Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 14

Petualang Asmara Jilid 014

<--kembali

“Pergilah...!” Tosu itu berseru, hanya tampak kedua kakinya bergerak-gerak diikuti ujung kedua tali ikat pinggang yang tergantung panjang ke bawah, dan... lima orang itu jungkir-balik dan terbanting roboh di atas lantai! Mereka dapat meloncat lagi dengan sigap dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan kepada kakek luar biasa itu.

“Suruh pangcu kalian maju, pinto ingin bicara dengamya.” Kembali kakek itu berkata tenang.

Lima orang itu melompat ke samping dan berdiri berjajar, tombak di tangan didirikan di sebelah kiri mereka.

“Pangcu tiba…!” Terdengar seruan dari pintu depan.

“Kau mau bertemu Pangcu? Silakan!” kata seorang di antara pengawal-pengawal bertombak itu sambil mengembangkan lengan kirinya.

Tosu itu melangkah ke depan, memandang ke arah pintu depan. Li Hwa di belakang punggungnya menoleh ke kanan kiri dalam keadaan siap kalau-kalau mereka diserang dari belakang. Di belakang mereka pasukan-pasukan bergerak mengikuti, anak panah, tombak, golok dan pedang siap di tangan. Kun Liong melangkah perlahan di sebelah kanan gurunya, kedua tinju disiapkan, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang!

Tampak bayangan kuning berkelebat dan Si Ketua telah berdiri di situ! Dia tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya menyinarkan hawa marah kepada tosu itu.

“Hemm… kiranya engkau seorang berkepandaian yang berpura-pura bodoh, ya? Agaknya engkau memang utusan mereka untuk merampas tawanan kami?”

“Tidak sama sekali!!” Jawab tosu itu. “Pinto hanya kebetulan saja lewat dan tanpa sebab ditawan oleh orang-orangmu. Pangcu, engkau keliru sekali kalau menculik anak ini dan berarti engkau memancing datangnya bahaya yang akan menghancurkan Ui-hong-pang. Apakah gurumu, Kwi-eng Niocu masih belum bertobat dan berani menentang The-taiciangkun? Kuharap saja engkau dapat sadar dan membiarkan pinto membawa pergi nona kecil ini sehingga urusan akan habis sampai di sini saja.”

“Tua bangka keparat! Siapa takut kepadamu? Hayo katakan, siapa engkau sebelum mati di depan kakiku!”

“Sudah pinto katakan, orang menyebut pinto Bu Beng Tosu (Tosu Tanpa Nama).”

“Keparat! Dengan menggunakan nama Laksamana The Hoo, apa kaukira aku Kian Ti akan takut kepadamu? Engkau tidak mau mengaku nama, baiklah, engkau akan mati tanpa nama!” Setelah berkata demikian, Kian Ti menggerakan kedua lengan tangannya. Jari-jari tangannya dibentuk seperti cakar harimau, kedua tangan itu digerak-gerakkan perlahan saling menyilang dan berputaran dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah semua lengan kedua tangannya remuk, dan perlahan-lahan, kedua lengan yang telanjang karena lengan bajunya tersingkap itu berubah menjadi kemerahan, makin lama makin merah sampai akhirnya menghitam! Melihat perubahan pada lengan ini diam-diam Kun Liong terkejut sekali. Biarpun dia belum pernah mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, akan tetapi dia adalah putera suami isteri yang sakti sehingga pernah dia mendengar penuturan ayah bundanya tentang ilmu-ilmu pukulan yang mujijat, yang dilatih oleh tokoh-tokoh persilatan dengan cara yang aneh-aneh pula.

“Suhu, dia mempunyai tangan beracun!” kata Kun Liong ketika melihat kedua tangan yang kehitaman.

“Totiang, apakah itu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)?” Li Hwa juga bertanya.

Kakek itu tidak menjawab, bahkan berkata kepada Kiang Ti, “Kiang-kongcu, sebelum terlambat kuperingatkan kepadamu agar sadar dan tidak menggunakan kekerasan terhadap pinto seorang tua.”

Akan tetapi, sikap dan ucapan kakek itu seperti orang guru menasihati murid dianggap sebuah tantangan yang menghina oleh Kiang Ti. Tiba-tiba dia menerjang ke depan, berlari sambil memekik nyaring, “Yaaatttt!!” Kedua tangannya yang berubah menjadi hitam itu menghantam ke dada dan perut kakek yang berdiri dengan tenang, sama sekali tidak bergerak untuk menangkis maupun mengelak itu.

“Plakk! Bukkk!!”

Tubuh kakek yang menggendong Li Hwa itu sama sekali tidak terguncang seperti sebuah pilar batu diterjang lalat, akan tetapi Kiang Ti terbelalak, tubuhnya seperti lumpuh dan ia roboh berlutut di depan kedua kaki orang tua itu dan mulutnya memuntahkan darah!

“Siancai…!” Kakek itu berkata, menunduk dan melihat tanda dua telapak tangan di dada dan perutnya karena bajunya di bagian yang terpukul itu telah berlubang dengan pinggirnya seperti dibakar, akan tetapi kulit tubuhnya sama sekali tidak ada tanda apa-apa. “Mengapa engkau keras kepala, Pangcu? Untung di dalam buntalan pinto yang kalian rampas itu terdapat akar obat yang bentuknya seperti ular belang. Masaklah dengan air dan minum airnya, tentu lukamu akan sembuh.”

Dengan tenang, kakek itu lalu melangkah menuju ke pintu, diikuti oleh Kun Liong yang merasa makin takjub dan bangga kepada kakek yang menjadi gurunya itu.

“Tunggu… Locicianpwe… nama apakah... yang akan kusebutkan... kepada... guruku kelak...?” Kiang Ti berkata tanpa bangkit dari lantai di mana dia jatuh berlutut.

“Hemmm, katakan bahwa akar cendana sudah lama dikubur, dan kepala naga sudah lama lenyap dari sungai telaga…” Tiba-tiba tubuh kakek itu lenyap bersama anak perempuan yang digendongnya dan bocah gundul yang digandengnya dari pandang mata Kiang Ti dan anak buahnya.

Kiang Ti terbelalak, bibirnya berkata dengan keluhan panjang “Aahhh… tongkat akar cendana berkepala naga... mengapa kakek sakti itu masih hidup dan muncul di sini...? Sungguh sialan...” Dia terguling dan roboh pingsan!

Kun Liong dan Li Hwa memejamkan mata dan merasa ngeri. Apalagi Kun Liong yang merasa betapa tubuhnya tergantung dengan tangan kanan dan meluncur seperti terbang cepatnya itu! Setelah lama dan napas mereka terengah karena kencangnya angin menderu di depan hidung, secara tiba-tiba angin berhenti dan ketika mereka membuka mata, kakek itu telah berhenti menggunakan ilmu lari cepat yang tidak lumrah hebatnya itu!

Li Hwa melorot turun dari gendongan dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek aneh itu. “Mohon Locianpwe sudi memaafkan teecu yang tidak tahu bahwa teecu telah tertolong oleh Locianpwe Bun Hwat Tosu yang sakti!”

Kun Liong terkejut sekali. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini, nama yang dipuji-puji oleh ayah bundanya sebagai nama seorang di antara manusia-manusia sakti seperti dewa di dunia ini! Bahkan nama ini disejajarkan dengan nama Tiang Pek Hosiang, guru ayahnya yang menjadi orang paling sakti di Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum )! Nama yang dimiliki oleh tokoh pertama dari Hoa-san-pai! Maka dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut.

“Teecu juga mohon maaf bahwa teecu tidak tahu telah diambil murid oleh Ketua Hoa-san-pai yang mulia!”

Kakek itu tertawa sambil mengelus jengotnya. “Siancai…! Anak-anak sekarang benar-benar bermata tajam sekali. Eh, Nona Li Hwa, bagaimana engkau bisa menduga bahwa pinto adalah Bun Hwat Tosu?”

“Suhu pemah menyatakan bahwa di antara sahabat-sahabat beliau yang memiliki kesaktian tinggi adalah seorang tua yang bersenjata sebatang tongkat terbuat dari akar kayu cendana dan berukirkan kepala naga. Ketika tadi Locianpwe menyebut kayu cendana dan kepala naga, maka tahulah teecu.”

“Ha-ha-ha, engkau memang cerdik, patut menjadi murid yang mulia The-taiciangkun! Gurumu terlalu memuji pinto. Beliau sendiri adalah seorang ahli silat yang tinggi sekali ilmunya, seorang ahli sastra yang jarang tandingannya, seorang ahli perang yang jempolan dan seorang pemimpin besar armada yang luas pengetahuannya. Mana mungkin pinto yang bodoh sederhana dapat dibandingkan dengan dia? Nah, Nona kecil yang baik, apakah sekarang engkau dapat pulang sendiri ke Liok-ek-tung?”

Li Hwa mengangguk. “Liok-ek-tung tidak jauh lagi dari sini, Locianpwe. Harap Locianpwe sudi singgah di rumahku, agar kedua orang tuaku dapat menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang sudah menolongku, dan apabila mungkin dapat bertemu dengan Suhu...”

Kakek itu menggeleng kepalanya. “Tidak perlu, tidak perlu... dan tentang pertemuan dengan gurumu, kelak tentu akan tiba saatnya pinto menghadap yang mulia. Nah, pulanglah agar orang tuamu berlega hati.”

Sekali lagi Li Hwa mengangguk-anggukkan kepalanya di depan kaki kakek itu. “Teecu menghaturkan terima kasih dan bermohon diri.”

Li Hwa bangkit berdiri, mengerling kepada Kun Liong. “Selamat jalan, Adik Li Hwa! Jangan lupa kepadaku, ya!”

Li Hwa tersenyum, memandang kepala Kun Liong yang licin mengkilap. “Mana bisa aku melupakan itu?” dia menuding.

Kun Liong juga tertawa dan meraba kepalanya. “Mengapa ragu-ragu? Katakan saja kepalaku, kepala gundul buruk!”

“Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu, hi-hik!” Li Hwa tertawa, Kun Liong tertawa dan keduanya saling pandang seperti dua orang sahabat lama. Setelah menjura sekali lagi kepada Bun Hwat Tosu, Li Hwa lalu meloncat dan berlarian menuju ke kota Liok-ek-tung di timur.

Setelah bayangan anak perempuan itu lenyap di balik pohon-pohon, Bun Hwat Tosu memandang Kun Liong dan bertanya,

“Kun Liong, bagaimana engkau bisa tahu bahwa Bun Hwat Tosu adalah Ketua Hoa-san-pai?”

“Nama Suhu dihormati dan dipuji-puji oleh Ayah Bunda teecu.”

Kakek itu mengerutkan alisnya. Mendengar namanya dihormati dan dipuji-puji hatinya merasa tidak enak. Pujian sama bahayanya dengan musuh yang datang dari belakang, berbeda dengan kata-kata keras yang seperti musuh datang dari depan.

“Siapa nama ayahmu?”

“Ayah bernama Yap Cong San.”

Akan tetapi Bun Hwat tidak mengenal nama ini.

“Ayah menjajarkan Suhu setingkat dengan Sukong Tiang Pek Hosiang.”

Kini kakek itu mengangkat kedua alisnya. “Ahhh! Tiang Pek Hosiang bekas ketua Siauw-lim-pai? Heran sekali! Dan dia itu sukongmu (kakek gurumu)?”

“Ayah adalah murid beliau.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Hemm, pantas kalau begitu… gerakanmu memiliki dasar Siauw-lim-pai sungguhpun sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang aneh...”

“Dari ibu teecu.” Kun Liong memotong.

“Hemmm, ibumu juga lihai sekali?”

“Hanya kalah sedikit oleh Ayah, akan tetapi Ibu menang dalam hal ilmu pengobatan. Ibu adalah sumoi (adik seperguruan) dari Supek Cia Keng Hong…”

“Ahhhh! Benar-benar suatu kebetulan yang luar biasa! Kalau begitu, pinto telah kesalahan besar mengambil engkau sebagai murid!”

Serta-merta Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki orang tua itu karena khawatir kalau-kalau gurunya membatalkan pengangkatan murid. “Harap Suhu tidak membatalkan teecu menjadi murid.”

“Kenapa? Engkau keturunan orang-orang pandai dan melihat dasarmu, sepatutnya engkau menjadi murid Siauw-lim-pai. Seorang murid Siauw-lim-pai tidak boleh belajar dari orang lain, dan kalau pinto menerimamu sebagai murid, tentu pinto kesalahan terhadap Siauw-lim-pai.”

“Teecu bukan murid Siauw-lim-pai!”

“Akan tetapi ayahmu?”

“Ayah pun bukan murid Siauw-lim-pai, hanya bekas murid. Sudah tidak diakui lagi. Menurut penuturan Ayah, Ayah pernah membuat kesalahan besar terhadap Siauw-lim-pai, biarpun diampuni akan tetapi tidak lagi diakui murid, hanya sebagai sahabat baik para pimpinan Siauw-lim-pai saja. Harap Suhu percaya keterangan teecu karena teecu tidak membohong.”

Kakek itu kembali mengelus jenggotnya. Dia sudah mendengar tentang riwayat Tiang Pek Hosiang yang mengundurkan diri dari Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum ), akan tetapi dia tidak pernah mendengar tentang murid-murid kakek sakti itu. Dia mengira bahwa tentu ayah bocah ini tidak diakui sebagai murid Siauw-lim-pai karena tersangkut persoalan gurunya. Padahal, duduknya pekara tidaklah demikian. Yap Cong San kehilangan haknya sebagai anak murid Siauw-lim-pai karena dia menikah dengan Gui Yan Cu, dara yang dianggap terlibat dalam urusan gurunya, Tung Sun Nio dan Tiang Pek Hosiang sehingga dapat mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum ).

“Akan tetapi, kalau ayah bundamu sendiri adalah orang-orang pandai, perlu apa engkau belajar dari pinto?”

Kun Liong mengerutkan alisnya, memutar otak untuk memberi jawaban yang tepat. Kemudian dengan suara sungguh-sungguh dia menjawab, “Belajar dari ayah dan ibu sendiri tidak akan maju, Suhu.”

“Hemm, mengapa tidak akan maju? Ayahmu adalah murid Tiang Pek Hosiang yang berilmu tinggi, sedangkan ibumu adalah sumoi dari Cia-taihiap (Pendekar Besar Cia) yang sakti, tentu ayah bundamu memiliki kepandalan tinggi pula. Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa belajar dari orang tuamu sendiri tidak akan maju?”

“Karena Ayah terlampau keras kepada teecu sehingga teecu selalu takut-takut, belajar dari Ayah tidak akan dapat maju, adapun ibu terlalu memanjakan teecu, belajar lelah sedikit sudah disuruh mengaso, juga tidak akan maju.”

Kini kakek itu mengerutkan alisnya yang berwarna putih, memandang tajam kepada Kun Liong, kemudian berkata, “Sungguh alasan yang tidak dapat diterima. Engkau agaknya seorang anak yang nakal dan bandel, Kun Liong, apakah kati kenakalanmu maka engkau meninggalkan rumah?”

“Wah, tidak… tidak, Suhu. Dan bukan hanya itu alasan teecu. Masih ada lagi alasan kuat mengapa teecu tidak ingin agar Suhu membatalkan teecu sebagai murid Suhu.”

“Hemm, alasan tidak masuk akal apa lagi?”

“Pelajaran dari Ayah Bunda teecu dapat kapan saja, akan tetapi pertemuan dengan Suhu merupakan hal yang kebetulan sekali dan kiranya tidak akan ada kesempatan ke dua bagi teecu, maka tentu saja teecu ingin sekali menjadi murid Suhu yang namanya dipuji-puji oleh Ayah.”

Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. “Hemm… alasan ini pun tidak kuat dan hanya menonjolkan kemurkaanmu akan ilmu silat saja.”

Kun Liong menjadi gugup, “Ah, sama sekali tidak, Suhu! Teecu benci… benci… akan ilmu silat!”

“Heee?”

“Maksud teecu… teecu benci akan penggunaannya yang hanya ditujukan untuk memukul lain orang, melukai bahkan membunuh lain orang.”

“kalau begitu, mengapa engkau bersikeras hendak belajar ilmu silat dari pinto (aku)?”

“Justru karena itu, teecu ingin memiliki ilmu kepandaian tinggi agar teecu dapat mempergunakannya untuk mencegah orang-orang yang pandai silat menganiaya dan memukul orang lain.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Bisa diterima alasanmu, akan tetapi untuk memperoleh ilmu silat tinggi, ayah bundamu cukup untuk mengajarmu, tidak perlu engkau belajar lagi dari pinto.”

Kun Liong menjadi gelisah. Dia masih berlutut dan kini dia mengangkat mukanya memandang kakek itu sambil berkata, “Harap Suhu suka menerima teecu, dan sesungguhnya hal ini bukan semata untuk kepentingan teecu, melainkan demi kebersihan nama dan kehormatan Suhu sendiri.”

Bun Hwat Tosu terkejut sekali, menyentuh pundak Kun Liong dan bertanya, “Apa maksudmu?”

Kun Liong menundukkan mukanya, hatinya menjadi berdebar takut melihat betapa ucapannya tadi membuat kakek itu bersikap demikian sungguh-sungguh. Namun sudah kepalang baginya, menggunakan siasat yang paling lihai. Dia tahu bahwa orang-orang aneh seperti Bun Hwat Tosu ini tidak membutuhkan apa-apa lagi dan satu-satunya hal yang masih dipentingkan hanya satu, yaitu nama yang menyangkut kehormatan. Maka dia sekarang menyinggung tentang nama dan kehormatan. Ternyata kakek itu benar-benar tergugah dan menaruh perhatian besar sekali!

“Teecu tidak bermaksud buruk. Suhu sendiri yang telah mengambil teecu sebagai murid dan Suhu sendiri yang telah mengucapkan kata-kata itu. Teecu mendengar bahwa kata-kata seorang budiman, yang sudah keluar dari mulut, mewakili suara hati dan menjadi janji yang lebih berharga daripada nyawa. Maka dari itu, kalau sekarang Suhu menarik kembali janji Suhu itu, bukankah hal ini akan menodai nama dan kehormatan Suhu?”

Bun Hwat Tosu mengelus-elus jenggotnya dan memandang kepada anak gundul itu dengan sinar mata tajam, kemudian dia menghela napas dan berkata, “Yap Kun Liong, sekecil ini engkau sudah dapat menggunakan kata-kata untuk mendesak dan menghimpit seorang tua seperti pinto, membuat pinto tidak berdaya. Benar-benar engkau berbakat cerdik, dan entah apa yang akan terjadi kalau engkau sudah dewasa kelak. Kecerdikan dapat mengangkat orang ke tingkat tinggi, akan tetapi juga dapat menyeret orang ke tempat yang paling rendah. Baiklah, pinto tidak mungkin dapat menarik kata-kata sendiri. Pinto akan menurunkan ilmu kepadamu selama lima tahun, akan tetapi tidak boleh menyebut guru kepada pinto karena kalau hal ini pinto lakukan, yaitu mengambilmu sebagai murid, berarti pinto kurang hormat kepada Siauw-lim-pai dan Cin-ling-pai. Bagaimana, maukah engkau?”

Kun Liong mengangguk-angguk memberi hormat. “Teecu menghaturkan terima kasih atas kemurahan hati Locianpwe.”

Bun Hwat Tosu menarik napas panjang. “Hemm, kemurahan hati apa? Pinto terpaksa dan entah akibat apa yang akan pinto tanggung kelak apabila engkau melakukan penyelewengan!”

Serta-merta Kun Liong berkata lantang, “Teecu bersumpah bahwa apa pun yang akan terjadi dengan diri teecu, teecu tidak akan menyebutkan nama Locianpwe, tidak akan menyangkut nama Locianpwe!”

“Sudahlah, agaknya memang engkau sudah berjodoh dengan pinto. Ingat, bukan sekali-kali pinto takut engkau menyebut nama pinto, akan tetapi jangan dihubungkan dengan Hoa-san-pai. Pinto telah lama mengundurkan diri dari Hoa-san-pai, dan andaikata nama pinto rusak oleh sepak terjangmu, masih tidak terlalu hebat. Akan tetapi kalau sampai Hoa-san-pai tersangkut, pinto pasti kelak akan mencarimu untuk mencabut kembali semua ilmu yang kaupelajari dari pinto, biarpun dengan bahaya tercabutnya pula nyawamu atau nyawa pinto.”

Kun Liong hanya mengangguk-angguk dan wajahnya agak pucat. Hebat sekali ancaman yang keluar dari mulut kakek itu dan dia dapat merasakan kesungguhan hati kakek itu yang membuatnya mengkirik.

“Teecu akan selalu ingat kata-kata Locianpwe.”

“Nah, mari kita pergi!” Sebelum Kun Liong bangkit berdiri, tahu-tahu tubuhnya telah disambar dan kembali dia mengalami peristiwa yang mengerikan ketika tubuhnya meluncur dengan cepatnya menuju ke sebuah pegunungan yang kelihatan melintang panjang seperti seekor naga tidur di sebelah depan.

Sungainya laksana pita sutera biru
gunungnya laksana tusuk sanggul permata!

Sajak dua baris itu adalah pujian pujangga besar Han Yi (768 – 824) pada waktu Dinasti Tang (618 – 907) ketika pujangga itu mengagumi keindahan pemandangan alam di sekitar Sungai Li daerah Kuilin, Propinsi Kuangsi.

Memang luar biasa sekali keindahan tamasya alam di daerah ini, terutama sekali kalau orang memandang dari puncak sebuah di antara gunung-gunungm melihat air Sungai Li yang kelihatan seperti pita rambut sutera biru melambai dari rambut seorang perawan jelita. Pemandangan di sepanjang sungai itu selain indah menakjubkan juga berubah-ubah keadaannya, terutama sekali di bagian antara daerah Kuilin dan Yangsuo.

Gunung Haiyang berdiri tegak sebagai sebuah di antara gunung-gunung di Pegunungan Taliang-san, di perbatasan Propinsi Kuangsi dan Propinsi Hunan. Dari Gunung Haiyang ini mengalir turun dua batang sungai yang mengalir ke utara memasuki Propinsi Hunan adalah Sungai Siang, adapun yang mengalir ke selatan memasuki Propinsi Kuangsi adalah Sungai Li yang juga disebut Sungai Kui, Sungai Haiyang dan ada pula yang menyebutnya Sungai Kemala!

Lambang keindahan di daerah Yangsuo di sepanjang Sungai Li, adalah sebuah puncak gunung yang bernama Gunung Teratai Biru. Gunung ini berbentuk sekuntum bunga teratai yang sedang menguncup, segar kebiruan. Di lereng Gunung Teratai Biru ini mendapat sebuah kuil kuno, yaitu Kuil Cien yang ternama, kuil peninggalan dari Dinasti Tang.

Kun Liong kagum bukan main ketika dia dibawa oleh Bun Hwat Tosu ke kuil kuno ini. Dia berdiri di situ, kemudian mendaki puncak Gunung Teratai Biru menikmati keindahan alam yang seperti sorga indahnya. Dari puncak ini tampak kota Yangsuo di sekitar gunung berlapis-lapis dan berwama hijau, seolah-olah kota itu dipeluk oleh sekumpulan daun-daun bunga.

Tak jauh dari situ tampak Gunung Pelayan Pelajar. Bentuknya seperti seorang kacung pelajar yang duduk tegak lurus, membuka mulut mendeklamasikan sajak! Dan di sebelah kiri tampak pula dua buah puncak yang berdiri sejajar seperti kembar. Itulah Gunung Besi dengan dua puncaknya Sepasang Singa yang tersohor, yang berdiri berhadapan dengan Gunung Pelayan Pelajar. Memang bentuk kedua buah puncak itu mirip dengan singa betina dan singa jantan, sepasang singa yang duduk dengan tenang, gagah perkasa, akan tetapi jinak dan tidak ganas.

Tebing-tebing gunung yang menjadi dinding di kanan kiri sungai yang melalui pegunungan, menimbulkan pemandangan yang aneh. Ada yang tebingnya berwarna putih berderet-deret sehingga penduduk di sekitar Sungai Li memberinya nama Pegunungan Tebing Putih. Tak jauh dari situ, tebingnya berderet dengan warna merah, dan diberi nama Pegunungan Tebing Merah. Betapa luar biasa pemandangan di situ dapat kita bayangkan. Di antara warna kehijauan pegunungan tampak tebing berwarna merah dan putih itu! Semua keindahan ini makin menawan hati kalau kita terus ke selatan, memasuki daerah Simping. Di sini terdapat Pegunungan Panca Puncak dan Gunung Lukisan. Masih banyak lagi pegunungan dengan puncak-puncaknya yang berbentuk aneh-aneh sehingga diberi nama yang aneh-aneh pula. Patutlah kalau para pujangga, para penyair terkemuka dari berbagai dinasti di sepanjang sejarah Tiongkok berdatangan ke daerah ini untuk menikmati tamasya alam yang luar biasa, menulis sajak-sajak abadi untuk memujinya. Para pujangga terkenal dari Dinasti Tang, misalnya Han Yi, Liu Cung Yuan, Huang Ting Cian, Mi Fu, Fan Ceng Ta, pernah berdarmawisata ke daerah ini. Tentu saja lebih banyak lagi para pujangga dari dinasti lebih muda yang mengagumi tempat itu.

Semenjak kecilnya, Kun Liong tinggal di kota. Tentu saja dia merasa girang dan betah sekali tinggal di tempat yang indah itu. Tubuhnya menjadi segar, kulit mukanya putih kemerahan, sepasang matanya bercahaya dan bibir mulutnya merah seperti bibir seorang dara remaja. Akan tetapi kepalanya tetap saja gundul pelontos tidak ada rambutnya!

Sampai lima tahun lamanya Kun Liong belajar dengan amat tekunnya, digembleng oleh Bun Hwat Tosu yang tidak sembarangan menurunkan ilmunya. Memang amat untung bagi Kun Liong. Karena kakek itu maklum bahwa Kun Liong adalah cucu murid Tiong Pek Hosiang dan murid keponakan Cia Keng Hong, maka Bun Hwat Tosu tidak berani sembarangan menurunkan ilmu yang remeh kepada anak itu! Tentu saja dia merasa sungkan kalau tidak mewariskan ilmu-ilmu pilihan yang akan dihargai oleh kedua orang tokoh besar dunia persilatan itu. Maka dalam waktu lima tahun itu dia melatih Kun Liong yang sudah memiliki dasar yang baik berkat gemblengan ayah bundanya dengan dua ilmu baru yang diciptakan sendiri setelah dia mengundurkan diri dari Hoa-san-pai. Yang pertama adalah ilmu tangan kosong yang bemama Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) dan yang ke dua adalah ilmu tongkat kerena memang kakek ini terkenal sekali dengan kepandaiannya bermain tongkat ketika dia masih memegang tongkat kayu cendana berukir kepala naga. Ilmu tongkat yang diajarkan kepada Kun Liong disebut Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga), disebut demikian karena gerakan kedua ujung tongkat kalau dimainkan seolah-olah merupakan dua ekor naga mengeroyok lawan!

Biarpun selama lima tahun hanya disuruh berlatih dengan dua macam ilmu silat ini, namun Kun Liong tidak pernah mengomel, melainkan berlatih dengan amat tekunnya sehingga Bun Hwat Tosu merasa kagum dan juga lega hatinya. Apa pun yang akan terjadi dengan keputusannya menurunkan ilmunya kepada Kun Liong, yang jelas, pemuda ini tidak akan mengecewakan sebagai muridnya, biarpun murid yang tidak sah atau tidak diakuinya! Rasa girang dan puas ini membuat Bun Hwat Tosu lupa diri dan timbul keinginan hatinya untuk menurunkan ilmu kepada Kun Liong, ilmu simpanannya yang khusus diciptakannya untuk menandingi Ilmu Thi-ki-i-beng dari Cia Keng Hong yang kabarnya tiada yang dapat menandinginya!

Pendekar besar Cia Keng Hong memang memiliki ilmu yang amat aneh, juga amat hebat, yaitu yang disebut Thi-ki-i-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa). Ilmu ini adalah semacam daya tenaga sakti sinkang yang kalau digunakan begitu tangan menampel ke tubuh lawan, maka otomatis tenaga sinkang lawan akan tersedot sampai habis masuk ke dalam tubuh sendiri. Karena memiliki Ilmu Thi-ki-i-beng inilah maka Cia Keng Hong dianggap sebagai tokoh yang paling hebat kepandaiannya. Dan karena ilmu aneh yang dahulu dipakai perebutan di antara orang-orang sakti di seluruh dunia kang-ouw (baca ceritaPedang Kayu Harum ) diam-diam Bun Hwat Tosu merasa penasaran dan mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menciptakan sebuah ilmu yang khusus untuk menghadapi Thi-ki-i-beng! Dan kini, ilmu itu dia ajarkan kepada Kun Liong agar ini yang akan menandingi sehingga kalau berhasil, ilmu nomor satu di dunia persilatan itu telah ditaklukkan olehnya!

“Kun Liong, pemahkah engkau mendengar akan ilmu yang disebut Thi-ki-i-beng?” Setelah pemuda itu belajar selama empat tahun, suatu pagi Bun Hwat Tosu bertanya.

Kun Liong menggeleng kepala. “Teecu belum pernah dengar, Locianpwe. Ilmu apakah itu?”

“Thi-ki-i-beng pernah menggegerkan dunia persilatan dan kiranya di dunia ini hanya seorang saja yang memilikinya, yaitu Cia Keng Hong.”
“Ahhh, Supek (Uwa Guru)? Memang, menurut penuturan Ibu, Cia-supek adalah seorang sakti yang jarang ada tandingannya.”
“Ibumu benar. Dan kesaktiannya itu terutama sekali karena dia memiliki Thi-ki-i-beng. Akan tetapi, pinto telah menciptakan sebuah daya sin-kang yang hendak pinto ajarkan kepadamu. Ilmu ini adalah kebalikan dari Thi-ki-i-beng. Kalau Thi-ki-i-beng mempunyai daya menyedot sin-kang lawan, maka ilmu ini mempunyai daya membetot sehingga kalau engkau sudah berlatih dengan sempurna, pukulan-pukulan beracun lawan dapat kauhindarkan dengan ilmu ini, juga mungkin, dalam hal ini pinto sendiri belum yakin benar, mungkin saja ilmu ini akan dapat menahan daya sedot Thi-ki-i-beng.”

lanjut ke Jilid 015-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar