Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 31

Si Tangan Sakti Jilid 31

31

Demikianlah, malam itu mereka lewatkan dengan beristirahat dan menghimpun tenaga karena siapa tahu, besok mereka akan menghadapi musuh dan bahaya yang harus ditentang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Hun, Bi Kim dan lima orang tosu Bu-tong-pai telah mendaki Bukit Naga. Mereka bergerak cepat akan tetapi dengan hati-hati sekali dan tosu-tosu itu yang memimpin pendakian karena mereka lebih mengenal daerah itu daripada kedua orang muda yang baru pertama kali itu berkunjung ke situ.
Akan tetapi gerak-gerik tujuh orang ini tidak terlepas dari pengintaian anak buah Thian-li-pang. Ouw Seng Bu maklum bahwa sebelum pemuda yang datang bersama Sian Li dan Hui Eng itu tertangkap, tentu Thian-li-pang akan terancam bahaya, apalagi ketika dia mendengar dari Siangkoan Kok bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran Mancu!
Maka dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan tersembunyi dan siang malam harus melakukan pengamatan terhadap seluruh permukaan bukit itu.
Karena itu begitu tujuh orang itu mendaki bukit, para anak buah Thian-li-pang telah mengetahuinya dan diam-diam setiap gerak-gerik mereka telah diamati dan diikuti.
Sementara itu, di dalam rumah tahanan Cu Kim Giok kembali datang mengunjungi dua orang tawanan, Hui Eng dan Sian Li. Kini Sian Li telah dapat menekan kemarahan hatinya dan melihat munculnya Kim Giok, ia bertanya, suaranya tenang saja.
“Kim Giok, apalagi yang hendak kaukatakan kepada kami?”
“Sian Li, engkau melihat sendiri betapa Thian-li-pang bersikap baik kepada kalian yang bahkan tidak dianggap sebagai musuh, melainkan sebagai tamu. Aku mengharap dengan sepenuh hatiku agar kalian berdua dapat melihat kenyataan bahwa Thian-li-pang sesungguhnya mengharapkan persahabatan dan kerja sama dengan kalian, bukan permusuhan.”
“Kim Giok, aku sekarang mengerti bahwa engkau saling mencinta dengan Ouw Seng Bu, maka engkau membantu dan membelanya. Aku tidak akan mempersoalkan baik buruknya Ouw-pangcu itu, akan tetapi kalau memang benar Thian-li-pang hendak berbaik dan bersahabat dengan kami, kenapa kami dijebak, dikeroyok dan ditahan di dalam kurungan ini? Kenapa kami tidak dibebaskan saja?
“Sian Li, percayalah, aku sudah minta-minta kepada pangcu agar kalian dibebaskan, akan tetapi dia mengajukan alasan kuat sehingga aku sendiri pun tidak berdaya karena alasannya memang tepat. Dia mengatakan bahwa di dalam perjuangan, kita harus dapat membedakan mena kawan mana lawan. Sekarang ini, kalian memperlihatkan sikap sebagai lawan, kalau kalian dibebaskan, sungguh amat berbahaya bagi perjuangan Thian-li-pang. Kalian lihai, dan kalian dapat mendatangkan bencana kepada kami, kecuali tentu saja kalau kalian suka bekerja sama dengan kami dan sama-sama berjuang menentang pemerintah penjajah Mancu. Karena itu, aku memohon kepada kalian, jangan memusuhi Thian-li-pang, jangan memusuhi Ouw-pangcu, jangan memusuhi kami. Sungguh aku bersumpah, kami tidak mempunyai niat buruk terhadap kalian, hanya ingin mengajak kalian bekerja sama.”
“Cu Kim Giok, tidak perlu engkau membujuk kami, tentu engkau sudah tahu bahwa kami tidak akan sudi bekerja sama dengan golongan sesat. Sebetulnya, melihat engkau membantu Ouw-pangcu, hatiku tidak rela, dan aku tidak ingin lagi bicara denganmu. Akan tetapi mengingat ayah ibumu, orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, aku minta engkau berterus terang mengenai satu hal. Benarkah Yo Han telah tewas di sumur tua itu?”
Kim Giok menghela napas panjang. Jawaban itu memang sudah diduganya. Akan tetapi bagaimanapun juga, apa pun yang terjadi, ia akan tetap membela Seng Bu karena ia sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.
“Sian Li, dengan menyesal sekali terpaksa kukatakan bahwa memang benar Yo Han tewas di dalam sumur,” katanya lirih dan mendengar keterangan ini, Sian Li menahan jeritnya, mukanya menjadi pucat dan ia berdiri termangu seperti patung, kedua tangan yang dipasangi rantai pada pergelangannya itu menggenggam dan melihat keadaan Si Bangau Merah itu, Hui Eng bertanya kepada Cu Kim Giok dengan suara yang tegas.
“Cu Kim Giok, katakan terus terang, demi nama baik nenek moyangmu yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar Lembah Naga Siluman, apakah engkau melihat sendiri kematian Yo Han itu?”
Kini Cu Kim Giok memandang kepada Hui Eng dengan alis berkerut,
“Hemmm, tidak perlu aku menjawab pertanyaanmu. Engkau sendiri adalah puteri ketua Paobeng-pai yang pernah mengacau dan memusuhi keluarga besar bahkan kemudian menurut ayahmu, engkau menjadi seorang pengkhianat dan anak yang durhaka. Aku mau bicara dengan Tan Sian Li, bukan denganmu!”
“Kim Giok, engkau tidak tahu dengan siapa engkau bicara. Ketahuilah bahwa enci Eng ini adalah Sim Hui Eng, puteri Paman Sim Houw yang hilang itu dan kini ia telah mengetahui siapa dirinya.”
“Ahhh....! “ Cu Kim Giok terkejut. “Kalau.... kalau begitu, kalian berdua harus mau bekerja sama, aku tidak ingin melihat kalian celaka. Aku mohon kepada kalian, terimalah uluran tangan Ouw Pangcu untuk bekerja sama dan berjuang, atau setidaknya, jangan memusuhi kami. Kalau kalian mau berjanji di depan pangcu, aku yang akan menanggung....”
“Sudahlah, Kim Giok. Sebaiknya kau jawab saja pertanyaan enci Hui Eng tadi. Apakah engkau melihat sendiri tewasnya Han-koko di sumur tua itu?” tanya Sian Li tak sabar.
“Ketika Yo Han datang, aku memang melihatnya, bahkan kami berkenalan. Dia pun bicara dengan baik-baik kepada Ouwpangcu, kemudian dia bicara empat mata dengan Ouw-pangcu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi tahu-tahu aku mendapatkan Ouw-pangcu sudah terluka parah terkena pukulan di dadanya, sedangkan para anggauta Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sumur tua, Barulah aku tahu bahwa Ouwpangcu hampir terbunuh Yo Han dan karena bantuan para anak buah, Yo Han dapat didesak dan terjerumus ke dalam sumur. Para anggauta Thian-li-pang menimbuni sumur itu dengan batu karena maklum bahwa kalau Yo Han dapat keluar, tentu akan mengamuk dan semua orang dibunuhi.”
Keterangan bahwa Kim Giok tidak melihat sendiri kematian Yo Han, membuat hati Sian Li merasa lega kembali. Ia tetap tidak percaya bahwa Yo Han telah tewas. Lebih tidak percaya lagi bahwa Yo Han membunuhi para pimpinan Thian-li-pang dan berusaha membunuh Ouw Seng Bu. Ia mengenal pria yang dikasihinya itu. Yo Han tidak mau membunuh orang, apalagi para pimpinan Thianli-pang di mana dia menjadi ketua kehormatan. Tidak masuk di akal semua berita itu, walaupun ia percaya bahwa puteri Lembah Naga Siluman ini tidak berbohong. Tentu gadis ini telah dipengaruhi Ouw Seng
Bu dan tertipu!
Pada saat itu, dua orang pengawal masuk dan berkata kepada Cu Kim Giok dengan sikap hormat, “Nona, pangcu minta agar Nona suka menemuinya di ruangan dalam.” Sikap dan ucapan penjaga itu saja sudah membuktikan bahwa ketua baru Thian-li-pang amat menghormati gadis itu. Ia bukan dipanggil, melainkan diminta!
Cu Kim Giok menoleh kepada dua orang gadis tawanan, kemudian pergi meninggalkan tempat tahanan itu, diikuti dua orang penjaga dengan sikap hormat.
Setibanya di ruangan dalam, Ouw Seng Bu sudah menyambutnya dan kedua orang penjaga itu pun mengundurkan diri.
“Ada urusan apakah, Bu-Ko?” tanya Kim Giok.
“Giok-moi, ada lagi orang-orang yang menyelidiki tempat kita dan kini mereka telah tertangkap.”
“Siapakah mereka?” Kim Giok mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya ia merasa tidak setuju kalau Thian-li-pang menangkapi orang, apalagi kalau mereka yang ditawan itu tokoh-tokoh pendekar seperti Sian Li dan Hui Eng. Kalau sampai Thian-li-pang memusuhi para pendekar dan perkumpulan para pendekar di dunia persilatan, hal itu sungguh tidak baik dan tidak benar. Seluruh keluarganya tentu akan marah dan menyalahkan ia membantu perkumpulan yang memusuhi dunia persilatan dan menawan para pendekar.
“Lima di antara mereka adalah para tosu Bu-tong-pai yang tempo hari dan dua yang lain adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Bagaimana dengan hasil pembicaramu dengan Si Bangau Merah dan puteri Paman Siangkoan Kok tadi?”
Kim Giok mengerutkan alisnya.
“Mereka masih belum mau berbaik, dan puteri Paman Siangkoan Kok itu ternyata adalah puteri dari Paman Sim Houw yang hilang diculik orang ketika masih kecil. Ini menambah gawat keadaan Koko, karena Paman Sim Houw adalah Pendekar Suling Naga yang sakti, pendekar besar tokoh di Lok-yang. Kalau ayah Sian Li, Pendekar Bangau putih dan Pendekar Suling Naga mengetahui puteri mereka ditawan di sini dan memusuhi kita, sungguh amat berbahaya bagimu, Koko. Lalu siapa pula dua orang pemuda dan gadis yang tertawan bersama lima orang tosu Bu-tong-pai itu?”
Ouw Seng Bu kelihatan muram dan berduka. “Giok-moi, sesungguhnya engkau sendiri pun tahu bahwa aku tidak pernah mencari perkara dan tidak pernah memusuhi mereka. Adalah mereka sendiri yang datang memusuhi Thian-li-pang. Aku pun merasa heran mengapa para pendekar itu tidak mau menyadari dan mereka bahkan berpihak kepada kerajaan Mancu, penjajah yang mencengkeram tanah air dan bangsa? Nah, cobalah engkau temui dua orang muda itu dan syukur kalau dapat membujuk mereka dan lima orang tosu, menyadarkan mereka akan pentingnya persatuan antara kita untuk membebaskan rakyat daripada cengkeraman penjajah.”
Kim Giok merasa lemas karena pekerjaan membujuk ini merupakan pekerjaan yang amat berat baginya. Akan tetapi, ia yakin bahwa kekasihnya benar, maka ia pun siap untuk membelanya.
Bagaimana lima orang Bu-tong-pai dan dua orang muda itu dapat tertawan? Seperti kita ketahui, Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu mendaki Bukit Naga untuk melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang yang mereka curigai kebersihannya. Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka telah diikuti oleh para anggauta Thian-li-pang. Seorang di antara para anggauta itu melapor kepada Seng Bu yang segera ditemani Siangkoan Kok, Im-yang-ji dan Kui Thian-cu, juga beberapa orang tokoh sesat lain yang telah bergabung, menyambut rombongan yang mendaki bukit itu.
Sebelum tiba di perkampungan Thian-li-pang, Gak Ciang Hun dan kawan-kawannya secara tiba-tiba saja sudah dikepung oleh puluhan orang Thian-li-pang dan mereka berhadapan dengan Ouw Seng Bu dan kawan-kawannya.
Dengan sikap hormat Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat kepada lima orang tosu dan dua orang muda itu.
“Selamat pagi Ngo-wi To-tiang dan kalian berdua sobat muda. Tidak tahu, entah angin baik apa yang meniup kalian datang ke sini. Kami harap saja Ngo-wi To-tiang telah menyadari bahwa akhirnya kita semua, tidak peduli dari golongan apa, mempunyai tekad yang sama, yaitu bersatu padu menghadapi penjajah Mancu dan mengusir mereka dari tanah air kita.”
Thian-tocu, tokoh Bu-tong-pai yang menjadi pemimpin rombongan tokoh Butong-pai yang lima orang itu, membalas penghormatan Ouw Seng Bu dan berkata dengan sikap dan suara yang dingin, “Ouwpangcu, kami berlima datang kembali bukan dengan maksud untuk menyerah, walaupun kami mengakui bahwa kami telah kaukalahkan dalam pertandingan. Kami bertemu dengan dua orang sahabat muda ini dan kami menemani mereka untuk berkunjung ke Thian-li-pang. Ketahuilah bahwa saudara muda ini adalah saudara Gak Ciang Hun, putera dari mendiang Beng-san Siang-eng, dan ini adalah nona Gan Hi Kim.”
“Ah, kiranya Gak-enghiong yang datang berkunjung. Kami dari Thian-li-pang merasa mendapat kehormatan besar sekali dengan kunjungan Gak-enghiong dan nona Bi Kim. Kami memang sedang menghimpun tenaga dari seluruh penjuru tanah air untuk mengadakan persiapan menyerang penjajah Mancu dan mengusirnya. Kami mendengar bahwa keluarga Gak dari Beng-san merupakan pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan besar yang tentu akan suka bekerja sama dengan kami untuk mengusir penjajah Mancu.”
Gak Ciang Hun sudah mendengar dari para tosu Bu-tong-pai betapa cerdik dan liciknya ketua baru Thian-li-pang itu dan kini begitu bertemu, ketua itu ternyata telah memperlihatkan dua macam kelihaiannya. Pertama, dia serombongannya tiba-tiba saja sudah dikepung, ini berarti bahwa sejak mendaki bukit, mereka telah diketahui dan dibayangi. Dan ke dua, begitu bertemu, ketua itu telah bersikap demikian ramah dan hormat sehingga dia sendiri andaikata belum mendengar dari para tosu, tentu akan terpikat hatinya oleh keramahan pemuda tampan itu. Akan tetapi karena sebelumnya dia sudah mendengar bahwa pemuda ini seorang yang palsu dan dikabarkan telah membunuh Yo Han, dia pun menyambut dingin saja.
“Pangcu, kami sengaja datang ke Thian-li-pang untuk mencari nona Tan Sian Li. Apakah ia berada di sini?”
“Ah, kaumaksudkan Si Bangau Merah? Benar, ia berada di sini, menjadi tamu kehormatan kami. Ia sudah menyatakan setuju untuk membantu kami, untuk bekerja sama menentang penjajah Mancu. Kalau Gak-enghiong ingin bertemu dengannya, mari silakan masuk ke perkampungan kami!” kata Seng Bu dengan wajah cerah berseri.
Mendengar ini, Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tercengang. Jawaban yang tidak mereka sangka sama sekali dan mereka berdua sudah merasa gembira.
“Akan tetapi, Thian-tocu” tosu Bu-tong-pai itu sudah berkata dengan suara lantang.
“Ouw-pangcu, tidak perlu engkau membohongi Gan-taihiap dan kami. Kami sama sekali tidak percaya bahwa nona Tan Sian Li mau bekerja sama denganmu. Kami sudah berjumpa dengannya dan mendengar bahwa engkau telah membunuh Sin-ciang Tai-hiap Yo Han, bagaimana mungkin ia mau bekerja sama denganmu? Kalau kaukatakan bahwa engkau telah menjebaknya dan menawannya, kami akan lebih percaya!”
Wajah Seng Bu berubah merah dan matanya kini mencorong memandang kepada tosu Bu-tong-pai itu. Dia merasa heran bagaimana tosu ini dapat sembuh sedemikian cepatnya, padahal dia tahu benar bahwa tosu ini telah terkena tangan beracun sehingga terluka parah.
“Totiang, kalau pihakmu hendak menjadi antek penjajah Mancu dan tidak mau bekerja sama dengan kami para pejuang patriot bangsa, itu urusanmu. Akan tetapi jangan banyak mulut di sini. Kami pernah mengampuni kalian dan membiarkan kalian pergi. Apakah kini kalian minta mati?”
Perubahan sikap ketua Thian-li-pang ini membuat Gak Ciang Hun yang tadinya tertarik, menjadi terkejut dan tidak senang. Sikap ketua Thian-li-pang itu amatlah aneh. Baru saja wajahnya nampak tampan dan ramah ceria, akan tetapi kini kelihatan begitu bengis, dingin dan sadis, bahkan matanya yang mencorong itu mengandung nafsu membunuh yang mengerikan.
“Ouw-pangcu, agaknya membunuh merupakan pekerjaan biasa bagimu dan mungkin menjadi kegemaranmu. Kalau memang engkau merasa sebagai seorang yang gagah, jangan menyangkal perbuatanmu sendiri dan akui sajalah apa yang telah terjadi dengan nona Tan Sian Li. Kecuali kalau engkau memang pengecut, tidak berani mempertanggung-jawabkan perbuatanmu....”
“Tutup mulutmu, tosu jahanam!” Seng Bu membentak dan dia sudah menggerakkan tangannya menampar ke arah Thian-tocu sambil mengerahkan ilmunya yang dahsyat. Hawa beracun yang amat kuat menyambar ke arah tosu Bu-tong-pai itu.
Melihat ini, Gak Ciang Hun yang mengenal pukulan ampuh, meloncat ke depan dan menangkis dari samping untuk menolong tosu itu.
“Dukkk....!!” Mendapat tangkisan ini, Seng Bu mengeluarkan seruan kaget dan dia mundur dua langkah, akan tetapi Gak Ciang Hun lebih kaget lagi karena dia sempat terhuyung! Padahal, putera pendekar kembar Gak ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, pernah menerima pemindahan tenaga sinkang dari kakeknya, mendiang Bun-beng Lo-jin Gak Bun Beng! Akan tetapi, ketika menangkis, dia merasa betapa dari tangan ketua Thianli-pang itu menyambar hawa dingin yang aneh sekali, yang membuat dia sampai terhuyung.
“Pangcu dari Thian-li-pang, kalau memang ucapan Thian-tocu Totiang tadi tidak benar, engkau berhak menyangkal, akan tetapi kalau benar, memang sepatulnya engkau berterus terang, bukan lalu menyerang seperti yang kaulakukan tadi! “ Ciang Hun menegur.
Senyum iblis muncul di mulut Ouw Seng Bu.
“Heh-heh-heh, kami menerima kalian sebagai sahabat, akan tetapi kalau kalian menghendaki kekerasan baiklah. Seperti yang kami lakukan terhadap Si Bangau Merah, kami menawarkan persahabatan dan kerja sama, akan tetapi kalau kalian menolak dan bersikap memusuhi kami, terpaksa kami harus menawan kalian seperti yang telah kami lakukan terhadap Si Bangau Merah!”
Mendengar ini, Ciang Hun mengecutkan alisnya.
“Pangcu, kami tidak menghendaki persahabatan, juga tidak mencari permusuhan. Akan tetapi kalau engkau telah menawan nona Tan Sian Li, kami menuntut agar engkau suka membebaskannya sekarang juga.
“Heh-hah, bagaimana kalau kami tidak mau membebaskannya?”
“Ouw Seng Bu, kalau engkau tidak mau membebaskan Tan-lihiap, kami akan mengadu nyawa denganmu!” bentak Thiantocu marah. Lima orang tosu Bu-tongpai itu sudah mencabut pedang mereka, siap untuk bertanding mati-matian untuk menolong Si Bangau Merah.
“Ouw-pangcu, kami harap engkau suka membebaskan nona Tan Sian Li, agar kami tidak harus menggunakan kekerasan.”
Siangkoan Kok yang sejak tadi mendengarkan saja, kini menjadi tidak sabar.
“Pangcu, serahkan saja kepadaku untuk menelikung pemuda sombong ini!”
“Dan lima orang tosu Bu-tong-pai ini serahkan kepada kami!” kata Kui Thiancu dan Im Yang-ji.
Ouw Seng Bu mengangguk dan para pembantunya itu segera bergerak menyerang. Lima orang tosu Bu-tong, Ciang Hun dan Bi Kim menggerakkan senjata mereka menyambut dan terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Baru tiga orang pembantu Seng Bu itu saja, bekas ketua Pao-beng-pai, wakil Pek-lian-kauw dan wakil Pat-kwa-pai sudah merupakan lawan berat bagi lima orang tosu dan banyak anggauta Thian-li-pang tingkat tinggi yang melakukan pengeroyokan.
Akan tetapi, bagaimanapun juga Gak Ciang Hun adalah keturunan pendekar sakti, permainan pedangnya mantap dan kuat, tenaga sin-kangnya pun mampu menandingi lawan yang manapun sehingga Siangkoan Kok yang menandinginya, tidak dapat mendesaknya dengan cepat. Gan Bi Kim juga terdesak hebat oleh Kui Thian-cu yang mengejeknya, lima orang tosu kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak anak buah Thian-li-pang.
Melihat betapa Siangkoan Kok belum juga mampu menundukkan Ciang Hun, Seng Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia tahu bahwa bekas ketua Pao-beng-pai itu cukup tangguh dan tidak akan kalah, akan tetapi dia tidak ingin perkelahian itu berlangsung terlalu lama.
Kalau sampai Kim Giok mengetahui, gadis itu tentu akan merasa tidak senang. Juga tidak baik kalau mereka ini sampai terbunuh. Kalau dia dapat membujuk orang-orang yang lihai itu untuk bersekutu dengannya, hal itu akan amat menguntungkan dan memperkuat kedudukannya. Maka, dia pun segera meloncat ke depan dan menyerang Gak Ciang Hun dengan totokan jari tangannya, menggunakan ilmunya yang aneh, akan tetapi membatasi tenaganya agar jangan sampal melukai berat atau membunuh pemuda itu.
Dengan lengking yang aneh menyeramkan, Seng Bu menyerang dan Ciang Hun yang menghadapi Siangkoan Kok saja sudah merasa sibuk karena ilmu kepandaian kakek tinggi besar itu memang hebat, kini merasa ada sambaran angin dingin dari samping. Dia mengelak ke kiri dan pada saat itu, Siangkoan Kok menyerangnya dengan pedang, dibarengi pula dengan tamparan tangan kiri. Ciang Hun menangkis pedang lawan, memutar tubuh dan menyambut tamparan tangan kiri lawan itu dengan tangan kirinya pula.
“Trang.... plakkk!” Kedua tangan itu bertemu dan melekat dan pada saat itu, totokan kedua yang dilakukan Seng Bu tiba. Ciang Hun tidak mampu menghindar lagi dan dia pun roboh lemas terkena totokan ampuh jari tangan Seng Bu.
“Tangkap mereka, jangan bunuh!” teriaknya dan teriakan Seng Bu ini menolong. Gan Bi Kim yang sudah terdesak, juga lima orang tosu itu, akhirnya roboh dan hanya lima orang tosu itu yang luka-luka, namun bukan luka yang terlalu parah, sedangkan Gan Bi Kim juga roboh terkena totokan Im Yang-ji.
Demikianlah, lima orang tosu Bu-tong-pai, Ciang Hun, dan Bi Kim tertawan oleh Thian-li-pang dan mereka dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang cukup lebar, tidak dirantai seperti halnya Sian Li dan Hui Eng, akan tetapi kamar tahanan itu berjeruji tebal dan kokoh kuat, sedangkan di depannya terdapat penjagaan yang ketat terdiri dari belasan orang anak buah Thian-li-pang.
***
Ketika Cu Kim Giok berdiri di depan jeruji kamar tahanan itu dan melihat Ciang Hun, wajahnya berubah agak pucat dan matanya terbelalak. Ia tidak begitu peduli melihat lima tosu Bu-tong-pai, Juga ia tidak mengenal gadis cantik yang ikut tertawan di kamar itu, akan tetapi ia segera mengenal Gak Ciang Hun yang pernah dijumpainya di dalam pesta pertemuan keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng Liong.
“Kau....?” serunya kaget. “Bukankah engkau.... saudara Gak Ciang Hun....?”
Ciang Hun memandang dingin. Dia sudah mendengar dari para tosu Bu-tong-pai tentang gadis itu.
“Hemmm.... dan engkau Cu Kim Giok, puteri paman Cu Kun Tek dan bibi Pouw Li Bian dari Lembah Naga Biluman. Sungguh mengherankan sekali melihat engkau di sini menjadi kaki tangan seorang jahat seperti Ouw Seng Bu, pangcu baru dari Thian-li-pang.”
Wajah Kim Giok berubah kemerahan.
“Gak-twako!” serunya dengan nada protes.
“Agaknya engkau pun sudah dipengaruhi lima orang tosu yang sombong ini. Ouw Seng Bu bukanlah seorang jahat. Dia ketua Thian-li-pang yang berjiwa pahlawan dan yang bertekad untuk mengusir penjajah Mancu dari tanah air!”
“Pahlawan yang bergaul dengan para penjahat dan golongan sesat dari Peklian-kauw dan Pat-kwa-pai? Bukan orang jahat akan tetapi membunuh Sin-ciang Tai-hiap Yo Han, membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, bahkan menawan Tan Sian Li? Dan engkau masih mengatakan dia tidak jahat?”
“Gak-twako, engkau salah mengerti! Yang membunuh para pimpinan Thianli-pang adalah Yo Han, bahkan dia hendak membunuh Ouw-pangcu. Adapun Tan Sian Li terpaksa ditawan karena ia hendak membunuh Ouw-pangcu dan mengamuk. Juga Ouw-pangcu yang hampir dibunuh Yo Han sampai terluka parah, dan Yo Han terjerumus ke dalam sumur tua karena dikeroyok para anggauta Thianli-pang yang membela ketuanya. Tentang pergaulan dengan para tokoh kang-ouw, hal ini adalah karena kita semua bersatu padu menghimpun kekuatan untuk menentang penjajah Mancu! Kalau tidak bersatu dengan semua golongan bagaimana mungkin penjajah Mancu dapat diusir dari tanah air? Harap engkau dapat memaklumi, Gak-twako. Dan sekali kalau engkau, enci ini, dan para tosu Bu-tong-pai suka bekerja sama dengan kami, berjuang bahu-membahu menentang penjajah Mancu.”
“Cukuplah, kami tahu bahwa engkau telah terbius oleh racun yang diberikan Ouw Seng Bu kepadamu sehingga engkau tidak lagi dapat melihat kenyataan, tidak dapat lagi, membedakan yang benar dan yang salah.” kata Ciang Hun marah.
“Sudahlah, Nona, pergilah dan jangan ganggu kami. Bujuk rayumu itu tidak ada gunanya. Kami hanya merasa menyesal sekali bahwa seorang gadis keturunan keluarga Lembah Naga Siluman seperti Nona ini sampai dapat ditipu dan dibius oleh seorang penjahat gila seperti Ouw Seng Bu!” kata Thian-tocu.
Kim Giok tidak dapat menahan lagi mendengar semua itu. Ia membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu, wajahnya merah dan kedua matanya terasa panas menahan tangis. Ia merasa bingung sekali melihat betapa kekasihnya mempunyai semakin banyak musuh dari golongan para pendekar dan hal ini amat merisaukan hatinya. Setelah memasuki kamarnya sendiri, Kim Giok tidak dapat lagi menahan tangisnya dan ia menelungkup di atas pembaringannya dan menangis. Terjadi perang di dalam batinnya. Mau tidak mau ia mempunyai kecondongan untuk membela dan mempercaya Sian Li, Hui Eng dan juga Ciang Hun. Akan tetapi perasaan ini ditentang oleh cinta dan kepercayaannya kepada Seng Bu. Seng Bu begitu baik kepadanya, begitu mencintanya dan menurut pendapatnya, kekasihnya itu seorang yang gagah perkasa dan bijaksana, dan merasa bahwa kekasihnya tidak salah, bahkan mendatangkan harapan besar bagi nusa bangsa untuk mengusir penjajah dari tanah air.
Sementara itu, Sian Li dan Hui Eng sudah menghentikan siu-lian mereka dan merasa tubuh mereka segar dan penuh kekuatan. Akan tetapi Hui Eng melihat kemuraman membayangi wajah Sian Li yang cantik. Ia tahu bahwa Si Bangau Merah itu tentu memikirkan Yo Han, maka ia pun menghibur.
“Adik Sian Li, tenangkan hatimu. Tidak baik dalam keadaan seperti ini membiarkan diri dicekam kerisauan, membuat kita menjadi lemah.” katanya lirih.
Sian Li mengangkat muka memandang wajah Hui Eng, lalu menghela napas panjang.
“Engkau benar, enci Eng. Akan tetapi aku tidak pernah dapat melupakan Han-koko. Membayangkan dia berada dalam sumur yang ditimbuni batu.... ah, bagaimana hatiku takkan risau?”
“Kerisauan hatimu tidak akan menolong apa-apa, adik Sian Li, tidak ada manfaatnya sama sekali. Jangan biarkan hatimu ditekan kerisauan yang menegangkan dan percaya sajalah bahwa Tuhan tentu akan selalu menolong orang yang baik dan benar. Dan aku yakin bahwa Yo Han adalah orang yang berada di pihak benar. Kalau Tuhan tidak menghendaki dia mati, biarpun dia benar-benar berada di dalam sumur itu, aku yakin dia tidak akan mati. Yang penting sekarang memikirkan bagaimana kita dapat lolos dari sini dan melanjutkan penyelidikan kita tentang Yo-twako itu.”
“Akan tetapi bagaimana mungkin itu dilakukan, enci Eng? Kita dapat mematahkan rantai yang mengikat kaki tangan kita, akan tetapi kita tidak akan dapat membuka pintu besi dan beruji itu, terlalu kuat. Selain itu, para penjaga di luar tentu akan bertertak-teriak dan kalau Ouw Seng Bu datang bersama pera pembantunya, mereka itu terlalu banyak dan terlalu kuat bagi kita.”
“Tenangkan hatimu, adik Sian Li. Aku masih mempunyai harapan. Lupakah engkau kepada kanda Cia Sun?” kata Hui Eng dan kedua pipinya menjadi kemerahan ketika ia teringat kepada pangeran yang menjadi kekasihnya dan kini menjadi tumpuan harapannya itu.
“Ah, engkau benar, enci Eng. Melihat bahwa sampai sekarang Pangeran Cia Sun tidak nampak tertawan musuh, hal itu berarti bahwa dia masih bebas. Dan tidak mungkin Pangeran Cia Sun akan membiarkan saja gadis yang paling dicintanya di seluruh dunia tertawan musuh. Dia pasti berusaha untuk membebaskanmu, enci Eng.”
“Ihhh! Bukan hanya aku, akan tetapi engkau juga pasti akan dia usahakan agar dapat bebas.”
“Akan tetapi, enci Eng. Bagaimanapun juga, kita mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat, pangeran tidaklah lebih lihai daripada engkau atau aku. Bagaimana mungkin dia dapat mengatasi Ouw Seng Bu dan para pembantunya yang lihai, dan anak buahnya yang cukup banyak?”
“Kukira dia tidak sebodoh itu, hanya mengandalkan tenaga sendiri. Bagaimanapun juga, dia seorang pangeran dan tentu tidak akan sukar baginya untuk mendapatkan bantuan pasukan yang terdekat, bukan? Kalau dia mengerahkan pasukan yang besar, tentu gerombolan penjahat yang berkedok pejuang ini dapat dibasmi.”
“Engkau benar, enci Eng. Akan tetapi, bayangan itu sungguh tidak mengenakkan hatiku. Kalau pasukan pemerintah yang datang menolong, bukankah itu sama artinya dengan kita berpihak kepada penjajah?
“Adik Sian Li, kita harus dapat melihat kenyataan dan dapat mempertimbangkan dengan adil. Kalau Thian-li-pang merupakan sekelompok pejuang, segolongan pendekar yang berjiwa patriot, apakah kita sampai menentang mereka dan menjadi tawanan mereka? Ingat, bahwa kalau pasukan pemerintah benar-benar dikerahkan pangeran Cia Sun untuk menggempur Thian-li-pang, yang digempur adalah gerombolan penjahat, bukan perkumpulan pejuang sejati.” Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan penuh keyakinan.
“Aku mengenal baik Pangeran Cia Sun. Harus kuakui bahwa dia seorang pangeran Mancu, akan tetapi dia tidak berjiwa penjajah, bahkan dia menghormati para pejuang dan tidak akan mencampuri urusan pemberontak para pejuang. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia sampai menjadi adik angkat Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?”
Sian Li tersenyum. Tentu saja gadis itu akan membela mati-matian Pangeran Cia Sun, kekasihnya, tunangan dan calon suaminya. Akan tetapi, pembelaan itu pun bukan hanya ngawur dan ia tak dapat membantah kebenaran apa yang diucapan Hui Eng.
“Mudah-mudahan Pangeran Cia Sun cepat muncul dengan bala bantuannya, enci Eng. Aku ingin cepat bebas dan mencari Han-ko. Kalau perlu, akan kubongkar dengan tanganku sendiri batu-batu yang menimbuni sumur tua itu.”
Mereka menerima suguhan makan malam yang dimasukkan melalui lubang di antara jeruji baja. Ternyata Ouw Seng Bu tetap memperlakukan mereka dengan baik. Hidangan yang disuguhkan cukup mewah, bahkan ada pula minuman anggur segar. Mereka berdua tidak menolak dan makan sampai kenyang untuk menjaga kondisi tubuh mereka, kemudian mereka bersamadhi lagi mengumpulkan kekuatan agar selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Diam-diam mereka pun dapat menduga bahwa berkat adanya Cu Kim Giok di situ, maka agaknya Ouw Seng Bu bersikap lunak kepada mereka.
Menyerah dengan penuh kepasrahan, penuh kepercayaan akan kekuasaan Tuhan, dan berdaya upaya sekuat tenaga dan kemampuan yang ada merupakan dua persyaratan hidup yang tak boleh dipisahkan dan tidak boleh pula diabaikan kita. Hanya menyerah saja tanpa berupaya, atau hanya berupaya saja tanpa penyerahan dengan keimanan kepada Tuhan, tidaklah lengkap dan tidak pula benar. Kita hidup sebagai hasil ciptaan Tuhan yang sempurna dan lengkap, dan semua perlengkapan yang pada kita ini memang diikutsertakan kita agar dapat kita pergunakan untuk keperluan hidup. Panca indera kita, tangan kaki kita, hati akal pikiran, semua itu merupakan perlengkapan sempurna yang sudah sepatutnya kita pergunakan, kita kerjakan demi kelangsungan hidup ini, demi kesejahteraan, demi kebahagiaan hidup. Namun, di samping daya upaya ini, kita harus yakin sepenuhnya bahwa segala sesuatu baru dapat terjadi apabila ditentukan oleh kekuasaan Tuhan! Menyerah saja tanpa usaha, sama saja dengan mempersekutu Tuhan. Kalau perlu kita lapar, kita harus makan dan untuk bisa makan kita harus mencari makanan itu. Hanya menyerah saja tanpa makan, tidak mungkin kita terbebas dari rasa lapar. Akan tetapi, mencari makanan saja tanpa penyerahan kepada Tuhan, kita dapat dibawa menyeleweng oleh nafsu sehingga kita mudah melakukan penyelewengan, misalnya mengambil kebutuhan kita itu dari orang lain, mencuri, merampok dan sebagainya. Maka, kedua syarat itu tidak terpisahkan, yaitu, pada lahirnya kita berusaha sekuat kemampuan kita, pada batinnya kita menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Kalau sudah begini, lengkaplah sudah. Berhasil atau tidaknya usaha kita, kita serahkan kepada Tuhan. Yang terpenting, kita berusaha sekuat kemampuan kita! Kalau sudah begini, berhasil atau gagal tidak membuat kita terlalu mabuk atau terlalu kecewa, karena kita maklum sepenuhnya bahwa segala kehendak Tuhan pun jadilah! Kita hanya dapat bersyukur akan kekuasaan Tuhan. Tuhan Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, tahu apa yang terbaik bagi kita. Mungkin di dalam suatu kenyataan yang bagi hati akal pikiran kita merupakan kegagalan, tersembunyi suatu hikmah, tersembunyi suatu berkah demi kebaikan kita. Dalam kehidupan kita ini, betapa banyaknya berkah Tuhan bersembunyi di balik pengalaman yang kita anggap menguntungkan atau tidak menyenangkan.
Demikian pula dengan Yo Han. Biarpun menurut hati akal pikiran dia tertimpa malapetaka, terkubur hidup-hidup di dalam sumur tua, suatu hal yang amat tidak menyenangkan, juga yang mengancam keselamatan nyawanya, namun pemuda ini sama sekali tidak tenggelam ke dalam keputusan, tidak terseret ke dalam kedukaan. Kekuatan seperti yang dimiliki Yo Han ini dapat kita miliki, yaitu kalau kita memiliki kepasrahan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, dengan iman yang sepenuhnya, sehingga kita yang sepenuhnya percaya bahwa apa pun yang terjadi, tidak lepas dari kehendak Tuhan!Yo Han terbebas dari kematian, tertimbun atau tertimpa batu, kemudian dia terbebas pula dari bahaya kelaparan ketika dapat menemukan jamur yang dapat dimakan.
Kini, dia berusaha sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar tanpa sedikit pun pernah mengurangi penyerahannya kepada Tuhan. Andaikata Tuhan menghendaki bahwa dia akan tewas, dia sudah siap setiap saat.
Dengan amat giat dan tekun, Yo Han mencari jalan keluar dengan menggali lubang-lubang yang sempit, mencari jalan keluar. Sebuah demi sebuah batu dia lepaskan, melanjutkan gerakannya merayap dalam lubang terowongan yang kecil sempit itu. Setiap hari, bahkan dalam gelap pun dia bekerja, hanya berhenti kalau dia memerlukan istirahat untuk menghimpun tenaga baru atau kalau dia lapar dan mengantuk.
Akhirnya, pada suatu siang, ketekunan yang penuh penyerahan itu mendatangkan hasil yang sama sekali di luar dugaannya. Ada sinar terang di depan. Dia merayap terus, menyingkirkan batu-batu penghalang lubang sempit itu dan akhirnya, ternyata lubang terakhir yang merupakan lorong amat panjang itu membawa dia muncul di tepi sebuah tebing jurang, di lereng bukit!
“Terima kasih, Tuhan!” Yo Han berlutut dengan sepenuh hati merasa bersyukur akan kemurahan Tuhan yang telah membebaskannya dari dalam bumi yang seolah menghimpitnya itu! Kemudian, dia duduk bersila setelah makan jamur menghimpun kekuatan dan menjelang sore, dia mulai mencari jalan menuruni tebing yang curam itu.
Malam gelap membuat Yo Han terpaksa menghentikan usahanya dan dia melewatkan malam di tebing jurang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah terang tanah, dia melanjutkan usahanya menuruni tebing itu. Dia harus segera kembali ke Thian-li-pang dan mengadakan pembersihan di sana. Dia sekarang mengerti bahwa Ouw Seng Bu telah berkhianat, telah membunuhi para pimpinan Thian-li-pang dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua. Dan pemuda yang aneh itu, yang memiliki ilmu aneh pula, telah mengajak golongan sesat untuk bersekutu. Thian-li-pang telah diselewengkan dia harus bertindak.
Dialah yang bertaggung jawab. Dia teringat akan pesan mendiang kakek Ciu Lam Hok, gurunya, agar dia membersihkan Thian-li-pang dan mengembalikan Thian-li-pang kepada cita-cita semula, yaitu perkumpulan orang-orang berjiwa patriot, dan pendekar sejati yang berjuang untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Mejadi pembela bangsa bukan pengganggu keamanan rakyat, bukan menjadi penjahat!
---lanjut ke jilid 32---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar