Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 90

Petualang Asmara Jilid 090

<--kembali

Kakek itu kembali tidak mempedulikan, seolah-olah tidak mendengar kata-kata Hong Ing. “Setelah Kok Beng Lama keluar dari hukuman, dia melakukan dosa ke dua yang lebih hebat. Dia telah membunuh ketua kami, yaitu Twa-suheng kami! Kemudian dia melarikan diri...”

“Tentu untuk mencari Ibu dan aku!”

“Dosanya yang besar harus dihukum, maka pinceng sendiri bersama kedua orang Sute...”

“Kalian tiga orang pendeta jahat!”

“Kami turun gunung untuk mencarinya, namun tidak berhasil. Untung kami berjumpa dengan Go-bi Sin-kouw dan dengan tusukan-tusukan hio (dupa biting) dia akhirnya bercerita tentang dirimu.”

“Kau... kau telah menyiksa Subo!” Biarpun dia tidak suka kepada ibu gurnya, namun Hong Ing masih ingat betapa sejak kecil dia dipelihara dan dididik oleh Go-bi Sin-kouw, maka mendengar subonya disiksa untuk mengaku, dia menjadi marah.

“Kami mencari jejakmu, dari sungai di mana menurut penuturan Go-bi Sin-kouw engkau dan pemuda gundul itu terlempar ke muara sungai, masuk ke laut oleh Kok Beng Lama.”

“Aihh, tidak kusangka bahwa pendeta yang gagah perkawa itu adalah ayah kandungku sendiri...” Hong Ing menutupi mukanya mengenangkan kembali peristiwa itu.

“Akhirnya kami berhasil menemukan engkau di pulau kosong bersama pemuda aneh itu dan karena kami tidak sampai hati mempergunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda seperti engkau, kami terpaksa menjalankan siasat agar engkau suka ikut pergi dengan suka rela.”

Sin Beng Lama bangkit berdiri, melangkah ke pintu lalu membalik memandang kepada gadis itu, berkata lagi, suaranya halus, “Kami akan menyebar berita ke Tiong-goan agar ayahmu mendengar bahwa puterinya telah berada di tangan kami. Dengan demikian dia pasti akan datang ke sini. Kami harap kau tidak banyak rewel dan berdiam saja di sini dengan baik. Kalau tidak, terpaksa kami akan memperlakukan engkau sebagai tawanan yang dikurung dalam kamar tahanan dan dibelenggu kaki tangannya.” Setelah berkata demikian, Sin Beng Lama melangkah keluar dari kamar dengan tenang.

Sejenak Hong Ing tertegun, mukanya pucat. Mengertilah dia sekarang bahwa dia dijadikan sandera untuk menjebak ayahnya sendiri! Dan dia telah pergi dengan suka rela, bahkan telah meninggalkan Kun Liong dalam keadaan terluka parah! Akan tetapi apa yang dapat dilakukannya? Tiga orang pendeta itu sakti sekali, bahkan Kun Liong yang demikian gagah pun tak berdaya, apalagi dia.

Aku harus pergi dari sini! Demikianlah suara hati Hong Ing. Dia harus pergi dan kembali ke Tiong-goan, kembali ke laut mencari pulau kosong, mencari Kun Liong dan mencari ayahnya! Betapa rindunya kepada Kun Liong, juga kepada ayahnya, pendeta raksasa yang baik hati dan sakti itu.

Akan tetapi ketika berindap-indap dia keluar dari kamar, dia melihat dua orang Pendeta Jubah Merah berdiri di luar pintu, mata mereka memandang dengan bengis kepadanya! Ketika dia memasuki kamamya lagi dan menjenguk ke jendela, juga di luar jendela terdapat dua orang pendeta! Kamarnya telah dikurung dan dijaga!

Malam itu, kembali Hong Ing kecelik ketika dia menyelidiki pintu dan jendela kamarnya karena ternyata olehnya kemudian bahwa penjagaan ketat itu diadakan siang malam dengan bergilir! Semalam suntuk itu dia tidak tidur, mencari kesempatan untuk melarikan diri, namun akhirnya dia mengerti bahwa kesempatan itu tidak pernah ada. Selain kamarnya yang dikurung, juga penjagaan di pagar tembok menyerupai benteng itu amat kuatnya sehingga andaikata dia dapat keluar dari kamar, kiranya tidak mungkin dia akan dapat keluar dari markas itu! Di samping ini, sekiranya terjadi keajaiban dan dia dapat keluar dari markas itu, apa dayanya menghadapi para pendeta sakti itu kalau dia dikejar dan disusul? Dia tidak mengenal daerah pegunungan itu, apalagi ketika melakukan perjalanan mengikuti tiga orang pendeta menuju ke Tibet, dia melihat gurun pasir seolah-olah tanpa tepi. Tanpa penunjuk jalan, dia akan mati kehausan dan kelaparan di daerah yang mengerikan itu.

Terpaksa Hong Ing hanya bisa menanti dan dia bukanlah seorang gadis bodoh yang hanya mengubur diri dalam kedukaan dan keputusasaan. Tidak. Dia sudah bersiap-siap dan karena itu dia menjaga kesehatan dirinya dengan baik, makan setiap hari, bahkan membaiki para pendeta di situ dan minta petunjuk ketika dia melatih ilmu silatnya setiap hari. Dia harus berada dalam keadaan kuat dan terlatih kalau saat yang ditunggu-tunggu itu tiba, yaitu saatnya ayahnya yang dijebak itu muncul di sini!

Dan saat yang dinanti-nanti itu tiba beberapa bulan kemudian! Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, di antara suara orang berdoa, suara liam-keng (doa) diselingi suara ketukan berirama yang mengiringi doa, terdengarlah teriakan yang amat gaduh.

Hong Ing sudah bangun tidur dan sudah mencuci muka, siap untuk melakukan latihan pagi ketika mendengar suara gaduh itu. Akan tetapi ketika dia meloncat ke pintu, hampir dia bertumbukan dengan Lak Beng Lama yang menghadang dengan tongkat di tangan. Melihat sikap susioknya ini, Hong Ing sudah curiga dan dapat menduga bahwa inilah agaknya saat-saat yang dinanti-nantinya. Agaknya ayahnya telah tiba! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan dengan suara heran dan nadanya halus dia bertanya, “Lak Beng Suciok, apakah ribut-ribut itu?”

“Hemm, kau tidak perlu tahu dan tidak boleh keluar dari kamar ini. Pinceng sendiri yang menjaga di sini!”

Jantung Hong Ing berdebar keras. Tak salah lagi, tentu ayahnya telah datang! Kalau tidak, mengapa susioknya ini sendiri yang menjaganya?

“Susiok, aku mau pergi berlatih.”

“Engkau tidak boleh meninggalkan kamar!”

“Eh, siapa itu di sana ? Bukankah itu Ayah...?” Tiba-tiba gadis itu menuding ke atas genteng yang tampak dari pintu kamarnya. Lak Beng Lama terkejut sekali, memutar tubuh menghadapi arah yang ditunjuk dan siap dengan tongkatnya dan pada saat itu Hong Ing sudah meloncat keluar dari kamarnya.

“Bocah setan! Hendak lari ke mana kau?” Lak Beng Lama cepat mengejar dan dalam beberapa loncatan saja pendeta yang sakti ini sudah dapat menyusul dan sudah menghadang di depan Hong Ing dengan alis berkerut.

Suara ribut-ribut di bagian depan makin hebat dan tiba-tiba Hong Ing berteriak, “Ayaaaahhhh...! Aku Pek Hong Ing berada di sini...!” Akan tetapi dia segera roboh terkena totokan ujung tongkat yang amat cepat dan tubuhnya yang lumpuh sudah dikempit oleh Lak Beng Lama.

Di bagian depan markas itu memang sedang ribut. Tepat dugaan Hong Ing bahwa ayahnyalah yang muncul. Pagi itu, di waktu semua pendeta sedang sibuk membaca doa dan bersembahyang sehingga penjagaan agak berkurang ketatnya, sesosok bayangan berkelebat melompati pagar tembok tinggi itu dan ketika beberapa orang penjaga melihat dan mengurungnya, dalam beberapa gebrakan saja empat orang di antara mereka sudah roboh! Mulailah mereka berteriak-teriak memberi tanda bahaya dan ributlah semua pendeta yang sedang berdoa, termasuk Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama.

“Lak Beng Sute, kau cepat menjaga Hong Ing!” kata Sin Beng Lama yang bersama Hun Beng Lama cepat berlari-lari ke luar. Ternyata Kok Beng Lama yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu sedang mengamuk. Kaki tangannya bergerak secara luar biasa dan angin besar bersiut dari kedua ujung lengan bajunya yang lebar. Setiap kali kaki tangannya bergerak, tentu ada pendeta yang terpelanting atau terlempar. Namun pengeroyokan makin ketat dan kini semua pendeta telah menggunakan senjata masing-masing. Hujan senjata menjatuhi tubuh pendeta raksasa itu, namun semua hantaman senjata yang tajam maupun yang tumpul tidak ada yang membekas pada kulit tubuh Kong Beng Lama, kecuali hanya merobek pakaiannya saja.

“Hayo bebaskan anakku, kalau tidak... demi Tuhan, kubunuh semua orang di tempat ini!” Kok Beng Lama berteriak-teriak sambil dengan kedua tangannya menangkap empat orang pengeroyok seperti mencengkeram garuda menerkam empat ekor anak ayam saja layaknya, lalu melemparkan empat orang itu kepada para pengeroyoknya sehingga mereka morat-marit.

“Pemberontak hina! Berlututlah untuk menerima hukuman!” Tiba-tiba terdengar bentakan lemah lembut dan para pengeroyok membuka jalan untuk Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama. Seperti biasa kalau menghadapi lawan berat, Sin Beng Lama membawa lima batang hio membara, sedangkan Hun Beng Lama memutar-mutar biji tasbih di antara jari-jari tangannya. Dilihat seperti itu, kedua orang pendeta ini lebih pantas hendak bersembahyang dan membaca doa daripada bersiap-siap menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi tentu saja Kok Beng Lama mengenal kedua orang sutenya ini dan dia menjawab bentakan Sin Beng Lama dengan suaranya yang nyaring, dan sinar matanya mengandung penuh ancaman maut.

“Sin Beng Sute...!”

“Pinceng bukan sutemu lagi dan engkau tidak berhak menyebut Sute kepada pinceng!”

“Hemm, sesukamulah, Sin Beng Lama! Akan tetapi dengar baik-baik. Aku datang untuk minta anakku, Pek Hong Ing. Kalau kalian menolak, aku akan membunuh kalian semua, tidak ada kecualinya!”

“Omitohud...!” Sin Beng Lama berseru sambil mengacungkan lima batang hio di depan dadanya. “Ucapan yang keluar dari mulut iblis! Pemberontak dan pengkhianat hina, engkau telah melanggar undang-undang agamamu sendiri, engkau telah melakukan dosa besar, membunuh ketua yang menjadi Twa-suheng (Kakak Tertua Seperguruan) sendiri dan beberapa orang saudara lain. Dan sekarang engkau tidak bertaubat, tidak minta ampun bahkan mengancam hendak membunuh kami semua! Tidak malukah engkau yang sudah puluhan tahun tekun mempelajari semua ajaran agama yang suci?”

“Hemmm, Sin Beng Lama! Kita sama-sama adalah tua bangka-tua bangka, bukan anak kecil yang mudah saja dibujuk dengan omongan manis dan dengan kedok agama! Agama dan pelajarannya adalah untuk dilaksanakan, bukan sekedar dipakai untuk senjata menekan orang lain, bukan dipergunakan sebagai jembatan untuk mencari kekayaan, kedudukan, kesenangan lahir batin, bukan diperalat sebagai pencari sorga dan nirwana! Kalian mempelajari kasih akan tetapi hati kalian penuh sesak dengan kebencian. Kalian menjaga kebersihan lahiriah namun batin kalian kotor melebihi keranjang sampah! Menghadapi tua bangka seperti aku, tidak perlu lagi kalian menakut-nakuti dengan agama yang dibikin palsu oleh tingkah laku pemeluknya sendiri macam kalian! Hayo bebaskan anakku, berikan kepadaku, dan aku akan pergi dari sini dengan aman, bahkan bersumpah takkan menginjak tempat ini lagi. Kalau tidak, kalian akan kubunuh semua dan tempat ini akan kubasmi, kuhancurkan!”

“Pemberontak keparat!” Hun Beng Lama membentak marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, tasbihnya diputar-putar di atas kepalanya yang gundul dan terdengarlah suara “trikk... trikk... trikkk...” dengan irama tertentu dan biarpun tidak begitu keras, namun seperti jarum tajam menusuk anak telinga sehingga para anggauta Lama Jubah Merah yang kurang kuat sin-kangnya cepat mundur sambil menutupi telinga mereka. Hanya yang sudah agak tinggi tingkatnya saja, yang jumiahnya paling banyak tiga puluh orang, yang berani maju mengurung Kok Beng Lama.

Sin Beng Lama juga melangkah maju, lima batang hio pindah ke tangan kiri dan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang pedang bersinar hijau yang amat tipis dan panjangnya ada empat kaki, gagangnya terbuat dari perak, sebatang pedang pusaka yang amat indah dan ampuh. Melihat ini, sinar mata Kok Beng Lama menjadi ganas dan mulutnya tersenyum mengejek, tubuhnya tetap berdiri tegak tidak bergerak, yang bergerak hanya biji matanya yang melirik ke kanan kiri, telinganya seolah-olah berdiri dengan penuh perhatian mendengarkan setiap suara di sekelilingnya. Dalam keadaan seperti itu, pandengaran pendeta Lama raksasa ini luar biasa tajamnya sehingga setiap tarikan napas para pengeroyoknya dapat ditangkapnya dengan jelas, bahkan suara detak jantung lawan terdengar olehnya!

“Serbuuuu...!” Sin Beng Lama memberi aba-aba.

“Hyaaaatttt...!” suara bentakan para pengeroyok menjadi satu, terdengar nyaring bergema ketika mereka serentak menerjang ke depan dengan senjata masing-masing yang seperti hujan menyambar ke arah seluruh tubuh Kok Beng Lama, dari semua penjuru. Kalau semua senjata itu mengenai tubuh Kok Beng Lama dan kalau tubuh pendeta raksasa ini biasa seperti tubuh orang-orang lain, tentu dia akan roboh dengan tubuh hancur lebur, tidak ada bagian sedikit pun yang masih utuh.

“Hoooouuuuhhh...!” Kok Beng Lama mengeluarkan suara yang amat dalam dan lebar, bukan seperti suara manusia lagi, suara yang seolah-olah keluar dari dalam bumi! Tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak memutar, lenyap bentuk tubuhnya dan yang tampak hanyalah gulungan yang amat cepat seperti angin puyuh mengamuk.

“Trangggg...!”

“Krekkkkk...!”

“Bukkkk...!”

“Dessss...!”

“Aughhh...! Aduhhh...! Ahhhh!”

Akibatnya hebat bukan main! Tidak kurang dari enam orang yang terlempar dan roboh pingsan! Selain itu, banyak pula yang kehilangan senjata mereka, ada yang patah dan banyak yang lepas dari tangan, terlempar entah ke mana. Bukan main hebatnya sepak-terjang Kok Beng Lama yang selama sepuluh tahun dalam sel telah menciptakan dan mematangkan banyak ilmu-ilmu yang mujijat dan dahsyat itu. Dengan putaran kedua ujung lengan bajunya saja dia telah berhasil merobohkan enam orang pengeroyoknya dan merampas banyak senjata!

Melihat ini, Hun Beng Lama menjadi marah sekali, demikian pula Sin Beng Lama. Dalam gebrakan pertama tadi, mereka berdua memang membiarkan para anak buah lain yang maju menerjang karena mereka merasa yakin bahwa dengan mengandalkan jumlah besar, tentu Kok Beng Lama yang dianggap pemberontak itu akan dapat dikuasai. Siapa kira, raksasa itu memang hebat bukar main, maka terpaksa mereka harus turun tangan sendiri.

“Omitohud...! Haaaaiiiikkkk!” Hun Beng Lama sudah menerjang maju dengan tasbihnya yang menyambar ke pelipis kiri sedangkan tangan kirinya yang membentuk cakar garuda itu mencengkeram ke arah perut lawan. Gerakannya cepat dan mendatangkan angin pukulan yang bendesing-desing saking kerasnya. Pada detik berikutnya, terdengar suara tajam menulikan telinga ketika sinar hijau berkeredepan menyambar-nyambar seperti seekor naga hijau bermain-main dan itulah pedang di tangan Sin Beng Lama yang dalam satu jurus telah mengirim tiga bacokan dan delapan tusukan yang mengancam tiga belas jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan!

“Bagus...!” teriak Kok Beng Lama sambil menggerakkan kepalanya mengelak sambaran tasbih ke pelipisnya kemudian mengangkat kaki menendang ke arah tangan kanan Hun Beng Lama, sedangkan sepuluh kuku jari tangannya sibuk menyentil ke arah sinar-sinar hijau yang menyambar-nyambar itu. Dia telah berhasil menangkis tiga belas serangan pedang hijau itu dengan sentilan jari tangannya dan setiap kali dia menyentil terdengarlah suara nyaring.

“Tring-tring-tring-tring-tring...!”

Terkejutlah Sin Beng Lama ketika merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar hebat karena sentilan kuku jari tangan lawannya itu! Dengan seruan halus dia mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar api menyambar ke arah tubuh Kok Beng Lama! Itulah penyerangan hio-hio membara yang amat luar biasa dan amat berbahaya pula karena biarpun hanya berupa hio, namun dilepas dengan pengerahan tenaga sin-kang yang amat ampuh sehingga kalau mengenai tubuh lawan dapat menancap dengan api masih membara!

“Keji, alat sembahyang dipakai membunuh!” Kok Beng Lama berseru keras, menggerakkan kedua tangan bergantian didorongkan ke depan dengan telapak tangan terbuka. Menyambarlah hawa dingin dari kedua telapak tangannya dan itulah inti tenaga Im-kang yang amat dingin. Tampak asap mengepul dan lima batang hio itu padam apinya, bahkan runtuh semua ke atas tanah, masih mengepulkan asap putih yang harum baunya.

Tentu saja Sin Beng Lama menjadi makin marah. Bersama sutenya, Hun Beng Lama dia menerjang maju, menggerakkan pedangnya secara luar biasa sekali sehingga tubuhnya lenyap digulung sinar pedang yang merupakan gulungan sinar hijau menyilaukan mata yang kini bergulung-gulung menyelimuti tubuh Kok Beng Lama pula. Di antara sinar hijau ini tampak sinar putih dari tasbih Hun Beng Lama yang mengeluarkan suara “trik-trik” makin lama makin nyaring. Maka terdengarlah paduan suara yang menyeramkan karena semua orang yang kurang kuat sin-kangnya merasa betapa jantung mereka seperti ditarik-tarik dan telinga seperti ditusuk-tusuk oleh suara berdetrik dari tasbih, bercampur dengan suara berdesingan dari pedang hijau, diseling geraman-geraman marah dari dada Kok Beng Lama yang bidang. Pertempuran hebat dan mati-matian, dilakukan oleh tiga orang sakti, terjadi dengan serunya, membuat para Lama yang berada di situ tidak berani lagi turun tangan membantu karena mereka maklum bahwa bantuan mereka tidak akan menguntungkan pihak kawan juga tidak merugikan pihak lawan melainkan membahayakan nyawa sendiri.

Kalau dibuat ukuran, tingkat kepandaian Kok Beng Lama dahulu pun setingkat dengan Sin Beng Lama. Akan tetapi semenjak dia menjalani hukuman selama sepuluh tahun, kepandaiannya bertambah hebat sedangkan Sin Beng Lama hanya mendapat kemajuan biasa saja. Orang yang berada di dalam tahanan seperti Kok Beng Lama, kehilangan kebebasannya dan tidak melakukan suatu pekerjaan tertentu, lebih tekun dalam berlatih, apalagi karena memang dia mempunyai dendam. Sedangkan tingkat kepandaian Hun Beng Lama masih kalah setingkat dari Sin Beng Lama, maka pertempuran hebat itu lebih tepat dikatakan bahwa yang bertanding mati-matian adalah Sin Beng Lama melawan Kok Beng Lama, sedangkan Hun Beng Lama hanyalah merupakan tenaga pengacau saja yang mengacaukan pertahanan Kok Beng Lama.

Namun, biar dia bertangan kosong dikeroyok oleh dua orang yang memiliki kepandaian tinggi dan bersenjatakan senjata-senjata pusaka ampuh pula, ternyata Kok Beng Lama memiliki kesaktian yang amat luar biasa. Semua ini diperhebat lagi oleh kemarahannya karena dia mengkhawatirkan nasib puterinya, maka dia seolah-olah iblis sendiri yang mengamuk dan sukar ditandingi oleh dua orang pendeta Lama itu!

“Kalian bosan hidup! Kalian bosan hidup! Akan kubunuh semua...!” Demikian terdengar Kok Beng Lama menggereng.

“Brettt! Plakk! Aughh...! Aduhhh...!”

Para pendeta yang menonton tidak dapat mengikuti dengan pandangan mata mereka apa yang telah terjadi karena yang tampak hanyalah sinar-sinar dan bayangan saja yang campur aduk menjadi satu. Tahu-tahu, tubuh Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama terlempar dan terbanting keras, sedangkan tubuh Kok Beng Lama terhuyung ke belakang, dadanya terluka pedang dan pakaian di pundaknya hancur oleh pukulan tasbih, akan tetapi kedua orang lawannya muntah darah terkena hawa pukulan kedua telapak tangan Kok Beng Lama. Dengan muka buas Kok Beng Lama sudah hendak menerjang lagi dua orang bekas sutenya yang sudah terluka itu dan agaknya tidak akan dapat dihidarkan lagi dua orang Lama Jubah Merah itu tentu akan tewas karena mereka belum sempat bangun sedangkan para anggauta yang lain tidak ada yang berani menghadapi Kok Beng Lama.

“Pemberontak hina! Jangan bergerak atau puterimu akan pinceng bunuh di depan matamu!”

Kok Beng Lama tersentak kaget, menengok dan memandang dengan diam seperti patung. Lak Beng Lama telah berada di situ, tangan kanan memegang tongkat yang ditodongkan ke ubun-ubun seorang dara remaja yang dikempit dengan lengan kirinya. Gadis itu sama sekali tidak dapat bergerak, tanda bahwa dia telah menjadi korban totokan. Kok Beng Lama mengenal gadis yang pernah ditolongnya di muara Sungai Huang-ho itu, dan kini nampak nyata olehnya betapa mirip wajah dara itu dengan wajah bekas kekasihnya yang telah tewas, Pek Cu Sian! Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan matanya seperti mengeluarkan api memandang kepada tiga orang pendeta itu. Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama telah memperoleh kesempatan menguasai diri mereka dan sudah berdiri di dekat Lak Beng Lama yang mengempit tubuh Pek Hong Ing.

“Kok Beng Lama, sebelum engkau bergerak, puterimu akan pinceng bunuh!”

Kok Beng Lama tidak mempedulikan ucapan itu, dengan suara gemetar seperti orang sakit demam dia berkata kepada Hong Ing yang sejak tadi dipandangnya tanpa berkejap mata, “Nona muda, siapakah namamu?”

Hong Ing yang tidak dapat bergerak itu sejak tadipun memandang kepada Kok Beng Lama dengan wajah pucat. Dia pun meragukan apakah benar pendeta tua yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, yang sikapnya amat mengerikan ini, adalah ayah kandungnya? Mendengar pertanyaan itu, dia diam saja karena urat gagunya telah tertotok, membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara. Tiba-tiba Sin Beng Lama menggerakkan ujung lengan bajunya, menyambar ke arah leher Hong Ing, dan terbebaslah dara itu dari totokan yang membuatnya gagu.

“Aku... namaku Pek Hong Ing...”

Hong Ing menjawab dengan suara agak kaku karena baru saja dia terbebas.

“Siapa gurumu?” Kembali Kok Beng Lama bertanya.

“Go-bi Sin-kouw...”

“Siapa nama ibumu?” Pertanyaan ini keluar dengan lirih dan parau.

“Nama ibu, Pek Cu Sian...”

“Cu Sian...!” pengulangan nama dari mulut Kok Beng Lama ini terdengar menyerupai keluhan. “Tahukah engkau siapa ayahmu?”

“Ibu tidak pernah sempat memberitahuku tapi... tapi... tiga orang Locianpwe itu mengaku para susiokku dan membawaku ke sini, katanya hendak dipertemukan dengan ayahku, ternyata aku diperlakukan sebagai tawanan. Kata mereka, ayahku bernama Kok Beng Lama...”

Kok Beng Lama menggereng dan tiga orang kakek itu sudah siap-siap melawan sedangkan Lak Beng Lama sudah menempelkan tongkatnya di ubun-ubun kepala hong Ing, juga para anggauta Lama sudah mengurung lagi tempat itu.

“Akulah Kok Beng Lama! Hong Ing, setidaknya sudah empat lima tahun ketika engkau masih kecil engkau tinggal di ruang di mana aku terhukum. Ingatkah engkau akan sesuatu di tempat itu?”

“Aku... aku hanya ingat berada di dalam ruangan yang luas bersama ibu dan seorang laki-laki yang selalu bersamadhi, yang tak dapat kulupakan adalah bahwa laki-laki itu seringkali menari-nari di sekeliling sebuah arca besar sebesar manusia...”

“Engkau anakku...!” Tiba-tiba Kok Beng Lama menggereng keras. “Akulah laki-laki itu...sedang berlatih silat, Hong Ing, engkau anakku...!” Seperti gila kakek itu lalu memandang ke sekelilingnya. “Hayo bebaskan dia! Kalau tidak, kubasmi kalian semua!”

“Kok Beng Lama, puterimu berada di dalam kekuasaan kami, sepantasnya kalau kami yang mengajukan usul, bukan engkau yang menuntut. Engkau telah membuat dosa besar dan untuk menjaga kehormatan dan wibawa perkumpulan, engkau sebagai seorang anggauta pimpinan yang menyeleweng haruslah dihukum. Menyerahlah dan engkau akan kami hukum sesuai dengan peraturan, dan puterimu yang memang tidak berdosa apa-apa tidak akan kami ganggu bahkan akan kami perlakukan sebagai murid keponakan kami yang tercinta. Sebaliknya kalau kau melawan, terpaksa kami akan membunuh dulu puterimu sebelum membunuhmu.” Suara halus Sin Beng Lama itu terdengar jelas oleh semua orang karena keadaan di situ amat tegang dan sunyi.

Kok Beng Lama memandang ragu kepada Hong Ing, dan dara itu cepat berkata dengan suara lantang, “Locianpwe, kalau benar engkau adalah ayah kandungku, jangan dengarkan bujukan mereka! Aku tidak takut mati, tidak perlu engkau menyerah kepada mereka dan berkorban untuk aku!”

Mendengar ini, sepasang mata yang tadinya mengeluarkan sinar kemarahan dan wajah yang keruh dan merah itu berubah. Sinar matanya lembut memandang Hong Ing dan wajahnya berseri. “Engkau adalah anakku, tak salah lagi! Keberanianmu, sikapmu, persis sikap ibumu Pek Cu Sian! Sin Beng Lama, ajukan usulmu agar kupertimbangkan!”

Sin Beng Lama kelihatan lega sekali. Dia dan Hun Beng Lama sudah terluka cukup parah dan kalau pertandingan dilanjutkan, bukan tidak mungkin akan terjadi seperti yang diancamkan oleh Kok Beng Lama, yaitu mereka semua akan terbasmi habis!

“Kok Beng Lama, betapa pun besar dosa-dosamu, akan tetapi mengingat engkau adalah bekas pimpinan dan telah banyak berjasa demi kemajuan perkumpulan kita puluhan tahun yang lalu, maka kami pun akan bertindak seadil-adilnya. Perbuatanmu itu akan menghancurkan kehormatan perkumpulan kalau engkau masih berkeliaran di dunia luar, seolah-olah perkumpulan kami tidak dapat bertindak terhadap dirimu. Oleh karena itu, engkau akan kami jatuhi hukuman bertapa di dalam sel penjara selama hidupmu. Usiamu sudah tinggi, maka hukumanmu tentu juga tidak berapa lamanya dan hukuman itu hanyalah untuk mencegah engkau merusak nama perkumpulan di luar Tibet.”

“Hemmm, kalau aku menerima hukuman itu, apa imbalannya?”

“Puterimu akan kami pelihara baik-baik, tinggal di sini sebagai keluarga dan sewaktu-waktu dapat menjengukmu di dalam penjara.”

Kok Beng Lama mengerutkan alisnya berpikir keras, kemudian mengangguk. “Cukup adil... cukup adil... aku pun tidak ada niat berkelana, kalau aku dahulu pergi hanya untuk mencari Pek Cu Sian dan puterinya. Setelah Hong Ing berada di sini, perlu apa aku pergi? Akan tetapi, bagaimana kalau kalian mengkhianati dan kelak mengganggu anakku?”

“Kok Beng Lama!” Sin Beng Lama berteriak marah. “Engkau sendiri sudah tahu betapa Lama Jubah Merah lebih menghargai janji daripada nyawa! Pinceng sendiri berjanji takkan mengganggu Pek Hong Ing, tidak akan memaksanya melakukan sesuatu di luar kehendaknya kalau engkau suka menyerah dan menjalani hukuman itu!”

“Bagus! Aku percaya akan janjimu, Sin Beng Lama.”

“Akan tetapi, pinceng belum mendengar janjimu, Kok Beng Lama.”

“Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, Sute! Nah, dengarlah. Aku, Kok Beng Lama, berjanji tidak akan memberontak lagi selamanya dan akan mentaati perintah para pimpinan Lama Jubah Merah.”

“Omitohud...! Para dewa menjadi saksinya!” kata Sin Beng Lama dengan girang dan dia berkata kepada sutenya, “Lak Beng Lama, bebaskan Pek Hong Ing agar dia dapat bertemu dengan ayah kandungnya!”

Lak Beng Lama membebaskan totokan Hong Ing dan melepaskan gadis itu dari kempitannya. Begitu dia terlepas, dengan terhuyung-huyung Hong Ing lari menghampiri Kok Beng Lama, kemudian menjatuhkan diri di depan kakek itu sambil berseru penuh keharuan, “Ayaaaahhh...!”

Kok Beng Lama menunduk, memandang kepada gadis yang berlutut itu, kemudian menengadah ke langit, kemudian tertawa bergelak, kedua tangannya meraih ke bawah dan tubuh Hong Ing terangkat dan sudah dirangkul dan dipeluknya.

“Ha-ha-ha-ha! Kau... anakku...! Ha-ha-ha, akhirnya kita berkumpul juga di tempat di mana kau dilahirkan. Biarlah engkau tetap memakai she Pek seperti ibumu, she yang amat bagus dan terhormat. Pek Hong Ing, kaumaafkan ayahmu yang tidak becus membahagiakan ibumu, akan tetapi setidaknya, aku dapat melakukan sesuatu untuk anaknya, yaitu engkau, Anakku!” Lalu diciumnya ubun-ubun kepala Hong Ing dengan penuh kasih sayang.

Hong Ing sudah cepat menghapus air matanya dan sambil menyandarkan kepala di dada ayahnya yang amat bidang dan kuat itu, dia berbisik, “Ayah, setelah aku dibebaskan, mari kita pergi saja dari sini. Aku...aku tidak akan betah tinggal di tempat ini, Ayah.” Dia tidak berani bicara terus terang betapa dia merasa rindu kepada seorang pemuda yang dicintanya.

lanjut ke Jilid 091-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar