Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 39

Petualang Asmara Jilid 039

<--kembali

Li Hwa memandang wajah Kun Liong dan diam-diam dia merasa kagum dan juga kaget sekali di dalam hatinya. Demonstrasi tenaga sin-kang yang diperlihatkan Kun Liong tadi ketika kepalanya menerima bacokan golok tidaklah terlalu mengherankan karena kepala pemuda itu gundul gundul sehingga tentu saja tidak takut rambutnya rusak. Akan tetapi apa yang diperlihatkannya tadi ketika kepala itu dapat “menangkap” dan menempel telapak tangannya, benar-benar membuktikan bahwa pemuda gundul yang ugal-ugalan ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!

Beberapa hari kemudian, pasukan yang dipimpin Souw Li Hwa dan berkekuatan seratus lima puluh orang itu tiba di tepi sungai seperti yang ditunjukkan oleh Kun Liong. Akan tetapi betapa kaget dan heran hati pemuda itu melihat perubahan besar yang terjadi di tempat itu. Tepi sungai yang dahulunya penuh dengan batu-batu besar itu, kini telah menjadi sebuah perkampungan yang dikelilingi pagar tembok! Dan agaknya batu bulat yang berbentuk kepala manusia itu, dimana dia menyimpan bokor emas dahulu, berada tepat di tengah-tengah dusun itu.

“Wah, kenapa sekarang menjadi perkampungan? Agaknya perkampungan nelayan dan benda itu kusimpan di situ...”

Li hwa mengerutkan alisnya. “Sunguh ceroboh sekali! Hayo kita cepat monyelidiki ke dalam dusun itu.” Dia menyuruh para perwiranya dan berbondong-bondong pasukan itu memasuki perkampungan pinggir sungai itu. Li Hwa dan Kun Liong yang menjalankan kudanya paling depan, makin terheran melihat betapa kampung itu sunyi sekali dan agaknya kosong. Akan tetapi, setelah semua memasuki dusun, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dari segenap penjuru, dari semua pintu gerbang, datang menyerbu banyak sekali orang, ada yang berpakaian biasa, ada yang berseragam, dan bahkan ada juga sedikitnya tiga puluh orang asing berkulit putih yang ikut menyerbu dengan pedang panjang melengkung di tangan kanan dan senjata api di tangan kiri!

Tentu saja pasukan yang dipimpin Li Hwa menjadi kaget dan kacau-balau mengalami serangan tiba-tiba yang sama sekali tidak disangkanya itu. Barulah Li Hwa tahu bahwa tempat itu ternyata telah dijadikan sarang oleh gerombolan pemberontak! Maka sambil berseru keras dia bergerak ke depan sambil mencabut pedang, merobohkan dua orang musuh sekaligus. “Basmi para pemberontak!”

Perang yang kacau-balau terjadi di perkampungan nelayan yang telah menjadi sarang para pemberontak yang bersekutu dengan orang-orang kulit putih itu. Ledakan-ledakan senjata api terdengar, akan tetapi karena pertempuran itu terjadi dalam jarak dekat, senjata-senjata api yang memerlukan waktu untuk mengisi mesiu itu kurang praktis, maka suara ledakan makin mengurang, diganti teriakan yang diseling suara senjata tajam bertemu!

Li Hwa sudah meloncat turun dari kudanya dan dara perkasa ini mengamuk dengan pedangnya. Sepak terjangnya hebat bukan main, menggetarkan hati para pemberontak karena ke mana pun pedangnya berkelebat, sinar pedang itu menyambar dan seorang lawan tentu roboh.

“Dar! Dar!” Dua orang asing yang menyaksikan sepak terjang Li Hwa sudah menyerangnya dengan senjata api. Namun dara itu sudah mendengar dari gurunya tentang bahayanya senjata rahasia orang kulit putih ini, maka begitu tadi dia melihat dua orang itu mengacungkan senjata api ke arahnya, dia sudah melempar diri ke bawah, dan langsung dari bawah tubuhnya meluncur ke depan didahului sinar pedangnya. Sebelum dua orang kulit putih itu sempat mengisi pistol mereka dan masih terheran-heran melihat betapa dara cantik yang luar biasa itu tiba-tiba lenyap, sinar pedang menyambar mereka. Mereka berteriak dan roboh dengan perut mengucurkan darah, karena ujung pedang Li Hwa telah menembus perut mereka yang gendut!

“Singggg... trang-trang...!”

Li Hwa terkejut juga ketika pedangnya bertemu dengan pedang seorang lawan yang memiliki tenaga kuat juga sehingga pedangnya terpental. Cepat dia memandang dan ternyata yang memegang pedang menyerangnya dengan hebat tadi adalah seorang pemuda kulit putih yang bertubuh tinggi dan tampan, berpakaian mewah dan pemuda itu memandangnya dengan mulut tersenyum dan mata jalang.

“Sungguh hebat...!” Pemuda kulit putih itu berkata dengan lancar biarpun suaranya agak kaku, “Pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita!”

“Anjing putih biadab, engkaukah yang membujuk para pemberontak mengkhianati negaranya?” Li Hwa membentak marah.

“Ha-ha-ha, urusan pemberontakan adalah urusan mereka sendiri. Kami hanya sahabat mereka. Nona, sayang sekali kalau kau yang begini muda belia dan cantik jelita menjadi korban dalam perang ini. Mari kau ikut saja bersamaku, jangan khawatir, aku adalah Hendrik Selado, dan engkau akan senang sekali menjadi sahabat baikku!”

“Mampuslah!” Li Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi, pedangnya bergerak menyambar ke depan.

Hendrik Selado terkejut, silau matanya melihat sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Akan tetapi, dia dapat menangkisnya dan balas menyerang karena dia maklum bahwa betapapun muda dan cantiknya, dara itu adalah seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi. Terjadilah pertandingan antara kedua orang ini dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Hendrik ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang dara itu amat sukar dilawan. Biarpun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya yang dia pelajari dari ayahnya, namun tetap saja dia terus terdesak sehingga dia mempertahankan diri sambil mundur-mundur. Kemudian Hendrik membalikkan tubuh dan melarikan diri!

“Keparat, hendak lari ke mana kau?”

Karena Li Hwa menduga bahwa tentu pemuda asing yang lihai itu yang memimpin rombongan orang asing yang membantu pemberontakan, maka dia cepat melakukan pengejaran.

Sementara itu, ketika tadi Kun Liong melihat perang kecil terjadi dan melihat betapa sepak terjang Li Hwa hebat sekali dan biarpun berhadapan dengan pemuda asing bernama Hendrik itu dara perkasa ini sama sekali tidak terdesak, diam-diam Kun Liong telah mematahkan belenggu kaki tangannya, meloncat turun dari kudanya dan pergi mencari tempat di mana dia dahulu menyembunyikan bokor emas. Dia tertegun dan bingung ketika melihat betapa tempat di mana dahulu terdapat sebongkah batu bulat berbentuk kepala, kini telah dibangun sebuah rumah papan yang besar! Agaknya batu bulat itu selama bertahun-tahun ini telah teruruk tanah sehingga hanya kelihatan menonjol sedikit dan kelihatan di luar dinding rumah itu.

Kun Liong meneliti tempat itu dan dia merasa yakin bahwa memang batu yang menonjol sedikit itulah batu yang dahulu dijadikan tanda. Di bawah batu itulah disimpannya bokor emas. Akan tetapi batu itu telah teruruk, sedikitnya teruruk sampai hampir dua meter dalamnya, dan di situ didirikan rumah. Bagaimana dia dapat mencari benda pusaka itu yang tersembunyi di bawah batu tanpa membongkar rumah itu dan menggali tanah yang menguruk batu? Sedangkan di tempat itu pun terjadi perang campuh antara para perajurit anak buah Li Hwa melawan tentara pemberontak yang dibantu orang-orang asing.

Selagi Kun Liong berdiri bingung bagaimana dia akan bisa mendapatkan kembali benda pusaka yang terpendam di bawah bangunan itu, tiba-tiba dia melihat Hendrik lari memasuki pondok itu, dikejar oleh Li Hwa yang berteriak nyaring, “Manusia biadab, hendak lari ke mana kau?”

Kun Liong melihat betapa Hendrik sudah keluar lagi dari pintu samping, membidikkan senjata apinya ke dalam rumah yang dimasuki Li Hwa. Pemuda itu terkejut, dapat menduga bahwa pemuda asing itu menjebak Li Hwa, maka dia berteriak, “Li Hwa, hati-hati...!”

“Darrr... blungggg...!”

Kun Liong cepat membuang diri ke atas tanah ketika terjadi ledakan hebat itu. Kiranya Hendrik telah meledakkan mesiu yang berada di dalam rumah itu dan agaknya rumah itu merupakan gudang mesiu! Rumah besar itu hancur, batu bulat juga terbongkar dan terlempar sehingga tanah di mana batu dan rumah tadi berdiri, kini menjadi semacam kubangan besar. Air sungai segera membanjir masuk ke dalam lubang ini.

“Bokor...! Di situ...!!” Terdengar teriakan-teriaken den tempat yang kini penuh dengan air sedalam pinggang itu kini diserbu oleh para perajurit kedua pihak, bukan hanya untuk melanjutkan perang, melainkan terutama sekali untuk memperebutkan bokor emas yang tadi tampak di dalam kubangan sebelum air membanjirinya. Orang-orang asing yang membantu pemberontak juga berlompatan memasuki kubangan penuh air dan ikut pula berebutan, memperebutkan benda yang telah mereka kenal akan tetapi yang kini tidak tampak lagi karena tertutup air. Mereka memperebutkan bokor emas yang hanya tampak sekelebatan sebelum terendam air dan yang hanya terlihat oleh beberapa orang yang berteriak tadi.

Akan tetapi pertempuran itu tidak berlangsung lama. Senja telah mendatang dan para perajurit anak buah Li Hwa terpaksa diperintahkan mundur oleh para perwiranya karena mereka merasa berat menghadapi serbuan para pemberontak yang lebib banyak jumlahnya, apalagi karena mereka tidak melihat lagi Souw Li Hwa, dara perkasa yang mereka andalkan dan yang menjadi pemimpin mereka. Dengan meninggalkan teman-teman yang menjadi korban, menolong mereka yang terluka, sisa pasukan yang kurang lebih tinggal seratus orang lagi itu melarikan diri keluar dari perkampungan yang menjadi sarang pemberontak itu, dikejar oleh para pemberontak yang akhirnya membiarkan mereka lagi setelah mereka jauh dari perkampungan.

Di tempat bekas pondok yang kini menjadi kubangan air masih tampak orang-orang asing dan para perajurit pemberontak mencari-cari, akan tetapi akhirnya mereka terheran-heran mengapa tidak ada yang berhasil menemukan pusaka itu.

Yuan de Gama pemuda tampan, putera pemilik Kapal Kuda Terbang yang juga ikut bertempur dalam perang kecil tadi, memimpin sendiri pencarian di dalam kubangan, akan tetapi segera melepaskan harapan, meloncat keluar dari kubangan dan mengomel. “Heran sekali ke mana perginya Hendrik? Hentikan semua pencarian yang sia-sia ini, akan tetapi lakukan penjagaan di sekitar kubangan, jangan biarkan orang mendekatinya.”

Setelah mengatur penjagaan beberapa orang perajurit secara bergantian di sekeliling kubangan, Yuan de Gama lalu memasuki pondok dan berganti pakaian karena pakaiannya kotor penuh lumpur, juga pundaknya terluka sedikit. Kemudian dia keluar dari pondok untuk mencari Hendrik. Dia dan Hendrik kebetulan sekali berada di situ memimpin rombongan orang-orangnya mewakili gurunya, Legaspi Selado ketika tadi datang pasukan pemerintah sehingga terjadi perang kecil di situ dan mereka berhasil mengusir pasukan musuh itu. Kini dia harus cepat mengadakan perundingan dengan Hendrik, putera gurunya itu, karena tempat itu merupakan tempat yang berbahaya. Setelah pihak pemerintah mengetahui bahwa tempat itu mereka jadikan sarang, tentu akan datang pasukan yang lebih besar untuk menghancurkan mereka. Akan tetapi, Hendrik tidak tampak batang hidungnya.

Ketika ada seorang anak buahnya yang disebar untuk mencari Hendrik datang kepadanya dan berbisik-bisik sambil tersenyum menyeringai, Yuan de Gama memukul telapak tangan kirinya sendiri dan memaki gemas, “Terkutuk! Dia selalu merusak tugas dengan kesenangan pribadi yang kotor!”

Setelah berkata demikian Yuan de Gama lalu berjalan cepat pergi ke ujung perkampungan itu, bekas hutan yang telah dibabat, akan tetapi masih menjadi tempat sunyi di mana terdapat sebuah pondok kecil yang di depannya terpasang sebuah lampu. Sunyi bukan main di situ. Yuan de Gdma menghampiri pondok dari belakang dan ketika dia menyelinap dari balik pohon dan memandang ke samping pondok, dia menahan makiannya. Dia melihat seorang gadis cantik yang tadi dikenalnya sebagai pemimpin pasukan pemerintah, terbelenggu dengan rantai besi di tihang pondok, dan di dekat gadis itu bernyala api unggun yang makin lama makin mendekati sebungkus mesiu yang ditaruh di dekat kaki Si Gadis!

Gadis itu bukan lain adalah Souw Li Hwa! Bagaimana dia dapat terbelenggu di situ? Ketika dia meloncat ke dalam pondok mengejar Hendrik, pemuda asing yang cerdik itu telah meledakkan mesiu dengan pistolnya. Ledakan dahsyat itu secara aneh sekali tidak menewaskan Li Hwa, karena dia telah terlempar oleh hawa ledakan dan terbanting jatuh pingsan. Dalam keadaan pingsan ini, Hendrik yang kagum dan tergila-gila melihat kecantikannya, lalu menyambarnya dan memondongnya pergi ke dalam pondok sunyi itu.

Ketika dia siuman, Li Hwa mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu dan dia melihat bekas lawannya, pemuda asing tadi, duduk di pinggir pembaringan sambil tersenyum-senyum.

“He, kau sudah sadar, manis?”

Sejenak Li Hwa bingung, kemudian dia teringat akan semua pengalamannya den membentak, “Anjing biadab! Hayo bunuh aku, atau lepaskan aku dan melanjutkan pertandingan kalau kau memang jantan!”

“Aihhh... mengapa begitu keras hati, manis? Aku cinta padamu, Nona. Kau begini cantik... rambutmu begini indah...” Hendrik membelai rambut yang halus dan panjang itu. Li Hwa mengggerakkan kepalanya merenggutkan rambut.

“Dan matamu seperti sepasang bintang... kau cantik jelita... daripada bermusuh, bukankah lebih baik kalau kita bersahabat? Kau akan kubawa ke negeriku, sayang...”

“Phuhhh! Manusia biadab, lebih baik aku mati!” Li Hwa berteriak lagi.

“Wah, sayang kalau kau mati. Aku sungguh cinta padamu! Jangan kau berpura-pura, benarkah kau tidak suka kepadaku? Sudah banyak sekali wanita yang menyatakan cinta kepadaku, yang ingin menjadi kekasihku, akan tetapi engkau yang benar-benar menjatuhkan hatiku... eh, sayang, siapakah namamu?”
“Persetan dengan kamu!” Li Hwa memalingkan mukanya.

“Heran! Engkau bertambah manis kalau marah, tak tahan aku untuk tidak menciummu!” Hendrik segera memeluk tubuh yang terbelenggu kaki tangannya itu den bibirnya yang rakus itu mengecup bibir Li Hwa.

Li Hwa terbelalak, sejenak seperti akan pingsan mengalami hal yang sama sekali tidak diduganya dan yang belum pernah dialaminya biarpun dalam mimpi. Karena dia hendak memaki, mulutnya terbuka den hal ini oleh Hendrik dianggap bahwa wanita itu membalas ciumannya, maka dia mencium makin ganas.

“Auuuughhh... aduuuhhh...” Hendrik meloncat ke belakang dan mengaduh-aduh, bibir bawahnya pecah oleh gigitan Li Hwa tadi. Gadis yang saking ngeri dan muaknya tak dapat berbuat apa-apa untuk menyerang itu, telah menggigit bibir yang mengecup-ngecup mulutnya secara mengerikan!

Hendrik mengangkat tinjunya hendak memukul muka yang menantangnya dengan penuh keberanian itu. Biarpun maklum bahwa dia akan dipukul, mungkin dibunuh, Li Hwa memandang dengan mata tidak berkedip. Melihat sikap ini, memandang wajah yang cantik manis itu, Hendrik menjadi lemas dan menurunkan lagi kepalan tangannya.

“Bedebah! Setan betina! Hendak kulihat apakah engkau masih berkeras tidak mau melayani cintaku!”

Hendrik sudah benar-benar tergila-gila kepada Li Hwa. Kalau menghadapi wanita lain yang menolak cintanya, seperti biasanya, tentu dia akan menggunakan kekerasan, memperkosa gadis yang sudah terbelenggu itu. Akan tetapi aneh sekali, dia merasa berat untuk melakukan hal ini terhadap Li Hwa. Dia tahu bahwa gadis perkasa ini merupakan seorang dara pilihan, dan alangkah akan senang hatinya kalau dia dapat memperolehnya dengan cara yang baik, dengan sukarela. Betapa akan bahagianya kalau gadis ini membalas cintanya, bukan menyerahkan diri karena terpaksa dan karena diperkosa.

Dipondongnya tubuh gadis itu keluar pondok, diletakkan dan dirantai pada tihang sebelah rumah. Kemudian dia membuat api unggun dan meletakkan sebungkus mesiu di dekat kaki Li Hwa yang terbelenggu.

“Kaulihat ini? Mesiu yang akan meledak begitu api itu menjalar sampai ke dekatnya. Kaulihat tadi. Rumah dan batu itu hancur oleh ledakan, dan kalau kau tidak menurut, bungkusan mesiu ini cukup untuk menghancurkan tubuhmu menjadi berkeping-keping. Kalau berubah pikiranmu, sebelum terlambat, kauterimalah pinanganku, Nona.”

“Huh, biarkan aku mati!”

“Baik, aku akan menanti di dalam. Kau berteriak saja panggil aku kalau pikiranmu berubah, kalau kau memilih bersenang-senang denganku dan hidup bahagia daripada mati dengan tubuh hancur oleh ledakan obat mesiu ini.”

“Jahanam kotor! Seribu kali lebih baik mati daripada menyerah kepadamu!” Li Hwa membentak.

Hendrik tersenyum akan tetapi menyeringai karena bibirnya yang digerakkan terasa perih. Diusapnya bibir yang pecah oleh gigitan dara tawanannya itu, kemudian dia bangkit dan membalikkan tubuh, melangkah lebar menuju ke pondok, menaiki anak tangga depan pondok dan lenyap ke dalam pondok itu. Li Hwa ditinggalkan seorang diri dalam keadaan tidak berdaya. Rantai besi yang membelenggu kaki tangannya amat kuat, tidak dapat dipatahkannya dan dia pun tidak dapat mencegah api unggun yang bernyala makin besar, dan lidah api makin mendekati bungkusan mesiu di dekat kakinya.

Dalam keadaan seperti itulah gadis itu ketika Yuan de Gama menghampiri pondok dan melihatnya. Dengan hati-hati Yuan lalu menghampiri gadis itu. Li Hwa yang berpendengaran tajam tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Dia menoleh dan melihat Yuan, dia mengira pemuda asing itu adalah Hendrik yang menawannya. Dalam pandangannya, orang-orang asing itu seperti sama semua! Maka dia lalu menghardik, “Jangan harap aku mau menyerah, manusia hina! Bunuhlah kalau kau mau membunuhku...”

“Sssttt...!”

Melihat pemuda itu menaruh telunjuk di depan bibir dan mengeluarkan seruan tanda agar dia tidak mengeluarkan suara, Li Hwa terheran dan memandang lebih teliti kepada pemuda itu. Sekarang setelah sinar api unggun menerangi wajah itu, barulah dia sadar bahwa bukanlah pemuda asing yang tadi menawannya. Tubuh pemuda itu lebih jangkung, perutnya tidak gendut dan pada wajah yang tampan ini tidak terdapat sinar mata yang penuh nafsu. Tidak, bahkan sinar mata yang berwarna biru itu amat lembutnya, kini memandangnya dengan penuh iba.

“Nona, aku datang untuk menolongmu...” Pemuda itu berbisik dan berjongkok di belakangnya.

Namun, di dalam hati Li Hwa sudah terdapat bibit kebencian terhadap orang-orang asing. Pertama karena kenyataan bahwa orang-orang itu bersekutu dengan para pemberontak. Kedua kalinya, dia mengalami penghinaan dari Hendrik yang menawannya. Maka terhadap pemuda yang hendak menolongnya ini pun dia bersikap angkuh dan tidak bersahabat.

“Aku tidak minta pertolonganmu!”

Pemuda itu menghela napas panjang. “Aku tahu, dan engkau memang seorang dara perkasa yang hebat, Nona. Seorang berjiwa panglima yang patut dihormati. Dan karena itulah maka aku harus menolongmu.” Sambil berkata demikian, Yuan de Gama mulai berusaha membuka belenggu itu dari kedua tangan Li Hwa.

Karena gembok yang dipakai mematikan mata rantai belenggu itu cukup kuat, maka tidaklah mudah bagi Yuan untuk membukanya sehingga dia harus mengerahkan seluruh tenaganya.

“Mengapa kau menolongku?” Melihat usaha pemuda itu, Li Hwa tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya karena bukankah di antara mereka terdapat permusuhan?

“Aku kagum akan kegagahanmu, Nona. Dan aku muak melihat perbuatan Hendrik yang menyimpang dari tugasnya, hanya mementingkan kesenangan pribadi.”

Akhirnya, setelah lebih dahulu menjauhkan bungkusan mesiu dari api, Yuan de Gama berhasil melepaskan belenggu pada kaki dan tangan Li Hwa. Gadis itu melompat berdiri, akan tetapi karena kepalanya masih nanar oleh hantaman ledakan tadi, dan kakinya juga kaku karena lama dibelenggu, dia terhuyung dan tentu terguling kalau tidak cepat-cepat dia dipeluk oleh Yuan de Gama.

“Lepaskan aku!” Li Hwa meronta. “Apa kaukira setelah menolongku, kau boleh memangku sesuka hatimu?”

Yuan cepat melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, alisnya berkerut dan pandang matanya tajam menusuk. “Nona, harap jangan menyamaratakan orang begitu saja. Kalau tidak melihat engkau hendak jatuh, tentu aku tidak berani menyentuhmu.”

Sejenak mereka berpandangan dan Li Hwa menunduk, kedua pipinya menjadi merah. Dia tahu bahwa betapa sikapnya tadi memang amat buruk. Akan tetapi, bukankah pemuda asing ini juga musuhnya? Musuh negaranya? Ingatan itu mengeraskan hatinya dan dia mendengus, melempar muka ke samping, membalikkan tubuh lalu melangkah hendak pergi.

“Tahan dulu, Nona...!” Yuan de Gama cepat mengejar. “Nona, kau masih amat lelah dan pasukanmu telah melarikan diri keluar dari tempat ini. Kalau kau pergi begitu saja, tentu kau akan tertangkap kembali. Di mana-mana terdapat penjaga...”

“Haiii... Nona yang manis, apakah engkau belum merobah pikiranmu?” Tiba-tiba terdengar teriakan Hendrik dari dalam pondok.

Yuan de Gama terkejut, cepat ia menyambar tangan Li Hwa dan berkata, “Mari ikut dengan aku. Cepat...!”

Kini mengertilah Li Hwa bahwa pemuda ini benar-benar hendak menolongnya dan agaknya tidak mempunyai niat buruk di balik itu, maka dia membiarkan dirinya ditarik dan dibawa pergi menyelinap di antara pohon-pohon dan kegelapan malam sampai mereka berada jauh dari pondok terpencil itu.

AKAN tetapi kembali mereka terpaksa harus berhenti dan bersembunyi di balik pohon-pohon ketika mereka melihat belasan orang perajurit meronda tak jauh dari situ. Setelah para peronda itu lewat, Yuan berbisik, “Nona sungguh berbahaya untukmu keluar dari perkampungan ini. Ketahuilah, setelah terjadi perang siang tadi, seluruh perkampungan diadakan perondaan dan sekitar perkampungan dijaga ketat. Dan malam ini juga engkau harus dapat lolos dari sini, karena kalau sampai besok engkau tak dapat keluar, tentu tidak mungkin lagi menyembunyikan diri.”

“Aku tidak takut! Aku akan melawan sampai titik darah terakhir!”

Yuan memandang kagum sekali sungguhpun wajah dara itu tidak kelihatan jelas di dalam gelap, “Selama aku hidup, baru sekarang aku bertemu dengan seorang wanita gagah seperti engkau, Nona. Banyak sudah kubaca dalam kitab tentang pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa di negerimu yang aneh ini, akan tetapi aku masih belum percaya. Sekarang baru aku percaya, dan aku kagum sekah kepadamu, aku harus menolongmu keluar dari tempat ini, malam ini juga.”

Kata-kata pemuda itu juga amat mengherankan hati Li Hwa. Betapapun kagumnya, mana mungkin ada musuh menolong musuhnya? Apalagi pemuda itu tahu bahwa dia adalah pemimpin pasukan pemerintah yang akan membasmi kaum pemberontak!

“Engkau siapakah?”

Yuan de Gama membungkuk dengan lengan kanan melintang di depan perutnya. “Aku bemama Yuan de Gama. Ayahku adalah Richardo de Gama, pemilik Kapal Kuda Terbang dan...”

“Dan kalian orang-orang asing membantu para pemberontak!”

Yuan de Gama menggeleng kepala dengan penuh penyesalan. “Aku tidak berniat demikian, Nona. Juga kawan-kawanku tidak berniat membantu pemberontak. Akan tetapi kami hanya ingin mengadakan kontak dagang dengan penduduk pribumi. Karena penjabat pemerintahmu melarang, dan karena para pembesar yang kami bantu ini menyanggupi untuk membolehkan kami berdagang...”

“Sudahlah, apa pun alasannya, yang jelas kalian adalah orang-orang asing yang membantu pihak pemberontak!”

“Memang tiada gunanya kita berdebat tentang itu, Nona. Kita hanyalah pelaksana-pelaksana belaka, yang mengatur semua itu adalah orang-orang atasan. Yang penting sekarang, aku harus menolongmu keluar dari sini dan pada saat seperti ini, kuharap kau tidak menganggapku sebagai musuh, Nona.”

Li Hwa mengerutkan alisnya. Kalau keadaan tidak seperti itu, tentu sudah sejak tadi dia menyerang dan membunuh pemuda musuh negara ini!

“Kalau sampai kau ketahuan menolongku lolos?”

Yuan tersenyum dan menggerakkan pundaknya yang bidang. “Yaahh, apa boleh buat! Sudah nasibku mati diberondong senapan oleh bekas anak buahku sendiri sebagai seorang pengkhianat.”

Li Hwa bergidik. Dia sudah pernah melihat seorang anak buahnya terluka oleh peluru senapan, senjata rahasia yang mengerikan dari pihak orang-orang asing itu. Dan akibatnya benar-benar mengerikan. Anak buahnya itu meraung-raung karena nyeri dan lukanya itu seperti dibakar rasanya.

“Dan kau rela terancam bahaya untuk menolong aku, seorang musuh?”

“Hiisshh, Nona. Sudah kukatakan, pada saat ini kau bukan musuhku, dan mudah-mudahan aku bukan musuhmu. Engkau bagiku adalah seorang pendekar wanita yang amat hebat dan amat kukagumi. Marilah...”

Kembali Yuan menggandeng tangan Li Hwa dan dara ini menurut saja ketika dia dibawa menyelinap ke sana-sini, kadang-kadang mendekam di balik rumah-rumah atau pohon-pohon. Tak lama kemudian mereka sudah berada di sekitar pagar tembok yang mengelilingi pekarangan itu.

Tiba-tiba terdengar suara dalam bahasa asing. Mendengar ini, Yuan cepat menarik Li Hwa dan keduanya bertiarap, menelungkup di balik rumpun alang-alang. Suara itu adalah suara Hendrik yang berteriak-teriak kepada para penjaga, “Jangan sampai dia lolos! Tawananku itu adalah pemimpin pasukan musuh yang menyerbu siang tadi. Awas, siapa yang dapat menangkapnya, hidup atau mati, akan kuberi hadiah besar, akan tetapi yang membiarkannya lolos, akan kuhukum!”

Yuan dan Li Hwa bersembunyi sampai suara Hendrik itu lenyap dan orangnya pergi dan dengan lirih Yuan berbisik, “Tadi adalah Hendrik yang menawanmu. Sekarang semua penjaga di sekeliling perkampungan ini telah tahu bahwa engkau lolos dari tahanan Hendrik dan mereka tentu mengerahkan seluruh perhatian untuk menemukanmu. Hal ini membuat usaha kita makin sulit. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan usahaku meloloskanmu, aku ingin mengetahui apakah engkau benar-benar telah percaya kepadaku, Nona?”

“Hemmm... percaya dalam hal apa?”

“Bahwa aku hanya ingin menolongmu, karena kekagumanku terhadap dirimu, tidak ada lain hal yang tersembunyi di balik itu.”

Sampai lama mereka berpandangan dalam gelap, muka mereka tidak begitu jauh jaraknya karena mereka berdua bertiarap di dalam semak-semak. Akhirnya Li Hwa mengangguk. “Aku percaya kepadamu, sungguhpun aku sendiri heran mengapa aku harus percaya kepada seorang asing, seorang musuh.”

Yuan tersenyum. “Bagus, Nona. Bolehkah aku mengetahui namamu?”

Kembali Li Hwa meragu. Sampai lama, setelah dia menimbang-nimbang, barulah dia menjawab, “Namaku Souw Li Hwa, dan guruku adalah Panglima Besar The Hoo.”

“Ya Tuhan...!” Yuan de Gama berseru lirih dan pandang matanya makin kagum lagi. “Nama besar gurumu itu siapa yang tidak tahu? Pantas saja kalau begitu! Kiranya Nona adalah murid orang luar biasa itu?”

“Sekarang bagaimana engkau akan meloloskan aku dari sini? Kurasa jalan satu-satunya hanya menerjang ke luar. Aku tidak takut, biar aku menerjang ke luar dan tidak perlu kau mengkhianati teman-temanmu sendiri.”

lanjut ke Jilid 040-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar