Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 22

Kisah Si Bangau Merah Jilid 22

22

Mereka saling memberi hormat dan panglima itu bangkit dengan wajah berseri.
“Tai-ciangkun, mohon maaf sebesarnya kalau kami telah mengganggu Ciangkun dari tidur,” kata Sin Hong dengan sikap hormat.
“Ahh, tidak apa-apa, Taihiap dan Lihiap. Silakan duduk!” kata panglima itu dengan ramah sambil mempersilakan mereka duduk di kursi-kursi yang sudah diatur berhadapan dengan dia, hanya terhalang meja besar. “Kalau Jiwi malam-malam begini menemuiku, sudah pasti Jiwi membawa urusan yang teramat penting. Nah, para pengawal sengaja kularang mendekat. Kita hanya bertiga saja. Katakanlah apa kepentingan itu!” Sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang pembesar tinggi militer, Liu Ciangkun bersikap tegas.
Sin Hong lalu menceritakan dengan sejelasnya apa yang telah dialaminya dengan isterinya ketika mereka mengintai dan mendengarkan perCakapan para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang dijamu oleh Ouw Ciangkun, perwira pasukan pengawal istana.
Mendengar laporan yang jelas itu, muka Liu Tai-ciangkun berubah merah dan dia marah bukan main, di samping juga amat terkejut.
“Sudah kuragukan perwira muda itu! Dia terlalu cepat mendapat kenaikan pangkat, dan itu atas perintah Sri Baginda sendiri! Kiranya para pemberontak itu diam-diam mempergunakan pengaruh Siang Hong-houw. Sungguh berbahaya sekali. Sekarang juga aku harus mengerahkan pasukan untuk menangkap semua pengkhianat dan pemberontak itu!” Panglima itu bangkit berdiri.
“Maaf, Tai-ciangkun. Kukira itu bukan tindakan yang tepat dan bijaksana!” kata Kao Hong Li.
Panglima itu mengerutkan alisnya dan menghadapi wanita itu dengan sinar mata penasaran.
“Aku hendak mengerahkan pasukan menangkapi para pemberontak itu dan Lihiap mengatakan tidak tepat dan tidak bijaksana? Apa maksud Lihiap?”
“Tai-ciangkun, mereka berada di rumah penginapan umum di kota Heng-tai. Kalau Ciangkun mengerahkan pasukan ke sana, tentu makan waktu lama dan setelah malam lewat, tentu mereka sudah tidak lagi mengadakan rapat di sana. Ciangkun akan terlambat,” kata Hong Li.
“Pula, di tempat terbuka mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik. Ingat, mereka memiliki banyak orang yang lihai!” kata pula Sin Hong.
“Andaikata Ciangkun tidak terlambat dan menangkap mereka, lalu apa alasan Ciangkun untuk menuntut mereka? Tidak ada bukti sama sekali. Ciangkun hanya mendengar laporan kami. Kalau Ouw-ciangkun itu menyangkal, apa yang akan dijadikan bukti? Ingat, Ouw-ciangkun dekat dengan Siang Hong-houw. Kalau terjadi perdebatan tanpa bukti, apakah Ciangkun mampu melawan pengaruh Siang Hong-houw yang tentu akan melindungi Ouw-ciangkun?”
Mendengarkan ucapan suami isteri itu, Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya, meraba-raba jenggotnya dan dia mengangguk-angguk.
“Benar sekali apa yang Jiwi katakan. Untung Jiwi mengingatkan aku sehingga tidak bertindak tergesa dan gegabah. Akan tetapi, lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Maaf, Ciangkun,” kata Hong Li. “Mereka bersiasat, sebaiknya kita hadapi dengan siasat pula. “Ciangkun pura-pura tidak tahu akan rencana jahat mereka, agar mereka lengah. Akan tetapi diam-diam Ciangkun mengatur siasat pula untuk menghadapi rencana mereka itu, untuk menggagalkan rencana jahat mereka. Tanggal lima belas kurang tiga hari lagi, masih ada waktu bagi Ciangkun untuk bersiap-siap mengatur siasat.”
“Kalau Ciangkun dapat menyergap mereka di taman istana, ada dua keuntungan. Pertama, Ciangkun dapat menangkap basah dengan bukti-bukti bahwa orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menyusup ke dalam pasukan pengawal yang dipimpin Ouw-ciangkun di samping menangkap Ang I Moli yang hendak meracuni cawan para pangeran. Dan ke dua, penyergapan itu pasti berhasil baik karena penjahat-penjahat itu telah terkurung di lingkungan istana, bagaimana mereka akan mampu lolos?” kata Sin Hong.
Panglima itu mengangguk-angguk
“Bagus! Jiwi sungguh berjasa besar. Usul Jiwi baik sekali!” Panglima itu lalu berunding dengan mereka. Dia akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk diam-diam mengepung taman pada saat pesta ulang tahun Siang Hong-houw berlangsung sehingga seluruh pasukan pengawal bersama Ouw-ciangkun akan tertangkap semua,
“Akan tetapi, kami membutuhkan bantuan Jiwi. Permainan ini terlalu berbahaya. Keselamatan nyawa para pangeran terancam dan menurut keterangan Jiwi sendiri, Ang I Moli yang akan bertindak sebagai kepala pelayan itu yang akan meracuni cawan arak para pangeran. Oleh karena itu, sebaiknya kalau Jiwi yang membantu kami melindungi para pangeran dan mencegah perbuatan Ang I Moli itu. Demi kepentingan negara, kami mohon Jiwi tidak menolak dan jangan kepalang membantu kami menyelamatkan para pangeran dan mencegah terjadinya perbuatan yang amat keji dan jahat.”
Suami isteri itu saling pandang. Memang tidak semestinya kalau mereka membantu setengah-setengah. Apalagi, mereka tahu bahwa bantuan mereka bukan berarti mereka berpihak kepada Kerajaan Mancu semata, melainkan terutama sekali menentang golongan sesat yang hendak melakukan kejahatan besar.
“Baiklah, Tai-ciangkun,” kata Sin Hong dan isterinya juga mengangguk setuju. “Kami akan membantumu, akan tetapi karena kami datang ke kota Heng-tai bersama puteri kami yang sekarang masih berada di kamar rumah penginapan itu, kami akan menjemputnya lebih dulu dan kalau kami membantu Ciangkun, kami ingin menitipkan anak kami di rumah Ciangkun agar keselamatannya terjamin.”
“Ah, kenapa tidak Jiwi bawa sekalian tadi? Baiklah, saya tunggu kedatangan Jiwi bersama puteri Jiwi.”
Sin Hong dan Hong Li segera berpamit untuk kembali ke Heng-tai yang belasan li jauhnya dari benteng pasukan di mana Liu Ciangkun tinggal di gedungnya itu. Panglima itu mengantar mereka sampai di pintu gerbang dan melihat betapa panglima itu amat menghormati mereka, para perajurit penjaga juga memberi hormat secara militer seolah suami isteri itu merupakan dua orang yang berpangkat tinggi.
Malam telah berganti pagi ketika Sin Hong dan Hong Li tiba kembali ke kota Heng-tai.
Mereka langsung saja menuju ke rumah penginapan yang kini nampak sudah sunyi walaupun masih ada perajurit pengawal yang menjaga. Agaknya, rapat itu sudah selesai dan kini para tokoh sesat itu entah bersembunyi di mana Sin Hong dan Hong Li segera menyelinap dan bersembunyi ketika tiba di belakang hotel itu dan melihat kesibukan di antara para perajurit pengawal. Kiranya Ouw Ciangkun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan itu.
Ketika Sin Hong dan Hong Li kembali ke kamar mereka, suami isteri ini mendapatkan pintu kamar tidak terkunci. Mereka mendorong daun pintu kamar terbuka dan tidak melihat puteri mereka di dalam kamar! Mereka mencari-cari di sekitar kamar, namun tidak nampak bayangan Sian Li! Mulailah mereka merasa khawatir, apalagi ketika mereka meneliti tempat tidur anak itu dan mendapat kenyataan, bahwa tempat tidur itu masih rapi, tidak ada bekas ditiduri anak mereka.
Mereka cepat memanggil pelayan yang kemarin memberi kamar kepada mereka. Dengan sinar mata penuh ancaman, Hong Li mendorong pelayan itu masuk kamar dan mencengkeram pundaknya.
“Hayo katakan di mana anak perempuan kami!”
Pelayan itu meringis kesakitan dan kedua lututnya menggigil.
“Saya.... saya tidak tahu...., apa.... apa yang telah terjadi maka Jiwi marah kepada saya?”
“Malam tadi kami meninggalkan anak kami seorang diri di kamar ini. Akan tetapi sekarang ia tidak ada. Apakah engkau melihatnya semalam? Hayo katakan, kalau engkau tidak mengaku dan berbohong, kami akan membunuhmu!” Sin Hong yang biasanya tenang dan lembut itu, kini terpaksa menghardik dan mengancam karena dia pun mulai gelisah sekali.
“Sungguh mati, Taihiap, Lihiap sungguh mati saya tidak tahu. Semalam kami semua sibuk sekali melayani semua perintah Ouw Ciangkun sehingga kami tidak sempat mengurus hal-hal lain. Kami semua tidak pernah melihat puteri Jiwi.... tidak nampak Siocia keluar kamar, Sungguh mati saya tidak tahu....”
Suami isteri itu saling pandang.
“Sudahlah,” akhirnya Sin Hong berkata. “Kalau engkau benar tidak tahu, tidak mengapa dan pergilah. Akan tetapi awas, kalau engkau berbohong, kelak masih belum terlambat bagi kami untuk menghukummu!”
“Terima kasih, Taihiap, terima kasih, Lihiap.... kalau saya melihat atau mendengar tentang Siocia, tentu akan segera saya laporkan kepada Jiwi....”
Hong Li mengangguk dan pelayan yang sudah menggigil ketakutan dengan muka pucat itu, kini bagaikan seekor tikus yang baru saja lolos dari cengkeraman kucing, dia berlari keluar.
“Heran, ke mana Sian Li pergi?” Sin Hong berkata lirih.
“Tentu ada hal yang tidak beres! Akan kuserbu saja ke dalam dan akan paksa mereka mengaku di mana anak kita!” kata Hong Li.
Akan tetapi Sin Hong memegang lengannya.
“Sssttt, perlahan dulu. Tidak ada gunanya menggunakan kekerasan. Kita berhadapan dengan perwira yang mempunyai pasukan! Tidak bisa kita menuduh mereka begitu saja tanpa bukti. Sebaiknya kita mengamati kepergian mereka. Kalau Sian Li berada dengan mereka, baru kita turun tangan menyelamatkan puteri kita. Kalau tidak ada, kita harus mencari jalan lain.”
Hong Li menurut, akan tetapi ia nampak agak pucat dan gelisah.
“Kalau Ang I Moli yang melakukan penculikan terhadap Sian Li, sekali ini aku akan mengadu nyawa dengannya!”
“Yang penting, kita harus dapat menemukan dulu di mana adanya Sian Li, dan melihat anak kita itu dalam keadaan selamat,” kata Sin Hong.
“Tidak ada kemungkinan lain,” kata Hong Li. “Lenyapnya anak kita itu pasti ada hubungannya dengan komplotan pemberontak yang semalam mengadakan rapat di sini. Tentu orang-orang Pek-lian-kauw, Thian-li-pang dan para pemberontak itu yang bertanggung jawab.”
“Karena itu, kita amati saja mereka. Dan kita pun akan menghadapi mereka di istana. Di sana kita lebih banyak mendapat kesempatan untuk menangkap Ang I Moli dan memaksanya mengaku untuk mengembalikan anak kita.”
Setelah mencari-cari tanpa hasil, kemudian mengintai keberangkatan Ouw Ciangkun dan pasukannya dan tidak melihat adanya Sian Li di sana bersama pasukan itu. Juga mereka berdua tidak melihat adanya Ang I Moli dan para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, terpaksa, walaupun dengan hati berat, Sin Hong dan Hong Li segera berlari ke benteng Liu Tai-ciangkun.
Panglima itu terkejut bukan main mendengar bahwa puteri sepasang pendekar itu lenyap dari kamar rumah penginapan.
“Jangan khawatir, Taihiap dan Lihiap, kami akan menyebar penyelidik untuk mencari keterangan tentang puteri Jiwi (Kalian) itu.” Dan seketika panglima itu menyebar anak buahnya yang ahli untuk melakukan penyelidikan ke kota Heng-tai dan sekitarnya, mencari jejak nona Tan Sian Li, gadis cilik berusia dua belas tahun itu.
Adapun suami isteri itu sendiri oleh Liu Tai-ciangkun lalu diselundupkan ke dalam istana, menyamar sebagai pengawal-pengawal yang tergabung dalam pasukan pengawal istana bagian luar. Dengan memegang tanda perintah khusus dari Liu Tai-ciangkun dan seorang perwira pasukan pengawal yang menjadi sahabatnya. Sin Hong dan Hong Li dapat bergerak bebas dalam istana itu tanpa dicurigai orang. Namun, keduanya menyembunyikan diri sambil menanti datangnya saat yang ditentukan, yaitu pada malam bulan purnama di taman besar, di mana Siang Hong-houw hendak mengadakan pesta ulang tahunnya, dihadiri oleh semua pangeran.
***
Penanggalan Imlek dibuat menurut peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu, setiap tanggal lima belas, dapat dipastikan bahwa bulan purnama sebulat-bulatnya dan teterang-terangnya.
Malam itu bulan purnama amat cerahnya karena di langit tidak ada awan menghalang.
Dan kemulusan bulan ini menambah meriahnya pesta di taman istana yang amat indah.
Lampu-lampu gantung beraneka bentuk dan warna menambah indahnya suasana, seolah menggantikan bintang-bintang yang tidak nampak di langit karena sinarnya ditelan cahaya bulan purnama. Bunga-bunga di taman sedang mekar semerbak, menambah keindahan malam itu.
Siang Hong-houw sudah berusia empat puluh tahun lebih. Akan tetapi, permaisuri ini masih nampak anggun dan jauh lebih muda dari usia yang sesungguhnya. Sanggulnya tinggi dan dihias emas permata, pakaiannya juga gemerlapan dan semua itu ditambah kecantikannya dan senyumnya yang tak pernah meninggalkan bibirnya, membuat ia nampak cantik jelita dan menarik sekali. Para pangeran yang hadir adalah putera-putera tirinya, dan semua pangeran menyayang Siang Hong-houw yang selalu bersikap manis terhadap mereka.
Pesta berjalan dengan meriah. Delapan orang pangeran dan enam belas orang puteri hadir. Mereka semua adalah saudara-saudara seayah berlainan ibu. Kaisar sendiri tidak hadir, juga tidak ada selir lain yang hadir. Hal ini memang dikehendaki Siang Hong-houw yang ingin berpesta dengan anak-anak tirinya saja untuk menghibur hatinya. Untuk membuat pesta bertambah meriah, serombongan besar pemusik, penyanyi dan penari menyajikan hiburan-hiburan yang bermutu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong dan Hong Li, tentu saja atas usaha Liu Tai-ciangkun, untuk berbaur dengan rombongan seniman dan seniwati itu agar mereka hadir lebih dekat dengan para pangeran. Kalau mereka menyamar menjadi pengawal, maka kehadiran mereka tentu dalam jarak yang jauh dan sukar bagi mereka untuk melindungi para pangeran.
Taman itu sendiri dijaga oleh tiga puluh tebih orang pengawal yang merupakan pasukan istimewa dan yang dipimpin oleh Ouw-ciangkun.
Biarpun mereka berada di antara para seniman, Sin Hong dan Hong Li selalu waspada mengamati keadaan sekeliling. Terutama sekali mereka memperhatikan para perajurit yang berjaga di situ karena mereka tahu bahwa di antara para perajurit itu tentu terdapat para tokoh sesat yang menyelundup. Mereka melihat betapa Ouw-ciangkun sendiri melakukan perondaan di dalam taman itu, seolah hendak menjaga dan melindungi semua orang yang sedang berpesta di dalam taman.
Tempat pesta itu sendiri berada di tengah taman, di mana terdapat sebuah kolam ikan yang dikelilingi petak rumput yang luas. Di atas petak rumput inilah dipasangi kursi-kursi dan meja yang mengelilingi kolam ikan. Suasana sungguh meriah dan gembira, walaupun yang sedang berpesta tidak terlalu banyak. Ketika Sin Hong dan Hong Li melayangkan pandang mata mereka ke arah mereka yang sedang berpesta, kedua orang suami isteri ini terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga girang karena mereka melihat seorang kakek yang gagah, yang mereka kenal karena kakek itu bukan lain adalah Suma Ciang Bun! Dan di dekat kakek itu duduk seorang wanita setengah tua yang nampak asing, namun wanita ini masih nampak cantik dan juga sikapnya gagah sekali. Sin Hong dan Hong Li tidak mengenal wanita itu, akan tetapi kehadiran Suma Ciang Bun di tempat itu sungguh membuat mereka heran akan tetapi juga girang.
Bagaimana Suma Ciang Bun dapat berada di taman itu dan seorang di antara mereka yang ikut berpesta? Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun dan nenek Gangga Dewi melakukan perjalanan bersama untuk mencari Yo Han yang diculik Ang I Moli. Mereka terus membayangi Ang I Moli selama bertahun-tahun, akan tetapi akhirnya mereka kehilangan jejak iblis betina itu. Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka berdua terpaksa menghentikan usaha mereka mencari Yo Han. Mereka telah bergaul dengan akrab dan mudah bagi mereka untuk menyadari bahwa api yang puluhan tahun lalu membakar hati mereka ternyata masih belum padam. Mereka masih saling mencinta! Dan pada suatu hari yang baik, Gangga Dewi yang lebih tegas dan berani dibandingkan Suma Ciang Bun, menyatakan perasaannya itu kepada Suma Ciang Bun. Pendekar ini menyambutnya dengan terharu dan gembira sampai tak tertahan lagi Suma Ciang Bun menangis! Dan akhirnya, Suma Ciang Bun mengajak Gangga Dewi untuk berkunjung ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang sahabatnya, seorang pendeta Agama To. Tosu itulah yang mengatur upacara pernikahan antara Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, tanpa dihadiri seorang pun tamu, hanya disaksikan oleh tujuh orang tosu lainnya. Namun, secara hukum agama pernikahan itu sudah sah dan sejak saat itu, Suma Ciang Bun hidup bersama Gangga Dewi sebagai suami isteri!
Dalam perjalanan mereka melakukan perantauan, keduanya hidup dengan rukun saling mencinta, saling menghormati dan dalam banyak hal, Gangga Dewi bersikap kejantanan dan menjadi pemimpin, sedangkan Suma Ciang Bun lebih kewanitaan dan selalu menyetujui apa yang diputuskan oleh isterinya. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi mengunjungi keluarga pendekar itu. Mereka sudah berkunjung ke rumah Kao Cin Liong dan Suma Hui kakak perempuannya juga mengunjungi rumah Suma Ceng Liong. Dua orang saudaranya ini menerima mereka dengan gembira sekali. Mereka itu semua menyatakan perasaan syukur bahwa akhirnya Suma Ciang Bun menemukan jodohnya, walaupun sudah agak terlambat. Apalagi yang dipilihnya adalah bekas kekasihnya dahulu, dan puteri dari mendiang Wan Tek Hoat pula. Masih ada hubungan yang tidak jauh!
Demikianlah, ketika mereka berdua merantau sampai ke kota raja, Gangga Dewi teringat kepada Siang Hong-houw yang sudah dikenalnya sebelum menjadi selir Kaisar, ketika masih tinggal di barat dahulu. Karena pengawal istana melaporkan kepada Siang Hong-houw bahwa seorang wanita bernama Gangga Dewi dari Bhutan datang berkunjung bersama suaminya, permaisuri itu menjadi gembira bukan main. Cepat ia menyambut dan ketika bertemu, kedua orang wanita itu saling rangkul dengan akrab sekali.
Demikian girangnya hati Siang Hong-houw bertemu dengan sahabat lamanya yang mendatangkan kenangan lama sebelum ia menjadi selir Kaisar, sehingga ia menahan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun agar tinggal di istana sebagai tamunya, tamu kehormatan dan dapat ikut menghadiri pesta ulang tahunnya yang diadakan pada tanggal lima belas. Gangga Dewi yang berpengalaman itu melihat betapa sesungguhnya sahabatnya itu menderita tekanan batin walaupun hidup dalam gemerlapnya kemewahan dan kemuliaan. Maka, ia merasa kasihan kepada sahabatnya itu. Dibandingkan dengan sahabatnya yang hidup sebagai seorang permaisuri yang mulia, ia merasa berbahagia sekali dan merasa jauh lebih beruntung walaupun ia bersama suaminya hidup sederhana, bahkan selama ini hidup sebagai perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Oleh karena itu, ia membujuk suaminya untuk memenuhi permintaan Siang Hong-houw dan tinggal di istana sampai tiba saatnya pesta ulang tahun itu.
Ketika akhirnya pesta pada malam hari itu tiba, diam-diam mereka pun merasa heran mengapa Siang Hong-houw merayakan ulang tahunnya secara demikian sederhana, tidak dihadiri Kaisar, tidak pula dihadiri para selir lain atau pejabat tinggi, melainkan dihadiri oleh semua pangeran dan puteri, anak-anak tiri Siang Hong-houw. Suma Ciang Bun sama sekali tidak pernah menduga bahwa di antara para seniman dan seniwati yang menghibur di pesta itu, terdapat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li! Tentu saja Suma Ciang Bun tidak mengenal kedua orang itu karena Sin Hong dan Hong Li mengenakan bedak yang tebal dan mengubah corak wajah mereka.
Sementara itu Ang I Moli berpakaian sebagai pelayan kepala. Ia pun memakai penyamaran agar jangan dikenal orang. Ketika Ouw Ciangkun menyerahkan kepada Siang Hong-houw agar Ang I Moli diterima sebagai kepala pelayan, dengan alasan bahwa keamanan di situ harus dijaga ketat, Siang Hong-houw yang tidak menyangka buruk menerimanya begitu saja. Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Ang I Moli ketika ia mengenal Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
Sungguh tidak dinyana sama sekali bahwa dua orang yang amat lihai itu berada pula di situ sebagai tamu! Tentu saja ia menjadi bingung. Apa artinya itu? Apakah Siang Hong-houw sudah menduga akan sesuatu dan sengaja mendatangkan dua orang lihai itu untuk menjamin keamanan di situ? Beberapa kali Ang I Moli mencari-cari Ouw Ciangkun dengan pandang matanya. Akan tetapi ia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berunding dengan perwira itu. Munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi demikian tiba-tiba dan tak tersangka-sangka sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk berunding dengan sekutunya lagi. Bagaimanapun juga, rencana semula harus dilanjutkan!
Ang I Moli sama sekali tidak tahu bahwa kejutan baginya bukan hanya munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Ia tidak tahu bahwa di antara para seniman itu terdapat pula dua orang yang ditakutinya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Ia tidak mengenal mereka, akan tetapi suami isteri itu dapat segera mengenalnya. Hal ini bukan karena penyamarannya kurang baik. Sama sekali tidak. Andaikata suami isteri itu belum tahu bahwa ia akan menyamar sebagai kepala pelayan dan bertugas memberi racun pada cawan arak para pangeran, agaknya belum tentu suami isteri pendekar itu akan mengenalnya. Akan tetapi, di luar tahunya, Sin Hong dan Hong Li segera dapat mengenal kepala pelayan setengah tua yang cantik dan lembut itu, dan mereka sudah siap siaga dan mengamati gerak-gerik Ang I Moli dengan seksama. Suami isteri pendekar ini maklum bahwa pada saat itu, Liu Tai-ciangkun tentu sudah mengerahkan pasukan untuk mengepung taman itu dan memblokir semua jalan keluar dari dalam istana.
Sejak tadi, nampak Ang I Moli mengatur para pelayan, gadis-gadis manis yang cekatan, untuk mengeluarkan hidangan dan keadaan berjalan lancar tanpa ada yang mencurigakan, Kemudian, tibalah saat menegangkan yang dinanti-nanti oleh Sin Hong dan Hong Li.
Permaisuri itu memberi isarat kepada pelayan pribadinya yang datang membawa sebuah guci arak yang bentuknya asing dan indah, terbuat dari emas murni. Dengan sikap lembut dan ramah, Siang Hong-houw mengangkat guci itu ke atas, memperlihatkannya kepada anak-anak tirinya, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, lalu berkata,
“Aku masih menyimpan seguci anggur buatan bangsaku Uighur yang amat baik, sudah puluhan tahun umurnya dan selain amat manis dan lezat, juga kasiatnya dapat membuat badan sehat dan semangat tinggi.”
Para pangeran bersorak gembira dan para puteri tersenyum-senyum. Gangga Dewi menyentuh lengan suaminya.
“Anggur Uigur yang sudah puluhan tahun umurnya memang amat hebat.”
Ang I Moli menghampiri Siang Hong-houw dan berkata dengan penuh hormat dan halus,
“Perkenankan hamba sendiri mewakili Paduka menuangkan anggur ke dalam cawan para tamu yang mulia.”
Karena sejak pertama kali Ang I Moli bersikap halus, ramah dan sopan sehingga menyenangkan hati Siang Hong-houw, ia pun mengangguk dan menyerahkan guci anggur itu kepada kepala pelayan baru yang cekatan itu. Ang I Moli segera dengan sikapnya yang menarik dan lembut, menuangkan anggur dari guci itu ke dalam cawan di depan Siang Hong-houw, kemudian ke dalam cawan arak di depan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun yang sama sekali tidak mencurigai sesuatu. Kemudian, dengan teliti dan tahu peraturan, kepala pelayan itu menuangkan anggur ke dalam cawan para pangeran, dari yang paling tua sampai yang paling muda, baru menuangkan anggur ke dalam cawan para puteri. Semua itu dilakukan dengan tepat dan cermat, tidak ada setetes pun anggur yang menetes keluar sehingga semua orang merasa senang. Juga tidak ada yang menduga bahwa ketika menuangkan anggur untuk para pangeran, kecuali untuk Pangeran Kian Ban Kok, kuku jari telunjuk kiri wanita itu menjentik keluar bubuk racun yang sebelumnya sudah dipersiapkan, menempel di ujung lengan baju sehingga di setiap cawan arak itu terpecik bubuk racun halus yang tidak kelihatan orang lain. Sin Hong dan Hong Li sendiri akan sukar dapat mengetahui gerakan ini, akan tetapi sebelumnya mereka sudah tahu, tentu saja perhatian mereka tercurah ke arah tangan wanita itu dan mereka tahu bahwa bubuk racun telah disebar dan dibagi. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sendiri, yang lihai dan berpengalaman, tidak tahu akan hal itu karena mereka tidak menyangka buruk.
Ketika semua cawan telah terisi dan Siang Hong-houw mendahului mengangkat cawan dan mempersilakan semua orang minum, dan semua orang telah mengangkat cawan masing-masing dengan wajah gembira penuh senyum, tiba-tiba terdengar seruan nyaring.
“Tahan semua cawan! Harap Paduka sekalian jangan minum anggur itu!”
Tentu saja semua orang, termasuk Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, terkejut dan heran mendengar teriakan itu dan semua orang memandang ketika Kao Hong Li keluar dari rombongan seniman seniwati yang sejak tadi menghibur para tamu dengan musik, nyanyian dan tarian mereka.
Karena tidak ingin gagal, Hong Li cepat menyambung teriakannya tadi sambil memberi hormat kepada semua orang yang merupakan keluarga agung Kaisar.
“Harap Paduka semua jangan minum anggur itu karena semua cawan telah diracuni, kecuali cawan para puteri dan Pangeran Kian Ban Kok. Semua cawan pangeran lain telah diracuni dan siapa yang minum anggur itu akan tewas!”
Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ini dan, otomatis semua orang meletakkan cawah masing-masing di atas meja dan memandang cawan itu dengan hati ngeri. Melihat ini, Pangeran Kian Ban Kok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah. Tadi wanita itu mengatakan bahwa semua pangeran diberi racun, kecuali dia. Ini sama saja dengan menuduh bahwa kalau benar ada yang meracuni para pangeran, maka pelaku itu bersekongkol dengan dia karena dia sendiri tidak diracuni.
“Perempuan rendah! Engkau hanya seorang wanita penghibur! Sungguh lancang sekali mulutmu menuduh Ibu Permaisuri hendak meracuni para pangeran! Engkau bohong dan akan kubuktikan.” Pangeran Kian Ban Kok yang sungguh tidak tahu bahwa diam-diam dia dipilih oleh para pemberontak untuk menjadi pangeran tunggal karena ibunya adalah seorang wanita Han, cepat menyambar cawan anggur di depan pangeran yang duduk di sebelah kanannya, kemudian sekali tuang, isi cawan itu memasuki tenggorokannya.
“Nah, aku sudah minum dari cawan seorang pangeran lain! Masih berani engkau mengatakan bahwa cawan semua pangeran, kecuali aku, telah diracuni?” Bentak Pangeran Kian Ban Kok, akan tetapi semua orang terbelalak memandang pangeran ini karena melihat betapa wajah pangeran ini berubah kehijauan, lalu menghitam dan tiba-tiba mengeluarkan teriakan melengking dan terjungkal roboh. Dia tewas seketika!
Terdengar jeritan-jeritan para puteri dan teriakan para pangeran yang menjadi panik.
Melihat keadean yang kacau ini, Ang I Moli terkejut bukan main. Ia tahu bahwa rahasianya diketahui wanita anggauta rombongan pemusik itu dan akibatnya sungguh hebat. Pangeran Kian Ban Kok yang seharusnya menjadi satu-satunya pangeran yang tidak terbunuh, kini malah keracunan dan tewas. Maklum bahwa keadaannya di situ berbahaya, ia pun menjadi bingung. Tiba-tiba terdengar bunyi suitan. Itu merupakan tanda dan teringatlah Ang I Moli bahwa menurut rencana mereka, kalau sampai usaha mereka meracuni para pangeran itu gagal, maka jalan satu-satunya hanyalah menggunakan kekerasan membunuhi para pangeran! Maka tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan ia sudah memegang pedang yang tadi ia sembunyikan di balik bajunya.
Akan tetapi, tiba-tiba wanita anggauta pemusik yang tadi berteriak, sudah meloncat ke depannya dan wanita itu berseru,
“Ang I Moli, sekali ini engkau tidak akan lolos dari tanganku!” Dan wanita itu sudah menggosok mukanya yang tertutup bedak tebal, kemudian menoleh ke arah Suma Ciang Bun dan berteriak, “Paman Suma Ciang Bun, aku Kao Hong Li. Cepat lindungi para pangeran! Ada komplotan pombunuh!”
Pada saat itu, Ang I Moli yang terkejut ketika mendengar pengakuan Kao Hong Li, sudah menyerangnya dengan tusukan pedang. Namun Kao Hong Li sudah cepat mengelak dan membalas dengan tamparan tangan kiri yang mengandung hawa beracun karena ia menggunakan ilmu pukulan Ban-tok-ciang.
Sementara itu, Sin Hong sudah pula meloncat dari rombongan pemusik dan pada saat itu, dua orang perajurit pengawal yang memegang pedang sudah berloncatan untuk menyerang para pangeran. Dengan hantaman tangan dan tendangan kaki, dia membuat dua orang anggauta Thian-li-pang yang menyamar sebagai perajurit pengawal itu terjengkang dan terpelanting.
“Paman Suma Ciang Bun, cepat selamatkan para pangeran!” teriak pula Sin Hong.
Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sudah berloncatan ke depan. Mereka tadinya bingung, akan tetapi begitu tadi mendengar suara Kao Hong Li, Ciang Bun terkejut dan juga girang. Apalagi ketika melihat munculnya Sin Hong. Mendengar seruan Sin Hong, dia lalu menyambar lengan isterinya.
“Mari kita lindungi mereka!”
Suami isteri ini berloncatan melindungi para pangeran yang kelihat bingung dan ketakutan. Ketika ada perajurit-perajurit pengawal dengan senjata di tangan menyerbu ke arah para pangeran. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menggerakkan tangan kaki dan robohlah empat orang penyerbu.
Sementara itu, wajah Siang Hong-houw menjadi pucat sekali ketika tadi ia melihat betapa Pangeran Kian Ban Kok roboh dan tewas begitu minum arak dari cawan seorang pangeran lain. Permaisuri Kaisar ini sama sekali tidak tahu tentang rencana pembunuhan keji terhadap para pangeran itu dan begitu kini jatuh korban, tentu saja ia menjadi terkejut dan gelisah. Apalagi ketika para perajurit pengawal yang seharusnya bertugas melindungi keselamatan keluarga Kaisar, kini berbalik malah hendak membunuh para pangeran. Dan ia telah melibatkan diri dengan pembunuh-pembunuh itu! Kalau ia mau bekerja sama dengan Thian-li-pang, hal itu ia kerjakan karena ia melihat Thian-li-pang sebagai pejuang untuk mengusir penjajah Mancu. Sama sekali tidak disangkanya bahwa sekutu itu akan bertindak sedemikian nekatnya, meracuni dan hendak membunuh para pangeran.
Padahal, sebelumnya ia sudah mendapatkan janji mereka bahwa mereka tidak akan menggunakan kekerasan di dalam istana. Ia merasa telah ditipu dan dibohongi, dan tahu bahwa ia ikut bertanggung-jawab karena ialah yang menerima masuknya orang-orang Thian-li-pang seperti Ouw Cun Ki yang dijadikan panglima pasukan pengawal, bahkan baru saja ia menerima pula wanita cantik sebagai kepala pelayan dalam pesta itu!
Melihat munculnya seorang wanita dan seorang pria dari rombongan pemusik yang menentang usaha pembunuhan para pangeran, bahkan ketika melihat dua orang tamu agungnya, yaitu Gangga Dewi dan suaminya juga berloncatan melindungi para pangeran, Siang Hong-houw cepat bertindak.
“Mari cepat menyingkir ke dalam!” katanya dan ia bersama para pangeran dan puteri meninggaikan tempat yang kini menjadi medan pertempuran itu, kembali ke istana, dikawal oleh Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
Setelah semua pangeran dan puteri memasuki istana bersama Siang Hong-houw, dan jenazah Pangeran Kian Ban Kok diangkut masuk pula, barulah suami isteri itu kembali ke taman dan ikut membantu pasukan menghadapi anak buah gerombolan yang terdiri dari tokoh-tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw itu.
Pasukan pengawal yang dipimpin Ouw Ciangkun yang bukan lain adalah Ouw Cun Ki putera Ketua Thian-li-pang sendiri, yaitu Ouw Ban, tidak semua anggauta Thian-li-pang.
Hanya ada dua puluh orang lebih anggauta Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang diselundupkan Ouw Cun Ki menjadi perajurit pasukan pengawal. Selebihnya adalah perajurit pengawal aseli. Oleh karena itu, ketika para perajurit aseli melihat bahwa pasukan mereka dikepung oleh pasukan besar pimpinan Panglima Liu, mereka terkejut dan heran. Akan tetapi, mereka melihat adegan di taman itu, dan mendengar betapa pemimpin mereka adalah seorang pemberontak yang hendak membunuh para pangeran, tentu saja mereka segera membalik dan menyerang orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw, biarpun rata-rata pandai ilmu silat, dikeroyok banyak sekali lawan.
Melihat betapa keadaan amat tidak menguntungkan, Ouw Cun Ki melompat hendak melarikan diri. Akan tetapi, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pria gagah dengan pakaian serba putih telah berdiri di depannya. Orang ini bukan lain adalah Tan Sin Hong yang sudah menanggalkan jubahnya sebagai pemain musik dan kini mengenakan pakaian putihnya yang ringkas.
“Ouw Cun Ki, engkau hendak lari ke mana? Engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!” kata Sin Hong.
“Penjilat busuk, anjing penjajah Mancu!” teriak Ouw Cun Ki dan dia sudah menggunakan pedangnya untuk menusuk ke arah dada Sin Hong.
Muka Sin Hong berubah merah ketika menerima makian ini, akan tetapi karena dia tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan orang jahat yang bersekongkol dengan Pek-lian-kauw yang berkedok perjuangan namun menyembunyikan pamrih yang mementingkan diri sendiri, maka dia tahu bahwa dia bukan berhadapan dengan para pahlawan pejuang, melainkan dengan para penjahat.
“Jahanam, orang macam engkau yang mengotorkan perjuangan!” bentaknya sambil mengelak dan membalas dengan tendangan yang biarpun dapat dihindarkan Ouw Cun Ki, namun tetap saja membuat putera Ketua Thian-li-pang itu terhuyung. Ouw Cun Ki putera Ouw Ban Ketua Thian-li-pang ini baru berusia dua puluh tiga tahun, tampan gagah dan telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Tentu saja dia lihai sekali dan termasuk seorang tokoh Thian-li-pang yang berkedudukan penting.
Akan tetapi, sekali ini dia berhadapan dengan Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang sudah mempergunakan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Maka, biarpun pemuda itu memegang pedang dan menyerang dengan nekat, dalam beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak oleh pukulan, totokan dan tendangan Sin Hong yang membuat dia terus mundur dan kadang terhuyung.
Sementara itu, pertandingan antara Kao Hong Li melawan Ang I Moli berlangsung dengan seru. Kepandaian dua orang wanita ini lebih seimbang dibandingkan kepandaian antara Sin Hong dan Ouw Cun Ki. Ang I Moli telah menguasai ilmu barunya, yaitu Toat-beng-tok-hiat (Darah beracun Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Ilmu ini dilatih secara menyeramkan karena telah puluhan orang anak laki-laki dikorbankan untuk mematangkannya. Dan kini Ang I Moli telah menguasai ilmu itu, bahkan telah dapat membuat obat penawar pukulan beracun itu yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong.
Melihat betapa lihainya Kao Hong Li, Ang I Moli yang mempergunakan pedang di tangan kanan itu, menyelingi serangannya dengan dorongan tangan kiri yang mengandung pukulan beracun yang amat jahat itu.
Ketika pertama kali Ang I Moli menyerang dengan dorongan telapak tangan kiri yang mengeluarkan semacam uap putih dan yang juga membawa bau yang busuk seperti bau mayat, Hong Li maklum bahwa dia menghadapi pukulan beracun yang berbahaya. Maka, ia pun cepat mengerahkan tenaga dari ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Racun Selaksa) yang juga merupakan ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Biarpun tidak sejahat Toat-beng-tok-hiat, akan tetapi juga tidak kalah ampuhnya.
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar