Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 49.

Kisah si Bangau Putih Jilid 49

Siang Cun, menghentikan tangisnya, memandang ke kanan kiri dan seperti orang dalam mimpi ia bertanya,
“Mana dia? Mana manusia iblis itu? Akan kubunuh dia....!”
“Dia sudah mati di tangan kami, Siang Cun. Nah, itu dia!” Ayahnya menunjuk ke bawah.
Siang Cun memandang dan seperti terpukau melihat tumpukan daging dan tulang yang sudah menjadi onggokan tak berbentuk itu. Tiba-tiba ia merampas pedang di tangan ayahnya, lalu meloncat ke depan dan hendak membacokkan pedangnya ke arah onggokan daging dan tulang itu. Akan tetapi tiba-tiba lengannya ditangkap orang dari belakang.
“Nona sadarlah. Yang sesat biarlah sesat seperti Phoa Hok Ci itu. Akan tetapi tidak perlu Nona menjadi demikian kejam karena dendam kebencian. Dia sudah mati dan jasmaninya tidak berdosa.”
Siang Cun menoleh dan ketika ia melihat bahwa yang menahannya adalah Sin Hong, ia lalu melepaskan pedangnya dan berlari kepada ayahnya, kembali merangkul ayahnya sambil menangis keras.
***
“Tidak, aku tidak ingin hidup lagi, Ayah. Biarpun jahanam itu belum sampai menodaiku, akan tetapi.... ah, bagaimana aku dapat melupakan aib dan malu itu? Dia.... Tan Sin Hong itu, dia.... telah melihat aku bertelanjang bulat, bahkan dia.... dia telah....“
Bhe Kauwsu memeluk puterinya. Tadi baru saja dia menyelamatkan puterinya dari maut ketika Siang Cun menggantung diri di dalam kamarnya!
“Anakku, jangan mengambil jalan pendek. Bunuh diri merupakan suatu dosa besar, Siang Cun. Apa yang telah dilakukan oleh Tan-taihiap padamu? Apa yang telah dia perbuat?”
Siang Cun menceritakan dengan suara terputus-putus tentang pengobatan yang dilakukan oleh Sin Hong kepadanya. Betapa pemuda itu bukan hanya melihat ia bertelanjang bulat dan terlentang di atas pembaringan, bahkan pemuda itu telah mengobatinya dengan menyedot darah dan jarum dari paha kirinya, ia dalam keadaan telanjang!
“Bagaimana mungkin aku dapat melupakan aib dan malu itu, Ayah? Dia bukan apa-apa, bukan saudara bukan keluarga, bahkan saudara seperguruan pun bukan! Aib ini hanya dapat dihapus dengan kematianku, Ayah....“ Gadis itu menangis lagi.
Bhe Kauwsu menarik napas panjang. Dia mengerti akan penderitaan batin puterinya. Lalu dia berkata,
“Tenanglah, anakku. Ada suatu jalan yang lebih baik daripada membunuh diri, dan biarlah aku yang akan membicarakan urusan ini dengan Tan-taihiap. Mudah-mudahan saja dia tidak keberatan dan mau menolong kita.”
“Apakah maksudmu, Ayah?”
“Menjodohkan engkau dengan Tan-taihiap, anakku.”
Wajah yang manis itu seketika menjadi merah dan ia menundukkan mukanya.
“Memang hanya itulah jalan satu-satunya untuk menghapus aib dari diriku, Ayah. Kalau dia menolak, lebih baik aku mati saja!” Setelah berkata demikian, Siang Cun menutupi mukanya dan menangis lagi.
Bhe Kauwsu segera menemui Sin Hong yang sedang berkemas di dalam kamarnya bersama Yo Han. Mereka sudah terlalu lama tinggal di tempat itu dan biarpun mereka diperlakukan sebagai tamu kehormatan dan merasa senang, namun tidak enak juga kalau terus menerus menerima kebaikan orang dan mondok di tempat itu.
Bhe Kauwsu minta bicara empat mata dengan pendekar itu dan Sin Hong segera menyuruh muridnya keluar dari dalam kamar. Yo Han pergi ke belakang rumah.
Di tempat itu dia sudah bergaul dengan leluasa sekali, menjadi sahabat dari para murid Ngo-heng Bu-koan dan dia seorang anak yang amat disuka oleh para murid.
Setelah duduk berhadapan berdua, Bhe Kauwsu lalu menyampaikan maksud hatinya untuk menjodohkan puterinya dengan Tan Sin Hong. Dia berterus terang akan keadaan Siang Cun.
“Biarpun kami sekeluarga akan merasa terhormat dan berbahagia sekali kalau Taihiap sudi menjadi suami Siang Cun, akan tetapi sesungguhnya sampai bagaimanapun aku tidak akan berani mengemukakan hasrat hati keluarga kami kepadamu, Taihiap. Akan tetapi, anakku Siang Cun berkeras akan membunuh diri untuk mencuci aib dan hanya mau melanjutkan hidup kalau dapat menjadi isterimu. Oleh karena itu, Taihiap, kami sekeluarga yang sudah putus harapan hanya memandang kepadamu sebagai bintang penolong keluarga kami.”
Tentu saja Sin Hong terkejut sekali mendengar permintaan itu! Dia menjadi bingung karena sama sekali tidak disangka bahwa secara tiba-tiba dia diminta untuk menjadi suami Siang Cun!
“Tapi.... tapi.... maafkan, Paman. Hal ini.... harus kupikirkan dulu karena menyangkut kehidupanku di masa depan. Aku.... minta waktu untuk memikirkannya....“ katanya agak gagap.
Bhe Kauwsu tersenyum.
“Tentu saja, Taihiap. Karena seperti Taihiap pernah bicarakan dengan kami bahwa Taihiap adalah seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara, maka segala keputusan harus dipikirkan dulu. Biarlah kami menanti sampai besok agar Taihiap mempunyai waktu sehari semalam untuk memikirkannya.” Bhe Kauwsu lalu mengundurkan diri, meninggalkan Sin Hong yang masih bengong dan bingung.
Menjadi suami Siang Cun? Pertanyaan ini berdengung terus di dalam kepalanya. Tanpa disengaja, dia pun mengenang gadis itu. Seorang gadis yang cantik manis, juga gagah perkasa dan terbayanglah tubuh gadis itu yang pernah dilihatnya dalam keadaan bugil dan polos! Tubuh yang mulus, wajah yang cantik, watak yang gagah dan kedudukan terhormat. Cukup baik, bahkan terlalu baik untuknya. Dan juga amat baik bagi Yo Han.
Muridnya itu masih muda sekali, membutuhkan lingkungan dan pergaulan yang baik.
Dan Ngo-heng Bu-koan merupakan tempat yang amat baik bagi seorang anak, dapat bergaul dengan murid-murid Ngo-heng Bu-koan yang gagah dan berjiwa pendekar. Tiba-tiba terbayang wajah Kao Hong Li! Hatinya berdebar penuh keharuan. Dia mencinta Hong Li! Sejak pertemuan pertama, dia sudah tertarik dan jatuh cinta kepada puteri suhengnya itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami Kao Hong Li?
Hong Li adalah puteri Kao Cin Liong, seorang pendekar besar bekas panglima kerajaan, putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir! Kedudukan keluarga itu terhormat, baik di dalam dunia kang-ouw, dunia persilatan, di masyarakat, bahkan di antara para pembesar di kerajaan. Sebaliknya dia? Yatim piatu, sebatang kara, miskin dan tidak memiliki apa-apa!
Dibandingkan dengan Hong Li, dia seperti seekor burung gagak di samping seekor burung Hong! Belum lagi diingat bahwa dia adalah susiok (paman guru) Hong Li, walaupun usia mereka sebaya. Tidak, tidak mungkin dia dapat menjadi suami Hong Li, betapapun dia mencintanya, bahkan andaikata Hong Li juga mencintanya, perjodohan antara mereka adalah tidak mungkin.
Kembali dia membayangkan Siang Cun. Seorang gadis yang amat baik, dinilai dari keadaan wajah, bentuk tubuh, atau pun wataknya. Dan dia akan hidup tenang, dapat membantu ayah mertuanya untuk memajukan Ngo-heng Bu-koan, memimpin murid-murid Bu-koan (Perguruan Silat) dengan ilmu silat. Hanya itulah satu-satunya keahliannya. Ilmu silat! Dan dia dapat mempergunakannya di sini. Pekerjaan lain apakah yang dapat dia lakukan kecuali mengajarkan ilmu silat? Dan Siang Cun seorang calon isteri yang manis dan molek. Dan Yo Han, muridnya yang dia sayang, akan memperoleh tempat yang baik pula di Ngo-heng Bu-koan. Dan ayah mertuanya seorang tua yang gagah dan bijaksana. Mau apa lagi?
“Suhu, kenapa Suhu melamun setelah Bhe Kauwsu pergi?” tiba-tiba Yo Han memasuki kamar. Anak ini baru berani memasuki kamar setelah melihat Bhe Kauwsu tidak lagi berada di kamar gurunya. Sin Hong keluar dari dunia lamunan, menoleh kepada muridnya dan melihat wajah muridnya membayangkan kekhawatiran, dia lalu merangkul pundak Yo Han. Muridnya ini selalu memperhatikan dirinya. Seorang murid yang bukan hanya berbakti, akan tetapi juga mencintanya seperti seorang adik kepada kakaknya.
“Yo Han, aku sedang bingung. Bhe Kauwsu mengusulkan perjodohan antara aku dan puterinya.” Biarpun Yo Han baru berusia kurang lebih delapan tahun, namun dia tidak menganggap muridnya itu anak kecil. Sikap dan jalan pikiran Yo Han seperti seorang dewasa saja. Oleh karena itu, tanpa ragu lagi dia menceritakan persoalan yang dihadapinya.
Yo Han mengerutkan alisnya,
“Enci Siang Cun seorang wanita yang gagah perkasa dan cantik, dan Ngo-heng Bu-koan tempat orang-orang gagah, Suhu. Akan tetapi apakah Suhu mencintanya?”
Mendengar kata cinta keluar dari mulut anak itu, mau tidak mau Sin Hong tersenyum geli.
“Aih Yo Han, tahu apa engkau tentang cinta? Dan kenapa kau bertanya demikian?”
“Suhu, menjadi suami isteri berarti hidup berdampingan selama hidup! Kalau Suhu dan enci Siang Cun saling mencinta, tidak ada masalah apa pun untuk berjodoh dengannya.”
Sin Hong menggeleng kepalanya.
“Aku kagum dan suka kepadanya, akan tetapi tentang cinta.... aku masih belum tahu, Yo Han. Akan tetapi, kalau aku menolak, berarti ia akan mati membunuh diri dan aku akan merasa berdosa, seolah-olah aku yang membunuhnya.” Sin Hong lalu menceritakan tentang Siang Cun seperti yang didengarnya dari Bhe Kauwsu tadi.
Yo Han membelalakkan matanya.
“Wah, sungguh aneh-aneh pikiran seorang dewasa! Kelihatan telanjang bulat saja sudan mau bunuh diri kalau tidak dikawin! Jadi kalau Suhu mengawininya, berarti Suhu menyelamatkan nyawanya?”
“Begitulah!”
“Tapi.... tapi, Suhu. Bagaimana, dengan.... enci Hong Li?”
Terkejut rasa nati Sin Hong mendengar ini. Jantungnya berdebar.
“Apa maksudmu? Ada apa dengan Hong Li?”
“Suhu cinta padanya, dan enci Hong Li mencinta Suhu. Kalau Suhu menikah dengan gadis lain....“
“Ah, Yo Han, jangan sebut-sebut lagi namanya. Engkau tidak tahu bahwa tidak mungkin bagiku untuk bersanding dengan Hong Li. Pertama, ia adalah murid keponakanku sendiri, dan ke dua, kedudukan kami sungguh berbeda seperti bumi dengan langit. Agaknya.... agaknya, tidak ada lain jalan bagiku kecuali menerima uluran tangan Bhe Kauwsu....“
“Wah, kionghi (selamat), Suhu!” Yu Han lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dan memberi selamat kepada gurunya.
Dengan muka berubah agak kemerahan Sin Hong merangkul muridnya sambil tertawa.
Setelah berpikir semalam suntuk, akhirnya Sin Hong mengambil keputusan untuk menerima uluran tangan Bhe Kauwsu. Ada beberapa hal yang mendorongnya menerima uluran tangan itu. Terutama sekali untuk mencegah Siang Cun membunuh diri mencuci perasaan terhina dan malu. Dan masih banyak segi yang ada kebaikannya. Dia dapat menyumbangkan kepandaiannya untuk memajukan Ngo-heng Bu-koan dan dapat hidup berkeluarga yang layak. Selain itu, juga dia dapat menempatkan Yo Han dalam lingkungan yang baik. Sebaliknya, kalau dia menolak, besar sekali kemungkinan Siang Cun akan membunuh diri, dan dia bersama Yo Han akan hidup berkeliaran tanpa tempat tinggal yang tetap dan terutama sekali dia akan selalu merasa berdosa. Dia tidak dapat terlalu menyalahkan sikap Siang Lun yang berkeras hendak membunuh diri kalau tidak menjadi isterinya karena bagi seorang gadis yang keras hati dan menjaga benar nama dan kehormatannya, maka peristiwa yang dialaminya itu, ketika ia dalam keadaan telanjang bulat dilihat oleh Sin Hong, bahkan diobati pemuda itu dengan cara yang melanggar batas kesusilaan, sungguh merupakan suatu hal yang mendatangkan aib dan malu yang akan ditanggung selama hidupnya. Kalau Sin Hong menjadi suaminya, maka peristiwa itu dengan sendirinya tidak akan meninggalkan rasa malu, bahkan mungkin akan menjadi kenangan indah dan mesra bagi keduanya. Dan biarpun Sin Hong belum dapat memastikan apakan ada perasaan cinta dalam hatinya terhadap Siang Cun, namun dia harus mengakui bahwa dia kagum dan suka kepada gadis itu, dan harus diakuinya pula secara jujur bahwa dia tertarik melihat kecantikan wajah dan keindahan tubuh gadis itu!
Hong Li membaca surat itu dan tak dapat ditahannya lagi air matanya yang jatuh berderai. Ayah dan ibunya, Kao Cin Liong dan Suma Hui, duduk di depannya dan suami isteri itu saling pandang, lalu menatap wajah puteri mereka dengan hati terharu. Mereka berdua sudah lama membujuk Hong Li agar suka menjatuhkan pilihannya. Sudah terlalu banyak pemuda yang datang meminangnya, akan tetapi gadis itu selalu menolak. Suami isteri itu, biarpun puteri mereka tidak mengaku terus terang, dapat mengerti bahwa Hong Li mencinta Sin Hong dan selalu menanti datangnya pemuda yang masih terhitung susioknya itu. Karena cintanya itulah maka Hong Li masih belum mau menerima pinangan sekian banyaknya pemuda pilihan. Dan pada pagi ini, suami isteri itu menerima sepucuk surat dari Tan Sin Hong, mengabarkan bahwa pemuda itu telah menikah dengan puteri ketua Ngo-heng Bu-koan di kota Lu-jiang. Setelah membaca surat ini, mereka bersepakat untuk membiarkan puteri mereka membacanya. Dan pada siang hari itu, di depan ayah bundanya, Hong Li membaca surat Sin Hong. Sin Hong telah menikah dengan wanita lain! Begitu membaca surat itu, dunia rasanya gelap bagi Hong Li dan tanpa dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya setelah ia membaca surat itu. Surat itu terlepas dari tangannya dan ia menubruk ibunya sambil menangis!
Suma Hui merangkul puterinya, juga berlinang air mata. Ia merasa kasihan sekali kepada puterinya dan tanpa sepatah pun kata, kedua orang wanita ini saling berangkulan dan sang ibu tahu benar apa yang dirasakan oleh batin puterinya.
“Sudahlah, anakku. Tenangkan hatimu, tabahkan hatimu. Ada tiga hal dalam hidup ini yang tidak dikuasai manusia, melainkan diatur oleh Thian sendiri, yaitu kelahiran, pernikahan dan kematian. Kalau dua orang sudah berjodoh, dihalangi bagaimanapun juga akhirnya akan bertemu dan menjadi jodoh, sebaliknya kalau memang tidak berjodoh, diusahakan bagaimanapun, akan gagal.”
“Akan tetapi.... Ibu...., dia.... kenapa dia menikah begitu saja.... kenapa tidak memberitahu lebih dulu kepadaku.... padahal.... dia tahu.... bahwa aku.... aku mengharapkan dia”
“Sudahlah Hong Li, seorang gagah tidak membiarkan perasaannya hanyut dalam sesal, kecewa dan duka.” kata Kao Cin Liong dengan sikap tenang. “Agaknya Sin Hong sute merasa bahwa tidak mungkin dia berjodoh dengan murid keponakannya sendiri, maka dia menikah dengan gadis lain. Segala sesuatu sudah terjadi dan tidak perlu disesalkan lagi. Sekarang, kuharap engkau berani menghadapi kenyataan dan pilihlah seorang di antara para peminang yang masih menanti keputusan kita.”
Hong Li bangkit semangatnya mendengar ucapan ayahnya. Ia menghapus sisa air matanya dengan ujung baju ibunya, lalu mundur memisahkan diri dari ibunya, duduk di atas kursi memandang kepada ayah bundanya, lalu berkata dengan suara yang tenang.
“Ayah dan Ibu ingin sekali agar aku menikah?”
Suami isteri itu saling pandang dan Suma Hui tersenyum.
“Anakku, pertanyaanmu sungguh lucu. Engkau adalah anak kami satu-satunya. Engkau adalah seorang anak perempuan dan sekarang engkau telah lebih dari dewasa. Usiamu sudah dua puluh dua tahun. Ayah dan ibu mana yang tidak ingin melihat anak perempuannya menikah?”
“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Hong Li sambil memandang ayahnya.
Kao Cin Liong batuk-batuk beberapa kali sebelum menjawab.
“Aku setuju dengan pendapat ibumu. Aku sudah ingin menjadi seorang kakek, menimang cucuku, Hong Li.”
Mendengar ucapan ayahnya ini, Hong Li merasa terharu sekali dan ia merasa betapa ia seorang anak yang tidak berbakti, tidak dapat menyenangkan hati orang tuanya.
“Baiklah, Ayah dan Ibu. Sekarang aku akan menurut, akan tetapi aku tidak dapat memilih Ayah, maka harap Ayah dan Ibu yang memilihkan untukku. Aku tidak akan menolak lagi....“ Setelah berkata demikian, Hong Li bangkit, meninggalkan mereka dan memasuki kamarnya lalu melempar tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan mukanya di balik bantal.
Biarpun hati mereka diliputi keharuan dan iba terhadap puteri mereka, namun ada perasaan gembira bahwa kini Hong Li tidak menolak. Mereka berdua lalu melakukan pemilihan dan akhirnya memilih seorang pemuda bernama Thio Hui Kong, seorang putera jaksa yang tampan dan juga memiliki ilmu silat yang cukup kuat di samping ilmu sastra yang cukup baik. Thio Hui Kong adalah putera tunggal dari Jaksa Thio dan pembesar ini terkenal sebagai seorang jaksa yang adil dan jujur. Pemuda itu pun terkenal pula sebagai seorang pemuda yang alim, dan tekun belajar. Kao Cin Liong dan isterinya merasa yakin bahwa mereka tidak salah pilih. Sudah lama Jaksa Thio meminang dan selalu mereka minta waktu dan kini dengan gembira mereka menerima pinangan itu.
Ketika diberitahu oleh ayah ibunya bahwa telah ditemukan seorang calon suami untuknya, Hong Li hanya mengangguk dan tersenyum malu-malu, akan tetapi di dalam hatinya, ia merasa berduka sekali. Akan tetapi, ia menahan perasaannya karena ia harus berbakti kepada orang tuanya. Kalau menurut kehendak hatinya, rasanya ia tidak ingin menikah setelah harapannya terhadap Sin Hong gagal. Akan tetapi, ia adalah anak tunggal dan kalau ia tidak dapat menyenangkan hati orang tuanya, berarti ia seorang anak yang tidak berbakti dan hal itu sungguh tidak diinginkannya. Biarlah ia menerima pilihan orang tuanya dan menyerahkan diri kepada nasib.
Pernikahan antara Hong Li dan Thio Hui Kong dirayakan secara meriah oleh keluarga Kao. Maklum, Hong Li merupakan anak tunggal dan keadan orang tuanya memungkinkan untuk merayakan pernikahan itu secara besar-besaran. Selain itu, juga Thio Hui Kong adalah putera dan anak tunggal Jaksa Thio yang terkenal. Tidaklah mengherankan kalau pesta pernikahan itu dirayakan secara besar-besaran dan banyak tamu diundang untuk menghadiri perayaan itu.
Di antara para tamu, datang pula Tan Sin Hong bersama isterinya. Yo Han tidak diajak walaupun di dalam hatinya, Yo Han ingin sekali menghadiri pesta pernikahan Hong Li yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Berdebar juga rasa jantung dalam dada Sin Hong ketika dia bersama isterinya memasuki ruangan pesta dengan para tamu lainnya, disambut oleh Kao Cin Liong dan isterinya yang duduk di panggung sebagai tuan rumah, tidak begitu jauh dengan tempat duduk sepasang mempelai yang berada di tengah panggung.
Kao Cin Liong dan isterinya hanya dapat menyambut Sin Hong dan isterinya dengan singkat saja karena banyaknya tamu yang berbondong-bondong datang bersamaan waktunya dengan Sin Hong. Mereka dipersilakan untuk duduk di ruangan tamu yang sudah disediakan, di depan panggung di mana terdapat ratusan buah kursi. Lebih dari separuh ruangan itu telah penuh tamu. Akan tetapi, Sin Hong tidak langsung duduk di ruangan tamu, melainkan mengajak isterinya untuk menghampiri sepasang mempelai dan memberi selamat. Dia tidak merasa kikuk karena bukankah dia masih termasuk keluarga, walaupun hanya sute dari tuan rumah? Dia sudah memberi penjelasan kepada isterinya siapa keluarga Kao dan tentu saja dia tidak pernah menyinggung soal hubungan batin antara dia dan mempelai wanita kepada isterinya. Dari jauh, Sin Hong melihat betapa Hong Li nampak cantik jelita dalam pakaian mempelai, namun wajah Hong Li kelihatan lesu dan tidak membayangkan kegembiraan. Di sampingnya duduk mempelai pria dan di dalam hatinya, Sin Hong bersyukur melihat betapa gagah dan tampannya mempelai pria itu. Syukurlah, Hong Li memperoleh seorang jodoh yang memang patas mendampinginya selama hidup, pikirnya sambil mengajak, isterinya melangkah maju perlahan-lahan menghampiri tempat duduk sepasang mempelai.
“Nona Kao Hong Li, kami mengucapkan selamat atas pernikahanmu, semoga kalian berdua mempelai hidup berbahagia.” kata Sin Hong yang mengajak isterinya mengangkat tangan ke depan dada memberi hormat.
Hong Li memandang dan mata mempelai wanita itu terbelalak ketika ia mengenal Sin Hong. Bedak tebal yang menutupi wajahnya menyembunyikan perubahan mukanya yang menjadi pucat sekali.
“Kau.... kau Susiok....“ katanya berbisik. “Dan ini isteri Susiok....?”
Sin Hong mengangguk dan tersenyum.
“Benar, ini adalah isteriku.” Hong Li menoleh kepada suaminya dan memperkenalkan. “Ini Susiok Tan Sin Hong dan isterinya, dari kota Lu-jiang.”
Tadinya Thio Hui Kong mengerutkan alisnya, akan tetapi ketika mendengar bahwa sepasang orang muda yang memberi selamat kepada isterinya adalah susiok (paman guru) isterinya, kerut di alisnya lenyap dan dia pun cepat membalas pemberian selamat itu sambil tersenyum, Sin Hong lalu menggandeng tangan isterinya, diajak meninggalkan sepasang mempelai untuk duduk di ruangan yang sudah disediakan untuk para tamu.
Akan tetapi, baru beberapa langkah dia dan isterinya meninggalkan tempat itu, terdengar Hong Li mengeluh dan disusul suara ribut-ribut dari para wanita yang mengerumuni sepasang pengantin untuk melayani mereka itu. Ternyata pengantin wanita telah roboh pingsan dalam kursinya! Tentu saja keadaan menjadi agak sibuk. Kao Cin Liong dan isterinya cepat menghampiri puteri mereka dan setelah memeriksanya, Kao Cin Liong berkata kepada para tamu yang mendekat bahwa puterinya terlalu lelah, kurang tidur dan perutnya kosong selama dua hari ini sehingga masuk angin! Pengantin wanita lalu dipondong masuk ke dalam oleh suaminya dan pesta dilanjutkan tanpa adanya sepasang mempelai. Keluarga tuan rumah tetap melayani tamu dan memang Kao Cin Liong dan isterinya tidak mengkhawatirkan keadaan puteri mereka walaupun mereka saling pandang dan maklum bahwa kehadiran Sin Hong itulah yang membuat puteri mereka mengalami guncangan batin dan menjadi pingsan!
Sementara itu, Sin Hong yang merasa berduka sekali melihat Hong Li roboh pingsan, hal yang menjadi pertanyaan besar di dalam hatinya, mengajak isterinya ke ruangan yang disediakan untuk para tamu. Diam-diam dia merasa khawatir sekali. Hong Li adalah seorang gadis yang keras hati dan tabah, juga gagah perkasa sehingga tidak mudah sakit, apalagi masuk angin! Tentu ada sesuatu yang menyebabkan gadis itu pingsan, dan dia merasa khawatir sekali karena gadis itu pingsan setelah bertemu dengan dia! Agaknya, Bhe Siang Cun juga menduga akan hal ini dan isteri itu cemberut, alisnya berkerut dan terasa betapa tangan dan lengannya kaku ketika digandengnya menuju ke ruangan tamu.
“Hemmm, kiranya ada apa-apa antara paman dan keponakan! Bagus, ya?” kata Siang Cun dengan suara berbisik, namun dalam suara itu terkandung penyesalan besar.
“Hushhh, jangan menyangka yang bukan-bukan!” balas Sin Hong, juga berbisik, akan tetapi dia merasa betapa jurang antara dia dan isterinya menjadi semakin lebar dan kini agaknya tidak ditutupi lagi dengan kepura-puraan yang manis dan mesra. Isterinya jelas memperlihatkan kekurang senangan hatinya dengan muka merengut dan pandang mata marah, juga kini isterinya melepaskan tangannya yang digandeng!
“Cun Su-moi....!” Tiba-tiba terdengar seruan seorang pria di antara para tamu.
Siang Cun menoleh dan seketika wajah yang merengut tadi menjadi cerah, berseri dan senyumnya manis sekali ketika ia mengenal pria muda yang menegurnya itu. Pria itu adalah seorang di antara suhengnya, murid ayahnya yang sudah beberapa tahun meninggalkan perguruan. Suhengnya itu bernama Ciang Kun, dan ketika ia berusia lima belas tahun, antara ia dan suhengnya itu terjalin semacam cinta monyet atau cinta antara dua orang remaja. Cinta itu terputus ketika Ciang Kun meninggalkan perguruan dan orang tuanya pindah dari kota Lu-jiang ke kota raja. Tak disangkanya di tempat ini ia akan berjumpa dengan suhengnya yang pernah disayangnya dan pernah dirindukannya itu.
“Kun-suheng.... ! Kau di sini? Mana isterimu?” tanya Siang Cun sambil memandang dan kedua pipinya berubah kemerahan. Pemuda yang jangkung dan tampan itu tersenyum lalu menggeleng kepala dan menggoyang tangan kanan, tanda bahwa dia belum menikah.
Karena banyak di antara para tamu memandang kepada mereka, tentu saja mereka tidak dapat leluasa bicara.
“Kun-suheng, datanglah ke Lu-jiang, kami semua sudah rindu padamu!”
Ciang Kun mengangguk.
“Baik, aku akan datang berkunjung.”
Hanya sampai di situ saja percakapan itu. Terpaksa Siang Cun bersama suaminya mencari tempat kosong di ruangan yang disediakan untuk para tamu yang berpasangan, yaitu suami isteri yang datang berdua. Ada tiga ruangan untuk para tamu, yaitu bagian pria, bagian wanita, dan bagian para tamu yang datang bersama isteri atau suami mereka.
Siang Cun memilih meja yang masih kosong. Meja itu dikelilingi delapan buah bangku dan belum ada seorang pun tamu duduk di situ. Kesempatan duduk berdua ini dipergunakan oleh Siang Cun untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.
Mereka saling berpandangan, duduk bersanding menghadapi meja bundar. Tidak seorang pun di antara mereka bicara, hanya pandang mata mereka seperti saling menjenguk isi hati mereka.
Kemudian Siang Cun lebih dulu berkata,
“Engkau tidak bertanya siapa pria muda yang menegurku tadi?” Ia sengaja memancing pertengkaran.
Akan tetapi Sin Hong merasa malu kalau harus bertengkar dengan isterinya di tempat pesta itu. Dia tersenyum dan menjawab halus,
“Tanpa bertanya pun aku sudah dapat menduga bahwa dia tentulah seorang suhengmu yang sudah lama tidak bertemu denganmu.”
Mendengar suara suaminya yang lembut dan sikapnya yang tenang, agak berkurang kemarahan Siang Cun yang bangkit karena cemburu itu.
“Dia seorang suhengku yang terpandai dan sudah empat tahun atau lima tahun kami tidak saling berjumpa. Aku gembira sekali dapat bertemu dengan dia di sini! Ketika kita menikah, ayah tidak dapat mengirim undangan karena tidak tahu di mana dia tinggal.”
Sin Hong tetap tersenyum dan mengangguk. Bagi dia, pertemuan itu sudah sewajarnya kalau mendatangkan kegembiraan. Dia masih merasa terharu dan tegang mengenang Hong Li yang roboh pingsan tadi. Pikirannya penuh dengan itu sehingga dia hampir tidak memperhatikan keadaan isterinya dan pertemuan antara isterinya dan suheng isterinya itu pun dilupakannya lagi.
Melihat suaminya termenung, Siang Cun segera berkata,
“Sebaliknya, pertemuanmu dengan murid keponakanmu yang menjadi pengantin itu agaknya menimbulkan kenangan pahit sehingga ia sampai roboh pingsan. Sebenarnya, ada apakah antara kalian?”
“Tidak ada apa-apa.” kata Sin Hong menggeleng kepalanya dengan wajah diliputi kedukaan.
“Tidak mungkin! Tentu ada hubungan yang istimewa, kalau tidak begitu, tak mungkin ia jatuh pingsan begitu bertemu dan bicara denganmu!” kata Siang Cun yang meninggikan suaranya sehingga beberapa buah kepala menoleh ke arah mereka.
Sin Hong mengerutkan alisnya, berbisik,
“Tenanglah, di sini bukan tempat untuk ribut-ribut. Nanti saja kita bicara tentang itu dan aku akan menerangkan segalanya.”
Siang Cun mengangguk, akan tetapi selanjutnya, ia bersungut-sungut. Meja itu dipenuhi para tamu yang berdatangan dan mereka pun mulai pesta makan minum hidangan yang disuguhkan.
Setelah pesta berakhir, para tamu bubaran dan Sin Hong bersama isterinya juga berpamit dari tuan rumah. Ketika mereka berkesempatan untuk minta diri dari Kao Cin Liong dan Suma Hui, Sin Hong merasa sepatutnya kalau dia bertanya tentang keadaan Hong Li.
“Suheng, bagaimana dengan kesehatan puterimu? Kuharap ia sudah sehat kembali, Suheng.”
Kao Cin Liong memandang kepada sutenya dengan alis berkerut. Dia tidak menyalahkan sutenya ini, akan tetapi hanya menyesali pertemuan antara puterinya itu dengan Sin Hong yang mengakibatkan puterinya mengalami guncangan batin. “Ia sudah sehat kembali, terima kasih, Sute.”
Dalam perjalanan pulang ke Lu-jiang, barulah Siang Cun mendapat kesempatan untuk menuntut agar suaminya suka bicara terus terang mengenai hubungannya dengan Kao Hong Li. Sin Hong menarik napas panjang. Sebetulnya, urusannya dengan Hong Li adalah urusan yang hanya dia ketahui sendiri saja, mengenai perasaan batin antara mereka dan tidak akan diceritakan kepada siapapun juga. Akan tetapi, tak disangkanya bahwa kehadirannya dalam pesta pernikahan Hong Li itu membuat Hong Li menderita dan isterinya menjadi curiga dan cemburu. Kalau dia tidak bicara terus terang, tentu hubungannya dengan isterinya akan menjadi semakin buruk.
“Sesungguhnya, tidak ada apa-apa di antara kami yang perlu dicurigai,” katanya, mencoba untuk membantah.
“Tidak perlu berbohong. Aku adalah seorang wanita dan aku tahu apa yang telah terjadi. Begitu bertemu denganmu, ia menderita guncangan hebat. Biarpun mukanya tertutup
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar