Jumat, 21 Februari 2014

Pendekar Sadis Jilid 014

Pendekar Sadis Jilid 014

<---Kembali

Akan tetapi Cia Kong Liang tidak mengecewakan menjadi putera Cin-ling-pai. Begitu melihat menyambarnya sinar hijau, dia sudah memutar pedangnya dan meloncat ke belakang, kemudian berjungkir balik ke atas dan meluncur turun setelah semua jarum itu dapat ditangkis pedangnya dan lewat di bawah kakinya. Begitu tubuhnya meluncur, pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah ubun-ubun, kedua pundak, dada dan pusar lawan, demikian cepatnya bertubi-tubi sehingga seolah-olah yang menyerang itu bukan sebatang pedang, melainkan lima batang!

"Ihhh...!" Kakek itu terkejut dan mengelak mundur sambil menangkis.

Terdengar bunyi berdencingan ketika dua pedang itu bertemu dengan keras berkali-kali, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak kaget dan terjengkang! Sebatang jarum, jarumnya sendiri, telah menancap di dadanya sebelah kiri, menembus bajunya dan menancap sampai setengahnya lebih. Itulah sebatang jarum yang tadi dapat ditangkap oleh tangan kiri Kong Liang tanpa dapat dilihat oleh lawan dan kini jarum itu telah makan tuannya! Kong Liang menerjang terus, hendak mengirim tusukan maut, akan tetapi Yap Kun Liong berseru keras, "Kong Liang, jangan...!"

Namun pedang telah digerakkan, tak mungkin dapat ditarik kembali dan pemuda itu hanya dapat memiringkan tangannya saja sehingga pedang yang tadi menusuk dada, kini menyeleweng dan hanya mengenai pangkal lengan. Namun luka yang didatangkan tusukan itu cukup lebar dan dalam, membuat kakek itu mengaduh dan meloncat mundur. Pangkal lengan kanannya luka, juga dadanya yang sebelah kiri terkena jarum beracun yang perlu harus cepat diobatinya, maka tentu saja dia tidak dapat melanjutkan pertandingan dan melangkah mundur dengan muka pucat.

"Hemm, sungguh sayang para paman ini telah gagal. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kuharap kalian suka maju sendiri agar perhitungan antara kita dapat dilunaskan sekarang juga. Kalian mati di tanganku atau aku yang akan tewas di tangan kalian seperti kakek dan nenekku."

Kata dara manis itu dan tidak nampak dia menggerakkan kakinya, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke tengah taman itu. Ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya dara ini dan melihat betapa ketika tubuhnya melayang tadi kedua tangannya digerakkan seperti burung, menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang ahli dalam ilmu gin-kang yang disebut Hui-heng-sut (Ilmu Lari Terbang) dan orang yang memiliki ilmu ini amat berbahaya karena gerakannya amat ringan seperti seekor burung saja. Dara itu berdiri tegak menghadap ke arah kakek dan nenek itu, sikapnya tenang dan tabah, nampak gagah sekali sehingga diam-diam Thian Sin merasa kagum bukan main.

Hebat dara ini, pikirnya dengan jantung berdebar karena dia merasa tertarik sekali. Tanpa disadari dia sudah melangkah maju dan berkata, "Biarlah aku menghadapi nona ini!"

"Sin-te, jangan lancang!" Han Tiong mencela adiknya.

"Kalian mundurlah," kata Kong Liang yang masih memegang pedang Hong-cu-kiam di tangannya, sambil melangkah maju. "Nona ini agaknya memiliki kepandaian, biarlah aku yang mewakili paman dan bibi memberi hajaran kepadanya!"

Dara itu tadi sudah menatap wajah Thian Sin dan sejenak keduanya saling pandang, dan keduanya merasa tertarik. Dara itu mendapat kenyataan betapa tampan dan gagahnya pemuda yang pertama kali maju ini dan harus diakuinya bahwa belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang begini menarik hatinya. Akan tetapi, majunya Kong Liang dan teguran kakaknya itu membuat Thian Sin mundur kembali sungguhpun dia masih terus memandang wajah dara yang amat manis dan menarik hatinya itu. Dan dara itupun terpaksa kini memandang Kong Liang yang tadi telah merobohkan kakek telinga buntung. Tahulah dara ini bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh, akan tetapi sedikitpun dia tidak gentar.

"Pertandingan ini adalah untuk mengadu nyawa, oleh karena itu aku tidak ingin membunuh atau terbunuh oleh orang yang tidak kuketahui siapa. Kalau aku tidak salah, engkau adalah orang dari Cin-ling-pai, bukan?" Dara itu bertanya. "Aku telah memperkenalkan diriku. Aku bernama So Cian Ling, murid dari See-thian-ong. Akan tetapi aku datang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan guruku, melainkan mewakili arwah nenek dan kakekku untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng."

Sikap dara itu sungguh tenang dan juga gagah, tidak seperti orang dari golongan jahat dan kasar. Apalagi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid See-thian-ong, Yap Kun Liong dan isterinya, juga para pemuda itu terkejut sekali. Mereka sudah mendengar akan nama See-thian-ong yang dianggap sebagai datuk dunia bagian barat, yang setingkat dengan Pak-san-kui dari utara, atau dengan Tung-hai-sian dari timur dan Lam-sin dari selatan!

Kiranya dara ini adalah murid datuk barat, maka dapat diduga bahwa dia tentu lihai sekali, jauh lebih lihai daripada tiga orang kakek yang telah kalah tadi. Diam-diam Cia Kong Liang juga terkejut, bukan hanya karena ternyata bahwa dara ini adalah murid See-thian-ong yang terkenal, akan tetapi juga betapa dara ini telah dapat menduga bahwa dia datang dari Cin-ling-pai hanya dengan melihat gerakan-gerakannya tadi. Maka diapun menjawab cepat. "Memang benar, aku adalah putera ketua Cin-ling-pai dan keponakanku di sana itu adalah putera Pendekar Lembah Naga. Nah, kami semua telah berada di sini untuk melindungi paman dan bibiku yang sudah tua. Engkau sungguh sudah bosan hidup berani menentang paman dan bibiku."

Dara itu juga terkejut, bukan hanya mendengar bahwa pemuda di depannya ini adalah putera ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga mendengar bahwa pemuda-pemuda yang lain itu datang dari Lembah Naga, bahkan seorang di antaranya adalah putera Pendekar Lembah Naga. Tahulah dia bahwa dia benar-benar sial, akan tetapi karena sudah terlanjur, dia tidak akan undur lagi.

"Siapapun yang melindungi mereka, aku tidak peduli. Kematian kakek dan nenekku harus ditebus! Nah, majulah!" tantangnya dan sekali tangannya bergerak ke belakang dia telah mencabut pedangnya dan nampak sinar putih seperti perak.

Ternyata pedangnya itupun merupakan sebatang pedang pusaka yang indah dan juga ampuh.

"Bagus! bersiaplah engkau!" bentak Kong Liang dan sekali bergerak dia sudah mengirim serangan bertubi-tubi sampai lima kali beruntun!

Akan tetapi, dengan tangkas sekali nona itu menangkis sampai lima kali dan balas menyerang, sekali serang juga sudah mengirim tusukan dan bacokan sampai lima kali berturut-turut yang semua telah dapat dielakkan dan ditangkis oleh Kong Liang. Ketika pemuda ini menangkis untuk ke lima kalinya, dia sengaja mengerahkan tenaganya.

"Trang...!" Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar hebat.

Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing, akan tetapi dengan hati lega mereka mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak. Pada saat itu, Yap Kun Liong sudah meloncat datang dan menengahi. "Kong Liang, kau mundurlah dan biarkan aku sendiri menyelesalkan urusan pribadiku ini."

Mendengar ucapan pamannya ini, tentu saja Kong Liang cepat mundur dan menyimpan kembali pedangnya, memakainya sebagai ikat pinggang.

"Nona So, sungguh sedih sekali hatiku melihat bahwa urusan ini berlarut-larut. Aku tidak ingin membuat keluargaku terikat dengan urusan permusuhan yang tidak ada artinya ini. Nah, kalau memang benar-benar engkau mendendam atas kematian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kaubunuhlah aku, dan aku tidak akan melawan sama sekali. Aku tidak menyesal bahwa dahulu aku menentang mereka, karena sesungguhnyalah bahwa mereka berdua itu adalah suami isteri yang amat jahat dan menyeleweng dalam kehidupan mereka! Aku melihat nona bukanlah orang seperti mereka itu, akan tetapi nona berkeras hendak membalas dendam kematian mereka. Nah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu agar dendam ini dapat dihabiskan sampai di sini saja."

Melihat kakek yang penuh wibawa itu memasang dada dan siap menerima kematian, dara itu melangkah mundur dan mukanya berubah agak pucat. Dia memandang ragu-ragu dan melihat keadaan suami isteri tua yang gagah perkasa, apalagi tiga orang pemuda yang jelas merupakan pendekar-pendekar perkasa dan amat mengagumkan itu, dia sudah mulai dapat melihat bahwa agaknya tidak salah lagi bahwa permusuhan antara kakek dan nenek angkatnya bersama suami isteri pendekar ini tentu terjadi karena kesalahan kakek dan nenek angkatnya. Apalagi kalau mendengar penuturan Yap Kun Liong bahwa kematian itu terjadi dalam perang. Akhirnya dia membalikkan tubuhnya dan berkata kepada tiga orang kakek yang sudah terluka tadi.

"Sudahlah, mari kita pergi dari sini!"

"Tetapi... tetapi... dendam kita..." Kakek yang buntung telinga kirinya membantah.

"Sudah, tidak ada urusan dendam lagi bagiku. Aku tidak mau lagi mendengar bujukan kalian!" kata So Cian Ling dan dia lalu menengok, memandang kepada Thian Sin lalu bibirnya membentuk senyum yang mewakili hatinya, dan sekali meloncat dia lenyap dari situ. Tiga orang kakek itu tentu saja sudah kehilangan nyalinya melihat dara itu tidak mau membantu mereka, dan tanpa pamit mereka itupun berlari pergi. Baru sekarang, setelah semua pengacau pergi, kakek dan nenek itu merasa gembira sekali.

Yap Kun Liong lalu memandang Han Tiong dan berkata, "Bocah nakal, mengapa kau datang tanpa memberi tahu? Mengagetkan saja! Dan kau sudah begini besar, dan gagah perkasa seperti ayahmu. Hebat sekali gerakan-gerakanmu tadi."

"Ah, saya masih banyak mengharapkan petunjuk dari locianpwe," kata Han Tiong dengan sikap merendah, lalu memandang kepada Kong Liang sambil berkata, "Paman Kong Liang, ilmu pedangmu tadi sungguh membuat aku kagum bukan main!"

Kong Liang tersenyum, diam-diam merasa bangga. Akan tetapi dia memandang kepada Thian Sin dan bertanya kepada Han Tiong. "Siapakah temanmu ini, Han Tiong?"

"Ya, siapakah dia ini?" Cia Giok Keng menyambung dan sejak tadi dia menatap wajah pemuda yang tampan itu.

Ditanya begini, sebelum Han Tiong menjawab, Thian Sin sudah menjatuhkan diri di depan Cia Giok Keng sambil berkata. "Nenek, cucumu yang bodoh mohon ampun bahwa baru sekarang dapat datang menghadap."

Tentu saja Cia Giok Keng menjadi kaget dan bingung, akan tetapi pada saat itu Han Tiong berkata dengan hati terharu, "Dia ini adalah Ceng Thian Sin yang menjadi adik angkat saya dan menjadi murid ayah, dia adalah putera dari Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si."

"Ehh...?" Cia Giok Keng menjerit dan mengangkat bangkit pemuda itu, menatap wajahnya dan kemudian merangkulnya.

"Cucuku...! Ah, cucuku, tak kusangka bahwa aku akan dapat berjumpa dengan anak Ciauw Si..." Suaranya mengandung isak. "Cucuku, di manakah mereka? Mengapa ibumu tidak ikut datang bersamamu menengokku...?"

Ditanya tentang ibunya, tentu saja Thian Sin merasa seperti ditusuk jantungnya. Dia menunduk, menahan air matanya agar tidak keluar dari matanya yang terasa panas itu, kemudian dapat juga dia berkata lirih. "Maafkan nek... mereka... ayah dan ibu telah tiada..."

Sepasang mata tua itu terbelalak, muka yang memang sudah agak pucat itu menjadi semakin pucat.

"Apa...? Bagaimana...?" Dan nenek itu tentu sudah roboh kalau tidak dipeluk cucunya. Yap Kun Liong cepat menghampiri dan memondong tubuh isterinya yang pingsan, lalu berkata kepada tiga orang muda itu.

"Mari kita bicara di dalam..."

Keadaan menjadi menyedihkan ketika tiga orang pemuda itu mengikuti kakek yang memondong tubuh nenek yang pingsan itu memasuki pondok, setelah merebahkan Cia Giok Keng di atas dipan dan mengurut beberapa jalan darahnya, akhirnya nenek itu mengeluh dan membuka matanya. Akan tetapi begitu dia melihat Thian Sin duduk di dekat situ, diapun menangis dan teringat lagi.

"Ah, Ciauw Si... Ciauw Si anakku... mengapa engkau yang masih muda telah mati lebih dulu? Betapa buruk nasibmu, anakku..."

Thian Sin menggigit bibirnya dan menahan agar jangan ikut menangis mendengar neneknya itu menangis sambil meratap. Yap Kun Liong menghibur isterinya.

"Sudahlah, kematian akan datang kepada siapapun juga, muda maupun tua. Menyedihi si mati hanya melemahkan batin dan badan saja, dan tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita mendengarkan Thian Sin menceritakan kematian ayah bundanya."

Cia Giok Keng menyusut air matanya lalu memandang kepada cucunya, menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang tertekan, "Cucuku, ceritakanlah bagaimana ibumu sampai tewas?"

Dengan lirih dan hati-hati Thian Sin lalu bercerita tentang pengeroyokan pasukan, baik pasukan dari Kerajaan Beng yang dibantu oleh pasukan dari Raja Agahai di utara, dan betapa dia sendiri oleh ibu dan ayahnya diungsikan sebelum malapetaka itu datang, mengungsi ke kuil pamannya, yaitu Hong San Hwesio Lie Seng dan belajar di bawah asuhan pamannya itu bersama Han Tiong, dan betapa kemudian dia ikut bersama kakak angkatnya itu dan mempelajari ilmu silat di Lembah Naga.

Mendengar penuturan itu, Yap Kun Liong berkata, "Hemm, segala macam perbuatan manusia tiada bedanya dengan menanam benih yang tentu akan menumbuhkan pohon yang berkembang dan berbuah. Bunga dan buahnya tidak akan lepas daripada sifat benih yang ditanam itu sendiri. Oleh karena itu, segala akibat takkan lepas daripada sebabnya dan kita tidak perlu menyesal. Ciauw Si terbawa oleh akibat daripada perbuatan suaminya, maka hal itupun tidak perlu disesalkan."

"Tapi, anakku adalah seorang wanita gagah. Tidak semestinya terbunuh demikian menyedihkan. Kematiannya tidak mungkin dapat didiamkan saja! Para pembunuhnya tidak dapat membedakan siapa salah siapa benar, dan para pembunuhnya itu harus dibalas!"

Yap Kun Liong memegang lengan isterinya. "Tenang dan sabarlah. Apakah engkau akan mengulang apa yang telah dilakukan oleh cucu dari para penghuni Padang Bangkai tadi, yaitu hidup diracuni dendam?"

"Ah, tapi mereka itu lain lagi! Kakek dan nenek mereka adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya dibunuh! Akan tetapi Ciauw Si anakku! Apa salahnya? Salahnya dia hanya jatuh cinta kepada seorang yang..."

"Sudahlah, perlu apa menggali hal-hal yang sudah lalu? Mereka telah tiada, akan tetapi mereka meninggalkan seorang putera dan dia telah menjadi seorang pemuda yang begini gagah," kata Yap Kun Liong yang cepat mencegah isterinya melanjutkan kata-katanya mencela mendiang Ceng Han Houw di depan puteranya sendiri.

"Cucuku...!" Cia Giok Keng lalu merangkul Thian Sin dan menangis.

Betapapun juga, kunjungan tiga orang pemuda itu, terutama sekali hadirnya Thian Sin di situ, mendatangkan kegembiraan dalam hati nenek itu dan membuatnya sehat kembali. Tiga orang pemuda itu tinggal di puncak Bwee-hoa-san, melayani kakek dan nenek itu sehingga mereka merasa berbahagia sekali. Giok Keng merasa amat gembira dan amat mencinta cucunya. Saking girang dan senangnya terhadap cucunya, dia menyerahkan pedang pusakanya, yaitu Gin-hwa-kiam kepada Thian Sin, bahkan mengajarkan ilmu silat memainkan sabuk sebagai senjata yang ampuh.

Memang nenek ini amat ahli mempergunakan sabuk panjang sebagai senjata dan sabuk ini memang lihai bukan main, dapat mempergunakan untuk menghadapi senjata tajam lawan dan melilit serta merampasnya.

Juga Yap Kun Liong tidak tinggal diam. Dia merasa gembira dekat dengan tiga orang pemuda yang berbakat dan gagah perkasa itu, dan dia tahu bahwa inilah kesempatan terakhir baginya. Dia sudah tua, tidak mempunyai anak kecuali Yap Mei Lan yang telah pergi keluar negeri bersama suaminya, Souw Kui Beng (baca cerita Pendekar Lembah Naga). Maka kalau dia tidak meninggalkan ilmu-ilmunya tentu tak lama lagi akan terbawa mati. Dan siapa lagi yang lebih pantas menerima ilmu-ilmunya itu kecuali tiga orang pemuda ini?

Yap Kun Liong merasa kagum bukan main melihat watak Cia Han Tiong. Dia tahu bahwa pemuda ini memiliki kebijaksanaan yang luar biasa, yang amat menonjol dan jauh melampaui dua orang pemuda lainnya. Dan diapun diam-diam merasa prihatin dan khawatir melihat sifat-sifat ganas yang dimiliki Thian Sin. Dalam percakapan berdua dengan Thian Sin, Yap Kun Liong banyak memberi nasihat-nasihat dan menanamkan jiwa kependekaran kepada pemuda ini, dan diapun mengajarkan Ilmu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang yang amat lihai kepada Thian Sin.

Kepada Cia Kong Liang dia mengajarkan Siang-liong-pang dan Im-yang Sin-kun. Dan kepada Cia Han Tiong dia telah memberikan kitab yang selama ini merupakan pusakanya yang amat disayangnya, yaitu kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong yang mengandung pelajaran yang amat halus dan hanya dapat dimengerti oleh orang yang benar-benar berbakat!

Demikianlah, tiga orang pemuda itu tinggal di situ sampai hampir satu bulan lamanya, dan mereka bertiga merasa gembira bukan main memperoleh ilmu-ilmu dari kakek dan nenek itu. Kemudian karena waktunya bagi Cia Kong Liang telah tiba untuk mewakili orang tuanya menghadiri undangan dari Tung-hai-sian di Ceng-tao Propinsi Shan-tung yang merayakan ulang tahun, mereka bertiga meninggalkan puncak Bwee-hoa-san, diantar oleh pandang mata kesepian oleh kakek dan nenek itu!

***

Han Tiong dan Thian Sin diajak Kong Liang untuk ikut ke Ceng-tao, menemaninya mengunjungi pesta ulang tahun itu. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga menganjurkan kepada dua orang pemuda itu untuk ikut.

"Tung-hai-sian adalah datuk kang-ouw yang amat disegani di dunia timur, oleh karena itu dalam pesta perayaan itu tentu hadir banyak sekali orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh besar. Pertemuan dengan mereka itu amat penting bagi kalian orang-orang muda," demikian Yap Kun Liong berkata.

Han Tiong dan Thian Sin memang juga ingin meluaskan pengalaman, maka tentu saja ajakan itu mereka terima dengan hati gembira. Mereka melakukan perjalanan ke timur dengan cepat dan di sepanjang perjalanan mereka bertiga itu bergembira. Maklumlah, biarpun Kong Liang disebut paman oleh mereka, namun usia mereka sebaya. Kong Liang berusia dua puluh dua tahun, Han Tiong sembilan belas tahun dan Thian Sin delapan belas tahun.

"Ingat, kita bertiga mewakili Cin-ling-pai dan karena Cin-ling-pai sudah dikenal di seluruh dunia, maka kita harus menjaga gerak-gerik kita yang tentu akan diperhatikan orang. Dan karena aku yang bertanggung jawab atas nama Cin-ling-pai, maka kuminta agar kalian tidak sembarangan melakukan sesuatu sebelum ada ketentuan dariku. Di sana berkumpul banyak sekali orang kang-ouw, maka kalau kalian salah bertindak sedikit saja dapat menimbulkan kegemparan dan kalau sampai nama Cin-ling-pai terbawa, tentu ayah akan marah kepadaku."

"Baiklah, paman. Kami hanya ikut saja dan nonton, tentu saja kami tidak akan berani membuat ribut. Bukankah begitu, Sin-te?" Thian Sin hanya mengangguk, akan tetapi karena dia memang kadang-kadang mendongkol melihat sikap Kong Liang yang seolah-olah menganggap mereka berdua masih "hijau" dan bersikap kepada mereka seolah-olah
mereka itu masih kanak-kanak, lalu berkata.

"Kami mengerti, Paman Kong Liang. Pendeknya, biarlah engkau yang menjadi pemimpinnya, dan kami hanya mentaati saja." Ucapan ini sewajarnya saja bagi Kong Liang yang mengangguk senang, akan tetapi Han Tiong yang telah mengenal watak adik angkatnya ini, benar-benar tahu bahwa adiknya itu merasa mendongkol dan dalam kata-katanya tadi terkandung ejekan.

Siapakah adanya Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) ini? Mari kita berkenalan dengan tokoh yang terkenal sebagai datuk kaum persilatan di wilayah timur dan bahkan di sepanjang pantai timur. Sebetulnya, Dewa Laut Timur ini adalah bekas seorang bajak laut yang pernah menggemparkan seluruh permukaan laut yang amat luas dan namanya dikenal oleh semua pelaut baik pelaut Tiongkok, Jepang, maupun Korea. Dia adalah seorang "samurai" Jepang, seorang pendekar Jepang yang pernah menjadi pengacau atau pemberontak yang amat terkenal di Jepang. Sebetulnya dia bukanlah seorang samurai biasa saja. Kakeknya adalah seorang panglima besar yang bernama Minamoto, seorang pengikut Daig II yang dijatuhkan dari kedudukannya oleh Ashikaga Takauji. Karena junjungannya kalah dan jatuh, Panglima Besar Minamoto ini melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong bersama keluarganya.

Di tempat ini mereka hidup sebagai nelayan biasa, akan tetapi bekas panglima itu tidak pernah padam cita-citanya, yaitu untuk sekali waktu keturunannya kembali ke Jepang untuk membalas dendam terhadap kaisar baru! Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang cucunya yang berbakat, dan cucunya inilah yang sekarang menjadi Dewa Laut Timur!

Tung-hai-sian ini dikenal di Tiongkok sepanjang pantai timur dengan nama Bin Mo To, yaitu sebutan dalam bahasa Tionghoa untuk nama Minimoto, karena dia memakai nama besar kakeknya. Setelah dia dewasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, Minimoto muda ini meninggalkan pulau kosong untuk memenuhi cita-cita kakeknya. Di Jepang dia mengalahkan banyak jagoan samurai, menjadi pemimpin pemberontak dan berusaha memberontak terhadap istana yang pada waktu itu diperintah oleh Kaisar Muromaci. Akan tetapi usahanya gagal oleh karena usahanya ini ditentang oleh para pengikut aliran Zen Buddhis yang amat kuat.

Dia gagal, pasukannya dihancurkan dan diapun dikejar-kejar. Maka larilah Minimoto dan menjadi buronan. Mulai saat itulah dia memasuki dunia penjahat, menjadi bajak laut dan karena dia terlahir di pulau kosong dan digembleng oleh segala macam ilmu oleh kakeknya, maka diapun memiliki keahlian ilmu dalam air laut yang amat hebat. Maka ketika dia menjadi bajak laut, sebentar saja namanya ditakuti semua orang. Pekerjaannya membajak kapal-kapal ini membuat dia berhasil mengumpulkan banyak harta.

Pada usia empat puluh tahun, dia menghentikan pekerjaannya membajak dan bertempat tinggal di Korea, di mana dia hidup menjadi semacam "datuk" yang menerima "bagi hasil" dari para penjahat yang takut dan segan kepadanya.

Namun, setelah tinggal di Korea selama lebih dari sepuluh tahun, kembali dia harus angkat kaki karena dimusuhi oleh Kerajaan Korea. Itulah sebabnya, dalam usia kurang lima puluh tahun, Minimoto atau Bin Mo To yang berjuluk Tung-hai-sian, julukan yang diperolehnya setelah dia tinggal di Ceng-tao, pindah ke kota itu dan di situ dia tidak lagi berani menjadi datuk secara terang-terangan. Tung-hai-sian Bin Mo To berusaha untuk membersihkan namanya dan mendirikan perkumpulan yang dinamai Mo-kiam-pang (perkumpulan Pedang Iblis), sebuah perkumpulan silat.

Perkumpulan ini tidak secara terang-terangan melakukan kejahatan, akan tetapi seluruh penjahat di wilayah itu semua tunduk terhadap perkumpulan ini karena setiap penjahat yang tidak tunduk tentu akan berhadapan dengan pedang iblis yang amat ganas. Maka diam-diam Tung-hai-sian diangkatlah oleh dunia hitam sebagai datuk yang mereka takuti. Tung-hai-sian yang kaya raya dan lihai ini amat berpengaruh, dapat menguasai para pembesar setempat dengan sogokan-sogokan yang berani. Sebagian besar perusahaan pengawal, yaitu piauwkiok, seolah-olah menjadi anak buahnya dan semua membayar semacam "pajak" kepadanya kalau menghendaki pekerjaan mereka tidak terganggu.

Perusahaan pengawal yang memakai bendera kuning kecil bergambarkan pedang bersilang dan tengkorak, yaitu tanda dari Mo-kiam-pang, dapat terlindung karena tak seorangpun penjahat berani mengganggunya. Dan untuk memperoleh bendera kecil ini tentu saja perusahaan itu harus membelinya dengan harga mahal. Juga Tung-hai-sian menanam banyak modal dalam perusahaan-perusahaan besar di kota-kota pelabuhan besar sehingga kekayaannya semakin bertambah.

Tung-hai-sian Bin Mo To ini mempunyai banyak isteri atau selir, tidak kurang dari dua puluh orang, akan tetapi di antara para isterinya itu, hanya isteri ke dua sajalah yang mempunyai seorang anak perempuan. Isteri ke dua itu adalah seorang wanita Korea dan diperisterinya ketika dia masih tinggal di Korea, bahkan anaknyapun terlahir di Korea.

Anak itu baru berusia tujuh tahun ketika dia pindah ke Ceng-tao dan kini anak itu telah berusia tujuh belas tahun, seorang anak perempuan yang cantik, bertubuh tinggi langsing seperti ibunya, berani dan tangkas dan lincah seperti ayahnya. Dara ini diberi nama Bin Biauw, dan tentu saja sebagai seorang puteri Tung-hai-sian yang menjadi pendiri dan ketua perkumpulan Mo-kiam-pang, Bin Biauw ini adalah seorang ahli pedang.

Demikianlah sedikit riwayat dari Tung-hai-sian. Kini datuk ini mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, suatu hal yang baru dapat dilakukannya di bumi Tiongkok ini, di mana dia dapat hidup bebas dari pengejaran yang berwajib dan hidup sebagai seorang terhormat! Undangan itu tentu saja mengandung maksud.

Pertama, dia hendak memperkenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw sebagai datuk timur yang sepuluh tahun lebih ini tak pernah menemui tanding! Dan selain itu, juga dia hendak mencari-cari jodoh untuk puterinya yang telah berusia tujuh belas tahun. Tentu saja dia tidak sudi mencari mantu di antara tokoh-tokoh sesat.

Puterinya tidak akan menjadi isteri seorang bajingan! Dia sendiri adalah keturunan samurai, keturunan jago dan pendekar kenamaan, maka puterinya harus memperoleh jodoh setidaknya seorang pendekar gemblengan pula! Inilah sebabnya maka dia mengundang semua perkumpulan besar kecil di dunia kang-ouw, bukan terbatas pada golongan sesat belaka.

Dan demikian pula sebabnya maka Cin-ling-pai juga menerima undangan yang kini diwakili oleh Cia Kong Liang yang mengajak dua orang keponakannya. Rumah gedung milik Tung-hai-sian di kota Ceng-tao itu amat besar, dengan pekarangan depan luas sekali, juga dengan sebuah taman yang indah dan luas di sebelah kiri dan belakang rumah gedung yang seperti istana pembesar tinggi itu. Di sebelah kanan gedung itu terdapat rumah-rumah petak tempat tinggal para murid atau pembantunya, tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang tingkatnya sudah tinggi, ada belasan orang banyaknya. Adapun para murid lainnya berkumpul di sebuah rumah perkumpulan yang lebih besar lagi, yang berada di jalan itu juga, tidak begitu jauh dari rumah gedung tempat tinggal Tung-hai-sian.

Pada hari yang telah ditentukan itu, para tamu membanjiri kota Ceng-tao dan suasana di gedung keluarga itu amat meriah. Pekarangan depan yang amat luas itu dijadikan ruangan tamu yang dihias dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna. Tempat itu dapat menampung seribu orang, dan tamu yang datang sedikitnya ada lima ratus orang dari bermacam golongan. Boleh dibilang dari hampir semua perkumpulan-perkumpulan dunia persilatan, baik dari golongan bersih maupun dari golongan kotor, apa yang disebut kaum putih dan kaum hitam, mengirimkan wakil, bahkan banyak pula yang ketuanya memerlukan hadir sendiri.

Thian Sin dan Han Tiong yang mengikuti Kong Liang hadir di tempat yang luas itu, dari jauh melihat pula hadirnya seorang pemuda pesolek tampan yang membuat mereka terkejut karena tidak disangkanya mereka akan melihat pemuda itu di situ. Pemuda itu bukan lain adalah Siangkoan Wi Hong. Si pemuda pesolek, pemain yang-kim yang pandai. Kiranya pemuda itu hadir mewakili ayahnya, yaitu Pak-san-kui yang dianggap sebagai datuk utara. Tidaklah mengherankan kalau dia disambut sebagai tamu agung ditempatkan di ruangan kehormatan, yaitu panggung yang dibuat sengaja untuk menyambut tamu-tamu yang dihormati. Siangkoan Wi Hong datang bersama tiga orang kakek yang juga dikenal oleh Han Tiong. Dia teringat betapa dahulu ayahnya pernah diuji oleh Pak-san-kui, diadu dengan tiga orang kakek itu yang berjuluk Pak-thian Sam-liong, yaitu murid-murid Pak-san-kui yang lihai.

Dan tiga orang pemuda itupun terkejut ketika melihat hadirnya seorang dara manis yang bukan lain adalah So Cian Ling, murid dari See-thian-ong atau keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng itu! Dara cantik manis itu datang mewakili suhunya, ditemani oleh seorang suhunya yang kelihatan gagah dan berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Juga wakil-wakil dari See-thian-ong in memperoleh kursi di panggung kehormatan.

Tiga orang pemuda yang mengaku wakil Cin-ling-pai itu tidak memperoleh kursi di panggung kehormatan dan hal ini saja menyatakan bahwa datuk kaum sesat itu tidak memandang tinggi kepada fihak Cin-ling-pai! Akan tetapi hal itu tidak mendatangkan perubahan pada wajah Kong Liang yang tampan itu, sungguhpun sebenarnya hati merasa panas sekali! Memang pemuda ini sudah pandai menyimpan perasaannya. Betapapun juga Han Tiong dan Thian Sin yang merasa lega karena dengan mendapat duduk di golongan tamu biasa mereka tidak harus bertemu muka dengan Siangkoan Wi Hong dan So Cian Ling.

Semua tokoh kang-ouw melihat-lihat dan merasa heran mengapa seorang di antara empat datuk, yaitu Lam-sin (Malaikat Selatan) tidak nampak mengirim wakilnya, padahal nama Lam-sin juga amat terkenal sungguhpun jarang ada orang yang pernah bertemu dengan orangnya. Hanya namanya sajalah yang amat terkenal, dan nama itu dibuat terkenal oleh para anggautanya, yaitu golongan pengemis! Lam-sin ini di selatan menjadi ketua dari sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal dengan nama yang amat sombong, yaitu Bu-tek Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding)! Dan memang menurut kabar angin, perkumpulan ini memiliki anggauta-anggauta yang semua memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan anggauta mereka tidaklah banyak, ketanya hanya dua puluh orang lebih namun rata-rata amat lihai sehingga nama Bu-tek Kai-pang itu ditakuti semua orang, apalagi ketuanya yang hanya dikenal sebagai Lam-sin atau Malaikat Selatan. Lam-sin sendiri tidak pernah keluar, akan tetapi setiap ada pengemis sakti dari Bu-tek Kai-pang melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia kang-ouw, tentu nama Lam-sin semakin terangkat karena setiap pengemis sakti itu amat menjunjung tinggi nama Lam-sin sebagai guru dan majikan mereka! Pendeknya, sampai sekarang nama Lam-sin merupakan tokoh misterius yang hanya dikenal nama namun belum dikenal rupanya itu.

Pesta itu berjalan dengan amat meriah. Suguhan-suguhan yang dihidangkan adalah masakan-masakan yang mahal dan araknya juga arak pilihan, pendeknya benar-benar merupakan pesta seorang yang kaya raya. Semua ini masih diramaikan dengan serombongan penari dan penyanyi yang didatangkan dari Nan-king, yang tentu saja amat mahal bayarannya.

Selagi pesta itu berlangsung meriah, tiba-tiba seorang pembantu fihak tuan rumah yang bertugas sebagai pengacara bangkit berdiri di atas panggung di mana para penari baru saja mengundurkan diri. Musikpun berhenti dan terdengar suara orang itu lantang, "Dimohon perhatian cu-wi yang mulia! Atas perintah fihak tuan rumah, kami memberitahukan bahwa acara hiburan ditunda untuk memberi kesempatan kepada Bin-siocia yang hendak memberi selamat kepada Bin-loya (tuan Besar Bin). Hendaknya cu-wi maklum bahwa Bin-siocia adalah puteri tunggal dari Tuan Besar Bin Mo To yang mulia. Dan sebagai hadiah untuk ayahnya, Bin-siocia berkenan hendak mempertunjukkan tarian pedang!"

Tentu saja pengumuman itu disambut dengan tepuk sorak riuh karena para tamu tentu saja ingin sekali melihat ilmu pedang dari puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. Hanya beberapa orang saja di antara para tamu, termasuk para pembesar di Ceng-tao, yang sudah tahu bahwa Bin-siocia adalah seorang dara yang amat cantik dan manis, dan yang kabarnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi, paling tinggi di antara anak buah atau murid-murid datuk itu sendiri!

Tiba-tiba terdengar musik ditabuh, yaitu tambur dan gembreng dan terompet. Selagi tambur dipukul gencar, dari dalam keluarlah seorang dara berpakaian serba merah, baju dan celana merah muda, ikat pinggang merah tua, pita rambut merah tua dan di dadanya terdapat hiasan dari sutera kuning, kedua kakinya mengenakan sepatu hitam yang mengkilap. Bukan main cantik manis dan gagahnya dara itu nampaknya. Pakaiannya dari sutera tipis itu menempel ketat di tubuhnya, membuat tubuhnya nampak menonjol dan padat menggairahkan, namun juga menimbulkan segan karena sikapnya amat gagah. Dia berlari keluar, berlari kecil seperti seorang penari yang lincah, dan wajahnya yang manis itu tersenyum ketika dia memandang kepada para tamu dan mengangguk sebagai tanda terima kasih karena para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. Ketika dara itu tersenyum, nampak dua buah lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dan memang dara ini manis sekali. Mulutnya merupakan daya tarik yang paling kuat dari wajahnya, sebuah mulut yang amat indah, dengan bibir melengkung penuh berkulit tipis seolah-olah setiap saat bibir itu akan pecah dan mengeluarkan darah karena bibir itu nampak demikian merah dan basah. Ketika dia tersenyum dan kedua bibir itu agak terpisah merenggang, nampak kilauan gigi putih seperti mutiara. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce berwarna kuning emas. Dara itu adalah Bin Biauw, puteri remaja berusia tujuh belas tahun yang merupakan anak tunggal dari Tung-hai-sian Bin Mo To!

Setelah berlari berputaran di atas panggung sambil memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada kepada para penonton yang menjadi tamu, Bin Biauw lalu menghampiri panggung di mana ayahnya duduk. Semua mata kini memandang ke arah tuan rumah. Tung-hai-sian adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun yang mengenakan pakaian mewah, di kanan kirinya duduk dua orang wanita setengah tua yang juga berpakaian mewah. Di sebelah kanan itu adalah isterinya yang pertama, sedangkan di sebelah kirinya adalah isterinya yang ke dua atau ibu kandung Bin Biauw. Isteri pertamanya tidak mempunyai anak dan dia adalah seorang wanita Jepang, tidak seperti ibu Bin Biauw yang merupakan wanita Korea, bertubuh tinggi langsing seperti Bin Biauw. Tung-hai-sian sendiri bertubuh pendek tegap dan bersikap gagah, biarpup usianya sudah enam puluh tahun namun dia masih nampak kuat, hanya kepalanya saja yang sudah botak kelimis, hanya ditumbuhi rambut di bagian belakang dan dekat telinga sampai ke pelipis. Ubun-ubun dan atas dahinya sudah tidak ada rambutnya sama sekali. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang samurai yang sarungnya amat indah. Sepasang matanya yang lebar itu amat tajam, dan alisnya hanya merupakan bundaran hitam kecil saja yang ditumbuhi rambut pendek-pendek. Biarpun Tung-hai-sian sudah menjadi datuk dunia persilatan di daratan Tiongkok, bahkan sudah berganti nama dengan nama Bin Mo To sebagai pengganti nama Minamoto, namun kakek ini dalam kesempatan gembira merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun itu mengenakan pakaian seorang Samurai Jepang! Kakinya juga memakai sandal model Jepang dan dia kelihatan bangga sekali berpakaian seperti itu!

Bin Biauw menghampiri ayahnya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Kakek ini merangkul dan mencium kepala puterinya sambil tertawa gembira. Setelah mengucapkan selamat dengan suara lirih yang tertindih oleh suara musik, dara itu lalu bangkit dan berlari lagi ke atas panggung, sesudah menghormat ke empat penjuru, tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kilat sehingga mengejutkan semua orang. Itu adalah sebatang pedang pusaka yang hebat, pikir mereka. Kemudian dara itu mulai bersilat pedang, atau menari pedang, karena gerakannya lemah gemulai seperti orang menari mengikuti irama tambur dan gembreng, akan tetapi di dalam gerakan tari lemah gemulai ini terkandung kekuatan yang dahsyat, yang menyambar setiap kali pedang berkelebat dan semua orang yang hadir, kebanyakan ahli-ahli silat, dapat melihat betapa ujung pedang tergetar setiap kali digerakkan, getaran yang mendatangan suara mengaung! Jelaslah bahwa dara ini bukan sekedar menari biasa. Sungguhpun tari-tarian itu merupakan gerakan-gerakan yang amat indah, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi langsing, namun jelas bahwa dara itu sedang mainkan ilmu silat yang selain indah juga amat tangguh sekali! Dan benarlah dugaan mereka karena semakin lama, gerakan itu semakin cepat dan ketika bunyi tambur dan gembreng sudah menjadi cepat sekali, dara itu lenyap, yang nampak hanya bayangan merah terbungkus oleh gulungan sinar pedang putih berkeredepan menyilaukan mata. Semua orang bertepuk tangan memuji karena memang harus mereka akui bahwa jarang mereka menyaksikan ilmu pedang yang demikian hebatnya.

Tiba-tiba Tung-hai-sian mengambil sebatang lilin merah yang bernyala, dan dia melontarkan lilin itu ke arah puterinya sambil berseru. "Sambutlah, anak Biauw!"

Tiba-tiba bayangan yang dibungkus gulungan sinar itu berhenti dan nampak dara itu berdiri tegak menanti sampai lilin yang dilontarkan itu tiba di atasnya, kemudian, secepat kilat pedangnya bergerak ke kanan kiri... dan lilin bernyala itu agaknya seperti tertahan oleh sesuatu di udara, dan barulah sesudah dara itu menghentikan gerakannya, lilin itu terjatuh ke atas lantai dan... berserakan menjadi belasan potong, sedangkan ujung lilin yang bernyala kini ternyata telah menempel di ujung pedang! Tentu saja kepandaian seperti itu adalah kepandaian yang merupakan keahlian karena dilatih, akan tetapi betapapun juga, tanpa memiliki gerakan yang cepat dan kuat, tidak mungkin dapat melakukan seperti itu. Dan meledaklah tepuk tangan para tamu yang merasa kagum sekali.

"Bagus, kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus sekali!" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring mengatasi kegaduhan tepuk tangan itu.

Semua orang menoleh, juga Bin Biauw menoleh. Ternyata yang berseru itu adalah Thian Sin! Saking kagumnya, bahkan hanya melihat ilmu pedang itu melainkan terutama sekali melihat kecantikan dara itu, Thian Sin lupa diri dan dia memuji sambil bangkit berdiri. Melihat ulah adiknya, Han Tiong terkejut sekali dan dia maklum bahwa adiknya itu tentu tertarik sekali kepada dara yang cantik itu, karena diapun sudah tahu akan kelemahan hati adiknya terhadap wanita cantik.

Sementara itu, ketika menengok dan melihat pemuda yang amat tampan itu, Bin Biauw menjadi merah mukanya, akan tetapi dia menahan senyum dan mengerling malu-malu. Hati siapa takkan merasa girang dan bangga kalau dipuji, terutama sekali hati seorang wanita yang selalu haus akan pujian, dan lebih-lebih lagi kalau pemujinya itu seorang pemuda yang demikian gantengnya?

Juga Bin Mo To yang bangkit berdiri, dari atas dapat melihat pemuda tampan gagah yang mengeluarkan seruan pujian itu, maka dia lalu tersenyum dan memberi perintah kepada pengacara dengan kata-kata lirih.

Pengacara itu segera bangkit dan menuju ke panggung, lalu berkata dengan lantang, "Kami menyampaikan permintaan Bin-loya kepada cu-wi yang terhormat, bahwa untuk meramaikan pesta dan untuk menguji kepandaian Bin-siocia, maka dipersilakan kepada para pendekar muda yang mau menambah meriah pesta ini untuk melayani Bin-siocia bermain pedang!"

Ucapan itu tentu saja disambut dengan riuh-rendah dan semua tamu tertawa. Pengumuman itu sudah tidak aneh lagi artinya bagi orang-orang kang-ouw. Kalau seorang ayah memberi kesempatan kepada orang-orang muda untuk bertanding dengan puterinya, hal itu dapat diartikan bahwa sang ayah hendak mencarikan jodoh bagi puterinya!

Hampir semua tokoh kang-ouw tentu saja menghendaki mantu yang lihai bagi puterinya, maka selalu diadakan sayembara pertandingan silat untuk memilih mantu. Dan agaknya datuk wilayah timur inipun tidak ketinggalan. Akan tetapi, siapakah yang berani untuk maju? Sebagian besar dari mereka sudah kehilangan nyali menyaksikan permainan pedang dari Bin Biauw tadi, yang memang amat lihai. Apalagi kalau diingat bahwa dara itu adalah puteri tunggal dari Tung-hai-sian, mereka merasa lebih sungkan dan segan lagi. Tidak boleh main-main dengan keluarga datuk itu!

Semua orang memandang ke arah Thian Sin yang masih berdiri, juga dara itu sendiri memandang kepadanya, agaknya mengharapkan pemuda tampan itu untuk maju. Dan Thian Sin memang sudah merasa gatal tangan dan hatinya untuk maju menandingi nona manis itu, akan tetapi tiba-tiba dia merasa tangannya disentuh dan ditarik oleh kakaknya dan terdengar bisikan Kong Liang, "Thian Sin, kau duduklah!"

Teringatlah Thian Sin bahwa dia hanya ikut saja dengan pamannya itu dan dia sama sekali tidak diperbolehkan bergerak sebelum mendapat perkenan Cia Kong Liang, maka diapun lalu duduk kembali. Bin Biauw kelihatan kecewa, akan tetapi tidak demikian dengan Tung-hai-sian, karena datuk ini tentu saja tidak menghendaki seorang mantu dari golongan rendah, yaitu golongan tamu yang duduk di bawah panggung. Sejak tadi perhatiannya tertuju kepada Siangkoan Wi Hong.

Pemuda yang baru pertama kali dilihatnya ini tentu saja amat menarik perhatiannya, setelah memperkenalkan diri sebagai putera Pak-san-kui! Pemuda yang cukup tampan dan gagah, apalagi putera Pak-san-kui, sungguh akan merupakan pasangan yang cocok bagi puterinya, setingkat, bahkan segolongan! Maka, diam-diam dia mengharapkan pemuda itu untuk maju menandingi puterinya agar dia dapat melihat kelihaian pemuda itu yang dia yakin tentu berkepandaian tinggi sebagai putera Pak-san-kui.

Ternyata tidak ada orang yang berani sembarangan naik ke panggung untuk menyambut ajakan Tung-hai-sian tadi. Banyak di antara mereka yang merasa jerih untuk menandingi ilmu pedang yang demikian lihainya dari Bin Biauw, akan tetapi sebagian besar di antara mereka itu lebih merasa segan terhadap Tung-hai-sian sendiri. Apalagi mereka yang duduk di bawah panggung, andaikata di antara mereka ada yang merasa kuat melawan Bin Biauw sekalipun, agaknya mereka masih harus pikir-pikir beberapa kali untuk berani memamerkan kepandaian di depan datuk itu, apalagi dalam kesempatan di mana hadir begitu banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan.

Pembicaraan atau pengatur acara tadi telah menerima bisikan-bisikan dari Tung-hai-sian, maka setelah melihat bahwa di antara para tamu tidak ada yang berani maju dia lalu angkat bicara lagi dengan sikap ramah, "Bin-loya telah mohon kepada cu-wi untuk meramaikan pesta dan melayani Bin-siocia beberapa jurus, apakah cu-wi merasa sungkan? Kami melihat bahwa di sini hadir wakil-wakil dari tokoh-tokoh besar, bahkan ada wakil-wakil dari See-thian-ong dan dari Pak-san-kui Locianpwe, diharap agar cu-wi yang mewakili kedua locianpwe sudi memberi petunjuk kepada Bin-siocia, selain untuk memeriahkan pesta juga hitung-hitung untuk memperkekal persahabatan, demikian pesan Bin-loya."

Mendengar ucapan itu, So Cian Ling bergerak di tempat duduknya, akan tetapi dia dilarang oleh suhengnya dan sang suheng inilah yang bangkit berdiri. Dia adalah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya agak pucat dan matanya sipit, pakaiannya sederhana dari kain berwarna kuning. Pria ini bernama Ciang Gu Sik dan merupakan murid pertama atau murid kepala dari See-thian-ong, itu datuk wilayah barat yang terkenal. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, dia masih sedikit di bawah tingkat So Cian Ling, sungguhpun dara itu merupakan sumoinya. Hal ini adalah karena So Ciang Ling amat disayang oleh See-thian-ong sehingga murid wanita inilah yang menerima ilmu-ilmu simpanan Sang Datuk!

Betapapun juga, tingkat kepandaian Ciang Gu Sik sudah terhitung tinggi dan karena sudah percaya penuh akan kepandaiannya, maka dia dipercaya untuk mewakili See-thian-ong dalam memenuhi undangan Tung-hai-sian itu, sedangkan So Cian Ling hanya ikut suhengnya untuk menambah pengalaman saja.

Ketika tadi melihat puteri tuan rumah itu bermain pedang, diam-diam So Cian Ling juga merasa kagum akan keindahan ilmu pedang itu. Akan tetapi dia merasa bahwa dia akan sanggup menandingi ilmu pedang yang indah itu, akan tetapi tentu saja dia tidak peduli, karena kedatangannya hanya ikut sang suheng dan hanya ingin menambah pengalaman dengan menjumpai orang-orang pandai dari segala fihak.

Akan tetapi ketika dia melihat seorang pemuda di bawah panggung memuji ilmu pedang itu dan dia mengenal Thian Sin sebagai pemuda tampan yang amat menarik hatinya ketika dia dan para pamannya bertemu dengan pemuda itu di puncak Bwee-hoa-san, diam-diam hatinya merasa... cemburu dan panas! Inilah sebabnya maka dia berniat untuk menandingi Bin Biauw, bukan hanya untuk mengalahkan dara itu, melainkan terutama sekali untuk memperlihatkan kepada Thian Sin bahwa dia tidak kalah oleh dara puteri tuan rumah. Akan tetapi suhengnya melarangnya karena suheng ini maklum bahwa yang dikehendaki oleh tuan rumah adalah majunya tamu-tamu pria! Dia sendiri bukan seorang pria yang suka kepada wanita sehingga sampai berusia tiga puluh lima tahun dia masih belum menikah. Dia tidak merasa tertarik kepada Bin Biauw, akan tetapi pemuda ini amat menjunjung tinggi nama gurunya. Oleh karena itu, ketika nama gurunya disebut-sebut, dia merasa penasaran juga. Kalau dia tidak maju, tentu orang-orang di situ akan mengira bahwa wakil dari See-thian-ong takut untuk menghadapi puteri tuan rumah dan hal itu berarti gurunya akan dipandang rendah.

Begitu Ciang Gu Sik bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi kurus itu melangkah maju ke depan, semua tamu memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang, juga gembira karena ternyata ajakan atau tantangan itu kini diterima seorang tamu yang duduk di bagian kehormatan. Bin Biauw juga memandang kepada pria itu dan alisnya sedikit berkerut. Dia sudah bermufakat dengan ayahnya untuk memilih calon jodoh, dan melihat pria yang maju ini, jelas bahwa dia tidak akan sudi berjodoh dengan orang ini!

Sungguhpun dia tahu dan sudah diperkenalkan tadi bahwa pria ini adalah murid kepala dari See-thian-ong! Ciang Gu Sik maklum bahwa majunya itu diikuti oleh pandang mata semua tokoh kang-ouw yang hadir, dan bahwa majunya itu bukanlah suatu hal yang boleh dibuat main-main karena dia mewakili gurunya, maka dia lalu memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian, kemudian dia menjura ke empat penjuru, kemudian dia bicara, ditujukan kepada para tamu, "Cu-wi yang mulia. Sesungguhnya saya tidak akan berani lancang maju ke panggung ini untuk memamerkan kepandaian. Akan tetapi karena tadi wakil dari Bin-locianpwe menyebut nama guru kami, yaitu See-thian-ong, maka sebagai wakil beliau dan murid kepala, terpaksa saya maju untuk atas nama suhu membantu memeriahkan pesta ini."

Setelah berkata demikian, dia lalu membalikkan tubuh menghadapi Bin Biauw, menjura dan berkata. "Maafkan saya yang lancang berani memajukan diri untuk melayanimu, nona."

"Ah, aku malah gembira sekali bahwa murid utama dari See-thian-ong Locianpwe mau untuk maju dan memberi petunjuk kepadaku yang bodoh." kata Bin Biauw dengan gayanya yang lincah.

Sementara itu, pembicara yang mewakili Tung-hai-sian sudah memperoleh bisikan pula dari majikannya dan dia berkata dengan lantang. "Permainan silat bersama diadakan selama lima puluh jurus saja. Kalau selama lima puluh jurus tidak ada fihak yang kalah, berarti bahwa kedua fihak sama kuatnya dan memiliki tingkat yang sama! Demikianlah keputusan dari Bin-loya!"

Bin Biauw tersenyum manis, menggerakkan pedangnya di depan dada dan berkata. "Silakan Ciang-sicu memilih senjata!"

Ciang Gu Sik meraba pinggangnya dan mengeluarkan senjatanya yang ternyata adalah sebuah senjata yang disebut Kim-coa-joan-pian (Cambuk Ular Emas), semacam ruyung lemas yang dapat dipergunakan sebagai ikat pinggang, gagangnya berbentuk kepala ular terbuat dari pada emas.

"Tar-tarr!" Pecut itu meledak dua kali di atas kepalanya.

"Bin-siocia, saya sudah siap!" katanya dengan tangan kanan yang memegang joan-pian di atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat dan ditekuk di depan tubuhnya, sikapnya tenang dan kokoh sekali.

Bin Biauw tersenyum, lalu membentak. "Lihat serangan!"

Pedangnya sudah meluncur dengan cepat membentuk sinar kilat menuju ke dada lawan.

"Tar! Tringgg...!" Joan-pian itu berubah menjadi lurus kaku dan menangkis pedang, kemudian meluncur ke samping.

Pada saat itu, pedang yang tertangkis sudah menerjang lagi, dan pecut itu dari samping menyambar ke arah pundak dan sambungan siku yang memegang pedang, melakukan totokan untuk mendahului gerakan pedang.

"Hemm...!" Bin Biauw terpaksa mengelak dan dengan sendirinya tusukannyapun batal, dan diam-diam dia tahu bahwa lawannya ini amat tenang dan amat lihai maka dia berlaku hati-hati dan segera memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya diselimuti gulungan sinar pedang yang berkilauan!

Melihat ini, murid See-thian-ong itupun cepat memutar joan-pian di tangannya sehingga nampak sinar keemasan bergulung-gulung. Joan-pian itu memang gagangnya terbuat dari emas murni dan joan-piannya sendiri terbuat daripada baja diselaput emas maka sinarnya menjadi keemasan. Nampaklah pemandangan yang amat indah menyilaukan mata ketika dua gulungan sinar yang putih berkilauan dan keemasan saling sambar dan saling desak.

Bagi mata orang yang kurang tinggi kepandaiannya, tentu sukar untuk dapat mengikuti gerakan kedua orang itu. Gerakan mereka cepat dan kuat, dan keduanya mengadu kepandaian dengan pengerahan tenaga dan keduanya berusaha untuk menang karena pertandingan itu bagi mereka merupakan adu kepandaian untuk mempertahankan nama guru mereka masing-masing.

Bin Biauw tidak lagi bertanding untuk menguji kepandaian seorang pria yang mungkin menjadi calon jodohnya, melainkan hendak mempertahankan nama ayah dan juga gurunya agar tidak kalah oleh murid See-thian-ong datuk dari barat itu, sebaliknya Ciang Gu Sik sama sekali bukan melawan dara itu karena tertarik kepadanya melainkan juga hendak memperlihatkan bahwa See-thian-ong tidak kalah dari Tung-hai-sian!

Jadi pertandingan itu mewakili datuk barat dan datuk timur, masing-masing tidak mau kalah. Oleh karena itu, pertandingan itu hebat sekali dan hal ini dirasakan oleh semua orang, terutama sekali oleh mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang dapat mengikuti jalannya pertandingan itu dengan jelas.

So Cian Ling memandang jalannya pertandingan itu dengan alis berkerut. Dia mengerti bahwa suhengnya itu terus didesak dan dia merasa menyesal mengapa suhengnya tidak membiarkan dia saja yang maju tadi, karena dia merasa dapat menandingi puteri Tung-hai-sian itu. Biarpun suhengnya cukup lihai dengan joan-piannya, akan tetapi dibandingkan dengan lawan, dia itu kalah senjata, dalam arti kata kalah ampuh senjatanya sehingga keunggulan senjata itu membuat lawan dapat lebih menindih dan mendesaknya.

Memang kalau hanya lima puluh jurus saja, belum tentu Bin Biauw akan mampu mengalahkan suhengnya, akan tetapi kini jelas nampak oleh semua tokoh kang-ouw bahwa suhengnya itu telah terdesak dan lebih banyak menangkis daripada menyerang!

Dan semua orang yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi tentu sudah dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan lebih dari lima puluh jurus, suhengnya itu tentu akan kalah!

Penglihatan So Cian Ling itu memang benar. Dengan ilmu pedangnya yang hebat, Bin Biauw mulai mendesak lawannya dan betapapun murid See-thian-ong itu berusaha untuk balas menyerang, tetap saja dia harus melindungi diri lebih dulu dan setelah lawan menyerang tiga jurus, barulah dia mampu membalas dengan satu kali serangan. Dia didesak terus dan main mundur, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sampai wakil Tung-hai-sian berseru,

"Lima puluh jurus telah lewat! Kedua fihak tidak ada yang kalah, berarti keduanya sama kuat!"

Bin Biauw menarik pedangnya dan berdiri sambil tersenyum manis, melintangkan pedangnya di depan dada. Ciang Gu Sik juga menarik joan-piannya, dan dia menjura.

"Ilmu pedang Bin Siocia sungguh amat tangguh!" katanya dengan jujur.

"Ah, Ciang-sicu terlalu merendah dan mengalah!" kata Bin Biauw sambil tetap bersenyum.
Para penonton menyambut dengan tepuk sorak, dan tentu saja tepuk sorak itu ditujukan untuk memuji Bin Biauw. Dengan muka agak kemerahan, murid See-thian-ong itu kembali ke tempat duduknya, disambut oleh So Cian Ling dengan alis berkerut karena betapapun juga, peristiwa itu membuat dara ini merasa penasaran dan tersinggung.

Bin Biauw masih berdiri di atas panggung. Hatinya merasa penasaran. Mengapa pemuda tampan di bawah panggung tadi tidak berani naik? Kalau pemuda itu yang melayaninya, tentu dia akan merasa gembira sekali!

Tapi Kong Liang sudah berbisik-bisik kepada dua orang keponakannya itu. "Jangan kalian sembarangan bergerak. Di sini terdapat banyak sekali tokoh kang-ouw yang lihai. Dan ternyata tuan rumah tidak menghargai Cin-ling-pai. Hemm, kalian lihat saja hal ini tak dapat kudiamkan saja!"

"Apakah paman hendak melayani nona itu?" Thian Sin berbisik.

"Kalau perlu, akan kuperlihatkan bahwa kita tidaklah kalah oleh mereka yang duduk di atas panggung!" Diam-diam Kong Liang merasa penasaran dan marah karena dia dan dua orang keponakannya, walaupun sudah mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai, tetap saja dipersilakan duduk di bawah panggung. Ini dianggapnya suatu penghinaan bagi Cin-ling-pai!

"Ah, di sinipun tidak apa-apa, apa sih bedanya dengan di atas panggung, paman?" Han Tiong berkata karena memang di dalam hatinya, dia sama sekali tidak merasa penasaran, tidak seperti Thian Sin yang setuju dengan pendapat paman itu.

"Bagi kita pribadi memang tidak ada bedanya, akan tetapi kita membawa nama Cin-ling-pai, dan kalau orang tidak menghormati Cin-ling-pai, aku tidak bisa tinggal diam saja!"

"Biarlah aku menghadapi nona itu, paman, mewakilimu dan Cin-ling-pai," kata Thian Sin.

"Thian Sin, jangan kau gegabah! Nona itu lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau kau mewakili Cin-ling-pai dan sampai kalah, bukankah berarti nama Cin-ling-pai makin hancur lagi? Pula, kalau engkau sampai terluka oleh pedang nona itu, bukankah aku akan mendapat marah dari ayah? Aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian berdua. Selain nona itu, di sini banyak orang pandai. Lebih baik kalian diam saja dan hanya bersiap-siap membantu kalau ada terjadi kecurangan terhadap diriku."

Thian Sin hendak membantah akan tetapi pandang mata Han Tiong membuat dia terdiam. Sementara itu, pembantu Tung-hai-sian sudah berseru lagi dengan suara lantang dan gembira, "Siapa lagi di antara para pendekar yang ingin memeriahkan pesta, silakan maju. Tadi dari fihak Locianpwe See-thian-ong telah ada wakilnya yang maju, maka oleh Bin-loya diharapkan majunya wakil dari Pak-san-kui Locianpwe dan juga dari Lam-sin Locianpwe yang belum nampak wakilnya. Silakan, silakan. Nona kami masih sabar menunggu!"

Siangkoan Wi Hong berbisik-bisik dengan Pak-thian Sam-liong, tiga orang laki-laki gagah yang menjadi murid kepala Pak-san-kui. Mereka bertiga itu setuju kalau Siangkoan Wi Hong maju karena mereka tahu bahwa Siangkoan-kongcu mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka sendiri dan lebih pantas kalau kongcu itu yang menandingi puteri tuan rumah, selain untuk mempertahankan nama Pak-san-kui, juga untuk mencoba kalau-kalau berjodoh dengan nona manis puteri Tung-hai-sian itu.

"Akan tetapi kalian tahu bahwa aku tidak ingin menikah, suheng!" kata Siangkoan Wi Hong berbisik.

Tiga orang suheng itupun tahu akan hal ini. Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang sejak remaja sudah suka bermain-main dengan wanita, bahkan banyak mempunyai selir di mana-mana. Akan tetapi anehnya, pemuda ini tidak pernah mau mengikatkan diri dengan pernikahan, maka biarpun dia kagum melihat kecantikan Bin Biauw, tetap saja dia tidak bermaksud untuk membiarkan diri menjadi calon suami nona itu. Kalau hanya berkenalan dan bermain-main, tentu dia akan menyambutnya dengan senang sekali!

"Kongcu, saat ini, soal perkawinan tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah mempertahankan kehormatan ayah kongcu sebagai datuk utara! Kalau kini puteri datuk timur dan murid datuk barat telah memperlihatkan kepandaian, apa kata orang kalau kita diam saja? Disangka bahwa wakil-wakil datuk utara tidak berani muncul!"

Siangkoan Wi Hong menarik napas panjang dan diapun bangkit berdiri. Melihat ini, hati Tung-hai-sian girang sekali. Dia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian putera Pak-san-kui itu yang kabarnya merupakan seorang yang selain lihai dan dikenal sebagai datuk, juga seorang yang amat kaya raya. Kiranya sudah cocoklah kalau dia berbesan dengan Pak-san-kui, akan tetapi dia harus melihat dulu kemampuan pemuda yang tampan dan pesolek itu. Maka dengan girang dia lalu bertepuk tangan, diikuti oleh para tamu yang duduk di ruangan kehormatan, dan wakil pembicara itu lalu berteriak

"Siangkoan-kongcu, putera dari Locianpwe Pak-san-kui, berkenan untuk maju meramaikan pesta!"

Mendengar ini semua orang memandang dan ketika melihat seorang pemuda yang tampan dan berpakaian mewah menuju ke tengah panggung sambil membawa sebuah alat musik yang-kim yang kedua ujungnya berbentuk gagang dan runcing pedang, mereka bertepuk tangan.

LANJUT KE JILID 015--->
<---Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar