Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 9.

Jodoh Rajawali Jilid 9.
Jodoh Rajawali Jilid - 9 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 9 Tentu saja Khiu-pangcu menjadi ma¬kin marah dan penasaran. Tadi dia diter¬tawakan dan kini malah disamakan de¬ngan anjing! Akan tetapi, dia masih me¬nahan kemarahannya, hanya bertanya dengan suara yang nadanya kaku dan di¬ngin, “Kalau menurut pendapatmu, bagai¬mana baiknya, Nona?” “Menurut pendapatku? Tentu saja lebih baik kalau kedua ekor anjing itu berdamai dan tulang itu dimakan ber¬sama-sama, dengan demikian berarti menambah persahabatan dan perut kedua¬nya bisa kenyang, hi-hik!” Semua orang tertawa dan Khiu-pangcu sendiri tersenyum, kemarahannya lenyap dan dia menjura kepada semua orang. “Apa yang diucapkan oleh Ang-siocia tadi memang benar dan tepat sekali. Karena itu pula maka pangcu kami mengimkan undangan kepada Cu-wi sekalian, yaitu untuk mempersatukan semua golongan dari kita para pencari nafkah yang meng¬andalkan modal kepandaian silat seperti kita semua ini. Dengan adanya persatuan antara kita, maka tidak akan terjadi lagi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan kelemahan golongan kita sendiri. Kita dianggap golongan hitam, nah, kalau tidak ada persatuan di antara kita, tentu golongan putih yang menyebut diri mere¬ka sendiri para pendekar itu akan merasa girang sekali dan mereka akan mudah untuk memusuhi dan mengalahkan kita.” Terdengar suara teriakan-teriakan menyatakan persetujuan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan karena seperti pada umumnya, manusia di dunia ini tidak ada yang dapat melihat keadaan sendiri, tidak dapat menyadari akan ke¬salahan dan kejahatan sendiri sehingga kaum itu pun tidak merasa bahwa mere¬ka adalah penjahat-panjahat! Mereka menganggap bahwa “pekerjaan” mereka itu adalah usaha mencari nafkah, dan para pendekar yang memusuhi mereka adalah yang sejahat-jahatnya orang kare¬na merintangi pekerjaan mereka! Tentu saja usul persatuan ini mereka sambut dengan gembira karena memang sudah terlalu sering mereka ditentang dan di kejar-kejar oleh para pendekar. “Akan tetapi, siapa yang akan me¬mimpin kita?” terdengar suara lantang bertanya. Khiu-pangcu mengangkat kedua tangan untuk menenangkan suasana yang men¬jadi hiruk-pikuk itu. Setelah semua orang diam dia lalu berkata, “Sudah tentu saja yang berhak memimpin kita adalah orang yang paling tinggi kepandaiannya di an¬tara golongan kita semua.” “Kalau guruku berada di sini tentu kursi pimpinan jatuh di tangannya!” ter¬dengar gadis cantik berpakaian merah itu berseru. Khiu-pangcu tersenyum lebar. “Nona, dan Cu-wi sekalian, hendaknya maklum bahwa kursi pimpinan itu tidak diperebut¬kan sekarang. Untuk itu tentu saja harus ada undangan khusus sehingga yang hadir adalah tokoh-tokoh pertama dari golong¬an kita. Sekarang yang penting bagi kita adalah bahwa semua fihak setuju untuk berdiri di bawah satu golongan. Dengan demikian, semua hasil karya kita dapat kita pergunakan bersama dan mereka yang hasilnya besar dapat menolong me¬reka yang sedang sepi pasarannya. Dan kalau seorang di antara golongan kita diusik oleh golongan putih, kita harus saling membantu dan memusnahkan fihak musuh. Dengan demikian, bukankah ke¬dudukan kita menjadi kuat dan tidak ada sembarang pendekar berani untuk meng¬ganggu?” “Benar....!” “Setuju....!” Kembali suasana menjadi berisik se¬kali. Tiba-tiba, terdengar suara tertawa yang amat nyaring, suara yang mengatasi semua suara berisik itu, suara ketawa yang menggema dan mengaung meng¬getarkan jantung. Terang bahwa itu ada¬lah suara ketawa yang mengandung te¬naga khikang amat kuatnya. Semua orang terkejut dan menoleh ke tengah lapangan karena suara ketawa itu terdengar dari mulut seorang peranakan Nepal yang muda dan duduk di kursi bagian tamu kehormatan itu. Tentu saja semua orang terkejut dan marah, karena suara ketawa itu terdengar seperti meremehkan, dan kiranya yang mentertawakan mereka hanya seorang peranakan Nepal! Khiu¬-pangcu juga merasa penasaran, segera menghadapi pemuda peranakan Nepal itu dan dengan suara hormat karena orang itu merupakan tamu agung, akan tetapi bernada teguran, dia bertanya, “Apakah Kongcu (Tuan Muda) tidak menyetujui persatuan ini?”. Pemuda jangkung berkulit coklat itu bangkit berdiri dan menjura, lalu ter¬dengar dia berkata dengan suara lantang, “Kami sangat menyetujui, harap Khiu¬pangcu tidak salah sangka. Hanya kami merasa sangat kecewa dan kasihan melihat cara-cara kalian mencari nafkah yang begitu remeh.” “Haiiiii!!” Semua orang berseru. marah karena tersinggung oleh ucapan itu, bah¬kan sudah ada yang bangkit berdiri de¬ngan sikap mengancam. Hanya tokoh¬tokoh besar lainya, seperti Ang-siocia, lalu gadis cantik jelita yang sama sekali tidak mengacuhkan semua itu dan ber¬main-main dengan ularnya, kepala bajak sungai yang tadi ribut dengan gadis pem¬bawa ular, yaitu Tiat-thouw Sin-go, pe¬rampok tunggal Toat-beng Sin-to, raja kaum nelayan Boan-wangwe, mereka ini tetap duduk diam dan bersikap tenang, sesuai dengan kedudukan mereka yang tinggi. “Harap Cu-wi jangan salah paham,” kata peranakan Nepal itu dengan sikap tenang sekali. Kini dia berdiri di pang¬gung dan menghadapi semua tamu de¬ngan penuh wibawa. “Saya tidak meman¬dang rendah kepada Cu-wi, hanya ingin menyatakan bahwa apa yang Cu-wi laku¬kan dan kerjakan itu sungguh tidak se¬suai dengan jerih payah Cu-wi sekalian. Cu-wi bersusah payah mencari mangsa, menunggu mereka lewat dan menanti datangnya kesempatan, menghadapi ba¬haya maut, dan semua itu Cu-wi lakukan hanya untuk sejumlah barang yang tidak berarti, bahkan kadang-kadang gagal seperti yang diceritakan oleh Khiu-pangcu ketika memperebutkan harta pusaka ke¬luarga Jenderal Kao itu. Bukankah cara bekerja seperti itu amat remeh dan tidak memadai?” Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar itu merasa tersinggung juga. Dia memandang dengan mata melotot, lalu berkata de¬ngan suara yang lantang dan kasar kare¬na memang dia terkenal seorang yang kasar, jujur tidak mau menggunakan banyak aturan, “Apakah kau mempunyal usul yang lebih baik?” Pemuda peranakan Nepal itu menoleh kepada si tinggi besar ini sambil ter¬senyum, lalu berkata, “Tentu saja dan usulku amatlah baik, tentu saja kalau Cu-wi sekalian setuju. Akan tetapi usul saya ini usul yang amat penting dan gawat, maka hanya akan saya terangkan kalau semua pimpinan sudah hadir, tidak seperti sekarang ini. Baru fihak tuan rumah saja, hanya wakilnya, yaitu Khiu¬-pangcu yang keluar, bukan ketuanya sen¬diri, mana bisa disebut lengkap untuk mendengarkan usul kami yang teramat penting dan menyangkut masa depan kita semua ini?” Khiu-pangcu menjura kepada orang itu. “Maaf, pangcu kami sedang menye¬lesaikan ilmunya yang baru sehingga selama ini tidak pernah keluar dan me¬wakilkan segala sesuatu kepada saya. Andaikata pangcu kami sudah keluar, apakah kiranya perempuan-perempuan dari Gunung Cemara itu berani banyak tingkah? Itulah sebabnya maka pangcu kami tidak dapat hadir.” Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan rumah tempurung terdepan meledak. Rumah itu hancur berantakan dan keluarlah seorang kakek yang ber¬pakaian hitam, agak terhuyung dan mu¬kanya putih pucat seperti kapur. “Khiu Sek, jangan mengecewakan tamu, ini aku sudah datang!” Kini dari rumah-rumah tempurung itu bermunculan pula orang-orang yang mu¬kanya putih seperti kapur dan itulah para pengikut ketua baru ini yang menyeramkan. Mereka itu semua agak terhuyung karena terlampau lama berdiam di rumah tempurung itu untuk memperdalam ilmu mereka sesuai dengan petunjuk sang ke¬tua. Melihat kakek ini, Kian Lee berdebar dan dia memandang dengan mata ter¬belalak karena tentu saja dia mengenal kakek ini. Dia itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi, ketua dari Lembah Bunga Hitam, tokoh sesat yang amat sakti dan yang merupakan ahli racun yang luar biasa itu! Di dalam cerita kisah Sepasang Rajawali telah dicerita¬kan tentang diri kakek ini yang dahulu¬nya adalah seorang pelayan dari Dewa Bongkok dan yang kemudian melarikan diri karena tersangkut dalam pencurian kitab pelajaran ilmu yang mujijat. Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka dapat menyaksikan ketua dari Kui-liong-pang yang ternyata amat menyeramkan itu. Ilmu apa gerangan yang dipelajari oleh kakek ini sehingga tadi rumah tempurung itu meledak dan hancur berantakan? Khiu-pangcu dan semua anak buah Kui-liong-pang menjatuhkan diri berlutut untuk memberi hormat kepada pangcu mereka, sedangkan para tamu juga bang¬kit berdiri untuk menghormat. Kian Lee yang juga ikut bangkit berdiri melihat betapa Hwee Li masih enak-enak saja duduk bermain-main dengan ularnya, se¬olah-olah kemunculan kakek itu sama sekali tidak diketahuinya! Benar-benar bocah itu masih seperti dulu, aneh dan bengal! Hek-hwa Lo-kwi kini menghampiri tempat duduk yang telah disediakan un¬tuknya sambil mengangguk ke kanan kiri kepada para tamu, kemudian dia meng¬hadapi peranakan Nepal itu sambil ber¬kata, suaranya menggetar dan mengan¬dung gema yang meraung aneh, “Nah, sebelum Sicu ceritakan apa usul yang amat penting itu, hendaknya lebih dulu memperkenalkan diri. Maaf kalau kami tidak mengenal Sicu.” Pemuda peranakan Nepal itu menjura dengan hormat dan berkata, “Sungguh beruntung sekali kami semua dapat bertemu dengan Pangcu yang telah kami kenal namanya yang besar. Dan kami menghaturkan selamat atas berhasilnya Pangcu mempelajari ilmu baru. Perkenan¬kan kami memperkenalkan diri kami.” Dengan suara halus dan lantang se¬hingga semua orang dapat mendengarnya, orang muda peranakan Nepal itu lalu memperkenalkan dlrinya dan mendengar penuturannya, Kian Lee menjadi tertarik sekali dan mendengarkan penuh perhatl¬an. Kiranya pemuda itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong! Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa Pangeran Liong Khi Ong dan kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong, telah mengadakan persekutuan un¬tuk mengadakan pemberontakan, akan tetapi akhirnya pemberontakan itu gagal dan kedua orang pangeran tua itu telah tewas. Liong Khi Ong mempunyai se¬orang selir berbangsa Nepal, dan sebenar¬nya selir ini masih seorang puteri Nepal, anak Raja Nepal yang juga lahir dari seorang selir dan yang dihadiahkan ke¬pada Pangeran Liong Khi Ong sebagai tanda persahabatan antara Nepal dan Kerajaan Ceng-tiauw yang pada waktu itu luas sekali daerahnya dan merupakan negara besar yang dihormati negara-¬negara tetangga termasuk Nepal. Dari selir Nepal inilah Liong Khi Ong mempunyai putera, yaitu pemuda ini yang memakai nama Liong Bian Cu. Ke¬tika Liong Khi Ong tewas, pemuda ini bersama ibunya melarikan diri ke barat, kembali ke Nepal di mana dia memper¬dalam ilmu kepandaiannya dengan men¬jadi murid dari Ban-hwa Sengjin, yaitu koksu (guru negara) Nepal yang lihai itu. Setelah memperkenalkan diri dan para tamu memandang dengan kagum karena tidak menyangka bahwa peranakan Nepal ini ternyata adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong yang amat ter¬kenal di kalangan dunia hitam karena dahulu pangeran itu banyak menerima tenaga bantuan kaum sesat, bahkan ketua Kui-liong-pang ini pun mengenalnya de¬ngan baik, maka pemuda itu lalu men¬ceritakan usulnya dengan suara lantang. “Dari pada kita bekerja secara kecil-kecilan dengan resiko besar, lebih baik kita melakukan pekerjaan yang besar. Sudah basah kepalang mandi! Daripada kita dikejar-kejar pemerintah dan orang-¬orang dari golongan putih, kita menda¬hului mereka! Kita kumpulkan kawan¬-kawan yang banyak sehingga menjadi barisan yang kuat, lalu kita serbu kota demi kota, kita sita seluruh kekayaan¬nya, dan kita duduki kotanya. Bukankah itu lebih cepat dan berhasil daripada kita menunggu lewatnya mangsa seperti seekor harimau kelaparan menunggu le¬watnya seekor kelinci? Kita taklukkan kota demi kota dan kita paksa penduduk¬nya yang laki-laki, muda-muda dan kuat-¬kuat untuk menjadi anggauta kita, yang menolak kita bunuh semua! Wanita-wanita¬nya yang cantik kita bagi-bagi. Dengan demikian, akhirnya kita akan menjadi suatu kekuatan yang amat besar dan daerah kita akan makin luas. Kalau su¬dah kuat benar, kita hancurkan para gubernur. Kita kuasai propinsi dan tujuan terakhir adalah kota raja. Kita mendirikan kerajaan sendiri, kerajaan kaum hitam!” Sejenak suasana menjadi sunyi karena mereka yang mendengarkan rencana itu terlalu kaget dan heran. Bahkan Hek¬-hwa Lo-kwi sendiri kelihatan menunduk, merenung dan mengelus jenggotnya. Ke¬mudian meledaklah kebisingan di situ karena semua orang bicara sendiri, saling berdebat, ada yang setuju, ada yang menolak dan ada yang ketakutan. Akhirnya Hek-hwa Lo-kwi mengangkat tangan kanan ke atas dan semua orang diam. Lalu terdengar ucapan kakek ini, “Usul yang dikemukakan oleh Liong-sicu bukan hal remeh dan main-main, bahkan hal yang amat baik. Memang pekerjaan kita selalu dibayangi oleh bahaya. Tentu saja makin besar bahayanya, makin besar pula hasilnya, dan kalau kita bersatu, mengapa takut bahaya? Aku sendiri se¬tuju dengan usul itu dan akan mendukung pelaksanaannya!” Ucapan ini disambut oleh tepuk tangan dan sorak-sorai dari mereka yang tadi setuju, sedangkan yang menolak dan yang ragu-ragu terseret dan hanyut oleh suara setuju ini sehingga mereka pun menjadi besar hati. Kini Liong Bian Cu, pemuda peranak¬an itu mengangkat tangan dan semua orang berhenti membuat berisik. “Apakah ada di antara Cu-wi yang mengajukan usul lain?” Terdengar suara merdu nyaring dan gadis berpakaian merah muda, yaitu Ang¬-siocia, telah berdiri dan berkata, “Bicara memang mudah saja, akan tetapi pelaksanaannya tidaklah semudah menggoyang¬kan lidah dan bibir!” Memang dara ini biasa bicara dengan tajam. “Kota-kota itu tentu dijaga dan dilindungi oleh pasu¬kan perajurit yang sudah terlatih dan pandai berperang. Mana bisa orang-orang kita yang tidak terdidik perang seperti mereka itu dapat menyerbu kota dan menang? Kepandaian kita hanyalah ke¬pandaian pribadi untuk dipakai dalam pertempuran perorangan atau paling he¬bat hanya menghadapi keroyokan belasan sampai puluhan orang. Mana mungkin dapat berguna dalam perang antara ribu¬an orang dan pula fihak pasukan peme¬rintah tentu diperlengkapl dengan sen¬jata dan perlengkapan yang lebih sempur¬na?” Hek-hwa Lo-kwi mengangguk-angguk. “Alasan yang baik dan kuat sekali. Ba¬gaimana jawabanmu, Liong-sicu?” “Tidak perlu khawatir!” tiba-tiba se¬orang kakek berusia enam puluh tahun, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut, tangannya memegang tongkat kayu cendana, berseru. Dia ini adalah Gitananda, orang Nepal yang pernah menghadiri pesta pernikahan gagal dari Hwa-i-kongcu Tang Gun di puncak Naga Api itu. Memang Gitananda adalah se¬orang di antara utusan-utusan Kerajaan Nepal yang mencari kemungkinan meng¬hubungi orang-orang yang hendak mem¬berontak terhadap Kerajaan Ceng-tiauw, dan kini Gitananda bertugas untuk mengawal dan menemani Liong Bian Cu. “Hendaknya Cu-wi sekalian maklum bah¬wa Kongcu kami ini adalah seorang ahli perang yang tentu akan mampu mendidik kawan-kawan dan membentuk barisan-¬barisan yang kuat!” Liong Bian Cu bangkit dan menjura ke empat penjuru. “Saya tidak ingin me¬mamerkan diri, akan tetapi terus terang saja, sebagai putera mendiang Ayah yang juga ahli dalam siasat perang, tentu saja saya telah rnempelajari ilmu perang dan saya dapat membentuk pasukan-pasukan istimewa yang terlatih baik. Tentang perlengkapan, jangan khawatir karena Raja Nepal adalah kakek saya. Cu-wi se¬kalian tidak perlu gelisah, dan saya ber¬janji bahwa kalau kelak kita berhasil, Cu-wi sekalian tentu akan menjadi pem¬besar-pembesar tinggi yang hidup ter¬hormat dan mulia!” “Nanti dulu!” Tiba-tiba Hek-hwa Lo¬kwi berkata sambil bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. “Aku ingin sekali mendengar pendapat sahabat lamaku, Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ataukah dia tidak hadir dan tidak me¬ngirim wakilnya?” Semua orang yang mendengar nama ini terkejut, dan Tiat-thouw Sin-go ketua para pembajak itu mengerling ke arah gadis cantik jelita berpakaian serba hi¬tam yang masih duduk bermain-main dengan ularnya tadi. “Akulah wakilnya!” tiba-tiba gadis itu berkata sambil bangkit berdiri. Semua orang menoleh dan menahan napas me¬nyaksikan seorang gadis yang demikian cantik moleknya. Wajahnya putih halus kemerahan, dengan rambut yang disang¬gul indah sekali, dihias dengan batu-batu permata mahal, sepasang matanya seperti bintang pagi, jernih dan lebar akan te¬tapi mengandung sinar yang tajam me¬nyeramkan, hidungnya mancung dan mu¬lutnya selalu tersenyum, manis dan jelita. Tubuhnya kelihatan ramping padat de¬ngan lekuk lengkung yang menggairahkan, yang sukar disembunyikan oleh pakaian sutera serba hitam itu. Akan tetapi yang membuat orang menjadi ngeri dan ke¬hilangan gairah adalah ketika melihat dua ekor ular yang melingkar-lingkar di kedua lengan yang halus mulus itu. “Hemmm!” Hek-hwa Lo-kwi menatap dengan tajam, akan tetapi memandang rendah kepada gadis muda itu. “Kalau engkau wakilnya, Nona, apa yang akan dikatakan oleh Hek-tiauw Lo-mo tentang usul tadi?” Gadis itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo, ter¬senyum sehingga sekelebatan nampak rongga mulutnya yang merah terhias kilatan gigi putih. “Apa yang hendak dikatakan? Aku tidak tahu. Aku hanya diutus untuk mendengarkan saja tanpa membuka mulut dan akan kusampaikan semua ini kepadanya.” Hek-hwa Lo-kwi berkata kepada Liong Bian Cu, “Dahulu Hek-tiauw Lo-mo per¬nah membantu Ayahmu, Liong-sicu. Kira¬nya sekarang pun dia akan setuju dengan usulmu itu.” “Mudah-mudahan begitu,” Liong Bian Cu berkata dan matanya masih terus memandang kepada Hwee Li, agaknya peranakan Nepal ini tertarik sekali ke¬pada gadis yang luar biasa cantiknya itu. “Tentu saja dia mau kalau kelak se¬telah berhasil dia yang menjadi rajanya!” kata Hwee Li sambil duduk dan bermain main dengan ularnya. Kian Lee tak dapat menahan senyum¬nya. Bukan main gadis ini. Berani sekali dan sikapnya seolah-olah memandang mereka semua itu seperti semut saja! Akan tetapi, dia sendiri masih gelisah memikirkan Cui Lan dan Hok-taijin. Se¬baiknya kalau dia sekarang mulal menye¬lidiki di mana adanya dua orang yang dicarinya itu. Akan tetapi, mengingat bahwa yang hadir di situ adalah orang¬-orang yang berilmu tinggi sehingga akan berbahaya bagi dua orang kawannya itu kalau sampai ketahuan, dia terpaksa memberi isyarat kepada Liang Wi Ni¬kouw untuk bersabar. Mereka ini tentu tidak tahu siapa Hok-taijin, sehingga gadis dan kakek itu hanya merupakan tawanan yang tidak penting, yang mereka ambil dari Gunung Cemara ketika mere¬ka membasminya. Kalau sampai dia turun tangan dan ketahuan, tentu mereka akan sadar bahwa dua orang itu merupakan orang-orang penting dan kalau sampai mereka tahu bahwa kakek itu adalah Gubernur Ho-pel, maka akan berbahaya¬lah! Hidangan mulai dikeluarkan dan sam¬bil bercakap-cakap membicarakan renca¬na besar yang diusulkan oleh Liong Bian Cu, mereka makan minum. Sementara itu, para tokoh yang penting di atas panggung kehormatan mulai berunding sambil makan minum dan akhirnya di¬putuskan bahwa sebelum diadakan pe¬milihan pemimpin yang harus seorang yang terpandai di antara mereka, yang akan merupakan seorang bengcu (pemim¬pin rakyat), untuk sementara dibentuklah panitia pimpinan atau pengawas yang terdiri dari Hek-hwa Lo-kwi sendiri, Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, Boan-wangwe, Tiat-thouw Sin-go dan Gita¬nanda sebagai wakil fihak orang Nepal. Ketika hal ini diumumkan, semua orang setuju. Makan minum dilanjutkan dan Liong Bian Cu yang menganggap mereka semua itu sebagai calon-calon pembantunya untuk melanjutkan “perjuangan” mendiang ayahnya dalam kegembiraannya ingin sekali melihat kelihaian mereka. Maka setelah minum beberapa cawan arak yang cukup menghangatkan hatinya, dia bang¬kit berdiri dan berkata lantang, “Cuwi sekalian! Kita telah bersepakat untuk bersatu dan kita merupakan kesatuan orang-orang yang gagah dan memiliki kepandaian! Oleh karena itu, dalam per¬temuan ini sudah selayaknya kalau kita memperlihatkan kepandaian masing¬-masing, bukan untuk menyombongkan diri melainkan sebagai perkenalan. Dan per¬tunjukan ini akan saya mulai lebih dulu dengan memperlihatkan sedikit kemampu¬an saya yang saya pelajari dari guru saya yang terhormat, yaitu Ban-hwa Sengjin, koksu dari Nepal!” Tentu saja ucapan ini disambut de¬ngan gembira oleh semua orang. Mereka adalah orang-orang yang suka berkelahi, suka akan ilmu silat, maka setiap pertunjukan silat tentu saja menggembirakan hati mereka. Apalagi karena mereka maklum bahwa di antara mereka ter¬dapat banyak sekali orarg-orang pandai. Dengan langkah lebar Liong Bian Cu yang oleh orang-orangnya disebut Liong¬-kongcu itu menghampiri sebuah batu be¬sar yang berada di tempat itu. Batu itu sebesar kerbau, tentu berat sekali. Akan tetapi dengan mudah dan ringan Liong¬ kongcu mengangkatnya dan melontarkan¬nya tinggi ke atas. Dia menggosok kedua telapak tangannya, kemudian cepat dia menggerakkan kedua lengannya dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka me¬mukul dan mendorong ke arah batu itu. Terdengarlah suara bercuitan dari tangan kanannya dan dari tangan kirinya keluar suara mendesis. Di sekitar tempat dia berdiri menyambar-nyambar hawa yang panas dan dingin. Yang panas ke¬luar dari tangan kanannya sedangkan yang dingin keluar dari tangan kirinya. Ketika kedua tangan itu bergerak me¬mukul, batu itu tidak dapat meluncur jatuh, melainkan terapung di udara se¬perti tertahan oleh tenaga mujijat, dan batu itu mulai terputar, makin lama makin cepat sehingga mengeluarkan suara mengaung seperti gasing. Tak lama ke¬mudian nampak debu mengepul, pecahan batu dan pasir berhamburan ke mana-¬mana. Liong-kongcu tersenyum, menghenti¬kan gerakan kedua tangannya dan me¬loncat ke belakang ketika batu itu jatuh berdebuk ke atas tanah. Dan semua orang melongo ketika melihat betapa batu yang tadinya kasar itu kini telah menjadi halus seperti dibubut, bentuknya bulat seperti telur! Kian Lee yang sejak tadi memandang penuh perhatian, diam-diam memuji. Itu¬lah tenaga Im-yang Sin-ciang yang cukup hebat. Sungguhpun tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, namun pemuda itu sudah boleh juga dan hal itu tidak mengherankan karena pemuda itu, me¬nurut pengakuannya tadi adalah murid dari koksu dari Nepal, yaitu Ban-hwa Sengjin yang pernah dia jumpai di istana Guber¬nur Ho-nan! Pemuda ini mulai mengerti apa tugas orang-orang Nepal ini. Dia dapat menghubung-hubungkannya dengan kehadiran Ban-hwa Sengjin koksu dari Nepal di istana Gubernur Ho-nan, lalu kehadiran mereka ini di sini, hendak mem¬bentuk barisan pemberontak! Apalagi ketika mendengar bahwa Liong-kongcu ini adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong, maka tentu saja apa yang di¬lihat dan didengarnya semua itu tidaklah terlalu mengherankan. Suatu persekutuan pemberontak agaknya hendak bangkit lagi mengacaukan negara. Para tamu bersorak memuji kelihaian pemuda peranakan itu, dan Liong-kongcu kini memandang ke arah Hwee Li sambil tersenyum bangga. Akan tetapi senyum¬nya hilang dan alisnya berkerut ketika dia melihat gadis berpakaian hitam yang menggoncangkan hatinya itu sama sekali tidak ikut bersorak memuji, bahkan bibir¬nya tersenyum mengejek, seolah-olah apa yang dipertunjukkannya, tadi tidak ada artinya sama sekali bagi nona itu. Selagi Liong-kongcu hendak minta kepada Hwee Li agar memperlihatkan kelihaiannya, tiba-tiba dia didahului oleh Ang-siocia yang sudah bangkit berdiri dan meng¬hampirinya. “Hik-hik, sungguh lumayan juga ke¬pandaianmu. Ingin sekali aku bertanding denganmu karena ilmu kita hampir ber¬samaan. Engkau memiliki pukulan tajam, aku pun juga. Akan tetapi aku akan mem¬pergunakan pedang, lihatlah!” Dia men¬cabut sebatang pedang yang tadi ter¬gantung di punggungnya, pedang yang bersarung dan bergagang indah, yang di¬hias ronce merah tua di gagangnya. Ke¬mudian, gadis berpakaian merah muda ini mengeluarkan suara melengking panjang dan pedangnya lalu bergerak dengan ce¬pat, bertubi-tubi ke arah batu yang bulat halus seperti telur itu. Cepat sekali ge¬rakan pedangnya, sampai nampak sinar menyilaukan mata dan ketika sinar itu lenyap, ternyata pedangnya telah kem¬bali memasuki sarungnya di punggung nona itu dan dengan tenang dia berdiri memandang ke arah batu. Batu itu tiba¬-tiba roboh terpotong-potong seperti irisan kue keranjang! Tipis dan lebar. Tentu saja semua orang melongo dan bertepuk tangan memuji. “Hii-hik, hampir sama bukan?” kata Ang-siocia kepada Liong-kongcu. “Kalau guruku yang melakukannya, tidak usah memakai bantuan pedang, cukup dengan telapak tangan saja. Itulah pukulan Kian¬to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok).” Ang-siocia terkekeh lagi dengan bang¬ga, lalu dia menghampiri batu yang su¬dah terpotong-potong itu dan mengguna¬kan kakinya untuk mencukil dan melem¬parkan batu itu ke arah sungai yang mengalir tak jauh dari tempat itu, sungai yang menjadi sambungan dari air terjun. “Lebih baik batu-batu ini dilempar ke sungai!” Tentu saja perbuatannya ini tak lain mengandung maksud untuk mendemon¬strasikan kekuatan kakinya dan memang hebat sekali. Potongan-potongan batu itu beterbang ke depan. “Heiii, jangan dibuang! Sayang....!” Nampak bayangan berkelebat cepat sekali mendahului batu-batu itu dan ketika dia membalik, dia menggunakan tangannya menuding dan menangkapi potong-potong¬an batu yang seperti roda bentuknya itu lalu menumpuknya kembali di atas tanah. Semua orang memandang tumpukan batu itu dan terdengar seruan-seruan kagum karena batu-batu yang bentuknya seperti roda itu kini telah berlubang tepat di tengah-tengahnya, sehingga bentuknya seperti gilingan tahu dan ternyata bahwa ketika menangkap batu-batu itu, kakek ini menggunakan jari tangannya melubangi batu-batu itu tepat di tengah-tengah. Kakek ini bukan lain adalah Tiat-thouw Sin-go, yang ternyata bukan hanya ke¬palanya yang keras melebihi batu, melainkan juga jari tangannya amat kuat. Tentu saja perbuatannya itu pun dimak¬sudkan untuk mendemonstrasikan kepan¬daiannya dan kembali semua tamu me¬muji. Akan tetapi sebelum orang lain men¬demonstrasikan kepandaiannya, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan disusul suara canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan nampaklah beberapa orang penjaga datang berlari-lari dengan muka pucat menghadap pangcu mereka. Ketika mereka melihat bahwa Hek-hwa Lo-kwi sudah hadir di situ mereka itu serta merta menjatuhkan diri berlutut. “Celaka.... Pangcu....!” “Tolol! Pengecut!” Khiu-pangcu me¬maki. “Hayo lekas lapor ada apa!” “Di luar pintu terowongan.... orang-¬orang Gunung Cemara datang menyer¬bu....!” “Huh, begitu saja ribut!” Khiu-pangcu membentak. “Tapi, Ji-pangcu. Mereka itu dipimpin oleh ketua mereka, Yang-liu Nio-nio dan dua orang yang luar biasa lihainya. Tan¬pa menyentuh orang, mereka berdua telah merobohkan dan membunuh banyak kawan kita! Mereka adalah seorang pe¬muda tampan dan seorang gadis cantik yang mengeluarkan suara seperti ku¬cing.... huuuh-hu....!” para penjaga itu menggigil ketakutan. “Hemmm, sungguh orang-orang Hek¬-eng-pang tidak boleh diberi ampun sekali ini!” Hek-hwa Lo-kwi membentak marah sekali dan meloncat turun dari atas pang¬gung, kemudian dengan langkah lebar, dia pergi menuju ke pintu terowongan, di¬ikuti oleh para tamu yang ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh ketua yang baru saja keluar dari pertapaannya itu. Juga mereka ini mengharapkan akan me¬nyaksikan pertandingan yang hebat antara Hek-hwa Lo-kwi melawan tokoh-tokoh pimpinan Hek-eng-pang. Akan tetapi belum juga mereka me¬masuki pintu terowongan, tiba-tiba ter¬dengar suara ledakan-ledakan keras di sebelah luar terowongan itu dan nampak api mengebul di atas tebing arah mulut terowongan di atas. Semua orang ter¬kejut sekali, apalagi ketika mendengar gemuruhnya suara air menyaingi suara gemuruh air terjun. Cepat mereka semua mundur kembali menjauhi pintu tero¬wongan dan tak lama kemudian, dari pintu terowongan itu menyembur air yang amat kuat dan derasnya. Beberapa orang penjaga terowongan terlontar se¬perti daun-daun kering dihanyutkan air bersama dengan semburan air yang deras itu. Semua orang menjadi panik karena maklum bahwa entah secara bagaimana, fihak musuh telah berhasil membobolkan sungai di atas dan mengalirkan airnya memasuki mulut terowongan di atas se¬hingga menggenangi lembah itu! Tentu¬ saja terjadi kepanikan hebat. Orang-orang cepat mencari perahu-perahu yang ba¬nyak terdapat di situ. Akan tetapi kare¬na banyaknya orang dan kurangnya pera¬hu mereka banyak tidak kebagian dan terpaksa mereka menebang pohon-pohon dan bambu-bambu untuk dijadikan peng¬apung atau semacam rakit. Air makin meninggi dan keadaan makin kacau. Mereka yang telah berhasil memperoleh perahu sudah cepat-cepat menyelamatkan diri melalui sungai. Di dalam suasana yang kacau-balau dan hiruk-pikuk itu, Kian Lee bertindak cepat sekali. Dia tadi melihat Hoa-gu¬ji, tokoh Kui-liong-pang tinggi kurus yang tadi mengepalai para pelayan yang me¬ngeluarkan hidangan. Kian Lee menduga bahwa orang ini tentu seorang di antara para anggauta pimpinan, maka begitu dia melihat kesempatan, secepat kilat dia menubruk dan merobohkan orang tinggi kurus ini dengan totokan, lalu menyeret¬nya ke tempat gelap. Hoa-gu-ji adalah seorang yang me¬miliki kepandaian cukup lihai, maka da¬pat dibayangkan betapa kaget dan heran¬nya melihat betapa ada orang mampu merobohkannya sedemikian mudahnya! Dia tadi hanya melihat seorang pemuda tampan mendekatinya dan tahu-tahu tu¬buhnya menjadi lemas dan ketika dia hendak berteriak, pemuda itu menepuk tengkuknya dan lenyaplah suaranya! Kini Hoa-gu-ji benar-benar merasa ketakutan ketika dia diseret di tempat gelap dan dia melihat bahwa di situ telah menanti seorang nikouw tua yang tadi dilihatnya menjadi seorang di antara para tamu di situ. “Hayo katakan, di mana adanya dua orang tawanan yang kalian bawa dari Gunung Cemara!” Kian Lee membentak sambil menyentuh ubun-ubun kepala orang itu dan dengan tangan kiri membebaskan totokan pada lehernya sehingga dia da¬pat mengeluarkan suara lagi. “Ta.... tawanan.... yang mana....?” Hoa-gu-ji bertanya, jantungnya berdebar tegang karena jari-jari tangan yang menyentuh ubun-ubunnya itu benar-benar merupakan “todongan maut” baginya, maka dia tidak berani main-main. “Seorang gadis dan seorang laki-laki tua yang kalian bawa dari tempat tahan¬an Hek-eng-pang. Cepat jawab!” “Ahhh.... mereka itu?” Setelah jelas bahwa orang ini menge¬tahui tentang dua orang temannya, Kian Lee lalu membebaskan totokan pada tu¬buh Hoa-gu-ji dan sambil mencengkeram leher bajunya, dia menghardik, “Hayo antarkan kami ke sana!” Hoa-gu-ji mengangguk-angguk. Dia maklum bahwa dia tidak berdaya karena selain pemuda ini luar biasa lihainya, juga teman-temannya sedang sibuk menyelamatkan diri dari serangan air yang membanjiri lembah. Akan tetapi, Kian Lee menjadi repot juga karena air sudah mulai naik sampai ke paha. “Kita membuat rakit dulu!” kata Liang Wi Nikouw dan nenek ini lalu me¬ngumpulkan kayu dan bambu yang banyak hanyut di situ, bekas orang-orang tadi membuat rakit. Dengan cekatan mereka dibantu oleh Hoa-gu-ji membuat rakit, lalu cepat mereka menuju ke kelompok bangunan yang sudah digenangi air se¬tinggi perut. Akhirnya tibalah mereka di sebelah kamar tahanan dan dengan hati lega Kian Lee melihat Cui Lan dan Hok-taijin berpegang kepada ruji-ruji besi tempat tahanan itu dengan muka pucat dan ketakutan karena air sudah terus naik! “Kongcu.... syukur engkau datang....!” Cui Lan terisak penuh kegembiraan me¬lihat munculnya pemuda itu. Untung lampu di atas tempat tahanan masih belum padam sehingga keadaan di situ cukup terang. Kian Lee cepat menotok lumpuh Hoa-gu-ji dan membawanya lon¬cat naik ke atas wuwungan rumah dan melemparkan tubuh itu di atas wuwungan karena dia yakin bahwa air tidak mung¬kin sampai naik ke wuwungan. Kemudian bersama Liang Wi Nikouw dia membong¬kar pintu tahanan dan menolong gadis dan pembesar itu naik rakit dan mereka lalu mendayung rakit itu keluar dari situ. Di luar, air sudah naik sampai ke dada orang. Bangunan-bangunan kecil roboh terlanda air, akan tetapi bangunan besar di mana tadi Kian Lee melemparkan Hoa-gu-ji ke atas wuwungan cukup kokoh dan tentu akan dapat bertahan. “Ahhhhh.... Taihiap.... sungguh kami sudah hampir putus asa....” Hok-taijin, berkata. “Untung aku bersama dengan Cui Lan, anakku yang gagah perkasa ini.... dialah yang selalu membesarkan hatiku.... kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi gila....“ Kian Lee memandang kepada Cui Lan dengan sinar mata kagum dan gadis itu menunduk dengan air mata berlinang. “Cui Lan, ini adalah Liang Wi Nikouw yang diutus oleh Siluman Kecil untuk menyelidiki keadaanmu dan menolongmu,” kata Kian Lee sambil memandang gadis itu. Seketika wajah yang menunduk itu bergerak, diangkat dan biarpun air mata¬nya masih berlinang, namun bibirnya tersenyum dan wajahnya berseri. “Aihhh...? Suthai yang baik, benarkah itu?” Nikouw itu mengangguk dan terse¬nyum. “Di mana dia? Bagaimana dengan dia? Baik-baik sajakah dia?” tanyanya seperti air hujan. Nikouw itu mengangguk-angguk lagi. “Dia mengkhawatirkan keadaanmu, Nona, maka mengutus pinni menyelidiki. Kira¬nya engkau benar-benar terancam bahaya, untung ada pemuda perkasa ini yang menolong.” Karena mereka masih berada dalam bahaya, maka Cui Lan tidak berani ba¬nyak bertanya lagi. Juga dia merasa malu untuk banyak bertanya tentang pendekar luar biasa itu, maka dia kini hanya menunduk sedangkan Kian Lee yang dibantu oleh nikouw yang biarpun sudah tua namun masih kuat itu untuk mendayung rakitnya menuju ke sungai di mana juga terdapat kesibukan dari me¬reka yang menyelamatkan dirinya. Sementara itu, jauh di atas tebing nampak tiga orang berdiri menonton semua keributan di lembah. Tentu saja tidak kelihatan jelas benar karena hanya dibantu dengan sinar bulan, akan tetap melihat lampu-lampu bergerak ke sana sini dengan kacau dan teriakan-teriakan orang di bawah terdengar sampai di atas, tiga orang itu cukup puas dan menonton sambil tersenyum. Mereka itu bukan lain adalah Hek-eng-pangcu Yang-liu Nio-nio, Ang Tek Hoat, dan Mauw Siauw Mo¬li. Bagaimana mereka bisa berada di sana? Mari kita ikuti perjalanan Tek Hoat yang kita tahu melakukan usaha menculik Syanti Dewi dari puncak Naga Api, tempat tinggal Hwa-i-kongcu itu. *** Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah Ang Tek Hoat berhasil membantu Yang-liu Nio-nio ketua Hek¬eng-pang merobohkan Kian Lee, pemuda itu lalu dibantu oleh Yang-liu Nio-nio dan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke puncak Naga Api menculik Syan¬ti Dewi yang menjadi tawanan di sana dan hendak dipaksa menikah dengan Hwa¬i-kongcu Tang Hun, murid dari Durganini yang kaya raya dan lihai itu. Dan biarpun Hek-eng-pang mengor¬bankan beberapa orang anggautanya, akhirnya mereka berhasil melarikan Syan¬ti Dewi yang oleh Yang-niu Nio-nio di¬lemparkan kepada muridnya, Liong-li dan kemudian dibawa keluar di mana telah menanti Tek Hoat bersama beberapa orang anak buah Hek-eng-pang yang siap dengan beberapa ekor kuda yang baik. Tentu saja Tek Hoat girang sekali melihat bahwa kekasihnya telah berhasil diselamatkan. Akan tetapi dia teringat akan perlakuan Raja Bhutan ayah puteri itu terhadap dirinya dan penghinaan lima tahun yang lalu itu masih membuat hati¬nya terasa panas, apalagi kalau dia ter¬ingat betapa sengsaranya hatinya selama ini yang terkenang dengan penuh kerindu¬an kepada wanita yang dicintanya itu. Maka, setelah kini dengan susah payah dia dapat bertemu kembali dengan $yanti Dewi, dia tidak mau lekas-lekas mamper¬kenalkan diri lebih dulu. Karena cuaca masih gelap sekali, mudah baginya untuk tidak memperkenalkan diri dan tidak membuka suara. Dia hanya menerima puteri yang tertotok itu dari tangan Liong-li, kemudian dengan mendudukkan wanita yang dicintainya itu di atas pung¬gung kuda, dia melompat di belakang Syanti Dewi dan membalapkan kuda se¬cepatnya, diikuti oleh Yang-liu Nio-nio, Liong-li dan lain anak buah Hek-eng¬pang, menuju kembali ke Gunung Cemara. Untuk membingungkan para pengejarnya, mereka berpencar menjadi tiga rombong¬an dan Tek Hoat masih tetap bersama Yang-liu Nio-nio dan Liong-li, sedangkan rombongan lain bertugas untuk meng¬hilangkan jejak ketua dan rombongannya ini. Tentu saja Hwa-i-kongcu Tang Hun dibantu oleh tiga orang sakti Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-¬ong Ciok Gu To terus melakukan penge¬jaran, akan tetapi mereka ini dibikin bingung dan akhirnya juga berpencar menjadi dua rombongan yang membelok ke kanan kiri, tidak tahu bahwa puteri itu dilarikan terus ke depan oleh Tek Hoat dan rombongannya. Hal ini adalah karena jejak kaki kuda mereka telah dihapus oleh anak buah Hek-eng-pang yang cerdik itu. Hanya ada satu orang yang tidak mudah diakali oleh anak buah Hek-eng¬-pang. Orang ini adalah Siang In! Ketika terjadi keributan di tempat pesta, Siang In yang meninggalkan rombongan penari itu cepat-cepat mencari-cari dan ketika jelas bahwa Syanti Dewi diculik orang, dia pun cepat melakukan pengejaran. Dia amat cerdik, sudah menduga bahwa tentu rombongan penculik itu membawa keluar Syanti Dewi, maka dia telah mendahului pergi ke kandang kuda, mencuri seekor kuda dan menggunakan kesempatan selagi ribut-ribut itu menjalankan kudanya ke¬luar dari benteng yang terjaga. “Aku sri panggung rombongan penari, hendak membantu mencari pengantin puteri yang terculik!” katanya dan kare¬na penjaga tadi melihat betapa dara cantik jelita ini pandai main sulap, me¬reka membiarkan Siang In keluar. Dara ini mengintai dan melihat ada rombongan orang membawa kuda menanti di luar tembok, maka dia pun beriembunyi. Ke¬tika para penculik wanita rombongan orang-orang Hek-eng-pang itu keluar dan membawa lari Syanti Dewi, dia pun membalapkan kudanya membayangi dari jauh. Dia cukup hati-hati dan dapat men¬duga bahwa orang-orang itu tentu me¬miliki kepandaian, maka dia tidak berani sembrono turun tangan di situ, apalagi dia tahu bahwa tentu fihak Hwa-i-kongcu tidak akan tinggal diam dan melakukan pengejaran, sehingga andaikata dia ber¬hasil merampas Syanti Dewi dari tangan para penculik, dia pun tidak akan ter¬lepas dari tangan Hwa-i-kongcu dan para pembantunya yang lihai itu. Untuk meng¬gunakan sihirnya, dia teringat akan orang Nepal yang lihai tadi, maka sekali ini dia harus bersikap hati-hati sekali. Sementara itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Ang Tek Hoat me¬meluk pinggang Syanti Dewi yang duduk di depannya. Pelukan yang penuh ke¬mesraan dan seluruh kerinduan hatinya dicurahkan pada sentuhan mesra itu. Na¬mun dia tetap membisu dan hanya membalapkan kudanya bersama Yang-liu Nio¬-nio, dan Liong-li. Hatinya lega karena tidak terdengar derap kaki banyak kuda mengejarnya. Hanya kadang-kadang terdengar derap kaki seekor kuda di belakang, akan te¬tapi tentu saja hal ini dianggap ringan. Andaikata benar ada satu orang yang mengejar, tentu saja bukan merupakan halangan. Dia sendiri masih belum berani menggunakan terlalu banyak tenaga se¬bagai akibat luka dalam ketika bertanding melawan Kian Lee, akan tetapi Liong-¬li dan terutama Yang-liu Nio-nio yang menunggang kuda di dekatnya bukanlah orang-orang yang lemah. Karena tidak ada pengejar, hati me¬reka tenang dan mereka berhenti di da¬lam sebuah kuil tua yang berada di tepi jalan untuk membiarkan kuda mereka mengaso. Tanpa banyak cakap Tek Hoat memondong tubuh Syanti Dewi dan me¬rebahkan dara itu di atas lantai dalam kuil, kemudian dia membebaskan totokannya dan meninggalkannya pergi. Syanti Dewi mengeluh dan kemudian menangis terisak-isak. Malam hampir lewat dan waktu itu sudah menjelang subuh. Sudah terdengar kokok ayam jantan di kejauhan. Udara dingin sekali. Syanti Dewi menggigil, akan tetapi Tek Hoat hanya berdiri di luar, bermacam perasaan teraduk di hatinya. Dia merasa rindu, me¬rasa girang, merasa kasihan, akan tetapi juga mendongkol dan marah. Ingin dia memeluk, membisikkan kata-kata cinta, menciumi wanita yang selama ini amat dirindukannya itu. Ingin dia menghibur¬nya, membuatnya gembira dan tertawa, karena dia yakin bahwa tentu Syanti Dewi akan merasa girang sekali bertemu dengan dia. Dia tahu bahwa puteri itu belum dapat menduga siapa adanya orang yang menolongnya bebas dari tangan Hwa-i-kongcu! Akan tetapi karena rasa sakit di hatinya oleh ayah gadis itu, dia masih “menjual mahal” dan mengambil keputusan untuk menjumpai Syanti Dewi pagi nanti kalau cuaca sudah terang. Dia akan muncul begitu saja mengagetkan hati puteri itu. Tersenyum dia memba¬yangkan betapa Syanti Dewi tentu akan menjerit, dan lari memeluknya kalau puteri itu tiba-tiba melihat dia muncul di dalam kamar kuil rusak itu! Adapun Yang-liu Nio-nio dan Liong-li membuat api unggun di dalam kuil, tidak mau mencampuri urusan Tek Hoat bersama Syanti Dewi. dan mereka mem¬bicarakan tentang beberapa orang ang¬gauta mereka yang diduga tewas dalam penyerbuan itu, juga membicarakan ten¬tang orang-orang pandai yang muncul di dalam pesta Hwa-i-kongcu. Tak lama ke¬mudian, sinar matahari pagi mulai meng¬usir kabut dan hawa dingin dan tiba-¬tiba Hek-eng-pang bersama muridnya itu mendengar suara teriakan Tek Hoat dari sebelah dalam kuil. Mereka terkejut dan cepat melompat ke dalam dan mereka melihat Tek Hoat dengan muka pucat berdiri di ambang pintu, memandang ke arah puteri yang mereka culik semalam. Puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai sambil menangis dan Si Jari Maut yaneg biasanya tenang dan gagah perkasa itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang puteri itu, mukanya pucat sekali. “Celaka....!” Tek Hoat berseru marah “Kenapa? Apa yang terjadi....?” Yang¬ liu Nio-nio bertanya. “Bodoh! Tolol semua! Dia bukan....“ “Bukan apa?” “Dia bukan puteri itu!” Tek Hoat mengepal tinju dan memandang kepada ketua Hek-eng-pang dengan mata melotot. “Kalian telah tertipu! Ini bukan Puteri Syanti Dewi!” “Tapi....!” Yang-liu Nio-nio mem¬bantah, terheran-heran. Dia sendiri yang menculik wanita ini dari dalam kamar pengantin wanita. Tidak bisa salah lagi. Liong-li cepat meloncat dan menarik pundak wanita yang mengempis itu. ”Diam kau! Hayo ceritakan siapa kau dan di mana adanya pengantin puteri!” hardiknya sambil mengguncang-guncang pundak wanita muda yang cantik itu. “Ampunkan saya....“ Wanita itu me¬ratap. “Saya adalah seorang pelayan dari Kongcu dan malam tadi.... ada se¬orang kakek muncul dan menyeret saya, mengancam akan membunuh kalau saya berteriak, lalu saya menjadi lumpuh, bah¬kan untuk mengeluarkan suara pun tidak mampu.... dan kakek itu melucuti pa¬kaian saya dan memaksa saya memakai pakaian ini.... saya tidak tahu apa-apa.... dan tiba-tiba saja saya dilarikan sampai di sini....“ “Di mana pengantin puteri?” Tek Hoat membentak, tidak sabar. “Saya tidak tahu.... harap ampunkan saya.... saya tidak tahu apa-apa....“ “Hemmm, siapa kakek itu? Bagaimana macamnya?” “Saya hanya tahu dia kakek tua, en¬tah siapa....“ “Sialan!” Yang-liu Nio-nio meludahi muka wanita itu, tangannya bergerak dan wanita itu roboh tak berkutik lagi karena kepalanya telah pecah oleh ketukan jari tangan ketua Hek-eng-pang yang merasa dipermainkan dan menjadi marah sekali. Dia telah bersusah payah, telah kehilang¬an beberapa orang anggauta perkumpulannya, dan hasilnya adalah puteri palsu! Pada saat itu terdengar suara dari luar, “Heiii, Ang Tek Hoat! Biarkan aku bertemu dan bicara dengan Enci Syanti Dewi!l Aku belum puas kalau belum men¬dengar darl mulutnya sendiri bahwa dia suka ikut dengan orang seperti engkau! Enci Syanti, ini aku, Siang In. Keluarlah dulu dan kita bicara sebentar!” “Huh!” Tek Hoat mendengus marah dan dia menyambar punggung baju mayat pelayan yang telah dibunuh oleh Yang-¬liu Nio-nio dan Liong-li yang terkekeh mengejek ke arah Siang In. Siang In terkejut bukan main melihat tubuh wanita yang disangkanya Syanti Dewi terlempar ke arahnya. Dia meng¬elak dan tubuh itu terbanting ke atas tanah. Cepat dia memeriksa dan me¬nahan napas lega. Kiranya bukan Syanti Dewi yang dibawa kabur oleh Tek Hoat! “Hemmm.... kalau begitu, siapa yang menculik Syanti Dewi! Ke mana perginya? Orang lihai macam Tek Hoat dan nenek cantik itu masih dapat ditipu orang. Dan melihat Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya melakukan pengejaran dan pencarian ke mana-mana, jelas bahwa Enci Syanti Dewi benar-benar telah le¬nyap. Akan tetapi siapa yang membawa¬nya dan kemana?” Dengan hati penasaran Siang In lalu melompat ke atas kudanya dan kembali ke daerah puncak Naga Api untuk me¬nyelidiki hilangnya Syanti Dewi yang penuh rahasia itu. Demikianlah, dengan marah dan ke¬cewa Ang Tek Hoat kembali ke Gunung Cemara bersama Yang-liu Nio-nio dan Liong-li. Dan ketika mereka tiba di sana, mereka melihat bahwa Gunung Cemara telah dibasmi dan dibakar oleh musuh, yaitu orang-orang dari lembah perkum¬pulan Huang-ho Kui-liong-pang! Tentu saja Yang-liu Nio-nio menjadi marah dan berduka sekali ketika para anggauta Hek¬-eng-pang yang tadinya melarikan diri itu berdatangan sambil menangis. “Orang muda! Kaulihat apa yang ter¬jadi dengan kami karena kami pergi mem¬bantumu. Tempat kami dibasmi musuh. Kalau kau tidak membantu kami melaku¬kan pembalasan, sungguh-sungguh aku harus menyebutmu seorang yang tidak mengenal budi!” ketua yang sedang ma¬rah dan sakit hati itu berkata kepada Tek Hoat. Ang Tek Hoat juga merasa tidak senang dengan peristiwa ltu. “Jangan khawatir, Pangcu. Aku tentu akan mem¬bantumu.” “Bagus! Kalau begitu, kelak kami pun akan melakukan penyelidikan, siapa yang telah menculik pengantin puteri dari pun¬cak Naga Api itu,” Yang-liu Nio-nio berkata. “Akan tetapi, karena anak buah¬ku banyak yang tewas, aku harus minta bantuan dari Subo.” Dia lalu menulis sepucuk surat dan menyuruh Liong-1i naik kuda yang kuat untuk cepat minta bantu¬an gurunya yang dia tahu berada di is¬tana gubernuran di Propinsi Ho-nan. Sepekan kemudian, munculiah Mauw Siauw Mo-li di tempat itu. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi terkejut melihat wanita cantik yang genit ini, karena dia sudah mengenalnya dahulu ketika dia membantu pemberontakan Pangeran Liong Khi Ong (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Juga Mauw Siauw Mo-li ter¬kejut dan girang bertemu dengan pemuda tampan gagah ini. “Heh-heh-heh, bukankah engkau Tek Hoat Si Jari Maut? Aku mendengar bah¬wa engkau telah menjadi seorang pang¬lima dan mantu raja di Bhutan! Bagai¬mana sekarang berkeliaran di sini?” Tek Hoat cemberut dan tidak men¬jawab pertanyaan itu, hanya berkata, “Hemmm, kiranya engkau guru dari Yang¬-liu Nio-nio? Sungguh tak kusangka!” “Pangcu, bagaimana engkau dapat bergaul dengan pemuda ini? Ketahuilah, dia pernah menjadi musuhku beberapa tahun yang lalu, hik-hik!” katanya kepada muridnya yang lebih tua daripada dia itu, maka dia menyebutnya pangcu! Yang-liu Nio-nio terkejut bukan main. “Ahhh.... teecu tidak tahu.... dia.... dia telah membantu teecu dan sekarang pun hendak membantu teecu menghadapi orang-orang Kui-liong-pang.” Mauw Siauw Mo-li tertawa dan me¬mandang wajah Tek Hoat yang tampan dan muram itu sambil berkata, “Tidak mengapa. Ada waktunnya menjadi musuh, ada waktunya menjadi sahabat, bukan? Nah, ceritakan apa yang telah dilakukan orang-orang Kui-liong-pang yang bosan hidup itu.” Yang-liu Nio-nio lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa perkumpul¬annya bermusuhan dengan Kui-liong-pang dan akhir-akhir ini berebutan pusaka keluarga Jenderal Kao dan betapa ketika dia pergi membantu Tek Hoat untuk menculik pengantin dari Hwa-i-kongcu, orang-orang Kui-liong-pang datang mem¬basmi dan membakar tempat itu. “Hemmm, sungguh mereka itu harus mampus. Jangan khawatir, aku akan mem¬bantumu membasmi mereka. Akan tetapi, sungguh mati aku merasa heran sekali mengapa engkau pergi menculik pengan¬tin puteri, Ang-sicu?” tanyanya kepada Tek Hoat, memanandang heran. Tek Hoat sebenarnya tidak suka ke¬pada wanita yang cabul dan genit ini, dan pandang mata wanita itu kepadanya pun sudah membuat dia merasa muak. Akan tetapi dia tahu pula bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang yang me¬miliki kepandaian tinggi sekali dan selama Syanti Dewi masih belum dapat olehnya dan terancam keselamatannya di tangan orang-orang sesat, dia perlu bantu¬an orang-orang seperti wanita ini. Maka dengan terus terang dia menjawab, “Pe¬ngantin puteri itu adalah Puteri Syanti Dewi.” “Ehhh....?” Mauw Siauw Mo-li mem¬belalakkan matanya dan wanita yang usianya sudah empat puluh tahun ini masih belum kehilangan daya tariknya. “Bagaimana ini? Bukankah dia sudah kembali ke istana Bhutan?” Tek Hoat menggelengkan kepalanya. Dia tidak suka menceritakan riwayatnya yang menyedihkan dan memalukan itu kepada orang lain, apalagi kepada se¬orang wanita seperti Mauw Siauw Mo¬-li ini. Maka dia menjawab singkat, “Aku pergi dari Bhutan, dia menyusul dan tertawan oleh Hwa-i-kongcu, akan di¬paksa menjadi isterinya.” Mauw Siauw Mo-li mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran sekali. Dia mendengar bahwa pe¬muda ini telah menjadi mantu raja, ber¬arti sudah memperoleh kedudukan yang mulia, akan tetapi mengapa sekarang berkeliaran lagi ke sini dan wajahnya begitu murung? Sungguh dia tidak me¬ngerti sama sekali, akan tetapi dia pun tidak berani mendesak karena tahu bah¬wa pemuda yang tampan dan lihai ini mempunyai watak yang amat aneh. Demikianlah, Tek Hoat dan Mauw Siauw Mo-li lalu bersama Yang-liu Nio¬-nio dan semua sisa anak buah Hek-eng-¬pang pergi ke lembah yang menjadi sa¬rang Kui-liong-pang dan atas usul Tek Hoat yang melihat keadaan di situ, Mauw Siauw Mo-li lalu mempergunakan senjata peledaknya untuk membobolkan tempat itu sehingga air sungai menyerbu lembah melalui terowongan yang juga telah di¬ledakkan. Kini mereka bertiga memandang de¬ngan hati puas ke bawah, ke arah lem¬bah yang kebanjiran itu sehingga seluruh penghuni dan para tamunya harus ber¬gegas menyelamatkan diri dengan perahu-¬perahu dan rakit-rakit darurat. Setelah itu, tanpa berkata apa-apa lagi Tek Hoat lalu membalikkan tubuh sambli berkata, “Aku pergi!” “Terima kasih, dan kami akan me¬nyebar anak buah kami untuk menyelidiki di mana adanya pengantin puteri itu!” kata Yang-liu Nio-nio. Tek Hoat tidak menjawab dan terus berkelebat pergi. “Nanti dulu, Ang-sicu!” Bayangan lain juga berkelebat pergi dan ternyata Mauw Siauw Mo-li mengejarnya. Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia membalik dan memandang tokoh sesat itu sambil bertanya, “Engkau mau apa?” “Ang-sicu, tiga hari yang lalu ketika aku meninggalkan Lok-yang menerima undangan muridku, ketika aku tiba di dusun Khun-kwa aku berpapasan dengan seorang gadis yang bertanya-tanya ke¬pada orang-orang di jalan tentang se¬orang kakek yang membawa seorang gadis dengan paksa. Aku merasa curiga kepada gadis itu karena aku merasa se¬perti pernah melihatnya, maka aku bersembunyi dan mengintai. Ketika aku mendengar gadis itu menceritakan ciri-¬ciri gadis yang dibawa dengan paksa oleh kakek itu, aku teringat bahwa gadis yang diculik itu tentulah gadismu yang dahulu kau pertahankan mati-matian, yaitu Syan¬ti Dewi.” Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali dan wajahnya memancarkan harap¬an baru. Dia melangkah dekat dan ber¬tanya, “Mo-li, siapa yarg menculik dia?” Wanita itu tersenyum lebar dan me¬mang dia masih manis sekali. “Mana aku tahu? Akan tetapi, kalau kau mau pergi bersama aku mencarinya, mungkin saja kita dapat menemukan gadis itu dan dari dia kita tentu akan dapat tahu siapa yang menculik puterimu itu. Dengan kerja sama antara kita, apa pun akan dapat kita lakukan dengan berhasil, bu¬kan?” Tek Hoat yang amat mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya, tidak dapat menolak dan berkata singkat, “Baiklah, mari kita pergi!” Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan berjalan pergi di samping pemuda tampan itu, menoleh dan berkata kepada murid¬nya, “Engkau bawa anak buahmu me¬nyingkir dan bersembunyi dulu sebelum mendapatkan tempat baru yang baik. Aku pergi dulu!” Maka berangkatlah wanita cantik yang hatinya sejak dahulu memang sudah ter¬gerak oleh ketampanan dan kegagahan Tek Hoat ini bersama Tek Hoat yang terpaksa menerimanya sebagai teman seperjalanan dalam usahanya mencari kembali Syanti Dewi yang lenyap. *** Biarpun yang mereka tumpangi hanya sebuah rakit yang terbuat dari kayu dan bambu yang diikat secara kasar dan ter¬gesa-gesa, namun karena yang memegang dayung adalah Kian Lee dan Liang Wi Nikouw, maka rakit itu dapat meluncur cepat, memasuki sungai bersama dengan orang-orang lain yang berserabutan meloloskan diri dari ancaman air yang mem¬banjiri lembah. Banyak perahu dan rakit yang bermacam-macam terapung di situ. Di depan rakit mereka meluncur perahu besar yang ditumpangi oleh rombongan Boan-wangwe yang memang menggunakan perahu besar yang oleh anak buahnya sudah dipersiapkan itu. Tentu saja de¬ngan cara “membeli” dari anak buah Kui¬-liong-pang. Dalam keadaan ribut-ribut itu pun pengaruh dan kekuasaan uang masih nampak sehingga rombongan yang kaya raya ini masih mampu memperoleh perahu yang terbesar dan terbaik dengan cara menyogok bagian pengurus perahu¬-perahu dari Kui-liong-pang. Tentu saja para tamu yang tidak pernah melihat dan mengenal Cui Lan dan Hok-taijin, tidak memperhatikan empat orang di atas rakit itu, yang me¬reka anggap juga tamu-tamu yang sama-¬sama melarikan diri. “Minggir....!” Seruan yang keras se¬kali ini terdengar dari belakang rakit! Suma Kian Lee, Liang Wi Nikouw, Cui Lan dan Hok-taijin terkejut dan memandang sebatang balok besar yang meluncur dengan cepatnya ke arah me¬reka dari belakang. Di atas balok besar ini duduk Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang menyeramkan karena golok ini di dekat punggungnya mempunyai sembilan buah lubang dan di gagang go¬lok dipasangi tali panjang yang melibat-¬libat lengan kakek itu. Melihat betapa balok yang ditum¬panginya itu hampir menabrak ra¬kit di depannya, si Golok Sakti ini cepat menggunakan kakinya mendorong rakit Kian Lee sehingga rakit itu menjadi miring hampir terbalik! Cui Lan menjerit dan Hok-tai jin cepat memeluk gadis itu dan karena ini maka keduanya terguling-¬guling di atas permukaan rakit! Mereka tentu terlempar ke air kalau saja Kian Lee tidak cepat-cepat menggunakan ta¬ngan kanannya menepuk air sambil me¬ngerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang amat hebat. Air muncrat tinggi dan rakit itu seperti terdorong oleh tenaga raksasa, menjadi tegak kembali sehingga Hok-taijin dan Cui Lan tidak jadi ter¬lempar ke air karena mereka sudah ber¬hasil berpegang pada bambu rakit. Akan tetapi, air yang muncrat tadi¬ mengenai beberapa orang anak buah Boan¬-wangwe yang mendayung perahu besar di depan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kesakitan ketika air yang muncrat itu mengenai muka mereka karena terasa seperti jarum-jarum menusuk dan panas sekali! Marahlah beberapa orang itu dan seorang di antara mereka yang merupa¬kan tukang pukul dari Boan-wangwe dan tentu saja memiliki kepandaian yang lumayan, memaki dan meloncat ke arah rakit di sebelah. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar hitam meluncur dan sinar seperti tali panjang itu mengenai kaki orang yang meloncat, terus mem¬belit kaki itu dan ketika benda panjang hitam itu bergerak, tubuh orang itu ter¬lempar kembali ke atas papan perahu besar di mana dia bengong terlongong memandang gadis berpakaian hitam yang berada di atas sebuah perahu kecil dan gadis itu menyimpan kembali ular pan¬jang yang melingkar di lengannya. Orang tadi terlalu kaget, terlalu ngeri karena tahu bahwa dia tadi dilemparkan kembali oleh gadis itu dengan menggunakan ular panjang yang mengerikan itu! Sebelum orang-orangnya Boan-wangwe dapat melampiaskan kemarahan mereka, rakit Kian Lee sudah meluncur melewati perahu besar itu, dan ketika Kian Lee memandang, dia melihat gadis berpakaian hitam yang dia ingat bukan lain adalah Hwee Li, tersenyum kepadanya. Dia mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya dan mempercepat dayungnya sehingga rakit itu meluncur cepat me¬ninggal perahu besar di mana orang¬-orangnya Boan-wangwe masih memandang marah. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menyamai kecepatan perahu Hwee Li yang meluncur seperti terbang di permukaan air sungai dan sebentar saja sudah lenyap jauh di depan. Ketika Kian Lee melihat bahwa pe¬rahu besar milik Boan-wangwe itu kini juga melaju pesat dengan menambah barisan pendayung, dia cepat-cepat ming¬girkan rakitnya sampai jauh agar perahu besar itu lewat lebih dulu karena dia tidak ingin ribut-ribut di situ, apalagi tanpa sebab-sebab yang patut diributkan. Yang penting baginya adalah menyelamat¬kan Cui Lan dan Hok-taijin dan sekarang mereka telah berhasil diselamatkan, ma¬ka dia tidak boleh mencari perkara lagi sebelum kedua orang ini dapat dia an¬tarkan sampai ke daerah Ho-pei. Mereka menumpang di atas rakit sejak semalam sampai pada keesokan harinya dan baru setelah menjelang sore, Kian Lee menghentikan rakitnya di se¬buah dusun nelayan di tepi sungai. Me¬reka lalu mendarat dan mencari sebuah warung nasi untuk mengisi perut karena mereka berempat sudah merasa lapar sekali. Mereka memasuki sebuah warung yang cukup besar, akan tetapi keadaan di wa¬rung itu sunyi sekali, padahal dusun itu cukup ramai karena merupakan pasar ikan. Setelah mengambil tempat duduk dan memesan makanan, tentu saja ma¬sakan sayur tanpa daging untuk Liang Wi Nikouw, Kian Lee melepaskan pandang matanya ke sekelilingnya dan baru dia melihat bahwa tempat itu baru saja me¬ngalami keributan. Masih banyak meja kursi yang patah-patah ditumpuk di ping¬gir, juga mangkok piring yang pecah. Teman-temannya juga melihat ini dan mereka menduga-duga apa yang telah terjadi di warung ini. Ketika pelayan datang mengantar makanan yang mereka pesan, Kian Lee bertanya, “Eh, Lopek, apakah yang telah terjadi maka banyak meja kursi hancur dan mangkok piring pecah-pecah?” Dia menuding ke arah tumpukan barang-barang rusak itu. “Aihhh, kami mengalami hari sial kemarin, Kongcu,” kata pelayan itu. “Ti¬dak saja barang-barang rusak, akan te¬tapi sejak peristiwa yang terjadi kemarin, warung kami menjadi sepi karena tidak ada orang berani makan di sini. Baru Kongcu berempat saja yang berani makan di sini dan itulah rejeki kami.” “Eh, apakah yang terjadi?” Kian Lee makin tertarik. “Kemarin seperti biasa, orang-orang dari Boan-wangwe yang biasa mengumpulkan hasil ikan di dusun ini, sebanyak sepuluh orang, makan di sini. Mereka itu memang orang-orang kasar, akan tetapi Boan-wangwe selalu membayar apa yang mereka makan maka kami pun melayani dengan senang hati. Tiba-tiba masuk pula serombongan tentara yang jumlahnya belasan orang. Tentu saja kami makin sibuk dan kekurangan tenaga untuk melayani terlalu lama, kedua rombongan itu berebut minta didahulukan dan terjadilah pertempuran di sini antara mereka. Wah, bukan main ramainya sampai meja kursi hancur dan mangkok piring beterbangan dan pecah-pecah. Akhirnya fihak tentara itu mengundurkan diri dan pergi. Kami tentu akan mohon kebijaksanaan Boan¬-wangwe untuk mengganti kerugian kami, akan tetapi ternyata Boan-wangwe se¬dang pergi entah ke mana.” Hok-taijin tentu saja tertarik sekali mendengar adanya sepasukan tentara. Tentara siapakah itu? Kalau tentara dari Gubernur Ho-nan, berarti dia masih dikejar-kejar dan dicari-cari sampai di sini. “Tahukah engkau tentara dari propinsi mana mereka itu?” tanyanya kepada si pelayan. “Mana saya tahu? Tentu saja tentara pemerintah, entah dari propinsi mana.” “Apakah fihak tentara itu kalah?” Kian Lee bertanya lagi karena dia tahu bahwa orang-orang dari Boan-wangwe seperti mereka yang berada di atas pe¬rahu besar semalam, adalah orang-orang yang pandai ilmu silat. “Sebetulnya sih masih ramai, entah fihak mana yang menang atau kalah karena kami hanya berani menonton sam¬bil bersembunyi. Tentu akan terjadi hal¬-hal mengerikan dan tentu akan banyak yang mati karena mereka mulai menge¬luarkan senjata tajam masing-masing. Baiknya ketika mereka sudah mulai menggerakkan senjata, muncul seorang pendekar yang melerai. Bukan main pendekar ini, tubuhnya terbang seperti bu¬rung dan semua senjata itu dirampasnya! Sambil bergerak merampas senjata dia berseru agar mereka menghentikan pertempuran. Dia hanya datang, bergerak merampas senjata, lalu pergi lagi, menghilang begitu saja sehingga kami tidak lagi dapat atau sempat melihat mukanya. Yang tampak hanya rambutnya yang sudah putih semua, padahal dia masih muda dan....” “Siluman Kecil!” Cui Lan menjerit tanpa disadarinya dan dia bangkit berdiri sampai sepasang sumpitnya terjatuh ke atas lantai. “Benar....!” kata Liang Wi Nikouw sambil memandang Cui Lan. Gadis ini segera sadar kembali dan menjadi ter¬sipu-sipu, cepat mengambil kembali se¬pasang sumpitnya membungkuk dan ke¬tika dia membersihkan sepasang sumpit itu, mukanya menjadi merah sekali. “Munculnya pendekar itu menghenti¬kan pertempuran dan para perajurit itu lalu pergi, demikian pula orang-orangnya Boan-wangwe tidak berani melanjutkan pertempuran setelah melihat betapa sen¬jata-senjata mereka demikian mudahnya dirampas pendekar itu. Sedangkan para perajurit itu menurut kabar bermalam di dusun ini dan heiii, itulah mereka! Mereka datang lagi ke sini....!” Pelayan itu cepat pergi meninggalkan tamunya untuk masuk ke dalam dan melapor ke¬pada majikannya tentang kedatangan para perajurit yang kemarin itu. Dia tidak tahu bahwa empat orang tamunya itu pun terkejut sekali dan Kian Lee bersama Liang Wi Nikouw sudah bersiap-siap untuk melawan kalau pasu¬kan itu ternyata anak buah Gubernur Ho¬-nan. Akan tetapi ketika rombongan itu sudah memasuki warung dan dipimpin oleh seorang perwira yang sudah sete¬ngah tua, tiba-tiba Hok-taijin berseru girang. “Ciangkun, ke sinilah!” teriaknya ke¬pada perwira itu. Perwira setengah tua itu terkejut, menoleh dan sejenak dia memandang kepada Hok-taijin dengan melongo. Akan tetapi akhirnya dia pun mengenal guber¬nurnya dan cepat dia maju berlutut dan memberi hormat. “Ah, Taijin! Siapa kira hamba dapat bertemu dengan Taijin di sini!” serunya dengan girang. Semua anak buahnya ketika mengenal pula bahwa kakek berpakaian petani yang berdiri di depan mereka itu bukan lain adalah Hok¬taijin, segera berlutut pula memberi hormat. Perwira itu dipersilakan duduk dan dia bercerita bahwa pasukannya men¬dapat perintah dari atasannya untuk men¬cari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap ketika mengiringkan Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Pro¬pinsi Ho-nan. “Semua pasukan disebar, akan tetapi tidak juga berhasil,” perwira itu berkata. “Siapa tahu, di tempat yang tidak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa dengan Taijin.” Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan setelah dia bertemu dengan gu¬bernur yang dicari-carinya dengan susah payah itu. “Marilah Taijin, hamba antar Taijin kembali pulang. Apakah Taijin ingin naik kereta, ataukah kuda?” “Cui Lan, apakah engkau biasa me¬nunggang kuda? Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta saja,” tanya Hok-taijin kepada Cui Lan. Gadis itu tadinya me¬lamun, karena pikirannya masih tertarik oleh berita tentang Siluman Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa ingin dia berjumpa dengan pendekar yang dipujanya itu. Betapa besar rasa rindu di hatinya ingin memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar matanya yang aneh tapi lembut. “Eh.... saya.... hemmm, saya pun biasa naik kuda....“ jawabnya gagap. “Bagaimana kabarnya dengan Pangeran Yung Hwa, Ciangkun?” Suma Kian Lee bertanya. Perwira itu memandang kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk. “Kau boleh menceritakan apa pun juga kepada Suma-taihiap ini,” katanya. “Kalau tidak ada dia dan nona ini dan nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan mayatku.” Perwira itu terkejut dan cepat mem¬beri hormat kepada mereka bertiga, ke¬mudian menjawab kepada Kian Lee, “Ka¬mi tidak mendengar berita tentang Pa¬ngeran Yung Hwa. Tidak ada kabar apa¬-apa dan kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum gubernur pulang.” Kian Lee lalu berkata kepada guber¬nur itu, “Hok-taijin, kalau begitu sungguh mengkhawatirkan sekali keadaan Pange¬ran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah bertemu dengan pasukan Taijin, maka kiranya tidak perlu lagi saya mengantar sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini termasuk Propinsi Ho-pei dan Tai jin te¬lah berada di daerah sendiri. Biarlah Tai¬jin dan Nona Phang dikawal oleh pasu¬kan, sedangkan saya sendiri hendak menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa....“ Pada saat itu, Kian Lee memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee melihat, dengan jelas be¬tapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya tidak senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gu¬bernur. Mengapa? Dia merasa heran sen¬diri. Betapapun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada gadis ini, dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang untuk saling berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin me¬reka akan terus berkumpul. Tak mung¬kin! Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus bersama de¬ngan dia untuk mencari Siluman Ke¬cil. “Benar, dan pinni pun harus kembali,” kata Liang Wi Nikouw. “Suthai....“ Cui Lan berkata akan tetapi ditahannya. Nikouw yang sudah tua dan bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkan¬dung dalam hati gadis itu, maka dengan tenang dia berkata, “Engkau ingin agar pinni menyampaikan kepada dia bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho¬-pei, Nona?” Kedua pipi gadis itu menjadi merah, matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan menggumam, “Terima kasih, Su¬thai.... “ Kian Lee dan Liang Wi Nikouw lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan meninggalkan tempat itu, dlikuti pandang mata Hok-tai dan Cui Lan. “Suma-taihiap!” Tiba-tiba kakek itu berseru memanggil. Kian Lee cepat mem¬balik dan menghampiri kakek itu yang sudah bangkit. “Ada pesan apa yang hendak disampai¬kan oleh Taijin?” Hok-taijin melangkah maju dan me¬megang tangan pemuda itu. “Suma-taihiap, betapa besar aku hutang budi kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu. Sudikah engkau datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami dapat menyatakan terima kasih kami kepadamu?” Kian Lee tersenyum. Dia tahu bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi. “Baiklah, Taijin. Kelak, kalau sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus kuselesaikan, saya pasti akan ber¬kunjung kepada Taijin.” Mereka pun berpisah dan Hok-taijin lalu dikawal oleh para perajuritnya, ber¬sama Cui Lan pergi ke rumah penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala persiapan. Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah perajurit pengawal itu hanya dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai seorang petani. Pada keesokan harinya, Hok-taijin dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini bergerak perlahan dan belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar derap kaki banyak kuda lari dari arah belakang. Perwira pengawal memberi aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda itu lewat. Cui Lan melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar itu tergesa-gesa lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu mengebul tinggi. Cui Lan memandang kagum. Sudah banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman. Sudah banyak ia menerima pertolongan para pen¬dekar, terutama sekali dari Kian Lee yang dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini sesudah Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah kuda yang ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman Kecil pernah muncul, hatinya merasa sedih. Tak lama kemudian, kembali terde¬ngar derap kaki kuda dari belakang. Ke¬tika mereka menoleh, kelihatan tiga ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu menyerukan aba-aba agar semua kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga orang yang datang membalapkan kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti dan memandang tiga orang pe¬nunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar yang membonceng¬kan seorang anak laki-laki di depannya. “Heiiiii.... Enci Lan....!!” Tiba-tiba anak itu berseru. Tiga orang penunggang kuda itu menoleh dan mereka pun me¬lihat Cui Lan, lalu mereka menahan kuda mereka. “Ah, kiranya engkau, Hong Bu....!” Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun dari kudanya. Tiga orang laki¬-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan Sim Kun tiga orang pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan anak itu adalah Sim Hong Bu, putera dari Sim Hoat. “Sam-wi Twako, kalian baik-baik sa¬ja?” Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura kepada Cui Lan, juga kepada Hok-taijin yang mereka tahu adalah se¬orang sahabat dari nona ini. Mereka menghormati Cui Lan yang mereka ang¬gap sebagai sahabat baik dari Siluman Kecil. “Terima kasih, Nona,” jawab Sim Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai bicara dibandingkan dengan dua orang kakaknya yang kasar dan kaku. “Eh, kalian hendak ke manakah? Ke¬lihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi melewati kami? Ada belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa melewati kami menuju ke depan,” Cui Lan bertanya. Mendengar ini, Sim Hoat tertawa gi¬rang. “Ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah berangkat!” katanya ke¬pada dua orang adiknya yang juga ke¬lihatan gembira. “Sebetulnya ada urusan apakah?” Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena orang-orang ini termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru mengharapkan berita dari Siluman Kecil! Kini Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut mendengar¬kan, sedangkan para perajurit tetap me¬nanti di atas kuda sambil berjaga-jaga karena mereka itu betapapun juga me¬rasa curiga terhadap tiga orang yang kelihatannya kasar-kasar seperti gerom¬bolan perampok itu. Heran sekali mereka melihat gubernur mereka dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan oleh sang gubernur sebagai anak angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan segala macam orang kasar seperti tiga orang penunggang kuda itu. “Kami hendak membantu penolong kami, Pendekar Siluman Kecil.” “Ehhhhh....?” Cui Lan berseri wajah¬nya dan dia maju selangkah. “Apa yang terjadi?” tanyanya penuh gairah. “Kami hanya mengetahui urusan itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimanapun juga, kami ingin mem¬bantu beliau,” kata Sim Kun. “Entah benar entah tidak kabar angin itu, kami pun tidak tahu.” “Ceritakanlah, kami ingin sekali men¬dengarnya, bukan Gi-hu?” Cui Lan me¬noleh kepada ayah angkatnya dengan sinar mata penuh permohonan. Kakek itu mengangguk. Betapapun juga, ketika di¬kejar oleh tentara Ho-nan, dia dan Cui Lan telah ditolong oleh para pemburu ini pun berkat nama Siluman Kecil, pikirnya. “Menurut kabar angin di antara kawan¬-kawan yang seperti semacam dongeng tentang diri Siluman Kecil, lima tahun kurang lebih yang lalu, di dalam pengembaraannya, beliau bertemu dengan musuh yang amat sakti yang tinggal mengasing¬kan diri di atas bukit di depan sana. Orang sakti itu tinggal bersama murid¬muridnya dan pelayan-pelayannya yang kesemuanya juga lihai-lihai sekali. Dan menurut dongeng itu, kabarnya orang sakti ini adalah pewaris dari ilmu-ilmu pendekar sakti Suling Emas ratusan ta¬hun yang lalu. Entah apa sebabnya, lima tahun yang lalu tecjadi pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dan orang sakti itu, dan kabarnya beliau terluka parah oleh suling sakti dari lawan itu dan hampir saja beliau tewas. Akan te¬tapi beliau dapat diselamatkan dan di¬obati oleh seorang pendeta wanita, dan biarpun dapat sembuh, namun luka-luka hebat itu membuat rambut beliau men¬jadi putih semua! Nah, kabarnya beliau membuat perjanjian dengan orang sakti itu untuk saling mengadu ilmu lagi lima tahun kemudian dan hari ini adalah hari perjanjian itu. Kami yang berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil, tidak dapat berdiam diri saja dan kami semua beramai-ramai pergi ke tempat itu untuk membantu beliau.” Setelah selesai bercerita, cerita yang seperti dongeng dan yang hanya mereka dengar sepotong-sepotong itu, hati Cui Lan ingin sekali ikut bersama mereka untuk menyaksikan pertandingan itu, atau sesungguhnya lebih tepat lagi kalau di¬katakan bahwa ia ingin pergi untuk men¬jumpai orang yang dipujanya itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani dan malu untuk menyatakan hal ini kepada ayah angkatnya. Maka ketika tiga orang bersama anak laki-laki itu berpamit un¬tuk melanjutkan perjalanan mereka, Cui Lan melangkah maju beberapa tindak mengikuti mereka sampai ke tempat mereka menambatkan kuda mereka. Air matanya membasahi bulu matanya, ketika dia mendengar mereka berpamit lagi dan melompat ke atas kuda mereka. “Selamat tinggal, Enci Cui Lan!” ter¬dengar Hong Bu berteriak. Cui Lan yang tadinya menunduk un¬tuk menyembunyikan air matanya, kini berdongak mendengar seruan suara Hong Bu. Terkejutlah dia ketika pandang mata¬nya bertemu dengan pandang mata Sim Kun yang ternyata masih berada di situ dan memandangnya dengan sinar mata aneh, lembut, hangat dan mesra! Cui Lan terkejut dan gugup, cepat dia membalik¬kan tubuhnya dan dia mendengar Sim Kun berkata, “Selamat berpisah sampai jumpa kembali!” lalu terdengar derap kaki kuda dilarikan cepat ke depan. Mereka melanjutkan perjalanan dan Cui lan kelihatan termenung. Melihat ini, Hok-taijin bertanya, “Anakku, kenapa kau kelihatan diam? Apakah engkau ma¬sih terkesan oleh cerita tadi?” Memperoleh kesempatan itu Cui Lan lalu berkata, “Benar sekali, Gi-hu. Gi-¬hu tentu tahu mengapa orang-orang kasar itu sampai begitu setia, mereka semua telah berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil. Saya pun hutang nyawa, bahkan lebih dari itu kepadanya, dan mendengar dia hendak bertanding me¬lawan orang sakti, saya saya ingin sekali menonton, Gi-hu.” Hok-taijin mengerutkan alisnya. “Hemmm, berbahaya sekali, Cui Lan. Orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian silat seperti kita ini, apa gunanya bagi dia? Tidak dapat membantu seperti para pemburu itu, bahkan kita terancam bahaya maut. Jangan khawatir, kalau kita sudah tiba di rumah, aku akan mengirim utusan mengundang Pendekar Siluman Kecil dengan hormat agar sudi berkunjung ke rumah kita.” Terhibur juga hati Cui Lan mendengar janji ini, sungguhpun hatinya masih ingin sekali untuk pergi ke bukit itu. Akan tetapi, selain tidak berani memaksa, juga dia merasa malu terhadap ayah angkat¬nya dan para perajurit, maka dia melan¬jutkan perjalanan itu dengan diam saja dan termenung. Lewat tengah hari, udara panas se¬kali dan Hok-taijin mengajak mereka beristirahat di sebuah lapangan terbuka dekat hutan di kaki bukit yang penuh dengan hutan-hutan besar. Perwira itu lalu mengeluarkan perbekalan dan Hok¬-taijin dan Cui Lan lalu makan. Lezat bukan main makan di tempat terbuka itu, sungguhpun yang dimakan hanya roti kering dan daging panggang dibantu oleh air jernih. Setelah keduanya selesai ma¬kan, Hok-taijin memberi kesempatan kepada para pengawalnya untuk makan pula. Kakek ini duduk bersandar pohon dan segera terasa kantuk datang me¬nyerangnya ketika tubuh lelah perut kenyang itu dihembus angin sejuk. Cui Lan berjalan-jalan di sekitar tem¬pat itu mencari kembang. Mendadak dia mendengar suara orang bersenandung, suara yang amat merdu dan gembira. Ketika dia menuju ke tempat itu, dia melihat seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba hitam dan ringkas, pa¬kaian yang ketat memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat dan indah, sedang duduk di antara rumput-rumput hijau dan rebah terlentang sambil bersenandung. Cui Lan ingin pergi lagi karena dia tidak ingin mengganggu orang yang se¬dang beristirahat dengan enaknya itu, akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam menyambar di dekat kakinya. Ketika dia melihat ke bawah, hampir dia menjerit karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah seekor ular yang hitam panjang dan yang kini berada di depan kakinya dengan kepala terangkat dan bergoyang¬-goyang seperti menari-nari, atau seperti memberi isyarat kepadanya agar jangan pergi! Cui Lan memandang dengan muka pucat, akan tetapi memang pada dasar¬nya gadis ini seorang yang tabah. Dia tidak jadi menjerit dan perlahan-lahan dia menggeser kakinya untuk menjauhi. “Hi-hik, si Hek-coa (Ular Hitam) itu suka kepadamu dan dia ingin agar kau duduk di sini bercakap-cakap dengan aku!” Cui Lan cepat menoleh dan dia me¬lihat gadis berpakaian hitam tadi sudah duduk dan tersenyum. Bukan main can¬tiknya! Baru sekarang dia melihat betapa gadis itu mempunyai kecantikan yang luar biasa, cantik jelita dan manis se¬kali, apalagi kini sedang tersenyum. Dia memandang kagum dan melihat gadis berpakaian hitam dan ular yang kini melilit lengan gadis itu, teringatlah dia akan gadis di dalam perahu yang telah melempar kembali orang dari perahu besar yang meloncat ke rakit mereka. “Kau.... bukankah kau gadis dalam perahu....“ Gadis itu memang Hwee Li adanya. Dia mengangguk dan menepuk rumput di dekatnya. “Duduklah di sini, enak, lunak seperti duduk di kasur saja. Jangan ta¬kut, ularku ini tidak jahat. Aku melihat engkau bersama rombongan perajurit dan si orang tua, akan tetapi mana pemuda yang bersamamu di perahu itu?” “Ah, dia sudah pergi....“ Cui Lan menahan kata-katanya karena dia tidak hendak bercerita tentang urusan Pange¬ran Yung Hwa kepada seorang asing. Lalu cepat disambungnya dengan per¬tanyaan, “Engkau siapakah? Aneh sekali seorang gadis cantik seperti engkau bermain-main dengan seekor ular seperti itu.” “Seekor? Ada dua! Lihat di atasmu!” Cui Lan mengangkat mukanya dan dia menahan jeritnya ketika melihat seekor ular yang amat panjang, bergantung di cabang pohon dengan ekornya dan kini kepala ular itu dekat sekali di atas ke¬palanya! Bahkan lidah yang merah itu hampir menjilat-jilat dahinya! Hwee Li tertawa dan dengan gerakan tangan dia membuat ular itu menarik diri lagi ke atas cabang dan ular yang di lengannya itu pun dia suruh pergi me¬rayap naik ke atas pohon, berkumpul dengan temannya. “Namaku Kim Hwee Li. Kau juga cantik manis, siapa namamu, Enci?” “Namaku Phang Cui Lan.” Cui Lan merasa suka kepada gadis itu dan duduk di atas rumput. Memang enak sekali duduk di situ, rumputnya tebal dan lunak seperti kasur dan tempat itu sejuk di bawah pohon besar. “Hwee Li nama yang indah sekali. Mengapa kau berada di sini seorang diri saja, Hwee Li? Se¬orang gadis seperti engkau seorang diri saja, sungguh aneh.” “Apa anehnya? Memang aku hanya sendiri saja di dunia ini, eh, tidak sen¬diri, melainkan bertiga dengan sepasang ular hitamku itu. Aku ingin nonton ke¬ramaian di bukit sana.” Cui Lan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. “Kaumaksud¬kan.... keramaian.... pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dengan orang sakti....?” Kini Hwee Li yang terkejut. “Apa? Kau tahu pula tentang itu? Kau kenal Siluman Kecil?” Cui Lan mengangguk. “Tentu saja aku mengenalnya,” dan pandang matanya kini merenung, membayangkan pendekar itu. “Benarkah? Hebat! Namanya sudah tersohor di seluruh daerah ini, dan kau seorang gadis yang lemah telah menge¬nalnya! Kau lebih aneh dari aku, Cui Lan! Kau seorang lemah akan tetapi kenalanmu pemuda-pemuda hebat! Baru yang di perahu itu saja sudah hebat, sekarang kau bilang kenal dengan Siluman Kecil! Kau benar-benar membuat aku merasa iri.” NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar