Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 10.

Jodoh Rajawali Jilid 10.
Jodoh Rajawali Jilid - 10 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 10 Terpaksa Cui Lan tersenyum men¬dengar ini. Gadis ini sikapnya seperti telah menjadi sahabatnya selama ber¬tahun-tahun saja, demikian ramah dan akrab. Seketika timbul rasa sayang di dalam hatinya. “Ah, Hwee Li, seorang gadis seperti engkau ini, yang cantik seperti Dewi Kwan Im, apa sih sukarnya kalau hendak berkenalan dengan pemuda¬-pemuda yang paling hebat di dunia ini?” “Benarkah? Eh, orang macam apa sih sebetulnya Siluman Kecil itu?” “Orang macam apa....?” Cui Lan me¬nengadah dan memejamkan matanya. Terbayang wajah pemuda pendekar itu dan dia menarik napas. “orang yang hebat....! Seorang pendekar yang masih amat muda, akan tetapi rambutnya telah putih semua, seperti benang-benang perak halus mengkilap....“ “Hemmm, kau makin menambah ke¬inginanku untuk nonton pertandingan itu. Kabarnya malam ini Siluman Kecil akan muncul dan melawan Sin-siauw Seng¬-jin di puncak bukit itu.” “Sin-siauw Seng-jin? Siapakah dia?” “Seorang tokoh yang maha sakti. Se¬orang yang terasing akan tetapi seluruh tokoh dunia kang-ouw tidak ada yang berani mengganggunya, dan kabarnya dia hidup seperti dewa. Hemmm, aku berani bertaruh potong leher....“ “Potong leher?” Cui Lan terkejut. “Nanti dulu, belum habis. Leher ayam maksudku! Siluman Kecil sekali ini tentu akan jatuh namanya. Mana mungkin dia bisa menang! Hi-hik, kedua ekor ularku ini paling suka minum darah, apalagi kalau darah orang sakti seperti Siluman Kecil itu. Hemmm, mereka tentu akan senang sekali.” Pucat wajah Cui Lan. “Apa.... apa.... maksudmu....?” “Hi-hik, pandang matamu begitu ke¬takutan dan ngeri seperti seekor kelinci. Ah, memang matamu indah sekali, Cui Lan, seperti mata kelinci! Jangan khawa¬tir, aku tidak akan mencampuri urusan mereka, akan tetapi aku tahu bahwa pasti Siluman Kecil akan tewas dan ular¬ularku akan menikmati darahnya kalau dia sudah roboh.” “Ihhh.... kau.... kau kejam sekali!” Cui Lan bangkit berdiri, sepasang mata¬nya menyinarkan api dan kedua pipinya merah, telunjuknya menuding ke arah muka Hwee Li. “Kau sungguh kejam, dan aku.... aku akan menggunakan batu meng¬hancurkan kepala dua ekor ular-ularmu kalau mereka beralni melakukan hal itu!” “Ehhh....?” Hwee Li memandang de¬ngan mata terbelalak. “Wah.... kau cinta padanya, hi-hik! Kau cinta padanya!” Lemas lagi rasa tubuh Cui Lan dan dia menjatuhkan diri di atas rumput. Dia mengangguk. “Aku memang cinta pada¬nya....“ “Kalau begitu, mengapa tidak nonton bersama aku? Dengan adanya kekasihnya di sana, hal itu akan membesarkan hati¬nya!” “Aku bukan kekasihnya, jangan bicara seperti itu, Hwee Li.” “Ihhh? Bagaimana sih kau ini? Baru saja kau mengaku cinta padanya dan kau tidak mau kusebut kekasihnya?” “Aku cinta padanya, memang, dengan sepenuh jiwa ragaku. Akan tetapi apakah dia cinta padaku.... hemmm, hal itu aku.... aku tidak tahu....“ “Hi-hik, jangan khawatir. Laki-laki mana yang tidak akan membalas cinta seorang dara seperti engkau? Dia pasti cinta padamu. Pasti! Mari kau ikut aku nonton ke sana, Cui Lan.” Cui Lan menengok ke arah rombongan ayah angkatnya. Mereka agaknya sudah berkemas dan ayahnya sudah bangkit berdiri. “Aku.... aku tidak bisa, di sana ada ayah angkatku.... aku harus pergi ber¬sama mereka.” “Huh, betapa tidak enaknya hidup seperti engkau ini. Hati ingin nonton ke gunung, akan tetapi kenyataannya ter¬paksa harus pergi. Kau seperti burung dalam sangkar saja. Dan kau gadis yang memiliki keberanian hebat sungguhpun kau lemah.” “Aku ingin sekali, akan tetapi mereka tentu melarang dan kita tidak bisa me¬maksa.” “Siapa bilang? Baru dua puluh orang perajurit macam itu, biar ditambah dua puluh lagi masih belum cukup untuk me¬lawan aku!” “Ah, aku tidak ingin kau bertempur dengan mereka. Orang tua itu adalah ayah angkatku yang amat baik.” “Kalau begitu tidak perlu bertempur. Aku dapat melarikan engkau dari sini tanpa dapat mereka kejar!” “Benarkah? Akan tetapi aku harus berpamit! Aku tidak boleh menyusahkan hati ayah angkatku.” “Nah, berpamitlah!” Hwee Li lalu menggerakkan tangan dan dua ekor ular¬nya meluncur turun ke arah kedua le¬ngannya, terus melingkar di situ. Ke¬mudian dia mengiringkan Cui Lan ber¬jalan menghampiri rombongan itu. Melihat Cui Lan datang bersama se¬orang gadis cantik berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai gadis yang membantu mereka di atas sungai, Hok-taijin memandang kagum, akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya dan wajahnya ber¬ubah pucat ketika melihat dua ekor ular melingkar di kedua lengan yang putih mulus itu. “Gi-hu, ini adalah Kim Hwee Li, se¬orang sahabat.... dan dia.... dia meng¬ajak saya pergi nonton adu kepandaian di bukit. Gi-hu, perkenankanlah, dan jangan khawatlr, saya pasti akan menyusul Gi-hu.... setelah selesai nonton....“ “Akan tetapi, Cui Lan....!” Hok-taijin berkata penuh keraguan. “Mari kita pergi, Cui Lan!” Tiba-tiba Cui Lan merasa pinggangnya dibelit se¬suatu dan tubuhnya terbang ke atas! Ketika dia tidak melayang lagi, ternyata dia telah berada di atas cabang pohon, dirangkul oleh lengan Hwee Li dan ayah angkatnya bersama para perajurit berada jauh di bawah pohon besar itu! “Pejamkan mata, kita pergi sekarang,” bisik Hwee Li. “Gi-hu, maafkan, saya pergi dulu....!” Cui Lan berseru ke bawah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, jauh dari situ dan selanjutnya dia seperti terbang di atas tanah bersama Hwee Li, pinggangnya dipeluk oleh gadis yang luar biasa itu. Angin bertiup kencang mem¬buat kedua telinganya mendengar suara gemuruh dan Cui Lan merasa ngeri. Dia mendengar suara ayahnya lapat-lapat memanggil namanya, lalu tidak mende¬ngar apa-apa lagi kecuali suara angin bertiup kencang dan pohon-pohon berlari¬an cepat di kanan kirinya. Dia meme¬jamkan matanya. Tak lama kemudian dia mendengar suara Hwee Li, “Kita sudah jauh mening¬galkan mereka. Nah, mari kita mendaki bukit itu.” Cui Lan membuka mata. Kiranya mereka telah berada di kaki bukit, di antara banyak pohon-pohon liar dan dia menengok ke sana-sini, akan tetapi sama sekali tidak melihat lagi rombongan gi-hunya, bahkan dia tidak mendengar suara mereka. Hanya suara burung yang berbondong-bondong terbang datang untuk berlindung di dalam pohon-pohon besar melewatkan malam, karena matahari telah condong ke barat. Cui Lan memandang Hwee Li. “Eng¬kau sungguh seorang gadis yang hebat, Hwee Li. Kiranya engkau juga seorang pendekar sakti.” “Hi-hik, enak juga dipuji orang seperti engkau. Tahukah engkau, Cui Lan, ketika aku memelukmu dan meraba tulang¬-tulangmu, aku mendapat kenyataan bah¬wa andaikata engkau mempelajari ilmu silat, agaknya engkau malah dapat men¬capai tingkat yang lebih tinggi daripada aku. Bakatmu baik dan nyalimu besar.” Akan tetapi tentu saja Cui Lan meng¬anggap kata-kata Hwee Li itu sebagai kelakar saja dan dia tidak ambil peduli. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki bukit itu. Cui Lan terheran-heran melihat betapa tempat ini amat sunyi. Bukankah tadi terdapat banyak penungang kuda yang katanya juga menuju ke tempat ini? Akan tetapi mengapa di situ sunyi saja, tak pernah mereka bertemu dengan seorang manusia pun? Dengan hati-hati Hwee Li mengajaknya mendaki terus, berjalan di antara rumpun ilalang yang tinggi-tinggi, ada yang setinggi manusia. “Hati-hati, Hwee Li....“ bisik Cui Lan karena gadis ini maklum betapa berba¬hayanya tempat seperti itu. Kalau ada orang atau harimau bersembunyi di da¬lam ilalang, tentu tidak kelihatan dan mereka itu dengan mudah dapat mener¬kam mangaa yang lewat. “Hik-hik, jangan khawatir, Cui Lan. Dua ekor ularku ini leblh tajam pen¬dengarannya, penciumannya dan pandang matanya daripada seekor anjlng.” Baru saja Hwee Li berkata demikian, seekor di antara dua ekor ular yang melilit di kedua lengan dara itu meluncur ke samping, memasuki rumpun ilalang dengan ekornya masih melilit lengan kiri Hwee Li. Tampak ilalang di sebelah itu ber¬gerk-gerak keras dan terdengar suara menguik. Tak lama kemudian, kepala ular itu sudah kembali dan moncongnya yang lebar telah menggigit seekor anak babi yang telah tewas. “Hik-hik, mengagetkan saja kau. Hayo lepas!” Hwee Li menggerakkan lengan kirinya dan ular itu melepaskan bangkai babi itu, lalu melingkar lagi di lengan Hwee Li. Cui Lan bergidik ngeri. “Bagaimana kalau yang bersembunyi di situ tadi se¬orang manusia?” blsiknya. “Ularku tahu dengan nalurinya. Kalau manusia itu berniat busuk, tentu digigit dan dibunuhnya. Sekali gigitan saja mem¬buat racun yang mematikan membunuh orang itu, akan tetapi kalau orang itu tidak mempunyai niat jahat, ular-ularku pun tidak mau sembarangan membunuh orang tanpa perintahku.” Hari telah menjadi gelap ketika me¬reka tiba di puncak bukit. Akan tetapi bulan segera muncul dari balik bukit di sebelah timur dan sinarnya cukup menerangi tempat itu. Cui Lan dan Hwee Li duduk di atas batu dan memandang ke depan. Di puncak itu, di antara batu¬-batu gunung yang besar-besar, berdiri sebuah bangunan kuno yang kelihatan megah dan angker. Di sekeliling rumah itu sunyi saja, tidak terdengar apa-apa dan bahkan tidak ada sedikit pun lampu penerangan, seolah-olah bangunan itu adalah sebuah rumah kuno yang kosong tidak dihuni orang. “Agaknya kosong....“ Cui Lan ber¬kata. “Sssttttt.... mari kita mendekat dan setelah kita nanti bersembunyi, kau tidak boleh mengeluarkan suara, tidak boleh berisik, Hwee Li berbisik. Cui Lan mengangguk, jantungnya berdebar tegang ka¬rena sikap Hwee Li yang begitu berhati¬-hati mendatangkan ketegangan di dalam hatinya. Sikap gadis perkasa itu mem¬bayangkan bahwa mereka berada di tem¬pat yang aneh dan berbahaya sekali. Mereka merangkak dan setelah dekat dengan rumah besar itu, mereka bersem¬bunyi di balik batu besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat dengan jelas ke arah pintu depan gedung kuno itu. Bulan makin naik tinggi dan sinarnya yang keemasan membuat tempat itu indah sekali dan tentu amat menyenang¬kan kalau saja suasananya tidak begitu menyeramkan. Malam makin larut dan Cui Lan mu¬lai menggigil kedinginan. “Telan ini....” Hwee Li berbisik dan menyerahkan se¬butir pil kuning. Cui Lan menelannya dan pil itu terasa manis dan harum. Tak lama kemudian tubuhnya terasa hangat sekali seolah-olah dia baru saja minum beberapa cawan arak. Dia menyentuh tangan Hwee Li dengan rasa terima ka¬sih dan dara berpakaian hitam itu ter¬senyum. Giginya berkilat putih tertimpa sinar bulan. Tiba-tiba mereka menyelinap karena kaget melihat sinar-sinar lampu menyala di gedung itu. Keadaan tetap sunyi dan lampu-lampu penerangan itu seolah-olah dinyalakan oleh tangan setan. Tidak nam¬pak seorang pun di sekitar gedung besar itu. Dari jauh sekali, dari arah depan rumah, terdengarlah suara orang, suara yang bening halus, “Locianpwe, saya datang memenuhi perjanjlan kita lima tahun yang lalu!” Suara itu biarpun halus namun mengandung gema mengaung dan setelah suara itu lenyap, gemanya masih terdengar, lalu sunyi sekali, sunyi yang mencekam dan menegangkan hati. Terdengar suara orang berdehem di dalam gedung itu, kemudian terdengar suara seorang laki-laki yang parau, “Sila¬kan masuk!” Cui Lan terkejut dan terheran bukan main karena entah dari mana datangnya dan bagaimana serta kapan, tahu-tahu di depan pintu gedung itu kini telah berdiri seorang kakek membawa tongkat. Agak¬nya kakek inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata itu. Kakek ini berdiri seperti arca, tidak bergerak-gerak dan meman¬dang ke depan gedung, ke arah jalan kecil yang menuju ke bawah bukit. Tentu saja Cui Lan dan Hwee Li juga meman¬dang ke arah itu, menduga-duga dari mana akan munculnya orang yang tadi mengeluarkan suara, yang mereka duga tentulah Siluman Kecil adanya. “Sssttttt....!” Tiba-tiba Hwee Li menyentuh lengan Cui Lan dan menunjuk ke depan. Cui Lan membelalakkan matanya untuk dapat memandang lebih teliti. Dia hanya melihat sebuah titik putih naik dari bawah, dan melihat sebuah titik putih itu makin membesar. Akhirnya nampaklah bayangan putih seorang manusia ber¬gerak dengan amat cepatnya, seolah¬-olah orang itu terbang di atas pucuk rumpun ilalang! Kedua kakinya bergerak di antara pucuk ilalang yang bergoyang perlahan. Cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di depan gedung dan menjura ke arah kakek yang meme¬gang tongkat. Hwee Li mengerahkan kekuatan pan¬dang matanya, memperhatikan orang yang namanya begitu terkenal sebagai seorang pendekar penuh rahasia yang ha¬nya dikenal sebagai Siluman Kecil. Ter¬nyata orangnya masih muda dan wajah¬nya tampan, rambutnya dibiarkan ter¬urai dan melambai-lambai ditiup angin, rambut yang berwarna putih dan yang mengkilap seperti perak tertimpa sinat keemasan dari bulan purnama. Pakaian¬nya sederhana dan juga terbuat dari ba¬han putih semua! Kakek bertongkat itu sejenak meman¬dang, seolah-olah hendak meneliti apakah benar ini orang yang telah ditunggu¬-tunggu, kemudian dia balas menjura dan dengan tangannya dia mempersilakan orang itu masuk. Pintu terbuka sendiri seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nam¬pak. Laki-laki berambut putih itu meng¬angguk dan melangkah hendak memasuki pintu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan dari depan gedung. “Anakku....!” Seorang nikouw tua melompat ke luar dari balik sebuah batu besar dan biarpun jarak antara batu dan depan gedung itu cukup jauh, namun dengan satu kali melompat saja nikouw itu telah berada di situ! Diam-diam Hwee Li meleletkan lidahnya tanda kaget dan kagum. “lbu....!” Siluman Kecil menoleh ke arah wanita itu. Cui Lan dan Hwee Li saling pandang dan sinar mata mereka bicara banyak. Mereka berdua terheran-heran melihat kenyataan bahwa si pendekar sakti yang berjuluk Siluman Kecil itu adalah putera seorang nikouw tua! “Ibu, mengapa menyusulku?” tanya Siluman Kecil dengan suara halus dan penuh hormat. “Hemmm, aku mana bisa tega mem¬biarkan kau menemui sendiri musuhmu? Aku harus ikut, apa pun yang akan terjadi!” Siluman Kecil membalik dan meman¬dang kepada kakek pemegang tongkat, seperti hendak bertanya apakah ibunya diperbolehkan ikut masuk. Kakek itu mengangguk dan mempersilakan dengan tangan. Ibu dan anak itu lalu melangkah memasuki pintu, diikuti oleh kakek ber¬tongkat dan daun pintu pun tertutup sendiri tanpa ada yang menutupkan. “Diakah....?” Hwee Li berbisik. Cui Lan mengangguk, dadanya ber¬gelombang, air matanya berlinang. Sementara itu, orang muda berambut putih dan nikouw tua yang masuk ber¬sama kakek bertongkat, tiba di ruangan dalam dan di situ nampak duduk seorang kakek tua renta yang rambut, jenggot, kumis dan alisnya telah putih semua. Kakek ini bertubuh tinggi besar dan biarpun mukanya sudah nampak tua, namun sepasang matanya tetap bercahaya penuh semangat dan mulutnya tersenyum lem¬but. Di kanan kirinya nampak beberapa orang laki-laki yang duduk dan ada pula yang berdiri. Mereka itu adalah murid¬-muridnya dan kakek bertongkat itu ada¬lah murid pertama. Kakek bertongkat ini menjatuhkan diri berlutut. “Suhu, dia datang memenuhi janji!” katanya. Siluman Kecil juga menjura dengan hormat sedangkan nikouw tua itu me¬rangkap kedua tangan di depan dada tanpa bergerak atau bicara. “Dengan perkenan Locianpwe, saya kembali hen¬dak memperlihatkan kebodohan saya,” katanya dengan sikap merendah. Kakek itu tersenyum, akan tetapi alisnya yang putih itu berkerut. “Orang muda, kami telah mendengar bahwa se¬lama lima tahun ini engkau telah mem¬peroleh kemajuan pesat sekali, bahkan telah berbuat banyak sehingga memper¬oleh julukan Siluman Kecil. Kami merasa girang bahwa kami masih hidup saat ini sehingga dapat rnengagumi kemajuanmu. Akan tetapi sayang, engkau yang dahulu berjanji akan datang sendiri kini ternyata membawa kawan-kawan yang banyak sekali jumlahnya. Apakah maksudmu de¬ngan perbuatan itu?” Siluman Kecil mengangkat muka me¬mandang dan mereka saling bertemu dan beradu pandang. “Locianpwe, menyalahi janji dan membawa kawan-kawan me¬rupakan pantangan besar bagi saya. Apa¬kah Locianpwe menganggap bahwa Ibu saya yang menyusul ini merupakan pelanggaran?” Kakek itu menggerakkan tangan se¬perti mencela. “Ahhh, kalau muncul de¬ngan terang-terangan masih tidak apa. Akan tetapi apa artinya banyak kawan¬mu yang bersembunyi di sekitar tempat ini?” “Ohhh....! Maksud Locianpwe mereka yang bersembunyi di sekitar luar gedung ini? Sungguh, saya tidak mengerti. Malah saya kira bahwa mereka itu adalah murid-murid Locianpwe yang sengaja me¬nyambut dan mengawasi saya!” “Hemmm, sungguh aneh. Mari kita suruh mereka keluar.” Kakek itu turun dari kursinya, kemudian bersama dengan Siluman Kecil dan nikouw tua mereka semua keluar, diiringkan oleh murid¬-murid kakek itu yang dipimpin oleh ka¬kek pemegang tongkat. Kini mereka berdiri di luar gedung, di halaman yang luas. Hwee Li dan Cui Lan masih sembunyi dan memandang dengan mata terbelalak. Girang hati Hwee Li melihat mereka keluar karena dia kha¬watir kalau pertandingan dilakukan di dalam gedung, berarti dia tidak dapat nonton! Dan kini, mereka berada di ha¬laman sehingga dia akan dapat nonton dengan enaknya karena tempat sembunyi¬nya itu tidak berapa jauh. Akan tetapi, dia merasa heran karena dua orang yang kabarnya akan bertanding itu tidak berdiri berhadapan, melainkan berjajar dan keduanya menghadap ke luar gedung, menoleh ke kanan kiri. Kemudi¬an terdengar suara Siluman Kecil yang bening dan halus nyaring, “Cu-wi sekalian yang bersembunyi di luar gedung, harap suka memperlihatkan diril” Mendengar suara Siluman Kecil ini, maka berloncatan keluarlah para pemburu dan beberapa orang lain yang memang diam-diam datang mengunjungi tempat itu dengan niat untuk membantu Siluman Kecil yang kabarnya hendak bertanding melawan musuhnya yang amat sakti. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang yang muncul dari berbagai tempat persembunyian mereka! Melihat bahwa mereka adalah teman-temannya yang pernah ditolongnya, diam-diam Si¬luman Kecil menjadi terkejut sekali dan segera dia menegur, “Mau apa kalian berada di sini? Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini?” Semua orang itu menjura dengan hor¬mat ke arah Siluman Kecil dan seorang di antara mereka menjawab, “Kami men¬dengar bahwa Taihiap hendak bertanding dengan seorang lawan yang tangguh, maka kami sengaja datang hendak mem¬bantu.” Mendengar jawaban yang terus terang ini, Sin-siauw Seng-jin (Kakek Suling Sakti) tersenyum lebar. “Aku tidak menghendaki bantuan dari siapapun!” Siluman Kecil berseru dengan muka merah karena merasa malu kepada tuan rumah. Akan tetapi Sin-siauw Seng¬jin menggerakkan tangan dan berkata halus. “Cu-wi telah datang, boleh saja me¬nyaksikan pertandingan.” Kemudian kakek ini memandang ke kanan kiri dan berkata lagi, suaranya halus namun menembus sampai jauh seperti hembusan angin, “Cu-wi sekalian yang masih bersembunyi, silakan keluar saja!” Kini bermunculanlah dua puluh lebih orang yang tidak dikenal oleh Siluman Kecli. Pendekar ini merasa heran dan kagum bahwa Kakek Suling Sakti ini ternyata telah mengetahui akan semua orang yang bersembunyi itu. Dan lebih-¬lebih heran hatinya ketika mendengar kakek itu berkata sambil memandang kepada dua orang kakek yang berdiri dengan penuh wibawa, “Hemmm, kiranya saudara-saudara ketua yang terhormat dari Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai juga hadir!” Semua orang menjadi terkejut, ter¬masuk Hwee Li dan juga murid-murid kakek itu sendiri ketika mendengar si Suling Sakti menyebut dua nama per¬kumpulan yang besar dan amat terkenal itu. Juga Siluman Kecil cepat memandang kepada dua orang tua itu, diam¬-diam merasa heran juga mengapa ketua¬-ketua perkumpulan silat yang besar itu datang pula di tempat itu. Ketua Bu-tong-pai dan ketua Kun¬lun-pai menjura ke arah Sin-siauw Seng¬jin, kemudian ketua Kun-lun-pai mengelus jenggotnya dan berkata, “Harap Seng-¬jin maafkan atas kehadiran kami tanpa diundang. Sesungguhnya, tadinya kami hanya ingin menyaksikan ilmu aseli dari Pendekar Suling Emas yang terkenal di seluruh kolong langit ratusan tahun yang lalu, yang menjadi dongeng di dunia persilatan. Akan tetapi Seng-jin telah me¬lihat kehadiran kami, harap maafkan kelancangan kami.” Mendengar ucapan ini, kakek peme¬gang tongkat yang menjadi murid per¬tama dari Sin-siauw Seng-jin, memandang kepada gurunya dan dari pandang mata gurunya dia mendapat perkenan, maka majulah dia dan dengan suara halus na¬mun bernada menantang dia berkata, “Apakah Cu-wi sekalian ingin menguji ilmu-ilmu itu? Kalau benar demikian, silakan maju, tidak perlu Suhu yang tu¬run tangan, cukup dengan saya yang akan memperlihatkan kepada Cu-wi.” Dua orang ketua itu adalah orang-¬orang besar yang memimpin partai per¬silatan besar, tentu saja mereka memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Mereka tentu tidak sudi mencuri lihat ilmu orang lain, hanya karena mendengar bahwa Sin-siauw Seng-jin sebagai pewaris ilmu-ilmu Suling Emas hendak bertanding, mereka tidak dapat menahan keinginan tahu mereka untuk menonton, biar de¬ngan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi, kini setelah menerima tantangan, ber¬arti mereka memperoleh kesempatan untuk melihat dan sekaligus menguji sendiri ilmu-ilmu itu, tentu saja mereka menyambut dengan gembira. Ketua Bu¬tong-pai memberi isyarat kepada sutenya, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bermuka kuning. Tosu ini adalah orang ke dua dari Bu-tong-pai, tokoh ke dua setelah sang ketua sendiri. Namanya Kim Thian Cu dan sebagai tokoh ke dua, tentu saja dia memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan langkah tenang, Kim Thian Cu menggerakkan kedua lengan jubah pendetanya yang lebar dan tersenyum menghadapi kakek pemegang tongkat itu, lalu menjura. “Silakan!” Kakek itu juga memandang dengan sinar mata penuh selidik, sikapnya tenang halus seperti gurunya dan dia bertanya, “Kalau boleh saya bertanya, siapakah julukan Totiang?” “Pintu Kim Thian Cu, tosu yang bo¬doh dari Bu-tong-pai,” kata tosu itu sam¬bil menjura. Kakek itu lalu menancapkan tongkat¬nya di atas tanah, kemudian melangkah maju pula dan menjura. “Kim Thian Cu totiang, sebagai fihak tuan rumah, saya hanya melayani. Silakan Totiang mulai dan sebelumnya ketahuilah bahwa saya yang rendah pengetahuan akan memper¬gunakan ilmu tangan kosong dari Suhu.” Kim Thian Cu sebagai seorang tokoh Bu-tong-pai, tentu saja sudah mempunyai pengalaman mendalam dan sekali pandang saja dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka dia tidak bersikap sungkan lagi. “Pinto mulai, sam¬butlah!” Dan begitu dia bergerak, Kim Thian Cu telah mengeluarkan ilmu silat simpanan dari Bu-tong-pai yang hanya di¬keluarkan kalau menghadapi lawan yang amat tangguh saja. Kedua tangannya membentuk cakar garuda dan ketika di¬gerakkan, terdengarlah angin bersiutan dan sepuluh jari tangannya itu berubah menjadi keras seperti baja! Itulah ilmu Kiauw-ta Sin-na yang amat lihai dari Bu¬tong-pai, yang kesemuanya ada seratus dua puluh jurus. Biarpun dia sendiri su¬dah menduduki jabatan wakil ketua atau tokoh ke dua, Kim Thian Cu sendiri hanya mengenal delapan puluh jurus saja dari ilmu kuno ini! Dan begitu menyerang, dia telah mengeluarkan jurus yang paling ampuh, dengan tangan kiri men¬cengkeram ke ubun-ubun kepala sedang¬kan tangan kanan yang tadinya seperti cakar, ketika ditusukkan ke arah pusar lawan berubah menjadi lurus seperti pe¬dang! Serangan ini hebatnya bukan ke¬palang, yang mencengkeram ubun-ubun seperti badai dahsyatnya, yang menusuk pusar seperti kilat menyambar. “Bagus....!” Kakek yang tinggi kurus itu berseru dan cepat tubuhnya yang bergerak, kedua tangannya menangkis dua serangan itu. “Dukkk!.... Dukkkkk!” Dua pasang lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke be¬lakang, akan tetapi kalau murid Sin-¬siauw Seng-jin itu hanya terhuyung dua langkah, Kim Thian Cu terhuyung sam¬pai lima langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa tenaga wakil ketua Bu-tong-¬pai itu kalah kuat. Kim Thian Cu menjadi penasaran. Dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat, maka dia mengandalkan gin¬kangnya dan ilmu Silat Kiauw-ta Sin¬-na dan mulailah dia menerjang dengan cepat dan kuatnya. Kakek tinggi kurus itu lalu mengeluarkan seruan keras, me¬nyambut serangan wakil ketua Bu-tong-¬pai dengan ilmu silat tangan yang gerak¬annya aneh sekali namun dahsyat seperti badai laut mengamuk! Tubuh kakek ting¬gi kurus itu berputaran dan kedua le¬ngannya seperti berubah menjadi belasan buah sehingga hujan serangan dari Kim Thian Cu dapat ditangkisnya semua, bah¬kan dia membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya! Giok Thian Cu mengerutkan alisnya, maklum bahwa sutenya tidak akan mam¬pu menang. Sayang bahwa sutenya belum menguasai jurus-jurus yang paling rumit dari Kiauw-ta Sin-na sehingga untuk menghadapi lawan yang demikian tangguh amat sukar mendesaknya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mencampuri dan hanya memandang dengan penuh per¬hatian untuk mempelajari gerakan lawan yang menggunakan semacam ilmu silat tangan kosong yang aneh. Gerakan ta¬ngan kakek tinggi kurus itu kadang¬kadang seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan tangan yang lebar itu dikebut-¬kebutkan sedemikian cepatnya sehingga memang menyerupai kipas saja! Akan tetapi, setiap gerakan tangan itu selain mendatangkan angin seperti kipas, juga mengandung tenaga yang amat kuat me¬nyambar lawan! Tepat seperti dugaan ketua Bu-tong-¬pai ini, belum sampai tiga puluh jurus, Kim Thian Cu terhuyung ke belakang dan kedua lengannya tergantung seperti lum¬puh. Ternyata kedua pundaknya telah kena totokan kakek itu. Ketua Bu-tong-pai cepat meloncat ke depan dan sekali menekan kedua pundak sutenya, Kim Thian Cu pulih kembali kedua lengannya dan dia lalu menjura ke arah kakek tadi sambil berkata, “Pinto mengaku kalah.” “Hebat.... hebat....!” Giok Thian Cu ketua Bu-tong-pai menjura ke arah kakek itu sambil tersenyum. “Sungguh hebat dan bukan hanya dongeng kosong belaka ilmu keturunan dari Pendekar Suling Emas. Kalau boleh pinto mengetahui nama Sicu dan nama ilmu pukulan luar biasa tadi....“ Kakek itu tersenyum dan balas men¬jura. “Saya berjuluk Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak) dan menjadi murid pertama dari Suhu. Adapun tentang ilmu¬ilmu yang saya mainkan, saya tidak ber¬hak menyebutkannya kepada siapa juga, yang berhak adalah Suhu.” Giok Thian Cu mengangguk-angguk. “Bagus, memang ilmu sehebat itu tidak boleh sembarangan diketahui orang. Pinto kagum sekali. Nama Pendekar Suling Emas yang sudah ratusan tahun merupa¬kan dongeng dan terpendam itu, hari ini muncul sebagai kenyataan yang menga¬gumkan dan tentu akan menggegerkan dunia persilatan. Sute Kim Thian Cu telah mengaku kalah, dan kalau boleh pinto sendiri akan menguji kehebatan ilmu-ilmu peninggalan Pendengar Suling Emas. Tidak tahu apakah Sin-siauw Seng¬jin sendiri yang berkenan maju ataukah mewakilkan kepada muridnya?” Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sebatang pedang dari da¬lam jubahnya dan kini berdiri tegak dan memegang pedang di depan dada dengan kedua tangan dirangkap tanda penghor¬matan. Gin-siauw Lo-jin membalas penghor¬matan itu dengan mencabut sebatang suling perak dari dalam jubahnya. “Maaf, Totiang. Biarlah saya mencoba-coba me¬wakili Suhu menyambut penghormatan Totiang.” Giok Thian Cu sekali lagi menghor¬mat, kemudian berseru halus, “Lihat pedang!” dan nampak sinar hijau berke¬lebat menyambar ke arah lawan. “Bagus!” Sekali lagi kakek itu berseru memuji dan nampak sinar terang putih berkilauan menyambar ke depan, me¬nyambut sinar hijau itu. “Tranggg....!” Kedua fihak merasakan lengan kanan mereka tergetar hebat dan tahulah mereka bahwa tenaga sinkang mereka berimbang. Maklum akan kelihai¬an lawan, Giok Thian Cu juga tidak ber¬sikap sungkan lagi, terus saja dia mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang paling lihai, yaitu ilmu Pedang Sin-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong Sakti) sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar hijau yang indah sekali. Tiba-tiba Gin-siauw Lo-jin yang ter¬kesiap dan terdesak oleh gulungan sinar hijau itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan sulingnya juga lenyap, ber¬ubah gulungan sinar perak yang amat luas dan aneh sekali gerakannya. Bukan hanya bergulung-gulung menjadi sinar perak, juga dari suling perak itu ter¬dengar suara mengaung yang aneh dan menyakitkan telinga lawan! Gulungan sinar perak itu kini membuat gerakan coret-moret seperti membentuk huruf¬-huruf di udara dan setiap coretan me¬ngandung tenaga dahsyat yang menyerang lawan. “Hebat....! Liang Sim Tosu, ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu meng¬geleng-geleng kepala saking kagumnya. “Mungkin inilah Ilmu Hong-in Bun-hoat yang disebut dalam dongeng Suling Emas....“ Memang hebat sekali gerakan Gin-¬siauw Lo-jin. Dalam waktu , kurang dari tiga puluh jurus, sinar perak itu telah menggulung dan menekan sinar hijau se¬hingga sinar hijau dari pedang di tangan ketua Bu-tong-pai itu menjadi makin sempit. Akhirnya terdengar seruan, “Si¬ancai....!” dan kedua gulungan sinar itu berhenti. Ketua Bu-tong-pai telah me¬nyimpan kembali pedangnya dan sambil tersenyum pahit dan dengan muka agak pucat dia memandang ke arah kedua lengan bajunya yang telah berlubang bekas tusukan suling perak! Tentu saja dalam pertandingan sungguh-sungguh, bukan di lengan baju jatuhnya serangan tusukan itu, melainkan di tempat yang berbahaya. “Sungguh hebat, pinto mengaku kalah.” “Ahhh, Kim Thian Cu dan Giok Thian Cu toyu terlalu merendah, kepandaian mereka hebat sekali akan tetapi harus dlakui bahwa ilmu-ilmu peninggalan Pen¬dekar Suling Emas memang amat luar biasa. Pinto juga menjadi gatal tangan dan ingin sekali menguji, kalau boleh.” Liang Sim Tosu sudah melangkah maju dan mepgeluarkan sepasang poan-koan-¬pit berwarna putih dan hitam yang di¬pegang oleh kedua tangan dan disilangkan di depan dada. Gin-siauw Lo-jin masih memegang suling peraknya dan dia pun membalas dengan penghormatan dan menjawab, “Kalau Totiang masih penasaran dan hendak menguji, silakan maju.” Liang Sim Tosu cepat menggerakkan kedua poan-koan-pit hitam dan putih yang tadi disilangkan, yang kanan ber¬warna hitam menuding ke langit, yang kiri berwarna putih menuding ke bumi, kemudian dia berkata, “Gin-siauw Lo¬jin, harap jaga seranganku!” Tiba-tiba nampak sinar hitam dan putih berkele¬batan dan makin lama makin cepat se¬hingga kemudian nampak dua sinar hitam dan putih itu saling sambar dan saling belit, kemudian bersatu menjadi segulung¬an sinar yang berwarna abu-abu meluncur ke arah kakek yang memegang suling perak. “Bukan main....!” Gin-siauw Lo-jin berseru kaget dan cepat dia menggerak¬kan suling peraknya sehingga nampak sinar berkilauan menangkis. “Cring-tranggg....! Kini Gin-siauw Lo-jin yang terhuyung dan ketua Kun-lun-pai itu sudah mener¬jang lagi, serangan halus namun luar biasa kuatnya dan sepasang poan-koan-¬pit itu memang amat lihaihya, kadang-¬kadang seperti dua sinar berlawanan saling menggunting, kadang-kadang ber¬satu menjadi sinar abu-abu yang amat kuat, yang hitam mengandung tenaga Im lemas dan yang putih mengandung tenaga Yang yang kuat dan panas. Kiranya dua buah poan-koan-pit itu mengandung te¬naga Im dan Yang, dua unsur yang ber¬lawanan akan tetapi kalau bersatu mem¬punyai daya yang luar biasa kuatnya. Juga kedua poan-koan-pit itu dapat me¬lakukan totokan-totokan yang bertubi-¬tubi ke seluruh jalan darah terpenting di tubuh lawan. Gin-siauw Lo-jin maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat lihai, maka dia cepat mainkan Hong-in Bun-hoat de¬ngan suling peraknya. Ilmu ini memang mujijat, karena dahulu, Pendekar Suling Emas menerima ilmu ini langsung dari manusia dewa Bu Kek Siansu, dan biar¬pun ilmu ini dimainkan dengan menulis¬kan huruf-huruf di udara, namun setiap gerakan mengandung daya serang yang amat mujijat, di samping juga dapat menjadi daya tahan yang rapat seperti tembok yang kokoh kuat sehingga kini, gulungan sinar perak itu dapat memben¬dung semua serangan poan-koan-pit yang luar biasa itu. Pertandingan itu amat cepat dan seru, membuat mata Cui Lan men¬jadi kabur dan kepalanya pening sehingga dia mengalihkan pandang matanya ke arah Siluman Kecil yang berdiri dengan tegak, tenang dan penuh perhatian. Sebaliknya, Hwee Li menonton dengan wa¬jah berseri. Girang sekali hati gadis ini dapat melihat pertandingan yang demi¬kian hebatnya. “Ahhhhh....!” Gin-siauw Lo-jin berseru dan terhuyung-huyung sampai lima lang¬kah ke belakang. Biarpun ilmu Hong¬in Bun-hoat yang dimainkannya dapat membendung serangan lawan, namun karena memang dia kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar dan terhuyung. “Gin-siauw, mundurlah karena engkau sudah kalah.” Tiba-tiba terdengar suara halus dan Gin-siauw Lo-jin cepat me¬loncat mundur, menyimpan suling perak¬nya dan menjura ke arah Liang Sim To¬su. Saya mengaku kalah.” Liang Sim Tosu tersenyum lebar. “Bukan main.... terus terang saja pinto hanya menang dalam hal tenaga, akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi ilmu tadi.” Kini Sin-siauw Seng-jin melangkah maju. “Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah. Ilmu Im-yang Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang he¬bat sekali, akan tetapi betapapun hebat¬nya, masih belum dapat menandingi Hong¬in Bun-hoat yang telah dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan mencoba suling kami!” Tampak sinar emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua renta ini telah memegang sebatang suling yang terbuat daripada emas. Semua mata me¬mandang dan jantung mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali dalam dongeng dunia persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal itu! “Wah-wah-wah.... kalau aku bisa mendapatkan suling itu....“ terdengar Hwee Li berbisik. “Hemmm, kau begitu murka meng¬inginkan emas?” Cui Lan mencela. “Aihhh, kau mana tahu....“ Mereka menghentikan bisik-bisik itu ketika kini ketua Kun-lun-pai itu telah mulai menyerang dengan poan-koan-pit di tangannya. Akan tetapi, kakek tua renta itu kelihatan tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berke¬lebat dan setiap kali sepasang poan-koan¬-pit itu kena ditangkisnya, ke manapun sepasang sinar hitam putih itu menyam¬bar! “Sekarang jagalah, Totiang!” Kakek tua renta itu berseru dan nampak kini sinar emas yang panjang dan luas sekali seperti seekor naga melayang ke atas, lalu menyambar turun dengan gerakan coret-coret seperti membentuk huruf. Terdengar suara trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Akan tetapi belum sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai me¬ngeluh dan sepasang poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya! Seorang murid Kun-lun-pai cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua Kun-lun-pai cepat menjura penuh hormat. “Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal dalam dongeng? Hebat bukan main dan pinto mengaku kalah.” Kakek itu tersenyum. “Pukulan tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah ilmu Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aselinya, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan oleh suling adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Hujan).” Semua orang memandang kagum se¬kali. Kakek itu menjura ke empat pen¬juru dan berkata, “Biarpun kami meng¬akui bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari mendiang Pendekar Sakti Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa kami telah me¬nguasai seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri karena kami merasa bahwa kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-¬ilmu itu.” Semua orang makin kagum mendengar ini. “Locianpwe, saya sudah menunggu!” Tiba-tiba terdengar suara bening meleng¬king nyaring dan ternyata suara ini ada¬lah suara Siluman Kecil yang telah ber¬diri di tengah halaman itu dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam. Kakek tua renta itu menghela napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka saling pandang dan kakek itu berkata, “Aahhh, sudah setua ini baru sekarang kami bertemu dengan seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya. Sicu, sekarang kami melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan ternyata engkau seorang yang memenuhi janji. Lima ta¬hun yang lalu engkau mengaku kalah dan dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah, kami telah slap, majulah!” Pemuda berambut putih itu memungut sebatang ranting di atas tanah, lalu dia menggerakkan ranting itu di depan dada¬nya. Terdengar suara mencicit nyaring, lalu dia menghentikan gerakannya dan berkata, “Locianpwe, saya hanya menun¬tut yang benar. Kalau Locianpwe meng¬akui kesalahan dan mengembalikan pu¬saka kepada yang berhak, saya pun tidak akan mendesak.” “Hemmmm, orang muda. Puluhan tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja melepaskannya. Kami sudah siap, majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw yang menjadi saksi pertanding¬an antara Sin-siauw Seng-jin dan Siluman Kecil.” “Locianpwe mengerti bahwa saya hanya mempertahankan kebenaran!” kata Siluman Kecil sambil menggerakkan ran¬tingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. “Nah, maafkan aku!” Tiba-tiba saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu berubah menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti ge¬rakannya dengan pandang mata dan tahu-¬tahu kakek itu sudah menggerakkan su¬ling emasnya menanggkis. “Tringgggg....!” Kini semua orang melihat betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan, men¬celat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala mereka yang me¬mandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga suling itu lenyap berubah menjadii gulungan sinar emas. Memang hebat sekali kakek itu. Gulungan sinar kuning emas itu meling¬kar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa yang gelap, kadang-¬kadang mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan terdengar suara suling itu mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak kecil yang sedang belajar main suling. Sumbang dan tidak teratur. Padahal, menurut dongeng tentang Pendekar Suling Emas, kala pendekar itu mainkan suling emas se¬bagai senjata, maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang merdu! Hal ini saja membuktikan bahwa memang Sin-siauw Seng-jin belum me¬nguasai ilmu itu secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi. Pertandingan itu makin lama makin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apalagi gerakan Siluman Kecil yang luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini sehingga kakek itu harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya yang serba putih itu seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang menyerangnya dari empat penjuru! Sudah hampir dua ratus jurus berlang¬sung dan belum juga ada yang roboh. Semua orang yang menonton pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, ter¬paksa memejamkan mata. Hanya orang¬-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai itu saja, termasuk Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus de¬ngan mata tanpa berkedip saking ter¬tariknya. Cui Lan sudah sejak tadi me¬nunduk dan bibirnya berkemak-kemik karena gadis ini telah berdoa untuk ke¬menangan Siluman Kecil! Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu jatuh terjungkal dan ping¬san. Untung Hwee Li sudah menempelkan telapak tangannya di tengkuk Cui Lan sehingga ketika suara itu membuat ke¬pala Cui Lan pening, rasa hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li mencegah gadis itu roboh ping¬san pula. Dan terjadi perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti oleh pan¬dangan mata itu. Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Seng-jin berseru kaget dan akhirnya gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke belakang, mukanya pucat, dahinya berkeringat na¬pasnya agak terengah ketika dia meman¬dang kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa saja. “Aku mengaku kalah.... sekali.... ini....“ “Kalau begitu Locianpwe harus me¬ngembalikan....“ “Tidak! Menurut perjanjian, kalau kami kalah, kami semurid kami harus meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali, berarti masih sama. Tunggu se¬tahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu kami kalah, kami akan mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan karena kami yang ka¬lah sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu, Siluman Kecil. Nah, selamat tinggal!” Kakek tua renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan, dengan muka lesu, diiringkan oleh para muridnya dipimpin oleh Gin-siauw Lo¬jin yang membawa tongkatnya dan mem¬bawa bungkusan besar. Tidak ada orang yang berani menahan mereka, juga Silu¬man Kecil diam saja hanya mengikuti mereka dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa kalau dia mengambil ke¬kerasaan, dan dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk mencapai kemenang¬an. Pula, memang kakek itu benar. Dia belum dapat dikatakan menang karena pernah kalah sekali dan menang sekali. Penentuannya adalah pertandingan ke tiga dan yang terakhir, pertandingan sampai mati! “In-kong (Tuan Penolong)....!” Tiba¬-tiba terdengar teriakan nyaring dan seor¬ang gadis cantik berlari-lari menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang saking girangnya melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pe¬menang dan selamat, telah lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri dengan kedua lengan di¬ bentangkan seperti, orang hendak me¬meluk! Seorang gadis lain yang berpakai¬an serba hitam menyusul di belakangnya. Siluman Kecil menoleh dan ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alis¬nya dan berkata dengan suara mengan¬dung teguran, “Ah, kau juga di sini, No¬na?” Melihat sikap Siluman Kecil itu Seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya sendiri yang penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan merasa seolah¬-olah pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya sadar betapa dia telah memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil dan banyak orang. Seketika mukanya menjadi merah sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia berbisik, “In-kong.... saya....“ Akan tetapi, dengan dahi berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak men¬dengarnya dan tidak mempedulikannya, malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja ditinggalkan peng¬huninya dengan penuh perhatian. Tiba¬-tiba dia meloncat ke arah pintu gedung itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti tali me¬luncur ke arah kakinya. “Hemmm....!” Siluman Kecil men¬dengus marah, kakinya bergerak menen¬dang ke arah benda hitam itu. Akan tetapi benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke arah pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak jadi memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tak disangkanya ujung benda yang lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat. “Ahhhhh....!” Siluman Kecil menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika lengannya lewat, ujung benda itu mematuk kembali. “Brettt....!” Siluman Kecil melangkah ke belakang dan memandang dengan muka memper¬lihatkan kekagetan karena ujung lengan bajunya telah berlubang! Kagetlah dia, karena tak disangkanya bahwa benda panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang itu demikian gesit dan lihainya, maka dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian hitam yang memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah melingkar kembali ke lengannya. “Laki-laki tak berperasaan!” Hwee Li memaki marah sambil memandang kepada Siluman Kecil dengan sepasang mata berkilat. Siluman Kecil menjadi bimbang. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia menoleh lagi ke arah pintu gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun menarik perhatiannya pula, maka ber¬katalah dia kepada nikouw tua yang se¬jak tadi hanya menonton saja dengan sikap tenahg, ”Ibu, tolong Ibu lihat apa yang berada di dalam rumah itu, aku melihat ada orang di dalamnya.” Nikouw tua itu mengangguk, lalu me¬langkah memasuki pintu gedung yang dapat, didorongnya terbuka dengan mudah. Sementara itu, Siluman Kecil kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian akan tetapi karena ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ pun tidak berapa te¬rang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas. “Nona, aku seperti pernah melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau?” Hwee Li mencibirkan bibirnya. “Laki-¬laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kau¬kenal baik adalah Cui Lan, akan tetapi kenapa matamu memandang orang lain?” “Eh, bocah sombong! Engkau sungguh kurang ajar sekali!” teriak Sim Kun, orang termuda dari tiga orang pemburu keluarga Sim itu. Melihat pendekar pujaannya dimaki dan dimarahi oleh gadis ini, tentu saja hatinya, menjadi panas, apalagi ketika nama Cui Lan dibawa¬-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnye dengan golok yang telah dicabutnya. “Huh, orang kasar!” Hwee Li men¬dengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim Tek juga sudah turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang Saudara Sim itu. Selagi Siluman Kecil hendak melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam itu, terdengar suara teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara nikouw tua, maka tanpa mempedulikan lagi gadis pekaian hitam yang sedang bertempur melawan tiga orang Saudara Sim, dia bergegas masuk, diikuti pula oleh ketua kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi di dalam gedung itu. Ternyata kamar belakang gedung itu telah porak poranda, meja kursi berse¬rakan dan semua isi lemari awut-awutan. Nikouw tua itu telah tertawan oleh seorang gadis cantik berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu mencengkeram punggung baju nenek itu sedangkan tangan kanan memegang pedang yang di¬tempelkan di lehernya. “Berhenti semua! Jangan mendekat atau.... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras habis.... hi-hi, kau datang terlambat, Siluman Kecil!” Gadis cantik itu memandang kepada Siluman Kecil dan dua orang kakek dengan mata bersinar¬-sinar, sikapnya penuh keberanian dan pedang berkilauan yang berada di tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun juga. Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia yang pernah menghadiri undangan Kui¬liong-pang mewakili gurunya, yaitu Hek¬sin Touw-ong si Raja Maling dari per¬batasan! “Siancai.... di tempat begini ada ma¬ling!” Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak menerjang, akan tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir akan keselamatan nikouw tua itu. “Kau lepaskan dia....!” Siluman Kecil berkata halus kepada Ang-siocia. Ang-siocia tersenyum, nampak deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing merah menyapu bibirnya dengan cepat “Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa kalau aku melepaskan ne¬nek ini, kalian semua tidak akan me¬nyerangku dan membiarkan aku pergi membawa kitab-kitab ini!” Dia menuding ke arah bungkusan kain kuning yang agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya. “Maling hina yang curang!” Ketua Bu¬-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh Siluman Kecil, tentu dia sudah menerjang gadis itu. “Totiang adalah ketua Bu-tong-pai, mengapa tidak bersikap tenang seperti seorang pendeta yang berkedudukan ting¬gi?” Nona berpakaian serba merah itu mengejek. “Siluman Kecil, bagaimana?” “Baiklah, kau boleh pergi membawa barang-barang yang kaucuri itu. Akan tetapi aku pasti akan mencarimu!” ucap¬annya terdengar halus akan tetapi mengandung ancaman yang menyeramkan. “Hik-hik, tentu saja. Dan agar engkau tidak bingung-bingung mencari, aku akan menantimu di ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat ting¬gal!” Gadis cantik berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bung¬kusan dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia lalu meloncat ke luar melalui jendela kamar belakang itu, lenyap ke dalam ke¬gelapan malam. “Aku akan segera ke sana!” Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan nampak benda kecil menyambar ke luar jendela. “Ihhhhh....!” Terdengar gadis itu men¬jerit di luar jendela, lalu terdengar suara¬nya agak gemetar karena benda itu ada¬lah sebuah kancing baju putih yang tahu ¬tahu telah menyusup ke dalam rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit saja tentu dia sudah menggeletak tanpa nyawa! “Siluman Kecil, akudan Suhu menantimu di sana!” Keadaan lalu sunyi kembali dan Silu¬man Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam gedung itu. Di luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa-tawa Hwee Li mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka dengan ekor dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan berseru, “Jangan bunuh orang.... jangan lukai orang....!” Melihat ini, Siluman Kecil melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak bayangannya yang putih itu berkelebat. “Aihhh....!” Hwee Li menahan jerltannya ketika melihat Siluman Kecil mener¬jangnya dengan kecepatan yang amat hebat. Tiap orang she Sim itu segera mengudurkan diri melihat Siluman Kecil kini sudah menghadapi gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan kini semua orang menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang. Gadis itu ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya untuk mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling ter¬jang, kadang-kadang sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah menjadi satu. Tiba-tiba terdengar Hwee Li Menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan lenyap di telan kegelapan malam. Silu¬man Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam. Ke¬mudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan tanpa disengaja tepat sekali dia ber¬temu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil me¬nundukkan mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw tua yang berdiri di situ, “Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku pergi!” Begitu dia berkata pergi, tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan putih meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ. Semua orang tertegun dan tanpa ba¬nyak cakap mereka pun bubar dan me¬ninggalkan tempat yang baru saja terjadi hal-hal yang amat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa itu tidak akan dapat mereka lupakan sebagai pengala¬man yang menegangkan dan akan menjadi buah bibir di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya. Begitu melihat Siluman Kecil pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata kepadanya, bahkan seperti tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk, air matanya meleleh tanpa dapat ditahannya pula. Kini jelaslah bagi¬nya bahwa pendekar yang dipuja-pujanya itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan dia. Barulah dia sadar bahwa sesungguhnya tidak mungkin dia meng¬harapkan yang bukan-bukan. Siluman Kecil adalah seorang pendekar besar yang dipuja banyak orang, apalagi setelah dapat memenangkan kakek tadi, sampai¬-sampai ketua partai-partai besar menghormatinya. Sedangkan dia? Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas pela¬yan! Seperti kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang gubernur, akan tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah kepada ayah angkatnya ltu, telah pergi tanpa perkenan. Ayah bundanya mudah tiada, tidak ada sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia pandang dan ha¬rapkan, kiranya sama sekali tidak mem¬pedulikannya, apalagi mencintanya. Air matanya makin deras mengucur sampai dia tidak tahu bahwa tampat itu telah sunyi, semua orang telah pergi kecuali dia sendiri dan nikouw tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang sejak tadi meman¬dangnya dengan sinar mata penuh rasa iba dan terharu. Nenek ini saking terharunya mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia tahu benar apa yang terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara ini jatuh cinta kepada Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak membalas cintanya. Dia lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu. Cui Lan menoleh dan barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan bahwa nenek yang tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya. “Anak yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan an¬tara kita karena kulihat bahwa penga¬lamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di waktu aku muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu.” Ucapan ini seperti membuka bendung¬an di hati Cui Lan dan tangisnya makin mengguguk ketika dia membiarkan diri¬nya digandeng dan dibawa pergi per¬lahan-lahan meninggalkan puncak itu. Para pembaca yang pernah mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas, Pendekar Super Sakti, Se¬pasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal siapa adanya Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan pusaka-pusaka peninggalannya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah diceritakan bahwa senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling Emas itu yang terakhir berada di tangan Pu¬teri Nirahai, dipergunakan oleh Puteri Ni¬rahai untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang akhirnya menjadi suaminya. Adapun mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas yang berisikan pelajaran ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dan mujijat seperti Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat dan kipas pada saat terakhir telah ter¬jatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke Pulau Neraka di mana dia akhirnya men¬jadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga menjadi isteri Suma Han si Pende¬kar Super Sakti. Jadi, baik suling emas yang terjatuh ke tangan Puteri Nirahai maupun kipas dan kitab-kitab yang ter¬jatuh ke tangan Lulu, semua telah men¬jadi milik keluarga Pulau Es, yaitu Suma Han si Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw Seng¬jin itu? Hal ini, akan diceritakan kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita karena di dalamnya ter¬dapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat dibuka atau diceritakan. Bayangan putih yang seperti terbang melayang dengan kecepatan luar biasa lari dengan ilmu Jouw-sang-hui-teng (Il¬mu Terbang di Atas Rumput) itu akhir¬nya berhenti di sebuah lapangan terbuka yang penuh rumput hijau di bawah bukit. Bulan masih bersinar terang setelah awan-awan yang menutupnya tadi lewat. Lapangan rumput itu seperti laut ke¬hijauan indah bukan main dan Siluman Kecil berdiri di tepi lapangan rumput, menunduk dan melamun. Pikirannya agak kacau karena pertemuannya dengan Cui Lan tadi. Dia tadi sennaja tidak mau memperhatikan dan bersikap acuh tak acuh terhadap dara itu, disengajanya agar dara itu dapat terbuka matanya bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih dara itu. Tentu saja dia tahu bahwa sejak dahulu ketika dia menolong dara itu, Cui Lan telah jatuh cinta ke¬padanya dan selalu memujanya dan me¬rindukannya. Dia merasa suka dan kasih¬an sekali kepada Cui Lan, akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak dapat men¬cinta dara itu. Dia tidak dapat mencinta siapa-siapa lagi di dunia ini! Dia menger¬ti betapa duka dan merananya orang yang tidak dibalas cintanya, dia terlalu mengerti akan kedukaan ini karena dia sendiri telah mengalaminya! Dia pun pernah mengalami seperti Cui Lan, men¬cinta seseorang mati-matian, penuh ha¬rapan dan bayangan yang muluk-muluk dan mesra-mesra, akan tetapi kenyataan amat pahit menghantam hatinya, bahwa orang yang dicintanya itu tidak mem¬balas perasaan hatinya. Beberapa tahun yang lalu dia hidup merana, bahkan bo¬san hidup, tidak ingin hidup lagi sampai dia tiba di pucak bukit itu, bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin, dan terluka hampir mati. Akan tetapi dia tidak mati, agaknya dia masih diharuskan hidup le¬bih lama untuk memperpanjang hukuman¬nya, yaitu penderitaan batin karena dia tidak dapat melupakan kedukaan hatinya. “Ihhhh....! Kau lagi....?” Bentakan marah ini mengejutkan dan membuyarkan semua lamunannya. Di depannya telah berdiri gadis berpakaian serba hitam tadi, gadis yang membawa ular yang tadinya menyerangnya! “Hemmm....“ Dia hanya menggumam. “Hemmm apa? Kau laki-laki tak berperasaan, kau laki-laki kejam yang suka menghancurkan hati wanita! Kau tidak mempedulikan orang yang mencintamu malah mengejar wanita lain!” Dara sudah mencak-mencak marah dan menudingkan telunjuk yang berkuku runcing terpelihara ke arah hidung Siluman Kecil. Siluman Kecil mengerutkan dahinya dan memandang tajam. “Bocah lancang mulut, apa yang kaumaksudkan itu?” “Huh, mentang-mentang rambutmu sudah putih semua kau lantas boleh me¬nyebut aku bocah, ya? Kaukira aku tidak tahu bahwa sebetulnya kau masih muda, tidak berbeda banyak dengan aku?” Siluman Kecil merasa kewalahan juga menghadapi dara yang begini galak. Dia menarik napas panjang. “Yaaah, terserah. Sekarang katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu itu tadi?” “Maksudnya? Maksudnya sudah jelas masih pakai tanya-tanya segala! Engkau kejam terhadap Cui Lann kautinggalkan begitu saja, tidak tahu kahwa hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Engkau, setelah kaujatuhkan hatinya dengan per¬tolonganmu, dengan kegagahanmu, dengan ketampananmu, lalu kausia-siakan begitu saja. Lebih celaka lagi, kau malah me¬ninggalkan dia dan mengejar aku! Mau apa kau mengejarku? Mau pamerkan kepandaianmu? Mau membunuh aku?” Siluman Kecil beberapa kali membuka mulut akan tetapi terpaksa menutupkan¬nya kembali karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Kata-kata yang keluar dari mulut yang manis itu seperti memberobotnya anak panah yang dilepas dari busur sakti! Dia kini menghela napas lega setelah dara itu menghentikan serangan-serangannya dan dia mengangkat muka memandang gadis itu bertolak pinggang, sikapnya sama sekali tidak takut bahkan menan¬tang, padahal sudah jelas bahwa gadis itu telah dikalahkannya, sungguhpun harus dia akui bahwa tidak mudah mengalahkan dara yang ternyata memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan aneh itu. Baru se¬karang Siluman Kecil merasa serba salah dan canggung. “Aku tidak mengejarmu, Nona.” Akhir¬nya dia berkata singkat. “Dusta kau!” Dan tiba-tiba gadis ber¬pakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut. Siluman Kecil cepat meng¬elak ke sana ke mari sambil berkata, “Aku tidak ingin berkelahi!” Akan tetapi Hwee Li tidak memberi kesempatan ke¬padanya dan terus mendesak dengan pu¬kulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar itu. “Lari ke mana kau?” Hwee Li mem¬bentak dan mengejar. Akan tetapi pada saat itu muncul bayangan orang di balik pohon dan terdengar bentakan halus menegur dara berpakaian hitam itu. “Hwee Li, jangan kurang ajar. Kem¬balilah!” “Eh, Subo....!” Gadis berpakaian hi¬tam itu berseru kaget dan girang. Siluman Kecil cepat lari akan tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang disebut subo oleh gadis itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia seperti pernah melihat wajah itu. Akan tetapi dia tidak ingin bentrok de¬ngan wanita cantik itu yang tentu me¬miliki ilmu kepandaian yang lebih hebat lagi daripada si dara galak, apalagi ka¬rena memang tidak ada permusuhan apa-¬apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu mempercepat gerakannya dan tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu kelihatan melayang cepat sekali di atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang mata dua orang wanita guru dan murid itu penuh kekaguman. Fajar telah menyingsing ketika Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat tapal batas Propinsi Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara. Di depan pintu gerbang telah menanti ba¬nyak orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota An-yang yang hen¬dak memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang oleh para pen¬jaga. Munculnya Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka, karena keadaan pendekar ini me¬mang aneh. Pakaiannya putih dan ram¬butnya juga terurai putih, sebagian me¬nutupi mukanya sehingga menyembunyi¬kan sebagian besar wajah yang tampan. Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita muda yang selalu memandangnya, dengan alis berkerut dan sinar mata tajam penuh selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigainya dan memperhatikan semua gerak-geriknya. Siluman Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak, akan tetapi dia diam saja dan berdiri di sudut yang agak gelap. Wanita itu berpakaian serba hijau, menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan wanita itu sendiri berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup cantik dan membayang¬kan kegagahan. Ketika pintu gerbang dibuka tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyeli¬nap masuk dan mencari sebuah warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari yang cukup dingin itu. Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum ada tamunya seorang pun, maka dia cepat memasuki warung ini dan memesan masakan bubur ayam dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan pesanannya, masuk¬lah tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu bercakap-cakap dengan suara lantang. “Lo-ciang, kenapa engkau tidak ikut memasuki pemilihan jago itu? Siapa tahu, engkau akan terpilih dan kelak menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga aku yang menjadi sahabatmu tentu takkan kaulupakan, ha-ha!” “Enak saja kau bicara, A-seng! Yang dipilih adalah orang-orang yang berilmu tinggi untuk menjadi pengawal gubernur sendiri, dan yang terpandai akan mem¬peroleh kedudukan istimewa. Maka tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini apa? Hanya bisa sekedar meng¬gerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja aku mempunyai kepandaian seperti pendekar Siluman Kecil yang di¬sohorkan orang itu, nah....!” Siluman Kecil memutar duduknya membelakangi mereka, dan ketika pela¬yan datang mengantarkan bubur dan air teh yang dipesannya, dia mulai makan bubur yang masih mengebul panas itu. Tiga orang laki-laki itu masih bercakap-¬cakap ramai akan tetapi tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika ada rombongan orang memasuki warung itu. Siluman Kecil melirik dan melihat bahwa wanita muda berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di pintu gerbang menuntun seorang anak kecil, akan tetapi kini ti¬dak lagi menuntun anak itu, memasuki warung diiringkan oleh lima orang laki-¬laki yang bersikap hormat seolah-olah mereka adalah pengawal-pengawal wanita itu. Begitu mengambil tempat duduk, tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara lantang wanita itu memanggil pe¬layan, kemudian berkata setelah melirik ke arah tiga orang laki-laki muda dan Siluman Kecil, “Pelayan, hidangkan ma¬sakan yang paling istimewa dari warung¬mu ini, dan arak yang hangat dan paling baik. Suguhkan kepada semua tamu atas namaku, aku yang akan membayar semua yang dimakan para tamu di pagi hari ini!” Tiga orang laki-laki muda itu me¬noleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah wanita itu. Seorang di antara mereka berkata, “Kouwnio, banyak terima kasih atas kebaikanmu!” Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka sambil tersenyum dan tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap gembira. Akan tetapi Siluman Kecil tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya, “Harap Twanio tidak perlu repot, saya hanya makan bubar dan air teh, dan akan saya bayar sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu.” “Ah, tidak mengapa, sobat. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan sudah bi¬asa setiap ulang tahun, aku membayar makanan semua tamu di suatu warung seperti ini,” kata wanita itu dengan sikap gembira dan melihat sikap dan mende¬ngar kata-kata Siluman Kecil dapat menduga bahwa wanita ini sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung lagi berhadapan dengan orang, bahkan laki-laki asing. Dia tidak mau berbantah dan agar tidak menarik per¬hatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi memandangnya penuh ke¬curigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika hidangan disajikan oleh pela¬yan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha sedapat mungkin untuk menyem¬bunyikan mukanya. Wanita itu sendiri pun tidak memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang laki-laki yang mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang merupakan rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang yang mau membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan mi¬numan arak, agaknya ingin mabuk-mabuk¬an di atas biaya orang lain! Siluman Kecil cepat menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik se¬kali melihat pemuda ini yang berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda berbangsa asing atau sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak dilihatnya di kota-kota besar. “Sumoi....!” Pemuda asing itu berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau tadi. “Ah, Suheng, kau baru datang?” Wa¬nita itu pun berseru ketika pemuda asing itu menghampiri mejanya. Lima orang pengiring wanita itu ke¬lihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan pemuda asing itu duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata-kata. Pemuda asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau, “Sumoi, dia kulihat di luar dusun.... sedang menuju ke sini.... sendirian.” Wanita muda itu kelihatan terkejut, akan tetapi lalu berkata, “Hemmm, tak kusangka begitu cepat dia datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya. Betapapun juga kita be¬lum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini merayakan berhasilnya usaha¬ku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada tamu-tamu kita yang kujamu untuk merayakan hari ulang ta¬hunku.” Dia bangkit berdiri dan meng¬hadap ke arah meja tiga orang pemuda tadi. “Cu-wi, ini Suheng saya, dan Cu-wi bertiga adalah....“ Wanita itu memper¬kenalkan. “Saya Ma Kok Ciang!” “Saya Kam Seng!” “Saya Kam Tiong!” Tiga orang pemuda itu memperkenal¬kan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura dengan hormat dan mengikuti sumoinya menghadap ke arah Siluman Kecil. “Sobat, Suhengku ingin berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal na¬mamu yang terhormat?” Wanita baju hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil. Pendekar ini menundukkan muka, membiarkan rambutnya menutupi muka¬nya. Sebetulnya dia tidak ingin berkenal¬an dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan hidangan orang, maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik memperkenalkan diri dan cepat pergi dari situ, pikitnya. “Namaku....? Hemmm, panggil saja aku Siluman Kecil,” jawabnya pendek. “Ughhh-ukkkhhhhh!” Seorang di antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya itu me¬nyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak me¬noleh ke arah Siluman Kecil yang me¬reka hanya dapat lihat punggungnya. Se¬dangkan wanita baju hijau dan suhengnya itu pun memandang dengan mata ter¬belalak kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu masih ragu-ragu. Memang sejak berjumpa di pintu gerbang, wanita baju hijau itu sudah menaruh curiga kepada Siluman Kecil dan sudah menduganya bahwa pe¬muda yang berambut putih dan bersikap aneh itu tentu bukan orang sembarangan. Bahkan di dalam warung ini si wanita baju hijau sengaja mencari jalan untuk berkenalan dengan pemuda rambut putih itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa dia itu adalah Siluman Kecil, tentu saja dia meragu dan tidak mudah per¬caya begitu saja. Sliurnah Kecil sendiri setelah mem¬perkenalkan namanya sudah hendak bang¬kit dan pergi, akan tetapi pada saat itu terdengar suara gemuruh dan derap kaki kuda menuju ke depan warung. Seorang pelayan yang tadi berada di luar ter¬gopoh-gopoh memasuki warung dan langsung menemui pemilik warung yang du¬duk di belakang meja. “Celaka, rombong¬an pembunuh dari perkampungan nelayan itu datang!” Pemilik warung menjadi pucat muka¬nya dan semua pelayan juga lari bersem¬bunyi. Melihat ini, Siluman Kecil tidak jadi pergi dan duduk kembali dengan tenangnya, menunduk dan mereguk arak di dalam cawan araknya. Wanita baju hijau itu, bersama suhengnya dan lima orang pengiringnya, juga tiga orang laki¬-laki muda yang sudah agak mabuk, se¬mua menengok ke arah pintu warung. Dengan menimbulkan suara hiruk-¬pikuk masuklah dua puluh orang lebih yang bersikap gagah dan kasar, dipimpin oleh seorang kakek yang pakaiannya ge¬merlapan mewah, pakaian seorang harta¬wan besar. Dengan matanya yang ke¬lihatan makin sipit karena teraling se¬pasang pipi yang gemuk, kakek ini me¬nyapu ruangan warung dengan pandang matanya, kemudian dengan gerakan kepala dia memberi perintah kepada tangan kanannya sebagai pemimpin rombongan, yaitu seorang laki-laki bermuka hitam yang bertubuh tinggi. Laki-laki hitam ini dengan lantang lalu berkata kepada pemilik warung yang masih duduk di be¬lakang meja dengan muka pucat dan agaknya dia telah lumpuh saking takut¬nya sehingga tidak sempat pula menyem¬bunyikan dirinya seperti yang dilakukan oleh para pelayan. “Haaai! Pemilik warung, sudah ber¬bulan-bulan engkau tidak pernah menye¬rahkan hasil tangkapan ikan kepada kami, ya?” kata Si Muka Hitam dengan muka menyeringai dan nada suara menggertak. Pemilik warung itu menelan ludah beberapa kali untuk mengusir rasa takut yang mencekik lehernya sebelum dapat menjawab, “Saya.... saya adalah pengusaha warung.... harap maafkan.... saya tidak lagi menangkap ikan....“ “Bohong!” Si Muka Hitam menghar¬dik, suaranya keras sekali membuat si pemilik warung menjadi makin ketakutan. “Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah bekas nelayan yang pandai? Engkau ma¬sih mempunyai lima buah perahu dan engkau menyuruh orang-orangmu mencari ikan-ikan tetapi hasil ikan-ikan yang baik dan besar kausuruh bawa ke sini, hanya yang kecil-kecil saja kausuruh menjual. kepada kami. Berani kau menyangkal?” Gemetar seluruh tubuh pemilik Wa¬rung itu. Tak disangkanya bahwa Boan¬-wangwe, “raja” kaum nelayan itu demi¬kian cerdiknya, dapat tahu setiap lang¬kah perbuatannya. “Maaf.... ampunkan saya.... saya membutuhkan ikan-ikan baik untuk warung saya....“ “Ha-ha-ha!” Kini Boan-wangwe, harta¬wan itu, tertawa. “Sudahlah! Sekarang kaukeluarkan hidangan dari ikan-ikan yang terbaik, keluarkan semua persediaan masakan dan minuman untuk kami dan kami akan melupakan pelanggaran yang kau lakukan itu. Akan tetapi suruh pergi semua tamu dari sini, kami tidak ingin diganggu.” “Heiii, pelayan! Tambah araknya!” Tiba-tiba terdengar suara si pemuda asing, seolah-olah dia sama aekali tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di situ. Tukang warung itu tergopoh-gopoh mendatangi meja wanita baju hijau itu, membongkok-bongkok dan berkata gugup, “Harap Cu-wi sudi memaafkan saya.... harap sudi meninggalkan saja warung ini dan.... dan Cu-wi tidak usah membayar harga makanan dan minuman tadi....“ “Hemmm, apa artinya ini?” Pemuda asing itu membentak, sikapnya marah. “Maaf, Siauw-ya.... warung ini.... harus melayani Boan-wangwe dan orang¬-orangnya, saya tidak bisa menerima tamu lain, semua telah diborong oleh Hartawan Boan....“ “Tidak peduli yang memborong itu hartawan atau jembel, raja atau petani, dewa atau setan yang bernama Boan atau anjing kera, kami sudah datang lebih dulu dan harus dilayani lebih dulu!” Pemuda asing itu membentak marah. “Hayo tambah lagi araknya!” “Ba.... baik....“ Pemilik warung itu menjadi makin ketakutan dan seperti seekor anjing dipukul dia mundur dan mengkeret, lalu berdiri di belakang meja¬nya dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sementara itu, Si Muka Hitam pim¬pinan rombongan pengikut Boan-wangwe itu, telah melangkah maju sambli mem¬beri isyarat kepada orang-orangnya. Meja wanita baju hijau itu dikurung, akan tetapi wanita baju hijau itu bersama su¬hengnya dan lima orang pengiringnya masih tetap duduk mengelilingi meja dengan sikap tenang. Boan-wangwe sendiri, kakek berpakai¬an mewah itu, hanya tersenyum lalu dengan enaknya duduk di atas bangku di sudut sambil menonton, mengeluarkan huncwe (pipa tembakau) dan mengisinya dengan tembakau, lalu menyulutnya de¬ngan api, semua ini dilakukan dengan tenang seenaknya seperti orang yang hendak menikmati tontonan yang me¬narik. Siapakah kakek ini? Di bagian depan telah kita ketahui bahwa kakek ini adalah seorang bekas bajak laut yang berkepandaian tinggi, dan yang sekarang telah menjadi seorang hartawan, seorang pedagang ikan yang melakukan pemerasan terhadap semua nelayan, melepas uang panas, dan memaksa semua orang nela¬yan untuk menjual hasil tangkapan mere¬ka kepadanya, tentu saja dengan harga murah dan dia mempunyai banyak anak buah yang disebarnya di belasan buah dusun-dusun di sepanjang Sungai Huang¬ho. Hartawan she Boan ini dikenal se¬bagai “raja” kaum nelayan, dan dia me¬rupakan seorang tokoh kaum sesat yang tidak saja kaya raya dan berani menge¬duk saku untuk membantu segolongannya, akan tetapi juga memiliki iimu kepandai¬an yang tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, di waktu ketua Huang¬ho Kui-liong-pang mengundang kaum sesat untuk mengadakan pertemuan di lembah, Boan-wangwe juga tidak keting¬galan dan menjadi seorang di antara para tamu kehormatan. “Orang bule! Agaknya engkau sudah bosan hidup! Hayo lekas engkau dan te¬man-temanmu merangkak keluar kalau tidak ingin kami seret ke luar sebagai mayat!” bentak Si Muka Hitam. Akan tetapi pemuda asing itu ber¬sama sumoinya masih enak-enak meng¬gunakan sumpit lengan tangan kanan untuk menyumpit daging ini atau sayur itu, membawa ke mulut dan memakannya dengan tenang. Mendengar bentakan itu, pemuda asing yang dimaki orang bule itu menoleh, lalu berkata acuh tak acuh, “Hendak kulihat siapa yang akan mampu menyeret aku keluar!” “Keparat!” Si Muka Hitam memben¬tak. Dia merupakan seorang di antara pembantu-pembantu Boan-wangwe dan dalam perjalanan ini dia bahkan memim¬pin rombongan itu, maka tentu saja dia marah bukan main mendengar tantangan si pemuda asing. Sambil memaki dia menghantam ke depan, tangan kanan mencengkeram pundak, tangan kiri men¬jotos ke arah tengkuk. Serangan maut ini kalau mengenal sasaran, tentu akan mem¬buat yang diserang roboh dan tewas se¬ketika dengan kepala remuk. “Plak-plakkk.... aughhh....” Si Muka Hitam itu terlempar ke belakang dan roboh terbanting keras! Ternyata dengan tangan kanan masih memegang sumpit dan melanjutkan makannya, pemuda asing itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya, menangkis dua tangan lawan dan mendorong, membuat Si Muka Hitam terjengkang dan roboh! Tentu saja hal ini membuat semua anak buah Boan-wangwe menjadi marah. Sambil berteriak-teriak mereka bergantian menerjang pemuda asing itu. Akan tetapi sungguh hebat sekali pemuda ini. Dia terus melanjutkan makan minum, ditemani sumoinya yang seolah-olah tidak mempedulikan suhengnya dikeroyok, dan lima orang pengiringnya pun hanya me¬mandang saja dengan sikap siap siaga, akan tetapi sambil melanjutkan makan hidangan, di depannya dengan sumpit, pemuda asing itu menggunakan tangan kirinya, menangkis, menampar, menyodok, merampas senjata dan berturut-turut para pengeroyoknya itu ada yang terpe¬lanting, ada yang terjengkang dan jatuh tumpang tindih! Boan-wangwe yang melihat keadaan anak buahnya ini, mengerutkan alisnya dan dia menggigit ujung huncwenya, mata¬nya memandang marah akan tetapi dia masih duduk karena melihat anak buah¬nya masih bangun lagi dan masih mengu¬rung, kini semua mencabut senjata me¬reka. Lima orang pengiring wanita baju hijau kelihatan bangkit berdiri, meraba gagang pedang di pinggang, akan tetapi wanita baju hijau itu menggeleng kepala. Mereka memandang penasaran, akan te¬tapi ternyata mereka taat sekali karena mereka sudah duduk kembali sambil memandang pemuda asing yang menghabis¬kan hidangan di dalam mangkoknya. Se¬telah hidangannya habis, pemuda asing ini bangkit berdiri dengan muka kesal, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi para pengepungnya. “Kalian sungguh ma¬nusia-manusia yang menjemukan!” katanya perlahan dan pemuda ini menggosok¬-gosokkan kedua telapak tangannya, ke¬mudian kedua tangan itu diputar-putar di depan dada. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar