Rabu, 12 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 102

Pedang Kayu Harum Jilid 102

<--kembali

"Trang-trakkk!" Pedang yang tinggal sepotong di tangan Cong San terbabat patah lagi, tinggal gagangnya saja sedangkan tubuhnya terpental mundur, akan tetapi dia telah dapat memberi kesempatan kepada isterinya melolos sabuk suteranya. Gagang pedang itu dia lontarkan ke arah muka Cui Im yang dapat dielakkan dengan mudah.

Biauw Eng menerima sabuk sutera merah muda dan kini dia meloncat maju, didahului sinar merah muda yang panjang dari sabuk di tangannya. Yan Cu telah mengikat pinggangnya dengan robekan baju luarnya sendiri yang ia sambar dari dipan, kemudian ia memungut sebatang pedang. Cong San juga sudah mengambil sebatang pedang dari lantai.

"Jangan serang! Lindungi saja aku!" Biauw Eng berteriak kepada kedua orang itu. Yan Cu dan Cong San membatalkan gerakan mereka, dan kini mereka mengikuti gerakan Biauw Eng dari kanan kiri, siap menjaga dan melindungi kalau-kalau Biauw Eng terancam oleh sepasang pedang Cui Im yang amat berbahaya itu.

Dengan senjata yang jauh lebih cocok ini, biarpun tidak selemas sabuknya sendiri yang memang dibuat khusus untuk senjata, kini Biauw Eng seolah-olah merupakan seekor harimau yang diberi sayap! Tentu saja, biarpun selama ini dia telah digembleng oleh suaminya sendiri, dia masih belum dapat menandingi tingkat Cui Im yang selama ini juga memperdalam ilmunya di bawah asuhan Go-bi Thai-houw, namun dengan senjata sabuk ini Biauw Eng dapat melakukan perlawanan gigih, dapat pula membalas dengan totokan-totokan ujung sabuknya yang cukup berbahaya bagi Cui Im.

"Biauw Eng, sekali ini kau akan mampus di tanganku!" Cui Im membentak dan sepasang pedangnya bergerak cepat sekali sehingga tubuhnya lenyap terbungkus dua gulung sinar hijau dan merah. Biauw Eng juga menggerakkan sabuknya. Wanita ini maklum bahwa kalau suaminya tidak cepat menerima kembali Siang-bhok-kiam, keadaan mereka berempat akan berbahaya sekali. Tidak saja Cui Im dan Go-bi Thai-houw merupakan dua orang lawan yang amat berbahaya, juga ia melihat bahwa kini semua pasukan pengawal telah mengurung tempat itu. Tentu kepala daerah marah sekali menyaksikan kematian puteranya, Coa Kun, dan mantunya, Mo-kiam Siauw-ong dan akan menangkap atau membunuh empat orang itu.

Dengan gerakan pergelangan tangannya yang terlatih, tiba-tiba sinar merah muda bergulung-gulung membentuk lingkaran lebar dan tahu-tahu ujung sabuknya yang menangkis sinar hijau Siang-bhok-kiam berhasil membelit pergelangan tangan dan pedang! Biauw Eng mengerahkan seluruh tenaganya.

"Haiiiiittttt!!" Teriakannya melengking nyaring dan ia tidak mempedulikan sinar merah menyambar ke arahnya karena seluruh tenaga dan perhatiannya dipusatkan untuk merampas Siang-bhok-kiam!

"Cring-cring........ krekk-krekkk!!" Dua batang pedang Yan Cu dan Cong San yang menangkis sinar merah itu patah semua, dan sinar merah masih membabat ke depan.

Biauw Eng menjerit, leher dan pundaknya kena serempet sinar merah dan berdarah, juga Yan Cu dan Cong San terhuyung ke belakang, lengan kanan mereka berdarah, akan tetapi Biauw Eng berhasil merampas Siang-bhok-kiam dengan ujung sabuknya.

"Hong-ko, terimalah Sing-bhok-kiam!" Biauw Eng berseru dan pedang di ujung sabuknya itu meluncur ke arah Keng Hong. Pendekar sakti ini gembira akan tetapi juga terkejut, menyaksikan isterinya terhuyung dan terluka. Ia cepat menyambar pedangnya dan memutar pedang untuk menghalau desakan Go-bi Thai-houw sambil menoleh ke arah istrinya dan dua orang kawannya.

Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San cepat berloncatan ke belakang karena mereka telah menderita luka-luka. Biarpun tidak terlalu berat, namun banyak darah keluar dan terasa perih. Yan Cu dan Cong San sudah menyambar senjata dari lantai dan siap menghadapi terjangan Cui Im yang marah sekali. Biauw Eng sudah siap pula dengan sabuknya.

Akan tetapi Cui Im yang melihat betapa Keng Hong telah mendapatkan kembali Siang-bhok-kiam, menjadi marah dan khawatir. Tiga orang itu tidaklah terlalu berbahaya. Kalau Keng Hong dapat dirobohkan, tidak akan sukar baginya merobohkan tiga orang itu. Maka dengan kemarahan meluap ia melompat ke arah Keng Hong yang kini menghadapi Go-bi Thai-houw dengan Siang-bhok-kiam di tangannya.

Begitu dia mainkan Siang-bhok-kiam, Go-bi Thai-houw terkejut bukan main. Hebat sekali sinar pedang itu dan mengeluarkan hawa mujijat di tangan Keng Hong. Dia menggerakan sepasang kebutannya, menyerang bagian atas dan bawah tubuh Keng Hong.

"Cring-cringgg........!" Tangkisan Siang-bhok-kiam mengenai gagang kebutan dari baja, dan tampaklah banyak bulu-bulu kebutan merah dan biru membodol, beterbangan seperti kelopak-kelopak bunga tertiup angin.

"Trangggg.........!!" Sinar pedang di tangan Cui Im yang datang menusuk, di terima oleh Siang-bhok-kiam dan kedua pedang itu saling melekat karena dialiri tenaga sinkang mereka.

"Mampuslah!" Cui Im menggunakan tangan kirinya menampar ke arah dada Keng Hong, sedangkan pada saat itu, kebutan merah Go-bi Thai-houw yang tinggal separuh bulunya itu menotok ke arah mata Keng Hong!

Keng Hong menggerakan tangan kiri, menyambar kebutan merah, mencengkeram bulunya, membetot dan langsung melontarkan bulu-bulu yang tercabut itu ke arah muka Go-bi Thai-houw, sedangkan dorongan telapak tangan Cui Im ke dadanya dia terima begitu saja.

"Aihhhhhh........!!" Go-bi Thai-houw memekik dan terjengkang ke belakang, mukanya, mata dan hidungnya tertusuk bulu-bulu kebutannya sendiri. Ia berkelojotan di atas lantai, berusaha bangun dan jatuh lagi.

"Ayaaaaa.........! Cui Im terkejut bukan main ketika tiba-tiba tangannya melekat pada dada Keng Hong dan merasa betapa sinkangnya membanjir keluar melalui tangannya ke dalam tubuh lawan.

"Celaka.........!" Cui Im mengeluh dan berdaya sekuatnya untuk menarik kembali tangannya, namun makin keras ia berusaha, makin banyak sinkangnya molos keluar.

Go-bi Thai-houw yang sudah sekarat karena bulu-bulu kebutan itu menusuk muka sampai ke dalam kepalanya, mendengar teriakan Cui Im tiba-tiba bangkit dan kebutan biru di tangannya menotok ke arah leher Keng Hong yang pada saat itu sedang mengerahkan tenaga mujijat untuk mengalahkan Cui Im

"Cukkk....... ahhhh........!" Keng Hong terhuyung dan otomatis tangan Cui Im terlepas. Cui Im meloncat ke belakang, terpaksa meninggalkan pedangnya yang masih menempel di pedang Siang-bhok-kiam. Secepat kilat otaknya mencari akal untuk menyelamatkan diri karena dia melihat betapa dengan gerakan tangan kanannya, pedang merah rampasan itu meluncur lepas dari Siang-bhok-kiam dan menusuk leher Go-bi Thai-houw sampai tembus. Nenek iblis itu roboh dan tak bergerak lagi, kepalanya tidak menyentuh tanah karena ujung pedang merah menancap di lantai, mengganjal kepalanya dengan leher tertembus! Cui Im tidak menyerang lagi, melainkan meloncat cepat ke sebelah dalam gedung.

"Anak kita........!!!" Biauw Eng menjerit. Dia cerdik dan maklum akan niat hati Cui Im, maka bagaikan seekor harimau terluka, ia lupa akan luka-luka di tubuhnya dan melesat ke depan, mengejar. Keng Hong yang masih setengah lumpuh ketika mendengar teriakan isterinya ini, juga cepat melesat dan mengejar Cui Im.

Cong San dan Yan Cu kini dikurung dan mengamuk dikeroyok banyak sekali pengawal. Pedang rampasan mereka bergerak dan membentuk dua gulungan sinar membuat setiap orang pengeroyok roboh jika terlalu dekat.

***

Biarpun dengan hati penuh kegelisahan akan keselamatan anak mereka, Biauw Eng dan Keng Hong melakukan pengejaran secepat mungkin, sukarlah bagi mereka untuk dapat menyusul Cui Im karena mereka kurang mengenal jalan. Cui Im menyelinap dari ruangan ke ruangan lain, keluar masuk lorong dan kamar sehingga kedua orang yang membayanginya itu selalu tertinggal di belakang.

"Cui Im, jangan ganggu anakku!" Biauw Eng menjerit.

"Cui Im, demi Tuhan, bebaskan anak kami dan aku akan mengampunimu lagi!" Keng Hong juga berteriak. Setelah kini mereka semua bebas, tentu saja Keng Hong tidak menghendaki anaknya menjadi korban sendiri.

"Hi-hi-hik, biar aku mati, hatiku akan puas kalau sudah menyembelih anak kalian!" Cui Im tertawa sambil terus berlari.

"Ha-ha-heh-heh-heh, kalian terlambat!" Cui Im melompat masuk ke dalam sebuah kamar. Ketika Biauw Eng dan Keng Hong yang pucat mukanya itu menerjang masuk, kamar itu kosong dan Cui Im lenyap!

Cepat kejar dia......... ohhh........!" Biauw Eng terisak dan mereka menerobos masuk melalui pintu belakang kamar itu yang ternyata menembus ke sebuah ruangan lain.

Tiba-tiba Keng Hong memegang tangan Biauw Eng dan memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Mereka berdiri di depan pintu sebuah kamar dan mendengar suara Cui Im dan dalam kamar itu menembus keluar.

"Di mana dia? Di mana.........?"

Terdengar jawaban seorang wanita dengan usuar gemetar, "Ampun, Toanio...... hwesio tua itu....... tadi merampasnya dan membawanya pergi............"

"Apa........?!?" Dan aku membiarkan anak itu dibawa pergi?"

"Ampunkan hamba....... hamba........... tidak tahu bagaimana, tahu-tahu anak itu melayang dari pondongan hamba dan........"

Terdengar jerit mengerikan dan Keng Hong bersama Biauw Eng sudah menerjang pintu kamar itu sehingga roboh. Mereka melihat Cui Im berdiri membalikkan tubuh memandang mereka dan di situ menggeletak tubuh wanita pelayan dengan kepala pecah! Hati Keng Hong dan Biauw Eng lega bukan main. Meraka tahu bahwa tentu Tiong Pek Hosiang yang telah membawa pergi anak mereka!

"Cui Im, iblis betina, engkau hendak lari ke mana sekarang?" Biauw Eng membentak dan sabuk sutera merah muda di tangannya bergerak melayang ke atas lalu meluncur ke arah kepala Cui Im.

"Kalian ampunkan aku......." tiba-tiba Cui Im menangis, "aku.......... aku melakukan semua itu karena aku........ aku cinta kepadamu, Keng Hong.........!" Ucapan ini membuat Biauw Eng menjadi makin marah. Sabuknya menyambar turun dan ketika Cui Im mengangkat kedua tangannya menangkap ujung sabuk sutera, Keng Hong maklum bahwa bahaya besar mengancam isterinya. Ia cepat melontarkan Siang-bhok-kiam ke arah Cui Im dengan gerakan yang amat cepat. Pada saat itu, ujung sabuk sutera telah membelit kedua tangan Cui Im yang terangkat ke atas dan melesatnya Siang-bhok-kiam tak dapat dielakkan lagi oleh Cui Im yang tenaga sinkangnya sudah banyak berkurang , akibat terkena ilmu Thi-khi-i-beng dari Keng Hong tadi.

"Cappppp...........!!!" Pedang Siang-bhok-kiam tepat menusuk ulu hati Cui Im, menembus ke belakang dan tenaga lontaran itu membuat tubuh Cui Im terlempar ke belakang sampai ujung pedang menancap di tembok kamar di mana tubuh itu terpaku!

Keng Hong berdiri terbelalak, mukanya pucat sekali memandang ke arah Cui Im. wanita itu memandang kepada Keng Hong dan darah menetes dari dada dan mulutnya, akan tetapi ia masih sempat berkata,

"Aku....... aku cinta padamu, Keng Hong.........!" Kepalanya terkulai dan nyawanya melayang.

Biauw Eng melirik ke arah suaminya, melihat dua titik air mata menetes turun ke pipi suaminya, ia menggerakkan sabuk yang terlepas dari kedua tangan Cui Im, ujung sabuk menyambar ke depan, melibat gagang Siang-bhok-kiam kemudian mencabutnya. Siang-bhok-kiam dibawa melayang ke depan Keng Hong yang menerima dengan mata masih terus menatap tubuh Cui Im yang kini roboh terguling dan terlentang di atas lantai.

"Mari kita membantu Yan Cu!" Biauw Eng berkata agak ketus dan barulah Keng Hong sadar, memandang isterinya. Ia melihat sinar mata berkilat dari isterinya, maka dia cepat berkata,

"Maafkan aku, isteriku. Aku hanya teringat dia sebagai bekas sumoiku, pewaris kepandaian suhu........"

Keduanya lalu melompat keluar dan menyerbu ke dalam ruangan di mana Yan Cu dan Cong San masih mengamuk. "Kita keluar dari sini! Cepat!!" Keng Hong berkata dan membuka jalan darah dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangannya. Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengikutinya dan sepak-terjang mereka yang hebat itu membuat para pengeroyok cerai-berai dan jerih. Tak lama kemudian, empat orang itu sudah lari ke luar dari kota, dikejar pasukan pengawal yang dipimpin oleh Coa-taijin sendiri.

Akan tetapi, setibanya di luar tembok kota, tampak datang sebuah pasukan dari selatan.Coa-taijin terkejut ketika mengenal pembesar atasannya, maka cepat dia menyambut. Kiranya pasukan itu adalah pasukan seorang panglima dari kota raja yang datang untuk mengadili Coa-taijin karena menerima laporan Tiong Pek Hosiang bahwa kepala daerah Sun-ke-bun telah bersekutu dengan para bajak sungai, Coa-taijin menjadi tawanan dan dibawa ke kota raja dalam sebuah gerobak kerangkeng dan di sepanjang jalan disambut dan disoraki rakyat yang sudah lama tertindas pembesar lalim itu.

Mereka berempat berhenti berlari di sebuah hutan yang sunyi, terengah-engah dan saling pandang. Keng Hong memandang Cong San yang berdiri seperti patung dan menundukkan kepala, lalu pendekar ini menarik napas panjang, menghampiri isterinya dan tanpa bicara dia lalu menaruh obat di luka isterinya, membalutnya dengan robekan jubahnya.

Sejenak Yan Cu berdiri mengatur napas yang memburu, memandang suaminya, kemudian ia melangkah maju mendekat suaminya, tanpa mempedulikan luka-lukanya sendiri, mengeluarkan bubuk obat dari ikat pinggangnya dan hendak mengobati luka di pundak suaminya. Akan tetapi baru saja tangannya menyentuh pundak, Cong San mengangkat muka memandang, mukanya pucat, kedua matanya mencucurkan air mata dan dia melompat ke belakang.

"Jangan sentuh aku.........!!"

Yan Cu terkejut dan berdiri memandang terbelalak. Keng Hong dan Biauw Eng menoleh dan memandang dengan alis berkerut, kemudian Keng Hong membentak dengan marah,

"Cong San! Apakah engkau masih tetap gila??"

Dengan muka menunduk Cong San menjawab, suaranya terisak menangis, "Memang aku gila dan masih gila, aku tidak layak........ tidak layak.......!" ia tersedu.

Yan Cu melangkah maju, kedua pipinya basah air matanya yang mengalir turun.

"Engkau suamiku........, aku tidak sakit hati akan semua yang telah terjadi. Mari kuobati lukamu, Koko......."

Kembali Cong San melompat ke belakang. "Jangan.......! Jangan.........kausentuh aku........ aku.......... aku tidak tahan lagi......... aku terlalu kotor........ tak layak kau sentuh.......... kau terlalu suci dan aku......... tanganmu akan menambah penderitaan batinku. Aku......... aku manusia laknat, anjing pun terlalu bersih untuk mendekatiku........"

"Koko......... engkau suamiku..........!" Yan Cu menangis dan akan menubruk, akan tetapi Cong San mengelak dan melompat mundur.

"Jangan.........! Demi Tuhan.......... jangan sentuh aku atau engkau pun akan menjadi kotor. Aku......... dosaku tak mungkin dapat diampuni oleh siapapun......!" Cong San menangis tersedu-sedu seperti anak kecil dan dia menjambak-jambak rambutnya. Keng Hong hendak meloncat, akan tetapi ditahan oleh Biauw Eng yang memberi isyarat dengan mata agar suaminya diam saja dan tidak mencampuri urusan itu.

"San-koko......... ingatlah. Aku Gui Yan Cu, telah bersumpah menjadi isterimu. Aku isterimu, sejak dahulu sampai selamanya........ aku cinta padamu dan aku tidak menaruh dendam atas segala kesalahfahaman......."

"Kesalahfahaman? Aihhh, kalau saja benar demikian. Tidak.....! Tidaaaaaak......!! Aku telah buta, gila oleh cemburu! Aku telah menghina, menyiksa hatimu. Aku telah menuduh secara keji......... aku......... aku tidak layak kausentuh......... tidak layak untuk hidup lagi........!"

Seperti orang gila, rambutnya awut-awutan, mukanya basah air mata, tiba-tiba Cong San mencabut pedang rampasannya tadi.

***

"Suamiku.......! Jangan.......! Jangan lakukan itu........! Ingat anak kita........., Kun Liong..........!!" yan Cu menjerit daan meloncat ke depan hendak merampas pedang. Akan tetapi Cong San kembali meloncatmenjauhi dengan pedang telanjang di tangan, sikapnya tidak seperti orang waras lagi.

Jangan halangi aku! Jangan menambah dosa dan penderitaanku! Biarkan aku mati, aku tidak patut menjadi suamimu, tidak patut menjadi ayah Kun Liong, tidak patut menjadi sahabat Keng Hong! Tidak patut hidup lagi........., aku manusia iblis..........!"

Tiba-tiba Yan Cu mencabut pedang rampasannya pula. "Begitukah?? Kau nekat untuk memilih mati? Baiklah, suamiku. Aku sebagai isteri harus mentaati semua kehendakmu, dan sebagai isteri yang setia dan mencinta, aku harus mengikutimu ke manapun engkau pergi. Biarlah aku pergi dahulu untuk mencarikan jalan..........." Setelah berkata demikian, Yan Cu menggerakkan pedangnya, membacok ke arah lehernya sendiri!

"Trangg!!!" Pedang di tangan Yan Cu terlepas dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut, menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis. Cong San yang menangkis pedang isterinya sekuat tenaga berdiri seperti patung, pucat sekali mukanya, kemudian dia meloncat ke belakang dengan berkata, suaranya gemetar penuh penyesalan, "Yan Cu, menyebut namamu saja sudah tidak layak bagiku. Jangan kau bersikap seperti ini, karena hal itu menambah perihnya hatiku, menambah besarnya dosaku. Dosaku bertumpuk-tumpuk terhadap dirimu yang suci, dan percayalah, aku tidak ingin melihat engkau menderita lagi hanya karena aku, seorang manusia yang tidak berharga sama sekali. Aku harus mati, dan hanya jalan ini saja yang akan membebaskanmu daripada ikatan seorang suami yang tidak berharga sama sekali. Selamat tinggal!"

"Suamiku.........!!!" Yan Cu menjerit, namun Cong San sudah menusukan pedang ke arah dadanya sendiri.

"Trakkk!" Pedang Cong San patah dan terpental, bahkan dia sendiri terhuyung. Demikian hebat tangkisan Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, saking marahnya pendekar ini.

"Keng Hong, mengapa........ mengapa.........?" Cong San menegur, penuh keheranan melihat orang yang telah dikhianatinya, yang telah difitnahnya, telah diserang, dimaki dan dihinanya, bahkan hampir dibunuhnya itu menghalangi dia membunuh diri.

"Pengecut laknat!!" Keng Hong menyarungkan pedangnya dan membentak marah. "Setelah melakukan hal yang memalukan dan gila, kini engkau takut menghadapi akibatnya, takut menghadapi penyesalah sehingga ingin melarikan diri dengan kematian yang pengecut dan menjijikan. Beginikah seorang laki-laki? Kau patut dihajar!"

"Plakkkk!" Tamparan Keng Hong mengenai pipi Cong San, membuat dia terpelanting roboh. Cong San terkejut sekali dan ketika dia mencoba untuk bangkit, sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang lagi. Namun Cong San meloncat bangun dan tertawa.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Terima kasih, Keng Hong. Hajarlah aku! Bunuhlah aku untuk membalas kejahatanku terhadapmu, agar ringan hatiku, ha-ha-ha!"

"Laki-laki keparat dan pengecut! Mestinya engkau minta ampun kepada Yan Cu sumoi, mestinya engkau menebus dosa dengan membahagiakan dia, sebaliknya engkau malah hendak menghancurkan harapannya. Setan! Plak! Plak!" Dua tamparan membuat Cong San terguling lagi dan kedua pipinya sudah bengkak-bengkak membiru. Keng Hong mengejar dan terus menamparinya sampai tubuh Cong San terguling-guling dan terhuyung ke kanan kiri.

"Jangan serang suamiku!!" Tiba-tiba Yan Cu seperti seekor singa betina diganggu anaknya, meloncat dan mencengkeram pundak Keng Hong menarik tubuh Keng Hong ke belakang lalu menghantam dada Keng Hong penuh kemarahan.

"Bukkk!!"

Keng Hong terjengkang ke belakang!

"Yan Cu, jangan........!!" Cong San kaget sekali dan cepat menubruk isterinya yang masih hendak menyerang Keng Hong.

Keng Hong meloncat bangun. Itulah yang dikehendakinya dan kini dia berkata,

"Nah, buka matamu lebar-lebar, Yap Cong San! Isterimu demikian setia, demikian mencintamu sehingga rela dia melindungimu dan memukul suheng sendiri! Apakah untuk seorang isteri yang begini bijaksana, begini mencinta, engkau masih ingin menghancurkan harapan dan kebahagiaannya?"

Mengertilah kini Cong San mengapa Keng Hong tadi menghajarnya. Sama sekali bukan untuk membalas penghinaannya, melainkan untuk memancing kemarahan Yan Cu yang setia. Ia terisak, air matanya bercucuran, lalu memeluk Yan Cu dan berkata,

Isterinya, kau........ kau......... sudi mengampuni dosa-dosaku.........?"

"San-koko........! Suamiku.........! Yan Cu balas memeluk dan menangis terisak di dada suaminya.

Cong San menciumi isterinya, kemudian menarik isterinya maju berlutut. Ia menjatuhkan diri di depan Keng Hong sambil berkata terputus-putus, "Taihiap........ aku........ aku mohon ampun.......... ampunilah semua kesalahanku..........!"

Keng Hong mengejap-ngejapkan mata menahan air matanya, lalu mengangkat bangun kedua orang itu, lalu dirangkulnya. "Cong San, aku tidak pernah benci kepadamu karena aku tahu betapa jahatnya perasaan cemburu kalau sudah menguasai hati manusia. Dan jangan menyebut Taihiap segala........ kita masih sahabat seperti dahulu, bahkan keluarga........"

"Keng Hong.........!" Cong San merangkul pendekar sakti itu dan menangis seperti anak kecil. Yan Cu merangkul Biauw Eng yang menghampiri mereka dan kedua orang wanita ini pun bertangis-tangisan, tangis penuh rasa haru dan bahagia.

"Cong San, mintalah ampun kepada isterimu." Keng Hong berbisik dekat telinga sahabatnya. Cong San merenggangkan diri, memandang wajah Keng Hong dan mengangguk, kemudian dia menghampiri Yan Cu yang masih berpelukan dengan Biauw Eng.

"Isteriku, Yan Cu........"

Dua orang wanita itu saling melepas rangkulan dan Biauw Eng segera meninggalkan Yan Cu menghampiri suaminya sambil menghapus air mata dengan sabuk merah muda milik Yan Cu yang tadi dipergunakan sebagai senjata.

Cong San dan Yan Cu saling berpandangan. Yan Cu menggerakan bibirnya yang menggigil dan mencoba tersenyum, akan tetapi air mata tetap menitik turun.

"Yan Cu, aku mohon ampun kepadamu......." Tiba-tiba Cong San yang teringat akan kata-kata Keng Hong ketika mereka tertawan, menubruk kaki isterinya dan menciumi ujung sepatu Yan Cu, mencuci sepatu yang kotor berlumpur itu dengan air mata dan bibirnya!

Yan Cu sejenak mengangkat muka ke atas, matanya terpejam, kedua lengan berdekapan seperti mengucap terima kasih kepada langit, akan tetapi tubuhnya bergerak-gerak terayun dan tentu roboh pingsan kalau saja Cong San tidak cepat meloncat dan memeluknya.

"Suamiku........ kau tertipu orang........."

"Tidak, kau harus mengampuni aku, isteriku, barulah tercuci penyesalan di hatiku........"

"San-ko, aku ampunkan engkau.......... suamiku..........."

"Terima kasih, terima kasih, isteriku........."

Setelah keharuan mereka mereda dan saling menghujankan peluk cium pelepas rindu dendam yang selama ini menjadi jurang pemisah oleh cemburu, mereka saling mengobati luka masing-masing dengan muka masih basah melepas isak yang menyesak dada.

"Omitohud, di mana-mana manusia menangis........" Meraka berempat memandang dan kiranya yang mengucapkan kata-kata itu adalah seorang hwesio tua tinggi besar berkulit hitam, bermata lebar dan memondong seorang anak laki-laki. Di sebelah kanannya terdapat seorang hwesio tua lain, yang juga memondong seorang anak perempuan. Kedua anak itu tadinya tertidur, akan tetapi kini mereka terbangun dan seperti dikomando, keduanya menangis!

"Kun Liong.........!" Yan Cu cepat lari dan menerima puteranya dari pondongan Thian Kek Hwesio. yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai

"Giok Keng........!" Biauw Eng juga lari menerima puterinya dari pondongan Thian Lee Hwesio. Kedua orang ibu muda itu lalu menyusui anak masing-masing yang segera terdiam dan menyusu dengan lahapnya.

"Omitohud........! Di antara semua tangis, hanya tangis kedua orang anak ini, seperti tangis semua anak-anak lain di dunia, yang murni dan suci! Mereka menangis dengan wajar, tidak sedikit pun dicampuri perasaan hati dan pikiran. Betapa beningnya dan merdu tangis mereka, betapa bedanya dengan tangis orang-orang tua yang pinceng dengar. Kalian menangis karena penyesalan, terharu dan bahagia."

"Suheng........" Cong San menjatuhkan diri berlutut. "Di mana suhu.........?"

"Yap-sicu, harap ingat bahwa Sicu bukanlah murid Siauw-lim-pai. Suhumu menitipkan anak-anak inikepada pinceng dan karena pinceng tidak menghendaki Siauw-lim-pai terbawa-bawa oleh urusan orang luar, terpaksa pinceng menyusulkan mereka ke sini. Suhumu juga menangis sedih ketika pinceng pergi. Ahhh, dunia penuh dengan tangis-tangis manusia!"

Cong San terkejut sekali. "Suhu.......... menangis............?"

Thian Kek Hwesio menarik napas panjang, mengangguk. "yap, dia menangis karena terpaksa membantu kalian melakukan pembunuhan-pembunuhan. Tiada pilihan lain baginya, tidak menolong berarti kalian terbunuh, menolong berarti kalian membunuh. Sungguh pilihan yang amat sulit bagi orang tua itu dan makin membuka mata batin bahwa dunia ini penuh dengan makhluk-makhluk paling buas yang selalu saling bermusuhan dan saling membunuh, yaitu manusia!"

"Akan tetapi, Locianpwe!" Biauw Eng membantah. "Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang yang jahat! Cui Im dan kaki tangannya adalah manusia-manusia iblis yang patut dibasmi!"

Sepasang mata yang lebar itu memandang tajam. "Pendirian seperti itulah yang menimbulkan segala permusuhan. Menentang! Kata-kata itu seharusnya lenyap dari batin setiap manusia, kalau manusia ingin hidup di dalam dunia yang aman dan damai. Sekali mengambil sikap menentang, berarti menanam permusuhan. Menentang yang jahat? Apakah yang jahat itu? Apakah yang baik itu? Bukankah yang mengatakan baik atau jahat itu sang aku yang mendasarkan pendapatnya dengan rugi untung? Kalau sang aku diuntungkan lahir maupun batinnya, maka baiklah bagi sang aku. Kalau dirugikan, maka jahatlah bagi sang aku. Wahai orang-orang muda, mulai saat ini belajarlah kalian, belajar mengenal diri pribadi. Kenalilah bahwa yang kalian sebut Aku itu bukanlah aku yang sejati, melainkan aku yang palsu, aku yang sebetulnya hanyalah kedok belaka daripada nafsu badani! Aku yang palsu, kedok nafsu badani selalu penuh gairah hendak menyenangkan dan memuaskan badan yang tak kunjung puas seperti sebuah gentong yang dasarnya berlubang, tak mungkin dapat terpenuhi dan selalu kosong dan haus. Semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan AKU yang sejati. Manusia menjadi hamba daripada nafsunya sendiri sehingga seperti buta oleh loba dan tamak, mementingkan sang aku. Aku jangan diganggu, manusia lain sedunia masa bodoh. Milikku jangan diganggu, milik manusia lain sedunia masa bodoh. Dan karena setiap orang manusia yang menjadi hamba dari sang aku palsu ini, maka timbullah pertentangan dan mengakibatkan permusuhan, benci-membenci, dendam-mendendam, tipu-menipu, sakit-menyakiti dan bunuh-membunuh. Karena itulah maka Tiong Pek Hosiang menangis dalam kamar samadhinya!" Kakek itu menengadah dan menarik napas panjang.

"Suheng........ eh, Locianpwe, setelah saya sadar, setelah saya mendapat pengampunan dari isteri saya, sudilah Locianpwe menjelaskan mengapa saya sampai dapat menjadi gila oleh cemburu, padahal saya amat mencinta isteri saya?" Cong San yang melihat hwesio itu hendak pergi, cpat menahannya dengan pertanyaan ini.

Hwesio itu memenamkan kedua matanya, seolah-olah hendak mohon penerangan dari alam, kemudian terdengar dia berkata,

"Nafsu badani yang berkedok AKU amatlah berbahaya dan kuat! Semua sifat baik dapat dikotorinya dan dipalsukannya. Bahkan cinta kasih yang murni, sifat termulia di antara segala sifat, dapat pula dipalsukan dan dikotorkan! yap-sicu, pinceng percaya bahwa Sicu mencinta isterimu, dengan cinta kasih yang murni, namun Sicu terpedaya oleh sang aku. Yang menciptakan cemburu bukanlah cinta kasih yang murni, melainkan nafsu sayang diri yang berkedok sang aku itulah! Cinta kasih murni membuat orang ingin melihat yang dicintanya berbahagia, bukan? Apakah Sicu mempunyai keinginan di hati untuk melihat isteri Sicu bahagia hidupnya?" Cong San mengangguk. "Tentu saja, Locianpwe."

***

lanjut ke Jilid 103-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar