Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 30

Si Tangan Sakti Jilid 30

30

Ah, Yo Han tentu terjebak musuh dan menderita luka, maka dapat tertawan, pikir Sian Li. Sekaranglah saatnya membebaskannya, karena kalau sampai Ouw Seng Bu dan sekutunya muncul, tidak akan mudah baginya untuk membebaskan kekasih hatinya itu.
“Han-koko, jangan khawatir, aku akan menolongmu!” katanya. Ia memperhitungkan bahwa kalau kamar tahanan itu dipasangi jebakan, tentu Yo Han akan memperingatkannya.
Sian Li mengeluarkan sulingnya. Suling itu hanya disaput emas, akan tetapi sebetulnya di sebelah dalamnya terbuat dari baja pilihan yang amat kuat. Ia mengerahkan tenaganya, tenaga gabungan Im-yang-sin-kang dari keluarga Pulau Es seperti yang ia pelajari dari Suma Ceng Liong, memutar sulingnya dengan ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan sinar emas menyambar ke arah lantai yang membelenggu daun pintu kamar tahanan itu.
“Tranggg.... trakkk!” Rantai itu patah dan Sian Li mendorong daun pintu kamar tahanan itu sehingga terbuka. Dengan cepat, namun hati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaan, ia pun memasuki kamar tahanan itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar dan ketika ia menengok, nampak banyak anak buah Thianli-pang memasuki rumah tahanan itu. Hemmm, ia telah ketahuan musuh, pikirnya. Ia harus cepat membebaskan Yo Han.
“Han-koko, mari kita pergi....” Ia menahan kata-katanya dan terbelalak ketika orang yang tadinya bersila membelakanginya itu meloncat ke depan, membalikkan tubuhnya dan ia berhadapan dengan Ouw Seng Bu! Kiranya, ketua Thian-li-pang itu yang tadi duduk bersila membelakanginya. Memang perawakan ketua baru ini mirip dengan perawakan Yo Han, dan agaknya sang ketua ini sengaja menyamar sehingga rambut yang dikucir bergantung dan melingkar leher itu pun sama, juga pakaiannya.
“Ha-ha-ha, Bangau Merah! Sudah kukatakan bahwa Yo Han telah berkhianat, dan dia telah mati di dalam sumur tua, dan engkau masih juga tidak percaya? Sekarang, lebih baik engkau menyerah dan membantu kami berjuang melawan penjajah, sesuai dengan nama besar keluargamu sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa.”
“Keparat Ouw Seng Bu! Engkau tentu telah menjebak Han-koko! Sekarang aku harus membalas dendam kepadamu!” Setelah berkata demikian, Sian Li memutar suling dan menerjang maju. Akan tetapi, Ouw Seng Bu menghindar dengan loncatan ke kiri.
“Ha-ha-ha, engkau sudah terkepung dan masih bicara besar? Lihat di luar kamar ini anak buahku telah menghadang dan mengepung. Engkau tidak akan dapat lolos, Tan San Li. Melawan pun tidak ada gunanya karena kalau Yo Han saja tidak mampu menandingi aku, apa lagi engkau.”
“Jahanam busuk sombong!” Sian Li berteriak dan ia pun menyerang lagi dengan dahsyat.
Diam-diam Ouw Seng Bu terkejut karena serangan Si Bangau Merah itu memang dahsyat dan kuat bukan main. Sulingnya berubah menjadi sinar emas yang mengeluarkan suara melengking-lengking aneh. Dia melompat ke tepi kamar, tangannya menekan tombol di dinding dan di dinding di belakangnya terbuka. Dia melompat masuk.
“Pengecut, hendak lari ke mana kau?” bentak Sian Li yang mengejar cepat. Ia pun, meloncat masuk ke dalam kamar lain di mana Ouw Seng Bu sudah menunggu sambil tersenyum mengejek. Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya secara aneh dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan! Dia telah menghimpun tenaga dari ilmunya yang sesat, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latih. Dan kini wajahnya berubah, masih tampan, akan tetapi senyumnya yang tadinya ramah dan manis itu berubah menjadi wajah menyeringai yang amat menyeramkan, sadis dan dingin, matanya liar dan suara tawanya seperti setan tertawa. Ketika Sian Li melihat keadaan Ouw Seng Bu seperti itu, ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang yang tidak waras, atau miring otaknya! Ia tidak tahu bahwa keadaah itu merupakan akibat dari ilmu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan.
“Iblis gila!” bentaknya dan ia mengerang lagi dengan Sulingnya. Kamar yang ini berbeda dengan kamar tahanan di depan tadi. Dinding yang tadi terbuka menembus ke kamar tahanan kini sudah menutup kembali dengan sendirinya dan kamar ini lebih luas.
Hantaman sulingnya ke arah kepala pemuda itu meloncat ke samping dan ketika suling itu mengejar dengan sambaran ke samping, dia menangkis dengan tangan kirinya.
“Takkk....!” Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh Sian Li terdorong ke belakang sampai tiga langkah. Gadis itu terkejut bukan main. Sulingnya yang ditangkis tadi tergetar hebat dan ada tenaga aneh yang amat dingin menyusup melalui suling dan tangannya dan tenaga itu amat kuat sehingga dia terdorong dan terhuyung. Baiknya ia masih mengerahkan. tenaga sin-kang untuk menolak pengaruh hawa dingin aneh itu.
“Ha-ha-heh-heh-heh!” Ouw Seng Bu terkekeh menyeramkan dan membusungkan dadanya. “Si Bangau Merah, engkau tidak akan menang melawan aku. Ilmuku yang amat hebat ini tidak dapat ditandingi siapapun juga dan sebentar lagi aku akan menjadi jagoan nomor satu di dunia, mengusai dunia kang-ouw, bahkan setelah menjatuhkan pemerintah penjajah Mancu, akulah yang layak dan pantas menjadi kaisar. Ha-ha-ha!”
“Gila, dia gila akan tetapi memiliki ilmu yang ajaib,” pikir Sian Li. Ia harus dapat merobohkan orang ini, kalau tidak, ia tentu akan celaka. Baru orang ini saja sudah demikian hebat, kalau para sekutunya datang mengeroyok, ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi mereka.
Sian Li mengeluarkan pekik melengking dan kini ia memutar suling emasnya, memainkan ilmu pedangnya yang paling ampuh, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Bangau Merah) yang ia pelajari dari ayahnya, Pendekar Sakti Bangau Putih.
Sulingnya berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung menyilaukan mata, dan tubuhnya juga lenyap berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan terbungkus sinar emas. Dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyerang ke arah Ouw Seng Bu.
Akan tetapi sambil terkekeh-kekeh aneh, Ouw Seng Bu berdiri tegak dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, kadang diputar seperti baling-baling, dan dari kedua tangan itu menyambar hawa dahsyat yang membuat semua serangan Sian Li tertolak kembali, mental sebelum mengenai tubuh lawan! Ketika Ouw Seng Bu melangkah maju mendekat, hawa pukulan kedua tangannya semakin kuat sehingga kini gulungan sinar emas itu makin menyempit, tanda bahwa Si Bangau Merah terdesak oleh tenaga aneh itu.
Pada saat itu terdengar suara wanita,
“Bu-ko, jangan bunuh atau lukai ia!”
Mendengar teriakan itu, Ouw Seng Bu terkekeh.
“Heh-heh-heh, tidak, tidak sayang, jangan khawatir!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan berlari keluar dari ruangan itu melalui sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan panjang.
“Jangan lari!” bentak Sian Li yang mengejar. Terdengar suara keras dan lorong itu sudah tertutup dari depan dan belakang oleh pintu rahasia. Sian Li terkejut, merasa terjebak dalam lorong yang tertutup, akan tetapi karena Ouw Seng Bu masih berada di situ bersamanya, ia tidak takut dan memutar suling lebih cepat untuk menjaga agar orang itu tidak melarikan diri melalui sebuah pintu rahasia.
“Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lolos, Bangau Merah!” kata Ouw Seng Bu. Tiba-tiba dari lantai lorong itu keluar asap kemerahan memenuhi lorong. Sian Li mencium bau harum menyengat dan tahulah ia bahwa asap itu mengandung racun pembius! Akan tetapi, tidak ada jalan keluar dan jalan satu-satunya hanya menyerang mati-matian pada lawan yang masih tertawa-tawa walaupun asap merah makin menebal. Gadis perkasa yang cerdik ini menyesal akan kebodohannya sendiri. Tentu saja, pikirnya. Ouw Seng Bu telah memakai obat penawar! Asap sudah terpaksa disedotnya ketika ia bernapas.
“Keparat keji, pengecut, curang....!” Ia menyerang lagi akan tetapi kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang dan ia pun roboh terkulai pingsan.
Ketika siuman kembali, Sian Li mendapatkan dirinya rebah di atas sebuah dipan. Ia melihat betapa kaki tangannya diikat rantai baja panjang. Cepat ia turun dari pembaringan itu dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk mematahkan rantai kaki tangannya.
“Jangan, Sian Li. Jangan patahkan rantai kaki tanganmu.” terdengar suara orang. Ia menengok dan melihat Hui Eng juga berada di kamar itu. Juga gadis ini dirantai kaki tangannya, dengan rantai panjang yang membuat ia mampu bergerak ke sana sini, mampu mempergunakan tangan kakinya akan tetapi rantai itu tidak sampai pintu kamar tahanan yang beruji.
“Ah, kiranya engkau pun sudah tertawan. Bagaimana dengan pang.... “ Sian Li teringat. Mereka berada di tangan pemberontak Thian-li-pang, sungguh berbahaya kalau mereka mengetahui bahwa Cia Sun adalah pangeran Mancu. “Di mana Sun-toako?”
“Entah, kami berpencar, bukan? Aku dikepung dan dikeroyok, tertangkap.”
“Tapi kenapa engkau melarang aku mematahkan rantai ini! Kurasa engkau pun akan mampu mematahkan rantai kaki tanganmu.”
“Agaknya aku akan mampu mematahkan rantai ini, akan tetapi apa gunanya? Mereka jelas tidak ingin membunuh kita, dan rantai ini bagaimanapun juga masih memberi kebebasan bergerak kepada kita. Dengan mematahkannya, belum berarti kita bebas. Kamar ini kokoh kuat dan terjaga kuat, juga mereka dapat mempergunakan perangkap untuk menangkap kita kembali. Kalau sampai mereka menggantikan rantai ini dengan belenggu yang membuat kita tidak mampu bergerak leluasa, bukankah hal itu lebih menyiksa? Kita harus tenang dan sabar, tidak menuruti kemarahan.”
Sian Li mengangguk membenarkan.
“Mereka itu lihai, dan orang she Ouw itu agaknya miring otaknya. Dia itu gila, akan tetapi mempunyai ilmu seperti iblis sendiri. Belum pernah selama hidupku bertemu dengan lawan setangguh dengan ilmu seaneh itu.”
“Aku.... aku mengkhawatirkan pangeran....” kata Hui Eng lirih.
“Agaknya dia tidak seperti kita, tidak tertangkap. Mudah-mudah saja begitu karena kalau dia masih bebas, berarti kita masih mempunyai harapan akan dapat tertolong. Aku sekarang mengerti bahwa anggauta Thian-li-pang yang kutangkap tadi sengaja dipasang sebagai umpan perangkap. Mereka itu lihai dan licik sekali. Aku sekarang sungguh mencemaskan keadaan Han-koko.”
Mereka terdiam karena mendengar langkah kaki yang ringan menghampiri dari luar kamar tahanan. Muncullah Cu Kim Giok, gadis manis dengan mata indah, akan tetapi kini wajahnya agak muram dan matanya mengadung penyesalan.
“Hemmm, engkau sungguh tidak tahu malu masih berati muncul di depan kami!” Sian Li langsung menyambut dengan ucapan keras. “Ingin aku melihat wajah Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pouw Li Sian yang gagah perkasa kalau melihat puterinya seperti ini, membantu orang-orang jahat!”
Cu Kim Giok memandang sedih.
“Aihhh, tak kusangka akan begini jadinya. Sungguh, aku bersumpah Sian Li, aku bukan orang yang membela orang jahat. Semua ini hanya salah sangka dari pihakmu saja. Aku berani tanggung bahwa Ouw Seng Bu adalah seorang yang gagah perkasa, seorang pendekar berjiwa pahlawan. Dia mau mengorbankan apa saja dengan perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Salahkah aku kalau aku membantu perjuangan yang suci? Engkau terlalu berprasangka dan menganggap buruk. Tentang kematian Pendekar Tangan Sakti Yo Han, sungguh bukan kesalahan Ouw-toako. Aku sendiri menjadi saksi. Yo Han yang berusaha membunuhnya seperti yang telah dilakukan kepada para pimpinan Thian-li-pang, dan Ouw-koko hanya membela diri. Kalau Yo Han tidak tergelincir ke dalam sumur, dan tidak ditimbuni batu, tentu Ouw-koko yang tewas di tangannya. Percayalah Ouw-koko adalah seorang yang baik, seorang pendekar yang....”
“Gila! Ya, dia seorang yang miring otaknya, Kim Giok. Tidak tahukah engkau akan hal itu atau pura-pura tidak tahu? Cu Kim Giok, katakan kepada iblis gila Ouw Seng Bu itu bahwa kalau benar Han-koko tewas di tangannya, aku Tan Sian Li akan menggerakkan seluruh keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir untuk membalas dendam! Aku tidak akan berhenti berusaha sampai aku dapat memenggal lehernya dan membawa kepalanya dan hatinya untuk sembahyang kepada Han-koko!” Berkata demikian, karena membayangkan kematian Yo Han, kedua mata Sian Li menjadi basah dan suaranya gemetar, walaupun mengandung ancaman yang membuat Kim Giok merasa ngeri.
“Sian Li, engkau rela mengorankan apa pun untuk membela Yo Han, karena engkau menganggap dia benar dan mencintanya. Apakah aku tidak boleh membela orang yang kuanggap benar dan yang kucinta?” Dengan muka penuh kesedihan Kim Giok meninggalkan tempat itu dengan cepat dan kedua orang gadis perkasa itu masih sempat mendengar isak tangis yang dibawa lari gadis dari Lembah Naga Siluman itu.
“Sungguh aneh! Ia mencinta Ouw Seng Bu....!” kata Sian Li lirih.
“Ih, kenapa hal itu kauanggap aneh, Sian Li?” tanya Hui Eng, tersenyum.
“Akan tetapi Ouw Seng Bu itu orang gila! Iblis gila!”
Hui Eng tertawa geli dan Sian Li memandang heran. Memang nampak aneh dan lucu melihat gadis itu tertawa-tawa geli, padahal mereka berada dalam tawanan musuh dengan kaki tangan dipasangi rantai! Sungguh merupakan keadaan yang patut mendatangkan tangis, bukan tawa geli! Ini saja sudah membuktikan betapa tabah hati Sim Hui Eng, menghadapi keadaan yang gawat. Dan hal ini membesarkan pula hati Sian Li. Mempunyai seorang kawan sependeritaan setabah ini memang membesarkan hati.
“Hemmm, apa yang perlu ditertawakan? Apanya yang lucu?” tanya Sian Li.
“Engkau yang lucu,” kata Hui Eng. “Kenapa engkau seperti orang kebakaran jenggot melihat gadis itu mencinta Ouw Seng Bu?”
“Hushhh! Mana aku berjenggot?” cela Sian Li akan tetapi kini ia pun tertawa geli.
“Sian Li, cinta membuat orang yang kita cinta nampak selalu benar selalu baik, selalu menarik, sebaliknya benci membuat orang yang kita benci nampak selalu salah, selalu buruk, selalu menyebalkan. Buktinya, engkau ditunangkan dengan pangeran Cia Sun, engkau malah memilih Yo Han. Dan pangeran memilih aku, padahal ketika itu aku masih puteri ketua Pao-beng-pai yang memberontak terhadap kerajaan keluarganya. Dan aku pun memilih dia, padahal aku selalu tidak suka kepada penjajah Mancu, dan aku yakin, Yo Han juga tidak akan suka memilih lain gadis kecuali engkau. Nah, apa anehnya kalau sekarang gadis itu mencinta Ouw Seng dan menganggap dia selalu baik dan benar?”
Sian Li termenung. Kebenaran ucapan Hui Eng meresap ke dalam hatinya. Memang apa yang dikatakan Hui Eng patut direnungkan. Kita semua selalu mengambil kesimpulan, mempunyai pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian kita, dan kita menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk. Kita lupa bahwa sesuatu itu tidak ada yang abadi, tidak ada yang tetap dan selalu akan berubah-ubah. Kita tidak mungkin dapat menentukan seseorang itu baik atau buruk, karena si orang yang kita nilai itu sudah pasti akan mengalami perubahan, dan perubahan ini akan mendatangkan kesan berbeda-beda bagi kita, ada kalanya kita anggap baik dan ada kalanya pula kita anggap buruk. Orang yang hari ini kita anggap sebaik-baiknya orang, mungkin pada suatu saat kelak akan kita anggap seburukburuknya orang, demikian sebaliknya. Mengapa demikian? Pertama, karena tidak ada apa atau siapapun di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Dan kedua, karena pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian, dan setiap penilaian, diakui atau pun tidak, disadari maupun tidak, selalu berdasarkan kepentingan siaku, si penilaian. Penilaian muncul di mana ada pertimbangan untung rugi, disenangkan atau tidak disenangkan. Kalau seseorang atau sesuatu benda itu menguntungkan dan menyenangkan, bagaimana mungkin kita menilainya jelek dan jahat? Sebaliknya, kalau seseorang atau sesuatu itu merugikan dan tidak menyenangkan, sudah pasti kita menilainya tidak baik, tidak mungkin kita menilainya bagus atau baik.
Biarpun orang sedunia mengatakan bahwa seorang yang baik dan patut dipuji, akan tetapi kalau memusuhi kita, merugikan dan tidak menyenangkan kita, mungkinkah kita menilainya sebagai seorang yang baik dan patut dipuji? Sebaliknya, andaikata orang sedunia mencaci sebagai seorang yang jahat dan patut dikutuk, akan tetapi kalau baik terhadap kita, menguntungkan dan menyenangkan kita, dapatkah kita mengutuknya dan menilainya sebagai seorang yang jahat? Bahkan seorang kekasih yang dicinta setengah mati pun, dicinta karena dia menyenangkan kita, dipuja karena menguntungkan perasaan kita. Seandainya pada suatu hari dia itu melakukan sesuatu yang merugikan kita, tidak menyenangkan kita misalnya menipu kita, menyeleweng dengan orang lain, tidak mau melayani kita sebagai kekasih, dapatkah kita tetap menilainya baik dan mencintanya?
Biasanya, cinta itu berubah menjadi benci! Mengapa? Karena benci itu merupakan akibat penilaian yang buruk terhadap seseorang! Kalau menyenangkan, dinilai baik dan dicinta, kalau sekali waktu tidak menyenangkan, dinilai buruk dan dibenci! Hujan tinggal tetap hujan, air yang jatuh dari atas, akan tetapi kalau hujan itu merupakan kita seperti banjir, menghalangi kesenangan, kita akan menganggapnya buruk dan mengomel. Kalau hujan itu datang dan kita anggap menyenangkan dan menguntungkan, seperti para petani yang mengharapkan datangnya air untuk sawah ladang mereka, maka kita akan menilainya baik dan hati kita senang, mulut tidak lagi mengomel dan cemberut, melainkan tertawa-tawa dan bersyukur! Demikianlah panggung sandiwara dalam kehidupan ini, lebih lucu dan konyol daripada panggung para pelawak. Kita dipermainkan nafsu yartg sudah menyusup ke dalam diri kita lahir batin, dan karena nafsu selalu mengejar kesenangan, maka timbullah suka duka dan penilaian baik buruk, persahabatan permusuhan dan segala macam kebalikan-kebalikan yang mendatangkan konflik lahir batin pula.
Dapatkah kita hidup tanpa menilai dan menerima kenyataan apa adanya? Apapun yang terjadi dan menimpa kehidupan kita merupakan suatu kenyataan hidup yang patut kita hadapi dengan segala kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan! Tuhan Maha Pencipta. Seluruh isi alam maya pada ini adalah milik Sang Maha Pencipta, jadi Dialah yang menentukan segala. Kewajiban kita hanyalah berusaha, berikhtiar untuk mempertahankan hidup ini yang berarti membantu kodrat Tuhan yang telah menghidupkan kita, dan mengisi kehidupan ini agar hidup kita bermanfaat bagi diri sendiri, bagi kaluarga dan bagi lingkungan. Bermanfaat berarti tidak merusak. Dengan dengan pasrah, dengan menyerahkan kepada Tuhan yang mencipyakan kita, menyerah penuh keiklasan dan ketawakalan, barulah mungkin bagi kita untuk menerima segala yang terjadi dengan penuh kesadaran, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu, pada akhirnya ditentukan oleh kekuasaannya.
“Aku mengerti sekarang, enci Eng, dan aku merasa kasihan kepada Kim Giok. Aku hampir yakin bahwa ia telah terbujuk, bahwa Ouw Seng Bu itu seorang yang tidak waras, orang gila yang teramat cerdik dan licik, juga memiliki ilmu silat yang aneh dan berbahaya sekali.”
“Kita lihat perkembangannya, adik Sian Li. Kita harus bersabar dan melihat apa yang akan mereka lakukan terhadap kita. Aku yakin mereka akan menghubungi kita, mungkin melalui Cu Kim Giok tadi. Tidak perlu kita bergerak dengan sia-sia, sebaiknya menanti datangnya kesempatan baru kita mematahkan rantai ini dan mencoba untuk lolos.”
Sian Li mengangguk, diam-diam merasa lega dan girang karena mempunyai teman seperti ini boleh diandalkan.
***
Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tiba di kaki Bukit Naga. Terdapat sebuah kuil tua kosong di kaki bukit sebelah itu dan karena hari menjelang senja, mereka mengambil keputusan untuk melewatkan malam di kuil tua itu. Tadi mereka telah membeli bekal makanan dari dusun terakhir.
Di luar kuil tua yang tidak digunakan lagi itu, mereka berhenti dan terkejut melihat ada seorang tosu duduk bersila di bagian depan kuil. Ciang Hun yang sudah berpengalaman, tidak berani lancang dan dia menghampiri tosu itu. Bi Kim mengikutinya dari belakang, siap menghadapi segala kemungkinan karena tahu bahwa mereka telah berada di daerah Bukit Naga.
“Harap Totiang memaafkan kami berdua. Karena kemalaman di perjalanan kami ingin melewatkan malam di kuil tua ini, kalau saja tidak mengganggu Totiang.”
“Siancai, silakan, Kongcu dan Siocia." kata pendeta itu dengan sikap acuh. Pada saat kedua orang muda itu hendak melangkah masuk, dari dalam keluar empat orang tosu lainnya dan tentu saja hal ini membuat Ciang Hun terkejut.
“Ah, maafkan kami, Cu-wi To-tiang. Kiranya kuil ini sekarang menjadi tempat tinggal To-tiang sekalian?”
Tosu tertua yang tadi duduk bersila di luar berkata lembut,
“Sama sekali bukan, Kongcu. Kami berlima juga sedang berteduh dan melewatkan malam di sini. Kuil ini kosong dan tidak dipergunakan lagi.”
“Ah, kalau begitu kebetulan dan terima kasih To-tiang.” Ciang Hun dan Bi Kim lalu membersihkan lantai di sudut ruangan depan karena ternyata hanya ruangan depan itu saja yang masih agak utuh dan bersih, sedangkan ruangan tengah dan belakang kuil itu sudah rusak dan kotor.
Lima orang tosu itu duduk bersila, dan dua orang muda di sudut itu lalu menyalakan lilin yang tadi mereka beli sehingga ruangan itu tidak menjadi gelap lagi. Malam tiba dan hawa udara amat dinginnya. Dua orang di antara para tosu itu lalu membuat api unggun dari kayu-kayu yang agaknya telah mereka cari dan kumpulkan siang tadi. Keadaan menjadi semakin terang oleh cahaya api unggun dan ada kehangatan di situ.
Bi Kim mengeluarkan buntalan makanan yang mereka beli tadi, dan dengan ramah dan hormat Ciang Hun dan Bi Kim menawarkan makanan kepada lima orang tosu itu.
“Cu-wi To-tiang mari silakan Cu-wi To-tiang makan malam bersama kami, kita makan seadanya, To-tiang.” kata Bi Kim.
“Silakan To-tiang, kami akan gembira sekali untuk menjamu Cu-wi dengan makanan kami yang sederhana.” kata pula Ciang Hun.
“Siancai, Ji-wi adalah dua orang muda yang ramah dan baik. Terima kasih, Kongcu dan Siocia, kami tadi sudah makan dan tidak merasa lapar. Silakan Ji-wi makan, harap jangan sungkan-sungkan.” kata tosu tertua.
Karena maklum bahwa mereka berdua menghadapi perjalanan yang mungkin sukar dan membutuhkan banyak pengerahan tenaga, maka dua orang muda itu tidak sungkan-sungkan lagi dan mulai makan bak-pao dan dendeng yang tadi mereka beli sebagai bekal.
Setelah mereka selesai makan, membersihkan mulut dan tangan dengan air yang mereka bawa, mereka diundang duduk dekat api unggun oleh para tosu. Dengan gembira dua orang muda itu duduk mengelilingi api unggun bersama lima orang pendeta itu.
“Kalau pinto (saya) tidak salah lihat, Ji-wi bukanlah dua orang muda biasa, melainkan dua orang muda yang memiliki kepandaian silat. Bolehkah pinto mengetahui nama Ji-wi dan apa keperluan Ji-wi mendatangi daerah yang berbahaya ini?”
Karena yakin bahwa lima orang pendeta ini adalah orang-orang beribadat yang baik, maka Ciang Hun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan keadaan mereka.
“To-tiang, saya bernama Gak Ciang Hun dan nona ini adalah Gan Bi Kim. Kami berdua melakukan perjalanan ke sini untuk mencari seorang sahabat kami yang jejaknya menuju ke bukit ini.”
Tiba-tiba Gan Bi Kim berkata,
“Mungkin sekali Cu-wi To-tiang ada yang melihat sahabat kami itu lewat di sini!”
“Aih, benar juga!” seru Ciang Hun girang. “Apakah Cu-wi To-tiang melihat sahabat kami itu lewat di sini? ia seorang gadis muda....”
“Pakaiannya serba merah?” potong seorang tosu.
“Benar, benar!” Ciang Hun berseru girang.
“Siancai, yang kalian cari itu bukankah Si Bangau Merah, nona Tan Sian Li?”
Dua orang muda itu hampir berteriak karena girangnya,
“Benar sekali, To-tiang!” kata Gak Ciang Hun. “Apakah Totiang melihatnya? Di mana?” tanyanya dengan penuh gairah.
“Nanti dulu, kalau Ji-wi mengenal Si Bangau Merah, tentulah Ji-wi bukan orang-orang sembarangan. Kongcu she Gak? Hemmm....? pinto mendengar tentang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san), apakah hubungan Kongcu dengan para pendekar she Gak itu?”
“Saya adalah puteranya....”
“Ahhh! Sungguh kami merasa beruntung bertemu dengan putera Beng-san Siang-seng!”
“Kalau boleh kami mengetahui, siapakah Cu-wi To-tiang?” tanya Ciang Hun, kini memandang penuh perhatian.
Tosu tertua itu menghela napas panjang.
“Pinto disebut Thian-tocu, seorang murid Bu-tong-pai dan empat orang ini adalah para sute pinto. Baru kemarin pinto berlima bertemu dengan Si Bangau Merah, bahkan ia yang mengobati Pinto dari pukulan beracun. Karena masih belum pulih kekuatan pinto, maka kami berhenti di sini untuk memulihkan tenaga.”
“Lalu, ke manakah perginya adik Sian Li?” tanya Ciang Hun.
Tosu itu menghela napas panjang.
“Kami khawatir sekali. Ia pergi mendaki Bukit Naga itu dan hendak berkunjung ke Thian-li-pang, padahal keadaan Thianli-pang telah berubah sama sekali. Perkumpulan itu telah menyeleweng dan dipimpin oleh seorang ketua baru yang seperti Iblis. Kami sungguh mengkhawatirkan keselamatan pendekar wanita itu.”
“Totiang, apakah yang telah terjadi?” tanya Gan Bi Kim, ikut pula merasa khawatir mendengar ucapan tosu itu.
Thian-tocu lalu menceritakan semua pengalaman mereka berlima. Mereka sengaja mendatangi Thian-li-pang karena mendengar berita tentang sepak terjang Thian-li-pang yang menyeleweng, menundukkan para tokoh-tokoh kang-ouw dengan kekerasan, melakukan pemerasan.
“Bahkan lebih mengejutkan lagi adalah berita tentang terbunuhnya Pendekar Tangan Sakti Yo Han oleh ketua baru Thian-li-pang....”
“Ahhh....!! Benarkah itu, Totiang?” Ciang Hun berseru kaget.
“Kami pun tidak percaya. Ketika kami tanyakan hal itu kepada Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang, dia mengatakan bahwa Yo Han telah membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, kemudian Yo Han juga menyerang dia. Dalam perlawanan yang dibantu anak buahnya, Yo Han tewas. Demikian keterangan Ouw pangcu. Kami tidak percaya sehingga terjadi perkelahian, akan tetapi ketua baru itu seperti iblis, lihai bukan main dan pinto terkena pukulan beracun darinya. Kami merasa kalah dan turun bukit, bertemu di jalan dengan Si Bangau Merah yang mengobati pinto. Kami sungguh mengkhawatirkan Si Bangau Merah yang hendak melakukan penyelidikan ke tempat berbahaya itu.”
“Kalau begitu, adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus cepat ke sana, Kim moi!” kata Ciang Hun, khawatir sekali.
“Gak-taihiap, sebaiknya kalau kita berhati-hati menghadapi Thian-li-pang. Selain ketuatannya amat lihai, juga kini Thian-li-pang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti. Siangkoan Kok bekas ketua Pao-beng-pai juga para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai berada di sana. Sebaiknya kalau Ji-wi bersabar sampai lewat malam ini dan besok pagi-pagi barulah mendaki ke sana.”
“Kita?” Ciang Hun bertanya.
“Kongcu, melihat Ji-wi yang muda-muda begini bersemangat untuk membantu Si Bangau Merah, menentang bahaya dengan gagah berani, kami yang tua-tua merasa malu kalau hanya tinggal diam saja. Kami akan menemani Ji-wi membantu pendekar wanita Bangau Merah, walaupun kami tahu bahwa kekuatan kita ini tidak ada artinya dibandingkan kekuatan mereka yang mempunyai ratusan orang anak buah.”
“Kita tidak bermaksud menyerang Thian-li-pang, Totiang, hanya hendak menyelidiki kalau-kalau adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus membantunya.”
“Kami siap membantu, Kongcu.”
---lanjut ke jilid 31---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar