Jumat, 21 Februari 2014

Pendekar Sadis Jilid 015

Pendekar Sadis Jilid 015

<---Kembali

Akan tetapi Siangkoan Wi Hong menghampiri tempat duduk Tung-hai-sian, lalu menjura dengan hormat.

"Paman Tung-hai-sian," katanya dengan sikap ramah dan dia sengaja menyebut "paman" agar lebih akrab. "Saya mewakili ayah, Pak-san-kui Siangkoan Tiang, untuk menyampaikan selamat kepada paman dan semoga paman diberi berkah panjang umur. Sekarang, karena diundang untuk memeriahkan pesta, terpaksa saya berlancang tangan untuk turut memperlihatkan kebodohan. Akan tetapi tentu paman tahu bahwa di antara kita terdapat ikatan persahabatan, oleh karena itu saya tidak setuju kalau main-main ini dianggap sebagai pertandingan. Biarlah saya nenemani saja puteri paman untuk sekedar meramaikan pesta."

Hati Tung-hai-sian makin girang menyaksikan sikap yang ramah dan halus ini. Pemuda ini patut menjadi jodoh Bin Biauw, pikirnya. Dia mengangguk. "Baiklah, dan terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan keluarga Pak-san-kui yang terhormat."

Siangkoan Wi Hong lalu menghampiri panggung, lalu menjura ke empat penjuru dan berkata lantang. "Kami sebagai wakil dari ayah Pak-san-kui Siangkoan Tiang terpaksa maju melayani Bin-siocia untuk bermain-main sebentar agar fihak kami jangan dianggap tidak bersedia memeriahkan pesta," ucapannya mendapat sambutan tepuk tangan pula.

"Nona, harap jangan bersikap kejam terhadap saya," kata Siangkoan Wi Hong sambil tersenyum manis ketika dia menjura kepada Bin Biauw. Nona ini sejak tadi memandang kepada tamu ini dan memang dia sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini seorang pemuda yang tampan gagah dan pesolek. Akan tetapi sejak pertemuan pertama, ketika dia diperkenalkan, dia merasa tidak begitu suka kepada pemuda ini karena pandang mata pemuda ini kepadanya seolah-olah orang yang meremehkan!

Pemuda ini amat angkuh terhadap wanita! Sungguhpun pandai bersikap manis dan mengeluarkan kata-kata merayu, namun pemuda seperti ini tentu akan selalu memandang ringan kepada wanita.

"Sebaliknya, saya mohon petunjuk dari Siangkoan-kongcu," jawabnya dengan ramah pula.

Dia sendiri seorang dara yang lincah gembira, maka kalau dia hanya menjadi sahabat, tentu keduanya akan merasa cocok.

"Bin-siocia, engkau pandai sekali menari, dan sedikit banyak aku sudah biasa memainkan yang-kim, maka kalau engkau menari pedang dan aku mainkan yang-kim, bukankah cocok sekali?" Siangkoan Wi Hong berkata, lalu dia memegang gagang yang-kim yang seperti gagang pedang itu, mengayun benda itu, jari-jari tangan kirinya mengejar dan terdengarlah bunyi "tang-ting-tang-ting" yang berirama dan merdu!

Banyak tamu tertawa melihat lagak kongcu ini, dan mengira bahwa kongcu itu hanya berkelakar saja. Akan tetapi beberapa orang yang tajam pandang matanya, terkejut karena dalam suara tang-ting-tang-ting itu terkandung tenaga getaran yang mengejutkan. Jelas bahwa yang-kim itu bukan dibunyikan sembarangan saja! Dan kini yang-kim itu mulai menyambar turun dan membentuk kuda-kuda yang kokoh kuat.

"Silakan, nona!"

Bin Biauw juga sudah menduga akan kelihaian lawan ini. Sebagai putera tunggal Pak-san-kui, sudah pasti pemuda ini lihai sekali, apalagi ketika yang-kim itu berbunyi tadi diapun merasakan getaran yang kuat menyerangnya, membuat dia cepat mmggunakan hawa murni untuk melindungi dadanya. Kini melihat fihak lawan sudah memasang kuda-kuda, dia juga membentak.

"Lihat pedang!" Dan pedangnya sudah menerjang ke depan dengan kecepatan kilat, disusul dengan gulungan sinar pedang yang sudah berkelebatan ke sana-sini bagaikan halilintar menyambar-nyambar ke atas kepala lawan!

"Bagus!" Siangkoan Wi Hong menggerakkan yang-kimnya menangkis.

"Trangg...!" kemudian diapun memutar yang-kimnya dan segera nampak sinar bergulung-gulung dan di dalam sinar itu muncul suara yang-kim yang merdu!

Kiranya pemuda itu mainkan yang-kim, mainkan sebagai senjata ampuh dan juga dengan sentilan-sentilan jari-jari tangan kiri yang membuat yang-kim itu mengeluarkan suara! Dan memang ilmu pedang yang dimainkan Bin Biauw amat indahnya, maka segera nampak perpaduan yang amat indah.

Nona itu seolah-olah tidak sedang menyerang, melainkan sedang menari-nari dan mereka itu lebih patut menjadi pasangan, yang wanita menari yang pria mengikutinya dengan suara yang-kim! Akan tetapi, sesungguhnya keduanya sedang mengeluarkan kepandaian masing-masing.

Diam-diam, Thian Sin dan Han Tiong menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian dan mereka berdua mendapatkan kenyataan bahwa setelah mempergunakan yang-kim sebagai senjata, putera Pak-san-kui itu ternyata lihai bukan main! Kiranya memang keistimewaannya adalah mempergunakan yang-kim itu sebagai senjata! Kalau dulu ketika berhadapan dengan Thian Sin dia mempergunakan yang-kimnya itu, agaknya tidak akan mudah bagi Thian Sin untuk mengalahkannya.

Memang hebat pemuda itu. Yang-kimnya bukan hanya merupakan senjata yang ampuh, terbuat dari logam yang dapat dipakai untuk menangkis senjata pusaka, akan tetapi juga suara yang keluar dari yang-kim itu merupakan serangan-serangan ke arah batin dan jantung lawan! Fihak lawan dapat digetarkan jantungnya lewat suara-suara itu, bahkan dapat dikacaukan pikirannya selagi mereka bertanding! Hal ini agaknya belum diketahui benar oleh Bin Biauw, maka dara ini merasa penasaran ketika melihat betapa semua serangannya gagal oleh tangkisan alat musik lawan.

Bin Biauw mulai marah. Harus diakuinya bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi melihat betapa pemuda itu melawannya sambil tersenyum-senyum mengejek dan setiap gerakannya diikuti suara yang-kim sehingga seolah-olah mempermainkannya atau mengejeknya. Hal ini membuat dia penasaran sekali dan akhirnya dia menjadi marah. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan gerakannya berubah semakin cepat sehingga akhirnya Siangkoan Wi Hong menjadi kelabakan dan terdesak juga.

Akan tetapi tiba-tiba yang-kim itu mengeluarkan bunyi yang aneh, suaranya nyaring sekali dan makin lama meninggi dan tiba-tiba saja permainan pedang Bin Biauw menjadi kacau-balau! Ternyata suara yang-kim itu merupakan serangan suara yang amat hebat, membuat dara itu merasa kacau pikirannya dan pening kepalanya, jantungnya berdebar-debar! Maka, kalau tadi dia mendesak, sekarang sebaliknya malah gerakan pedangnya menjadi kacau dan kadang-kadang nampak dia terhuyung!

Melihat ini, diam-diam Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga girang. Ternyata kepandaian pemuda putera Pak-san-kui itu hebat! Maka dia memberi isyarat kepada pembantunya agar membiarkan kedua orang muda itu melanjutkan pertempuran karena dia percaya bahwa keduanya mampu menjaga diri dan juga dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan mau mencelakai puterinya.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Dengan bantuan suara yang-kimnya, kini keadaannya menjadi terbalik dan kalau Siangkoan Wi Hong menghendaki, kiranya dia akan dapat mengalahkan Bin Biauw, atau setidaknya mendesaknya dengan hebat. Akan tetapi dia adalah seorang yang cerdik. Biarpun dia tidak berniat untuk diambil mantu, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersahabat dengan fihak Tung-hai-sian dan kalau dia dapat berpacaran dengan dara ini, berpacaran saja tanpa ikatan perkawinan, tentu dia akan gembira sekali! Maka diapun hanya menyerang tanpa mendesak, sungguhpun kini permainan Bin Biauw tidak setangkas tadi karena dia merasa bingung oleh suara yang-kim yang seperti menusuk-nusuk telinganya itu.

Tiba-tiba mendengar suara tambur dan gembreng dibunyikan riuh-rendah, tentu saja suara ini menelan suara yang-kim dan tiba-tiba Bin Biauw memperoleh ketangkasannya kembali setelah dia tidak lagi terganggu oleh suara yang-kim. Dia merasa penasaran dan marah oleh gangguan yang-kim tadi. Dianggapnya pemuda tadi curang dan berkelahi mengandalkan ilmu siluman dengan suara yang-kim tadi. Kini Bin Biauw kembali mengamuk dan kembali Siangkoan Wi Hong terdesak. Pada saat itu, Tung-hai-sian sendiri melompat ke tempat pertempuran sambil tertawa.

"Cukup... cukup... sudah mendekati seratus jurus!" Hebat sekali kakek ini, begitu dia "masuk", dia mampu menolak yang-kim dan pedang dengan hawa pukulan tangannya yang dikembangkan ke kanan kiri dan dua orang muda itu terdorong ke belakang!

Siangkoan Wi Hong terkejut dan kagum sekali, maklum bahwa tingkat kepandaian kakek pendek ini amat tinggi, setingkat dengan ayahnya barangkali.

"Maafkan kebodohan saya!" Siangkoan Wi Hong menjura.

Kembali Tung-hai-sian tertawa. "Kepandaian putera Pak-san-kui benar-benar hebat!" katanya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Siangkoan Wi Hong untuk menjura kepada kakek itu sambil berkata, suaranya halus dan lantang, terdengar oleh semua tamu.

"Paman, saya kira Bin-siocia sudah terlalu banyak bermain pedang dan sudah lelah. Oleh karena itu, kalau diperkenankan, biarlah saya mewakilinya melayani orang-orang yang masih ingin memperlihatkan kepandaian di panggung ini untuk meramaikan pesta."

Tung-hai-sian tertawa. "Aih, engkau baik sekali, Siangkoan-kongcu dan kami menghargai sekali bantuanmu untuk meramaikan pesta kami. Akan tetapi siapakah lagi di antara sahabat-sahabat yang berada di panggung ini yang masih suka maju memperlihatkan kepandaian dan meramaikan pesta?"

"Paman Tung-hai-sian yang terhormat, bukankah di bawah panggung masih terdapat banyak sekali tamu yang lihai?"

Siangkoan Wi Hong berkata sambil tertawa dan secara sambil lalu dia mengerling ke arah para tamu di bawah panggung sebelah kanan di mana duduk Han Tiong dan Thian Sing.

"Bahkan jumlah tamu di bawah itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan para tamu yang duduk di atas panggung."

"Aih, anak yang baik, jangan main-main. Sedangkan para tamu yang duduk di atas panggung saja tidak ada yang maju memperlihatkan kepandaian, apalagi yang berada di bawah panggung."

"Eh, apakah paman hendak mengatakan bahwa mereka itu hanyalah orang-orang kelas rendahan saja? Ha-ha, tak kusangka sama sekali bahwa keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw kini hanya menjadi tokoh kelas rendahan saja!"

"Keturunan Pangeran Ceng Han Houw?" Datuk yang bertubuh katai itu berseru kaget dan memandang heran, bahkan semua tamu yang mendengar disebutnya nama ini menjadi terkejut.

Mereka memandang ke kanan kiri untuk mencari-cari keturunan orang yang pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan itu. Benarkah pangeran yang amat terkenal itu mempunyai keturunan dan bahkan sekarang hadir di tempat itu?

Sementara itu, mendengar semua kata-kata itu, Thian Sin tak mampu lagi menahan kemarahannya dan tanpa dapat dicegah oleh Kong Liang dan Han Tiong, dia sudah meloncat naik ke atas panggung sambil berteriak. "Siangkoan Wi Hong, siapa takut padamu? Hayo majulah kalau engkau memang laki-laki!"

Melihat majunya pemuda yang amat tampan ini, Tung-hai-sian terkejut dan juga memandang heran.

"Apakah... apakah engkau yang disebut keturunan Pangeran Ceng Han Houw?" tanyanya.

"Benar, saya Ceng Thian Sin adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw. Tadi orang she Siangkoan ini mengajukan tantangan, nah, saya datang untuk menyambut tantangannya itu!" kata Thian Sin sambil menjura kepada orang tua itu.

Tung-hai-sian menjadi gembira sekali. Tentu saja sebagai seorang datuk persilatan, diapun mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali menonton pertandingan silat, apalagi kalau hal itu dilakukan oleh orang-orang yang pandai. Putera Pangeran Ceng Han Houw? Dia sendiri belum pernah bertemu dengan pangeran yang telah meninggal dunia itu, akan tetapi nama besarnya telah didengarnya, sebagai seorang jagoan yang tak pernah terkalahkan, demikian menurut kabar yang didengarnya. Tentu saja dia memandang pemuda itu dengan sinar mata lain dan dia ingin sekali melihat bagaimana kepandaian putera pangeran yang amat terkenal itu.

Dan pemuda ini putera seorang pangeran! Biarpun pangeran yang sudah menjadi pemberontak, betapapun juga putera pangeran, berdarah bangsawan tinggi! Ini saja sudah menarik perhatiannya dan dia segera mundur sambil berkata, "Silakan... silakan...!"

Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Ketika tadi dia melihat hadirnya Han Tiong dan Thian Sing sudah timbul akalnya untuk membalas kekalahannya tempo hari, dan kalau mungkin mengalahkan dan menghina pemuda-pemuda itu di depan orang banyak, dan kalau tidak mungkin, mengadu domba antara mereka dengan fihak tuan rumah! Itulah sebabnya maka dia sengaja merendahkan mereka atau memanaskan hati mereka, yang hanya diterima sebagai tamu-tamu rendahan saja oleh Tung-hai-sian!

Tapi sungguh tak disangkanya bahwa Thian Sin demikian beraninya untuk muncul juga dan mengaku sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan menantangnya! Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut! Memang dia pernah kalah oleh Thian Sin, akan tetapi kekalahannya itu adalah karena dia menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong, dan dia tidak mengira bahwa putera pangeran itu memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng yang amat lihai itu. Kini dia memegang yang-kimnya, dan dia tahu bahwa lawannya memiliki Thi-khi-i-beng, dia tahu bagaimana harus menghadapinya dan sekali ini dia tidak akan kalah! Maka sambil tersenyum dia menghadapi Thian Sin.

"Ha-ha-ha, engkau anak pemberontak, masih berani banyak lagak? Bersiaplah dan keluarkan senjatamu!" Siangkoan Wi Hong menantang.

Thian Sin tersenyum mengejek. "Engkau boleh berbesar hati karena memegang senjata yang-kimmu, Siangkoan Wi Hong, akan tetapi aku merasa cukup menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!" Semua orang termasuk Tung-hai-sian, terkejut mendengar ini dan menganggap pemuda keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu terlalu tinggi hati.

Menghadapi yang-kim putera Pak-san-kui yang amat lihai itu dengan tangan kosong? Akan tetapi, sikap dan wajah Thian Sin sudah menarik hati Bin Biauw, dan memang tadipun dia sudah mengharapkan pemuda yang memuji ilmu pedangnya ini untuk naik ke panggung sebelum Siangkoan Wi Hong muncul. Maka, melihat kini pemuda itu muncul dan mendengar bahwa pemuda tampan itu adalah putera seorang pangeran, dan melihat kegagahannya yang hendak melayani Siangkoan Wi Hong yang bersenjata yang-kim dengan tangan kosong, Bin Biauw segera melangkah maju dan berkata kepada Siangkoan Wi Hong.

"Harap Siangkoan-kongcu suka mundur. Aku sendiri akan menghadapi orang she Ceng ini!"

Siangkoan Wi Hong pura-pura kaget, sungguhpun di dalam hatinya dia merasa senang. Betapapun juga, agaknya dia akan berhasil mengadu domba antara Thian Sin dan fihak tuan rumah! "Ah, tapi aku sudah sanggup untuk menandinginya..."

"Siangkoan-kongcu, ingat bahwa engkau tadi bertindak sebagai wakilku, tanpa bertanya apakah aku mau kauwakili ataukah tidak. Dan sekarang aku mau menyatakan bahwa aku tidak ingin kauwakili untuk menghadapi siapapun yang naik ke panggung ini. Aku hendak menghadapinya sendiri!" Bin Biauw tidak tersenyum lagi, melainkan memandang Siangkoan Wi Hong dengan mata bersinar-sinar penuh tantangan!

Siangkoan Wi Hong menggerakkan pundak seperti orang yang tidak berdaya, lalu memandang kepada Thian Sin. "Hemm, agaknya belum tiba saatnya engkau roboh di tanganku, Ceng Thian Sin. Biarlah kita bertemu di lain kesempatan!"

Dia lalu menghadapi Bin Biauw dan berkata kepada nona itu, "Silakan, nona. Akan tetapi hati-hatilah, bocah setan ini berbahaya juga. Awas, jangan sampai dia menggunakan Thi-khi-i-beng!"

Mendengar disebutnya ilmu mujijat yang bagi kebanyakan orang kang-ouw hanya merupakan semacam dongeng itu, semua orang terkejut, tidak terkecuali Tung-hai-sian. Akan tetapi Bin Biauw menjadi marah.

"Aku tahu bagaimana harus menghadapi lawan-lawanku!" bentaknya dan Siangkoan Wi Hong lalu kembali ke tempat duduknya.

Thian Sin menjadi bingung setelah Siangkoan Wi Hong pergi meninggalkan dia dan berhadapan dengan nona manis itu. Dia memandang dengan penuh keraguan, tidak tahu harus berbuat apa.

"Akan tetapi... aku... aku tidak hendak melawanmu, nona..."

Bin Biauw tersenyum manis. "Apakah engkau menganggap aku kurang berharga untuk menandingimu dalam ilmu silat?"

"Bukan... bukan begitu... tapi..."

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Kong Liang telah berada di atas panggung. Semua tamu terkejut. Itulah gerakan yang amat ringan dan cepatnya, membayangkan gin-kang tingkat tinggi! Dan kini semua mata ditujukan kepada pemuda yang bertubuh tegap dan gagah ini, yang berdiri tegak dan memandang kepada Thian Sin lalu berkata, "Thian Sin, kau kembalilah ke tempatmu!"

Thian Sin memandang pamannya dan dia tahu bahwa pamannya itu marah sekali kepadanya. Teringatlah dia bahwa dia datang sebagai "anggauta" rombongan wakil Cin-ling-pai dan bahwa tadi dia meloncat ke atas panggung tanpa perkenan pamannya, maka dia merasa bersalah. Tadi dia berbuat seperti itu karena tak dapat menahan kemarahan hatinya ketika nama ayahnya disebut-sebut oleh Siangkoan Wi Hong. Kini, berhadapan dengan pamannya yang marah, dia mengangguk.

"Maafkan, paman," katanya dan diapun melompat turun, kembali ke tempat duduknya di dekat Han Tiong yang memegang lengan adiknya dan menyuruhnya sabar dengan tepukan tangan pada bahunya.

Sementara itu, Cia Kong Liang yang kini telah berdiri di atas panggung, segera memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian dan ke empat penjuru, ke arah penonton. Sikapnya dingin dan sinar matanya angkuh. Memang sejak tadi dia sudah menjadi marah. Pertama-tama, karena dia sebagai wakil, apalagi putera ketua Cin-ling-pai diberi tempat duduk di bawah panggung. Kemudian, percakapan antara fihak tuan rumah dan putera Pak-san-kui itu sungguh menyinggung perasaannya, yaitu bahwa mereka yang duduk di bawah panggung hanyalah tamu-tamu kelas rendahan saja! Hal ini tak mungkin dapat dibiarkannya saja, karena dengan membiarkan hal itu berarti dia mengakui bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan "kelas rendahan" dan hal ini tentu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw kalau mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai dihina dalam pesta datuk kaum sesat itu! Betapapun juga, dia masih menahan sabar, teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak sembarangan membikin ribut di luar. Akan tetapi, dengan majunya Thian Sin, dia tidak mungkin dapat mendiamkannya saja.

Thian Sin adalah keponakannya, dan dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan keponakan itu. Juga, dia khawatir kalau-kalau Thian Sin akan celaka kalau maju bertanding. Semua itu ditambah lagi dengan rasa penasaran ketika mendengar Siangkoan Wi Hong menyebut-nyebut Ilmu Thi-khi-i-beng yang dikatakannya dimiliki oleh Thian Sin. Dia sendiri belum tahu bahwa ilmu mujijat dari kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai itu telah diturunkan kepada Thian Sin, padahal ayahnya sendiri yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai juga tidak mewarisi ilmu itu, apalagi dia!

Benarkah ilmu itu telah diwarisi oleh Thian Sin putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya jahat itu? Dia merasa penasaran, maka dia lalu meloncat ke atas panggung dan menyuruh Thian Sin turun, yang diturut oleh keponakannya itu. Kini dia harus memberi penjelasan akan sikapnya.

"Cu-wi yang terhormat," katanya ditujukan kepada fihak tuan rumah dan juga para tamu.

"Saya adalah Cia Kong Liang, datang ke sini untuk mewakili ayah saya, yaitu ketua Cin-ling-pai, memenuhi undangan fihak tuan rumah, bersama dua orang keponakan saya, yang seorang diantaranya adalah Ceng Thian Sin tadi. Nah, sebagai wakil Cin-ling-pai, kami mengajukan diri, bukan untuk memamerkan kepandaian, melainkan memperlihatkan bahwa kepandaian seseorang tidak dapat diukur dari kekayaan atau nama besar, juga untuk sekedar membantu memeriahkan suasana pesta. Biarlah kami sekalian menjadi wakil dari para tamu kelas rendahan yang duduk di bawah panggung!"

Ucapan Cia Kong Liang ini nadanya keras sekali, seolah-olah menampar muka tuan rumah sehingga wajah Tung-hai-sian seketika menjadi pucat, kemudian berubah merah. Dia merasa tidak enak sekali dan diam-diam menyesalkan para pembantunya yang kurang teliti sehingga pemuda-pemuda wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar diberi tempat di bawah, bahkan putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw juga diberi tempat di bawah panggung!

Akan tetapi, diam-diam diapun gembira melihat bahwa pemuda perkasa dari Cin-ling-pai itu mau melayani puterinya. Dengan demikian, semakin banyak kini bermunculan pemuda-pemuda yang baik sehingga memudahkan pemilihannya. Mula-mula Siangkoan Wi Hong, lalu putera pangeran itu yang belum sempat disaksikannya sampai di mana tingkat ilmu silatnya sungguhpun dia sudah girang sekali mendengar dari Siangkoan Wi Hong tadi bahwa putera pangeran itu memiliki ilmu mujijat Thi-khi-i-beng. Selain putera pangeran itu, kini putera ketua Cin-ling-pai! Dia sendiri pernah mendengar tentang Cin-ling-pai, akan tetapi karena sudah lama sekali Cin-ling-pai tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka nama Cin-ling-pai tidak terkenal lagi dan nama besarnya seolah-olah semakin pudar. Maka kini kemunculan putera ketua Cin-ling-pai menarik perhatian para tokoh kang-ouw, terutama sekali kaum tuanya yang dulu pernah mengalami masa jayanya perkumpulan itu.

Sejak tadi Bin Biauw memandang dan memperhatikan Cia Kong Liang dari kepala sampai ke kaki dan dara ini merasa kagum bukan main! Pemuda ini sungguh gagah! Biarpun tidak setampan pemuda putera pangeran tadi, namun pemuda ini gagah perkasa dan sikapnya demikian penuh wibawa dan matang, kokoh kuat dan penuh keberanian! Kalau saja ilmu silatnya sehebat sikapnya ini, maka dia adalah seorang pemuda yang amat hebat! Maka ingin sekali dia menguji kepandaian pemuda ini, apakah selihai ilmu silat Siangkoan Wi Hong yang agaknya memandang rendah wanita itu? Pemuda ini sama sekali tidak memandangnya dengan sikap merendahkan, bahkan memandangnya dengan sekilas saja dengan pandang mata sopan!

"Terima kasih bahwa Cia-enghiong suka memberi petunjuk kepadaku yang bodoh," katanya sambil tersenyum manis.

Akan tetapi sikap Kong Liang biasa saja tidak membalas senyum itu, melainkan berkata dengan sikap hormat dan tegas, "Silakan, ilmu pedang nona indah dan lihai, namun saya kira saya akan mampu menjaga diri."

Bin Biauw gembira sekali dan dia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat. Kong Liang juga melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang tadinya melingkari pinggangnya dan nampaklah sinar keemasan yang menyilaukan mata. Melihat ini, Bin Biauw memuji, "Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus! Cia-enghiong, bersiaplah dan lihat serangan!"

Dia menyebut eng-hiong (pendekar) kepada pemuda yang berwibawa ini, dan di dalam hatinya, dara ini sudah tunduk kepada putera Cin-ling-pai ini! Bin Biauw sudah menyerang dengan gerakan yang amat cepat. Akan tetapi Kong Liang tidak pindah dari tempat dia berdiri, bahkan kakinyapun tidak tergeser. Dia tidak mempedulikan sinar pedang yang bergulung-gulung itu, hanya setiap kali sinar pedang berkelebat ke arahnya, dia menggerakkan Hong-cu-kiam menangkis.

"Cringgg...!" Tangkisan pertama itu mengejutkan hati Bin Biauw karena seluruh tangan kanannya tergetar hebat.

Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat dan bahwa pedang tipis bersinar emas itu benar-benar merupakan pedang yang ampuh. Maka dia bersikap hati-hati dan menyerang dengan lebih cepat. Namun, ke mana juga pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya! Padahal pemuda itu sama sekali tidak menggeser kaki. Bahkan ketika dia menyerang dari belakang, sinar emas itupun sudah menangkis di belakang tubuh pemuda itu.

Terdengar bunyi berdencing nyaring berkali-kali dan nampak bunga api berpijaran menyilaukan mata ketika semakin lama semakin seringlah pedang Bin Biauw bertemu dengan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata itu. Hebatnya, pemuda itu selain tidak pernah membalas serangan, juga tubuhnya hampir tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya memutar tubuh ke kanan atau kiri dan ke manapun sinar pedang Bin Biauw menyambar, selalu tentu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya.

Dengan ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, Kong Liang dapat membentuk pertahanan yang seperti benteng baja kokohnya dan tidak mudah ditembus oleh sinar pedang Bin Biauw. Apalagi dia memang memiliki sin-kang yang kuat sekali, sehingga setiap tangkisan yang disertai tenaga membuat lengan dara itu merasa tergetar hebat. Makin lama, serangan Bin Biauw menjadi semakin lemah dan belum lima puluh jurus kemudian, ketika Kong Liang memperkuat tenaganya dan menangkis terdengar bunyi "trangg...!" keras sekali dan tubuh Bin Biauw terhuyung ke belakang.

Dia menghentikan serangannya, dahinya penuh keringat dan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya tersenyum malu-malu dan matanya mengerling tajam melebihi tajam pedangnya, dan diapun menjura.

"Cia-enghiong sungguh pandai, saya mengaku kalah!"

Setelah berkata demikian, dara itu lalu mundur dan lari menuju ke tempat duduk ayahnya dengan muka merah dan sikap malu-malu! Melihat ini, Tung-hai-sian mengerti bahwa selain pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu memang lebih lihai dari puterinya, juga agaknya Bin Biauw sudah jatuh hati kepada pemuda itu, maka mengalah sebelum dikalahkan. Diapun bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan para tamu yang menyambut kemenangan Cia Kong Liang dengan girang, terutama mereka yang duduk di bawah panggung, karena betapapun juga, tadi Kong Liang mengatakan bahwa dia mewakili para tamu di bawah panggung, dia menghampiri pemuda itu.

"Cia-sicu sungguh memiliki ilmu pedang yang lihai sekali. Itukah yang disohorkan orang sebagai Siang-bhok Kiam-sut?" kata datuk itu sambil tersenyum.

Diam-diam Kong Liang terkejut juga. Ilmu pedang ini menurut ayahnya, selama belasan tahun tidak pernah dimainkan di depan umum, apalagi dipergunakan dalam pertandingan, maka kini begitu melihatnya, padahal hanya dipergunakan sebagai pertahanan saja, kakek ini telah mampu menerkanya dengan tepat, menandakan bahwa kakek ini memang memiliki pengetahuan yang luas sekali.

"Pandangan locianpwe amat tajam dan memang tadi adalah Siang-bhok Kiam-sut dari perkumpulan kami."

"Bagus, bagus... dan maafkan kami yang telah berlaku kurang teliti sehingga sicu dan rombongan memperoleh tempat duduk di bawah panggung. Sekarang silakan sicu dan dua orang keponakan sicu untuk duduk di atas panggung, agar kita dapat bicara dengan enak."

Kong Liang adalah seorang pemuda yang angkuh, akan tetapi dia bukan orang yang suka disanjung. Kalau tadi dia maju untuk memperlihatkan kepandaiannya, hanyalah agar orang jangan memandang rendah kepada Cin-ling-pai, bukan berarti dia ingin disanjung dan dipuji. Andaikata nama Cin-ling-pai tidak disebut-sebut, atau andaikata para tamu yang duduk di bawah panggung tidak dianggap sebagai kelas rendahan, kiranya diapun akan menahan rasa penasaran dan kemarahannya. Kini, setelah dia berhasil memperlihatkan kepandaiannya yang tidak usah kalah dibandingkan dengan puteri tuan rumah atau para tamu dari panggung, sudah cukuplah baginya.

"Terima kasih, locianpwe. Bagi kami, duduk di bawah panggungpun tidak mengapa asal orang tidak memandang rendah kepada kami yang duduk di bawah!" jawabnya sambil membalas dengan penghormatan, kemudian dia melompat turun dari atas panggung.

"Cia-sicu, sebelum pulang aku ingin bicara dengan sicu lebih dulu!" Kakek itu berseru dari atas panggung.

"Baik, locianpwe." jawab Kong Liang yang kembali ke tempat duduknya semula.

Dia disambut oleh Han Tiong dengan senyum akan tetapi Thian Sin nampak muram wajahnya. Pemuda ini merasa tidak puas dengan sikap pamannya itu. Cia Kong Liang terlalu sombong dan mengandalkan dirinya sendiri, seolah-olah dia yang paling lihai! Sikap pamannya itu seolah-olah menganggap dia dan kakaknya masih kanak-kanak saja! Dan caranya mencegah dia bertanding dengan Bin Biauw benar-benar membuat dia kecewa dan mendongkol. Akan tetapi diapun tidak banyak cakap, hanya menunduk
saja.

Setelah para tamu mulai berpamitan, Thian Sin berkata kepada Han Tiong sengaja bicara keras agar terdengar pula oleh Kong Liang, "Tiong-ko, mari kita pulang. Kita harus segera pergi ke Lok-yang, memenuhi pesan ayah mengunjungi Paman Ciu Khai Sun."

"Engkau benar, adikku. Paman, marilah kita berpamit. Para tamu mulai pulang dan kami berdua masih harus melakukan perjalanan jauh ke Lok-yang."

Kong Liang bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Dia tadi sedang termenung ketika beberapa kali dia memandang ke arah tempat duduk Bin Biauw dan melihat betapa dara itu selalu memandang ke arahnya dan kadang-kadang tersenyum manis. Tadi, ketika dia naik ke panggung untuk memperlihatkan kepandaian, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk memperhatikan dara itu, dan biarpun seperti para tamu lain dia dapat menduga bahwa majunya Bin Biauw ke atas panggung sesungguhnya untuk mencari jodoh, namun sedikitpun juga dia tidak mempunyai niat untuk memasuki sayembara yang tidak diumumkan itu.

Kini, setelah dia dapat menangkan Bin Biauw dan mendengar ucapan dan melihat sikap Tung-hai-sian, diam-diam dia mengerti bahwa agaknya fihak keluarga itu tertarik kepadanya dan diam-diam diapun baru merasa bingung karena sesungguhnya dia sama sekali belum mempunya pikiran untuk mencari jodoh, sungguhpun sudah sering ayah bundanya mengemukakan keinginan mereka untuk mempunya mantu. Mereka bertiga lalu bersama para tamu yang lain menghampiri panggung di mana Tung-hai-sian menerima para tamu yang berpamit.

Ketika melihat Kong Liang dan dua orang pemuda keponakannya, Bin Biauw bangkit dengan kaget dan memegang tangan ayahnya, alisnya berkerut seakan-akan hendak memperlihatkan kekecewaannya melihat pemuda gagah perkasa itu hendak meninggalkan tempat itu. Tung-hai-sian Bin Mo To juga segera melangkah maju menyambut Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin.

"Locianpwe, kami bertiga mohon diri dan kami menghaturkan terima kasih atas segala penyambutan Locianpwe sekeluarga," kata Kong Liang sambil memberi hormat, diturut oleh dua orang keponakannya.

"Eh, Cia-sicu, kenapa tergesa-gesa? Saya ingin bicara dengan sicu... penting sekali..." kata kakek itu, akan tetapi pada saat itu terdapat tamu-tamu lain yang datang berpamit, maka dia tidak dapat bicara dengan leluasa. Setelah rombongan tamu itu disambutnya dan terbuka kesempatan, Kong Liang berkata dengan suara sungguh-sungguh.

"Maaf, locianpwe, bukan saya tidak bersedia, hanya karena kami masih ada urusan yang harus segera kami selesaikan, maka terpaksa kami tidak dapat menanti lebih lama lagi. Kami mohon diri."

"Cia-sicu... kalau begitu, begini saja. Sampaikan hormat dan salamku kepada ketua Cin-ling-pai, ayahmu, dan sampaikan kepada beliau bahwa dalam waktu dekat ini saya akan datang berkunjung kepada beliau di Cin-ling-san, untuk... bicara... eh, untuk mempererat persahabatan antara kita."

Wajah Kong Liang berubah merah akan tetapi sikapnya tetap tenang. Dia tahu apa yang dimaksud oleh kakek itu. Tiada lain tentu akan membicarakan urusan perjodohan. Apalagi? Antara Cin-ling-pai dan para datuk kaum sesat tidak ada sangkut-paut dan urusan apa-apa.

"Baiklah, akan saya sampaikan, locianpwe. Selamat tinggal, dan... Nona Bin, selamat tinggal dan terima kasih."

Bin Biauw membalas penghormatan pemuda itu. "Sampai berjumpa kembali, Cia... koko..." kata dara itu dengan sikap manis sekali.

Setelah mereka bertiga meninggalkan tempat itu, di tengah perjalanan Thian Sin tidak dapat menahan perasaan hatinya dan berkata sambil tersenyum masam.

"Ah, Paman Kong Liang telah berhasil sekali ini."

Kong Liang memandang kepada putera pangeran itu. "Berhasil? Apa maksudmu?"

"Paman tidak hanya telah mengalahkan pedang Nona Bin, melainkan juga telah menundukkan hatinya dan juga menaklukkan ayahnya."

"Hemm, Thian Sin, coba jelaskan, apa maksud kata-katamu ini!"

"Kenapa paman masih pura-pura lagi? Tung-hai-sian sudah menjelaskan sikapnya, hendak datang menemui ketua Cin-ling-pai. Apalagi kalau tidak hendak membicarakan urusan pernikahan? Ah, kionghi (selamat), paman!" Dan Thian Sin benar-benar memberi selamat dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada.

"Gila!" Kong Liang membentak, mukanya berubah merah. "Apa kaukira begitu mudah menentukan urusan kawin? Yang penting adalah dua orang yang bersangkutan!"

"Wah, sikap Nona Bin sudah jelas. Bukankah tadi diapun tiba-tiba saja menyebutmu... dengan sebutan koko yang mesra? Dan paman sendiri, ahh, masih pura-pura lagi?"

"Thian Sin, jangan sembarangan bicara kau!" Kong Liang yang merasa malu itu menjadi marah, atau pura-pura marah.

Melihat ini, Han Tiong yang sejak tadi memperhatikan adiknya, cepat menengahi dan berkata, "Paman, Thian Sin hanya main-main saja. Sin-te, jangan kaugoda paman. Mari kita percepat perjalanan kita yang masih jauh."

Akan tetapi ketika mereka baru saja keluar dari kota Ceng-tao dan tiba di kaki pegunungan yang sunyi, mereka melihat beberapa orang berdiri menghadang mereka di tengah jalan dan tiga orang pemuda ini memandang dengan penuh perhatian. Mereka segera mengenal dua orang diantara mereka, yaitu Siangkoan Wi Hong yang memanggul yang-kimnya dan seorang dara cantik manis berpakaian mewah yang bukan lain adalah So Cian Ling murid dari See-thian-ong, dara keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng itu!

Di samping dua orang muda yang lihai ini nampak tiga orang kakek yang dikenal oleh Han Tiong, yaitu Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek murid-murid Pak-san-kui yang pernah dikalahkan oleh ayahnya beberapa tahun yang lalu. Juga di samping dara manis itu berdiri Ciang Gu Sik, murid kepala See-thian-ong yang berusia tiga puluh lima tahun itu, yang pernah bertanding melawan Bin Biauw dan amat lihai dengan joan-pian berselaput emas itu.

Melihat betapa enam orang itu bersikap mengancam, Kong Liang mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua orang keponakannya dengan bisikan.

"Kalian diamlah saja. Mereka itu lihai, biar aku yang menghadapi mereka kalau terpaksa aku harus melawan mereka. Kalian boleh melihat saja dan siap-siap saja untuk membela diri kalau diserang."

Thian Sin tersenyum mengejek, akan tetapi Han Tiong mengangguk, dan menyentuh lengan adiknya yang sudah gatal-gatal tangan hendak menantang musuh itu. Dengan sikap yang tenang namun berwibawa, ketabahan yang amat besar, Kong Liang mendahului dua orang keponakannya dan mengambil sikap seolah-olah dia hendak melindungi dua orang pemuda keponakannya itu. Dia berjalan terus sampai tiba di depan enam orang yang menghadangnya, lalu berkata dengan sopan namun tegas,

"Harap cu-wi suka minggir dan membiarkan kami lewat."

Bagaimanakah putera Pak-san-kui dan murid See-thian-ong itu dapat berkumpul menjadi satu dan menghadang di tempat itu? Memang, di antara empat orang datuk, yaitu See-thian-ong, Pak-san-kui, Tung-hai-sian dan Lam-sin, maka datuk dari barat See-thian-ong dan dari utara Pak-san-kui telah lama saling mengadakan hubungan seperti rekan seangkatan atau segolongan, maka tidak mengherankan apabila Siangkoan Wi Hong sudah lama mengenal So Cian Ling. Ketika Siangkoan Wi Hong melihat betapa pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu dapat mengalahkan, bahkan menundukkan hati Bin Biauw dan bahkan Tung-hai-sian nampak tertarik untuk mengambil mantu pemuda itu, diam-diam Siangkoan Wi Hong merasa tidak senang sekali. Bukan karena dia sendiri ingin memperisteri Bin Biauw, melainkan karena Tung-hai-sian telah dianggapnya sebagai orang segolongan dengan ayahnya sebagai datuk timur. Adapun pemuda itu adalah putera Cin-ling-pai, golongan yang menamakan dirinya "pendekar" dan yang sejak dahulu telah menjadi fihak yang menentang dan ditentang golongan para datuk. Kalau sampai Tung-hai-sian menjadi besan ketua Cin-ling-pai, tentu hal itu berarti akan melemahkan golongan mereka. Inilah sebabnya maka Siangkoan Wi Hong lalu cepat-cepat menghubungi para murid See-thian-ong mengajak dua orang murid See-thian-ong untuk melakukan penghadangan terhadap tiga orang dari Cin-ling-pai itu. Hal ini disetujui Ciang Gu Sik yang berpemandangan sama dengan Siangkoan Wi Hong, sedangkan So Cian Ling yang pernah berhadapan dengan tiga orang pemuda itu sebagai lawan ketika dia hendak membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng, juga penuh semangat menyokong maksud ini.

Demikianlah, Siangkoan Wi Hong ditemani tiga orang Pak-thian Sam-liong, dan dua orang murid See-thian-ong itu bersama-sama memotong jalan dan menghadang tiga orang pemuda yang tadi menjadi tamu sebagai wakil Cin-ling-pai itu.

"Tring-tranggg...!" Yang-kim di tangan Siangkoan Wi Hong itu berbunyi, disusul suara tertawa pemuda tampan pesolek itu. "Ha-ha-ha, sudah lengkap tiga-tiganya berkumpul di sini, ha-ha-ha! Putera ketua Cin-ling-pai, putera Pendekar Lembah Naga, dan putera Pangeran Ceng Han Houw! Wah-wah, tiga serangkai yang cocok! Pantas saja sikapnya sombong bukan main!"

Han Tiong yang pernah berkenalan dengan pemuda ini, bahkan pernah disambut sebagai sahabat dan dijamu makan, merasa tidak enak kalau harus bermusuhan dengannya, maka dia sudah cepat berkata, "Saudara Siangkoan, kami adalah orang-orang yang lebih mengutamakan persahabatan, tidak ingin mencari permusuhan, harap engkau tidak mengganggu kami."

"Han Tiong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi orang-orang liar ini!" Cia Kong Liang berkata dengan suara nyaring dan tajam karena memang dia sudah marah sekali menyaksikan sikap Siangkoan Wi Hong.

Mendengar ucapan Han Tiong yang dianggapnya terlalu merendahkan diri itu kemarahannya makin berkobar. Dia sudah melangkah maju di depan Han Tiong dan dia menghadapi Siangkoan Wi Hong dengan sikap penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga saja.

"Memang benar bahwa kami tidak mencari permusuhan, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut menghadapi siapapun juga yang hendak memusuhi kami! Kalau aku tidak salah melihat, kalian ini adalah orang-orangnya Pak-san-kui dan See-thian-ong, bukan? Nah, apa maksud kalian menghadang perjalanan kami dan bersikap seperti ini?"

Enam orang itu nampak jerih juga menyaksikan sikap yang gagah dari putera ketua Cin-ling-pai itu, bahkan Siangkoan Wi Hong yang biasanya tenang dan tertawa-tawa itu, yang biasanya amat mengandalkan kepada diri sendiri, kini diam-diam merasa girang bahwa dia mempunyai teman-teman yang lihai karena terus terang saja, kalau dia harus menghadapi pemuda Cin-ling-pai ini seorang diri saja, dia masih akan berpikir panjang.

Akan tetapi pada saat itu, sebelum ada yang menjawab pertanyaan Kong Liang, terdengar suara keras, "Mana orang Cin-ling-pai? Biar kami menghadapinya!"

Dan nampaklah bayangan orang berkelebat dari atas pohon dan dua tubuh yang melayang itu berjungkir balik seperti bola-bola besar, berputar-putar dan baru turun di depan Kong Liang.

Cara mereka meloncat dari atas dan berjungkir balik itu hebat sekali, seperti permainan akrobatik para pemain sirkus yang terlatih baik saja. Dan ketika semua orang memandang, kiranya mereka itu adalah dua orang laki-laki berpakaian pengemis! Usia mereka sekitar lima puluh tahun, pakaian mereka terbuat dari kain tambal-tambalan beraneka macam dan warna, akan tetapi pakaian itu tidak butut seperti pakaian pengemis-pengemis biasa, melainkan bersih dan agaknya memang hanya merupakan pakaian model pengemis, yaitu berbagai macam kain baru ditembel-tembel menjadi pakaian. Di punggung mereka, seperti model orang membawa pedang, nampak sebatang tongkat, entah terbuat dari bahan apa, hanya kelihatan hitam dan butut.

"Aha, kiranya dua orang gagah dari Bu-tek Kai-pang?" seru Siangkoan Wi Hong dengan girang sekali ketika melihat munculnya dua orang kakek pengemis ini.

Dia tidak mengenal pribadi semua anggauta Bu-tek Kai-pang yang jumlahnya dua puluh empat orang itu, akan tetapi melihat pakaian mereka dan tongkat yang mereka namakan "Hok-mo-pang" (Tongkat Penakluk Iblis) itu, tahulah dia bahwa mereka itu adalah dua orang anggauta Bu-tek

Kai-pang yang dipimpin atau diketuai Lam-sin (Malaikat Selatan) yaitu datuk selatan. Dua orang pengemis itu menjura ke arah Siangkoan Wi Hong dan seorang di antara mereka, yang hidungnya melengkung seperti hidung burung hantu, berkata, "Selamat bertemu, Siangkoan-kongcu dan bukankah sam-wi (tuan bertiga) adalah Pak-thian Sam-liong yang perkasa? Selamat jumpa!" Pak-thian Sam-liong, tiga orang murid Pak-san-kui menjura dengan hormat.

"Dan selamat bertemu pula kepada dua orang murid See-thian-ong Locianpwe!" pengemis ke dua, yang mukanya merah sekali, berkata kepada So Cian Ling dan Ciang Gu Sik yang cepat membalas pemghormatan mereka pula.

Diam-diam mereka terkejut bahwa para pengemis ini telah mengenal mereka, menunjukkan bahwa pengemis-pengemis itu mempunyai mata tajam, atau mungkin sekali mereka sudah lama mengintai ketika terjadi keributan di dalam pesta yang diadakan Tung-hai-sian.

Ciang Gu Sik yang pendiam itu membalas penghormatan sambil berkata, "Kami merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan ji-wi dari Bu-tek Kai-pang yang terkenal!"

"Akan tetapi mengapa ji-wi tidak terang-terangan hadir dalam pesta ulang tahun Locianpwe Tung-hai-sian?" So Cian Ling bertanya, yang merupakan teguran dan juga sindiran bahwa dia sudah menduga mereka berdua tentu hadir dengan sembunyi.

"Dan memalukan fihak tuan rumah dengan kehadiran pengemis-pengemis macam kami?" Jawab si hidung melengkung.

"Ah, mana kami berani?"

Han Tiong dan Thian Sin memandang kepada mereka semua itu dengan penuh perhatian dan dengan hati tegang. Kini mereka berdua sudah bertemu dengan orang-orang dari empat datuk yang terkenal itu! Dan kini yang menghadang mereka adalah orang-orang atau para murid dari Pak-san-kui, See-thian-ong dan Lam-sin! Akan tetapi, Kong Liang sudah menjadi marah sekali. Pemuda ini biasanya dihormati orang, dan memang sebagai putera ketua Cin-ling-pai tentu saja dia merasa dirinya tinggi, dan sekarang, orang-orang dari golongan hitam atau kaum sesat ini saling bertemu dan bicara gembira, bersikap seolah-olah dia tidak berada di situ, atau dia dianggap sebagai patung atau semut saja! Di dalam pesta dia sudah tidak dihargai, mendapat tempat duduk di bawah panggung, dan kini orang-orang inipun tidak menghargainya. Sungguh membuat perut terasa panas!

"Jalan ini adalah jalan umum! Kalau mau bicara minggirlah dan biarkan kami lewat!" kata Kong Liang yang sudah melangkah ke depan dan menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dua orang pengemis yang berada paling dekat dan menghadang jalan.

Dorongannya ini disertai tenaga Thian-te Sin-ciang, maka terdengar angin menyambar keras. Dua orang pengemis itu menggerakkan tubuh mereka mengelak, dan masing-masing telah mencabut tongkat mereka, lalu membentak.

"Hemm, inikah putera ketua Cin-ling-pai? Sebelum kau melanjutkan perjalanan, hayo lebih dulu kauhadapi kami!" bentak si hidung melengkung sambil melintangkan tongkat di depan dadanya.

Kiranya tongkat itu berwarna hitam mengkilap dan bentuknya seperti tubuh ular. Itu adalah sebatang tongkat yang terbuat daripada tumbuh-tumbuhan dalam laut yang melingkar-lingkar atau saling lingkar sehingga kalau diambil dan dikeringkan menjadi bentuk seperti ular, semacam kayu akar bahar yang kuat dan ulet sekali, juga yang menurut kepercayaan umum yang tahyul mengandung kekuatan mujijat!

"Akulah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai! Kalian ini jembel-jembel dari mana dan mengapa memusuhi Cin-ling-pai?"

"Kami adalah anggauta Bu-tek Kai-pang dari Heng-yang. Guru, ketua dan pemimpin kami, yang mulia Lam-sin akan membenarkan sikap kami memusuhi putera Cin-ling-pai! Sejak dahulu, Cin-ling-pai adalah musuh golongan kami, akan tetapi engkau putera ketuanya berani sekali menghina dan hendak memperisteri puteri Tung-hai-sian Locianpwe! Sungguh tak tahu malu dan bosan hidup!"

"Pendapat Bu-tek Kai-pang cocok dengan pendapat kami!" kata Siangkoan Wi Hong dengan girang dan untuk menambah semangat kepada dua orang pengemis itu.

Hati pemuda ini menjadi lebih besar setelah muncul dua orang pengemis itu yang memperkuat fihaknya. Wajah Cia Kong Liang menjadi merah sekali mendengar ucapan pengemis itu. Sedikitpun juga dia tidak bermaksud memperisteri Bin Biauw, akan tetapi menyangkal hal ini sama saja dengan membela diri, seolah-olah dia merasa takut.

"Jembel busuk lancang mulut. Apapun yang akan kuperbuat, apa sangkut-pautnya dengan kalian? Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan membuat kalian roboh!"

"Bagus! Coba saja, orang Cin-ling-pai sombong!" Dua orang pengemis itu sudah mengerakkan tongkat mereka dan mengeroyok dari kanan kiri

Kong Liang tidak mau memberi hati dan pemuda perkasa inipun sudah mencabut Hong-cu-kiam yang melilit pinggang sehingga nampak sinar emas bergulung-gulung. Dua orang pengemis ini seperti sebagian besar dari pada anggauta Bu-tek Kai-pang, dahulu adalah tokoh-tokoh yang tunduk kepada Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan). Akan tetapi semenjak munculnya Lam-sin yang menjatuhkan Lam-thian Kai-ong dan yang mengangkat diri sendiri sebagai Malaikat Selatan yang menguasai seluruh pengemis bahkan Lam-thian Kai-ong yang sudah tua itu menjadi pembantu utamanya, maka para tokoh pengemis di seluruh wilayah selatan menjadi anggauta Bu-tek Kai-pang. Jumlah mereka tidak banyak, hanya dua puluh empat orang karena Lam-sin tidak mau mengambil pengemis sebagai anggautanya tanpa diuji dulu. Ujian yang amat berat dan hanya para tokoh yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi sajalah yang berhasil lulus dan jumlah mereka tidak lebih dari dua puluh empat orang untuk seluruh wilayah selatan!

Tentu saja, dengan para anggauta yang memiliki kepandaian tinggi itu, nama Bu-tek Kai-pang menjadi terkenal sekali. Dan seperti para anggauta lain, dua orang tokoh inipun amat lihai, terutama sekali dalam menggunakan tongkat akar bahar hitam itu karena mereka semua telah mempelajari ilmu tongkat ciptaan ketua baru mereka, yaitu Lam-sin, Ilmu tongkat yang diberi nama Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis). Mereka berdua itu sengaja diutus oleh Lam-sin untuk mewakilinya memenuhi undangan Tung-hai-sian, akan tetapi karena watak Lam-sin ini yang paling aneh di antara empat datuk, dan selalu merahasiakan dirinya, maka diapun memesan kepada dua orang wakilnya itu untuk hadir secara bersembunyi saja!

Baru setelah terjadi sesuatu, dua orang pengemis itu memperlihatkan diri, dan mereka mempunyai pendapat yang sama dengan pendapat Siangkoan Wi Hong, yaitu kalau sampai Tung-hai-sian memilih putera Cin-ling-pai sebagai mantu, maka kekuatan empat datuk akan menjadi retak dan hal itu amat membahayakan mereka sendiri. Karena inilah maka dua orang pengemis ini lalu turun tangan menentang.

Akan tetapi, sekali ini mereka berdua bertemu dengan batu karang. Begitu tongkat-tongkat mereka itu bertemu dengan Hong-cu-kiam, keduanya terkejut karena lengan tangan mereka yang memegang tongkat itu tergetar hebat dan hampir saja tongkat mereka terlepas dari pegangan! Maka mereka lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu mereka Hok-mo-pang untuk mengeroyok dan terjadilah perkelahian yang amat seru!

Han Tiong memandang dengan alis berkerut, tidak senang dengan terjadinya perkelahian dan permusuhan yang dia tahu dapat menjadi besar ini. Akan tetapi sebaliknya, Thian Sin memandang dengan senyum tenang sehingga So Cian Ling yang memang sudah tertarik kepada pemuda ini, merasa semakin kagum. Dia tahu bahwa pemuda tampan ini, yang kabarnya adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang terkenal sebagai seorang perayu wanita yang tampan dan juga seorang jagoan tanpa tanding yang pernah menggemparkan dunia persilatan, adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Ingin sekali dia berkenalan lebih intim dengan pemuda ini, akan tetapi sayangnya, keadaan membuat mereka berdiri saling berhadapan sebagai lawan. Sementara itu, perkelahian antara Kong Liang yang dikeroyok oleh dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang terjadi dengan serunya karena dua orang pengemis itu kini semakin penasaran dan mereka telah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengalahkan orang muda itu. Namun, kiranya masih harus membutuhkan sedikitnya enam orang seperti mereka untuk dapat mengalahkan Cia Kong Liang, pemuda yang sudah mewarisi kepandaian ketua Cin-ling-pai itu dan perlahan-lahan, sinar pedang berwarna keemasan itu makin kuat dan makin menindih sinar dua batang tongkat hitam mereka.

Melihat betapa dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang itu takkan menang, diam-diam Siangkoan Wi Hong lalu memberi isyarat kepada tiga orang suhengnya yang juga menjadi anggauta atau anak buah ayahnya, Pak-thian Sam-liong.

Tiga orang laki-laki gagah yang merupakan murid-murid kepala Pak-san-kui ini, biarpun termasuk golongan kaum sesat, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi sehingga segan melakukan hal yang dianggapnya rendah seperti misalnya pengeroyokan, karena mereka itu menganggap kedudukan mereka tinggi sehingga malu untuk mengeroyok, bukan karena memang sungguh-sungguh berwatak jantan atau gagah. Maka, melihat isyarat sute mereka yang juga merupakan tuan muda mereka, ketiganya saling pandang, lalu mereka melepaskan jubah masing-masing sehingga nampak pakaian mereka yang ringkas, putih-putih dengan sabuk biru dan di punggung masing-masing nampak sebatang pedang.

"Ji-wi Sin-kai, mundurlah, biar kami yang menggantikan ji-wi!" kata seorang di antara mereka kepada dua orang pengemis yang sudah terdesak hebat itu.

"Kami belum kalah!" teriak seorang di antara dua pengemis itu sambil mencoba untuk membalas serangan lawan dengan tongkatnya.

Melihat kebandelan dua orang pengemis itu, Pak-thian Sam-liong mendongkol. Sudah jelas terdesak, dan tinggal menanti mampus saja, mengapa masih berlagak, pikir mereka.

"Orang she Cia, lawanlah kami Pak-thian Sam-liong kalau memang engkau jagoan!"

Mereka berteriak, kini menggunakan akal lain, menantang putera ketua Cin-ling-pai itu. Kong Liang juga mendongkol bahwa sampai begitu lamanya dia belum juga berhasil merobohkan dua orang lawannya, padahal dia sudah mendesak mereka dengan hebat. Kini mendengar tantangan Pak-thian Sam-liong, dia berseru keras.

"Kalau kalian sudah bosan hidup, majulah sekalian, siapa takut kepada orang-orangnya Pak-sam-kui?"

Tantangan ini terlalu tekebur, pikir Han Tiong yang mengerutkan alisnya. "Paman, biarkan aku menghadapi mereka!" katanya karena dia mengkhawatirkan pamannya kalau sampai dikeroyok lima!

"Han Tiong, jangan! Biarkan aku sendiri merobohkan mereka!" jawab Kong Liang tegas, ucapan yang menunjukkan wataknya yang angkuh, tidak mau dibantu dan seolah-olah dia sudah yakin akan menang sehingga dia menggunakan kata-kata "merobohkan" mereka.

Han Tiong tidak berani membantah dan Thian Sin tersenyum kepadanya ketika melihat Pak-thian Sam-liong kini sudah terjun ke dalam medan pertempuran membantu dua orang kakek pengemis, karena mereka tadi ditantang, jadi merekapun tidak segan-segan lagi untuk mengeroyok!

"Tiong-ko, fihak mereka masih ada, mengapa tidak sikat mereka ini saja? Orang she Siangkoan ini agaknya masih belum kapok! Hayo Siangkoan Wi Hong, kalau engkau ingin kurobohkan untuk ke dua kalinya, majulah engkau!"

Siangkoan Wi Hong tertawa untuk menyembunyikan rasa marah dan malunya ketika diingatkan akan kekalahannya melawan pemuda ini di depan orang-orang lain, terutama di depan para murid See-thian-ong dan Lam-sin,

"Ha-ha-ha, bocah sombong, kalau engkau mampu mengalahkan yang-kimku ini, biarlah engkau boleh membuka mulut lebar!"

Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan So Cian Ling yang sudah maju menyambut Thian Sin sambil berseru kepada Siangkoan Wi Hong, "Siangkoan-kongcu, biarlah aku yang menghadapi dia ini!"

Dan tanpa banyak cakap lagi So Cian Ling menerjang dan menyerang dengan pedangnya yang bersinar putih! Thian Sin cepat mengelak dan menegur dengan suara penuh sesalan.

"Hemm, kukira engkau telah sadar ketika kita saling berjumpa di Bwee-hoa-san, ternyata sekarang engkau kembali memusuhi kami tanpa sebab!"

Akan tetapi, So Cian Ling sudah menyerang lagi sambil berkata, "Orang she Ceng, keluarkanlah senjata dan kepandaianmu!" dara ini memang merasa tertarik kepada Thian Sin, kagum dia melihat ketampanan, kegagahan dan juga sikap Thian Sin, maka sekarang dia hendak melihat sampai di mana ilmu kepandaian pemuda ini.

Pernah dia melihat Thian Sin mengalahkan seorang di antara tiga orang pewaris ilmu-ilmu kakeknya, akan tetapi memang tingkat kepandaian tiga orang paman itu masih rendah dan dia belum menguji sendiri sampai di mana kelihaian Thian Sin. Oleh karena itu, melihat kesempatan ini dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan segera menandingi Thian Sin, biarpun di dalam hatinya dia sama sekali tidak membenci atau memusuhi Thian Sin. Sebaliknya malah, dia ingin sekali mengenal Thian Sin lebih dekat, sebagai sahabat baik!

LANJUT KE JILID 016--->
<---Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar