakti. “Aku kagum kepadamu, Hong Ing, aku bangga!”

Kun Liong dan Hong Ing lalu menyerbu dan membantu Kok Beng Lama yang dikeroyok tiga oleh pimpinan Lama Jubah Merah yang sakti itu. Akan tetapi, para Lama menyerbu dan mengepung mereka sehingga terpaksa Kun Liong dan Hong Ing tidak dapat mendekati Kok Beng Lama dan menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta Lama. Mereka ini juga tidak berani membantu pimpinan mereka karena mereka maklum bahwa mencampuri pertandingan antara pimpinan Lama Jubah Merah amatlah berbahaya, sama dengan mengantar nyawa. Apalagi mereka memang merasa gentar terhadap Kok Beng Lama yang merupakan tokoh tertua di antara mereka, tokoh paling sakti pula.

Terjadilah pertandingan yang hebat sekali. Kok Beng Lama mengamuk dikeroyok oleh tiga orang sutenya, sedangkan Kun Liong bersama Hong Ing mengamuk dikeroyok puluhan orang pendeta Lama. Sementara itu, api dari panggung menjilat-jilat ke mana-mana dan karena tidak ada yang mengurus, api itu bahkah kini menjilat ke bangunan belakang markas itu! Betapa pun saktinya Kok Beng Lama, menghadapi pengeroyokan tiga orang sutenya yang penuh kemarahan itu, dia mulai terdesak juga. Demikian pula dengan Kun Liong yang menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta, bahkan masih ada puluhan orang lain yang siap mengeroyoknya menggantikan kawan yang roboh, di samping itu Kun Liong harus selalu melindungi kekasihnya pula. Keadaan mereka makin terdesak dan terancam hebat.

Tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai dan kegaduhan luar biasa di sebelah luar markas itu dan biarpun belum dapat melihat dengan mata kepala sendiri, Sin Beng Lama dan dua orang sutenya maklum bahwa pasukan mereka yang berada di luar telah diserbu musuh dan terjadi perang di luar markas. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan Sin Beng Lama berteriak kepada seorang anak buahnya untuk menyelidiki keluar markas.

Sebentar saja ributlah para pendeta Lama ketika terdengar berita bahwa di luar markas, tentara Pemerintah Beng telah menyerbu dan kini sedang berperang melawan pasukan Lama Jubah Merah yang dibantu oleh pasukan Pek-lian-kauw! Mendengar ini, para pendeta Lama yang tidak memperoleh kesempatan ikut mengeroyok Kun Liong dan Hong Ing, berserabutan lari keluar dari markas untuk membantu teman-teman mereka berperang menghadapi penyerbuan bala tentara Beng.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan pintu gerbang yang tadinya ditutup oleh para pendeta Lama yang menjaga di dalam, bobol dan berbondong-bondong masuklah bala tentara Beng dipimpin oleh dua orang laki-laki dan wanita yang amat gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, pendekar wanita Sie Biauw Eng! Bagaikan sepasang naga yang marah mengamuk, suami isteri ini menyerbu ke dalam dan setiap lawan yang berani menghadang tentu roboh dan tak dapat bangkit kembali.

Ketika melihat munculnya suami isteri pendekar ini, Kun Liong merasa girang bukan main karena kini dia merasa yakin bahwa dia, Hong Ing, dan ayah kekasihnya akan tertolong dari bahaya maut.

“Supek... Supekbo...!” teriaknya girang. “Harap Ji-wi suka membantu Kok Beng Lama Locianpwe menghadapi pimpinan mereka yang lihai!”

Mendengar ini dan melihat Kun Liong bersama seorang dara cantik mengamuk menghadapi pengeroyokan banyak pendeta Lama, Keng Hong dan isterinya agak terheran, akan tetapi mereka, diikuti oleh beberapa orang pengawal dari Panglima Besar The Hoo yang memimpin pasukan, lalu menyerbu ke tengah di mana Kok Beng Lama bertanding melawan tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang amat lihai.

Melihat kedatangan mereka itu, Sin Beng Lama mendengus marah, mengeluarkan seikat dupa dari sakunya dan sekali tiup, api di ujung lima dupa yang dipegangnya telah membakar semua ujung hio seikat itu, kemudian cepat sekali tangannya bergerak-gerak menyambit-nyambitkan dupa-dupa biting yang sudah membara ujungnya itu ke arah Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan para pengawal.

Tampak sinar-sinar kecil beterbangan ke arah pendatang-pendatang ini. “Awas...!” Cia Keng Hong berseru keras. Dia dan isterinya cepat menggerakkan kaki tangannya, kakinya menendangi hio-hio yang beterbangan di bawah, sedangkan jari-jari tangan mereka menyambar dan menjepit hio-hio yang menyambar tubuh atas mereka, lalu melempar benda-benda itu ke atas tanah. Akan tetapi, di belakang mereka terdengar jeritan-jeritan dan ternyata ada empat orang pengawal yang roboh berkelojotan, terkena hio-hio membara yang menancap di tubuh mereka.

Cia Keng Hong dan isterinya terkejut sekali. Para pengawal itu adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi, namun ternyata tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran hio-hio tadi dan sekali terkena senjata rahasia istimewa itu roboh berkelojotan dalam keadaan sekarat. Mereka menjadi marah, maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, maka Cia Keng Hong lalu mengeluarkan pedang Siang-bhok-kiam yang sejak tadi tidak pernah dipergunakannya itu. Pedang Kayu Harum ini mengeluarkan cahaya kehijauan ketika dicabut dan dengan mata memandang tajam dia bersama isterinya menerjang ke depan, disambut oleh Hun Beng Lama dah Lak Beng Lama.

“Trakkkk-trakkk!”

“Trangg! Cring...!”

Tasbih di tangan Hun Beng Lama bertemu dengan Siang-bhok-kiam dan Lama itu tergetar hebat, terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Juga tongkat di tangan Lak Beng Lama bertemu dengan Pek-in Sin-pian (Cambuk Lemas Sakti Awan Putih) yang berupa sehelai sabuk sutera putih yang dapat digerakkan menjadi kaku seperti baja oleh tangan halus yang penuh tenaga sin-kang sehingga kakek ini juga terkejut dan terhuyung ke belakang.

Sin Beng Lama yang kini harus menghadapi bekas suhengnya sendirian saja, segera terdesak hebat oleh Kok Beng Lama. Dari kedua ujung lengan jubah Kok Beng Lama menyambar-nyambar angin dahsyat dan betapa pun Sin Beng Lama berusaha untuk menyerang dengan dupa-dupa membaranya, percuma saja karena terkena sambaran angin itu dupa-dupanya menjadi padam dan patah-patah. Terpaksa Sin Beng Lama mencabut sebatang pedang lemas yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang. Sinar terang menyilaukan mata tampak dan disusul suara berdesing tinggi ketika sinar ini menyambar ke arah Kok Beng Lama. Kakek tinggi besar ini terkejut, mengelak cepat namun tetap saja kulit lehernya robek berdarah. Sambil menyeka darah di lehernya, Kok Beng Lama mendengus dan memandang penuh kemarahan kepada bekas sutenya.

“Manusia munafik!” Kok Beng Lama membentak dan menggerakkan kedua tangannya menyerang dengan lembut. Sin Beng Lama diam saja, kemudian cepat menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat putih menyilaukan mata itu. Dia tidak dapat menjawab makian bekas suhengnya karena dia tahu bahwa dia telah melanggar sumpah, sumpah kepala Lama Jubah Merah. Pedang itu adalah pedang pusaka yang selalu menjadi pegangan seorang Kepala Lama Jubah Merah, akan tetapi membunuh merupakan pantangan bagi seorang kepala Lama, apalagi membunuh dengan pedang pusaka ini! Pantangan ini diperkuat dengan sumpah bahwa kalau seorang Kepala Lama melanggarnya, dia akan tewas di ujung pedang pusaka itu sendiri. Dan kini, karena merasa tidak kuat menandingi bekas suhengnya, Sin Beng Lama melanggar sumpahnya sendiri dan mengandalkan pedang pusaka itu untuk memperoleh kemenangan.

Sambil mengeluarkan suara menggereng yang keluar dari dadanya, Kok Beng Lama menghadapi pedang pusaka di tangan Sin Beng Lama itu. Kedua lengan kakek tinggi besar ini mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat sehingga gulungan sinar pedang putih selalu terdorong mundur.

“Robohlah...!” Sin Beng Lama berteriak, melakukan penyerangan kilat, pedang pusakanya menyusul tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, menusuk dari samping menuju lambung lawan.

Kok Beng Lama maklum akan jurus serangan yang amat berbahaya ini, akan tetapi dia sudah mengambil keputusan nekat untuk membunuh bekas sutenya yang kejam dan hampir membunuh anaknya itu. Apalagi mendengar dari Kun Liong tadi bahwa sutenya ini telah menyelewengkan perkumpulan mereka, bersekutu dengan Pek-lian-kauw untuk merampas Kerajaan Tibet. Sungguh merupakan dosa yang tak dapat diampunkan.

Bagaikan sepasang garuda yang menyambar cepatnya, kedua tangannya bergerak, yang kanan menangkap tangan sutenya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, yang kiri dengan gerakan membalik dari samping, dengan telapak tangan terbuka memukul ke arah pedang yang menusuk lambungnya.

“Desss! Trangggg...!” Pedang itu terlepas dari pegangan, bahkan tangan kanan Sin Beng Lama sudah tertangkap pula oleh tangan kiri Kok Beng Lama sehingga kini kedua tangan Ketua Lama Jubah Merah telah ditangkap oleh bekas suhengnya! Keduanya saling mengerahkan sin-kang, namun tahulah Sin Beng Lama bahwa dia kalah tenaga dan kedua lengannya sudah menggigil hebat.

“Haaaaiiiikkkk...!” Tiba-tiba Sin Beng Lama mengeluarkan pekik yang menggetarkan seluruh tempat itu dan kepalanya yang gundul menyeruduk seperti seekor kerbau mengamuk ke arah perut Kok Beng Lama. Inilah serangan maut yang amat berbahaya karena kepala gundul yang kini mengeluarkan uap putih itu mengandung pemusatan sin-kang yang amat dahsyat sehingga batu karang sekalipun akan hancur lebur kalau kena diseruduk oleh kepala ini!

“Ceppppp...!” Kok Beng Lama yang melihat serangan ini, tidak mengelak bahkan memasang perutnya, menerima serudukan, bahkan perutnya yang gendut itu tiba-tiba menjadi lunak sekali, membuat kepala Sin Beng Lama menancap ke dalam rongga perutnya, terus disedot dengan pengerahan sin-kang.

Terdengar suara berkerotokan keras dan tubuh Sin Beng Lama menjadi lemas. Ketika Kok Beng Lama menarik napas panjang dan melembungkan lagi perutnya, tubuh Sin Beng Lama terlempar ke belakang dalam keadaan tak bernyawa lagi karena kepalanya retak-retak dan remuk di sebelah dalamnya. Kok Beng Lama membalikkan tubuh untuk mencari dua orang musuhnya lagi, yaitu Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama.

Begitu dia memandang, dia menjadi bengong dan terbelalak. Dua orang pendeta lama itu sedang bertanding melawan seorang laki-laki dan seorang wanita yang memiliki gerakan amat luar biasa hebatnya. Pada saat itu, sabuk sutera putih di tangan wanita cantik itu melayang seperti seekor naga putih, menyambar-nyambar ke arah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dan ketika kedua orang pendeta Lama ini menggerakkan tasbih dan tongkat untuk menangkis, kedua uJung sabuk itu telah melibat senjata-senjata mereka! Kedua orang Lama ini mengerahkan tenaga untuk menarik dan membikin putus dan rusak sabuk sutera putih, akan tetapi pada saat itu, berkelebat sinar kehijauan dari Pedang Kayu Harum, dan dua orang pendeta Lama itu mengeluh lalu roboh dan tak dapat bangkit kembali. Sedemikian cepatnya pedang itu menembus dada dan keluar lagi sehingga tidak tampak oleh pandangan mata.

Siasat kerja sama yang dilakukan oleh Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memang hebat. Tadinya, ketika Keng Hong menghadapi Hun Beng Lama dan Biauw Eng melawan Lak Beng Lama, keadaan ramai bukan main. Keng Hong dapat mendesak Hun Beng Lama, namun, Biauw Eng merasa repot menghadapi serbuan tongkat Lak Beng Lama sehingga sampai lama kedua orang suami isteri perkasa ini belum mampu merobohkan lawan. Tiba-tiba Biauw Eng berseru keras dan ini adalah tanda bagi suaminya akan siasatnya bekerja sama. Dan ternyata berhasil baik karena selagi kedua orang lawan tangguh itu bersitegang untuk menarik kembali senjata dan merusak sabuk sutera, Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong memperoleh kesempatan untuk melakukan serangan kilat yang berhasil baik.

Kok Beng Lama mengeluarkan suara gerengan hebat. Dia kaget dan heran, juga kagum akan tetapi marah sekali. Dia kaget dan heran melihat betapa dua orang sutenya itu sampai kalah, kagum melihat kelihaian suami isteri perkasa itu, akan tetapi dia marah sekali setelah kini melihat betapa para pendeta Lama diserbu oleh musuh dan banyak yang telah roboh dan tewas. Setelah kini tiga orang sutenya tewas semua, lenyap pulalah semua permusuhan di dalam hatinya terhadap perkumpulan Lama Jubah Merah, bahkan timbul kemarahannya karena dia merasa bahwa golongannya diserbu musuh. Sambil berteriak marah dia menyambar pedang pusaka yang tadi dipergunakan Sin Beng Lama, lalu berlari ke depan menyerang Keng Hong dan Biauw Eng.

“Singgg... trangg-trakkk... singgg...!” Keng Hong dan Biauw Eng yang sudah menangkis itu terdorong ke belakang dan mereka terkejut. Kiranya pendeta Lama tinggi besar ini bahkan jauh lebih lihai lagi dibandingkan dengan dua orang pendeta Lama yang telah berhasil mereka robohkan! Namun, Keng Hong cepat mendahului isterinya, menggerakkan Siang-bhok-kiam menerjang kakek itu sambil berseru, “Mundurlah, biarkan aku menghadapinya!”

Biauw Eng mengerti akan peringatan suaminya. Memang suaminya telah melihat betapa lihainya Lama tinggi besar ini sehingga kalau dia maju, akan membahayakan dirinya. Betapapun juga, Biauw Eng siap dengan sabuk sutera di tangannya, siap membantu kalau suaminya sampai terdesak dan terancam keselamatannya.

Serangkaian serangan pertama yang dilakukan Keng Hong terhadap Kok Beng Lama amatlah hebatnya sehingga mengejutkan hati pendeta Lama tinggi besar itu. Sinar kehijauan dari Siang-bhok-kiam diikuti bau yang harum dan halus menyambar-nyambar, mula-mula dari atas dengan gerakan miring membacok ke bawah mengarah leher, ketika dapat ditangkis oleh pedang di tangan kakek tinggi besar itu, pedang Siang-bhok-kiam terus menyeleweng ke samping dan membacok serta menusuk bertubi-tubi mengarah tujuh jalan darah terpenting di tubuh depan lawan, sedangkan tangan kiri pendekar sakti itu mengimbangi gerakan pedang, melakukan pukulan-pukulan tangan kosong dari jurus Thai-kek Sin-kun disertai tenaga mujijat Thi-khi-i-beng!

Kok Beng Lama repot setengah mati menghadapi serangkaian serangan ini, menangkis dengan pedang, dengan lengan kiri, mengelak dan berloncatan ke sana-sini sehingga akhirnya dia mampu lolos dari serangkaian serangan itu, setelah meloncat ke belakang dia lalu menyerbu ke depan dan membalas dengan serangannya yang tak kalah dahsyatnya sehingga kini tiba giliran Keng Hong untuk menghadapi serangan itu dengan kaget namun berhasil pula menyelamatkan diri. Terjadilah serang-menyerang yang amat seru dan Biauw Eng yang menonton di pinggir harus mengakui bahwa agaknya baru sekarang ini suaminya menghadapi tanding yang amat kuat dan seimbang! Dan biarpun tingkat kepandaiannya sendiri sudah tinggi, namun dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan pendeta Lama tinggi besar ini.

“Supek... harap tahan senjata... Locianpwe ini bukan musuh...!”

“Ayah...! Ayah, jangan melawan, Ayah...!”

Munculnya Kun Liong dan Hong Ing ini membuat Keng Hong dan Kok Beng Lama meloncat mundur. Kun Liong menghampiri Keng Hong yang memandangnya dengan alis berkerut penuh pertanyaan, sedangkan Hong Ing lalu mehubruk ayahnya. “Ayah, lekas... markas terbakar dan Sute berada di dalam...!”

Kok Beng Lama terbelalak dan cepat membalikkan tubuhnya memandang markas yang benar-benar telah menjadi lautan api itu. Dia menyelipkan pedang pusaka di pinggangnya, kemudian terdengar dia mengeluarkan seruan yang keras sekali seperti gerengan seekor singa. “Bun Houw...!” Dan tubuhnya yang tinggi besar sudah melesat ke depan.

“Brakkkkk!” Dinding itu diterjangnya saja sampai ambrol.

“Bresss!” Dinding yang ke dua ambrol lagi dan tampak kakek itu menerjang melalui dinding yang diruntuhkannya memasuki lautan api!

“Ayaaahhh...!” Hong Ing juga lari ke arah lautan api, akan tetapi tiba-tiba pinggangnya dirangkul Kun Liong dari belakang. Dara itu meronta dan menangis. “Biarkan aku menyusul Ayah!”

Namun Kun Liong memperkuat pelukannya. “Hong Ing... ingatlah, ayahmu sedang berusaha menyelamatkan Bun Houw, tidak ada gunanya engkau membuang nyawa sia-sia di situ.”

Sementara itu, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi pucat mukanya ketika melihat kakek tinggi besar tadi menerjang api dan meneriakkan nama Bun Houw, putera mereka!

“Kun Liong, apa artinya ini? Mana Bun Houw?” Keng Hong bertanya.

“Supek, saya pun baru saja mendengar dari Hong Ing bahwa Adik Bun Houw berada di sini, di dalam markas yang terbakar itu.”

Hong Ing kini menghadapi Cia Keng Hong dan isterinya, tanpa banyak sopan santun lagi karena keadaan sedang tegang seperti itu segera berkata, “Sute Cia Bun Houw diambil murid oleh Ayah... dan... kini Ayah sedang mencarinya ke dalam sana...”

“Houw-ji (Anak Houw)...!” Sie Biauw Eng menjerit.

“Harap Supek-bo tenang...!” Kun Liong berkata khawatir melihat keadaan nyonya yang perkasa itu, yang memandang ke arah api dengan mata terbelalak.

“Ayahku lebih tahu akan keadaan di dalam, mudah-mudahan dapat menyelamatkan Sute.” Hong Ing berkata lirih, seperti kepada diri sendiri.

“Aku akan mencarinya!” Biauw Eng hendak meloncat, akan tetapi tangannya disambar suaminya.

“Ucapan Nona ini tepat. Ayahnya lebih mengenal keadaan, kalau kau atau aku yang masuk ke lautan api itu tanpa mengenal keadaan dan tanpa mengetahui persis di mana adanya Bun Houw sama dengan membunuh diri.”

“Aku tidak takut mati untuk membela anakku!” Biauw Eng berteriak marah dan meronta.

Keng Hong terpaksa merangkul dan memeluknya seperti yang dilakukan oleh Kun Liong kepada Hong Ing tadi. “Siapa takut mati? Aku pun tidak takut, akan tetapi perlukah mati konyol? Bagaimana kalau nanti Bun Houw selamat akan tetapi kita berdua mati terbakar di sana?”

Kata-kata ini dapat diterima oleh Biauw Eng. Dia memandang dengan muka pucat dan menahan napas. Bukan hanya dia, juga Keng Hong, Kun Liong, dan Hong Ing memandang ke arah lautan api dengan muka pucat dan menahan napas, dalam suasana yang amat menegangkan hati. Sampai lama mereka berdiri tanpa bergerak, seolah-olah mereka lupa keadaan sekeliling di mana masih terdapat pertempuran-pertempuran berat sebelah antara pasukan pemerintah melawan para pendeta Lama yang hanya melakukan perlawanan dengan setengah hati karena selain pasukan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir dan lari bersama pasukan sukarela terdiri dari penduduk dusun, juga pimpinan mereka telah tewas semua.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dari dalam lautan api dan muncullah tubuh tinggi besar dari Kok Beng Lama yang berlari meloncat keluar dari dalam lautan api, kedua tangannya memondong Bun Houw yang diselimuti jubah merahnya.

Ketika Kok Beng Lama tiba di dekat Hong Ing, dia mengeluh dan roboh terguling, akan tetapi Bun Houw tetap berada di dalam pondongannya.

“Houw-ji...!”

“Ibu...!”

Biauw Eng cepat menyambar Bun Houw yang selamat dan hanya menderita sedikit luka-luka ringan, akan tetapi Kok Beng Lama pingsan dengan tubuh hitam semua, mukanya hitam gosong dan tubuhnya penuh luka terbakar! Keng Hong cepat menolong pendeta Lama itu sedangkan Hong Ing dan Kun Liong lalu membujuk semua pendeta untuk menghentikan perlawanan sehingga perang dapat dihentikan.

Keng Hong sendiri lalu memerintahkan pasukan untuk mundur dan keluar dari tempat itu, sedangkan Hong Ing, dibantu oleh Kun Liong dan para pembantu Lama, membawa Kok Beng Lama ke dalam bangunan samping yang belum terbakar, lalu merawat kakek ini penuh ketekunan.

Sebulan kemudian tampak betapa bangunan Lama Jubah Merah yang terbakar lebih dari separuhnya itu mulai diperbaiki oleh sisa-sisa anggauta Lama yang sudah insyaf dan diampuni oleh Pemerintah Tibet. Kini, atas saran dan tanggungan dari pendekar Cia Keng Hong, Kok Beng Lama ditunjuk oleh Pemerintah Tibet untuk menjadi ketua baru dari Lama Jubah Merah. Dan pendeta tinggi besar yang kini mukanya berubah hitam itu memimpin sendiri pembangunan itu dengan wajah yang berseri. Dia mengambil keputusan di dalam hatinya untuk memperbaiki nama Lama Jubah Merah ygng telah dicemarkan dan diselewengkan oleh Sin Beng Lama bertiga.

Tak jauh dari tempat itu, di lereng gunung yang sunyi, Kun Liong dan Hong Ing duduk berdua di atas rumput hijau sambil bercakap-cakap. Wajah mereka berseri dan segar tanda bahwa hati mereka bergembira, terutama sekali Hong Ing yang telah mengalami perubahan yang amat hebat dalam hidupnya. Tadinya, dia menghadapi ancaman hebat, terpisah dari Kun Liong yang dicintanya, dan ayah kandungnya juga menjadi orang hukuman ygng tidak berdaya. Kini, ayah kandungnya sudah sembuh dan bahkan menjadi Ketua Lama Jubah Merah, dan terutama sekali Kun Liong yang dicintanya berada di sampingnya!

“Hong Ing...”

“Hemmm... ?”

Di dalam panggilan dan jawabannya yang memecah kesunyian tempat itu terkandung kemesraan dan cinta kasih yang tak perlu dinyatakan lagi dalam kata-kata karena di dalam nada suara yang singkat itu terkandung getaran penuh kasih sayang yang terasa sampai di lubuk hati masing-masing. Demikian hebat pengaruh getaran ini sehingga Kun Liong menjadi terharu dan terpesona, membuatnya sukar untuk melanjutkan kata-katanya. Hong Ing mendesaknya dengan pertanyaan melalui pandang matanya.

lanjut ke Jilid 099-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar