Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 40

Petualang Asmara Jilid 040

<--kembali

“Tidak...! Jangan lakukan itu, Nona...! Penjagaan amat ketat dan mereka telah mempersiapkan senjata api, kau tentu akan tertawan kembali atau tertembak mati. Kalau hal itu terjadi, aku akan menyesal dan hidup menderita selamanya! Marilah, aku mempunyai akal asal engkau benar-henar percaya kepadaku. Mari!” Yuan lalu menggandeng tangan dara itu menyelinap melalui tempat gelap menuju ke sebuah pintu gerbang yang dijaga belasan orang penjaga terdiri dari perajurit-perajurit pemberontak dan beberapa orang asing. Li Hwa melihat betapa orang-orang asing itu memegang senjata api mereka dalam keadaan siap. Andaikata dia tidak gentar menghadapi senjata rahasia itu, kalau hanya belasan orang yang menjaga di situ, tentu dia akan sanggup untuk merobohkan mereka, atau setidaknya meloloskan diri dari pintu gerbang itu. Akan tetapi dia bersama Yuan, kalau sampai mereka mengenalnya bersama-sama pemuda asing yang menolongnya ini tentu Yuan akan dianggap pengkhianat dan pemuda itu akan celaka. Maka dia diam dan menurut saja ketika Yuan menggandengnya mendekati pintu gerbang, tidak tahu bagaimana pemuda itu akan menyelamatkannya.

Ketika Yuan dan Li Hwa sudah tiba dekat sekali dengan pintu gerbang, di bagian yang akan gelap, tidak tertimpa langsung oleh lampu yang tergantung di pintu gerbang, terdengar seorang di antara para penjaga menghardik, “Heiii! Berhenti! Siapa di situ?”

Semua urat syaraf di tubuh Li Hwa sudah menegang dan dara ini sudah siap untuk menerjang maju. Akan tetapi Yuan merangkulnya dan berbisik, “Nona, jangan bergerak. Ingat, kau sudah percaya kepadaku, kau menurut saja...”

Empat orang penjaga berlari mendekati dan pada saat itu, Yuan merangkul leher Li Hwa dan mencium bibir dara ini, mendekap muka itu dengan ketat sehingga muka Li Hwa tidak tampak, tertutup oleh mukanya sendiri. Kemudian, dia mendekap kepala Li Hwa, wajah dara itu disembunyikan di dadanya, dan dia membentak, “Kurang ajar! Berani kalian mengganggu kesenanganku?”

“Ohhh... ahhh... Tuan Yuan de Ga-ma... maafkan kami! Kami telah menerima perintah agar melakukan penjagaan keras...!”

“Aku tahu!” Yuan membentak. “Dan kalian harus menjaga baik-baik agar panglima wanita musuh itu jangan sampai lolos. Dia pandai sekali, mungkin akan melompati pagar tembok. Tak mungkin dia melalui pintu gerbang. Hemm, sungguh menjemukan, tidak ada tempat yang aman untuk bermain cinta. Aku mau keluar saja, mencari tempat sunyi. Hayo, manis...”

Yuan de Gama menggunakan mantelnya untuk menyelimuti Li Hwa dan dia membawa Li Hwa yang masih dirangkulnya itu keluar melalui pintu gerbang, ditonton oleh belasan orang itu yang saling lirik dan menyeringai.

Li Hwa sendiri sudah hampir pingsan sejak dia diciumi oleh Yuan de Gama tadi. Tubuhnya menggigil, kaki tangannya menjadi dingin dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dalam waktu satu malam, dia telah diciumi oleh dua orang laki-laki, dua orang asing dan dicium dengan cara yang sama sekali belum pernah didengarnya, apalagi dialaminya! Ketika Hendrik mencium dan mengecup bibirnya, dia merasa amat marah, benci, dan muak sehingga dia menggigit bibir pemuda asing itu untuk menyerangnya, membuat bibir Hendrik terluka berdarah dan hampir terobek putus! Akan tetapi, ketika Yuan de Gama menciumnya, biarpun dia merasa terkejut sekali namun dia maklum bahwa pemuda ini menciumnya bukan karena dorongan nafsu dan bukan untuk berkurang ajar, melainkan untuk menyelamatkannya. Pula, dia merasa bedanya ciuman antara kedua orang pria itu. Ketika Yuan menciumnya, dia merasa seolah-olah tubuhnya melayang naik ke angkasa, tubuhnya lemas dan ia seperti di alam mimpi!

“Ha-ha-ha...!” Terdengar empat orang asing yang berjaga di situ tertawa-tawa dan bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh Li Hwa.

“Heran sekali,” kata seorang di antara para penjaga bersenjata tombak, “Tuan Yuan de Gama lebih senang bercinta di tempat terbuka, padahal sudah disediakan kamar-kamar dan tempat tidur yang lunak. Aneh...!”

“Mengapa aneh?” bantah yang lain. “Mereka itu memang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang berbeda dengan kita. Yang untung adalah wanita itu. Hemmm... Tuan Yuan de Gama adalah seorang pemuda yang biasanya pantang bercinta dengan wanita-wanita yang disediakan untuk mereka, dan selain paling tampan, juga paling baik budi dan paling kaya!”

Mendengar kata-kata antara kedua orang penjaga itu, bermacam perasaan mengaduk hati Li Hwa. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya sampai mereka tiba jauh dari pintu gerbang dan tiba-tiba Yuan melepaskan rangkulannya.

“Nah, sekarang sudah aman, Nona Li Hwa.”

Mereka berdiri berhadapan. Bintang-bintang memenuhi angkasa, mencurahkan sinar redup dingin sehingga mereka dapat saling memandang dalam keadaan remang-remang.

“Yuan de Gama...” Li Hwa akhirnya dapat mengeluarkan suaranya. Lirih namun penuh perasaan. “Aku akan menganggapmu sebagai...”

“Yaaa...?”

“Seorang yang baik hati dan...”

“Hemmm...?”

“... sebagai seorang yang kurang ajar!”

“Begitukah, Nona Li Hwa?”

“Untuk kebaikan hatimu, aku berterima kasih kepadamu.”

“Tidak usah berterima kasih!”

“Dan untuk kekurangajaranmu...”

“Kekurangajaran yang mana?”

“... ketika kau... kau menciumku tadi...”

“Aahhh, aku tidak berniat kurang ajar...”

“Betapapun juga, Yuan de Gama, kau telah berlaku tidak sopan, dan untuk itu... aku akan...”

“Yaaa...?”

“Plakkkk!” Pipi kiri Yuan de Gama ditampar oleh telapak tangan Li Hwa. Dara itu tidak mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi tetap saja tamparan itu membuat pipi Yuan kemerahan dan tampak bekas jari-jari tangan kecil di atas kulit pipi itu.

“Nona, terima kasih atas kebaikanmu...”

“Jangan kau mengejek. Aku menamparmu karena mengingat akan kekurangajaranmu tadi.”

“Untuk ciuman-ciuman itu Nona, walaupun kulakukan bukan karena hendak kurang ajar kepadamu atau hendak menghinamu, aku rela menerima tamparanmu, bahkan kalau kau masih penasaran, boleh kautampar lagi sesukamu...”

“Ehhh...” Li Hwa berseru heran, tidak menyangka pemuda itu akan berkata demikian.

“Benar Nona. Karena... semenjak aku melihatmu, apalagi setelah menyaksikan kegagahanmu, tahulah aku bahwa aku jatuh cinta kepadamu, Nona.”

“Ihhh...!”

“Terserah kepadamu kalau kauanggap aku kurang ajar. Biar kau hendak membunuhku sekalipun, takkan dapat kau memaksaku untuk menarik kembali kata-kataku. Aku cinta kepadamu, Souw Li Hwa...”

“Aihhh...!” Li Hwa mundur-mundur dengan muka pucat, jantungnya berdebar tidak karuan, kemudian terdengar isak naik dari dadanya, tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat pergi dari tempat itu.

“Souw Li Hwa, aku cinta kepadamu...” Yuan de Gama berteriak

Sejenak Li Hwa memandang pemuda itu dengan hati tidak karuan rasanya. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan orang seperti pemuda gundul ini yang begini berani, kurang ajar, akan tetapi juga tak dapat disangkal kebenaran ucapannya. Teringat akan bokor emas dan bahwa pemuda ini murid Bun Hoat Tosu, dia bersabar kembali dan bertanya, “Kun Liong, jangan engkau main-main. Aku sungguh tidak mengerti sikapmu. Engkau ini kawan ataukah lawan, engkau membela pemerintah ataukah memihak pemberontak. Sesungguhnya, di manakah adanya bokor itu?”

Kun Liong menarik napas panjang. “Nah, kalau begitu lebih baik. Kalau sikapmu ramah dan halus, pada wajahmu terbayang kecantikan aseli dan engkau bertambah manis. Sungguh, Li Hwa. Seorang dara jelita seperti engkau ini tidak patut kalau mudah marah dan bersikap kejam. Aku akan memberi penjelasan, akan tetapi sebelumnya aku minta supaya diberi sebuah baju lebih dulu. Aku tidak mau bicara denganmu dalam keadaan setengah telanjang begini!”

Li Hwa merapatkan giginya, akan tetapi dia kehabisan akal, tidak mau marah lagi karena memang kalau dipikir, dia telah bertindak keterlaluan dengan menghancurkan semua baju dari tubuh atas pemuda itu. Dengan nyaring dia lalu memanggil seorang perwira dan memerintahkan perwira ini mengambilkan sepotong baju untuk “tawanan” ini. Perwira itu memandang Kun Liong, tersenyum lalu mengambil sepotong baju, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian pergi lagi untuk melanjutkan pertempuran yang masih terjadi di luar perkampungan.

“Li Hwa, kaulepaskan dulu belenggu ini. Tanpa dilepaskan, bagaimana aku dapat memakai baju ini?”

Karena apa yang diucapkan pemuda itu memang benar, biarpun hatinya gemas bukan main, Li Hwa terpaksa membuka belenggu dengan kunci belenggu, akan tetapi begitu belenggu terputus, tampak sinar berkilat dan pedangnya sudah menodong lagi ke lambung pemuda itu.

Kun Liong melirik pedang, memandang wajah dara itu dan tersenyum lebar, menggerakkan kedua pundak dan mengenakan pakaian itu seenaknya seperti mengulur waktu.

“Hayo, cepat!” Li Hwa menghardik.

Setelah Kun Liong selesai mengenakan baju, kembali belenggu itu dipasangkan kepada kedua pergelangan tangannya. Kun Liong tidak membantah, bahkan memandang dengan tersenyum, seolah-olah menghadapi seorang anak yang bengal.

“Nah, sekarang katakan di mana bokor itu.”

“Kalau sudah kukatakan, kau akan membebaskan aku?”

“Enak saja! Kalau aku sudah mendapatkan bokor itu, baru kau akan kubebaskan.”

“Wah-wah, kalau begitu akan lama kita berkumpul. Hemm, aku senang berkumpul dengan seorang dara yang cantik menyenangkan seperti engkau, Li Hwa, heh-heh...”

“Lekas katakan di mana!” Li Hwa menghardik lagi dan kembali pedangnya sudah dicabut.

“Aduhh, galak benar, kau. Bokor itu telah terampas oleh Ketua dari Kwi-eng-pang...”

“Apa? Kwi-eng Niocu?”

“Benar. Tadi ada lima orang datuk kaum sesat, lengkap dan ditambah empat orang kakek yang tak kukenal, mengurungku dan karena aku merasa tidak sanggup menghadapi mereka, terpaksa aku tidak dapat mempertahankan bokor itu dan terampas oleh Kwi-eng Niocu. Dan memang sengaja kulemparkan kepadanya.”

“Kausengaja?” Mata yang indah itu terbelalak, penuh keheranan dan kemarahan.

“Mengapa kau berikan dia?”

“Karena aku menggunakan ini!” Dengan kedua tangannya yang dibelenggu, Kun Liong mengusap kepalanya.

“Hemm, gundul seperti itu mana ada otaknya!” Li Hwa mengomel. “Hayo katakan, kenapa kau berikan wanita iblis itu?”

“Karena di antara lima orang datuk kaum sesat itu, hanya dialah yang sudah kuketahui dengan betul sarangnya, dan selain itu, juga aku masih mempunyai perhitungan dengan dia yang telah mencuri dua buah benda pusaka Siauw-lim--pai. Karena itu, biar sementara kutitipkan bokor itu kepadanya.”

“Kautitipkan? Tolol! Bodoh sekali! Kalau dia ketahui rahasia bokor, celaka sekali. Aku harus cepat merampasnya kembali. Dasar kau tolol!”

“Memang aku tolol, habis mengapa?”

“Huh!” Li Hwa mendengus, kemudian dia memanggil seorang perwira, memerintahkan perwira itu untuk mengumpulkan sepasukan kecil untuk menjaga Kun Liong.

“Jangan biarkan dia lari, kalau perlu bunuh saja!” dia memerintah.

“Wah, galaknya, Li Hwa, jangan khawatir, aku tidak akan lari darimu, apalagi karena aku belum membalas perbuatanmu tadi.” Kun Liong tertawa ketika melihat belasan orang perajurit pemerintah mengepungnya dan menjaganya dengan senjata terhunus.

Wajah Li Hwa menjadi merah sekali karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Kun Liong dengan pembalasan itu, maka tanpa bicara lagi dengan pedang terhunus di tangan dia sudah berlari cepat ke arah pertempuran untuk membantu pengawal Tio Hok Gwan bersama pasukannya membasmi pemberontak, dan hal ini tidaklah sukar karena pemberontak telah mulai terdesak dan sudah ada yang melarikan diri. Ketika Li Hwa meninggalkan pasukannya yang tadinya mengalami kekalahan, di tengah jalan dia bertemu dengan pengawal tua pengantuk yang lihai itu bersama pasukannya, maka dia lalu mendapat bantuan dan bersama-sama pasukannya yang menanti, mereka lalu menyerbu perkampungan pemberontak dan sekali ini, karena jumlah pasukan pemerintah lebih besar, mereka berhasil mendesak kaum pemberontak yang dibantu oleh orang-orang asing itu.

Karena kini jumlah pasukan pemerintah lebih banyak, terutama sekali karena amukan Tio Hok Gwan dan Souw Li Hwa perang itu tidak berlangsung terlalu lama dan pasukan pemberontak dipukul hancur, banyak jatuh korban, banyak para pimpinan pemberontak ditawan dan banyak pula yang melarikan diri, termasuk Hendrik. Perkampungan nelayan yang dijadikan sarang pemberontak itu dapat direbut dan Li Hwa segera bersama Tio Hok Gwan mengerahkan pasukan mengadakan pembersihan dan mengumpulkan tawanan di sebuah pondok besar dan dijaga ketat.

Setelah perang selesai dan anak buahnya sibuk mengurus korban, karena pakaiannya kotor ternoda darah musuh dan tubuhnya terasa lelah, Li Hwa lalu pergi ke sebuah tempat sunyi yang terlindung oleh tebing-tebing batu dan pepohonan, menanggalkan semua pakaiannya yang kotor dan menaruh pakaian bersih pengganti di tepi sungai, kemudian dia terjun ke air sungai yang amat tenang dan cukup jernih di bagian itu.

Sambil merendam di air yang sejuk sedalam pinggang, Li Hwa mencuci seluruh tubuhnya, merasa segar dan gembira. Akan tetapi sambil menggosok-gosok tubuhnya, dia termenung dan alisnya berkerut ketika dia teringat akan semua yang terjadi selama beberapa hari ini. Terbayang di depan matanya wajah tiga orang pemuda yang amat mengesankan hatinya dan yang menimbulkan bermacam perasaan. Wajah Hendrik yang telah menawannya, menciumnya dengan paksa, mendatangkan perasaan benci yang besar dan diam-diam mengharapkan agar pemuda asing yang dibencinya itu tewas dalam perang atau setidaknya berada di antara para tawanan! Wajah ke dua adalah wajah Yuan de Gama, pemuda asing yang telah menolongnya dan teringat akan Yuan, kedua pipi Li Hwa menjadi merah, Yuan juga menciumnya, mencium mulutnya dengan amat mesra, akan tetapi bukan mencium dengan paksa atau sengaja untuk berbuat kurang sopan, melainkan ciuman untuk menghindarkan kecurigaan para penjaga, ciuman untuk menolongnya dan membebaskannya. Dan entah mengapa, teringat akan ini Li Hwa merasa malu sekali, jantungnya berdebar aneh dan ada keinginan mendesak di hatinya, keinginan untuk bertemu lagi dengan Yuan de Gama! Wajah ke tiga adalah wajah pemuda berkepala gundul, Yap Kun Liong, dan wajah ini menimbulkan kegemasan di hatinya, geram kecewa, akan tetapi juga kagum. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan dua orang pemuda seperti Yuan de Gama dan Yap Kun Liong.

Kalau teringat akan bokor emas, hatinya menjadi makin gemas kepada Kun Liong. Celaka benar pemuda itu. Bokor sudah terdapat, diserahkan kepada Kwi-eng Niocu! Dia ingin sekali mendapatkan bokor emas itu. Dia tahu betapa akan gembiranya hati gurunya, Panglima Besar The Hoo kalau dia dapat menyerahkan bokor itu kepada gurunya. Gurunya merupakan orang satu-satunya di dunia ini, pengganti orang tuanya yang telah tiada.

Li Hwa telah menjadi seorang yatim piatu karena ayah bundanya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ayahnya, Souw Bun Hok, bekas juru mudi suhunya, telah meninggal lebih dahulu tujuh tahun yang lalu. Kemudian ibunya terserang penyakit menular, meninggal dua tahun yang lalu. Karena dia tidak mempunyai keluarga lain, maka hanya Panglima The Hoo, gurunya itulah yang menjadi pengganti orang tuanya. Bahkan kini dia meninggalkan rumah orang tuanya di Liok-ek-tung, diminta oleh suhunya untuk tinggal di istana panglima itu, sebagai murid, juga seperti anak sendiri karena suhunya tidak mempunyai anak. Tentu saja dia ingin menggembirakan hati gurunya yang sudah dianggap seperti orang tua sendiri itu. Celakanya, semua menjadi gagal karena ketololan Kun Liong!

Memang The Hoo yang tidak mempunyai anak merasa amat suka kepada muridnya ini. Semenjak kecil, Li Hwa yang mempunyai bakat dan tulang baik itu telah diambil murid oleh The Hoo. Biarpun orang sakti ini tidak sempat menurunkan seluruh kepandaiannya yang tinggi dan hanya di waktu dia datang ke rumah juru mudinya saja dia mengajar Li Hwa, namun dara ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, terutama sekali Ilmu Silat Jit-goat-sin-ciang-hoat yang mempergunakan tenaga Im-yang-sin-kang dan yang lebih menakutkan lawannya adalah ilmunya It-ci-san, yaitu ilmu menotok yang lihai. Ketika melihat betapa dara itu ditinggal mati ayah bundanya, The Hoo merasa makin kasihan dan memanggil muridnya untuk tinggal di kota raja, di dalam istananya. Di tempat ini, selain menjadi pengurus rumah tangga gurunya, mengepalai semua pelayan dalam, juga kadang-kadang Li Hwa mewakili gurunya dalam urusan besar seperti menumpas kaum penjahat dan pemberontak. Ketika The Hoo menerima laporan Pendekar Sakti Cia Keng Hong tentang pemberontakan yang timbul di Ceng-to, dia lalu mengerahkan tenaga para pembantunya, bahkan Li Hwa sendiri disuruh mengepalai pasukan untuk mengadakan pembersihan di sepanjang Sungai Huang-ho! Tio Hok Gwan pengawal kepala yang lihai itu pun mengepalai pasukan sedangkan pasukan besar yang menyerbu ke Ceng-to selain dipimpin panglima-panglima perang yang berpengalaman, juga dibantu oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri atas permintaan Panglima Besar The Hoo!

Sambil mandi membersihkan tubuhnya, Li Hwa mengenangkan ini semua, dan dia menjadi kecewa karena gagal mendapatkan bokor emas. Dia bermaksud untuk memimpin pasukannya untuk menyerbu ke Telaga Kwi-ouw, menyerang Kwi-eng-pang untuk merampas kembali bokor emas, sedangkan para tawanan pemberontak akan dia serahkan kepada Tio Hok Gwan agar digiring ke kota raja sebagai tawanan perang.

Suara orang berdehem membuat Li Hwa terkejut sekali. Dia menoleh dan... “Ihhh...!” Dara itu menjerit ketika melihat Kun Liong si kepala gundul telah duduk metongkrong di atas sebuah batu di pinggir sungai, dekat tumpukan pakaian Li Hwa!

“Heh-heh-heh, indah dan sedap sekali pemandangan di sini!” Kun Liong berkata ke arah punggung Li Hwa yang putih mulus itu.

“Bedebah! Setan iblis siluman keparat kau, Kun Liong!” Li Hwa menjerit-jerit sambil merendam tubuhnya makin dalam. Dia berjongkok ke dalam air sehingga air sampai ke lehernya, baru dia berani memutar tubuh dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan.

Yang dimarahi tersenyum-senyum lebar, menggerak-gerakkan alis dan matanya seperti orang tidak mengerti. “Lho, kenapa marah-marah tidak karuan? Apa salahku sekali ini, Nona manis?”

“Yap Kun Liong manusia cabul! Hayo lekas pergi kau, kalau tidak... hemm... aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!”

“Heh-heh-heh...” Kun Liong terkekeh dan menjadi makin gembira. Kini dia merasa dapat membalas dendam kepada dara yang telah beberapa kali menghinanya itu. “Engkau memang seorang dara yang jelita, manis dan galak, dan engkau memang menjadi pemimpin pasukan. Akan tetapi aku belum mendengar bahwa kau telah menjadi siluman penunggu Sungai Huang-ho.”

“Apa... apa maksudmu?” Li Hwa membentak dengan kedua tangan menutupi dada, seolah-olah air yang menutupi dadanya masib belum cukup untuk menyembunyikan bagian tubuh ini dari pandang mata Kun Liong yang tajam.

“Kau mengusir aku pergi seolah-olah tempat ini menjadi hakmu, maka agaknya engkau telah menjadi siluman penunggu sungai maka kau menghaki tempat ini dan mengusir aku pergi!”

“Jahanam kau! Sengaja mengintai orang mandi, ya? Tak tahu malu! Cihhh, laki-laki mata keranjang, cabul, muka tembok!”

“Ha, hendak kulihat siapa yang lebih kuat bertahan. Kau yang memaki-maki di situ atau aku yang duduk di sini. Aku akan duduk di sini selama engkau masih memaki-maki aku.”

Kun Liong duduk seenaknya dan kini dia mengembil baju Li Hwa, mempermainkan baju itu sambil mengomel, “Bagaimana ya rasanya baju dirobek-robek, orang?” Dan dia membuat gerakan seperti hendak merobek-robek baju itu.

“Kun Liong keparat kau! Jangan robek-robek bajuku!” Saking marahnya, Li Hwa sampai lupa diri, bangkit berdiri sehingga tubuh bagian atasnya tampak.

Lengan kirinya dilingkarkan sedapatnya menutupi dadanya yang membusung, tangan kanannya menuding ke arah Kun Liong di sebelah belakangnya dengan marah. Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa.

Kun Liong bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan terbelenggu yang kini memegang baju Li Hwa.

“Sabar Nona manis, aku tidak merobek bajumu. Aku hanya ingin melihat tubuhmu seperti kau telah melihat tubuh. Duhaiii... indahnya, halusnya... hemm...”

“Celuppp...!” Li Hwa sudah berjongkok lagi.

“Kun Liong... jangan... jangan kaugoda aku begini...” Dia hampir menangis, kedua pipinya kemerahan. Kemarahannya yang memuncak masih kalah oleh rasa malu dan bingungnya.

“Siapa menggoda siapa? Kau merobek-robek bajuku dengan sengaja, kau menampar pipiku, kau membelenggu tanganku. Apa saja yang tidak kaulakukan terhadap diriku? Dan aku datang bukan sengaja menelanjangimu, kau bertelanjang sendiri, tidak ada yang menyuruhmu. Siapa menggoda?”

“Kun Liong... demi Tuhan! Kasihanilah, pergilah kau... biarkan aku berpakaian lebih dulu...”

“Kau mau berpakaian? Siapa yang melarang? Nah, berpakaianlah!” Kun Liong kembali mengulurkan kedua tangannya yang memegang baju sambil tersenyum mengoda, penuh kegembiraan, matanya bersinarsinar, mukanya berseri dan diam-diam ia kagum bukan main karena baru sekarang dia melihat keindahan tubuh seorang dara, biarpun ditutup-tutupi akan tetapi menambah keindahan yang melampaui apa yang pernah dimimpikannya itu.

“Lemparkan pakaianku ke sini!” Li Hwa berteriak.

Kun Liong menggeleng kepala dan kembali duduk di atas batu. “Tidak, kau harus mengambilnya ke sini.”

“Kun Liong, tidak malukah kau dengan perbuatanmu ini? Kau tidak sopan, kau cabul!”

“Heh-heh, apanya yang cabul? Aku tidak berniat menjamahmu, tidak berniat menggagahimu. Aku hanya ingin melihat dan mengagumi keindahan tubuhnya, seperti engkau telah melihat dan menghina keburukan tubuhku. Nah, apa salahnya?”

“Kun Liong, aku... aku malu. Pergilah kau lebih dulu. Atau kau berpaling, jangan menghadap ke sini. Setelah aku berpakaian, baru kita bicara.”

Kun Liong tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya yang gundul. Kemudian dia bersenandung! Rantai yang membelenggu kedua tangannya dipukul-pukulkan ke atas batu sehingga menimbulkan suara berdencing dan berirama mengikuti suara senandungnya.
Li Hwa masih berjongkok. Kedua pipinya basah, akan tetapi Kun Liong mengira bahwa yang membasahi pipi itu adalah air sungai. Dia belum tahu bahwa sebetulnya sudah ada beberapa butir air mata yang meloncat turun dari sepasang mata yang kebingungan dan kehabisan akal itu. Betapapun lihainya Li Hwa, betapapun galaknya dia, dalam keadaan bertelanjang bulat di dalam air dan pakaiannya dikuasai oleh Kun Liong, membuat dara ini sama sekali kehabisan akal dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanya memaki-maki dan menangis! Akan tetapi, dia tahu bahwa memaki-maki tidak ada gunanya, sedangkan untuk terang-terangan menangis, dia tidak sudi!

Kini Kun Liong bernyanyi! Suaranya memang cukup merdu, karena sejak kecil dia gemar bernyanyi, dan dia menguasai lagu nyanyian itu, tidak sumbang.

“Sang Dewi mandi di telaga
duhai cantik jelita
perawan remaja!”

“Kun Liong, lemparkan pakaianku kesini!” Li Hwa kembali menjerit.

“Rambutnya awan tipis di angkasa
matanya sepasang bintang bercahaya
dagu dan lehernya... amboiii”

“Kun Liong, kasihanilah aku...!”

“Tubuhnya batang pohon yangliu
penuh lekuk lengkung sempurna
kulitnya lilin putih diraut...”

“Kun Liong...!”

“Hidung mancung bibir...
haiii... gandewa terpentang...
dadanya...”

“Kun Liong!”

“Dadanya... wah, dadanya...”

“Kun Liong...”
Pemuda itu terkejut karena panggilan ini disertai isak. Dia memandang penuh perhatian dan melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata itu. Dara itu menangis!
“Datanglah seorang penggembala
melarikan pakaian Si Juwita
menangislah perawan remaja...”

lanjut ke Jilid 041-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar