Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 91

Petualang Asmara Jilid 091

<--kembali

Ayahnya menggeleng kepala. “Janji lebih penting daripada segalanya, Anakku. Kautinggallah di sini, sebagai kcluarga terhormat dan lebih dari itu lagi, setiap hari engkau dapat menjengukku di penjara dan aku akan mewariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu!”

Hong Ing merasa kecewa dan berduka sekali sehingga air matanya mengalir lagi. Akan tetapi Kok Beng Lama mengira bahwa anaknya menangis saking senangnya, maka dia tertawa-tawa lagi.

“Kok Beng Lama, sudah cukup kiranya pertemuan dengan puterimu. Setiap hari engkau masih akan dapat bertemu. Sekarang, marilah kami antar engkau memasuki tempat hukumanmu!”

Karena hatinya merasa gembira, Kok beng Lama mengangguk dan sambil tertawa-tawa dia diantar ke tempat hukuman, di mana dahulu dia mendekam selama sepuluh tahun. Kalau dulu dia menghabiskan waktu hukuman dengan memperdalam ilmu-ilmunya, sekarang dia hendak menghabiskan waktu hukuman dan sisa hidupnya untuk mewariskan ilmu-ilmunya itu kepada anak tunggalnya, Pek Hong Ing.

Susiok, aku tidak bicara main-main. Aku ingin menebus dosa ibuku!”

Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama saling pandang mendengar ucapan Hong Ing yang pagi hari itu datang menghadap mereka di ruangan dalam setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang dan membaca doa pagi.

“Mengapa, Hong Ing? Bukankah kau hidup cukup terhormat dan senang di sini? Bukankah kami memperlakukan engkau dengan baik seperti janji kami dan semua anggauta bersikap hormat kepadamu?” tanya Sin Beng Lama.

“Benar Susiok, akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku melakukannya untuk menebus dosa ibuku. Ibu telah melakukan dosa kepada agama kita dan untuk dosa itu sekarang Ayah yang menanggung derita dan hukumannya. Semua ini terjadi karena kutukan Dewa, sehingga aku pun hidup sengsara dan disakiti hati orang. Maka, aku hendak menebus dosa dengan mengorbankan diri kepada Dewa sebagai pengganti ibuku. Karena ibuku melarikan diri dari tangan Dewa, maka Dewa telah mengutuknya dan aku sebagai puterinya tentu akan mereka kutuk pula.”

“Omitohud... engkau hebat sekali, Pek Hong Ing. Engkau seorang dara yang suci dan bersih hatimu, dan engkau memang pantas sekali menjadi kekasih Dewa.” kata Sin Beng Lama dengan pandang mata penuh kagum.

“Aku memang sudah ditakdirkan menjadi kekasih Dewa, Susiok. Hampir setiap malam aku telah bermimpi dan selalu bertemu dan dicumbu rayu oleh Dewa yang bertangan enam bermuka tiga...”

“Siancai...!”

“Omitohud...!”

Tiga orang pendeta Lama itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada dan mulut mereka berkemak-kemik membaca doa. Ketika mereka memandang lagi kepada Hong Ing, pandang mata mereka berubah, amat kagum dan menghormat sekali!

“Keponakanku yang baik, Pek Hong Ing. Semua itu adalah tanda-tanda dari Dewa dan sudah semestinya kalau kita semua mentaatinya. Akan tetapi, kami tidak berani karena ayahmu pasti akan mengamuk kalau mendengar engkau akan mengorbankan dirimu kepada Dewa.”

“Ayah sudah berjanji tidak akan memberontak lagi, Susiok. Dan urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ayah. Sesungguhnya, perbuatan Ayah itulah yang membuat aku mengambil keputusan ini. Ibu telah berdosa kepada Dewa, juga Ayah telah berdosa, maka terlahir aku yang harus menebus dosa mereka itu dengan mengorbankan diri kepada Dewa.”

“Bagus, bagus! Pinceng yakin bahwa seorang perawan seperti engkau ini tentu dapat menjadi kekasih Dewa, Hong Ing.”

“Akan kuusahakan agar Dewa mencintaku, Susiok, sehingga aku dapat membujuknya mengampuni ayah-ibuku, juga agar Dewa memberkahi para Susiok dan agama kita ini...”

“Omitohud...!” Tiga orang itu berseru dengan girang sekali.

“Akan tetapi,” Sin Beng Lama berkata lagi, meragu. “Kami telah berjanji kepada ayahmu untuk memperlakukanmu dengan baik, tidak akan mengganggumu...”

“Susiok, urusan ini tidak ada pihak yang mendesak atau didesak. Susiok sekalian telah memperlakukan aku dengan baik, Susiok sekalian tidak melanggar janji kepada Ayah. Aku mau mengorbankan diriku kepada Dewa atas kehendakku sendiri, secara suka rela. Biarlah kalau sudah tiba masanya, aku sendiri yang akan memberi penjelasan kepada Ayah dan aku tanggung dia tidak akan dapat melakukan apa pun kecuali menyesali dosa-dosanya dahulu.”

“Ahhh, engkau hebat dan baik sekali, Anakku...” Sin Beng Lama sampai harus mengusap dua titik air matanya saking terharu hatinya. Tentu saja apa yang diusulkan oleh dara itu amat besar artinya bagi mereka. Bayangkan saja. Keponakannya akan menjadi kekasih Dewata! Menjadi kekasih Dewa Syiwa yang maha sakti dan hal itu tentu akan mengangkat kedudukan rohani mereka! Dengan jadinya seorang keponakan mereka menjadi kekasih Dewa, maka sorga dan nirwana sudah berada di telapak tangan mereka!

“Bukan aku yang baik, Susiok, karena itu hanyalah merupakan kewajibanku menebus dosa orang tua. Akan tetapi aku mengharukan kebaikan dari Susiok untuk memenuhi permohonanku yang terakhir yang juga merupakan syarat tunggalku untuk melakukan pengorbanan diri.”

“Permohonan terakhir seorang perawan suci merupakan perintah! Katakanlah apa yang harus kami lakukan?” Hun Beng Lama berkata penuh semangat karena dia yakin berdasarkan kepercayaannya bahwa kelak dia pun akan menerima anugerah dan ikut memperoleh sepercik berkah dari Dewa.

“Aku mendengar bahwa seorang yang dengan setulusnya hati hendak berbakti kepada Dewa haruslah dengan hati bersih dari segala perasaan dendam, benci dan kemarahan.”

“Benar sekali! Memang Dewa menghendaki seorang anak perawan yang suci dan bersih lahir batin.”

“Itulah yang menjadi penghalang, Susiok. Aku pernah mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia telah memarahkan hatiku, membuatku menaruh dendam dan merubah cintaku menjadi kebencian. Oleh karena itu, sebelum melihat dia diseret ke depan kakiku, perasaan itu akan terus berada di dalam hatiku, membuat aku kurang bersih jika kelak menghadap Dewa yang agung. Maka, aku mohon kepada Susiok agar suka turun gunung dan menangkap pemuda yang menyakitkan hatiku itu. Setelah melihat dia tertangkap di sini, barulah aku dengan hati lapang dan bersih akan mengorbankan diri dengan suka rela dan biar dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri sebagai hukumannya.”

“Pemuda itu... yang menemanimu di pulau kosong itu?” tanya Sin Beng Lama.

“Benar dialah orangnya. Bagaimana Susiok dapat menduganya demikian tepat?”

“Pinceng sudah mendengar kata-katanya ketika membelamu, dan melihat engkau menampar mukanya...”

“Memang dia amat menyakitkan hatiku, Susiok. Karena itu, kalau Susiok sekalian dapat memenuhi permintaanku, yaitu menangkap pemuda itu dan membawanya ke sini, maka siaplah aku untuk mengorbankan diri kepada Dewa.”

“Benarkah kata-katamu itu?”

“Aku berjanji dan janji lebih berharga daripada mati!”

“Baik, kalau begitu, biarlah kedua Sute Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memenuhi permintaanmu itu, menangkap pemuda yang kaumaksudkan dan menyeretnya ke depan kakimu. Hun Beng Sute dan Lak Beng Sute, pemuda itu cukup lihai akan tetapi pinceng yakin bahwa Sute berdua akan mampu membekuknya.”

“Baik, Suheng,” jawab Hun Beng Lama. “Hong Ing, siapakah nama pemuda itu dan di mana adanya dia? Apakah masih di pulau kosong itu?”

“Bukan, bukan di sana. Kami berdua hanya menggunakan tempat itu sementara saja, Susiok. Setelah aku pergi ikut dengan Sam-wi Susiok (Paman Guru Bertiga) dia pasti segera meninggalkan tempat itu.”

“Habis, di mana kami harus mencarinya?”

“Aku tahu di mana adanya pemuda itu. Yap Kun Liong, nama pemuda itu, sekarang pasti berada di puncak Cin-ling-san. Dia adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai dan dia bermain cinta dengan puteri ketua yang menjadi paman gurunya itu. Karena itulah aku bersakit hati. Maka harap Ji-wi Susiok (Paman Guru Berdua) suka mencarinya di Cin-ling-san.”

Tiga orang Lama itu sama sekali belum pernah mendengar nama Ketua Cin-ling-pai, maka mereka tidak menaruh curiga apa-apa. Karena sudah pernah bertemu dengan Yap Kun Liong, maka Sin Beng Lama merasa yakin bahwa kedua orang sutenya sudah cukup untuk menangkap pemuda itu. Maka berangkatlah kedua orang pendeta Lama itu meninggalkan Tibet dengan hati penuh semangat dan kegembiraan karena mereka menganggap perintah dari “perawan suci” ini merupakan tugas yang mulia bagi mereka.

Tentu saja semua itu adalah siasat yang amat cerdik dari Hong Ing. Dara ini tentu saja tidak betah tinggal di tempat itu, dan biarpun dia mulai menerima gemblengan ayahnya yang sakti, namun ayahnya tidak mau melanggar janji dan tidak mau pergi bersamanya meninggalkan tempat itu, bahkan ayahnya sudah mengambil keputusan untuk menghabiskan sisa hidupnya di tempat hukuman itu! Karena maklum bahwa sia-sia saja untuk membujuk ayahnya, Hong Ing lalu mencari akal. Dia tahu dengan pasti bahwa Kun Liong tentu berusaha menyusul dan mencarinya, maka dia lalu mempergunakan siasat untuk menghubungi Kun Liong, bahkan dengan cerdik dia memberikan alamat Cin-ling-pai dengan maksud menarik perhatian Ketua Cin-ling-pai yang amat sakti sehingga Kun Liong memperoleh bala bantuan yang amat kuat. Kalau ada Lama mencari Kun Liong di Cin-ling-pai, tentu Pendekar Sakti Cia Keng Hong akan tertarik dan tentu akan ikut turun tangan, apalagi karena dua orang Lama yang mengandalkan kepandaiannya itu tentu akan berterus terang untuk menangkap Kun Liong.

Setelah kedua orang Lama itu berangkat, legalah hati Hong Ing dan dia hanya menanti dengan sikap gembira. Membayangkan Kun Liong akan tiba di tempat itu memberi kekuatan yang ajaib kepadanya, membuatnya gembira sekali karena andaikata siasatnya gagal dan Kun Liong benar-benar ditangkap dan dibawa ke situ, dia akan rela menderita atau mati sekalipun asal berada di dekat pemuda itu. Dalam kegembiraan yang didorong harapan bertemu kembali dengan pemuda yang dicintainya itu, Hong Ing mulai tekun mempelajari dan melatih ilmu yang diajarkan oleh ayahnya yang sama sekali tidak tahu akan siasat yang dijalankan oleh puterinya.

“Ibu kenapa Ayah belum juga pulang?” anak laki-laki berusia lima tahun itu merengek kepada ibunya.

Wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan masih amat cantik itu menarik napas panjang, lalu menjawab dengan nada suara yang merasa kesal hatinya. “Gara-gara encimu! Akan tetapi kurasa tak lama lagi dia akan pulang Bun Houw!”

Wanita itu adalah Sie Biauw Eng atau Nyonya Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, sedangkan anak laki-laki itu adalah Cia Bun Houw, anak ke dua atau putera tunggal suami isteri pendekar ini. Cin-ling-pai yang mempunyai banyak anggauta atau anak murid itu kelihatan sunyi setelah Cia Keng Hong pergi, apalagi setelah lebih dulu Giok Keng lolos dari tempat itu.

“Akan tetapi aku sudah rindu kepada Ayah dan Cici, Ibu.”

“Sabarlah, Houw-ji (Anak Houw). Seorang calon pendekar harus memiliki kesabaran yang besar, dan pula, ayahmu tentu baru akan pulang kalau sudah bertemu dengan encimu Giok Keng.”

“Dasar Enci yang nakal, pergi saja kerjanya! Ibu, kalau aku sudah besar, apa aku juga boleh merantau seperti Enci Keng?”

“Tentu saja boleh, akan tetapi engkau harus sudah dewasa dan kepandaianmu untuk menjaga diri sudah cukup kuat. Karena itu kau harus rajin berlatih, Houw-ji. Mari kita ke tempat latihan, pasangan kuda-kudamu yang kaulatih kemarin itu masih belum baik benar, juga gerakan langkah kakimu masih kurang tepat.”

Ibu dan anak itu lalu pergi ke kebun belakang di mana mereka biasanya berlatih silat. Sebagai putera suami isteri pendekar yang berilmu tinggi itu, tentu saja sejak kecil Bun Houw telah dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh orang tuanya dan ketika ayahnya pergi sampai berbulan-bulan lamanya, ibunyalah yang melatihnya. Tentu saja di samping pelajaran ilmu silat yang baru dilatih dasar-dasarnya, anak itu pun diberi pelajaran membaca dan menulis.

Selagi ibu yang memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat ini memberi petunjuk kepada puteranya, di luar rumah tempat tinggal Ketua Cin-ling-pai itu terjadi pula hal yang menarik. Lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang dikepalai oleh Kwee Kin Ta, berhadapan dengan dua orang pendeta gundul yang berjubah kotak-kotak merah. Lima orang itu tentu saja menyambut kedatangan dua orang pendeta itu dengan sikap hormat, apalagi melihat bahwa dua orang itu sudah tua dan kelihatan saleh. Yang seorang memegang sebatang tongkat untuk membantunya jalan mendaki puncak, yang ke dua sambil melangkah tiada hentinya mempermainkan biji-biji tasbihnya seperti membaca doa.

Setelah menyambut dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan, Kwee Kin Ta bertanya, “Bolehkah kami mengetahui siapa nama Ji-wi Losuhu (Dua Bapak Pendeta) yang terhormat, dari kuil mana dan ada keperluan apakah mengunjungi Cin-ling-pai?”

Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Hun Beng Lama yang membawa tasbih dan Lak Beng Lama yang memegang tongkat. Dengan sikap dan suara halus Hun Beng Lama menjawab, “Apakah Sicu sekalian ini murid-murid Cin-ling-pai?”

“Benar, Losuhu.”

“Kedatangan kami adalah untuk mencari seorang yang bernama Yap Kun Liong,” kata pula Hun Beng Lama.

Lima orang murid Cin-ling-pai itu memandang heran dan beberapa orang anak murid yang melihat dari jauh kini datang mendekat karena ingin tahu. Maklumlah tempat yang sunyi dan tenteram itu jarang menerima kunjungan orang luar. Tentu saja Kwee Kin Ta dan para sutenya sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong itu sekarang, nama yang dipuji-puji guru dan ibu guru mereka.

“Dia tidak berada di sini, Losuhu,” jawab Kwee Kin Ta tanpa ragu-ragu lagi.

“Kalau begitu di mana dia?” Tiba-tiba Hun Beng Lama bertanya dan pandang matanya tajam penuh selidik. Melihat sinar mata yang amat tajam berpengaruh itu, Kwee Kin Ta menjadi terkejut, juga curiga.

“Kami tidak tahu dia berada di mana,” jawabnya.

“Kalian tidak tahu apa-apa, baiklah pinceng hendak menemui Ketua Cin-ling-pai saja!” Kedua orang pendeta itu terus melangkah hendak memasuki pintu depan rumah tinggal Cia Keng Hong

“Eh, nanti dulu, Ji-wi Losuhu! Guru kami juga sedang tidak ada, akan tetapi kalau hanya urusan derma untuk kuil saja cukup dapat diselesaikan dengan kami sebagai wakil ketua kami.”

“Hemm, pinceng tidak membutuhkan dermaan, hendak bertemu dengan Ketua Cin-ling-pai...!” kata pula Hun Beng Lama dan bersama sutenya dia terus saja masuk ke dalam rumah.

“Tahan...!” Kwee Kin Ta berseru marah. “Harap Ji-wi Losuhu sebagai orang-orang beribadat tahu sedikit aturan dan tidak menyelonong masuk begitu saja tanpa ijin! Biarlah kami laporkan kepada Subo (Ibu Guru) kami!”

Dua orang pendeta itu berhenti dan saling pandang, kemudian mereka mengikuti Kwee Kin Ta dan para sutenya yang pergi menuju ke taman bunga di belakang rumah, di mana ibu guru mereka biasanya sedang melatih puteranya.

Melihat betapa dua orang pendeta tua yang aneh itu mengikuti mereka, mereka tidak dapat melarang dan cepat-cepat memasuki taman.

“Heii, ada apakah kalian datang ke sini, Kin Ta?” Sie Biauw Eng menegur tak senang karena merasa terganggu.

“Maaf, Subo. Ada dua orang pendeta yang ingin berjumpa dengan Kun Liong, setelah teecu beri tahu tidak ada, lalu memaksa hendak bertemu dengan Suhu.”

Sie Biauw Eng mengangkat muka dan melihat dua orang pendeta tua itu memasuki taman. Sekelebatan saja mengertilah nyonya ini bahwa dua orang pendeta yang kelihatan lemah dan halus itu tentu mempunyai urusan penting sekali dan agaknya merupakan orang-orang yang biasa diturut kehendaknya sehingga kini mereka berani memasuki taman tanpa ijin.

“Kalian minggirlah!” katanya kepada para anggauta Cin-ling-pai yang memenuhi taman, kemudian dengan langkah tenang nyonya ketua ini maju menyambut kedatangan dua orang pendeta itu. Melihat pakaian mereka, Sie Biauw Eng dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan pendeta-pendeta Lama dari barat, maka dia bersikap hati-hati karena maklum bahwa pendeta-pendeta Lama banyak yang memiliki kepandaian tinggi.

Setelah berhadapan, Sie Biauw Eng yang berpemandangan tajam itu dapat melihat dari sinar mata kedua orang pendeta itu bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki sin-kang kuat sekali, maka diam-diam dia terkejut dan cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat yang dibalas oleh mereka.

“Selamat datang di Cin-ling-san, Ji-wi Losuhu. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah Ji-wi hendak menemui suamiku?” tanya Sie Biauw Eng dengan suara lembut namun pandang matanya penuh selidik.

“Maafkan pinceng, Toanio. Kedatangan kami berdua ini adalah untuk mencari seorang bernama Yap Kun Liong karena urusan pribadi. Kami tidak mempunyai urusan dengan Cin-ling-pai.”

“Silakan Ji-wi duduk di ruangan tamu di mana kita dapat bicara dengan sebaiknya.”

Hun Beng Lama menggerakkan tangan kirinya digoyang-goyang. “Tidak usah, Toanio. Terima kasih atas kebaikanmu. Di sini pun sama saja.”

“Losuhu, di sini tidak ada orang yang bernama Yap Kun Liong.”

Kedua orang pendeta itu memandang dengan tajam penuh selidik. “Benarkah demikian? Bukankah ada hubungan antara Ketua Cin-ling-pai dengan pemuda bernama Yap Kun Liong itu?”

“Tidak salah. Dia memang murid keponakan suamiku, akan tetapi pada saat ini Yap Kun Liong tidak berada di sini. Sebagai Bibi Gurunya, bolehkah aku mengetahui apa maksud Ji-wi mencari Yap Kun Liong.”

“Kami hendak menangkapnya,” jawab Hun Beng Lama dengan tenang. Pendeta ini terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri maka dia merasa tidak perlu menyembunyikan niatnya dari siapa pun yang toh tidak akan dapat menghalanginya.

Jawaban ini tentu saja mengejutkan semua orang, terutama sekali Sie Biauw Eng. Akan tetapi kalau para murid Cin-ling-pai kelihatan kaget adalah nyonya cantik ini tenang-tenang saja.

“Ibu...,kata Ibu para pendeta adalah orang-orang suci, kenapa dua orang ini hendak menangkap orang? Apakah mereka pendeta-pendeta palsu?”

“Hushhh, Houw-ji, diamlah kau dan jangan turut campur.” Sie Biauw Eng kaget mendengar kelancangan mulut puteranya. Dua orang pendeta itu menjadi merah mukanya dan mereka melirik ke arah Bun Houw, diam-diam mereka terkejut dan kagum melihat anak laki-laki yang dari jauh saja sudah nampak memiliki tulang baik dan bakat untuk menjadi seorang pandai!

“Ji-wi Losuhu sudah jauh-jauh datang ke Cin-ling-pai dengan sia-sia saja karena yang dicari tidak ada. Bolehkah aku mengetahui nama julukan Ji-wi yang mulia dan dari golongan manakah?”

“Pinceng adalah Hun Beng Lama dan ini adalah Sute Lak Beng Lama. Kami datang dari jauh sekali, dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet, sengaja datang untuk menangkap pemuda yang bernama Yap Kun Liong. Kalau dia tidak ada, biarlah kami bicara dengan Ketua Cin-ling-pai yang menjadi paman gurunya, karena sebagai paman gurunya tentu akan tahu di mana adanya pemuda itu.”

“Sayang sekali, Losuhu. Suamiku pun sedang turun gunung, sudah beberapa bulan belum pulang, dan aku sendiri pun tidak tahu di mana adanya Yap Kun Liong dan suamiku pada saat ini.”

Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saling pandang dengan hati kesal. Hun Beng Lama menarik napas panjang.

“Huhhh... sungguh tidak kebetulan sekali...!” Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menoleh ke arah Cia Bun Houw yang berdiri di dekat ibunya. “Ada jalan baik! Toanio, urusan kami dengan Yap Kun Liong amat penting. Apa pun yang terjadi, di dunia ini, Yap Kun Liong harus menjadi tawanan kami. Karena dia tidak ada, suamimu tidak ada dan engkau tidak tahu di mana adanya mereka, maka suamimu sebagai paman gurunya harus bertanggung jawab. Karena itu, sebagai gantinya, pinceng akan membawa puteramu ini, dan kelak kalau suamimu datang ke Tibet mengantarkan Yap Kun Liong, kami akan mengembalikan puteramu.”

“Pendeta iblis keparat!” Sie Biauw Eng tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Memang pada dasarnya, Biauw Eng adalah seorang wanita yang berwatak keras, berani dan bahkan agak ganas. Di dalam cerita“Pedang Kayu Harum” digambarkan dengan jelas akan watak dan sepak terjang Sie Biauw Eng ketika masih muda. Kini dia telah menjadi ibu dari dua orang anak, bahkan anak yang pertama, Cia Giok Keng, telah dewasa sehingga dia telah menjadi setengah tua. Usia dan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai membuat dia dapat bersikap tenang dan sabar. Namun begitu tersentuh dan tersinggung perasaan marahnya, dia bagaikan sebatang mercon yang dinyalakan sumbunya, meledak dengan hebat dan berubah menjadi seekor singa betina! Begitu mendengar niat pendeta itu akan menculik puteranya untuk kelak “ditukar” dengan Yap Kun Liong, dia memaki lalu mengeluarkan pekik melengking, sekali kakinya terayun tubuh puteranya mencelat ke arah Kwee Kin Ta dibarengi seruannya, “Kin Ta, jaga adikmu!” kemudian dia sudah menerjang dengan kedua tangannya, mengirim pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka berturut-turut tujuh kali ke arah jalan darah di bagian tubuh yang paling berbahaya dari Hun Beng Lama!

“Omitohud...!” Hun Beng Lama terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nyonya cantik ini memiliki kecepatan yang sedahsyat itu. Hanya dengan susah payah, mencelat ke sana-sini sambil menggerakkan tasbihnya, dia dapat menghindarkan diri, lalu tasbihnya diputar mengeluarkan suara berketrik menulikan telinga mereka yang mendengarnya.

Elakan-elakan kakek itu membuat Biauw Eng maklum akan kebenaran dugaannya bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka dia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, melainkan sudah menerjangnya dengan serangan-serangan dahsyat, mainkan ilmu silatnya yang amat cepat dan mengerahkan pukulan-pukulan berdasarkan sin-kang yang amat ditakuti orang ketika dia masih malang-melintang di dunia kang-ouw dahulu, yaitu Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Pukulan ini amat hebat, jangankan sampai telapak tangan nyonya cantik itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan tangguh! Mengapa isteri seorang pendekar sakti seperti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai sampai memiliki ilmu pukulan beracun sekeji itu? Hal ini tidaklah aneh bagi yang telah membaca ceritaPedang Kayu Harum , karena memang di waktu mudanya Sie Biauw Eng adalah puteri dan murid tokoh atau datuk kaum sesat! Bahkan dia sendiri dijuluki orang Song-bun-kwi (Wanita Cantik Berkabung) karena pakaiannya selalu putih.

Dahulu di waktu masih gadis saja Sie Biauw Eng telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa, apalagi setelah dia menjadi isteri Pendekar Sakti Keng Hong dia memperoleh petunjuk suaminya, maka dapat dibayangkan betapa lihai adanya wanita ini.

“Trik-trrriiiikkk...!” Tasbih di tangan Hun Beng Lama mengeluarkan bunyi nyaring dan senjata itu menyambar ke arah tubuh lawan dengan tenaga mujijat dan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.

WUUUUTTT... wirrr... tar-tar-tar...!”

“Hebat...!” Hun Beng Lama memuji lagi dengan kagetnya ketika serangan tasbihnya itu tiba-tiba dihadang oleh selembar cahaya putih halus yang bukan saja menangkis sambaran tasbihnya malah cahaya yang ternyata hanyalah sehelai sabuk sutera tipis itu membalas dengan sambaran dahsyat dan ujung sabuk itu mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar menyambar. Inilah senjata istimewa nyonya itu yang hanya mengeluarkannya apabila dia menghadapi lawan tangguh yang sukar dikalahkannya dengan tangan kosong. Sabuk sutera itu terkenal di dunia kang-ouw dengan nama Pek-in-sin-pian (Cambuk Sakti Awan Putih) karena kalau dimainkan oleh Sie Biauw Eng bentuk sabuk sutera itu lenyap sama sekali, yang tampak hanyalah cahaya bergulung-gulung seperti awan putih, namun dari awan itu menyambar-nyambar sinar kilat yang dapat membawa maut!

Melihat betapa nyonya yang lihai itu dapat menandingi suhengnya, Lak Beng Lama lalu meloncat ke arah Kwee Kin Ta yang menggandeng tangan Cia Bun Houw dan melindungi putera subonya ini. Melihat gerakan ini, Kwee Kin Ci, adik dari Kwee Kin Ta dan sembilan orang murid kepala lainnya menerjang maju sambil berteriak marah.

Terdengar suara senjata berkerontangan disusul robohnya lima enam orang murid kepala Cin-ling-pai yang terlempar ke kanan kiri kena disapu oleh tongkat di tangan Lak Beng Lama yang amat lihai! Kwee Kin Ci membacokkan pedangnya dari samping kiri, sedangkan para sutenya yang lain kembali sudah menyerang dari segala jurusan.

“Plakkk...!” Tubuh Kwee Kin Ci tersungkur dan pedangnya patah setelah ditangkis oleh tangan kiri kakek itu! Dapat dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian Lak Beng Lama dibandingkan dengan para anak murid Cin-ling-pai itu ketika dengan tangan kosong saja dia mampu mematahkan pedang dan bahkan terus merobohkan pemiliknya dengan hantaman hawa pukulan telapak tangannya. Melihat adiknya roboh dan kakek itu jelas hendak merampas Cia Bun Houw, Kwee Kin Ta sebagai murid kepala yang kepandaiannya paling tinggi mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya menusuk ke arah dada kakek itu, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka membuat gerakan menusuk ke arah perut.

“Ceppp! Cepppp!” Dua tusukan pedang dan jari tangan itu terhenti ketika dengan dua jari telunjuk dan tengah kiri Lak Beng Lama menjepit pedang yang menusuk dadanya, sedangkan tangan kiri Kwee Kin Ta itu dibiarkan memasuki perutnya!

“Augghhhhh...!” Kwee Kin Ta menjerit ketika merasa betapa tangan yang memasuki rongga perut sedalam pergelangan itu tak dapat dicabutnya kembali dan terasa panas seperti dibakar!

“Wirrrr... siuuuuut... tar-tarrr...!”

lanjut ke Jilid 092-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar