Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 33.

Jodoh Ratawali Jilid 33:
Jodoh Rajawali Jilid - 33 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 33 “Bocah siluman gunung! Kau sudah berbuat kurang ajar, melempar lumpur sampai pakaianku kotor semua, masih berani membuka mulut lancang dan ko¬tor? Sungguh selama hidupku belum per¬nah aku bertemu dengan anak kurang ajar macam engkau!” Siang In menjadi makin marah. “Engkau siluman jurang! Memang pan¬tas berlepotan lumpur! Memang aku me¬lempar batu ke lumpur, habis kau mau apa? Apakah tempat ini milikmu? Aku mau melempar ke manapun aku suka, kau peduli apa?” Hwee Li menantang. “Bocah ingusan kau harus dihajar!” Siang In marah sekali, tangan kirinya bergerak menampar ke arah pipi Hwee Li. Tamparannya itu cepat bukan main, seperti kilat menyambar, akan tetapi Hwee Li adalah seorang ahli silat tinggi, maka dengan miringkan tubuh saja dia dapat menghindarkan diri dan kontan keras tangan kirinya juga bergerak me¬nampar ke arah pipi Siang In. “Syuuuuuttt....!” Siang In cepat me¬langkah mundur untuk mengelak. “Eh, tahan dulu....! Jangan berkelahi, tahan dulu....!” Kian Lee datang dan pemuda ini tentu saja segera mengenal Hwee Li dan dia berteriak melerai ketika melihat betapa dua orang dara itu sudah saling tampar dan kini bahkan menggerakkan senjata mereka! Melihat munculnya Kian Lee yang melerai, hati Hwee Li menjadi makin panas dan dalam nada suara Kian Lee itu dia menangkap sikap Kian Lee yang membela dan berfihak kepada wanita yang cantik itu. Cemburunya naik ke kepala. Dia membelalakkan matanya, memandang kepada dara itu. Benar can¬tik sekali, dan pakaiannya juga indah. Seorang gadis pesolek yang sinar matanya genit! Melototlah dia kepada Kian Lee, seperti hendak ditelannya bulat bulat pemuda itu. “Kau....! Kau boleh sekalian maju membelanya, boleh dikeroyok dua aku tidak akan surut selangkah pun!” bentak¬nya dan pedangnya sudah digerakkan menyerang Siang In. “Bocah bermulut lancang dan kurang ajar!” Siang In juga marah sekali dan dia menganggap dara berpakaian hitam itu benar-benar tidak tahu sopan santun dan sombong sekali, maka dia cepat meng¬gerakkan payungnya dan menangkis. “Cringgg.... Tranggg....!” Bunga api berpijar ketika ujung payung bertemu dengan ujung pedang dan berkali-kali mereka sudah mengadu senjata dan saling serang dengan hebatnya! “Eh-eh, apa yang terjadi ini....? Tiba-tiba Kian Bu telah datang dengan loncat¬an kilat, di tangan kirinya dia memegang seekor kelinci gemuk. “Bu-te....!” “Ohhh, Lee-ko....!” Kian Bu girang bukan main melihat kakaknya, akan te¬tapi matanya terbelalak memandang ke¬pada dua orang dara yang sedang ber¬tanding hebat itu. Dia kagum juga me¬lihat Siang In yang dapat mengimbangi gerakan pedang Hwee Li yang ganas, dan melihat gadis itu memainkan payungnya dengan gaya yang demikian indah seperti orang menari, teringatlah dia. Gadis berpayung! Tentu saja! Mana mungkin dia dapat melupakan seorang gadis seperti Siang In? Apalagi seorang gadis yang pernah diciumnya? Gadis itu kini makin dewasa dan makin cantik jelita! Karena bingung dan khawatir melihat pertanding¬an dengan senjata itu, Kian Bu tanpa disadarinya sendiri melepaskan kelinci yang tadi dengan susah payah ditangkap¬nya dan dia mendekati tempat pertem¬puran itu sambil berseru, “Nanti dulu! Tahan senjata! Aihhh, berbahaya se¬kali....!” Siang In meloncat ke belakang dan tentu saja dia segera mengenal Siluman Kecil! Dan setelah kini dia melihat wa¬jah Siluman Kecil, hampir dia menjerit! Itulah dia orang yang dicarinya selama ini! Suma Kian Bu! Tapi dia itu Silu¬man Kecil. Lihat rambutnya yang putih semua! “Kau.... Siluman Kecil ataukah Suma Kian Bu....?” tanyanya dengan suara ter¬tahan-tahan dan mukanya berubah agak pucat. Kian Bu tersenyum dan menjura. “Ke¬dua-duanya, boleh pilih yang manapun....“ Kini tahulah Siang In bahwa orang yang selama ini dicari-carinya bukan lain adalah Siluman Kecil! Dan Siluman Kecil kini agaknya bersama dara cantik berpakaian hitam ini, buktinya kini Siluman Kecil berdiri di dekat dara berpakaian hitam itu, kelihatan memihaknya. Sung¬guh aneh sekali, dia merasa betapa hati¬nya panas bukan main, panas dan marah. “Bagus! Kau boleh maju sekalian me¬ngeroyokku!” katanya dan dengan hebat dia sudah menerjang maju dengan payung¬nya, menyerang Hwee Li. “Siluman jahat!” Hwee Li juga me¬maki dan pedangnya bergerak menangkis, lalu dia balas menyerang yang juga da¬pat ditangkis oleh Siang In. Terjadilah pertandingan yang amat seru, sengit, namun sedemikian indah gerakan kedua orang dara yang sama cantiknya ini se¬hingga dua orang kakak beradik dari Pulau Es itu sampai melongo dan amat tertarik. Terdapat persamaan gerakan dari kedua orang dara itu, keduanya se¬perti sedang menari-nari, bukan sedang berkelahi, apalagi karena senjata Siang In adalah sebatang payung yang dapat ter¬buka dan tertutup. Dan gerakan Hwee Li juga indah sekali. Hal ini tidaklah aneh karena selama dia tinggal bersama Puteri Syanti Dewi, Hwee Li diajari menari oleh Puteri Bhutan itu dan memang Hwee Li suka sekali menari sehingga gerakan silatnya tanpa disadarinya sendiri telah kemasukan gerak tari yang indah, namun tidak kehilangan keganasannya! Kakak beradik itu saling pandang dari jauh dan keduanya mengangguk, seolah-olah dengan pandang mata mereka itu keduanya sudah sepakat untuk membiarkan dua orang dara yang sama cantik jelita dan sama pandainya menari dan bersilat itu me¬lanjutkan pertandingan mereka dan me¬reka berdua diam-diam menjaga untuk melindungi dan mencegah kalau sampai ada bahaya mengancam keduanya dari perkelahian itu! Siang In yang sudah menjadi marah dan kini juga penuh dengan hati panas melihat betapa Kian Bu yang dicari-cari¬nya selama ini ternyata berduaan dengan dara cantik ini, membuat kemarahannya bertumpuk-tumpuk, kini mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa, permainan payungnya yang didapatnya dari gurunya, yaitu See-thian Hoat-su kakek yang ber¬tapa di Gua Tengkorak. Memang senjata payung adalah senjata yang istimewa dan karena keanehannya ini maka membi¬ngungkan lawan. Apalagi ketika payung itu terbuka tertutup seperti permainan pedang yang dilindungi tameng, bahkan batangnya yang bengkok itu dipergunakan oleh Siang In untuk mengait leher lawan, sejenak Hwee Li menjadi terdesak dan dibikin kacau permainan pedangnya. Akan tetapi tentu saja Siang In tidak dapat merobohkannya, apalagi menerobos ling¬karan sinar pedang yang hebat itu, hanya mampu mendesak dara pakaian hitam itu. “Serang gagang payungnya, serang bagian tengah tubuhnya!” Tiba-tiba Kian Bu berkata lirih namun terdengar jelas oleh Hwee Li dan juga tentu saja oleh Siang In. Mendengar ini, Hwee Li me¬lihat lowongan itu dan begitu gagang pedangnya menyambar ke arah gagang payung, Siang In menjadi sibuk dan cepat dia menarik payungnya ke belakang. Ke¬sempatan itu dipergunakan oleh Hwee Li dengan baik. “Haiiittttt....!” bentaknya dan dia menekuk lengan kirinya, menyikut perut Siang In! “Ihhhhh....!” Siang In terkejut dan mengangkat kakinya mengelak. Nyaris perutnya kena disikut! Hwee Li menang angin dan terus mendesak dengan pedang¬nya sehingga Siang In terpaksa mundur-mundur sambil memutar payungnya yang terbuka seperti perisai. Kini berbalik terdesaklah Siang In dan hatinya makin panas, makin sakit melihat kenyataan betapa Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya sampai dia jauh-jauh pergi ke Bhutan, pemuda yang seringkali membuatnya bangun dari tidur karena mimpi, pemuda yang pernah menciumnya, selain gulang-gulung dengan dara pakaian hitam yang cantik jelita ini, juga membantu dara ini dan memberi petunjuk sehingga hampir saja dia mati! Betapa kejam hati pemuda itu! Siang In merasa kedua matanya panas dan dia menahan air matanya ketika dia terus memutar payungnya melindungi tubuhnya dari se¬rangan pedang yang amat ganas dari lawannya. Tiba-tiba terdengar Kian Lee berkata, “Pertahanan bawahnya lemah, pergunakan tendangan untuk menghalau desakan!” Juga suara Kian Lee ini jelas ter¬dengar oleh kedua orang dara itu. Siang In menjadi girang dan cepat dia meng¬gunakan kedua kakinya menendang secara bertubi-tubi dengan Ilmu Tendangan Soan-hong-twi. Kedua kakinya bergerak dengan cepat sekali dan payungnya tetap menahan pedang Hwee Li di bagian atas. Terkejutlah Hwee Li. Terkejut dan juga marah bukan main. Kian Lee telah mem¬bantu perempuan ini! Hampir dia men¬jerit dan menangis! Jelas bahwa Kian Lee mencinta perempuan cantik ini, tentu Kian Lee telah terpikat oleh kegenitan wanita ini! Dia terpaksa mundur lagi agar jangan sampai terkena tendangan. Pertandingan itu menjadi makin seru dan makin indah, juga lucu. Kadang-kadang Kian Bu memberi petunjuk ke¬pada Hwee Li, dan sebaliknya Kian Lee memberi petunjuk kepada Siang In. Se¬betulnya, kedua orang kakak beradik ini memberi petunjuk tanpa maksud untuk mencelakakan seorang di antara kedua dara itu, melainkan merasa sudah sepatut¬nya memberi petunjuk teman seperjalan¬an yang terdesak. Biarpun mereka memberi petunjuk, namun di dalam hati me¬reka tidak berfihak, bahkan selalu men¬jaga untuk segera turun tangan mencegah kalau sampai ada yang terancam bahaya terluka. Akan tetapi, tanpa mereka sadari, sikap mereka ini makin menghancurkan hati dua orang dara itu yang terus ber¬tanding mati-matian dengan hati dibakar cemburu dan kebencian! Kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian silat antara dua orang dara itu, harus diakui bahwa tingkat kepandai¬an Hwee Li sedikit lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Siang In. Hwee Li semenjak kecil sudah digembleng oleh seorang yang amat tinggi kepandaiannya seperti Hek-tiauw Lo-mo. Sebagai anak angkat yang dicintanya, tentu saja kakek iblis itu menurunkan semua ilmunya ke¬pada Hwee Li. Kemudian, Hwee Li men¬jadi murid dari Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Sungguhpun menurut janjinya dahulu (baca Kisah Se¬pasang Rajawali) Hwee Li hanya akan berguru tentang racun dan pukulan be¬racun, akan tetapi karena Ceng Ceng kini tidak lagi menyukai ilmu itu, guru ini telah menurunkan ilmu-ilmu silat, bahkan telah “membersihkan” Ilmu silat dari kaum hitam yang dipelajari oleh dara itu dari ayah angkatnya. Maka tidaklah mengherankan apabila dalam per¬tempuran ini, akhirnya Hwee Li yang dapat mendesak Siang In dengan sinar pedangnya yang memang hebat sekali itu. Sifat dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Hwee Li masih amat ganas dan dahsyat sungguhpun Ceng Ceng sudah banyak menyuruhnya membuang bagian¬-bagian yang terlalu ganas dan keji. Karena memang kalah dalam hal main¬kan senjata, akhirnya Siang In yang su¬dah marah dan tidak mau kalah, itu, menggunakan kekuatan sihirnya. Dia ber¬kemak-kemik, mengerahkan kekuatan batinnya dan memandang dengan sepa¬sang mata yang bersinar-sinar, lalu ter¬dengar dia bersuara seperti orang ber¬senandung, “Nona pakaian hitam yang galak engkau sudah lelah dan menyerah¬lah kepada nonamu, berlututlah....“ Aneh sekali, mendengar senandung ini, tiba-tiba saja Hwee Li merasa tubuhnya lemas dan kehilangan tenaga. Pada saat itu, hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut kalau saja tidak terdengar suara Kian Bu yang mengeluarkan bunyi me¬lengking panjang. Suara lengking yang aneh dan perlahan, akan tetapi penuh getaran dan seketika Hwe Li merasa biasa kembali dan pedangnya kembali menjadi ganas. Kembali Siang In merasa hatinya tertusuk, karena untuk ke sekian kalinya Kian Bu membantu Hwee Li. Tadinya, kedua kakak beradik ini hanya ingin menonton permainan silat yang indah itu dan saling membantu agar tidak sampai ada yang celaka, akan te¬tapi lambat-laun mereka berdua terseret pula dan masing-masing merasa heran. Kian Lee mulai memandang dengan ter¬heran-heran dan dengan hati penuh per¬tanyaan. Adiknya itu membela Hwee Li mati-matian, dan mereka berdua juga melakukan perjalanan bersama, kelihatan begitu mesra! Dan memang adiknya itu mempunyai watak yang cocok sekali dengan Hwee Li. Ah, mengapa dia begitu bodoh? Tidak salah lagi, adiknya itu, Kian Bu, tentu jatuh cinta kepada puteri Hek-tiauw Lo-mo ini! Dia tidak tahu bahwa diam-diam Kian Bu juga menduga demikian. Kakaknya melakukan perjalanan bersama dengan Siang In dan kakaknya membantu Siang In mati-matian. Siang In memang cantik jelita dan demikian me¬narik, maka sudah sepatutnyalah kalau kakaknya itu jatuh cinta kepada dara itu. Diam-diam dia merasa bersyukur sungguh pun ada perasaan aneh menyelinap di dalam hatinya. Mengapa tidak kepada Hwee Li kakaknya mencinta? Dia tahu benar bahwa Hwee Li cinta kepada ka¬kaknya! Hwee Li telah begitu berterus terang kepadanya bahwa dara ini amat mencinta Kian Lee, kakaknya. Dan kini melihat gejala-gejalanya, agaknya Kian Lee jatuh hati kepada dara berpayung yang memang sejak dulu pandai bergaya itu, cantik jelita, manis dan memikat sehingga sukar mencari keduanya dara seperti Siang In! “Cukuplah, In-moi, cukuplah.... kita adalah orang-orang sendiri, tidak perlu berkelahi....!” Akhirnya Kian Lee me¬loncat di antara kedua orang dara itu dan melerai. Juga Kian Bu meloncat di depan Hwee Li. Melihat betapa Kian Lee menyebut “ln-moi” demikian mesranya kepada dara itu, Hwee Li tak dapat menahan lagi kemarahannya dan dia lalu membalikkan diri dan lari dari situ sambil terisak menangis! Melihat ini, Kian Bu menjadi khawatir sekali dan juga mengejar dengan cepat. Akan tetapi Hwee Li tidak mau berhenti dan terus berlari, biarpun dihibur dan dibujuk oleh Kian Bu untuk berhenti. “In-moi, mereka itu bukanlah orang lain....“ Akan tetapi baru berkata sampai di sini, Siang In yang hatinya makin panas melihat Kian Bu mengejar Hwee Li, juga membalikkan tubuhnya dan lari sambil menangis pula. Kian Lee terkejut dan cepat mengejar. Demikianlah, dua orang gadls itu melarikan diri ke jurusan yang berlawanan, dikejar oleh kedua orang pemuda itu yang tidak sempat untuk bicara lagi. Dua orang pemuda yang menjadi bingung sekali. Setelah napasnya hampir putus karena berlari terus sambil menangis, akhirnya Siang In berhenti dan menjatuhkan diri¬nya di atas rumput. Muka dan lehernya penuh peluh dan mukanya agak pucat. Kian Lee juga duduk di atas rumput, hatinya menyesal sekali mengapa pertandingan itu berakibat sedemikian ber¬larut-larut. “Jadi.... jadi Siluman Kecil itu adalah adikmu, Suma Kian Bu itu?” Akhir¬nya Siang In berkata dengan terengah¬-engah. “Benar, sudahkah engkau mengenal¬nya?” Kian Lee balas bertanya. “Dan dara itu...., siapakah dia?” “Ah, dia itu bernama Kim Hwee Li, dia.... puteri dari Hek-tiauw Lo-mo.” “Hemmm, pantas! Dan adikmu itu.... Siluman Kecil itu agaknya jatuh cinta kepadanya, ya?” Kian Lee merasa sukar untuk men¬jawab. Dia tidak tahu dengan pasti, akan tetapi melihat betapa tadi Kian Bu mem¬bantu dara pakaian hitam itu....! “Yah, agaknya begitulah,” jawabnya tanpa di¬pikir panjang karena apa salahnya men¬jawab demikian, pikirnya. “Mari kita jumpai mereka.” “Tidak sudi! Kalau aku bertemu de¬ngan perempuan itu, akan kubunuh dia!” tiba-tiba Siang In berkata, suaranya pe¬nuh kebencian. Kian Lee terkejut bukan main dan mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu dengan penuh se¬lidik. Tidak biasa Siang In marah-marah seperti ini! Maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak mempertemukan dua orang dara yang sedang diamuk ke¬marahan itu. Memang Hwee Li telah berlaku keterlaluan, pikirnya, melempar¬kan batu itu sehingga pakaian Siang In menjadi kotor. Dia tidak mengerti mengapa dara itu berbuat seperti itu. Dia menarik napas panjang karena menduga bahwa Hwee Li masih berwatak kekanak-kanakan dan mungkin ketularan watak Hek-tiauw Lo-mo! Sayang, pikirnya. Dara itu tidak jahat seperti ayahnya, mudah-mudahan saja Kian Bu akan dapat men¬didik dan menuntunnya ke jalan benar. Sementara itu, Hwee Li akhirnya juga berhenti karena kehabisan napas. Dia duduk menangis. Kian Bu duduk di depan¬nya, tidak dapat membuka mulut karena dia tahu bahwa Hwee Li marah bukan main. “Dia.... dia telah jatuh cinta ke¬pada gadis siluman itu!” teriaknya dan kembali dia menangis. Kian Bu menarik napas panjang. Dia sendiri juga meragukan kakaknya, mung¬kin saja kakaknya jatuh cinta kepada Siang In. Memang dara itu amat cantik jelita! “Belum tentu, hanya dugaan saja....“ katanya menghibur Hwee Li. Dia tahu kini bahwa Hwee Li marah-marah karena cemburu, “Lebih baik kita jumpai mereka dan kita bicara dengan baik-baik. Gadis itu bukan musuh....“ “Hemmm, agaknya engkau sudah kenal dia? Siapakah dia?” “Namanya Teng Siang In, dia murid dari See-thian Hoat-su....“ “Hemmm, kakek tukang sihir itu? Pantas dia menjadi siluman! Kalau aku bertemu dengan dia, harus kubunuh silu¬man itu!” Melihat kemarahan dan kebencian Hwee Li, Kian Bu beranggapan bahwa memang belum waktunya menemui kakaknya dan Siang In, karena kalau hal itu terjadi, sukarlah untuk menahan gadis ini mengamuk! “Kalau begitu, mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau engkau tidak dapat menemukan jalan rahasia itu, sebaiknya kita langsung saja naik ke atas tembok benteng.” Dan pada saat Kian Bu bicara dengan Hwee Li, Kian Lee bicara dengan Siang In itulah, tiba-tiba terdengar suara hiruk¬ pikuk dari jauh. itulah suara pasukan¬pasukan dari kerajaan yang mulai me¬nyerbu benteng dan seperti kita ketahui, penyerbuan dua kali dalam sehari yang diatur oleh Puteri Milana itu mengalami kegagalan. *** Sekali ini Puteri Milana merasa pu¬sing bukan main. Benar-benar dia dibuat tidak berdaya oleh Jenderal Kao karena segala usahanya untuk menggempur ben¬teng itu selalu gagal dan anak buahnya selalu dipukul mundur. Agaknya siasat apa pun yang dipergunakannya, telah diketahui belaka oleh Jenderal Kao se¬hingga tidak ada hasilnya sama sekali. Ketika beberapa hari kemudian kembali dia mengusahakan penyerbuan besar-besaran, di antara hujan anah panah, ada sebatang anak panah yang diikat sehelai surat. Seorang perajurit memungut anak panah ini dan cepat menyerahkan surat yang dibawa oleh anak panah itu. Puteri Milana cepat membacanya dan ternyata surat itu adalah tulisan dari Jenderal Kao Liang sendiri! Panglima Puteri Milana! Jangan menyerang. Kepung saja rapat¬-rapat. Kami akan bakar gudang ransum. Tunggu gerbang dan menara me¬ledak, baru serbu. Kalau tidak menurut ini, takkan berhasil. Jenderal Kao Liang Puteri Milana merasa girang membaca surat ini, akan tetapi juga meragu. Apa maksud jenderal itu? Bagaimana kalau berita yang dikirim ini palsu? Akan tetapi, Jenderal Kao menyebut “kami”, siapa tahu jenderal itu telah berhubungan dengan suaminya yang dia percaya tentu telah berhasil menyelundup ke dalam benteng. Memang tidak salah dugaan panglima wanita ini. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu tidak begitu sukar bagi Bun Beng untuk menyelundup masuk dengan cara merayap tembok dan menghindarkan diri dari jebakan-jebakan yang dipasang di atas tembok. Dia tidak begitu sem¬brono sehingga dia dapat menyelinap masuk ke dalam benteng itu tanpa di¬ketahui oleh seorang pun. Benarkah tidak diketahui oleh seorang pun? Kiranya tidak demikian, karena betapapun lihai¬nya Bun Beng, tetap saja dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya sendiri kakinya menginjak alat rahasia yang akibatnya hanya Jenderal Kao seorang yang me¬ngetahui akan kedatangannya! Jenderal ini ketika membangun benteng dan mem¬buat alat-alat jebakan dan alat-alat ra¬hasia, diam-diam memasang semacam alat rahasia yang kalau dilanggar oleh pendatang yang menyelundup, hanya dia seorang yang mengetahuinya. Dan begitu dia mengetahui, dia sudah cepat ber¬hubungan dengan Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia secara rahasia pula! Bagaimana pula ini? Ternyata Ang-siocia dan suhunya yang amat cerdik itu, dengan kepandaian mereka menyamar dan mendandani orang, telah dapat menarik hati koksu dan mereka berdua selamat dan diampuni dari dosa-dosa mereka ketika mereka menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dahulu itu, bahkan mereka lalu diangkat sebagai pambantu-pambantu yang diawasi gerak¬geriknya. Mereka, seperti Jenderal Kao, tidak boleh keluar, akan tetapi kecerdik¬an Ang-siocia tidak memungkinkan koksu dan kaki tangannya mengetahui betapa guru dan murid ini secara diam-diam mengadakan hubungan rahasia dengan Jenderal Kao Liang! Touw-ong dan Ang-siocia segera tahu akan duduknya semua perkara, dan tahu pula bahwa jenderal itu membantu fihak pemberontak hanya karena terpaksa oleh keadaan, yaitu karena semua keluarganya tertawan. Maka, dengan cerdik Ang-siocia lalu menghubungi jenderal ini yang se¬gera menaruh kepercayaan besar kepada mereka dan diam-diam dua orang ini menjadi pembantu-pembantu Jenderal Kao Liang yang seperti telah diduga oleh puteranya sendiri dan oleh Gak Bun Beng dan para orang gagah lainnya, diam-diam mempunyai rencana yang hebat terhadap para pemberontak yang telah memaksa¬nya berkhianat itu! Maka, ketika Jende¬ral Kao tahu akan kedatangan orang pandai, karena hanya orang pandai sekali sajalah yang tidak sampai melanggar jebakan-jebakan, hanya tanda rahasia un¬tuk dirinya sendiri, cepat dia memberi tanda rahasia kepada Ang-siocia dan gurunya untuk “menyambut” kedatangan orang pandai itu dan dia menunjukkan di mana tempat orang pandai itu datang yang diketahuinya dari alat rahasia yang oleh Bun Beng itu. Demikianlah, dapat dibayangkan be¬tapa kagetnya Bun Beng ketika baru saja dia melayang turun di tempat yang amat sunyi, di taman yang indah dalam ben¬teng itu, suara wanita yang halus me¬negurnya, “Selamat datang, sahabat!” Baru saja berhenti bicara mulut Ang-siocia, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena orang itu dengan kecepatan kilat telah menotoknya tanpa ia mampu bergerak sama sekali. Ang-siocia terkejut bukan main dan dengan tidak berdaya sama sekali dia merasa betapa tubuhnya dipondong dan dibawa ke belakang sebuah gudang, di mana terdapat lampu pene¬rangan. Orang itu memeriksanya di ba¬wah lampu dan ketika melihat bahwa dia benar-benar seorang wanita muda yang cantik, orang itu kembali membawanya menyelinap ke dalam gelap lalu membuka totokannya, akan tetapi jari-jari tangan yang kuat menempel di tengkuknya dan orang itu berkata, “Jawablah baik-baik. Kalau berteriak, sekali tekan kau akan mati!” “Sialan dangkalan....!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa mengomel dan merengut, mengerling kepada laki-laki setengah tua yang lihainya bukan alang kepalang itu. Laki-laki itu adalah Bun Beng dan dia merasa sungkan juga harus menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita yang ternyata adalah seorang gadis muda yang cantik. Akan tetapi dia berada di sarang musuh, di dalam benteng yang berbahaya dan kedatangannya yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati itu ter¬nyata telah ketahuan oleh gadis ini! “Ha¬yo kau cepat bawa aku kepada Jenderal Kao, dan jangan sampai ketahuan oleh penghuni lain dari benteng ini. Awas, nyawamu berada di tanganku!” Akan tetapi jawaban gadis itu benar-benar mencengangkan Bun Beng. “Justeru aku menyambutmu adalah atas perintah Jenderal Kao Liang yang sudah menge¬tahui akan kedatanganmu. Akan tetapi ternyata kau bukan manusia baik-baik, melainkan seorang yang kasar dan kejam. Tidak, aku tidak mau membawamu ke¬pada Jenderal Kao, karena agaknya eng¬kau berniat buruk. Biar kau seribu kali membunuh aku, aku Ang-siocia sudah berani memasuki sarang naga dan hari¬mau ini tentu tidak takut mampus!” Ma¬rah sekali Ang-siocia, bukan hanya kare¬na dia diancam dan diperlakukan dengan kasar, akan tetapi melihat kenyataan betapa dia sama sekali tidak berdaya, tidak berkutik ketika ditangkap dan di bawa ke tempat terang lalu diseret lagi ketempat gelap, dibebaskan totokannya dan kini tengkuknya diancam. Seperti ayam yang sama sekali tidak berdaya! Padahal biasanya dia amat mengandalkan kepandaiannya! “Ah, maafkan aku.... siapakah eng¬kau?” Bun Beng bertanya. “Hemmm, orang kasar. Engkaulah yang harus lebih dulu memper¬kenalkan diri, baru aku akan mempertimbangkan apakah engkau pantas untuk kubawa kepada Jenderal Kao ataukah tidak.” Menghadapi gadis yang ternyata be¬rani mati ini, Bun Beng merasa tidak berdaya. Akan tetapi dia sudah amat tertarik, karena kalau gadis ini adalah pembantu Jenderal Kao, bahkan tadi menyatakan bahwa gadis ini sudah berani memasuki gua harimau dan naga, maka berarti bahwa gadis ini bukanlah kaki tangan dari musuh! “Namaku adalah Gak Bun Beng, Jen¬deral Kao tentu mengenalku.” Sepasang mata yang jeli itu terbe¬lalak. “Gak.... Gak-taihiap....?” Ang-siocia berseru dengan kaget sekali. “Ah, maafkan aku yang tidak mengenal Tai¬hiap, mari kita cepat pergi dari sini, menemui suhu. Taihiap harus cepat me¬nyamar, sesuai dengan rencana kami atas perintah Jenderal Kao,” bisiknya dan tanpa ragu-ragu lagi Ang-siocia meng¬gandeng tangan pendekar itu dan dibawa¬nya pergi menyelinap melalui semak-semak dan memasuki pintu belakang sebuah pondok. Mereka tiba di dalam sebuah kamar dan di situ telah menanti seorang kakek yang mukanya hitam. Kakek itu segera menjura dan berkata, “Selamat datang, Gak-taihiap, kami sungguh lega dan gi¬rang sekali melihat Taihiap datang.” Bun Beng memandang penuh perhatian akan tetapi dia tidak mengenal kakek dan gadis ini, walaupun kini dia dapat melihat wajah mereka dengan jelas. Ga¬dis itu benar-benar seorang gadis muda yang cantik dan lincah, nampak gagah dan berani, sedangkan kakek itu biarpun mukanya hitam, namun memiliki sepasang mata yang tajam. Bun Beng segera menjura kepada mereka. “Agaknya Ji-wi telah mengenal¬ku, akan tetapi maaf kalau aku tidak mengenal siapa Ji-wi dan apa hubungan Ji-wi dengan Jenderal Kao.” Sebelum guru dan murid itu sempat menjawab, terdengar pintu depan diketuk orang! Guru dan murid itu kelihatan terkejut dan terdengar Touw-ong ber¬tanya, “Siapa di luar?” “Touw-ong, apakah Ang-siocia di da¬lam?” Mendengar suara Ngo-ok, guru dan murid itu makin kaget dan Bun Beng dengan tenang dan waspada mengamati gerak-gerik mereka. “Aku di sini. Ada apakah, Siansu?” tanya Ang-siocia. “Aku disuruh oleh koksu untuk me¬manggilmu, Ang-siocia. Ada urusan pen¬ting hendak dibicarakan. Sekarang juga!” terdengar suara dari luar itu. Ang-siocia memandang gurunya yang mengangguk, dan gadis itu lalu melang¬kah menuju ke depan untuk membuka pintu depan. “Dia itu Ngo-ok Toat-beng Siansu, saya harus membayangi dan me¬lindungi murid saya, harap Taihiap tung¬gu di sini!” Tentu saja Bun Beng belum percaya sepenuhnya kepada guru dan murid yang belum dikenalnya itu, maka dia berkata, “Biar aku yang membayangi.” Touw-ong terkejut bukan main dan seperti yang dialami oleh muridnya tadi, tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya lemas karena ter¬totok! Sebetulnya, tingkat kepandaian Touw-ong sudah cukup tinggi dan kiranya tidaklah akan demikian mudah bagi Bun Beng untuk menotok kakek itu dengan sekali gerakan saja, akan tetapi gerakan Bun Beng tadi sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakek itu sehingga dia hanya melihat tangan pendekar itu berkelebat dan tahu-tahu dia telah roboh lemas. Akan tetapi Si Raja Maling ini tidak menjadi heran karena dia sudah men¬dengar nama besar pendekar Gak Bun Beng ini sebagai seorang pendekar yang luar biasa tinggi ilmunya. Ang-siocia sudah membuka pintu dan mengikuti kakek tinggi seperti pohon bambu itu keluar dari pondok. Nona ini memang sengaja bersicepat agar Ngo-ok tidak melongok ke dalam di mana terdapat seorang asing. Dia tidak tahu betapa Bun Beng malah telah meroboh¬kan gurunya dan kini bagaikan bayangan setan telah mengikutinya dengan diam-diam dari jarak tidak terlalu jauh, akan tetapi dengan amat hati-hati karena Gak Bun Beng sudah terkejut sekali ketika mendengar dari Si Raja Maling tadi bah¬wa si jangkung itu adalah Ngo-ok Toat-beng Sian-su. Tentu saja dia pernah men¬dengar nama Im-kan Ngo-ok dan tidak disangkanya sama sekali dia akan me¬lihat seorang di antara mereka berada di tempat ini. Memang dia dan Milana be¬lum mendengar bahwa Im-kan Ngo-ok berada di dalam benteng lembah, bahkan Kian Bu dan Hwee Li sendiri pun belum tahu maka kedua orang muda ini tidak menceritakan tentang adanya Im-kan Ngo-ok itu kepada Milana. Baru dari Ceng Ceng dan suaminya dia mendengar tentang mereka. Di tempat yang sunyi, tiba-tiba Ang-siocia berhenti dan menegur si jangkung yang berjalan di depannya, “Eh, kita mau ke mana?” “Ke sana! Koksu menanti di sana,” jawab si jangkung menuding ke arah sebuah pondok. “Aneh, kenapa koksu tidak menanti di tempat tinggalnya sendiri?” Ang-siocia mengomel akan tetapi dia melangkah terus bersama si jangkung. Setelah mere¬ka tiba di depan pondok yang sunyi itu, tiba-tiba si jangkung membuka pintu dan berkata, “Mari kita menemui koksu.” Dia lalu memegang lengan gadis itu dan menariknya masuk, menutupkan kembali pintu itu, lalu dia menyeringai. Ang-siocia terkejut bukan main. Pon¬dok itu kosong dan melihat sikap si jang¬kung itu, jelaslah apa kehendaknya. “Mau apa kau? Mana koksu? Biarkan aku keluar!” teriaknya, akan tetapi tiba-tiba tangannya sudah disambar oleh tangan Ngo-ok. “Nona, sudah lama aku tergila-gila kepadamu!” “Eh, lepaskan aku!” bentak Ang-siocia, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya ter¬angkat ke atas dan dipegang oleh se¬belah tangan saja, dia tidak berdaya melepaskan diri sama sekali, sedangkan tangan yang lain dari si jangkung itu bergerak hendak merenggut pakaian Ang-siocia. Dara itu terkejut setengah mati, kaki¬nya menendang ke depan, ke arah perut si jangkung itu. “Desss....! Hukkk....!” Ngo-ok me¬lepaskan tubuh Ang-siocia dan tubuhnya terhuyung ke belakang, matanya ter¬belalak memandang ke arah gadis itu. Tak disangkanya bahwa tendangan nona itu sedemikian kuatnya sehingga perutnya seketika terasa mulas! Dia tidak tahu bahwa sebenarnya yang menghantam perutnya bukanlah kaki atau tendangan Ang-siocia melainkan sambaran angin pukulan yang dilakukan oleh Gak Bun Beng dari luar pondok. Pendekar ini me¬ngintai dari jendela dan pada saat Ang-siocia menendang, dia telah membantu¬nya dengan pukulan jarak jauh, tepat¬ mengenai perut si jangkung yang amat lihai itu. Orang lain yang disambar angin pukulan jarak jauh dari Gak Bun Beng, tentu akan remuk isi perutnya, akan tetapi Ngo-ok hanya merasa mulas saja sebentar! Marahlah Ngo-ok dan kini dia meman¬dang kepada Ang-siocia dengan mata disipitkan dan mukanya berubah menye¬ramkan. “Tunggu!” Ang-siocia yang cerdik cepat berseru. “Ingat, aku telah meneri¬ma janji dari Sam-ok atau koksu bahwa kalau perjuangan ini selesai, aku akan diambil selir olehnya. Kau sama sekali tidak boleh ganggu aku!” Mendengar ini, Ngo-ok terkejut, akan tetapi dia lalu menyeringai. “Kalau be¬gitu, aku takkan membunuhmu, hanya mendahuluimu apa salahnya? Heh, ten¬danganmu boleh juga.” Ang-siocia sudah merasa heran sen¬diri betapa tendangannya tadi dapat mem¬buat terlepas pegangan kakek jangkung itu, bahkan membuatnya terhuyung. Akan tetapi kini melihat kakek itu melangkah maju, dia menjadi gentar. “Kalau kau memaksaku, aku akan menceritakan kepada koksu, hendak kulihat apakah dia tidak akan marah dan menghukummu!” Mendengar ini, Ngo-ok menjadi ragu-ragu. Dia kena digertak dan dia mulai melihat bahaya kalau dia memaksa. “Ah, Nona Manis, mari layani aku sebentar.... aku tidak akan menyakitimu....“ Akan tetapi Ang-siocia sudah lari ke pintu. “Kalau kau tidak menyentuhku, aku tidak akan bicara apa-apa kepada koksu!” katanya sehingga ketika Ngo-ok hendak mengejar, si jangkung ini kem¬bali tertegun dan meragu. Ang-siocia terus berlari cepat dan teringat akan ini, Ngo-ok mengejar, akan tetapi begitu keluar dari pintu pondok, dia jatuh me¬nelungkup! Dia cepat bangkit dan men¬caci-maki ambang pintu, akan tetapi diam-diam dia merasa heran sekali bagai¬mana dia, seorang ahli berlari cepat dengan kaki yang panjang dan langkah yang tinggi, dapat tersandung pada am¬bang pintu sampai jatuh menelungkup? “Setan....!” dia mengomel lalu pergi dari situ. Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang membuatnya jatuh menelungkup tadi bukanlah ambang pintu melainkan Gak Bun Beng! Ang-siocia memasuki pondoknya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ke¬tika dia melihat gurunya rebah dalam keadaan tertotok. Selagi dia hendak menolong, tiba-tiba dari belakangnya, Gak Bun Beng sudah memegang lengan¬nya dan pendekar ini bertanya, “Apa artinya janji koksu mengambilmu sebagai selir itu?” Ang-siocia menjadi terkejut bukan main dan seketika mukanya menjadi me¬rah. Pendekar ini tadi telah membayangi¬nya dan melihat segalanya! Teringatlah dia akan tendangannya yang ampuh tadi dan dia menduga bahwa tentu pendekar sakti inilah yang tadi telah membantunya. Bun Beng memandang tajam dan tidak peduli melihat nona itu marah, bahkan dia mengerahkan tenaga ketika Ang-siocia meronta untuk melepaskan tangannya sehingga pegangannya makin erat dan nona itu tidak berhasil melepas¬kan diri. “Benarkah engkau menjadi calon selir Koksu Nepal?” tanyanya dengan suara mendesak, sinar matanya tajam penuh selidik. Kalau benar gadis ini, yang me¬mang cantik dan lincah, menjadi calon selir koksu, maka gadis ini berarti kaki tangan musuh! Kalau menuruti hatinya, ingin Ang-siocia memaki dan mengejek, menyatakan kalau dia menjadi calon selir koksu, pen¬dekar itu mau apa? Akan tetapi dia tahu akan gawatnya keadaan, apalagi melihat gurunya dalam keadaan tertotok tak berdaya, maka biarpun hatinya terasa panas sekali, dia menjawab juga dengan marah. “Kalau aku tidak menggertak Ngo-ok yang gila itu, mana aku bisa lolos? Siapa sih yang sudi menjadi selir manu¬sia macam Koksu Nepal?” Dia berkata setengah berteriak saking marahnya ka¬rena dia dicurigai. “Sssttttt..... jangan keras-keras ber¬teriak!” Bun Beng yang kini menjadi sibuk mendengar dara itu berteriak, ka¬rena kalau sampai terdengar orang tentu berbahaya. “Biar aku berteriak! Biar diketahui semua orang, aku tidak sudi menjadi selir koksu!” “Sudahlah, aku bersalah telah men¬curigarmu, Nona,” kata Gak Bun Beng sambil melepaskan pegangannya. Ang-siocia cemberut dan mengurut-urut lengannya yang terasa nyeri karena dipegang erat-erat tadi. “Habis Gak-taihiap terlalu tidak percaya kepada orang sih! Dan mengapa Suhu menjadi begini?” “Maaf, maaf.... sekarang aku baru percaya,” kata Gak Bun Beng dan pen¬dekar ini segera membebaskan totokan¬nya yang membuat tubuh Si Raja Maling menjadi lumpuh itu. Touw-ong dapat bergerak lagi dan dia pun memandang kepada pendekar itu dengan alis berkerut. “Sungguh aneh si¬kap Taihiap yang terlalu tidak percaya kepada kami guru dan murid,” katanya setengah menegur. Gak Bun Beng kembali minta maaf dan Ang-siocia yang tahu bahwa gurunya merasa tidak senang lalu cepat berkata, “Sudahlah, Suhu. Gak-taihiap merasa berada di benteng musuh, maka tentu saja dia terlalu berhati-hati. Tadi aku hampir celaka oleh Ngo-ok yang ternyata memancingku keluar dengan niat jahat. Untung ada Gak-taihiap yang diam-diam membantu, kalau tidak, tentu muridmu ini sudah celaka, Suhu.” Ang-siocia lalu menceritakan tentang pengalamannya yang hendak diperkosa oleh Ngo-ok dan betapa Gak Bun Beng telah menolong dengan ilmunya yang tinggi. Mendengar ini, lenyaplah rasa mendongkol di dalam hati Touw-ong. Dia lalu menjura kepada Gak Bun Beng. “Ah, terima kasih saya haturkan ke¬pada Gak-taihiap yang telah menyelamat¬kan murid saya....“ Gak Bun Beng menggoyang tangannya dengan tidak sabar. “Sudahlah, kita ada¬lah orang sendiri, menghadapi musuh yang sama, maka perlu apa banyak sungkan lagi? Lebih baik Ji-wi menceritakan kepada saya tentang keadaan di dalam benteng ini dan siapa-siapa saja yang, tertawan, siapa pula yang menjadi pembantu koksu, siapa di antara mereka yang lihai.” “Sebelum kita bicara, kurasa lebih baik kalau Gak-taihiap menyamar pula, agar tidak sampai mudah ketahuan mu¬suh. Gak-taihiap dapat mendengarkan kami bercerita sambil melakukan penya¬maran yang akan dikerjakan oleh Suhu.” Mendengar kata-kata muridnya yang cerdik ini, Touw-ong mengangguk. “Me¬mang sebaiknya demikian. Bentuk tubuh Taihiap tidak banyak selisihnya dengan saya, dan saya cukup dikenal di sini, kalau Taihiap menyamar sebagai saya, tidak akan dapat diganggu dan Taihiap dapat bergerak dengan leluasa pula.” Gak Bun Beng setuju dan Touw-ong mulai “mengerjakan” muka dan pakaian Gak Bun Beng sehingga pendekar ini mulai dibentuk menjadi Touw-ong ke dua! Sambil mengerjakan penyamaran itu, Touw-ong dibantu oleh muridnya lalu menceritakan semua keadaan di dalam benteng yang didengarkan penuh perhati¬an oleh pendekar itu. Bun Beng men¬dengar betapa Puteri Syanti Dewi tadinya juga tertawan di situ kini telah lolos secara aneh, tanpa ada yang tahu siapa yang menculiknya. Kemudian dia men¬dengar betapa pemuda Ang Tek Hoat si Jari Maut juga berada di dalam benteng, betapa pemuda Itu telah tertipu dan mengira bahwa Syanti Dewi masih berada di situ sebagai tawanan. “Kami yang merias seorang dayang menyerupai Syanti Dewi” kata Ang-siocia sambil tertawa. “Yang dikira Syanti Dewi itu adalah seorang perempuan Nepal dan Ang Tek Hoat percaya sepenuhnya.” Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, “Hemmm, bocah itu wataknya aneh, juga memiliki kepandaian yang amat lihai. Lebih baik biarkan saja dia begitu, biar¬kan dia tertipu yang akan membuat dia tenang. Kalau dia tahu bahwa dia tertipu tentu dia akan membuat geger dan hal ini bisa membocorkan rahasia kita.” Kemudian guru dan murid itu bercerita tentang usaha mereka yang sudah berhasil menghubungi Jenderal Kao Liang. “Sungguh kasihan sekali jenderal yang gagah perkasa itu,” kata Touw-ong, “Dia seperti seekor naga yang telah terjebak dalam kurungan. Seluruh keluarganya ter¬tawan, maka mau tidak mau dia harus menuruti semua permintaan koksu. Akan tetapi, jenderal yang gagah perkasa itu tentu saja tidak mau tunduk begitu saja hanya untuk menyelamatkan keluarganya. Dia memiliki rencana yang amat hebat dan besar, dan hanya di dalam tangannya sajalah terletak siasat yang akan menghancurkan pemberontak ini, akan tetapi kepada kami pun dia tidak mau membuka rencana siasatnya itu.” Touw-ong lalu melatih Bun Beng un¬tuk bergaya dan bicara seperti dia agar penyamarannya menjadi sempurna. Ke¬mudian pendekar sakti ini dibawa oleh Ang-siocia untuk menemui Jenderal Kao Liang. Ketika bertemu dengan Gak Bun Beng sepasang mata jenderal yang gagah perkasa itu menjadi basah. Dia tidak banyak bicara, hanya memegang tangan pendekar itu dan suaranya tergetar ketika dia berkata, “Girang bukan main rasa hatiku dapat bertemu dengan Gak-taihiap di sini. Sekarang makin yakinlah hatiku bahwa aku akan dapat menghancurkan mereka ini dan keluargaku akan dapat diselamatkan!” Gak Bun Beng menekan tangan jen¬deral itu. “Percayalah, Goanswe, saya akan membantu sampai keluargamu se¬mua selamat.” Mereka tidak berani terlalu lama bicara karena mereka tahu bahwa biar¬pun Jenderal Kao Liang, Touw-ong dan Ang-siocia bebas dalam benteng itu, namun mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang selalu diawasi secara diam-diam oleh koksu. Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu ber¬pamit dan pergi lagi kembali ke tempat tinggal Touw-ong bersama Ang-siocia. Bukan hanya Jenderal Kao yang ber¬besar hati dengan kehadiran Gak Bun Beng, juga Touw-ong dan muridnya merasa girang sekali dan mereka lalu meng¬adakan perundingan secara diam-diam untuk mengatur siasat kalau saat yang baik bagi mereka untuk bergerak sudah tiba. Koksu Nepal merasa girang bukan main melihat hasil baik dari pertahanan Jenderal Kao terhadap penyerbuan tenta¬ra kerajaan yang dipimpin oleh Milana. Berkali-kali serangan dari pasukan kera¬jaan itu dapat dihalau dan dipukul mun¬dur. Dan pada malam itu, saking girang¬nya, Koksu Nepal bersama para saudara¬nya dalam gerombolan Im-kan Ngo-ok, mengadakan pesta kemenangan untuk menghormat dan menyenangkan hati Jen¬deral Kao Liang. Pesta besar diadakan dan semua pembantu diundang. Gak Bun Beng yang menyamar se¬bagai Touw-ong menggantikan tempat Touw-ong yang juga tidak ketinggalan diundang, mendatangi tempat pesta ber¬sama Ang-siocia. Dalam kesempatan ini Gak Bun Beng dapat melihat sendiri semua anggauta Im-kan Ngo-ok. Juga dia dapat memperhatikan pula Ang Tek Hoat, pemuda lihai yang berwatak aneh dan keras, keturunan dari Wan Keng In itu. Juga dia melihat Syanti Dewi palsu yang kelihatan sengaja di jauhkan dari para tamu lain oleh Koksu Nepal. Diam-diam Gak Bun Beng merasa kagum kepada Touw-ong dan muridnya karena harus diakuinya bahwa dia sendiri pun tidak akan menduga bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi yang palsu! Juga di dalam pesta itu, Koksu Nepal memberi kesem¬patan kepada Jenderal Kao untuk bertemu dengan para keluarga jenderal itu yang diperbolehkan menghadiri pesta. Karena Koksu Nepal benar-benar me¬rasa bersyukur dan gembira, bahkan mulai percaya akan kejujuran Jenderal Kao mempertahankan benteng, maka dalam kesempatan itu sang jenderal diperboleh¬kan untuk beramah-tamah dengan keluarganya. Akan tetapi, pertemuan dalam pesta itu sungguh mengharukan hati Gak Bun Beng. Jenderal Kao Liang tidak dapat menahan keharuan hatinya. Di depan begitu banyaknya orang, yaitu tokoh-tokoh pembantu dari Koksu Nepal, juga di mana hadir pula Pangeran Bha¬ruhendra atau Pangeran Liong Bian Cu, jenderal tua ini merangkul isterinya, ke¬mudian anak-anaknya dan semua ang¬gauta keluarganya seorang demi seorang. Ada beberapa tetes air mata menitik turun dari kedua matanya. Adegan yang mengharukan ini dipecahkan oleh suara Pangeran Liong Bian Cu. “Kao-goanswe, pekerjaanmu sungguh amat baik sekali. Dan kalau sampai kita memperoleh kernenangan, tentu engkau akan dapat segera pulang ke kampung bersama keluargamu. Akan tetapi sayang, kita sekarang agaknya terancam bahaya, kita telah dikepung musuh dan agaknya musuh hendak memperketat kepungan, membikin putus hubungan antara kita dengan dunia luar benteng.” Jenderal Kao Liang lalu meninggalkan keluarganya, menghadapi pangeran itu dan berkata, “Harap Pangeran tidak berkecil hati. Saya dapat menghadapi kepungan itu.” “Ha-ha-ha, hal itu tidak perlu dikha¬watirkan, Pangeran. Berkat siasat Jende¬ral Kao Liang yang sudah lama memper¬hitungkan kemungkinan bahaya ini, gu¬dang-gudang kita telah penuh dengan ransum kering yang akan cukup untuk kita pakai selama satu tahun! Dan tidak mungkin musuh dapat bertahan menge¬pung kita selama itu dan sudah tentu Kao-goanswe telah memiliki siasat lain untuk menghadapi pengepungan musuh,” kata Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma, koksu dari Nepal itu. “Kong-kong, kenapa Kong-kong me¬nangis? Ayah dan lbu selalu bilang bahwa Kong-kong adalah seorang yang gagah perkasa, dan ayah ibu bilang bahwa se¬orang yang gagah pantang menangis. Mengapa Kong-kong menangis?” Tiba-tiba terdengar suara nyaring ini yang membuat semua orang memandang ke¬pada Cin Liong, karena bocah itulah yang mengeluarkan suara nyaring ini. Jenderal Kao sendiri menoleh dan muka¬nya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada cucunya itu. Diam-diam Gak Bun Beng memandang kagum kepada anak itu. Dia dapat men¬duga bahwa tentu anak itulah yarg oleh Ang-siocia diceritakan sebagai anak dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, putera dari Kao Kok Cu dan Ceng Ceng! Seorang bocah yang hebat, pikirnya. Dan dia dapat mengerti betapa perih perasaan hati seorang gagah seperti Jenderal Kao mendengar teguran seperti itu keluar dari mulut cucunya yang masih kecil! Melihat keadaan yang menegangkan yang ditimbulkan oleh kata-kata anak kecil itu, Koksu Nepal lalu mengambil tindakan halus. Dia lalu menyuruh penga¬wal mengantar kembali semua keluarga Kao, juga termasuk Syanti Dewi palsu, untuk kembali ke tempat mereka dan meninggalkan ruangan pesta itu. Ang Tek Hoat yang sejak tadi belum berhasil mendekati Syanti Dewi, merasa kecewa, akan tetapi dia tidak melakukan sesuatu. Bagi pemuda ini, sudah cukuplah kalau dia dapat melihat kekasihnya itu dalam keadaan sehat dan selamat. Pesta dilanjutkan sampai lewat tengah malam. Jenderal Kao minum sampai mabuk, dan melihat ini, Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu bersama Ang-siocia merangkul Jenderal Kao dan membawanya kembali ke kamar¬nya. Dalam perjalanan mengantar Jenderal Kao ini sampai tiba di kamarnya, mereka berunding. Perundingan singkat itulah yang mem¬buat Panglima Milana menemukan surat pemberitahuan Jenderal Kao ketika pada keesokan harinya kembali Milana menge¬rahkan pasukannya menyerbu. Anak panah mengandung surat itu adalah anak panah yang diluncurkan oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dalam perang anak panah itu ikut pula membantu “menahan” musuh. Maka sudah terjadi permufakatan antara mere¬ka berempat untuk membakar gudang-gudang ransum sesuai dengan rencanaa yang diatur oleh Jenderal Kao. Mereka diharuskan menanti tanda yang akan diberikan oleh jenderal itu. Ketika terjadi penyerbuan yang ter¬akhir itu, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng mempergunakan keadaan yang ribut un¬tuk menyelundup masuk. Suami isteri ini adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka tidak sukar bagi mereka berdua untuk menyelundup masuk benteng¬ lewat tembok tinggi di samping kiri agak jauh dari tempat penyerbuan pasu¬kan kerajaan. Ang-siocia yang memang ditugaskan oleh Jenderal Kao untuk selalu meneliti tanda-tanda rahasia, menyambut datang¬nya kawan-kawan, dapat melihat kedatangan suami isteri ini yang tanpa mere¬ka sadari telah menginjak alat-alat raha¬sa pribadi Jenderal Kao sehingga Ang-siocia dapat mengetahui kedatangan me¬reka dan menyambut. Maka terkejutlah suami isteri itu ketika mereka meloncat turun dan menyelinap di antara kegelapan bayangan pohon, tiba-tiba ada se¬sosok tubuh ramping berkelebat disusul suara Ang-siocia yang halus. “Kao-taihiap dan Lihiap, cepat ke sinilah....“ Suami isteri itu memandang tajam, alis mata mereka berkerut penuh curiga. Melihat sinar mata pendekar itu men¬corong, Ang-siocia bergidik dan cepat dia mendekati sambil berbisik, “Harap Tai¬hiap jangan curiga, saya adalah utusan dari Jenderal Kao. Cepat, ke sinilah....“ Kao Kok Cu dan Ceng Ceng lalu cepat mengikuti Ang-siocia, menuju ke sebuah kandang kuda dan mereka memasuki sebuah kamar sederhana di bela¬kang kandang kuda itu. “Harap kalian bersembunyi dulu di sini sampai keribut¬an dari perang di luar itu selesai, nanti Ji-wi akan dapat bertemu dengan suhu, yaitu Hek-sin Touw-ong, Gak Bun Beng taihiap, dan dengan Jenderal Kao sen¬diri.” Mendengar ucapan itu, giranglah hati Kao Kok Cu dan isterinya. Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah tidak sabar lagi menanti berkata, “Jadi engkau adalah murid Touw-ong dan engkau bekerja sa¬ma dengan ayah mertuaku?” Ang-siocia mengangguk. “Nama saya Kang Swi Hwa dan saya bersama suhu secara terpaksa menjadi pembantu-pembantu di sini.” Lalu dengan singkat dia menceritakan betapa dia dan suhunya bertemu dengan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li, dan betapa mereka berdua membantu dua orang muda itu berusaha untuk membebaskan Syanti Dewi sehingga akhirnya mereka berdua tertawan. “Untuk menyelamatkan diri, terpaksa kami berdua pura-pura menakluk dan membantu Koksu Nepal. Akan tetapi diam-diam kami mengadakan hubungan dan membantu Jenderal Kao Liang.” Hati Ceng Ceng girang sekali. Dia memegang tangan Ang-siocia dan ber¬kata, “Adik yang baik, kalau begitu ha¬rap kau cepat membawaku bertemu de¬ngan puteraku!” Ang-siocia mengangguk. “Harap kau suka bersabar, Enci. Dalam keadaan ribut seperti ini, koksu telah memerintahkan para pengawal untuk menjaga para ta¬wanan dengan ketat. Sebaiknya nanti saja kalau keadaan sudah mereda, Enci tentu akan dapat bertemu dengan putera Enci yang gagah itu. Akan tetapi Enci harus menyamar, jangan khawatir, aku mem¬punyai akal untuk mengaturnya.” Kao Kok Cu juga menasehati isteri¬nya agar bersabar dan menanti saat baik, karena sekali saja mereka itu gagal dan diketahui musuh, hal ini mungkin sekali akan membahayakan semua keluarga mereka. Seperti telah diceritakan di bagian depan, penyerangan tentara kerajaan di bawah pimpinan Puteri Milana kembali mengalami kegagalan dan setelah meneri¬ma surat yang dikirimkan oleh Jenderal Kao melalui anak panah yang dilancarkan diam-diam oleh Gak Bun Beng yang me¬nyamar sebagai Touw-ong, Milana lalu menarik mundur pasukannya, lalu mem¬bagi-bagi pasukannya untuk melakukan pengepungan dengan ketat. Gak Bun Beng lalu dipanggil oleh Ang-siocia untuk menemui suami isteri itu. Mereka berunding dan Ceng Ceng lalu dirias oleh Ang-siocia, menyamar menjadi dia sendiri. Tak lama kemudian di ruangan itu telah ada dua orang Ang-siocia yang kembar segala-galanya! “Sebaiknya Kao-taihiap bersembunyi saja di sini, menyamar sebagai pembantu penjaga kandang,” kata Touw-ong dan Si Naga Sakti Gurun Pasir ini mengangguk karena dia pun tahu bahwa dia tidak mungkin dapat menyamar. Lengan kirinya yang buntung itu tidak memungkinkan dia menyamar sebagai orang lain. Jenderal Kao Liang sendiri merasa girang mendengar bahwa puteranya yang amat diandalkannya, yaitu Kok Cu, ber¬sama isterinya, telah tiba di dalam ben¬teng. Betapapun rindu rasa hatinya, na¬mun dia tidak mau bertemu dengan pu¬tera atau mantunya. Amat berbahaya untuk membiarkan Kok Cu muncul di depan umum, karena puteranya itu per¬nah membikin geger di situ. Dia hanya memesan melalui Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dapat mudah menghubunginya, memesan agar mereka semua jangan sekali-kali melakukan gerakan lebih dulu secara lancang. “Kalian harus menanti sampai terjadi pembakaran gudang-gudang ransum secara berhasil. Musnahnya gudang ransum akan menghancurkan pertahanan mereka, dan setelah itu barulah aku akan memberi tanda kepada Puteri Milana untuk me¬lakukan penyerbuan besar-besaran,” demi¬kian pesan Jenderal Kao Liang yang telah mengatur rencana. Anehnya, jen¬deral ini tidak pernah mau membuka siasatnya secara terperinci sehingga orang-orang gagah itu hanya dapat men¬duga-duga saja siasat apa yang akan dipergunakan oleh jenderal itu untuk menghancurkan pertahanan benteng yang sedemikian kuatnya itu di samping mem¬bakar gudang-gudang ransun. Puteri Milana mentaati pesan dari Jendera1 Kao Liang. Dia mengatur pasu¬kannya, mengepung benteng itu dengan ketat dan tidak melakukan penyerbuan lagi, hanya kadang-kadang saja dia mem¬biarkan pasukan-pasukan itu mengacau benteng dengan hujan anak panah, kemudian mundur dan kembali menjaga dengan ketat sehingga fihak musuh di dalam benteng tidak akan mungkin dapat mengadakan hubungan dengan luar ben¬teng. Namun, hati puteri perkasa itu makin tidak sabar setelah menanti sam¬pai beberapa hari, belum juga terjadi kebakaran di dalam benteng dan belum juga ada tanda dari Jenderal Kao untuk membolehkan dia melakukan penyerbuan. Gak Bun Beng, Milana, Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Kao Kok Cu, dan Ceng Ceng dapat menanti dengan sabar sampai Jenderal Kao Liang memberi isyarat, dan mereka semua itu percaya penuh akan kelihaian sang jenderal mengatur dan menjalankan siasatnya. Akan tetapi ada beberapa orang muda yang tidak tahu akan hal ini dan tidak dapat menanti! Malam itu terjadilah kegemparan besar di dalam benteng ketika empat orang muda menyelundup masuk dan membuat semua penjaga di dalam benteng menjadi geger! Mereka itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Teng Siang In yang menyelundup masuk dari dinding timur, dan Suma Kian Bu bersama Kim Hwee Li yang menyelundup masuk dari dinding barat! Mula-mula terdengar teriakan-teriakan para penjaga di dekat dinding benteng sebelah timur karena ada tanda rahasia terpijak orang di atas tembok. Para penjaga menghujankan anak panah pada dua sosok bayangan orang yang bergerak cepat bukan main, namun semua anak panah itu luput dan dua sosok bayaangan orang itu cepat lenyap dalam kegelapan malam di sebelah dalam benteng! Waktu itu sudah lewat tengah malam, sebagian besar penjaga sudah mengantuk, maka tentu saja mereka menjadi gempar ketika tiba-tiba terdengar tanda bahaya. Juga para tokoh lihai yang berada di dalam benteng itu serentak bangun dan melaku¬kan pengejaran dan pencarian. Namun, dua sosok bayangan orang yang dikabar¬kan menyelundup ke dalam benteng itu telah lenyap. Selagi para tokoh dan penjaga men¬cari-cari, tiba-tiba terdengar tanda ba¬haya di sebelah barat, menandakan bahwa ada fihak musuh menyelundup masuk melalui dinding barat pula. Maka keadaan menjadi makin gempar, para penjaga lari ke sana-sini, para tokoh berkelebatan ke sana-sini mencari-cari karena dikabarkan bahwa dari dinding sebelah barat ini pun menyelundup masuk dua sosok bayangan manusia yang, memiliki gerakan luar biasa gesitnya. Gegerlah di seluruh ben¬teng. Koksu sendiri sampai terbangun dari tidurnya dan dia sendiri bersama para saudaranya memimpin pengejaran dan pencarian terhadap empat orang penyelundup yang dikabarkan oleh para penjaga amat lihai itu. Tentu saja sukar bagi empat orang muda itu untuk dapat menyembunyikan diri terus-terusan di dalam benteng se¬telah para penjaga dan para tokoh yang berkepandaian tinggi itu mencari dengan penuh semangat. Beberapa kali mereka kepergok oleh para penjaga yang men¬cari-cari sehingga mereka terpaksa mem¬pergunakan kepandaian dan lari lagi, dikejar-kejar dan lenyap lagi sehingga ke¬adaan menjadi makin kacau-balau. Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li melarikan diri ke sebelah dalam. Berkat adanya Hwee Li yang mengenal baik seluruh tempat di dalam benteng, maka mereka berdua lebih mudah untuk ber¬sembunyi. Hwee Li hendak mengajak Kian Bu untuk pergi mencari dan me¬nangkap Pangeran Liong Bian Cu. “Kita bekuk dia dan dengan dia men¬jadi sandera, kurasa kita akan dapat menaklukkan mereka semua,” kata Hwee Li. “Kautangkap dia dan betapapun lihat¬nya, aku yakin engkau akan dapat menang dan membuat dia tidak berdaya, Kian Bu. Kemudian kita seret dia keluar dan ancam koksu dan yang lain agar suka membebaskan Jenderal Kao dan keluarganya.” “Hemmm, mana mungkin begitu mu¬dah? Kalau koksu menolak?” “Apa? Menolak? Kita ketuk kepala si hidung kakaktua itu sampai dia minta-minta ampun. Dia adalah seorang Pange¬ran Nepal, mustahil koksu tidak akan melindunginya dan mengalah. Kita kan hanya minta tukar orang?” “Hemmm, kau benar juga, tapi hati-hatilah, karena pangeran itu tentu ter¬jaga kuat. Jangan kau bertindak ceroboh sehingga belum kita berhasil, engkau akan tertangkap lebih dulu.” “Cerewet amat sih, kau ikut aku saja. Mari....!” “Tangkap penjahat....!”Tiba-tiba terdengar bentakan dan seorang perwira meloncat ke depan menyergap mereka, diikuti oleh enam orang perajurit. Teri¬akannya diikuti oleh teriakan-teriakan enam orang perajurit itu sehingga keada¬an menjadi gaduh. “Sialan! Diam kau!” Hwee Li berseru, tubuhnya mencelat ke depan, ke arah perwira itu dan sebelum perwira itu sempat melindungi dirinya, Hwee Li su¬dah menampar. Telapak tangan kirinya yang berkulit halus dan hangat itu me¬ngenai telinga kiri si perwira dan terasa olehnya bagaikan kilat menyambar, panas dan membuat matanya melihat seribu bintang runtuh. Dia terpelanting dan roboh tak sadarkan diri! Ketika Hwee Li membalikkan tubuh untuk menerjang enam orang perajurit itu, dia melihat betapa enam orang itu telah roboh se¬mua oleh Kian Bu, padahal dia tadi tidak mendengar apa-apa. Entah apa yang di¬lakukan oleh Kian Bu kepada enam orang itu sehingga mereka roboh tanpa menge¬luarkan suara dalam waktu secepat itu. “Kau boleh juga!” Hwee Li memuji. “Mari....!” Keduanya lalu meloncat dan menyusup di dalam kegelapan di antara bayang-bayang pohon dan rumah-rumah di dalam benteng. Tempat itu segera menjadi gempar ketika beberapa orang penjaga me¬nemukan tujuh orang yang roboh pingsan itu, roboh tanpa terluka. Akan tetapi pemuda dan dara yang merobohkan me¬reka itu telah pergi jauh. Bukan pergi untuk menjauhkan diri dari bahaya, se¬baliknya malah karena tiba-tiba saja muncul koksu sendiri di depan mereka. Koksu Nepal yang diiringkan oleh se¬pasukan pengawal pribadinya yang berjumlah dua losin orang! Bukan main ma¬rahnya koksu ketika melihat bahwa dua orang yang membikin kacau benteng itu bukan lain adalah Siluman Kecil dan Kim Hwee Li. “Kiranya kalian datang kembali me¬ngantar nyawa?” bentaknya. “Kian Bu, kauhadapi si botak men¬jemukan ini, biar aku menghajar pasukan tikus merah itu!” Para pengawal pribadi koksu memang memakai seragam merah, sesuai dengan si kakek botak yang juga memakai mantel merah. Kian Bu tidak sempat menjawab karena pendeta Lakshapadma atau Ban Hwa Sengjin itu me¬mang sudah menerjang ke depan dan menggerakkan kedua lengannya yang amat panjang itu. ”Hemmm....!” Kian Bu mendengus dan dia sudah menggerakkan tangan menyam¬but dengan pukulan saktinya. Namun, Koksu Nepal yang sudah pernah merasa¬kan kelihaian pemuda ini, tidak mau mengadu tenaga, melainkan menggerak¬kan tubuhnya berpusing dan tubuh itu segera berubah menjadi tubuh yang ber¬lengan banyak sekali karena dia ber¬pusing seperti gasing. Semua tangan yang menjadi banyak itu menyerang dan me¬ngirim pukulan, tamparan, dan totokan-totokan maut ke arah tubuh Kian Bu. Siluman Kecil maklum pula akan ke¬hebatan lawan ini, maka dia tidak berani memandang rendah dan cepat dia pun mengerahkan ginkangnya yang istimewa, tubuhnya berkelebatan seperti cahaya kllat ke sana-sini, menghindarkan diri dari semua serangan dan membalas de¬ngan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuhnya. Namun kakek botak yang lihai, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok itu pun dapat menghindarkan diri dan kadang-kadang menangkis sehingga ber¬kali kali terjadi pertemuan tenaga yang membuat keduanya terpental saking kuatnya tenaga sin-kang yang bersembunyi di kedua tangan masing-masing. Sementara itu, Hwee Li juga sudah dikeroyok oleh para pengawal yang ba¬nyak jumlahnya itu. Mereka adalah pengawal-pengawal pribadi koksu dalam upacara resmi, dalam kedudukannya se¬bagai koksu, maka tentu saja mereka merupakan orang-orang pilihan dari koksu sendiri, dan rata-rata memiliki kepandai¬an tinggi. Dalam keadaan lain, pengawal pribadi dari koksu adalah Gitananda. Biarpun para pengawal pribadi itu tidak selihai Gitananda, namun mereka itu lebih lihai dari para pengawal biasa dan karena dikeroyok, setelah berhasil me¬robohkan lima enam orang, Hwee Li mulai terdesak dan terkepung dengan ketat. Kian Bu dapat melihat keadaan Hwee Li itu dan dia merasa khawatir sekali. Sekali ini, dia tidak dapat merobohkan koksu dengan cepat karena agaknya kok¬su kini berlaku hati-hati sekali, memusat¬kan seluruh kepandaiannya kepada pen¬jagaan diri sehingga dia tidak sempat membantu Hwee Li. Maka dia lalu berseru, “Enci Hwee Li, cepat kau larilah!” Akan tetapi, Hwee Li sama sekali tidak mampu keluar dari kepungan ketat itu. Biarpun dengan amukannya dia telah merobohkan dua orang lagi, namun kini para pengepungnya memperlebar kepung¬an sehingga sukarlah bagi Hwee Li untuk merobohkan mereka dan juga sukar bagi¬nya untuk keluar dari kepungan belasan orang itu. Dara ini adalah seorang yang amat berani dan cerdik. Melihat keadaan dirinya, dia tidak putus harapan. Dia pun maklum bahwa pada saat itu Kian Bu tidak dapat membantunya, dan dia mak¬lum pula bahwa kalau sampai datang lagi pasukan musuh, dia dan Kian Bu tentu akan celaka. Maka dia lalu menggunakan akal. “Tikus-tikus merah busuk! Kau tidak ingat siapa aku? Aku adalah tunangan pangeran! Beranikah kalian menyentuhku? Beranikah kalian menyerangku? Coba kalian bunuh aku, hendak kulihat hukum¬an apa yang akan kalian terima dari pangeran!” Para pengawal itu tentu saja men¬jadi terkejut. Mereka memang sudah tahu sejak tadi bahwa dara cantik ini adalah tunangan dan kekasih pangeran. Mereka hanya bergerak karena memandang ke¬pada koksu, akan tetapi setelah kini dara itu mengingatkan mereka akan hal itu, mereka menjadi ragu-ragu karena mereka pun tahu bahwa kata-kata dara itu bukan merupakan gertakan kosong belaka. Me¬mang mereka akan celaka dan dihukum berat oleh pangeran kalau mereka sampai melukai apalagi membunuh dara ini, se¬lagi mereka itu ragu-ragu dan bingung, Hwe Li lalu meloncat dan menerjang keluar dari kepungan, sedangkan para pengawal yang mengepung itu tidak be¬rani menggerakan senjata menyerangnya sehingga Hwee Li dapat dengan mudah keluar dan meloncat jauh. “Tangkap dia....!” teriak koksu dan kakek ini lalu mengeluarkan suara me¬lengking untuk memanggil para pembantunya. Mendengar lengking ini, Hwee Li terkejut dan dia meloncat makin jauh, lalu menengok dan berseru kepada Kian Bu untuk lari. Kian Bu memang tidak menyia-nyia¬kan kesempatan itu. Kalau dia meng¬hendaki, biarpun dia tidak dapat dengan mudah merobohkan koksu, namun kalau hanya untuk melarikan diri dari musuh saja akan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Dia tadi tidak mau melarikan diri karena dia tidak mau meninggalkan Hwee Li yang terdesak musuh.¬ “Mari kita lari!” serunya dan dia menggunakan kesempatan selagi koksu melengking tadi untuk menyerang dengan hebatnya, menggunakan kedua tangannya mendorong dengan pukulannya yang amat ampuh. “Ehhhhh....!” Koksu berseru keras karena terkejut melihat datangnya pu¬kulan ini. Dia sudah tahu akan kehebatan pemuda ini, maka melihat pukulan yang gerakannya halus, mendatangkan sam¬baran angin halus sekali itu, dia tidak berani menerimanya, bahkan lalu cepat melempar tubuh ke belakang untuk meng¬hindarkan diri. Ketika dia sudah berjungkir balik dan memandang, ternyata Kian Bu sudah tidak berada lagi di de¬pannya. Akan tetapi pada saat itu, muncul Ngo-ok dan Su-ok diikuti oleh tiga pu¬luhan orang penjaga. Melihat ini, Hwee Li cepat meloncat ke tempat gelap dan Kian Bu yang hendak mencegah orang-orang itu mengejar Hwee Li, menyambut mereka dengan terjangannya sehingga dalam waktu sangat singkat, belasan orang penjaga terpelanting ke kanan kiri. Setelah melihat Hwee Li lenyap, barulah Kian Bu juga melarikan diri dan sekali berkelebat dia pun meloncat jauh tinggi di atas genteng dan lenyap dalam gelap. Akan tetapi dia tidak dapat melihat Hwee Li lagi, tidak tahu ke mana pergi¬nya dara itu. Mereka berdua telah saling terpisah! Kalau Kian Bu dan Hwee Li menim¬bulkan kegemparan sehingga koksu sendiri sampai ikut turun tangan dan marah-marah karena melihat dua orang itu le¬nyap lagi, di lain bagian dari dalam ben¬teng itu terjadi kegemparan lain karena ulah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Mereka pun berhasil menyelundup masuk ke dalam benteng dan mereka juga ke¬tahuan oleh fihak penjaga, dihujani anak panah yang dengan mudah dapat mereka hindarkan. Akan tetapi mereka tidak dapat menghindarkan diri dari pengeroyok¬an setelah mereka berada di atas tanah di sebelah dalam tembok benteng. Dan celakanya mereka dikepung oleh banyak sekali orang, lebih dari lima puluh orang yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sendiri! “Siang In, kau larilah biar aku me¬nahan mereka!” Kian Lee berseru keras karena pemuda ini menghawatirkan ke¬selamatan Siang In. Akan tetapi, tentu saja Siang In tidak mau lari meninggal¬kan Kian Lee menghadapi bahaya seorang diri saja. “Hi-hi-hik, kaukira ahu takut mati? Mari kita lawan mereka itu!” jawab Siang In sambi memutar payungnya dan me¬robohkan dua orang perajurit musuh yang berani mendekat. Terpaksa Kian Lee juga mengamuk, akan tetapi pemuda ini lang¬sung menghadap Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena dia maklum be¬tapa lihainya dua orang kakek iblis ini sehingga dia membiarkan Siang In hanya menghadapi pengeroyokan para penjaga saja. Mula-mula Siang In mengamuk dengan enaknya. Payungnya berubah menjadi bayangan hitam yang menutupi tubuhnya dan para pengeroyoknya roboh cerai-berai sehingga keadaan mereka menjadi kacau-balau. Akan tetapi, keributan itu segera menarik perhatian pasukan-pasukan lain dan berdatanganlah puluhan orang pen¬jaga dan pengawal ke tempat itu se¬hingga Siang In merasa kewalahan juga. “Siang In, lari....!” “Kau juga tidak!” jawab Siang In yang melihat dengan sudut matanya betapa pemuda itu dengan gagahnya menghadapi desakan dua orang kakek iblis yang ma¬sih dibantu oleh beberapa, orang perwira yang lihai. “Kau lari dulu, nanti aku menyusul!” teriak Kian Lee yang merasa jengkel juga melihat kebandelan dara itu. “Lee-koko, tunggu aku menciptakan asap hitam, baru kita lari!” Dara itu berteriak nyaring dan tiba-tiba dia me¬ngeluarkan suara melengking nyaring dan ketika dia mengebutkan saputangannya, nampaklah asap hitam mengebul dan memenuhi tempat itu. Dara ini telah mempergunakan ilmu sihirnya! Semua pengeroyok terkejut dan bingung, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Siang In dan Kian Lee untuk melarikan diri. Akan tetapi terdengar suara gerengan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan seketika asap hitam itu membuyar dan lenyap. Kembali dua orang muda itu dikeroyok dan mereka berdua terpaksa membela diri dan kini mereka terpisah sehingga ketika keduanya berhasil me¬larikan diri, mereka sudah tidak dapat saling melihat lagi. Kian Lee merasa gelisah dan dia berloncatan ke atas gen¬teng mencari-cari Siang In, namun dara itu lenyap entah ke mana. Siang In juga tidak berhasil mencari Kian Lee karena dia terdesak oleh ba¬nyaknya perajurit musuh yang mengejar¬nya. Dia terpaksa melarikan diri karena tidak mungkin dia melawan pengeroyok yang demikian banyaknya, baik dengan menggunakan ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Dia maklum bahwa kalau tokoh-tokoh lihai sampai bermunculan, dia ten¬tu akan celaka, maka dia cepat melari¬kan diri menyelinap di antara pohon-pohon dan bangunan-bangunan sampai akhirnya dia tidak dikejar lagi. Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh peluh, dara ini berhenti berlari di belakang sebuah bangunan sunyi. Aku harus mengaso dulu, pikirnya dan tempat itu amat sunyi, baik untuk melepaskan lelah dan mengumpulkan kembali tenaga¬nya. Sambil memanggul payungnya, dara ini melangkah ke tempat gelap di belakang bangunan, dengan maksud untuk beristirahat di tempat gelap itu. Dia meletakkan payungnya di atas lantai ruangan belakang rumah yang agaknya kosong itu, kemudian dia duduk ber¬sila di atas lantai yang dingin. Enak sekali rasanya duduk di lantai dingin itu setelah mengerahkan banyak tenaga da¬lam pertempuran tadi, dan sungguh menyenangkan tempat sunyi ini setelah tadi dia dikeroyok banyak orang. Siang In menarik napas panjang, mulai mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga. Akan tetapi, hatinya tidak dapat tenang, pikirannya selalu membayangkan wajah Kian Bu dan Hwee Li dan setiap kali dia teringat kepada dua orang itu, jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa panas sekali. Panas oleh cemburu! Dia masih terheran-heran karena sa¬ma sekali tidak pernah menyangka bahwa Siluman Kecil itu ternyata adalah Suma Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya, pemuda yang pernah mencium¬nya dan yang belum pernah dapat dia lupakan selama dia ikut dengan gurunya, yaitu See-thian Hoat-su! Dan dia malah pernah bertemu dengan Siluman Kecil! Sekarang, begitu bertamu dia melihat pemuda yang dicari-carinya itu berpacar¬an dengan seorang dara lain yang cantik jelita, galak dan rendah hati siapa takkan menjadi panas? Bayangan Kian Bu dengan Hwee Li selalu mengganggu pikirannya dan dia tidak dapat beristirahat dengan sempurna, berulang kali dia menghela napas panjang untuk melepas kemarahan hatinya. “Byar-byar-byarrr....!” Tiba-tiba tem¬pat yang gelap itu menjadi terang sekali oleh sinar lampu yang dinyalakan orang dengan serentak, dan kesunyian dipecah¬kan suara orang-orang yang tahu-tahu sudah mengurung tempat itu! Siang In terkejut, menyambar payungnya dan meloncat berdiri. Kiranya di situ telah ber¬diri seorang tosu berwajah bengis, ber¬tubuh tinggi kurus yang memegang se¬batang pedang di tangan kanannya, di¬ikutioleh tujuh orang perajurit pengawal. Delapan orang ini sudah mengepung tem¬pat itu! Tosu ini bukan lain adalah Hak Im Cu, seorang tosu yang berkepandalan tinggi, seorang di antara pembantu-pem¬bantu Hw-i-kongcu Tang Hun yang kini bersekutu dengan Koksu Nepal. Ketika tosu ini juga ikut mencari orang-orang yang dikabarkan mengacau di dalam ben¬teng, diikuti tujuh orang anggauta Liong-sim-pang yang kini sudah menjadi pera¬jurit pengikut Koksu Nepal, dia melihat berkelebatnya tubuh dara cantik mem¬bawa payung itu. Tentu saja dia menjadi curiga karena sepanjang pengetahuannya, tidak ada seorang dara seperti itu di dalam benteng. Maka cepat dia mengu¬rung tempat itu dan secara tiba-tiba dia menyalakan lampu-lampu bersama anak buahnya. “Hemmm, kiranya pengacau itu ada¬lah seorang nona muda. Betapa berani mati sekali engkau. Hayo lekas menyerah sebelum kami menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!” Hak Im Cu mem¬bentak marah. Siang In menuding dengan payung hitamnya, lalu berkata mengejek, “Kira¬nya para pemberontak dan orang-orang Nepal telah berhasil pula memikat hati segala macam tosu palsu untuk ber¬khianat kepada negara!” “Bocah bermulut lancang!” Tosu tinggi kurus berwajah bengis itu tiba-tiba ber¬gerak ke depan dan Siang In mengeluar¬kan seruan kaget sambil meloncat ke samping dan payungnya bergerak untuk melindungi dirinya. Tak disangkanya bah¬wa tosu itu dapat bergerak sedemikian cepatnya, tahu-tahu tangan tosu itu su¬dah menyambar hendak mencengkeram pundaknya. Kalau dia tidak cepat meng¬gerakkan payungnya, tentu pundaknya sudah kena dicengkeram. Tosu itu agak¬nya maklum akan kelihaian payung di tangan nona itu, maka dia menarik kem¬bali tangannya, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan tendangan kilat yang kembali hampir mengenai paha Siang In yang meloncat ke belakang. Melihat betapa dua kali serangannya gagal, Hak Im Cu menjadi marah. Bah¬kan dalam penyerangannya ke dua itu, bukan saja si nona cantik dapat meng¬hindarkan diri dari tendangan, melainkan payung itu digerakkan secara aneh dan hampir saja ujung payung yang runcing menusuk perutnya. “Singgg....!” Hak Im Cu menyerang dengan pedangnya dan bersama tujuh orang anggauta Liong-sim-pang dia lalu menerjang dan mengeroyok Siang In. “Trang-trang-tranggg....!” Siang In memutar payungnya untuk menangkis banyak senjata tajam yang menyambar ke arahnya dari berbagai jurusan itu. Diam-diam Siang In mengeluh. Dari tangkisan itu tahulah dia bahwa selain tujuh orang pembantu tosu itu rata-rata memiliki kepandaian lumayan, juga tosu itu sendiri amat kuat dan merupakan lawan tangguh. Dia tidak melihat jalan untuk meloloskan diri kecuali mengguna¬kan sihirnya. “Kalian adalah laki-laki semua bu¬kan?” Tiba-tiba suara merdu Siang In terdengar di antara suara beradunya sen¬jata mereka. Biarpun tidak ada di antara mereka yang menjawab, namun di dalam hati mereka, delapan orang membenarkan ucapan Siang In. Memang mereka adalah laki-laki, pria sejati! “Kalian delapan laki-laki yang suka makan makanan enak, mana mampu ber¬tempur?” Delapan orang itu tertarik dan biar¬pun tangan kaki mereka masih bergerak mengeroyok dara itu, namun telinga me¬reka dipasang untuk mendengarkan. Siapa orangnya tidak suka makanan enak? Dan apa hubungannya makanan dengan ber¬tempur? “Makanan enak membuat perut sakit. Perut kalian sakit.... aduhhh...., perutku sakit, mulas sekali....!” Tiba-tiba Siang In meloncat ke belakang, dan menggunakan tangan kiri menekan-nekan perutnya sendiri, dengan wajah membayangkan kenyerian hebat. Sungguh aneh bukan main. Delapan orang itu semua memandang wajah Siang In dan ketika mereka melihat wajah yang cantik manis itu membayangkan kenyeri¬an, mendengar kata-kata Siang In itu, tiba-tiba saja mereka semua merasa betapa perut mereka juga sakit bukan main, mulas dan seperti diremas-remas rasanya! “Aduh.... perutku....” “Aduh mulas.... ahhh....!” “Tak tertahankan.... ingin buang air...!” Sungguh aneh dan lucu pemandangan pada waktu itu. Delapan orang itu kini tidak lagi mengeroyok Siang In melainkan menekan-nekan perut sendiri dengan mu¬ka membayangkan kesakitan hebat. Hak Im Cu sebagai seorang tokoh berkepandai¬an tinggi dari dunia kang-ouw, tentu saja melihat ketidakwajaran ini dan dia sudah menduga dengan terkejut sekali bahwa keadaan itu bukan semestinya dan tentu adalah pengaruh dari ilmu hitam atau ilmu sihir. Maka dia mengerahkan sin¬kangnya melawan rasa mulas di perutnya itu. Akan tetapi sebelum dia berhasil menolak pengaruh ilmu sihir yang dipergunakan oleh Siang In, dara ini yang bermata tajam melihat usaha dari tosu itu dan dia cepat menggerakkan payung¬nya, menghantam dari samping mengenai leher tosu yang sedang berusaha mem¬bebaskan diri dari pengaruh ilmu sihir. “Desss....!” Tubuh tosu itu terpelan¬ting dan roboh pingsan! Tujuh orang lain yang masih tersiksa oleh sakit perut, kini tak dapat menahan lagi dan di antara mereka sudah ada yang melepas celana mereka, bertelanjang untuk buang air di situ juga! Melihat ini, tentu saja wajah Siang In menjadi merah sekali, dia mem¬buang muka dan meludah. “Ihhh, sialan!” Dara itu berseru dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Karena dia melarikan diri dan merasa jijik dan malu, maka otomatis pengaruh sihirnya lenyap dan tujuh orang itu sadar kembali, perut mereka sembuh seketika dan mereka baru tahu bahwa mereka tadi dipermainkan oleh dara itu. Marah¬lah mereka, apalagi melihat betapa tosu pimpinan mereka masih pingsan dan sam¬bil berteriak-teriak mereka melakukan pengejaran. Siang In berlari makin cepat. Dia tidak takut menghadapi tujuh orang itu, akan tetapi dia takut terhadap teri¬akan-teriakan mereka karena teriakan-teriakan itu dapat memancing datangnya tokoh-tokoh dalam benteng dan akan celakalah dia kalau sampai mereka se¬mua muncul. Di antara mereka banyak terdapat orang pandai yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi daripada dia, bahkan ada pula yang memiliki ilmu sihir yang akan dapat melawan ilmunya sen¬diri. Maka dia lalu cepat menyusup di antara kegelapan bayangan-bayangan rumah dan menghilang dari kejaran tujuh orang itu. Siang In terengah-engah menghapus peluhnya dengan saputangan. Dia tiba di sudut sebuah rumah yang gelap, terhindar dari pengejaran semua orang. Celaka, pikirnya. Ke mana perginya Kian Lee? Baru saja dia dapat bernapas panjang melepaskan lelah, tiba-tiba terdengar hiruk-pikuk di belakangnya, suara se¬pasukan tentara musuh yang mendatangi tempat itu, mencari-cari. Dia terkejut dan lari lagi menjauhi. Ketika dia membelok ke belakang sebuah bangunan besar, hampir dia bertabrakan dengan sesosok bayangan orang yang juga berlari cepat membelok di sudut bangunan itu. “Heeeiiittttt!” “Aihhhhh!” Keduanya sudah mendorong dengan lengan tangan dan karena dorongan ini. keduanya terlempar ke belakang. Mereka berjungkir balik, meloncat dan siap meng¬hadapi musuh yang hampir ditabrak itu, berdiri saling pandang. “Kau....?” “Hemmm, kiranya engkau?” Dua orang dara yang sama-sama can¬tik jelita itu dan sama-sama kaget itu saling pandang. Kiranya orang yang ham¬pir menubruk Siang In itu adalah Kim Hwee Li! “Kau perawan genit binal!”. Siang In sudah memaki karena rasa cemburu su¬dah membakar hatinya begitu dia ber¬temu dengan dara yang dianggapnya se¬bagai pacar dari Siluman Kecil itu. Di lain fihak, Hwee Li juga marah sekali melihat dara yang dianggapnya merampas Kian Lee dari dia, maka dengan mata terbelalak melotot dia pun menudingkan telunjuknya, dengan marah. “Ah, engkau perempuan tak tahu malu!” “Engkau yang tak tahu malu!” “Engkau perampas laki-laki!” “Engkau yang pengeret hina!” Mereka saling maki dan akhirnya tak dapat dicegah lagi keduanya saling se¬rang dan kembali seperti ketika mereka bertemu di luar tembok benteng, kini pedang dan payung itu sudah saling serang dengan seru dan hebatnya! Akan tetapi pertandingan mati-matian ini hanya berjalan belasan jurus saja karena tiba-tiba muncullah pasukan yang belasan orang banyaknya, dipimpin oleh Hwa-i-kongcu sendiri! Melihat Hwee Li, Hwa¬i-kongcu tertawa. “Aha, kiranya puteri liar dari Hek-tiauw Lo-mo yang ikut mengacau di sini!” Pertempuran antara Hwee Li dan Siang In otomatis berhenti dan dua orang dara itu serentak lalu menyerang Hwa-i-kongcu yang menjadi kelabakan karena serangan dua orang dara itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Tidak be¬rani dia memandang rendah, maka dia sudah mencabut pula pedangnya yang tipis, diputarnya cepat untuk melindungi tubuhnya sambil berseru kepada anak buahnya untuk bergerak menangkap dua orang dara itu. Maka dikeroyoklah Hwee Li dan Siang In yang kini mau tidak mau terpaksa harus bertempur bahu-membahu dan saling melindungi! Memang aneh sekali. Mereka itu saling benci dan sa¬ling marah satu sama lain, akan tetapi nyatanya mereka menghadapi musuh yang sama sekarang sehingga mereka meng¬hadapi lawan bersama-sama. Hwee Li yang kini menimpakan ke¬marahannya kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun, memutar pedangnya dengan nekat dan menerjang laki-laki muda pesolek itu dengan dahsyat, membuat Tang Hun mun¬dur-mundur dan terus didesak oleh Hwee Li. Dara yang gagah perkasa dan tak mengenal rasa takut itu tidak tahu be¬tapa ketua Liong-sim-pang yang cerdik ini memang sengaja memancingnya se¬hingga terpisah dari Siang In. Kini Siang In dikeroyok oleh belasan orang anak buah Liong-sim-pang sedangkan Hwee Li menghadapi Tang Hun seorang diri dalam pertandingan mati-matian yang amat seru. Siang In yang sudah merasa lelah itu tidak mau banyak membuang tenaga. Dia cepat mengerahkan tenaga batinnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring disusul oleh kata-katanya yang merdu namun mengandung pengaruh luar biasa. “Ahhh, kalian ini segerombolan laki-laki yang gagah perkasa mengapa mengeroyok seorang dara yang lemah dan tak ber¬daya? Kalian merasa malu kalau harus mengeroyok seorang anak perempuan!” Memang luar biasa pengaruh kata-kata yang merdu dan lembut itu. Seketika pa¬ra pengeroyok itu menahan senjata me¬reka, memandang kepada Siang In dengan muka merah karena malu, dan mereka ragu-ragu, tidak tahu harus berbuat apa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siang In yang sudah meloncat dengan cepatnya, lenyap dari situ, meninggalkan para pengeroyoknya yang bengong. Akan tetapi setelah Siang In lenyap, baru me¬reka sadar bahwa mereka telah mem¬biarkan seorang musuh lolos, maka mereka menjadi sibuk dan kini mereka se¬mua mengeroyok Hwee Li yang masih bertanding dengan serunya melawan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Melihat ini, Tang Hun terkejut. “Mundur semua! Mana wanita itu tadi?” “Dia.... dia sudah melarikan diri....” Seorang di antara mereka menjawab. “Bodoh, kejar!” teriak Tang Hun dan kini dia menangkis pedang Hwee Li, kemudian dia membentak, “Nona Hwee Li, hayo kau berlutut!” Bentakan ini me¬ngandung kekuatan batin karena Tang Hun telah mempergunakan ilmu sihirnya. Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang adalah murid dari Durganini, seorang nenek iblis dari India, ahli sihir, maka tentu saja dia pun pandai menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi batin lawan. Seketika Hwee Li merasa betapa kedua kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi, dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Namun, Hwee Li adalah seorang dara gemblengan yang sejak kecil digembleng oleh seorang manusia iblis aeperti, Hek-tiaw Lo-mo, bahkan dia lalu menjadi murid seorang wanita sakti seperti Lu Ceng Ceng dan karena berdekatan dengan suami subonya ini yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir, maka dia bukan merupakan dara biasa yang mudah saja dikuasai sihir. Dia masih sadar bahwa dia diserang orang dengan sihir, maka dia menggunakan kecerdikan¬nya. Biarpun dia sudah berlutut, namun dia masih memegang pedangnya dan kini dia cepat mengangkat muka memandang kepada Tang Hun. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar