Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 23

Kisah Si Bangau Merah Jilid 23

23

“Plakkk!” Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, kedua orang wanita itu terdorong ke belakang.
Keduanya terkejut, akan tetapi yang merasa lebih penasaran adalah Ang I Moli. Setelah berhasil menguasai Toat-beng-tok-hiat, ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada ilmu pukulan yang dapat menandingi ilmunya itu!
Sebelum kedua orang wanita ini saling terjang lagi, mendadak nampak bayangan berkelebat dan Gangga Dewi telah berhadapan dengan Ang I Moli.
“Iblis betina Ang I Moli, sekarang aku mengenalmu! Di mana kausembunyikan Yo Han? Hayo cepat beritahu atau terpaksa aku akah menyiksamu untuk mengaku!” bentakan Gangga Dewi ini selain mengejutkan hati Ang I Moli, juga membuat Kao Hong Li memandang heran. Ia tidak mengenal wanita cantik yang tadi ia lihat duduk di sebelah pamannya, Suma Ciang Bun. Dan kini wanita ini mengenal Ang I Moli, bahkan menyebut-nyebut nama Yo Han!
Ang I Moli sudah pernah bertemu dan bertanding dengan Gangga Dewi dan ia tahu akan kelihaian wanita Bhutan itu. Tak disangkanya bahwa wanita itu dapat mengenal ia yang sudah menyamar.
“Mampuslah!” bentaknya dan ia pun menggerakkan pedangnya menusuk. Gangga Dewi memiliki gin-kang yang hebat dan ia mampu bergerak cepat bukan main. Serangan pedang itu dapat dielakkannya dengan mudah dan begitu tangan kirinya bergerak, nampak gulungan sinar putih mengkilat yang panjang seperti seekor ular menyambar.
Kiranya Gangga Dewi telah membalas dengan serangan sabuk sutera putihnya. Sabµk itu meluncur kaku bagaikan berubah menjadi tongkat menotok ke arah dada Ang I Moli.
Ang I Moli menangkis dengan pedangnya, dan tangan kirinya mendorong dengan ilmu yang diandalkannya, yaitu Toat-beng-tok-hiat. Uap putih yang berbau busuk menyambar dan Gangga Dewi cepat meloncat ke belakang, maklum bahwa lawannya itu menggunakan pukulan beracun yang amat jahat.
“Bibi, biar aku yang menghalau iblis betina ini!” Kao Hong Li membentak dan ia pun menerjang maju, sekali ini menggunakan jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat dari Istana Gurun Pasir. Demikian hebatnya daya serang ilmu ini sehingga Ang I Moli yang memegang pedang itu tidak berani menyambut dan terhuyung ke belakang.
Gangga Dewi sudah mendapat bisikan dari suaminya siapa Kao Hong Li, keponakan suaminya, puteri dari Kao Cin Liong dan Suma Hui, maka ia pun memutar sabuk suteranya dan berseru.
“Kao Hong Li, aku adalah isteri pamanmu Suma Ciang Bun. Namaku Gangga Dewi dari Bhutan.”
Mendengar ini, Hong Li merasa heran akan tetapi juga gembira. Ia pernah mendengar akan keadaan pamannya, Suma Ciang Bun yang mempunyai kelainan, tidak menyukai wanita karenanya tidak mau menikah. Dan kini tahu-tahu dia mempunyai seorang isteri yang cantik, seorang wanita Bhutan. Dan ia pun teringat bahwa ayah dan ibunya pernah bercerita tentang seorang puteri Bhutan bernama Syanti Dewi yang menikah dengan pendekar Wan Tek hoat, saudara tiri dari neneknya, yaitu mendiang nenek, Wan Ceng!
“Apakah engkau puteri dari kakek Wan Tek Hoat, Bibi?” katanya sambil mengelak dari sambaran pedang Ang I Moli yang sudah membalas serangannya.
“Benar! Mari kita tundukkan iblis ini, Hong Li!”
Kao Hong Li semakin gembira dan kedua orang wanita ini mendesak Ang I Moli yang menjadi sibuk sekali. Menghadapi seorang di antara mereka saja, amat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan. Kini mereka maju bersama mengeroyoknya. Tentu saja ia kewalahan dan terus mundur.
“Singg....!” Dengan nekat Ang I Moli membacokkan pedangnya ke arah kepala Gangga Dewi. Wanita Bhutan ini mengelebatkan sabuknya yang kini menjadi lemas dan sabuk itu menyambut pedang, terus melibatnya dengan kuat. Ang I Moli terkejut dan berusaha menarik lepas pedangnya. Namun sia-sia saja karena sabuk sutera putih itu sudah melibat pedang dengan amat kuatnya. Ketika ia bersitegang dan menarik-narik pedangnya agar terlepas, Hong Li sudah meloncat ke depan dan sekali jari tangannya meluncur dan menotok, Ang I Moli roboh terkulai dengan lemas.
Hong Li menginjak perut Ang I Moli dan melihat ini, Gangga Dewi berseru,
“Jangan bunuh dulu!”
Hong Li memandang wanita Bhutan itu dan tersenyum.
“Bibi, aku tidak ingin membunuhnya. Akan kuserahkan kepada Liu Tai-ciangkun. Akan tetapi, ia harus lebih dulu mengatakan di mana ia menyembunyikan puteriku. Hayo, Moli, tiada gunanya engkau melawan lagi. Aku dapat membunuhmu, menyiksamu. Katakan dimana engkau menyembunyikan puteriku, dan aku tidak akan menyiksamu, melainkan menyerahkan engkau kepada Liu Ciangkun.
“Aku tidak tahu, aku tidak pernah melihat puterimu,” jawab Ang I Moli dengan sikap acuh. Ia tahu bahwa ia telah kalah dan tertawan, akan tetapi wanita sesat yang lihai dan cerdik ini tidak merasa gentar. Selama ia masih hidup, ia takkan pernah putus asa dan menyerah.
“Bohong! Puteriku yang kami tinggalkan di rumah penginapan itu hilang. Siapa lagi kalau bukan engkau dan kawan-kawanmu yang telah manculiknya? Hayo katakan, di mana ia!”
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu. Terserah engkau mau percaya atau tidak,” jawab Ang I Moli acuh.
“Iblis busuk, engkau patut dihajar!” Hong Li yang amat mengkhawatirkan puterinya, mengangkat tangan hendak memukul. Akan tetapi Gangga Dewi menyentuh pundaknya.
“Nanti dulu, Hong Li. Ia harus memberitahu dulu di mana adanya Yo Han. Ang I Moli, engkau dan dua orang tosu itu melarikan Yo Han. Beberapa tahun yang lalu aku mengejarmu dan mencarimu, akan tetapi gagal. Nah, katakan di mana Yo Han sekarang?”
Ang I Moli tersenyum mengejek.
“Yo Han telah menjadi murid para pimpinan Thian-li-pang dan dia sudah menjadi orang Thian-li-pang. Kalau engkau hendak mencarinya, carilah Thian-li-pang.”
Karena dapat menduga bahwa dalam keadaan seperti itu, Ang I Moli kiranya tidak ada perlunya lagi membohong. Hong Li tidak mendesaknya lagi melainkan menyerahkan wanita itu kepada seorang perwira untuk dibelenggu dan dijadikan tawanan.
“Bibi, kita tangkap yang lain dan paksa mereka mengaku di mana anakku Sian Li dan di mana pula adanya Yo Han,” kata Hong Li dan kedua orang wanita ini lalu terjun lagi ke dalam pertempuran. Sementara itu, Sin Hong yang juga sudah berhasil menundukkan dan merobohkan Ouw Cun Ki tanpa membunuhnya. Bekas perwira pasukan pengawal hasil selundupan Thian-li-pang ini dibelenggu dan menjadi tawanan. Melihat betapa isterinya dan wanita Bhutan itu mengamuk, membantu Suma Ciang Bun, Sin Hong juga membantu mereka dan keadaan para tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw semakin terdesak. Akhirnya belasan orang dapat ditawan dan beberapa orang tewas.
Kaisar Kian Liong marah sekali mendengar bahwa Ouw Cun Ki yang dipercaya dan diberi anugerah pangkat tinggi itu ternyata adalah mata-mata pemberontak Thian-li-pang yang diselundupkan ke istana. Dia memerintahkan para panglimanya untuk menghukum berat kepada para pemberontak itu, hukum buang dan hukum mati bagi para pemimpinnya. Biarpun tidak ada bukti bahwa Siang Hong-houw terlibat langsung dengan para pemberontak, namun permaisuri itulah yang memberi angin dan yang memperkenalkan Ouw Cun Ki kepada Kaisar. Akan tetapi ketika Kaisar yang merasa tidak enak hati dan tidak senang mengunjungi permaisurinya, dia mendapatkan bahwa Siang Hong-houw sedang rebah dan dalam keadaan sakit keras.
Melihat keadaan Siang Hong-houw, Kaisar tidak tega untuk menegur atau bertanya. Dan memang penyakit permaisuri itu cukup payah, bahkah pertolongan para tabib tidak dapat mengurangi penderitaannya. Permaisuri ini merasa amat berduka dan kecewa karena telah dibohongi untuk kedua kalinya oleh orang-orang Thian-li-pang. Hampir saja semua pangeran tewas keracunan, dan kalau hal itu sampai terjadi, maka ialah yang bertanggung jawab. Bahkan kematian Pangeran Kian Ban Kok juga membuat ia merasa bersalah besar, Ia merasa bahwa kematian itu tidak akan terjadi kalau saja ia tidak memasukkan Ouw Cun Ki ke dalam istana! Hal itu berarti bahwa ialah pembunuh pangeran itu dan perasaan ini membuat ia berduka dan menyesal bukan main. Ia memang mendendam terhadap pemecintah Mancu yang telah menghancurkan kehidupan keluarganya. Akan tetapi, harus diakuinya bahwa Kaisar Kian Liong amat menyayangnya dan bersikap amat baik kepadanya sehingga kalau ia sebagai seorang isteri yang dicinta sampai melakukan kejahatan terhadap Kaisar dan keluarganya, maka ialah yang berdosa besar. Perasaan bersalah ini, mendatangkan penyesalan yang membuat Siang Hong-houw jatuh sakit parah. Demikian parah sakitnya sehingga beberapa bulan kemudian, Permaisuri Harum ini meninggal dunia karena sakitnya.
Setelah merobohkan banyak orang tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, Sin Hong, Hong Li, dibantu Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, mencoba untuk mencari keterangan tentang Sian Li dan Yo Han kepada mereka. Akan tetapi, ternyata tidak ada seorang pun di antara mereka tahu tentang dua orang itu. Akhirnya, setelah menyerahkan semua tawanan kepada Liu Ciangkun, empat orang itu meninggalkan istana tanpa mengharapkan balas jasa sama sekali.
Mereka berempat keluar dari istana dan saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Yo Han yang diculik dan dilarikan Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw.
“Menurut pengakuan Ang I Moli tadi, Yo Han diserahkan kepada para pimpinan Thian-li-pang dan menjadi murid mereka. Aku harus pergi mencarinya di sarang Thian-li-pang!” kata Gangga Dewi.
“Hemm, kukira tidak mudah untuk menentang Thian-li-pang. Perkumpulan pemberontak itu selain memiliki anak buah yang ribuan orang banyaknya, juga bersekutu dengan Pek-lian-kauw sehingga mereka itu kuat sekali. Kita harus berhati-hati melakukan penyelidikan.”
“Benar sekali apa yang dikatakan Paman Suma Ciang Bun,” kata Tan Sin Hong.
“Pasukan pemerintah pun sukar membasmi perkumpulan Thian-li-pang yang selalu merahasiakan tempat yang menjadi sarang mereka. Di mana-mana mereka mempunyai cabang, bahkan banyak orang gagah membantu mereka karena mereka itu selalu melakukan gerakan menentang pemerintah Mancu.”
“Bagi kami, yang terpenting adalah mencari anak kami. Sian Li lenyap dari rumah penginapan di mana orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw mengadakan rapat,” kata Hong Li dengan nada suara mengandung kegelisahan.
“Hemm, memang mencurigakan,” kata Suma Ciang Bun. “Siapa lagi kalau bukan mereka yang menculik anakmu? Akan tetapi, tiada seorang pun di antara mereka yang kita robohkan mengakui melihat anak itu. Sebaiknya kalau kita mencari keterangan di rumah penginapan itu lagi.”
Mereka berempat lalu pergi ke rumah penginapan itu dan melakukan penyelidikan.
Akhirnya, dari seorang tukang masak di rumah penginapan itu, mereka mendengar bahwa pada saat lenyapnya Sian Li, seperti biasa di depan dapur berkumpul banyak pengemis dan di antaranya terdapat seorang pengemis tua yang asing. Ketika Sian Li melihat para pengemis minta makanan sisa, tukang masak itu melihat betapa pengemis asing itu menghampiri Sian Li dan minta sumbangan dari nona kecil itu. Oleh Sian Li, pengemis itu diberi sepotong uang perak dan pengemis itu pun pergi, tidak jadi minta makanan sisa.
Keterangan itu tidak begitu berarti, namun cukup menjadi bahan pemikiran Sin Hong dan isterinya, juga Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
“Dalam keadaan seperti itu, setiap kemungkinan dapat saja terjadi, dan setiap orang asing patut dicurigai,” kata Gangga Dewi. Mereka lalu minta kepada tukang masak untuk menggambarkan keadaan pengemis itu.
“Dia sudah berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan punggung bongkok seperti udang. Memegang tongkat butut dan suaranya seperti orang dari daerah selatan. Matanya juling.” Demikian keterangan yang mereka peroleh.
Empat orang pendekar itu lalu berpencar, mencari pengemis-pengemis di kota Heng-tai.
Kepada setiap pengemis, mereka memberi hadiah dan bertanya tentang pengemis seperti yang digembarkan tukang masak tadi.
Sin Hong sendiri yang akhirnya mendapatkan keterangan, setelah para pengemis lain hanya mengaku bahwa mereka pun baru hari itu melihat pengemis bongkok itu, seorang di antara mereka menerangkan bahwa pengemis bongkok itu datang dari selatan dan merupakan seorang pengemis yang jahat. Si Bongkok itu lihai sekali dan berlaku sewenang-wenang terhadap para pengemis lainnya. Bahkan Phoa-pangcu, ketua para pengemis di kota Heng-tai, pernah dipukul babak-belur ketika menegur pengemis bongkok yang bersikap sewenang-wenang itu.
“Kau tahu siapa dia?” Sin Hong bertanya.
“Dia mengaku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam),” jawab pengemis itu.
“Dan engkau melihat dia bersama seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang berpakaian serba merah?” Sin Hong mendesak.
Pengemis itu tidak melihatnya. Sin Hong menjadi putus asa, apalagi ketika bertemu kembali dengan isterinya dan dengan Suma Ciang Bun bersama Gangga Dewi, tiga orang itu pun sama sekali tidak menemukan jejak Sian Li.
“Sebaiknya kalian lanjutkan perjalanan ke Cin-an dan ceritakan peristiwa kehilangan anak itu kepada Adik Suma Ceng Liong,” kata Suma Ciang Bun. “Dengan demikian maka dia pun akan dapat membantu kalian mencari jejak. Kami sendiri akan melanjutkan usaha kami mencari jejak Sian Li.”
Karena tidak melihat jalan lain yang lebih baik, Sin Hong dan Hong Li setuju dan dua pasangan itu saling berpisah. Sin Hong dan isterinya pergi ke Cin-an untuk mengunjungi Suma Ceng Liong, sedangkan Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi akan melanjutkan usaha mereka mencari jejak Sian Li. Juga diam-diam mereka hendak menyelidiki Thian-li-pang karena menurut pengakuan Ang I Moli, Yo Han kini berada di perkumpulan pemberontak itu.
***
Ke manakah perginya Sian Li? Ketika anak ini ditinggal pergi ayah ibunya, diam-diam ia merasa kesal untuk berdiam diri di kamarnya saja. Maka, setelah menanti dua jam di kamarnya dan tidak melihat ayah ibunya pulang, Sian Li keluar dari dalam kamarnya dengan maksud untuk berjalan-jalan menghitangkan kekesalannya.
Gadis kecil ini tidak tahu bahwa sejak ia keluar dari dalam kamarnya, sepasang mata telah mengikutinya, sepasang mata yang nampak kemerahan dan kejam. Pemilik mata ini bukan lain adalah Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), pria empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan yang pernah mengganggu Sian Li di taman. Dia adalah seorang di antara anak buah Ang I Moli yang bertugas jaga di luar ruangan rapat.
Sejak tadi, dia mendendam kepada ibu gadis cilik berpakaian merah itu karena selain dia terpaksa harus melepaskan gadis cilik yang manis itu, juga dia merasa malu karena dikalahkan ibu gadis itu. Hanya karena takut kepada Ang I Moli saja dia meninggalkan mereka ibu dan anak. Kini, selagi dia bertugas jaga, dia melihat anak perempuan berpakaian merah yang manis itu keluar dari dalam kamarnya, seorang diri pula.
Hek-bin-houw mengikuti Sian Li dan dia berpikir bahwa penjagaan di situ sudah cukup kuat. Kalau dia tinggalkan sebentar tidak akan ada yang tahu dan tidak mengurangi kekuatan penjagaan. Dia harus dapat membalas penasaran dan dandamnya tadi, sekaligus bersenang-senang. Setelah mendapat pikiran kotor ini, Hek-bin-houw yang memang selamanya menjadi seorang yang berwatak buruk dan jahat sekali, segera meloncat keluar ketika Sian Li tiba di tempat gelap dan sunyi, di samping bangunan rumah penginapan.
Sian Li terkejut ketika ada orang meloncat ke depannya, apalagi ketika dia mengenal orang itu sebagai Si Muka Hitam tinggi besar yang pernah bersikap kurang ajar di taman terhadap dirinya dan mendapat hajaran dari ibunya. Akan tetapi sebelum ia sempat lari atau berteriak, Hek-bin-houw sudah menubruk dan menyergapnya seperti seekor harimau menubruk kambing, dan sebelum Sian Li mengeluarkan suara, Si Tinggi Besar muka hitam itu telah menotok jalan darah di pundak dan tengkuknya, membuat gadis cilik itu terkulai lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Sambil terkekeh girang Hek-bin-houw lalu memanggul tubuh anak perempuan yang sudah tidak mampu meronta itu dan membawanya loncat ke dalam taman, untuk dibawa keluar dari taman itu. Dia tahu bahwa tak jauh dari situ terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Tempat itu merupakan tempat yang baik sekali dan tersembunyi. Ke sanalah dia lari sambil memanggul tubuh Sian Li yang tak mampu bergerak.
“Heh-heh, tadi engkau dan ibumu menghinaku. Sekarang aku akan membalas dendam kepadamu, dan kelak kepada ibumu!" kata Hek-bin-houw ketika dia sudah menyelinap masuk ke dalam kuil kosong itu dan dengan kasar dia melemparkan tubuh Sian Li ke atas lantai kuil yang tak terpelihara dan kotor. Tempat itu biasanya hanya menjadi tempat bermalam para gelandangan yang tidak mempunyai rumah tinggal.
Tiba-tiba nampak sinar yang biarpun hanya kecil akan tetapi karena munculnya tiba-tiba dan di tempat yang amat gelap itu, maka sinar ini menerangi seluruh ruangan dan mengejutkan, juga menyilaukan mata, Hek-bin-houw terkejut dan menoleh. Kiranya sinar itu adalah nyala api sebatang lilin yang dinyalakan seorang kakek jembel dan kini lilin itu diletakkan di sudut, di dekat kakek jembel yang duduk bersila sambil memandang kepada Hek-bin-houw dan Sian Li dengan sinar mata penuh selidik.
"Ha-ha, kiranya seekor anjing yang datang menggangguku," kata kakek jembel itu.
Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Pertama, dia merasa terganggu, ke dua, dia dimaki anjing!
"Keparat! Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Hek-bin-houw, mengerti. Hayo cepat menggelinding pergi dari sini, atau akan kubunuh kau!" Hek-bin-houw mencabut goloknya dengan sikap mengancam.
Kakek jembel itu terkekeh lalu dia bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya kurus jangkung, akan tetapi punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat hitam.
"Ha-ha-ha, engkau berjuluk Hek-bin-kauw (Anjing Bermuka Hitam), ya? Ha-ha, memang tepat, engkau memang persis anjing bermuka hitam. Dan aku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam), tongkat hitamku ini tepat sekali untuk memukul anjing muka hitam."
Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Sudah jelas julukannya harimau, sengaja diubah menjadi anjing oleh Si Cebol ini.
"Jahanam busuk, engkau sudah bosan hidup!" bentaknya dan goloknya sudah menyambar dahsyat ke arah leher pengemis bongkok itu.
Namun, dengan gerakan tenang sekali, Si Bongkok itu menggerakkan tongkat bututnya berwarna hitam untuk menangkis.
"Trakkkk....!" Harimau Muka Hitam itu terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali karena golok di tangannya hampir saja terlepas. Bukan main besarnya tenaga yang terkandung dalam tongkat hitam itu ketika menangkisnya tadi. Akan tetapi, dasar orang yang selalu mengandalkan tenaga dan kepandaian sendiri untuk memaksakan kehendaknya, yang selalu memandang rendah orang lain Hek-bin-houw masih belum mau menyadari bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia bahkan menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tidak percaya bahwa seorang kakek jembel yang bongkok dapat menandinginya.
"Mampuslah!" bentaknya dan kini dia menyerang lebih hebat lagi, goloknya berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah kepala pengemis itu.
"Manusia tak tahu diri!" Pengemis itu terkekeh dan kini tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang bukan saja menangkis golok, akan tetapi tangkisan itu membuat tongkatnya membalik dan menotok ke arah pergelangan tangan. Hek-bin-houw berteriak dan goloknya terlepas karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, ujung tongkat hitam telah menotok dua kali ke arah ulu hati dan tenggorokannya. Hek-bin-houw terkulai roboh dan tidak dapat bangun kembali!
"Heh-heh-heh, ada saja jalannya orang yang sudah bosan hidup!" kata pengemis bongkok itu dan dia pun menghampiri Sian Li yang masih telentang tak mampu bergerak. Gadis kecil itu memandang kepada pengemis yang berdiri mengamatinya dengan mata terbelalak, akan tetapi sama sekali tidak kelihatan takut.
"Heh-heh, engkau memang anak yang manis sekali. Pantas anjing hitam itu menculikmu. Akan tetapi engkau terlalu manis untuk anjing macam dia. Engkau ikut saja denganku, anak manis!" Sekali tongkatnya bergerak, kakek jembel itu telah membebaskan totokan dari tubuh Sian Li. Anak ini meloncat berdiri, agak terhuyung karena tubuhnya masih terasa kaku setelah beberapa lamanya dalam keadaan tertotok. Akan tetapi, ia segera dapat berdiri tegak dan dengan sikap tegas ia berkata,
"Aku tidak mau ikut denganmu atau dengan siapa pun."
"Ehh? Baru saja engkau kubebaskan dari tangan anjing hitam ini! Apa engkau lebih suka ikut dengan dia?" Tongkat hitamnya menuding ke arah muka Hek-bin-houw yang sudah tak bernyawa lagi.
"Aku tidak sudi ikut dengan dia, juga tidak mau ikut denganmu. Aku hanya ikut Ayah Ibuku!"
"Tapi, engkau telah kutolong!"
"Aku tidak pernah minta pertolonganmu."
"Huh, engkau manis tapi tak kenal budi. Pantas ditawan anjing hitam ini, dan sekarang engkau harus ikut dengan aku, mau atau tidak!"
"Aku tidak mau!" kata Sian Li dan ia pun sudah siap untuk melawan. Melihat gadis cilik ini memasang kuda-kuda dengan sikap yang indah sekali, diam-diam pengemis itu terkejut. Dia mengenal dasar silat yang amat hebat, akan tetapi tahu bahwa anak itu belum memiliki tenaga sin-kang yang kuat, maka ilmu yang hebat pun tidak ada artinya tanpa didukung tenaga sin-kang yang mendatangkan kecepatan dan kekuatan.
"Hayo ikut!" katanya dan tangan kirinya menyambar. Sian Li tidak dapat mengelak lagi dan ia pun membuat gerakan menangkis. Akan tetapi, karena tenaganya memang belum kuat, maka tangkisan itu membuat tangannya bahkan ditangkap Si Pengemis yang terkekeh dan di lain saat, Sian Li telah tertotok kembali dan sekali tarik, tubuhnya melayang naik dan hinggap di pundak pengemis bongkok itu yang segera meloncat keluar dari kuil dan berlari cepat di dalam kegelapan malam.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali kakek pengemis itu telah keluar dari kota Heng-tai sambil memanggul tubuh Sian Li di pundak kiri, dan dia berjalan perlahan-lahan di luar kota yang masih sunyi itu. Hawa udara pagi itu sejuk sekali.
Siapakah pengemis bongkok yang amat lihai itu? Dia adalah seorang tokoh persilatan yang terkenal, namun dia termasuk tokoh sesat yang suka mengandalkan kepandaian untuk memaksakan keinginannya dan tidak pantang melakukan tindakan yang jahat. Oleh karena itu, Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) termasuk seorang tokoh sesat walaupun di selatan dia mempunyai perkumpulan yang terkenal, yaitu Hek-pang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) dan dia menjadi ketuanya. Karena dia seorang petualang yang suka berkelana, maka perkumpulan itu sering ditinggalkannya dan dia serahkan kepada para wakilnya untuk mengurusnya.
Ketika Hek-pang Sin-kai menolong Sian Li dari tangan Hek-bin-houw, perbuatan itu dia lakukan bukan karena dia memang suka menolong orang. Dia turun tangan membunuh Hek-bin-houw hanya karena Si Muka Hitam itu berani menentangnya dan menyerangnya. Akan tetapi, ketika melihat Sian Li yang manis dan mungil, timbul rasa suka di hati kakek jembel itu dan dia ingin mengambil anak itu sebagai seorang muridnya.
Saking lelahnya, ketika dibawa lari dari kuil, Sian Li tertidur atau tak ingat diri di panggulan pundak kakek itu. Akan tetapi udara pagi yang dingin itu menyadarkannya dan kini, biarpun tubuhnya tidak tampak bergerak, ia depat bersuara dan berulang-ulang ia minta agar kakek itu melepaskan dirinya. Akan tetapi, Hek-pang Sin-kai hanya terkekeh dan tidak mempedulikannya.
Pagi itu amat sunyi dan Sian Li sudah hampir putus asa. Suaranya sudah parau karena sejak tadi ia berseru minta dilepaskan dan kini ia berdiam diri. Percuma saja bicara, pikirnya. Saat itu masih pagi sekali dan di sepanjang jalan tidak pernah bertemu orang.
Nanti saja kalau ada orang, ia akan menjerit minta tolong.
Tiba-tiba ia melihat seorang nenek datang dari arah kiri di sebuah jalan persimpangan.
Melihat ada orang, Sian Li lalu bicara lagi, kini ia bahkan mengerahkan tenaga agar suaranya terdengar lantang.
"Kakek jahat, lepaskan aku!" teriaknya dan karena kepalanya tergantung di belakang pundak kakek itu, Sian Li dapat melihat betapa nenek yang datang dari jalan simpangan itu menengok, kemudian nenek itu pun membelok dan mengikuti penculiknya dari belakang.
Melihat ini, Sian Li berkata lagi.
"Kakek jahat, lepaskan aku. Engkau sungguh berani mati menculikku. Kalau Ayah Ibuku mengetahui, engkau tentu akan mereka bunuh!"
"Heh-heh-heh, aku tidak takut ayah ibumu, anak manis!" kata Hek-pang Sin-kai, terkekeh mendengar bahwa ayah ibu anak itu akan membunuhnya.
"Engkau tertawa karena tidak mengetahui siapa Ayah Ibuku. Kalau engkau tahu, engkau akan mati berdiri!" kata pula Sian Li dan ia melihat betapa nenek yang berjalan di belakang itu mempercepat langkahnya sehingga jaraknya semakin dekat, hanya sepuluh meter saja di belakangnya.
Kembaii kakek jembel itu tertawa bergelak mendengar ancaman Sian Li yang dianggapnya hanya gertak belaka.
"Ayahku adalah Tan Sin Hong yang berjuluk Si Bangu Putih! Dan ibuku adalah keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es!" kata pula Sian Li dan sekali ini, benar saja ia merasa betapa tubuh yang memanggulnya itu menegang.
"Hemm, engkau hanya membual!" kata kakek jembel itu, akan tetapi kini tawanya hilang karena dia benar-benar amat terkejut mendengar ucapan Sian Li.
"Siapa membual? Ibuku bernama Kao Hong Li. Kakek Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Istana Gurun Pasir, sedangkan nenekku Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Istana Pulau Es!"
Kini Hek-pang Sin-kai tidak dapat berpura-pura lagi. Dia memang kaget bukan main mendengar ucapan itu. Dia tahu bahwa anak ini tidak mungkin membual karena dari mana anak ini dapat mengenal nama-nama besar itu? Akan tetapi, di samping kekagetannya, dia bahkan menjadi semakin gembira.
"Bagus! Kalau begitu, engkau keturunan para pendekar sakti. Engkau pantas menjadi muridku!" katanya gembira dan bangga karena kalau dia dapat mengambil murid keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es, namanya tentu akan terangkat tinggi sekali!
Tiba-tiba kakek jembel itu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar ke arah kepala dan dadanya yang datang dari sebelah kanan. Dia mengenal serangan ampuh, maka cepat dia membalik ke kanan dan menggerakkan tongkat dan tangan kirinya untuk menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Sian Li yang dipanggul di atas pundak kanannya, telah dirampas orang!
Ketika dia membalik, dia melihat seorang wanita tua sudah menurunkan Sian Li dan bahkan telah membebasken totokan atas diri gadis cilik itu.
"Anak baik, engkau minggirlah, biar kubereskan jembel busuk ini!" kata nenek tadi sambil mendorong Sian Li dengan lembut ke samping. Sian Li menurut dan anak itu pun menjauh, berdiri di tepi jalan yang masih sunyi itu sambil memandang kepada dua orang tua yang sudah saling berhadapan itu dengan hati tegang. Ia masih belum tahu siapa nenek itu dan orang macam apa. Kalau nenek itu seorang penjahat pula seperti kakek jembel, ia pun tidak akan sudi ditolong dan ikut dengannya.
Dengan muka merah karena marah. Hek-pang Sin-kai menudingkan tongkat hitamnya ke arah muka nenek itu.
"Nenek tua bangka, apakah engkau sudah bosan hidup maka berani menentang Hek-pang Sin-kai?"
Nenek itu tersenyum dan sungguh mengagumkan. Nenek yang usianya sedikitnya enam puluh tujuh tahun itu, yang rambutnya sudah hampir putih semua, begitu tersenyum, nampak jauh lebih muda karena giginya masih berderet rapi! Mudah diduga bahwa nenek ini di waktu mudanya tentu cantik manis. Bahkan dalam usia sekian tuanya, tubuhnya masih ramping padat. Memang ia bukan wanita sembarangan. Ia adalah nenek Bu Ci Sian, isteri dari pendekar Kam Hong yang terkenal sebagai Pendekar Suling Emas!
Nenek ini, disamping sebagai isteri pendekar itu, juga terhitung sumoinya (adik seperguruan) dan telah menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sinim (Tiupan Suling Sakti Sinar Emas). Disamping ilmu-ilmu yang khas sebagai pewaris Suling Emas, juga nenek ini seorang pawang ular yang ahli. Bahkan ia pernah menerima pelajaran sin-kang gabungan Im dan Yang dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil, putera dari mendiang Pendekar Super Sakti!
"Bagus! Kiranya engkau yang berjuluk Hek-pang Sin-kai? Sudah lama aku mendengar akan nama busukmu. Kebetulan sekali, tidak perlu aku pergi jauh-jauh mencarimu untuk menghajarmu sampai engkau bertaubat dan tidak melakukan kejahatan lagi!"
"Nenek sombong! Katakanlah siapa engkau sebelum tongkatku menamatkan riwayat hidupmu.”
Senyum itu masih belum menghilang dari wajah nenek yang pakaiannya serba putih seperti orang berkabung namun yang rapi dan bersih itu.
"Pengemis jahat, orang macam engkau tidak pantas mengenal siapa namaku."
"Bagus! Kalau begitu, mampuslah tanpa nama!" bentak Hek-pang Sin-kai dan dia pun sudah menerjang dengan tongkatnya. Dari cara nenek itu tadi merampas Sian Li dari pundaknya saja dia sudah dapat menduga bahwa nenek ini merupakan seorang lawan yang tak boleh dipandang ringan, maka begitu menyerang, dia sudah mempergunaken tongkatnya tanpa peduli bahwa nenek itu bertangan kosong, dan dia pun menyerang dengan jurus-jurus maut dari ilmu tongkatnya. Tongkat hitam itu bagaikan seekor ular hidup, meluncur ke depan dan membuat gerakan memutar seperti hendak melingkari leher lawan. Ketika nenek itu melangkah mundur untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah leher itu, ujung tongkat terus meluncur ke depan karena pengemis itu pun sudah melangkah maju dan kini ujung tongkat membuat gerakan serangan menotok bertubi-tubi ke arah jalan-jalain darah terpenting di bagian depan tubuh!
Serangan itu sungguh dahsyat dan merupakan serangan maut.
"Hemm, kejam sungguh!"
Nenek Bu Ci Sian berseru lirih. Pengemis itu tidak pernah bermusuhan dengannya, akan tetapi kini agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhnya! Ia menggunakan kelincahan gerakannya yang masih gesit untuk mengelak dengan loncatan-loncatan.
Namun, totokan berikutnya terus mengancam sehingga terpaksa nenek itu mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya. Nampak sinar keemasan dibarengi suara meraung nyaring dan tinggi sehingga mengejutkan hati Hek-pong Sin-kai. Suara melengking yang keluar dari suling yang digerakkan itu seperti menusuk telinganya dan menyerang jantungnya! Dia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi diri dari suara itu, akan tetapi serangannya menjadi gagal.
Dengan penasaran dan marah, dia pun mengatur serangkaian serangan berikutnya. Akan tetapi, kini dia mengalami hari naas bertemu dengan nenek yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya! Begitu nenek Bu Ci Sian memainkan sulingnya, nampak sinar emas bergulung-gulung menyilauhan mata dan pengemis itu menjadi terkejut dan bingung karena selain gerakan tongkatnya selalu menemui tembok sinar keemasan yang menahan gerak serangannya, juga dia merasa terkurung oleh sinar emas itu yang selain menyambar-nyambar dengan ancaman dahsyat, juga selalu mengeluarkan bunyi yang menusuk-nusuk telinganya! Tentu saja kakek jembel itu kewalahan karena nenek Bu Ci Sian telah memainkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang pernah menggetarkan dunia persilatan.
Nenek Bu Ci Sian bukanlah seorang yang kejam, walaupun dahulu di waktu mudanya ia terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang galak dan tak mengenal ampun terhadap para penjahat. Setelah ia menjadi isteri suhengnya sendiri, yaitu pewaris Suling Emas, ia menjadi lembut dan tidak kejam untuk melakukan pembunuhan. Walaupun ia tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang jahat, namun ia tidak tega untuk membunuhnya. Kalau ia menghendaki, dalam waktu dua puluh jurus saja ia akan mampu merobohkan dan menewaskan Hek-pang Sin-kai. Akan tetapi, kini ia hanya menggunakan sulingnya untuk mengepung dengan sinar yang bergulung-gulung, dan kadang-kadang memukul tidak terlalu keras ke arah pundak, punggung, lengan sehingga kakek jembel itu seperti anak nakal yang digebuki ibunya! Maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi nenek itu. Hek-pang Sin-kai lalu meloncat jauh ke belakang dan tiba-tiba dia melontarkan tongkatnya. Itulah ilmunya yang terakhir, yang diandalkan dan dilakukan di waktu dia telah tersudut dan kalah. Selain untuk dapat menyerang dan membunuh lawan secara tiba-tiba, juga lontaran tongkat itu dipergunakan untuk melarikan diri, agar lawan tidak dapat melakukan pengejaran. Tongkat meluncur dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya, menuju ke dada nenek Bu Ci Sian.
"Hemm....!" Nenek itu menggerakkan suling emas di tangannya menyambut tongkat dan begitu tongkat yang meluncur itu bertemu suling, suling diputar dan tongkat itu berputaran menempel pada suling.
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar