Petualang Asmara Jilid 013
“Tidak perlu lagi kau pura-pura menangis! Apa pula yang
ditangisi?” bentak Gui-kauwsu.
Wanita itu merangkak bangun, terbelalak dan terisak.
“Mengapa... mengapa… kau
marah-marah kepadaku? Mengapa… kau marah kepadaku? Apa salahku...??” Dia
menangis tersedu-sedu.
“Huh! Palsu! Air mata palsu! Perempuan rendah tak tahu malu! Kau menikmatinya,
ya? Kalau engkau lebih suka tidur dengan bajingan itu, kenapa kau tadi tidak
ikut saja dengan dia?”
Wanita itu menjerit, “Apaaa...?!! Kau... kau… kau tega berkata demikian?
Suamiku, aku… aku terpaksa melakukannya untuk menolong nyawamu!”
Wanita itu
kini menghentikan tangisnya dan memandang suaminya penuh rasa penasaran.
“Hemm, alasan kosong! Memang kau sudah tergila-gila kepadanya! Kaukira aku
tuli? Kaukira aku tak tahu betapa engkau menikmatinya? Betapa engkau merasa
puas dengan dia? Perempuan rendah pelacur dan hina...!!”
“Suamiku...!!” Wanita itu menubruk dan merangkul suaminya, akan tetapi kembali
suaminya mendorong, bahkan menampar pipi isterinya dengen keras.
“Plakkk!! Jangan dekat aku! Jangan sentuh aku dengan tubuhmu yang ternoda, yang
kotor dan hina! Kau pergi sana ikut dengan siucai gila yang menjadi kekasihmu
itu!!”
Wanita itu bangkit perlahan, tampak perubahan dalam sikapnya dan pandang
matanya. Dia bangkit berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang lebih banyak
terbuka daripada tertutup itu, kemudian terdengar suaranya, masih bercampur
isak tetapi bernada dingin,
“Cihhh! Laki-laki tak tahu diri! Baik, dengarkan sekarang, buka telingamu
lebar-lebar seperti tadi, buka matamu lebar-lebar seperti ketika engkau
menonton tadi! Aku menikmatinya, memang! Nah, habislah! Aku lebih puas dengan
dia daripada dengan engkau! Sudah cukupkah? Masih kurang puas? Aku lebih suka
ikut dengan dia kalau saja dia mau, daripada ikut dengan engkau manusia tak
tahu diri, tak kenal budi. Cihhh! Aku muak melihatmu, dan aku tidak sudi lagi
berdekatan denganmu!” Tiba-tiba wanita itu meloncat keluar dari perahu.
“Byuuurrr...!”
Air muncrat tinggi dan dengan mata terbelalak Kun Liong melihat
betapa tubuh itu disambar air yang mengalir agak kuat di tempat itu, lalu
tenggelam. Tubuhnya terlalu lelah, dadanya sesak dan sakit-sakit sehingga dia
merasa tidak kuasa menolong wanita itu. Dia mengharapkan Si Suami akan menolong
isterinya maka dia menoleh kepada laki-laki yang berdiri bengong di pinggir
perahu.
“Isteriku…! Di mana engkau…? Apa yang telah kaulakukan ini? Isteriku,
maafkanlah aku… aku berdosa padamu, aku... aku cinta padamu...! Jangan
tinggalkan aku…!” Dan Gui-kauwsu itu pun moloncat keluar dari perahu.
“Byuuur…!”
Untuk kedua kalinya air sungai muncrat ke atas dan dengan mata
terbelalak lebar Kun Liong melihat betapa guru silat itu gelagapan dan
tenggelam. Ternyata guru silat itu, seperti juga isterinya, sama sekali tidak
pandai renang! Lupa akan keadaan dirinya sendiri, Kun Liong meloncat keluar
dari perahu. Akan tetapi dia pun gelagapan karena arus air amat deras, dan
tenaganya amat lemah. Pula, ketika dia mencari-cari dengan matanya, dia tidak
dapat melihat lagi tubuh kedua orang itu. Terpaksa dia berenang kembali ke
perahunya dan dengan amat susah payah, akhirnya dapat juga dia naik ke
perahunya. Dia masih menggunakan sisa tenaganya untuk mendayung perahu,
mencari-cari tubuh suami isteri itu, akan tetapi sama sekali tidak tampak.
Dalam keadaan setengah pingsan karena peristiwa hebat itu dan karena kehabisan
tenaga ditambah luka oleh pukulan di lambungnya tadi, Kun Liong rebah di
perahu, membiarkan perahu hanyut perlahan-lahan, akhimya dia tidak
bergerak-gerak lagi, setengah tidur setengah pingsan!
Anak ini mengalami ketegangan hati hebat ketika menyaksikan peristiwa di perahu
tadi. Dia benar-benar tidak mengerti akan sikap orang-orang dewasa itu. Mengapa
siucai itu melakukan perbuatan yang begitu hina? Dan mengapa isteri guru silat
itu membiarkan dirinya diperkosa, bahkan menawarkan dirinya! Benarkah untuk
menyelamatkan suaminya? Dan yang paling aneh baginya yang membuat dia bingung
sekali, adalah sikap Gui-kauwsu sendiri. Tadi Gui-kauwsu membela isterinya
mati-matian terhadap penghinaan Ouw-siucai, kemudian melihat isterinya
diperkosa siucai itu, timbul kebenciannya sehingga dia menampar dan mengusir,
memaki dan menghina isterinya. Setelah isterinya nekat membunuh diri dengan
terjun ke sungai, dia yang tidak pandai berenang nekat pula terjun dan mengaku
cinta! Mengapa orang-orang dewasa itu bersikap seperti itu? Dan isteri kauwsu
itu benarkah lebih suka kepada Si Siucai? Ataukah hanya untuk membalas
perlakuan suaminya? Apakah isteri itu pun mencinta suaminya? Dia benar-benar
tidak mengerti dan dalam tidur setengah pingsan itu, wajah suami isteri dan
siucai itu ganti berganti menganggunya, menjadi muka yang amat besar, tanpa
tubuh, menakutkan sekali.
Cinta terlalu halus untuk dapat dimengerti pikiran manusia yang kasar, terlalu
tinggi untuk dicapai pikiran yang rendah dan terlalu dalam untuk dijajaki
pikiran yang dangkal. Pikiran yang berputar sekitar sayang diri, demi aku,
untuk aku, tak mungkin dapat mengerti cinta yang bersih daripada kepentingan
diri tanpa pamrih itu. Gui-kauwsu ingin menguasai isterinya lahir batin,
memonopoli isterinya lahir batin dan menganggap hal ini sebagai perasaan
cintanya terhadap isterinya. Keinginan menguasai dan memiliki lahir batin ini
tentu saja menimbulkan iri jika melihat isterinya menoleh kepada orang lain dan
menimbulkan cemburu, bahkan menimbulkan benci! Adakah iri itu cinta? Adakah
cemburu itu cinta? Adakah benci itu cinta? Adakah cinta mendatangkan derita?
Hanya pengejaran dan pemuasan nafsulah yang akan mendatangkan derita. Keinginan
menguasai dan memiliki lahir batin terhadap sesuatu, benda maupun manusia,
berarti mengundang datangnya derita sengsara, pertentangan dan penyesalan.
Memang, berhasil menguasai dan memiliki sesuatu atau seseorang, dapat
mendatangkan rasa puas, akan tetapi kepuasan nafsu keinginan ini hanya seperti
angin lalu karena keinginan itu selalu didorong oleh pengejaran akan sesuatu
yang lebih indah. Kalau sudah didapat, tentu akan lepas dari pengejaran dan
perhatian, karena keinginan sudah mencari lagi ke depan untuk mendapatkan yang
lebih indah lagi!
Pada keesokan harinya, setelah sinar matahari telah naik tinggi, Kun Liong
bangun dari tidurnya. Dadanya masih terasa sakit sedikit, akan tetapi tenaganya
sudah agak pulih. Melihat betapa perahunya berhenti, dia cepat melihat ke depan
dan ternyata dia telah tiba di daerah yang berbatu-batu. Sungai menjadi lebar
sekali, akan tetapi batu-batu itu menonjol ke permukaan air. Perahunya tertahan
oleh sebaris batu dan untung saja terdampar di situ, tidak terbentur keras dan
pecah.
Ketika dia berdiri di pinggir perahu, tiba-tiba dia membelalakkan mata melihat
sesuatu tersangkut pada batu tak jauh dari situ. Tadinya dia mengira seekor
ikan besar yang mati, akan tetapi setelah matanya terbiasa, dia hampir
berteriak saking kagetnya. Yang dilihatnya itu adalah mayat isteri Gui-kauwsu!
Hanya sebagian muka, rambutnya, dan perutnya yang tampak, perut yang mengembung
besar sehingga kelihatan seperti perut ikan, putih bersih. Mayat yang telanjang
bulat!
Kun Liong mengejap-ngejapkan matanya, ingin mengusir penglihatan itu. Ketika
dia memandang ke kanan kiri, hampir dia terpekik lagi melihat sesosok mayat
lain, juga terdampar dan tersangkut batu. Mayat Gui-kauwsu sendiri, mukanya
tidak tampak akan tetapi dia dapat mengenal celana hitam baju putih dan sarung
pedang di punggung mayat yang tertelungkup itu!
Kun Liong menghela napas panjang penuh kengerian. Sudah dia duga bahwa tentu
suami isteri itu akan tewas melihat betapa mereka tidak pandai renang dan arus
sungai yang dalam itu amat derasnya. Perahunya tersangkut dan agaknya bocor.
Seorang diri saja tak mungkin dia dapat mengambil dua jenazah itu untuk
dikuburkan ke darat. Dia tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan harus meninggalkan
perahu yang tersangkut dan terjepit ini. Dia teringat akan bokor di bawah
perahu. Sayang kalau dibiarkan begitu saja. Bokor itu amat penting dan menjadi
rebutan orang-orang di dunia kang-ouw. Kalau kelak dia bawa pulang dan dia
serahkan ayahnya, siapa tahu bokor itu akan agak meredakan kemarahan ayahnya.
Dengan hati-hati dia lalu turun ke air, mengumpulkan napas, menyelam dan
meraba-raba. Bokor itu masih ada, terikat di bawah perahu. Dilepaskannya ikatan
itu dan dibawanya bokor meninggalkan perahu, berenang dari batu ke batu, sampai
akhimya dia tiba di darat yang berbatu-batu.
Pandang matanya tertarik kepada sebuah batu besar di tepi sungai dan tak terasa
dia meraba kepalanya. Batu itu besar dan halus, bentuknya seperti kepalanya!
Dihampirinya batu itu dan diraba-rabanya. Benar-benar batu yang halus dan besar
sekali, dikelilingi batu-batu yang tidak sebesar batu kepala itu. Ketika dia
meraba-raba ini, dia menemukan sebuah lubang terhimpit di antara batu-batu dan
segera dia memasuki bokor ke dalam lubang ini. Lubang itu dalam sekali dan
begitu bokor dimasukkan, benda itu meluncur dan hilang! Sama sekali tidak
tampak dari luar dan betapapun Kun Liong merogoh ke dalam lubang, jari
tangannya tidak dapat mencapainya. Hatinya menjadi girang. Benda itu tersimpan
dengan aman dan hanya kalau batu berbentuk kepalanya itu didorong roboh, bokor
itu dapat ditemukan. Akan tetapi siapakah orangnya yang akan mendorong batu
besar itu? Pula, siapakah yang akan kuat mendorong batu sebesar itu? Agaknya
akan membutuhkan tenaga sedikitnya belasan orang kuat!
Hatinya meniadi ringan. Benda itulah yang selama ini membuat hatinya berat dan
setelah benda itu disimpan di tempat aman, dia dapat melanjutkan perjalanannya
tanpa khawatir terlibat dalam perebutan bokor emas. Sejenak dia memandang ke
sekeliling sampai dia yakin benar kelak akan dapat mengenali tempat ini. Mudah
mengenalinya. Bentuk pegunungan di utara itu, pemandangan di seberang yang
penuh pohon-pohon raksasa, sungai yang penuh batu batu menonjol dan belokan
sungai di depan itu. Apalagi dengan adanya batu yang berbentuk kepala gundulnya
ini, dia tidak akan dapat melupakan tempat ini, dan dia pasti kelak akan
mengingat tempat persembunyian bokor emas!
Mulailah Kun Liong melanjutkan perjalanannya ke timur, menyusuri sepanjang
pantai sungai. Di dalam kantungnya masih terdapat sisa-sisa uang upah perahu.
Sayang bahwa tiga orang penumpangnya itu tidak membayarnya sepeser pun, bahkan
yang dua orang sudah mati dan yang seorang lagi? Teringat akan siucai gila itu,
meremang bulu tengkuknya. Sungguh banyak berkeliaran orang berilmu tinggi dunia
ini, namun mengapa setiap orang berilmu tinggi yang dijumpainya demikian jahat
dan kejam? Pertama-tama Loan Khi Tosu, tosu Pek-lian-kauw yang membunuh orang
tanpa berkedip mata. Kemudlan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dengan puteranya,
Ouwyang Bouw yang mengerikan dan yang ilmunya jauh lebih tinggi daripada tosu
Pek-lian-kauw itu. Setelah itu Si Siucai gila yang menyeramkan! Dia harus berhati-hati.
Ternyata perantauannya membawanya kepada bahaya yang beberapa kali nyaris
merenggut nyawanya.
Kun Liong tersenyum seorang diri. Betapa ibunya akan terbelalak dan ayahnya
akan menggeleng-geleng kepala kalau melihat dia seperti sekarang ini. Dia dapat
membayangkan keheranan hati ayah bundanya itu. Kun Liong tertawa dan meraba
kepalanya. Dapatkah ibunya menyembuhkan kepalanya sehingga dapat tumbuh rambut
kembali? Aha! Tentu ayah dan ibunya akan mengira dia sudah menjadi hwesio!
Kenangan akan ayah bundanya dan akan lucunya kalau mereka melihat dia membuat
Kun Liong merasa gembira dan dia berloncatan di atas batu-batu besar yang
berserakan di tepi sungai.
Tiba-tiba dia menyelinap dan bertiarap, bersembunyi
di balik batu-batu besar ketika dia melihat tiga orang laki-laki muncul dari
balik pohon-pohon di tepi sungai. Yang seorang bertubuh tinggi besar seperti
raksasa, mukanya licin tidak berambut dan sebatang pedang tergantung di
punggungnya. Orang ke dua brewok dan kelihatan galak sekali, pakaiannya kasar
seperti orang pertama, bahkan tidak berlengan, dan di pinggangnya tergantung
ruyung berduri yang menyeramkan. Orang ke tiga masih muda, juga bajunya tidak
berlengan dan punggungnya tergantung sebuah golok.
“Benarkah dia lewat di sini?” tanya Si Brewok kepada yang termuda.
“Benar, aku sudah mengikutinya sejak kemarin. Dia tertukar keledai dan membawa
buntalan yang berat.” kata yang muda.
“Seorang tosu mempunyai apa sih?” tanya Si Tinggi Besar.
“Aihhh, lupakan dulu urusan merampok!” Si Brewok menegur. “Kita sedang menanti
datangnya utusan yang akan membawa uang tebusan.”
“Masa seorang tosu?”
“Mungkin saja! Kalau bukan utusan, masa seorang tosu menunggang keledai siang
malam, bertukar keledai, menginap di hotel, dan membawa bungkusan besar?” kata
yang muda. “Nah, itu dia...!” sambungnya sambil menuding ketika dia menoleh ke
belakang. Tiga orang itu dengan gerakan cepat sekali berlompatan sudah
menyelinap dan sembunyi di belakang pohon-pohon.
Kun Liong juga mengintai dari balik batu-batu dan melihat seorang kakek tua
menunggang seekor keledai perlahan-lahan menuju ke tempat itu. Di depan kakek
itu, di punggung keledai, tampak buntalan besar dan berat, sedangkan di
punggung kakek itu pun tergendong sebuah buntalan kain.
Jantung Kun Liong berdebar penuh ketegangan. Dia merasa kasihan kepada kakek
itu, yang pakaiannya longgar seperti pakaian seorang tosu. Ingin dia berteriak
memperingatkan, akan tetapi tiga orang tadi berada di antara dia dan tosu itu.
Untuk lari menyambut juga tidak mungkin, tentu didahului mereka. Akan tetapi
kakek yang dikhawatirkan itu mulai bemyanyi dengan suara lantang!
“Mengerti akan orang lain adalah bijaksana
mengerti akan diri sendiri adalah waspada
mengalahkan orang lain adalah kuat
mengalahkan diri sendiri lebih gagah perkasa!
Kata-kata yang benar tidaklah manis
kata-kata yang manis belum tentu benar
yang baik tidak akan berbantah
yang berbantah belum tentu baik!”
Kun Liong mengenal sajak yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah ayat ke tiga
puluh tiga dan yang ke dua ayat ke delapan puluh satu dari kitab To-tik-keng,
diambil bagian depannya saja. Pada saat itu, tosu tua ini sudah tiba dekat dan
tiba-tiba muncullah tiga orang tadi! Mereka langsung mengurung dan Si Brewok
sudah mendekat dan memegang tali di hidung keledai.
“Siancai…, Sam-wi-sicu (Tiga Orang Gagah) siapakah dan mengapa
menghentikan pinto (saya)?” Tosu itu bertanya setelah mengangkat
sepasang alisnya tanda keheranan dan kekagetan.
“Tak perlu banyak cakap lagi, turunlah dan ikut dengan kami!” Si Brewok membentak.
“Siancai...! Pinto adalah seorang tua yang tidak mempunyai urusan
apa-apa, yang hidup dengan tenang dan damai, tak pernah berbuat
kesalahan kepada siapapun juga, apalagi kepada Sam-wi yang tidak pinto
kenal...”
“Ha-ha-ha, kakek ini selain pandai menyanyi juga pandai berceloteh!” Si Tinggi Besar berkata sambil tertawa-tawa.
“Aihhhh...” Tosu itu menggeleng kepala. “Yang dicari belum ketemu, sekarang timbul kesulitan baru lagi!”
Mendengar ini, Si Brewok girang dan cepat berkata, “Totiang tentu akan
dapat bertemu dengan yang dicari asal membawa tebusan cukup. Dan marilah
ikut dengan kami.”
“Apa? Pinto tidak mengerti...”
Si Brewok agaknya kehilangan kesabarannya. Dipegangnya lengan kanan kakek itu dan ditariknya, hendak dipaksa turun.
“Eh-eh-eh, mengapa ditarik-tarik? Engkau sungguh tidak menghormati orang yang sudah tua!”
Kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Kun Liong tak dapat ditahan
lagi dan dia sudah meloncat keluar dari balik batu, lari menghampiri dan
berkata marah kepada tiga orang yang memandang kepadanya dengan
terheran-heran itu. “Sam-wi bertiga kelihatannya adalah orang-orang
gagah yang berkepandaian tinggi! Akan tetapi siapa kira, ternyata
sekarang Sam-wi mengganggu seorang kakek yang lemah dan tidak bersalah
apa-apa. Apakah Sam-wi (Tuan Bertiga) tidak merasa malu?”
“Bocah gundul, kau muncul seperti setan. Siapa engkau?” bentak Si Brewok heran.
“Dia tentu mata-mata yang sejak tadi bersembunyi!” kata temannya yang muda.
“Ah, siapa lagi kalau bukan kaki tangan kakek ini?” kata yang tinggi besar.
“Tangkap saja mereka berdua!” Si Brewok membentak. “Hayo kalian ikut
bersama kami! Ataukah kami harus rnenggunakan senjata?” Dia sudah
melepas ruyungnya dan mengancam kepada kakek itu. Juga Si Tinggi Besar
telah melolos pedangnya ditodongkan ke dada Kun Liong, sedangkan orang
yang termuda memegang kendali keledai dan menuntunnya.
Kakek itu hanya menggeleng-geleng kepala dan memandang Kun Liong sambil
tersenyum. “Anak yang baik, mari kita ikut saja agar dapat melihat
bagaimana kesudahan urusan aneh ini. Naiklah ke sini, anak baik, di
belakangku.”
Kun Liong menggeleng kepala. “Keledai itu sudah terlalu tersiksa oleh muatan yang berat, aku berjalan kaki saja, Totiang.”
“Hayo jalan, jangan banyak mengobrol” Si Tinggi Besar mendorong pundak
Kun Liong dan pedangnya tetap ditodongkan di lambung anak itu. Hal ini
membuat Kun Liong mendongkol sekali dan dia mendorong pedang itu ke
samping sambil berkata,
“Aku tidak bersalah apa-apa. Aku mau ikut sudah baik. Perlu apa
ditodong-todong?” Pedang itu terdorong miring dan Si Tinggi Besar
kelihatan terkejut dan marah, sudah membuat gerakan hendak menyerang.
Akan tetapi Si Brewok membentak dan melarangnya. Bergeraklah rombongan
aneh ini menuju ke sebuah bukit yang tampak dari situ.
Kakek itu tertawa dan melorot turun dari atas punggung keledai, berjalan
dekat Kun Liong. “Anak baik, engkau membuat pinto malu. Memang keledai
itu sudah cukup menderita. Biarlah pinto jalan kaki saja.”
Kun Liong hanya tersenyum dan melangkah perlahan dengan kepala menunduk.
Sungguh sial, pikirnya. Di mana-mana bertemu dengan orang-orang yang
menggunakan kekerasan dan kekuasaan menekan orang lain! Di mana-mana dia
bertemu dengan halangan, dan karena membela kakek tua yang lemah ini,
dia ikut pula menjadi tawanan. Entah golongan apa tiga orang yang
menangkap dia dan kakek itu, dan entah urusan apa yang membuat kakek itu
ditangkap. Dia selalu terlibat dengan urusan lain yang sama sekali
tidak ada sangkut pautnya dengan dia sendiri. Apakah selama ini dia
terlalu lancang dan usil? Apakah selanjutnya dia harus diam saja melihat
segala sesuatu yang terjadi pada lain orang dan yang tidak ada
hubungannya dengan dirinya? Ah, tak mungkin. Mana bisa dia diam saja
menyaksikan hal yang menimbulkan rasa penasaran? Melihat seorang kakek
tua renta yang lemah ini diganggu tiga orang yang kelihatan gagah itu,
bagaimana dia harus diam saja di tempat persembunyiannya!
“Tidak mungkin!” Kun Liong lupa diri dan kata-kata ini terlompat keluar dari mulutnya.
“Apa yang tidak mungkin?” Si Tinggi Besar membentak. Orang termuda itu
berjalan di depan menuntun kendali keledai, Kun Liong di sebelah kakek
itu berjalan di tengah dan Si Brewok bersama Si Tinggi Besar paling
belakang.
Ternyata perjalanan itu cukup jauh, keluar masuk hutan dan mendaki bukit
yang bentuknya seperti sebuah mangkuk menelungkup. Ada tiga jam mereka
berjalan dan akhimya, ketika mendaki sampai di lereng dan membelok
melalui sebuah tebing, tampaklah tembok-tembok bangunan di dekat puncak.
Bangunan-bangunan itu dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi dan di
luar pagar tembok sudah tampak para penjaga dengan pakaian seragam
kuning, bukan seragam tentara melainkan seragam perkumpulan silat.
Setelah rombongan ini tiba dekat pintu gerbang pagar tembok, tampaklah
oleh Kun Liong bahwa para penjaga itu merupakan pasukan-pasukan panah,
tombak, dan golok. Mereka berlari berjajar dengan rapi dan hanya mata
mereka yang bergerak memandang penuh perhatian ke arah kakek dan Kun
Liong, tubuh mereka sama sekali tidak bergerak, tetap berdiri dalam
keadaan siaga! Ketika dua orang tawanan ini dibawa masuk melalui pintu
gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong pasukan-pasukan lain
berderet-deret. Ada pasukan ruyung, pasukan pedang, dan kesemuanya
berbaris rapi. Kini dia dapat menduga bahwa tiga orang yang menangkapnya
itu tentulah merupakan tokoh-tokoh dari pasukan ruyung, yaitu Si
Brewok, Si Tinggi Besar tentu dari pasukan pedang, dan yang termuda itu
dari pasukan golok.
Kakek itu melangkah sambil menoleh ke kanan kiri, agaknya
terheran-heran, dan akhirnya dia berkata perlahan, “Siancai… tempat
apakah ini? Seperti benteng dan dijaga pasukan-pasukan. Apakah pinto
menjadi tangkapan pasukan asing?”
“Jangan bicara ngawur, Totiang!” Si Brewok membentak. “Engkau menjadi tamu dari Ui-hong-pang!”
“Heh? Ui-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Kuning)? Apa itu?” Kakek itu
membuka matanya lebar-lebar, juga Kun Liong tidak mengenal nama
perkumpulan ini. Akan tetapi dia makin curiga dan khawatir. Kalau dia
dan kakek lemah itu terancam bahaya di tempat yang terjaga kuat ini,
harapan untuk lolos sungguh tidak ada sama sekali!
“Kita ini mau diapakan, Totiang?” Kun Liong berbisik, akan tetapi
suaranya sama sekali tidak mengandung ketakutan, hanya keheranan. Kakek
itu menunduk dan memandang, kemudian bertanya,
“Engkau takut, Nak?”
Kun Liong menggeleng kepala kuat-kuat dan menjawab, “Aku tidak bersalah apa-apa terhadap siapa juga, mengapa takut?”
Diam sejenak dan mereka melangkah terus memasuki sebuah bangunan yang terbesar.
“Kau… dari kuil mana?” Tiba-tiba tosu tua itu bertanya.
Kun Liong mengerutkan alisnya dan memandang kakek itu dengan hati
penasaran. Dengan suara yang agak dingin dia menjawab, “Aku bukan
seorang hwesio!”
“Sssstt, tidak boleh bicara lagi. Kita menghadap Pangcu!” bentak Si
Brewok ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang luas di tengah
bangunan itu.
Juga di dalam bangunan itu terjaga oleh pasukan pengawal seragam. Setiap
lorong dan pintu terjaga kuat dan setelah mereka menghampiri seorang
laki-laki gagah yang duduk di atas sebuah kursi kuning, di situ terdapat
beberapa orang yang tidak seragam pakaiannya, dan agaknya mereka ini
adalah pembantu-pembantu dan pengawal-pengawal pribadi Si Ketua
Perkumpulan itu.
Kun Liong memandang ke arah ketua penuh perhatian. Dia seorang laki-laki
yang bertubuh tinggi besar, berwajah gagah, usianya tiga puluh tahun
lebih dan pakaiannya serba kuning akan tetapi warna kuningnya lebih tua
daripada warna kuning seragam anak buah pasukannya. Berbeda dengan sikap
tiga orang anak buahnya yang menangkap kakek dan Kun Liong, ketua ini
tersenyum ramah ketika menerima mereka.
“Duduklah, Totiang, dan engkau juga, saudara kecil!” katanya dengan
suara lantang sambil menuding ke arah beberapa buah kursi kosong di
depannya.
“Terima kasih,” kakek itu menjura dan duduk, sedangkan Kun Liong tanpa
berkata apa-apa juga mengambil tempat duduk di dekat kakek itu.
“Siapakah nama Totiang?” Ketua itu kembali bertanya dengan suara ramah.
“Eh, nama pinto...? Pinto tidak bernama, hanya disebut orang Bu Beng Tosu,” jawab kakek itu.
“Sungguh tidak kami sangka mereka akan mengirim seorang tosu untuk
menjadi utusan menyambut anak itu. Apakah Totiang sudah membawa
tebusannya?”
“Menyambut anak? Utusan? Tebusan? Apakah artinya ini? Sungguh pinto tidak mengerti.”
“Agaknya Cuwi telah salah menangkap orang!” Kun Liong berkata, suaranya
nyaring dan dia memandang ketua itu dengan sinar mata penuh ketabahan.
Ketua itu mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Si Brewok, membentak, “Apa artinya ini? Siapa kakek dan bocah ini?”
Si Brewok menjadi pucat. “Maaf, Pangcu. Sikapnya mencurigakan, dia ber
uang dan melakukan perjalanan seorang diri lewat di tempat yang telah
ditentukan, membawa buntalan-buntalan besar. Kami mengira dialah utusan
itu.”
“Bodoh! Lekas periksa buntalannya!”
“Sudah diperiksa, Pangcu!” Tiba-tiba Si Tinggi Besar yang baru saja
masuk menjawab dan berdiri tegak seperti sikap seorang perajurit
menghadap komandannya.
“Apa isi bungkusannya? Emas dan perak?”
“Bu... bukan... Pangcu...”
“Habis, apa isinya?”
“Batu-batu karang dan akar-akaran!”
“Plakkk!” Ketua itu menepuk ujung kursinya dengan marah. “Sialan! Apa yang kalian lakukan?”
“Harap Pangcu maafkan. Kami telah salah menangkap, dan kami akan
melakukan penjagaan lagi di sana. Akan tetapi... mereka... mereka itu…?”
“Pergi menjaga! Sekali lagi kalian keliru menangkap orang akan kuhajar!
Biarkan mereka di sini. Pergi kalian bertiga!!” Si Brewok dan dua orang
temannya pergi seperti anjing-anjing dibentak.
Ketua ini kini menoleh ke arah kakek itu dan bertanya, “Mengapa
kebetulan sekali Totiang lewat di tempat ini dan untuk apa semua batu
dan akar itu?”
“Aihhh, pinto adalah seorang yang hidup dari menjual bahan-bahan obat.
Batu-batu itu dapat dipergunakan sebagai bubuk obat, dan itu adalah
bahan campuran obat pembersih darah. Pinto sedang mencari telur
kura-kura hitam yang kabarnya banyak terdapat di pantai Sungai Huang-ho,
telur belum dapat malah pinto ditangkap.”
“Hemmm... dan kau, bocah gundul? Apakah engkau murid tukang obat ini?”
Kun Liong sudah mengetutkan alisnya, kelihatan marah sekali disebut
gundul! Setelah kepalanya gundul pelontos, temyata sebutan gundul
merupakan sebutan yang amat menyakitkan hatinya, karena mengingatkan dia
akan keadaannya yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi sebelum dia
melontarkan jawaban yang keras, tosu itu sudah mendahuluinya menjawab,
“Benar, Pangcu. Dia adalah murid pinto yang keras hati dan bandel.”
Kun Liong menoleh dan memandang kakek itu, dan tiba-tiba dia sadar akan
keadaan dirinya. Memang dia keras hati. Kalau dia menuruti kemarahannya
dan mengeluarkan kata-kata keras dan tidak enak terhadap ketua ini,
bukan hanya dia seorang yang akan menderita hukuman, juga kakek yang
tidak berdosa itu akan terbawa-bawa. Maka dia menahan kemarahannya dan
menggigit bibir, tidak mengeluarkan suara.
“Kalian memang tidak bersalah dan anak buah kami kesalahan menangkap
orang. Akan tetapi karena kalian sudah terlanjur masuk ke sini, sebelum
urusan ini beres kalian akan kami tahan.”
“Akan tetapi...” tosu itu membantah.
“Tidak ada tapi! Haii, pengawal! Antarkan mereka ini masuk ke kamar tahanan biar mereka berdua menemani anak perempuan itu!”
Empat orang pengawal sudah maju dan menggunakan tombak mereka untuk
mengiring tosu dan Kun Liong pergi dari situ, ke sebuah bangunan lain
yang kokoh dan kuat dan akhirnya mereka didorong masuk ke dalam sebuah
kamar empat meter persegi, kosong dan hanya ada beberapa helai tikar dan
di dalamnya terdapat seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih
delapan tahun, bersikap tenang dan cantik, berpakaian indah seperti
puteri bangsawan, akan tetapi yang amat mencolok adalah sikapnya yang
penuh ketenangan itu. Dengan sepasang matanya yang lebar ia memandang
Kun Liong dan tosu yang didorong masuk ke dalam kamar tahanannya,
kemudian pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja dan di atasnya
terdapat ruji baja itu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dari
lubang-lubang ruji tampak kepala para penjaga yang tertutup kain kuning,
dan ujung-ujung tombak mereka.
Anak perempuan itu tetap di atas lantai, matanya memandang Kun Liong dan kakek itu bergantian, penuh perhatian.
“Engkau siapakah?” Kun Liong bertanya dan diam-diam dia mendapat
kenyataan bahwa anak perempuan ini pandai duduk seperti cara orang
bersamadhi, bersila dan punggungnya lurus tegak.
Anak perempuan itu menggerakkan kepala menoleh kepadanya, gerakan
kepalanya begitu tiba-tiba sehingga rambutnya yang panjang dan dikuncir
dua buah itu seperti dua ekor ular hiam bergerak.
“Engkau siapa? Dan kakek ini siapa? Mengapa kalian dijebloskan di sini?”
Anak perempuan itu balas bertanya, suaranya mengandung keangkuhan dan
kekerasan.
Seketika berkerut sepasang alis tebal Kun Liong. “Sombong engkau, ya?”
katanya tak senang. Akan tetapi gadis cilik itu sama sekali tidak
mempedulikannya dan kini membuang muka, memandang kepada Si Kakek Tua
yang telah duduk di depannya dengan sikap tenang.
“Anak baik kulihat tulang pahamu yang kanan patah, akan tetapi sudah disambung, apakah sudah baik?”
Anak perempuan itu melirik ke arah kaki kanannya yang sama sekali tidak
kelihatan karena tertutup pakaiannya, juga tidak ada tanda-tanda bahwa
dia menderita sakit.
“Totiang, engkau awas sekali!” serunya kagum.
“Pinto adalah seorang yang biasa mengobati tulang patah, tentu saja tahu. Coba kuperiksa sebentar!”
Anak perempuan itu mengangguk dan kakek itu lalu meraba paha kanan anak
itu, kemudian mengangguk-angguk. “Sambungannya sudah benar, hanya obat
penguatnya kurang manjur. Tulang kakimu sudah tersambung, akan tetapi
engkau tidak boleh banyak bergerak dulu sedikitnya dua pekan engkau
tidak boleh menggunakan kakimu secara kuat.”
Kemarahan Kun Liong atas kekasaran dan kesombongan anak perempuan itu
lenyap sama sekali, terganti oleh rasa iba ketika mendapat kenyataan
bahwa anak ltu menderita tulang paha patah. Sudah ditawan, menderita
luka pula!
“Aihhh, siapakah yang begitu kejam mematahkan tulang kakimu?” tanyanya dan sekarang anak perempuan itu menjawab.
“Aku berusaha melawan. Aku sanggup menghajar tikus-tikus penculik itu
seorang demi seorang kalau saja mereka tidak mengeroyok secara curang
dan Si Brewok itu memukul patah pahaku dengan ruyungnya.”
Kun Liong mengepal tinju. “Sudah kusangka, Si Brewok, Si Tinggi Besar dan temannya itu bukan manusia baik-baik!”
“Siapakah engkau, Nona? Dan mengapa engkau diculik?” tosu itu bertanya
dengan suara sungguh-sungguh. Mereka bertiga duduk di atas tikar yang
tergelar di lantai.
“Aku Souw Li Hwa dan ayahku bernama Souw Bun Hok, tinggal di
Lok-ek-tung. Ketika aku sedang bermain-main seorang diri dengan perahu
di Sungai Huang-Ho, mereka menyergap dan menculik aku. Menurut
keterangan mereka, aku ditahan sampai orang tuaku datang menebusku
dengan seribu tail perak. Sudah dua pekan aku ditahan di sini.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Sungguh mengherankan sekali. Sepanjang
pengetahuanku, Ui-hong-pang bukanlah kaum penculik anak-anak!” Ucapan
ini dikeluarkan dengan lirih, akan tetapi Kun Liong yang mendengarnya
menjadi heran karena kata-kata itu membuktikan bahwa tosu tua ini telah
mengenal Ui-hong-pang! Mengapa ketika ditangkap pura-pura tidak mengenal
perkumpulan itu?
“Apakah ayahmu dapat menebusmu dengan uang sebanyak itu?” Kun Liong
bertanya dengan hati penasaran. Kembali dia menghadapi perbuatan manusia
yang jahat!
Gadis cilik yang bernama Souw Li Hwa itu menggeleng kepalanya. “Mana
mungkin ayahku menebus dengan uang sebanyak itu? Ayah hanya bekas juru
mudi saja yang sekarang sudah mengundurkan diri karena tua, dan selama
bekerja, Ayah tidak pemah mengumpulkan uang haram!”
Kun Liong kaget sekali dan kini mengertilah dia mengapa anak itu
demikian angkuh, kiranya keturunan orang yang hebat. “Wah, ayahmu
hebat!” Dia memuji.
“Memang, akan tetapi ayahku tidak akan dapat menolongku. Biarpun begitu,
aku tidak khawatir. Aku percaya bahwa Suhu tentu akan membebaskan aku,
dan kalau Suhu sampai turun tangan sendiri, tikus-tikus itu tentu akan
dibasmi habis sampai ke akarnya!”
“Siapa sih gurumu?” tanya Kun Liong.
“Nama guruku tidak boleh disebut-sebut. Tikus-tikus itu yang melihat aku
melakukan perlawanan, juga menanyakan nama Suhu, akan tetapi sampai
mati aku tidak akan menyebut namanya. Ketua tikus-tikus Ui-hong-pang itu
mengatakan sudah tahu siapa guruku, akan tetapi aku tidak percaya!”
Tosu tua yang sejak tadi mendengarkan saja, lalu memegang tangan anak
perempuan itu dan bertanya halus. “Nona kecil, apakah suhumu she The?”
Anak itu berteriak heran. “Bagaimana Totiang bisa menduga?”
“Benarkah?”
Anak itu mengangguk.
Tosu itu menarik napas panjang. “Aihhh, pantas saja kalau begitu, engkau diculik bukan karena ayahmu melainkan karena suhumu.”
“Bagaimana Totiang tahu? Apakah Totiang mengenal suhuku?”
Kun Liong juga memandang kakek itu dengan penuh keheranan. Kakek itu
kembali menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. “Sungguh
kebetulan sekali kejadian ini... siapa, kira aku akan bertemu dengan
engkau. Tentu saja aku mengenal suhumu, Nona. Dan karena engkau murid
The-taiciangkun (Panglima Besar The), maka Ui-hong-pang menculikmu.
Kalau pinto tidak salah dengar, pangcu dari perkumpulan ini adalah murid
Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) Ang Hwi Nio, Majikan Telaga
Siluman. Tentu pangcu itu membela gurunya yang menaruh dendam terhadap
gurumu.”
“Mengapa Totiang?”
“Ketika suhumu dahulu sebagai panglima besar mengadakan pembersihan,
membasmi golongan sesat dan jahat, ayah Si Bayangan Hantu roboh dan
tewas di tangan gurumu yang sakti. Tentu saja wanita iblis itu menaruh
dendam, dan untuk membalas secara langsung kepada The-taiciangkun adalah
tidak mungkin, maka dia melalui muridnya membalas dendam dengan jalan
menculikmu. Mungkin hal ini dilakukan untuk memancing agar gurumu datang
ke sini.”
“Tikus-tikus tak tahu diri!” Li Hwa berseru, “Kalau Suhu datang, mereka tentu akan mampus semua!”
Tosu itu menarik napas panjaang dan menggeleng kepala. “Mungkin begitu,
akan tetapi juga belum tentu gurumu mengotorkan tangan menghadapi mereka
ini. Setelah pinto secara kebetulan lewat di sini, biarlah pinto yang
mewakilinya. Marilah, Nona, dan kau juga muridku, mari kita keluar dari
sini.”
“Ehhh...?” Kun Liong berseru heran.
Tosu itu mengira bahwa Kun Liong tidak suka menjadi muridnya, maka dia
bertanya, “Apakah kau tidak mau menjadi muridku? Aku sudah terlanjur
mengakuimu.”
“Teecu suka, akan tetapi… bagaimana kita dapat keluar dari sini, Suhu?”
Tosu itu tertawa, kemudian mengelus kepala yang gundul itu. “Muridku yang baik sekali, siapa namamu?”
“Teecu bernama Yap Kun Liong…”
“Aihh, namanya serem, orangnya hanya bocah gundul!” Li Hwa mencela.
“Sombong kau, ya?” Kun Liong membentak.
“Husshhh, bukan saat ribut-ribut urusan tak berarti. Anak-anak, mari
kita keluar dari sini.” Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah ke
pintu baja, tangan kanannya yang tertutup lengan baju yang lebar itu
mendorong ke depan.
“Braaakkkk...!!” Pintu baja itu terdorong roboh ke luar dan terbukalah lubang besar di dinding bekas pintu itu.
Seorang penjaga berseru kaget, menerjang masuk dengan goloknya. Akan
tetapi, dengan gerakan seperti seekor burung walet, Li Hwa mencelat ke
depan, tangan kirinya menahan lengan yang bergolok, tangan kanan meninju
perut. Penjaga itu berteriak dan roboh terguling. Melihat ini, Kun
Liong kagum bukan main. Anak perempuan itu benar-benar tidak membual
ketika bercerita tadi, ternyata biarpun kaki kanannya masih sakit, dalam
segebrakan saja mampu merobohkan seorang penjaga!
“Eh, jangan banyak bergerak, nanti kakimu patah lagi, Nona!” Tosu tua
itu berkata dan tahu-tahu Li Hwa sudah melayang naik ketika tangan gadis
itu dipegang dan ditarik oleh Si Tosu dan Li Hwa kini sudah duduk di
atas punggung kakek itu! Kun Liong tidak mau kalah melihat ada penjaga
ke dua datang menyerbu, dia meloncat ke atas, kedua kakinya meluncur ke
depah.
“Haaaiiittt! Dessss...!!” kedua kaki yang kecil itu dengan tepat
mengenai muka dan dada penjaga tadi yang terjengkang ke belakang dan
roboh bergulingan tak dapat bangkit kembali karena kedua matanya tak
dapat dibuka, kena hantam sepatu Kun Liong dan napasnya juga sesak!
Kun Liong sendiri yang melakukan gerakan meloncat lalu menendang,
terpental dan menumbuk dinding, akan tetapi dia dapat berjungkir balik
dan berdiri dengan terhuyung. Dilihatnya seorang penjaga datang lagi
dengan pedang diangkat tinggi-tinggi handak menyerang tosu yang
menggendong Li Hwa dan yang bersikap tenang sambil memandang kepada Kun
Liong dengan senyum geli, Kun Liong cepat berlari ke depan menyambut
penjaga itu dengan serudukan kepalanya.
“Hyaaahhhh! Ngekkkk!!” Penjaga itu terjengkang, terbatuk-batuk, dadanya
sesak perutnya mulas, dan Kun Liong melompat ke belakang, terhuyung
karena kepalanya berdenyut dan pandang matanya berkunang!
“Kun Liong, mari ikut pinto keluar dan jangan sembarangan bergerak. Biar pinto yang membuka jalan.”
Kun Liong menurut karena gerakan-gerakan tadi membuat badannya terasa
sakit lagi. Kiranya luka akibat pukulan Ouw-Siucai di perahu itu masih
belum sembuh benar. Dia telah memperlihatkan kepada Li Hwa bahwa dia pun
bukah bocah gundul sembarangan yang tidak patut bernama Yap Kung Liong,
karena dia telah merobohkan dua orang lawan! Dengan dada dibusungkan,
kedua tangan dikepal siap bertanding, Kun Liong mengikuti tosu itu yang
melangkah perlahan keluar dari tempat itu, menggendong Li Hwa.
Dari kanan kiri muncul belasan orang penjaga yang berpakaian seragam,
tujuh orang bergolok dari kiri dan sembilan orang berpedang dari kanan.
Dengan iringan teriakan, mereka menyerbu dari kanan kiri, Kun Liong yang
mentaati perintah gurunya, hanya berdiri tenang, namun siap-siap untuk
membela diri. Tosu itu kini menggerakkan kedua lengan bajunya ke kanan
kiri membiarkan Li Hwa merangkul pundaknya dan mengempit pinggangnya
dengan kaki. Dari lengan baju itu menyambar angin pukulan yang dahsyat
ke kanan kiri dan... belasan orang itu roboh malang melintang seperti
rumput-rumput kering dilanda angin taufan!
Kini dari depan datang belasan orang pasukan panah dan terdengarlah
suara bersuitan ketika anak-anak panah datang meluncur ke arah Kun Liong
dan kakek itu. Kembali kakek itu menggunakan pukulan lengan bajunya dan
semua anak panah dipukul runtuh, berserakan ke lantai sebelah depan
mereka. Sebelum ada anak panah menyerang lagi, kakek itu mendorongkan
kedua lengannya bergantian ke depan dan seperti juga tadi, pasukan panah
itu roboh terguling-guling!
Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan mereka yang roboh dan
bangun kembali, tidak berani sembarangan menyerang, hanya berdiri dan
siap menanti perintah atasan. Kun Liong gembira dan kagum bukan main.
Ingin ia bertepuk tangan saking kagumnya, akan tetapi melihat Li Hwa
bersikap tenang, dia pun tenang-tenang saja dan kini melangkah tegap di
samping gurunya, dengan kedua tinju bergerak-gerak memasang kuda-kuda!
Pasukan-pasukan penjaga mengurung dari belakang, depan, kiri dan kanan.
Akan tetapi mereka tidak menyerang, hanya bergerak mengikuti kakek yang
melangkah perlahan menuju ke ruangan dalam rumah tahanan itu.
“Pinto tidak ingin berkelahi. Pinto ingin bicara dengan pangcu kalian!” kata kakek itu dengan suara tenang dan penuh kesabaran.
Tiba-tiba pintu depan terbuka lebar dan lima orang yang memegang tombak,
yaitu para pengawal pribadi Kian Ti, demikian nama pangcu itu, muncul
dan meloncat masuk dengan sikap galak. Serta-merta mereka memekik dan
menerjang maju, lima orang maju sekaligus dan lima batang tombak
bergerak-gerak, ujung tombak tergetar menjadi banyak, tanda bahwa Si
Pemegang memiliki tenaga lwee-kang yang kuat. Kemudian dibarengi
teriakan nyaring, mereka menyerang tosu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar