Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 32.

Jodoh Rajawali Jilid 32.
Jodoh Rajawali Jilid - 32 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 32 “Ayah....! Ibu....!” Cin Liong berseru dan air matanya lalu bercucuran dari kedua mata anak itu. Akan tetapi dia telah diancam tidak boleh mendekati orang tuanya. Seperti diremas-remas rasa jantung Ceng Ceng. Seperti hendak ter¬bang dia mendekati puteranya, mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa. Akan tetapi ketika dia merasa betapa lengan¬nya dipegang oleh suaminya, datang pula kekuatan di hatinya dan dia menelan ludah lalu memandang kepada puteranya dengan batin yang lebih tenang. “Cin Liong, kau tenanglah dan jangan menangis. Pada suatu hari, ayah ibumu pasti akan dapat membawamu pulang!” kata Kok Cu, suaranya tenang sekali dan sama sekali tidak mengandung kekhawatir¬an sehingga semua orang yang menyaksi¬kannya menjadi kagum bukan main. Koksu memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengajak Cin Liong pergi lagi, akan tetapi tiba-tiba anak itu membalikkan tubuhnya dan berkata lantang, “Ayah, yang menculikku adalah laki-laki be¬rambut keemasan dan wanita baju hijau itu!” Anak itu menudingkan telunjuknya kepada laki-laki dan wanita yang berdiri tidak jauh dari Koksu Nepal, akan tetapi dua orang kakek iblis itu sudah memon¬dong dan menariknya pergi dari situ. Namun teriakan Cin Liong itu cukup bagi Ceng Ceng untuk memutar tubuh dan memandang kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan, dengan sinar mata seperti hendak menelan bulat-bulat kedua orang itu sehingga dua orang itu merasa agak ngeri juga. “Kenapa kalian menculik puteraku? Kenapa?” bentak Ceng Ceng, sinar matanya berapi-api. Baik Liong Tek Hwi maupun Kim Cui Yan tidak men¬jawab, hanya memandang kepada koksu karena mereka tahu bahwa yang dapat menanggulangi dua suami isteri yang sakti ini hanyalah koksu. “Sicu dan Li-enghiong, Ji-wi hendak mengetahui sebabnya? Nah, dengarlah baik-baik. Kongcu ini adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan sumoinya ini adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin! Nah, tentu Ji-wi tahu betapa keluarga Kim Bouw Sin dihukum dan dibasmi karena Jenderal Kao, dan juga betapa Pangeran Liong Bin Ong gagal dan tewas, satu antara lain juga karena Jenderal Kao. Semua orang menaruh dendam kepada Jenderal Kao Liang, oleh karena itulah maka terjadi penculikan-penculikan ter¬hadap keluarga Kao dan juga terhadap puteramu, Sicu. Akan tetapi, kami bukan¬lah orang-orang yang buta oleh dendam dan sakit hati. Tidak, kami adalah orang-¬orang yang mementingkan perjuangan. Oleh karena itu, Sicu, maka sampai se¬karang pun keluarga Kao dan puteramu masih dalam keadaan selamat semua, tidak ada seorang pun yang mengalami luka atau tewas.” “Koksu, engkau dan semua orang yang bersangkutan tentu tahu belaka bahwa tidak ada permusuhan pribadi antara ayahku dan ayah mereka. Kematian Kim Bouw Sin atau Pangeran Liong bukan karena bermusuhan dengan ayahku. Ayahku adalah seorang panglima yang ber¬tugas membasmi pemberontakan dan mereka itu adalah pemberontak-pembe¬rontak. Kalau sampai mereka kalah dan tewas, hal itu tentu saja tidak boleh di¬salahkan kepada ayahku. Andaikata ayah¬ku tewas dalam melaksanakan tugas, tentu aku pun tidak menaruh dendam pribadi kepada lawannya di medan perang! Oleh karena itu, sekarang aku datang bersama isteriku dan aku menuntut agar ayahku dan semua keluarga dibebaskan sekarang juga, untuk mana kami tentu akan berterima kasih sekali.” “Hemmm, Kao-sicu, permintaanmu itu tentu saja tak mungkin kami laksanakan,” kata koksu. “Perjuangan kami belum selesai. Kami terpaksa saja menahan keluarga Kao agar Jenderal Kao suka membantu kami sampai kami berhasil. Dan setelah berhasil, tentu kami akan membebaskan semua, bahkan akan mem¬beri ganjaran dan penghargaan atas jasa-jasa keluarga Kao kepada kami.” “Koksu keparat! Hayo kau maju lawan aku. Kita bertanding dengan taruhan keluarga Kao!” Tiba-tiba Ceng Ceng membentak nyaring dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal. Akan tetapi Sam-ok atau Koksu Nepal adalah seorang datuk sesat yang sudah banyak pengalaman. Dia tentu saja tidak jerih menghadapi Ceng Ceng, akan tetapi melihat kehadiran Si Naga Sakti Gurun Pasir di situ, dia tidak mau dipancing untuk bertanding satu lawan satu. Dia tahu bahwa di situ tidak ada seorang pun yang akan sanggup menandingi Si Naga Sakti. Bahkan Twa-ok sendiri pun agak¬nya tidak akan menang. “Li-enghiong, kami menghargai sekali kegagahanmu. Akan tetapi ketahuilah bahwa urusan tawanan bukan urusan pri¬badiku, melainkan urusan seluruh isi ben¬teng. Kalau engkau dan suamimu hendak menggunakan kekerasan, tentu kalian akan berhadapan dengan kami semua berikut seluruh pasukan kami!” Kembali Ceng Ceng merasa tangannya dipegang oleh suaminya dan ia teringat bahwa menggunakan kekerasan tidak akan ada gunanya, maka dia mundur, biarpun matanya masih berapi-api ditujukan ke¬pada koksu. “Baiklah, kami akan mundur dan kami akan berusaha menggunakan kepandaian kami untuk dapat membebaskan keluarga kami dari tempat ini. Akan tetapi kalau sampai ada seorang saja di antara ke¬luarga Kao yang celaka selagi mereka menjadi tawanan di tempat ini, maka Im-kan Ngo-ok yang bertanggung jawab dan kelak tentu akan berhadapan dengan kami! Camkanlah ini!” Setelah berkata demikian, Kok Cu mengajak isterinya meninggalkan tempat itu. Koksu dan semua orang memandang dengan hati ngeri, dan dua orang suami isteri itu melangkah pergi diikuti oleh pandang mata mereka semua. Melihat ini, Hek-hwa Lo-kwi yang sejak tadi sudah memandang dengan marah dan yang su¬dah mengumpulkan anak buah Kui-liong-pang yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang, cepat memberi aba-aba dan majulah dua puluh lima orang ¬Kui-liong-pang, yaitu mereka yang termasuk tokoh-tokohnya yang berkepandaian, dipimpin oleh Khiu Sek, bekas pangcu dari Kui-liong-pang dan Hoa-gu-ji, tokoh ke dua dari Kui-liong-pang yang kemudi¬an keduanya menjadi pembantu-pembantu Hek-hwa Lo-kwi. Hek-hwa Lo-kwi pena¬saran sekali karena dia sudah mengenal Ceng Ceng dan tahu bahwa biarpun wa¬nita itu lihai, namun dia sanggup melawannya, apalagi kalau dibantu oleh anak buahnya, biarpun di situ ada Si Naga Sakti! Melihat Hek-hwa Lo-kwi dan anak buahnya menghadang, Si Naga Sakti te¬nang saja, akan tetapi Ceng Ceng sudah mendamprat, “Hek-hwa Lo-kwi iblis tua bangka bosan hidup! Mau apa kau meng¬hadang kami?” “Ha-ha-ha!” Hek-hwa Lo-kwi tertawa. “Kalian dua orang manusia sombong su¬dah memasuki lembah kami, tidak akan mudah keluar begitu saja!” Lalu kakek ini melambaikan tangan kepada para anak buahnya dan berkata, “Tangkap mereka!” Kok Cu masih sempat berbisik kepada isterinya, “Jangan membunuh!” dan isterinya yang sedang marah itu terpaksa mengangguk karena Ceng Ceng juga teringat betapa nyawa anak mereka dan keluarga Kao berada di tangan musuh. Ketika dua puluh lima orang itu me¬nyerbu dengan senjata mereka, suami isteri itu bergerak maju dan terjadilah pertempuran yang amat luar biasa. Yang mula-mula menubruk maju ada¬lah Khiu Sek dan Hoa-gu-ji. Dua orang tokoh pertama dan kedua dari Kui-liong-pang sesudah Hek-hwa Lo-kwi ini se¬sungguhnya cukup lihai. Khiu Sek adalah seorang bertubuh kecil yang lihai sekali permainan cambuknya. Cambuk hitam bercabang di tangannya itu adalah sen¬jatanya yang istimewa. Adapun Hoa-gu-ji, sesuai dengan julukannya, yaitu Ker¬bau Belang, memiliki tenaga besar, tu¬buhnya tinggi kurus dan dia memegang senjata yang istimewa pula, yaitu sebatang dayung panjang yang amat berat. Dua orang tokoh Kui-liong-pang ini adalah penjahat-penjahat yang biasa menghina wanita. Mereka memang sudah mendengar nama besar Si Naga Sakti, maka mereka hendak menyerahkan lawan berat itu kepada ketua baru mereka, sedangkan mereka sendiri memilih yang lunak dan menyenangkan, yaitu Ceng Ceng. Maka dengan ganas dan sangat dahsyat, kedua¬nya sudah menerjang Ceng Ceng. Akan tetapi, apa yang terjadi benar-benar membuat semua orang terkejut setengah mati. Mereka melihat dua orang tokoh Kui-liong-pang itu menyerang dari kanan kiri, dan ternyata wanita itu sama sekali tidak mengelak, bahkan dia meng¬gunakan lengannya yang berkulit putih halus dan kecil itu untuk menangkis dayung, sedangkan sambaran cambuk itu didiamkannya saja. Akan tetapi setelah cambuk menyambar dekat kepalanya, dia tiba-tiba saja merendahkan tubuhnya, tangannya yang tadi menangkis sudah bertemu dengan dayung dan terus tangan itu menangkap dayung, menariknya se¬hingga dayung bertemu cambuk dan di¬libat oleh ujung cambuk. Tentu saja dua orang tokoh Kui-liong-pang yang sudah berpengalaman itu cepat menarik senjata masing-masing, akan tetapi pada saat yang hanya beberapa detik saja ketika kedua senjata mereka bertemu itu telah dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk me¬lepaskan dayung, menggerakkan kedua tangan ke bawah dan tubuhnya meluncur ke bawah seperti hendak menelungkup. “Plak! Plak!” Kedua tangannya ber¬hasil menghantam paha dua orang lawan itu secara bergantian dengan jari-jari tangan terbuka, kemudian dia sudah ber¬jungkir balik dan meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan dua orang yang me¬ngaduh-aduh dan memegang paha yang terpukul tadi karena Ceng Ceng bukan menggunakan pukulan sembarangan saja, melainkan menggunakan pukulan yang disertai dengan sinkang yang amat kuat dan panas! Memang berkat darah anak naga, yaitu ular luar biasa yang pernah dimakannya (baca Kisah Sepasang Raja¬wali), hawa beracun di tubuhnya telah hilang. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa kepandaiannya tentang pukulan beracun hilang pula. Maka dua orang tokoh Kui-liong-pang yang terkena pukulannya di paha itu merasa betapa bagian yang terpukul itu selain panas juga gatal-gatal dan mereka berloncatan seperti dua ekor monyet menari-nari. Tentu saja semua orang menjadi ter¬kejut. Kepandaian dua orang itu, biarpun bagi para tokoh sakti di situ, tidaklah terlalu tinggi, akan tetapi bagi orang-orang kang-ouw, mereka telah termasuk orang-orang yang tangguh. Kini, dalam segebrakan saja mereka telah dibuat tidak berdaya oleh nyonya muda yang cantik itu. Pada saat itu, Hek-hwa Lo-kwi telah menyerang Kok Cu. Seperti telah diketahui, Hek-hwa Lo-kwi belum lama ini telah menyempurnakan semacam ilmu yang dikuasainya, yaitu ilmu pukulan beracun yang bernama Pek-hiat-hoat¬lek. Memang bekas pelayan dari Dewa Bongkok ini adalah seorang yang ahli tentang racun, dan ilmu pukulannya yang baru itu amatlah jahat dan kejinya. Dan melihat bahwa pemuda lengan buntung itu adalah murid dari bekas majikannya, maka begitu menyerang dia telah meng¬gunakan ilmu barunya itu! Namun, dia sama sekali tidak tahu bahwa tingkat kepandaian Kok Cu sudah amat tinggi, bahkan tidak lagi berselisih jauh diban¬dingkan dengan kepandaian gurunya sen¬diri! Maka, menghadapi serangan yang luar biasa itu, yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengepulkan uap putih, Kok Cu bersikap tenang-tenang saja dan beberapa kali dia mengelak karena dia sedang memperhatikan isterinya. Ceng Ceng kini mengamuk seperti seekor singa betina. Dia menerjang ke kanan kiri, menghantam atau menendang siapa saja yang berdekatan sehingga ge¬gerlah dua puluh lebih anggauta Kui-liong-pang itu. Terdengar teriakan susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang yang tidak dapat bangkit lagi se¬telah terkena tamparan atau tendangan dari nyonya yang sedang marah itu. An¬daikata Ceng Ceng tidak ingat akan pesan suaminya, tentu mereka yang di¬robohkannya itu akan tewas semua, ter¬masuk dua orang tokoh Kui-liong-pang tadi. Akan tetapi dia tahu akan maksud suaminya. Dia tidak boleh membunuh agar semua orang tahu akan kelihaian mereka berdua dan juga akan iktikad baik mereka sehingga keluarga yang di¬tawan tidak akan mengalami gangguan. Setelah melihat betapa isterinya baik-baik saja dan tidak melanggar pesannya, Kok Cu lalu mencurahkan perhatiannya terhadap lawannya. Dia harus memperlihatkan kelihaiannya karena dia maklum bahwa serangan Hek-hwa Lo-kwi ini se¬lain dimaksudkan untuk mencegahnya keluar, juga untuk mengujinya dan semua mata dari Im-kan Ngo-ok tentu sedang mengikuti gerakan-gerakannya dengan teliti. Oleh karena itu, tiba-tiba pen¬dekar sakti ini mengeluarkan suara me¬lengking yang amat dahsyat, yang meng¬getarkan semua orang, bahkan beberapa orang yang kurang kuat segera terguling roboh dan mereka yang kuat pun ter¬getar hebat sampai terguncang jantung mereka, kemudian tiba-tiba tubuh dari pendekar itu meluncur ke depan seperti seekor naga ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ini terkejut dan cepat dia menyambut dengan pukulan Pek-hiat¬ hoat-lek, yang dahsyat. Pendekar itu sa¬ma sekali tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanannya mendorong. “Desssss....!” Tubuh Hek-hwa Lo-kwi terpental sampai jauh, terbanting roboh pingsan! Kemudian, Kok Cu mem¬bantu isterinya mengamuk dan dalam waktu yang singkat sekali, semua orang Kui-liong-pang sudah roboh dan kedua orang suami isteri itu melanjutkan per¬jalanan mereka menuju ke pintu gerbang pertama dari dalam, di mana terdapat banyak penjaga, akan tetapi karena tidak ada komando dari atas, para penjaga itu pun diam saja dan tidak ada yang berani mengganggu ketika Kok Cu dan Ceng Ceng lewat. Setelah melalui beberapa lapis tembok benteng yang berpintu ger¬bang, akhirnya suami isteri itu dapat keluar dari pintu gerbang paling luar dan mereka melangkah cepat meninggalkan benteng itu. Setelah mereka jauh meninggalkan benteng dan memasuki sebuah hutan yang sunyi, mereka berhenti dan Ceng Ceng lalu menjatuh diri di atas rumput di bawah pohon sambil menangis! Kok Cu berdiri memandang isterinya dan untuk beberapa saat lamanya dia membiarkan isterinya menumpahkan semua kedukaan¬nya melalui tangis. Dia tahu betapa is¬terinya itu sudah berbulan-bulan ditekan oleh penderitaan batin yang hebat, yang amat mengkhawatirkan keadaan putera mereka. Dan kini isterinya menangis karena guncangan batin, karena perasaan marah, khawatir dan juga girang melihat bahwa puteranya itu ternyata masih hidup dalam keadaan sehat, akan tetapi berada di tangan musuh dan mereka tidak berdaya untuk membebaskan putera mereka itu! Tiba-tiba Ceng Ceng menghantamkan tangannya ke batang pohon di samping¬nya. “Braaakkkkk!” pohon itu tumbang! “Kubunuh mereka semua! Kubunuh seorang demi seorang kalau sampai Liong¬ ji mereka ganggu....!” teriaknya dengan kalap. Kini Kok Cu merangkul isterinya dan berkata tenang, “Mereka takkan berani, isteriku. Mereka justeru akan menjaga baik-baik semua keluarga kita sebagai sandera, mereka takkan berani meng¬ganggu anak kita....“ Ceng Ceng memandang wajah suami¬nya, kemudian mengeluh dan ibu muda ini menjadi terkulai lemas dan pingsan di dalam pelukan suaminya! Terlampau he¬bat kemarahan, ketegangan dan kekha¬watiran selama ini menekan hatinya. Kok Cu dengan tenang merawat isterinya sehingga guncangan perasaan itu tidak sampai mengakibatkan hal yang buruk atas diri wanita itu. Setelah Ceng Ceng siuman kembali dan sudah agak tenang, Kok Cu lalu ber¬kata, “Kita tentu saja dapat menyerbu ke sana dan mengamuk, akan tetapi apa artinya kalau akhirnya mereka bahkan membunuh keluarga kita? Kita harus sabar, menanti kesempatan baik dan kesempatan itu baru akan tiba apabila Bibi Milana telah menyerbu benteng itu. Selagi keadaan kacau dan semua kekuatan dikerahkan untuk menghadapi serbuan pasukan Bibi Milana kita menyelinap ke dalam dan kita bebaskan keluarga kita.” “Akan tetapi, benteng itu sedemikian kuatnya. Kiranya tidak akan mudah saja bagi Bibi Milana untuk membobolkannya. Apalagi.... yang mengatur dan menjaga adalah.... adalah....” Tak sampai hatinya untuk menyebut nama mertuanya. Kok Cu mengangguk-angguk. “Memang ayah adalah seorang ahli siasat perang yang takkan mudah dilawan begitu saja oleh Bibi Milana. Akan tetapi, aku tidak percaya kalau ayah benar-benar hendak berkhianat. Hanya karena tidak tega melihat keluarga celaka maka ayah sengaja pura-pura menyerah, akan tetapi tentu ayah mempunyai suatu rencana lain yang menjadi rahasianya. Kita harus bersabar dan menunggu, kiranya tidak akan lama Bibi Milana datang bersama pasukannya.” Demikianlah, suami isteri pendekar itu menunggu di tempat persembunyian di sekitar tembok benteng, dan Ceng Ceng terpaksa menurut karena dia mak¬lum bahwa pendapat suaminya itu memang tepat. Akan tetapi, suaminya harus setiap hari menghiburnya dan di dalam keadaan menderita batin ini, sepasang suami isteri menjadi makin rapat, makin dekat dan makin mesra hubungannya karena dalam hati mereka timbul rasa iba satu kepada yang lain. Juga di dalam diri masing-masing mereka menemukan hiburan yang setidaknya meringankan penderitaan batin masing-masing itu. *** Barisan yang besar di bawah panji Puteri Milana itu bergerak dengan ter¬atur dan tertib sekali memasuki wilayah Propinsi Ho-nan. Tidak seperti biasanya kalau ada pasukan besar lewat dengan tujuan perang, sekali ini pasukan-pasukan berjalan tertib dan tidak pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran. Biasanya, dusun-dusun yang dilalui oleh pasukan tentu akan menderita karena ada saja ulah anggauta pasukan yang melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kekerasan-kerasan. Hal ini adalah karena adanya disiplin yang kuat, ketertiban yang tidak perlu ditekankan lagi oleh para pimpinan¬nya, karena semua dewan pimpinan sen¬diri juga amat tertib. Ketertiban di dalam kelompok atau golongan haruslah dimulai dari atas. Bia¬sanya, yang di atas selalu menekankan dan menghendaki agar kaum bawahan berdisiplin dan tertib, sedangkan mereka sendiri yang merasa berkuasa tidak mem¬perhatikan disiplin dan ketertiban diri mereka sendiri. Hal ini adalah tak mung¬kin karena manusia itu condong untuk mencontoh dan yang dicontoh selalu ten¬tulah yang berada di atas. Kalau sang pemimpin korup, mana mungkin anak buahnya tidak korup? Dan untuk me¬lenyapkan sifat buruk dari bawahan, yang di atas haruslah melenyapkan lebih dulu sifat buruknya sendiri. Kalau atasan ber¬sih, barulah dia berhak dan dapat me¬nunjukkan kekotoran bawahannya dan membersihkanya. Sebaliknya, kalau dia sendiri kotor, mana mungkin dia mem¬bersihkan bawahannya? Tentu dia sendiri juga merasa sungkan dan malu karena si bawahan tentu hanya akan mentertawa¬kannya saja dan melawan dengan menun¬juk kekotorannya pula. Pasukan dari kota raja ini hanya me¬ngalami sedikit perlawanan saja dari pasukan yang dipimpin oleh Gubernur Ho-nan, ketika para komandan di Ho-nan mendengar bahwa pasukan itu selain amat besar dan kuat juga dipimpin oleh Puteri Milana, sebelum bertempur nyali mereka sudah menjadi kecil dan semangat mereka menjadi lemah. Hal ini tentu saja juga menjalar kepada anak buah mereka sehingga ketika Milana meng¬gerakkan pasukannya dan mulai terjadi pertempuran, anak buah pasukan Ho-nan hanya bertempur dengan setengah hati saja, kemudian mereka melarikan diri mundur, terus digiring dan ditekan oleh pasukan kota raja. Akhirnya pasukan kerajaan memasuki Ibu Kota Propinsi Ho-nan. Juga di sini perlawanan amat tidak berarti karena belum apa-apa gubernur¬nya sudah ketakutan. Kesombongan-kesombongan yang diperlihatkan oleh para komandan ternyata tidak ada ke¬nyataannya ketika musuh sudah berada di depan pintu. Yang nekat melakukan per¬lawanan, segera roboh dan disapu bersih dalam waktu singkat sehingga akhirnya sebagian besar pasukan yang sebetulnya merupakan pasukan kerajaan pula yang dibawa menyeleweng dan memberontak oleh gubernur, menakluk dan menyerah. Sebagian lagi mengawal Gubernur Kui Cu Kam melarikan diri meninggalkan Lok-yang menuju ke lembah Huang-ho di mana terdapat sekutunya dalam benteng yang kuat. Setelah menduduki Lok-yang, Milana memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Dia me¬merintahkan untuk membiarkan anak buah pasukan berpesta makan minum sepuasnya, akan tetapi melarang siapapun mengganggu penduduk sehingga para pen¬duduk Lok-yang yang sudah ketakutan karena membayangkan bahwa tentu me¬reka akan dirampok habis-habisan oleh tentara kerajaan, menjadi lega dan berterima kasih. Dengan suka rela para pen¬duduk, terutama yang kaya, lalu menge¬luarkan kekayaan mereka untuk menjamu dan menyenangkan hati pasukan kerajaan yang menang perang. Mereka tahu bahwa semua ini berkat pimpinan Puteri Milana yang terkenal itu. Dan anehnya, begitu sadar bahwa kebersihan mereka dikagumi penduduk, para anggauta pasukan itu sendiri merasa sungkan dan enggan me¬lakukan pelanggaran, karena kebersihan mereka itu merupakan kebanggaan mere¬ka! Dan kebanggaan ini pun mendatang¬kan suatu perasaan senang yang luar biasa. Milana sendiri beristirahat di dalam kamarnya, di bekas rumah gedung guber¬nur. Ketika seorang pengawal memberi laporan bahwa suaminya, pendekar Gak Bun Beng datang menyusul, Milana cepat menyambut suaminya dengan hati girang. Mereka lalu bercakap-cakap di dalam kamar. Kiranya begitu menerima berita isterinya, Gak Bun Beng menitipkan kedua putera kembarnya, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, kepada kepala dusun di lereng bukit, dan dia sendiri cepat menyusul isterinya ke kota raja. Ketika mendengar berita bahwa pasukan isterinya sudah menyerbu ke Ho-nan, dia pun cepat menyusul dan malam itu dia dapat bertemu dengan isterinya di rumah Gubernur Ho-nan yang telah ditinggalkan oleh penghuninya yang lari mengungsi ke lembah. Ketika Milana menceritakan kepada suaminya tentang penuturan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li tentang kekuatan di lembah Huang-ho yang ternyata di¬pimpin oleh pangeran dari Nepal yang dibantu oleh banyak orang pandai, bahkan bentengnya dibangun dan dipimpin oleh Jenderal Kao Liang yang terpaksa me¬nyerah karena semua keluarganya di¬tawan, Bun Beng menjadi terkejut bukan main. “Aihhh, kalau begitu berbahaya sekali! Jadi pangeran dari Nepal itu adalah pu¬tera dari pangeran tua Liong yang mem¬berontak dahulu itu? Ah, dia melanjutkan pemberontakan ayahnya?” “Dan agaknya dia tidak kalah licik dan cerdiknya dibandingkan ayahnya. Buktinya dia telah dapat memaksa Jen¬deral Kao untuk membantunya, dan me¬nurut Kian Bu, dia dibantu oleh orang-orang pandai yang berilmu tinggi, sedang¬kan Koksu Nepal yang memimpin benteng itu sendiri juga memiliki kepandaian hebat. Oleh karena itulah maka aku se¬ngaja mengundangmu, karena untuk menyerbu benteng yang dipimpin oleh Jen¬deral Kao, dan mendengar betapa banyak¬nya orang pandai di dalam benteng itu, terus terang saja, tanpa engkau di sampingku, aku merasa agak jerih juga.” Ketika Bun Beng mendengar bahwa juga Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, Ceng Ceng, sudah lebih dulu pergi menyelidik ke benteng, dan bahwa putera mereka pun menjadi tawanan, mendengar pula betapa Kian Bu juga sudah menyelidik ke sana, dia lalu mengambil keputusan untuk mendahului pasukan. “Sebaiknya aku pun pergi dulu me¬nyelidik ke sana, karena sesungguhnya aku belum percaya benar bahwa orang seperti Jenderal Kao Liang itu dapat berkhianat dan sudi membantu musuh yang memberontak, betapapun dia ter¬tekan dan betapa terancam pun kesela¬matan keluarganya. Dia bukanlah seorang lemah.” Milana juga setuju dengan usul suami¬nya itu dan semalam itu Bun Beng ber¬malam di kamar isterinya dan suami isteri ini saling melepaskan rindu mereka dan saling menasihati agar berhati-hati karena keduanya akan menghadapi bahaya dalam penyerbuan ke lembah itu. Pada keesokan harinya, Bun Beng bertemu dengan Kao Kok Han dan dari pemuda ini dia mendengar lagi penuturan yang lebih jelas tentang Jenderal Kao. Setelah berpamit dari isterinya, Bun Beng lalu berangkat, melakukan perjalan¬an secepatnya menuju ke lembah Huang-ho, mendahului pasukan yang pada hari itu juga diatur oleh Milana untuk be¬rangkat ke benteng di lembah itu. *** Malam terang bulan yang indah se¬kali, apalagi di tempat sunyi di tebing Sungai Huang-ho yang penuh dengan batu-batu besar dan bersih itu, tempat persembunyian Kok Cu dan Ceng Ceng. Biarpun musuh pernah menemukan me¬reka di situ, namun suami isteri ini tidak takut dan mereka tetap menanti di situ, tempat yang paling menyenangkan bagi mereka di sepanjang tepi sungai, karena dari situ mereka dapat melihat tembok benteng, dan tempat ini selain indah, juga amat sunyi dan bersih. Hanya kini mereka selalu berjaga dengan bergilir, tidak pernah lengah karena maklum akan kelihaian musuh-musuh yang berada di dalam benteng. Malam itu terang bulan, karena bulan sedang purnama. Di permukaan bumi tidak ada angin, akan tetapi di angkasa awan-awan berarak dengan cepat, tanda bahwa di atas sana terdapat angin yang menggerakkan awan-awan sehingga ka¬dang-kadang awan putih tipis menyembunyikan bulan yang menjadi agak suram cahayanya. Akan tetapi karena awan itu bergerak cepat, hanya sebentar saja bulan muncul lagi dengan lebih berseri. Kao Kok Cu nampak duduk bersila di atas sebuah batu besar, sedang teng¬gelam dalam siulian (samadhi) yang he¬ning. Samadhi akan kehilangan artinya kalau di dalamnya tersembunyi pamrih untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Samadhi adalah keadaan hening dan ber¬sih, bersih dari segala macam pamrih, hening karena berhentinya segala pikiran. Keheningan barulah benar-benar hening kalau datang tanpa diundang, kalau ada tanpa diadakan, kalau tidak dibuat agar supaya hening. Di waktu segala keinginan dan pamrih berhenti, maka keheningan akan ada dan itulah samadhi yang sesungguhnya. Bukan acuh tak acuh, bukan tidur duduk, melainkan sadar dan was¬pada akan segala sesuatu, di luar dan di dalam diri, mengamati apa adanya tanpa keinginan, untuk mengubah, menerima atau pun menolak, tanpa menilai, tanpa membenarkan atau menyalahkan. Tanpa “aku” yang bersamadhi, itulah samadhi yang sebenarnya. Ceng Ceng juga duduk tidak jauh dari suaminya, akan tetapi dia tidak dapat duduk diam karena pikirannya selalu teringat akan puteranya, akan keluarga suaminya. Dia merasa gelisah karena sudah hampir sepekan dia dan suaminya duduk menanti di tempat itu. Sampai berapa lama dia harus menanti, mem¬biarkan puteranya terancam bahaya di dalam tangan musuh-musuh yang dia tahu adalah orang-orang yang amat kejam dan jahat itu? Dia tidak dapat beristirahat seperti suaminya, makin lama makin merasa gelisah sehingga akhirnya dia tu¬run dari atas batu dan berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai. Malam itu memang indah sekali, namun sayang, bagi seorang yang sedang kacau batinnya oleh kegelisahan seperti Ceng Ceng, tidak ada apa pun yang kelihatan indah di dunia ini. Tiba-tiba sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar dan tubuhnya yang tadinya kelihatan lemas itu tiba-tiba saja ¬menjadi cekatan. Dia melihat sesuatu yang tentu saja menimbulkan kecurigaannya. Melihat bayangan manusia berkele¬bat tak jauh dari situ. Tentu musuh yang datang! Atau mata-mata musuh yang mengintai! Kemarahannya bangkit dan dengan gerakan ringan dan cepat sekali Ceng Ceng sudah bergerak melakukan pengejaran, menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu. Akan tetapi bayang¬an itu dapat bergerak cepat sekali dan sekali berkelebat, bayangan itu menyusup dan lenyap di balik semak-semak belukar. Ceng Ceng makin curiga, akan tetapi karena dia maklum akan kelihaian orang-orang di dalam benteng dan dia yakin bahwa yang nampak bayangannya tentu¬lah orang dari dalam benteng, dia ber¬sikap hati-hati sekali dan menyelidik dengan jalan memutar. Bulan kadang-kadang tertutup awan sehingga cahayanya menjadi remang-remang saja. Dengan langkah satu-satu dan amat waspada, Ceng Ceng memutari semak-semak di mana dia melihat bayangan tadi lenyap. Seluruh perhatian dicurahkannya melalui pendengaran dan penglihatannya. Tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang dan ketika secepat kilat dia membalik, dari sudut matanya Ceng Geng melihat bayangan orang menyerangnya dengan totokan yang cepat dan hebat. Akan tetapi Ceng Ceng memang sejak tadi sudah siap sedia, maka diserang seperti itu dia tidak menjadi gugup. Dia miring¬kan tubuh mengelak dan tangannya membalas dengan tamparan kilat ke dada penyerangnya itu. Orang itu terkejut bukan main, agaknya tidak mengira bah¬wa yang diserangnya itu selain dapat mengelak, juga dapat membalas dengan tamparan yang demikian hebatnya, ter¬bukti dari sambaran angin yang menan¬dakan sinkang yang dahsyat. Maka dia pun menggerakkan lengannya menangkis. “Dukkk....!” Keduanya terhuyung ke belakang dan mereka kaget bukan main mengetahui betapa kuatnya lawan. Ceng Ceng cepat memandang akan tetapi karena bulan masih tertutup awan, cuaca remang-remang dan dia hanya melihat seorang pria yang berdiri di depannya, seorang pria yang memiliki sepasang mata yang tajam bersinar. “Manusia curang, siapakah engkau? Mengakulah sebelum engkau mati tanpa nama!” bentak Ceng Ceng dengan marah sekali. Orang itu kelihatannya terkejut men¬dengar suara ini. “Ehhh....? Kau....“ Pada saat itu awan telah meninggalkan bulan dan cahaya bulan yang terang menyinari wajah kedua orang yang saling pandang itu. Keduanya kini kelihatan makin kaget. “Kau Ceng Ceng....!” “Tek Hoat....!” Memang orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini terus-menerus mengikuti jejak Puteri Syanti Dewi setelah dia gagal merampas Syanti Dewi dari puncak Naga Api sarang dari perkumpulan Liong-sim¬pang yang diketuai oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun. Dia dibantu oleh Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang katanya tahu di mana harus mencari Syanti Dewi. Akan tetapi sebetulnya Siluman Kucing itu pun tidak tahu, hanya menduga-duga saja dan sebenarnya wanita cabul itu bermaksud untuk mendekati pemuda ini dan kalau mungkin mencengkeram pe¬muda lihai ini untuk menjadi korban nafsu berahinya. Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang mulai sadar akan kesesatannya itu, apalagi setelah dia berjumpa dengan seorang pelacur yang membuka matanya, dia malah mempermainkan Siluman Ku¬cing dan meninggalkannya pergi untuk mencari sendiri jejak Syanti Dewi. Akhir¬nya dia mendengar tentang keadaan di lembah Huang-ho dan dia menaruh hati curiga. Dia pernah menyerang lembah itu sebagai sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang untuk memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pang, bersama dengan Siluman Kucing yang menjadi guru dari ketua Hek-eng-pang, sehingga mereka akhirnya dapat membobolkan bendungan air dan membuat lembah itu tenggelam dalam genangan air bah setelah tanggul atau bendungannya itu dijebolkan oleh alat-alat peledak dari Mauw Siauw Mo-li. Kini dia mendengar berita angin bahwa lembah itu telan berubah menjadi benteng yang kuat. Dia merasa curiga sekali dan ingin tahu, maka dia lalu menyelidiki ke lembah. Siapa tahu kalau-kalau Syanti Dewi yang seperti lenyap ditelan bumi itu berada di tempat itu, pikirnya. Hal ini memasuki pikirannya ketika dia mendengar bahwa banyak to¬koh kaum sesat kabarnya juga berada di dalam benteng itu. Andaikata Syanti Dewi tidak berada di situ, setidaknya dia akan dapat bertanya kepada para tokoh sesat itu dan tentu ada di antara mereka yang tahu di mana adanya Syanti Dewi dan siapa yang telah menculiknya. Malam itu dia tiba di dekat benteng lembah dan selagi dia berjalan dan hen¬dak mulai dengan penyelidikannya, dia melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan mengejarnya. Maka dia lalu menyelinap dan menyerang bayangan itu untuk menotoknya, karena dia men¬duga bahwa bayangan itu tentulah mata-mata dari dalam benteng. Akan tetapi betapa kagetnya ketika bayangan itu se¬demikian lihainya, dan makin kagetlah dia ketika cahaya bulan menyinari wajah yang cantik itu, wajah dari Ceng Ceng, saudara tirinya seayah berlainan ibu! Ibu dari Ceng Ceng adalah Lu Kim Bwee, sedangkan ibu dari Tek Hoat ber¬nama Ang Siok Bi. Ketika kedua orang wanita itu masih gadis, mereka telah tertimpa malapetaka dan aib. Mereka itu dicemarkan oleh seorang laki-laki yang berilmu tinggi sehingga mereka keduanya mengandung. Dari kandungan itulah ter¬lahir Ceng Ceng dan Tek Hoat. Karena mereka terlahir sebagai akibat perkosaan, maka mereka berdua menggunakan she ibu masing-masing. Ceng Ceng meng¬gunakan she Lu sedangkan Tek Hoat menggunakan she Ang. Ayah kandung mereka yaitu pria yang mencemarkan ibu masing-masing itu bukanlah orang sem¬barangan, karena dia adalah putera tiri dari Pendekar Super Sakti yang bernama Wan Keng In (baca cerita Sepasang Pe¬dang Iblis dan Kisah Sepasang Rajawali). Ketika masih kecil, baik Ceng Ceng maupun Tek Hoat tidak tahu akan raha¬sia itu karena ibu masing-masing tidak mau menceritakan aib itu kepada anak masing-masing. Baru setelah kedua orang anak ini menjadi dewasa, di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, mereka ber¬temu dan bahkan mereka hampir saling jatuh cinta. Kemudian terbukalah rahasia itu dan keduanya baru tahu bahwa me¬reka berdua sesungguhnya adalah saudara tiri, seayah berlainan ibu! Dan keduanya sesungguhnya adalah she Wan. “Ah, kusangka engkau seorang mata-mata dari benteng!” seru Tek Hoat. Ceng Ceng cemberut. “Engkaulah yang kukira mata-mata dari dalam benteng!” Keduanya lalu tersenyum dan saling pandang. Memang keduanya mempunyai perasaan suka satu sama lain, apalagi setelah mereka tahu bahwa mereka ada¬lah saudara seayah. Dalam pandang mata mereka itu terdapat keharuan karena memang keduanya tidak mempunyai sau¬dara lain, bahkan tidak bersanak kadang lagl. “Bagaimana keadaanmu....?” Keduanya bicara berbareng dan dengan pertanyaan yang sama. Kemudian keduanya ter¬senyum dan pada saat itu muncullah Kao Kok Cu. Di dalam siulian tadi, Kok Cu men¬dengar suara isterinya, maka dia pun cepat meloncat turun dan mencari. Dia merasa heran sekali melihat isterinya berhadapan dengan seorang pria dan ke¬tika dia tiba di situ, segera dia menge¬nal Tek Hoat. “Ah, kiranya engkau, Tek Hoat!” ka¬tanya. Tek Hoat memandang wajah Kok Cu penuh perhatian. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan bahwa antara Tek Hoat dan Kok Cu sesungguhnya terdapat hubungan yang tidak asing lagi, akan tetapi sesungguhnya baru sekarang inilah Tek Hoat sempat mengenal dan meman¬dang wajah Kok Cu, karena dahulu Kok Cu selalu memakai topeng yang amat buruk sehingga dia pun hanya dikenal sebagai Si Topeng Setan. Setelah memandang wajah suami Ceng Ceng itu dia menarik napas panjang. “Ah, kiranya engkau adalah seorang yang gagah dan tampan, Topeng Setan!” katanya. “Aku girang sekali bahwa sau¬daraku ini memperoleh seorang suami hebat seperti engkau.” Akan tetapi hanya sebentar saja Tek Hoat kelihatan gembira dengan pertemu¬an ini. Segera wajahnya murah kembali, apalagi karena dia teringat betapa ke¬adaannya jauh dibandingkan dengan Ceng Ceng yang berbahagia dengan suaminya, sedangkan dia, sampai sekarang pun belum juga dapat mengetahui di mana ada¬nya Syanti Dewi. “Bagaimana engkau sampai tiba di sini?” tanya Ceng Ceng. “Aku memang perantau yang bisa berada di mana saja. Akan tetapi kalian? Mau apa di sini?” Tek Hoat balas ber¬tanya karena dia tidak suka mencerita¬kan keadaan dirinya. “Ah, engkau tidak tahu, Tek Hoat. Malapetaka besar menimpa keluarga ka¬mi,” kata Ceng Ceng dan dia lalu ber¬cerita tentang keluarga Kao dan juga puteranya yang diculik orang dan ditawan di dalam benteng itu. Kok Cu tidak sempat mencegah isterinya bercerita, apa¬lagi dia merasa kurang enak karena dia maklum bahwa isterinya sangat suka kepada saudara tirinya itu. Dia melihat betapa Tek Hoat mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang me¬ngeluarkan seruan kaget mendengar betapa orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, bahkan Im-kan Ngo-ok yang terkenal itu semua berkumpul di dalam benteng! Bukan tidak mungkin Syanti Dewi berada di situ pula sebagai tawanan, pikirnya. Dia tidak dapat memikirkan lain kecuali Syanti Dewi. Setelah Ceng Ceng selesai bercerita, Tek Hoat menegur, “Kalau begitu, ke¬napa kalian tidak segera masuk dan me¬nolong mereka yang tertawan?” “Ah, kami sudah masuk, akan tetapi kami melihat betapa keluarga kami ter¬ancam, maka kami hendak menanti saat baik untuk menolong mereka,” jawab Ceng Ceng, akan tetapi jawaban ini se¬olah-olah tidak didengar oleh Tek Hoat. Dia lalu bangkit berdiri, dan berkata kepada suami isteri itu. “Aku pergi dulu....!”¬ “Engkau hendak ke mana?” Kok Cu menegur. “Aku akan mencoba masuk ke dalam benteng itu!” “Tek Hoat, jangan....!” Ceng Ceng berkata. “Keadaannya amat berbahaya, engkau akan celaka di sana sebelum ber¬hasil....“ “Aku tidak takut!” jawab Tek Hoat dengan sikapnya yang keras kepala. Ceng Ceng merasa terharu sekali. Dia mengira bahwa Tek Hoat kini telah berubah menjadi seorang yang berwatak pendekar gagah, dan yang merasa pena¬saran mendengar tentang ditawannya Cin Liong dan keluarga Kao lainnya, dan bermaksud untuk nekat memasuki ben¬teng dan menolong keluarga yang ter¬tawan itu. “Tek Hoat, tidak perlu engkau mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Keluar¬ga kami terlalu banyak untuk dapat kau¬selamatkan seorang diri saja. Sebaiknya tunggu kesempatan dan kelak bersama kami bergerak.” Sebetulnya, niat dari Tek Hoat itu amat cocok dengan niat di hati Ceng Ceng yang juga sudah tidak sabar lagi menanti kesempatan, dan ingin dia meng¬ajak suaminya untuk bersama dengan Tek Hoat malam itu juga menyerbu benteng. Akan tetapi ucapan Tek Hoat sungguh tidak diduganya sama sekali. “Aku harus mencari Syanti Dewi, se¬karang juga!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat sudah lenyap dari situ. Ceng Ceng termangu-mangu, kemudi¬an mengepal tinjunya dan merasa men¬dongkol sekali. “Ah, kiranya dia hendak mencari Enci Syanti Dewi? Hemmm, tidak sempat kutanya dia mengapa dia meninggalkan Enci Syanti Dewi di Bhutan dan sekarang pura-pura ribut mencarinya, hemmm....“ Ceng Ceng marah dan men¬dongkol karena kecewa. Tadinya dia kira Tek Hoat mau membela keluarga suami¬nya, tidak tahunya pemuda itu sama sekali tidak memikirkan tentang keluarga Kao, dan keinginannya memasuki benteng itu tidak lain hanya untuk mencari Syanti Dewi. Kok Cu maklum akan kejengkelan hati isterinya, dia merangkul isterinya dan berkata, “Kasihan dia. Dia menderita tekanan batin yang hebat sekali, hal itu dapat kulihat dari wajahnya.” “Hemmm, mungkin dia menjadi jahat lagi....“ Ceng Ceng berkata, membayang¬kan kembali cerita tentang ayah kandung¬nya, seorang manusia yang amat jahat! Dia merasa beruntung bahwa dia menjadi isteri seorang bijaksana seperti Kok Cu, karena kalau dia teringat akan pengalamannya dahulu, setelah dia menjadi murid Ban-tok Mo-li, mungkin saja dia pun menjadi seorang tersesat yang jahat, seperti mendiang ayah kandungnya. Dan tiba-tiba dia bergidik dan menyembunyi¬kan mukanya dalam rangkulan lengan kanan suaminya. *** Malam telah larut, lewat tengah ma¬lam. Bulan purnama telah condong ke barat dan malam itu dingin dan sunyi sekali. Akan tetapi, sesosok bayangan seperti setan berkelebatan di bawah tem¬bok benteng. Bayangan orang itu bukan lain adalah Tek Hoat yang telah meninggalkan Ceng Ceng dan suaminya. Ceng Ceng tidak melihat Syanti Dewi di dalam benteng, akan tetapi siapa tahu? Dan seandainya dia tidak menemukan Syanti Dewi di situ, tidak pula bisa memperoleh kabar tentang puteri itu, setidaknya dia akan dapat menuntut agar putera Ceng Ceng dibebaskan. Dia tidak perlu banyak berjanji kepada suami isteri itu, akan tetapi kalau di sana tidak ada Syanti Dewi, dia tentu akan membebas¬kan putera Ceng Ceng! Saudara tirinya itu kelihatan demikian gelisah, dan diam-diam dia merasa amat kasihan kepada Ceng Ceng. Dia tidak takut biarpun di sana ada Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi dan yang disebut Im-kan Ngo-ok yang tidak dikenalnya itu. Biar semua iblis dan setan berkumpul di sana, dia tidak takut! Ketika dia mulai mendekati tembok benteng, Tek Hoat yang berpenglihatan tajam itu mengerti bahwa ada bayangan yang mengikutinya. Orang yang mem¬bayanginya itu juga amat cepat gerakan¬nya. Mula-mula dia menduga bahwa ba¬yangan itu tentulah Ceng Ceng atau Kok Cu, akan tetapi setelah dia melihat sekelebatan, dia tahu bahwa bayangan itu bukan Ceng Ceng, karena orang itu ting¬gi besar tidak seperti bentuk tubuh Ceng Ceng dan lengannya lengkap tidak seper¬ti lengan Kok Cu. Akan tetapi karena bayangan itu hanya mengikutinya, maka dia pun tidak mempedulikan dan melan¬jutkan gerakannya meloncat naik ke atas tembok benteng seperti seekor burung garuda terbang saja. Loncatannya tidak mungkin dapat mencapai di atas tembok yang demikian tingginya, akan tetapi seperti seekor cecak terbang, dia hing¬gap di tembok dan menggunakan kaki tangannya menempel tembok dan terus merangkak ke atas menggunakan sinkangnya yang membuat telapak tangannya menyedot dan menempel dinding, me¬nahan tubuhnya. Dengan cepat dia me¬rayap seperti seekor cecak dan akhirnya dia dapat mencapai pinggiran tembok dan meloncat naik ke atas tembok benteng yang tinggi itu. Akan tetapi baru saja dia berdiri, kakinya telah menginjak alat jebakan dan dari bawah menyambar be¬lasan batang anak panah ke arah tubuh¬nya! Namun, Tek Hoat telah siap was¬pada dan begitu mendengar bunyi ber¬desir dari bawah, dia telah meloncat ke atas dan mengelak, lalu turun lagi di atas dinding tembok di depan. Kiranya semenjak benteng itu kebobolan, Im-kan Ngo-ok telah memasang jebakan-jebakan di atas tembok benteng dan satu di an¬tara alat jebakan itu tadi terinjak oleh Tek Hoat. Tek Hoat terus berloncatan di atas tembok benteng yang berlapis-lapis itu, dari tembok pertama ke atas tembok ke dua. Dia melihat bayangan di belakang¬nya tetap mengikutinya akan tetapi dia tidak peduli dan terus meloncat ke tembok sebelah dalam. Tiba-tiba dia terkejut sekali ketika tembok yang diinjaknya bergoyang dan melesak ke bawah! Karena secara tiba-tiba tubuhnya terjeblos ke bawah, tentu saja dia tidak dapat me¬loncat lagi ke atas dan ketika dia me¬mandang ke bawah, ternyata di bawah¬nya telah menanti ujung-ujung tombak yang meruncing. Dari atas, ujung-ujung tombak itu kelihatan menyeramkan dan orang yang terjatuh ke tempat itu tentu akan tembus-tembus tubuhnya oleh puluh¬an batang tombak itu. Untuk meloncat ke lain tempat sudah tidak mungkin lagi, maka mau tidak mau Tek Hoat harus terus meluncur ke bawah! Dia cepat mengerahkan ginkangnya dan ketika ujung-ujung tombak itu telah dekat sekali, dia menggunakan ujung kakinya menotol ujung tombak dan mengenjot ke atas untuk mematahkan tenaga luncuran tubuhnya, kemudian dia turun lagi dan hinggap de¬ngan kedua kakinya ke atas ujung dua batang tombak. Akan tetapi tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia me¬ngerahkan tenaganya dan mematahkan tenaga luncuran tubuhnya, kemudian dia turun lagi dan hinggap dengan kedua ka¬kinya ke atas ujung dua batang tombak seperti seekor burung saja! Dengan ber¬jongkok tangannya mencabut sebatang tombak. Akan tetapi tombak itu ter¬pasang kuat sekali, terpaksa dia menge¬rahkan tenaganya dan mematahkan ga¬gang tombak itu, lalu dia mengenjot tubuhnya meloncat ke atas. Ketika dia tidak mencapai atas tembok, dia meng¬gunakan tombak patahan tadi untuk me¬nyodok dinding dan dengan tenaga sodok¬an ini dia dapat berpoksai lagi ke atas. sehingga akhirnya dapat juga dia hinggap di atas tembok kembali. “Bagus sekali....!” Pujian ini terde¬ngar dari bayangan yang masih mengikuti¬nya dari jauh. Akan tetapi Tek Hoat tidak peduli lagi dan melanjutkan penyelidikannya, meloncat terus ke tembok sebelah dalam lagi. Kini Tek Hoat telah tiba di lapisan tembok benteng yang paling dalam. Tiba-tiba terdengar suara berdering-dering ketika kakinya menyangkut tali rahasia dan Tek Hoat melihat pasukan berbondong-bondong datang ke sebelah dalam tembok. Bahkan ada pasukan dua puluh orang lebih yang menghujankan anak panah ke arah dia berdiri di atas tem¬bok. Akan tetapi, Tek Hoat sama sekali tidak menjadi gentar, dia malah terus meloncat ke dalam sambil memutar tom¬bak yang dicabutnya dari tempat jebak¬an tadi dan semua anak panah dapat ditangkisnya dan runtuh ke bawah. De¬ngan ringan kakinya menginjak tanah di tengah-tengah lapangan di sebelah dalam benteng itu dan sebentar saja dia sudah terkurung oleh pasukan penjaga yang banyak sekali. Akan tetapi, pemuda ini berdiri tenang dan sepasang matanya bersinar-sinar menyeramkan. Tidak ada anggauta pasukan yang berani menyerang karena selain tidak ada perintah dari atasan, juga mereka maklum bahwa yang datang ini adalah seorang pemuda yang lihai sekali, seperti Si Naga Sakti dan isterinya yang juga datang ke benteng ini beberapa hari yang lalu. Menghadapi orang-orang sakti seperti ini bukanlah tugas mereka dan memang benar saja, tak lama kemudian terdengar aba-aba dari komandan mereka untuk membuka jalan dan nampaklah Koksu Nepal dan para pembantunya menghampiri tempat itu dan berhadapan dengan Tek Hoat yang memandang kepada rombongan ini dengan sikap tenang dan sinar mata ta¬jam penuh selidik. “Ha-ha-ha, dia adalah Si Jari Maut! Dari tadi aku sudah mengenalnya!” Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah Hek-hwa Lo-kwi. Juga Hek-tiauw Lo-mo yang ikut datang bersama Koksu Nepal segera mengenal pemuda itu. “Ang Tek Hoat si Jari Maut, mau apa kau berkeliaran ke sini?” bentaknya. Tek Hoat memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, ke¬mudian terdengar dia berkata dengan sikap angkuh dan tenang, “Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apakah kalian menjadi pimpinan di sini ataukah hanya sebagai pembantu-pembantu belaka? Ka¬lau begitu, siapakah pemimpinnya? Aku mau bicara dengan pemimpin benteng ini.” Begitu mendengar julukan Si Jari Maut, biarpun dia belum pernah men¬dengar julukan yang memang belum lama terkenal di dunia kang-ouw ini, namun koksu sudah merasa kagum. Orang yang mendapat pujian dari dua orang kakek iblis itu tentulah bukan orang biasa, dan pemuda ini masih begini muda, dan ce¬katan pula, buktinya dapat melalui jebak¬an-jebakan dengan begitu mudah. Maka dia lalu melangkah maju dan tersenyum lebar. “Kami, koksu dari Nepal, adalah yang mewakili Pangeran Bharuhendra memimpin benteng ini. Ang-sicu sudah memer¬lukan malam-malam datang ke tempat ini, ada keperluan apakah?” tanyanya dengan sikap ramah. Sinar bulan tenggelam, akan tetapi sebagai gantinya, banyak obor dinyalakan untuk membantu penerangan lampu yang banyak tergantung di tempat itu sehingga Tek Hoat dapat mengamati wajah banyak orang itu. Kini dia berhadapan dengan Ban Hwa Sengjin dan setelah sejenak memandang wajah kakek ini dengan penuh selidik, dia lalu berkata dengan lan¬tang, “Kiranya yang memimpin adalah koksu dari Nepal! Sungguh hebat benteng ini, dan kulihat banyak orang-orang pan¬dai membantu di sini. Koksu, aku sama sekali tidak mau mencampuri urusan pemberontakan. Aku datang untuk urusan pribadi, yaitu aku mencari Puteri Bhutan....” “Ah, Puteri Syanti Dewi?” Koksu Nepal itu memotong sambil tersenyum lebar. “Benar!” Jantung Tek Hoat berdebar keras. “Bukankah dia berada di sini? Aku datang untuk mencari dia!” “Ah, tentu saja sang puteri berada di sini, Ang-sicu. Beliau berada di sini se¬bagai tamu agung!” Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Hem, siapakah yang tidak tahu bahwa Nepal selamanya tidak pernah bersahabat de¬ngan Bhutan?” Mendengar ini, Koksu Nepal terkejut dan tiba-tiba Gitananda berbisik dalam bahasa Nepal kepada koksu itu. Wajah koksu itu menjadi berseri. “Aha, kiranya engkau adalah panglima muda yang amat terkenal di Bhutan, yang pernah akan menjadi mantu Raja Bhutan itu? Ah, sungguh kebetulan sekali! Agaknya eng¬kau telah meninggalkan Bhutan dan tidak tahu bahwa antara Bhutan dan Nepa1 telah terjadi persahabatan. Buktinya, Puteri Syanti Dewi kini menjadi tamu kami, diantar oleh panglimanya.” Dia lalu bicara kepada Gitananda untuk memang¬gil Mohinta. Tek Hoat terkejut melihat munculnya panglima muda Bhutan itu di situ. Se¬baliknya, ketika Mohinta melihat Tek Hoat, dia menjadi marah sekali dan ber¬sama para pengikutnya, dia sudah me¬lolos senjata dan hendak menyerang. Akan tetapi koksu mengangkat tangannya dan memberi isyarat kepada Mohinta untuk mundur. “Ang-sicu, kaulihat sendiri, Panglima Mohinta dari Bhutan sendirilah yang me¬ngawal Sang Puteri Syanti Dewi dan menjadi tamuku. Kita semua adalah me¬rupakan satu keluarga, mengingat bahwa Sicu juga sudah berjasa untuk Bhutan. Nah, sekarang katakanlah, apa maksud kedatanganmu? Sebagai kawan ataukah sebagai lawan?” Semua orang terkejut dan merasa heran mendengar ucapan koksu yang mengaku bahwa Puteri Bhutan itu berada di situ sebagai tamu. Padahal, bukankah puteri itu telah terculik orang dan sam¬pai kini beium diketahui di mana ada¬nya? Akan tetapi tidak ada orang yang tahu akan kelicikan koksu ini. Dia memang sengaja mengatakan bahwa Syanti Dewi masih berada di situ, karena dia mempunyai rencana yang dianggapnya baik sekali untuk dapat menahan pemuda yang lihai ini agar dapat membantunya. “Terserah kepada koksu akan meng¬anggap aku sebagai kawan atau lawan. Maksud kedatanganku sudah jelas, yaitu aku ingin melihat Puteri Syanti Dewi dalam keadaan selamat. “Ha-ha-ha, permintaan yang amat mudah, Ang-sicu. Tentu engkau maklum bahwa keselamatan sang puteri sepenuh¬nya berada di tangan kami. Kalau Sicu mau membantu kami, sudah pasti sang puteri akan selamat....“ “Sudah kukatakan bahwa aku tidak hendak mencampuri urusan pemberontak¬anmu!” Tek Hoat memotong cepat. “Baiklah, setidaknya asal engkau suka berjanji bahwa engkau tidak akan mem¬bantu fihak musuh kami dan bahwa eng¬kau suka melindungi Puteri Syanti Dewi di sini.” “Tentu saja aku akan suka melindungi¬nya dari siapapun juga!” jawab Tek Hoat. “Akan tetapi biarkan aku lebih dulu ber¬temu dengan dia.” “Ang-sicu, hendaknya Sicu maklum bahwa setelah Sicu berada di dalam ben¬teng, maka kamilah yang menentukan segala sesuatu, karena betapapun lihainya Sicu, seorang diri saja tidak berdaya terhadap kami. Sicu baru saja datang, tentu tidak baik kalau bertemu dengan sang puteri. Akan tetapi tunggulah satu dua hari, kalau memang Sicu benar-benar mau tinggal di sini melindunginya dan memperlihatkan iktikad baik bahwa Sicu bukan mata-mata musuh kami, barulah Sicu akan dapat bertemu dengan Puteri Syanti Dewi.” Tek Hoat memandang ke sekeliling. Dia melihat bahwa selain Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, juga terdapat banyak orang yang kelihatan berilmu tinggi. Semua tokoh ini sudah berbahaya, apalagi ditambah dengan banyak pasukan dan keadaan benteng yang kokoh kuat, memang kalau dia menggunakan kekeras¬an hal itu adalah bodoh sekali. Apalagi setelah ada kepastian bahwa Syanti Dewi berada di situ dan dalam keadaan sela¬mat, apalagi yang dikehendakinya? Dia harus bersabar sampai dia benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi, setelah bertemu barulah dia akan mencari akal bagaimana untuk dapat membawa keluar puteri itu dari benteng ini. Kalau hal ini tidak mungkin, setidaknya dia berdekatan dengan wanita yang dicintanya itu dan dapat melindunginya dari gangguan siapapun juga dengan taruhan nyawanya. “Baiklah, asal benar-benar dia berada di sini, aku akan melindunginya di sini dan tidak akan mencampuri urusan kelian dengan mnusuh-musuh kalian,” katanya. Tek Hoat lalu diberi sebuah kamar dan diam-diam gerak-geriknya selalu diikuti. Pemuda ini pun tidak memper¬lihatkan sikap mencurigakan karena dia hanya menanti sampai dia dapat dipertemukan dengan kekasihnya. Satu dua hari, kata koksu. Baik, dia akan bersikap baik selama dua hari sampai dia benar-benar melihat sang puteri dalam keadaan selamat. Sementara itu, kalau semua orang merasa heran, koksu dengan tenang lalu memanggil pembantunya yang ahli dalam hal itu, yaitu Ang-siocia dan gurunya, yaitu Hek-sin Touw-ong. Adanya dua orang yang pandai melakukan pe¬nyamaran inilah yang membuat koksu tanpa ragu-ragu mengatakan kepada Tek Hoat bahwa Syanti Dewi memang berada di situ sebagai tamu! “Pemuda selihai itu sebaiknya kalau berfihak kepada kita,” kata koksu kepada para pembantunya setelah Ang-siocia dan gurunya hadir, “atau setidaknya, dalam menghadapi masa gawat ini, sebaiknya kalau dia di sini dan tidak membantu musuh. Karena itulah aku menggunakan dalih adanya Puteri Syanti Dewi untuk menahan dia di sini, dan untuk melaksa¬nakan akal ini, aku mengharapkan bantuan Ang-siocia, dan Hek-sin Touw-ong.” Dara itu saling pandang dengan guru¬nya. Mereka itu semenjak berada di da¬lam benteng, tidak pernah melihat ke¬sempatan untuk melarikan diri karena biarpun mereka itu dianggap pembantu-pembantu, akan tetapi seperti juga Jen¬deral Kao, mereka adalah pembantu-pem¬bantu yang dicurigai sehingga selalu ter¬jaga dan tidak pernah diperkenankan keluar dari benteng. “Memang hal itu mudah dilakukan karena kami melihat di sini banyak wanita Nepal yang potongan wajahnya agak mirip sang puteri sehingga mudahlah untuk meriasnya sehingga tidak akan ada bedanya dengan wajah sang puteri sen¬diri, kata Touw-ong.” “Menghias mukanya memang mudah sekali, juga pakaian dan gerak-geriknya, akan tetapi meniru suaranya harus di¬pimpin oleh seorang yang mengenal betul cara sang puteri bicara,” kata Ang-siocia. “Kalau benar Ang Tek Hoat itu dahulu adalah tunangan sang puteri, tentu dia akan dapat mengenal cara wanita itu bicara.” “Bagus!” kata Ban Hwa Sengjin ber¬seru girang. “Soal cara bicara dan lagak¬nya, di sini terdapat Mohinta yang akan mampu melatihnya karena dia tentu hafal akan kebiasaan sang puteri bicara dan bersikap.” Mohinta mengangguk-angguk, sungguh¬pun di dalam hatinya dia tidak setuju kalau Tek Hoat diterima sebagai sekutu di tempat itu. Menurut keinginannya, pemuda itu sebaiknya dibunuh saja! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani mem¬bantah kehendak Koksu Nepal yang ber¬tindak demi kepentingan benteng. Mudah saja bagi Ang-siocia dan guru¬nya untuk menyulap seorang dayang Ne¬pal yang menjadi pelayan Pangeran Bha¬ruhendra, menjadi Puteri Syanti Dewi. Biarpun baru satu kali guru dan murid ini melihat Syanti Dewi, namun ingatan mereka kuat sekali, dan pula di situ ter¬dapat Mohinta dan para bekas dayang yang melayani sang puteri sehingga me¬reka ini dapat memberi petunjuk. Dalam waktu satu dua jam saja berubahlah seorang dayang menjadi Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dari rambut sampai ke kakinya, persis sekali! Kini tinggal me¬latih dayang itu untuk bersikap dan bi¬cara seperti Syanti Dewi dan hal inilah yang lebih sukar sehingga membutuhkan waktu dua hari di bawah pimpinan Mo¬hinta, baru dayang itu dapat meniru dan agak mirip dengan gerak-gerik dan cara bicara Puteri Bhutan itu. Oleh karena itu, Koksu Nepal memesan kepada da¬yang itu untuk bicara seperlunya saja dan wanita ini sudah dilatih sampai hafal betul apa yang harus diucapkannya kalau dia sebagai Puteri Syanti Dewi bertemu dengan Ang Tek Hoat! Demikianlah, setelah dua hari lama¬nya menanti di situ, akhirnya Ang Tek Hoat ditemui oleh koksu dan kakek ini tertawa lebar. “Ha-ha-ha, girang hati kami melihat bahwa engkau ternyata tidak memperlihatkan sikap buruk, Sicu. Maka, sekarang kami memenuhi janji untuk mempertemukan engkau dengan Puteri Bhutan. Tentu saja hanya terbatas, pokoknya Sicu dapat membuktikan bahwa dia selamat di sini dan dapat bicara sepatah dua patah kata.” Tek Hoat tidak memperhatikan syarat itu karena hatinya sudah berdebar penuh ketegangan dan juga kegirangan. Semen¬jak dia meninggalkan Bhutan, hatinya menderita hebat oleh rasa rindunya ke¬pada Syanti Dewi dan dia sudah merasa putus asa karena tidak mungkin dia akan dapat bertemu lagi dengan kekasihnya itu. Maka ketika dia mendengar bahwa Syanti Dewi meninggalkan Bhutan dan berada di timur, dia mencari-cari sampai akhirnya sekarang tiba saatnya dia akan bertemu muka, berhadapan dan bicara dengan kekasihnya itu! Jantungnya ber¬debar-debar dan dia hanya dapat meng¬angguk kepada Ban Hwa Sengjin dengan perasaan berterima kasih. Mereka menuju ke satu bagian di dalarn benteng itu dan dari dalam sebuah pintu di pondok besar, muncullah Syanti Dewi dengan gerak-geriknya yang lemah lembut dan harus diiringkan oleh beberapa orang dayang. Ketika Syanti Dewi me¬lihat Tek Hoat, dia mengeluarkan seruan tertahan dan berhenti melangkah, lalu memandang dengan mata terbelalak ke¬mudian menundukkan mukanya, lalu jari-jari tangannya mempermainkan ujung bajunya. Kebiasaan sang puteri kalau sedang tegang, kebiasaan yang amat dikenal oleh Tek Hoat! “Dewi....!” Tek Hoat berseru lirih dan melangkah maju, lehernya seperti dicekik rasanya karena terharu dan juga girang. Ternyata kekasihnya itu benar-benar dalam keadaan selamat dan hal ini amat menggirangkan hatinya! “Terima kasih kepada Thian bahwa engkau masih dalam keadaan sehat dan selamat!” Hanya de¬mikianlah Tek Hoat dapat berseru dengan girang sekali. “Ang Tek Hoat terdengar sang puteri berkata dengan suara agak geme¬tar, tanpa mengangkat mukanya. “Mau apakah engkau minta bertemu dengan aku....?” Dalam suara itu terkandung kedukaan dan kemarahan. Tek Hoat mengerutkan alisnya. Biasa¬nya, Puteri Syanti Dewi menyebut koko atau kanda, kini menyebut namanya begitu saja. Dia dapat mengerti bahwa tentu sang puteri ini marah kepadanya, dan dia dapat mengerti mengapa puteri ini marah kepadanya. “Dinda Syanti Dewi, engkau tahu.... betapa berat hatiku berpisah.... dan betapa kaget hatiku mendengar engkau berada di sini, meninggalkan Bhutan. Aku hanya ingin melihat engkau selamat dan bahagia....“ Tek Hoat mengeluarkan isi hatinya tanpa malu dan sungkan lagi sungguhpun di situ terdapat empat orang dayang dan juga terdapat Ban Hwa Seng¬jin. Bahkan dia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan tak jauh dari situ. Dan memang diam-diam empat orang Im-kan Ngo-ok lainnya bersiap-siap tidak jauh dari tempat itu, menjaga kalau-kalau Tek Hoat melihat penyamaran itu. Puteri palsu itu sengaja menyebut Tek Hoat dengan namanya saja karena hal ini sudah diperhitungkan baik-balk oleh Mohinta yang mengatur percakapan itu! Maka berkatalah puteri itu sesuai dengan hafalannya, “Ang Tek Hoat, eng¬kau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita. Akan tetapi kalau engkau memperlihat¬kan bantuan untuk menghadapi musuh dari Pangeran Nepal, baru aku mau mengenalmu lagi. Nah, sampai jumpa pula.... dan semoga kau berhasil!” Setelah ber¬kata demikian, puteri palsu itu mem¬balikkan tubuhnya dan diiringkan oleh para dayang dia masuk, kembali ke dalam pondok. “Syanti....! Syanti Dewi....!” Tek Hoat berseru akan tetapi sesuai dengan petunjuk yang telah diterimanya, puteri itu tidak mau berhenti atau menoleh. Daun pintu ditutupkan oleh para dayang dan ketika Tek Hoat melangkah ke de¬pan, Ban Hwa Sengjin sudah mendekati¬nya dan menegurnya. “Sicu, pondok ini khusus untuk sang puteri, tidak ada pria yang boleh masuk. Marilah kita bicara. Saya kira sang pu¬teri sudah cukup jelas bicara.” Seperti orang yang kehilangan se¬mangat Tek Hoat mengikuti Koksu Nepal dan dengan ucapan Syanti Dewi masih terngiang di telinganya, apalagi kata-kata terakhir “semoga kau berhasil!” ber¬kesan di dalam hatinya, dia mendengar¬kan bujukan-bujukan Koksu Nepal dan akhirnya dia menyetujui untuk melindungi sang puteri di dalam benteng itu dan akan membantu menghalau musuh yang membahayakan keselamatan Syanti Dewi sedapat mungkin! Selagi koksu membujuk Tek Hoat, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan datanglah penjaga melapor bahwa pasu¬kan Gubernur Ho-nan datang berlari-lari¬an, nampaknya ketakutan dan mengalami kekalahan! Mendengar ini, Ban Hwa Seng¬jin cepat pergi melapor kepada Pangeran Bharuhendra yang cepat keluar dan pintu gerbang dibuka lebar untuk menyambut datangnya sang gubernur bersama pasu¬kannya yang melarikan diri dari Lok-yang itu. Sang Gubernur Kui Cu Kam dengan muka pucat dan napas terengah-engah menceritakan betapa pasukan besar yang dipimpin oleh Puteri Milana telah menggempur Lok-yang dan telah menduduki semua kota, dan tentu akan segera me¬nyerbu ke lembah. Dalam pertemuan ini, dengan singkat Tek Hoat diperkenalkan kepada sang pangeran oleh Koksu Nepal. Pangeran Liong Bian Cu sudah mendengar laporan lengkap tentang Tek Hoat, maka dia pun menyatakan kegirangannya bahwa pemuda itu suka membantunya. Kemudian, pa¬ngeran memerintahkan agar semua pem¬bantunya dikumpulkan dan diadakanlah persidangan kilat untuk mengatur ren¬cana dan siasat menghadapi musuh yang sudah mengancam. Kepada Jenderal Kao Liang yang juga diharuskan hadir, sang pangeran berkata, “Sekaranglah tiba saatnya engkau mem¬perlihatkan kepandaianmu dan memenuhi janjimu, Jenderal Kao!” Jenderal yang tua itu dengan wajah muram mengangguk. “Saya akan memper¬lihatkan bahwa janji saya akan tetap saya penuhi, dan tidak akan ada pasukan manapun yang mampu membobolkan ben¬teng ini!” Jenderal Kao Liang lalu berpamit mundur untuk mulai mengatur penjagaan dan membagi-bagi tugas ke¬pada para komandan bawahannya. Pangeran Liong Bian Cu mengajak Gubernur Kui Cu Kam untuk bicara di dalam sedangkan persidangan itu dilanjut¬kan oleh Koksu Nepal yang membagi-bagi tugas kepada para tokoh pembantu¬nya untuk memperkuat kedudukan ben¬teng di sebelah dalam, karena kedudukan di sebelah luar seluruhnya menjadi tang¬gung jawab Jenderal Kao Liang. Sibuklah semua orang yang menanti dengan jantung berdebar tegang karena para pasukan gubernur yang melarikan diri ke benteng itu bercerita betapa kuatnya pasukan kota raja yang dipimpin oleh Puteri Milana yang memang ter¬kenal pandai sekali dalam hal memimpin pasukan itu. Puteri Milana ini memang mengingatkan kaum tua kepada Puteri Nirahai, ibunya, yang dahulu juga merupakan seorang panglima besar yang amat pandai. Tek Hoat juga memperoleh bagian dalam pembagian kerja itu, yaitu dia harus melindungi bagian bangunan di mana juga tinggal Puteri Syanti Dewi. Tentu saja pemuda ini menerima tugas itu dengan girang dan dia pun bersungguh-sungguh, karena dia akan melindungi sang puteri dengan taruhan nyawanya. Pada keesokan harinya, muncullah pasukan kerajaan yang telah dinanti-nanti dengan hati penuh ketegangan oleh se¬mua orang di benteng itu! Pasukan yang besar dan berbaris rapi, dipimpin oleh Puteri Milana. Dari atas menara di tem¬bok benteng, sudah nampak debu me¬ngepul tinggi ketika pasukan itu datang dari jauh, kemudian makin lama nampak¬lah barisan itu seperti serombongan se¬mut yang bergerak dengan teratur. Jan¬tung mereka yang memandang dari atas menara berdebar tegang karena gerakan pasukan besar itu memang amat me¬nyeramkan. Di atas tebing bukit yang tinggi dari mana orang dapat melihat tembok ben¬teng di kejauhan, Milana memberi isya¬rat kepada pasukannya untuk berhenti. Pembawa bendera menggerak-gerakkan bendera sebagai isyarat dan barisan itu pun berhenti. Puteri Milana menunggang seekor kuda besar berbulu hitam, diiringkan oleh beberapa orang panglima dari kota raja. Gagah dan cantik sekali puteri ini, se¬orang wanita berusia empat puluh tahun namun kelihatan masih muda, dengan wajah yang cantik dan matang, kelihatan angker dan mendatangkan rasa hormat ketika dia duduk dengan tenang di atas kuda yang besar itu, memegang kendali dengan tangan kiri. Pakaiannya tertutup oleh baju perang bersisik baja berwarna kuning emas, sehelai mantel merah me¬nutupi pundak dan punggungnya. Rambutnya disanggul ke atas dan ekor rambut berjuntai ke belakang diikat dengan pita kuning. Sebatang pedang dengan sarung pedang terukir indah tanda bahwa pedang itu adalah pedang kebesaran dari kota raja, dari istana, tergantung dipinggang kirinya. Hati setiap orang perajurit tentu akan penuh semangat kalau memandang kepada pemimpinnya seperti itu! Milana membagi-bagi barisannya dalam pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan Sri¬gala, Pasukan Harimau, Pasukan Naga, dan lain nama binatang yang perkasa pula. Para komandan masing-masing pasukan memakai lukisan binatang yang menjadi tanda pasukannya, demikian pun setiap pasukan membawa bendera lam¬bang pasukan berupa gambar binatang itu. Hal ini untuk memudahkan mereka saling mengenal dan sifat setiap pasukan disesuaikan pula dengan lambang binatang yang menjadi nama mereka. Setelah semua pasukan berhenti, Mila¬na mengamati keadaan benteng yang nampak dari jauh dan kelihatan sunyi itu. Dia sudah mempelajari keadaan tempat di sekitar benteng itu dari gambar yang dibuat oleh para penyelidik, maka kini dia memandang untuk mempelajari ke¬adaan itu sesuai dengan gambar yang pernah dipelajarinya. Memang sebuah benteng yang amat kuat, pikirnya. Dan hatinya terasa perih kalau dia teringat bahwa benteng itu dibuat atas petunjuk Jenderal Kao Liang! Keadaan benteng yang angker, sunyi dan kelihatan kokoh kuat itu benar-benar menggiriskan hati, berbeda dengan benteng-benteng lain di mana kelihatan anggauta pasukan penjaga hilir-mudik dan kelihatan sibuk. Tidak, benteng ini seperti kosong saja, dari luar tidak nampak seorang pun penjaga. Milana masih duduk di atas pelana kudanya dan memandang ke arah benteng dengan alis berkerut dan sinar mata melamun. Dari sebelah kanannya datang seorang Panglima Pasukan Srigala yang melapor dengan suara tegas, “Laporan, Panglima! Para penyelidik melaporkan bahwa benteng itu tak dapat diserang dari belakang karena membelakangi te¬bing sungai yang penuh rawa-rawa liar dan berbahaya. Kanan dan kirinya tertutup jurang yang dalam. Laporan sele¬sai!” Milana mengangguk-angguk. “Hemmm, jadi cocok dengan keterangan dalam gambar. Kalau begitu, siapkan pasukan, jalan satu-satunya hanyalah menyerang dari depan untuk mencoba sampai di mana ketangguhan lawan. Akan tetapi, kalau ternyata fihak lawan kuat sekali, jangan memaksakan diri, tunggu tanda untuk mundur agar jangan sampai ke¬hilangan banyak anak buah menjadi korban!” Komandan itu lalu mundur dan Milana memberi perintah kepada pemegang ben¬dera isyarat untuk menyampaikan perin¬tahnya. Pemegang bendera itu berdiri di atas batu besar dan menggerakkan ben¬derannya dengan gerakan-gerakan tertentu agar terbaca oleh semua komandan. Pe¬rintah dari Panglima Puteri Milana adalah agar Pasukan Srigala maju menyerang pin¬tu gerbang depan benteng itu sedangkan pasukan-pasukan lain hanya bersiap di kanan kiri sesuai dengan kedudukan me¬reka tanpa ikut menyerang, hanya me¬lindungi kalau-kalau Pasukan Srigala ter¬desak agar membantu mereka mundur dengan selamat. Pasukan Srigala yang terdiri dari sepuluh ribu orang itu lalu dikerahkan dan mulailah pasukan ini menyerang dan menyerbu benteng dari pintu gerbang depan. Setelah jarak mereka mulai dekat dan sejauh sasaran anak panah, tiba-tiba dari atas tembok benteng itu berhambur¬an datang anak panah dan batu-batu bagaikan hujan menyambut mereka! Hal seperti ini tidak mengejutkan pasukan yang sudah berpengalaman itu dan memang sudah mereka duga lebih dulu. Maka mereka pun cepat mengangkat perisai masing-masing untuk melindungi diri dan mereka terus menyerbu sambil bersorak-sorak, dan pasukan-pasukan ba¬gian panah lalu membalas dengan me¬lepaskan anak panah mereka ke tembok benteng, tubuh mereka dilindungi oleh teman yang mengangkat perisai besar. Hiruk-pikuk bunyi anak panah dan batu menimpa perisai-perisai itu. Puteri Milana menyaksikan penyerbuan Pasukan Srigala itu dengan seksama sam¬bil memandang ke arah atas tembok benteng. Dari menara tembok itu dia melihat bendera merah dikibarkan dan tiba-tiba anak panah dan batu yang meluncur bagaikan hujan dari atas tembok itu berhenti. Pasukan Srigala masih me¬nyerbu terus, kini sudah mulai menaiki lereng menuju ke pintu gerbang. “Perintahkan mereka mundur!” Tiba-tiba Milana berseru dan pemegang ben¬dera lalu memberi isyarat, disusul bunyi tambur sebagai perintah kepada pasukan itu. Namun terlambat, karena tiba-tiba saja pintu gerbang terbuka dan dari da¬lam pintu gerbang itu keluar batu-batu besar bergulingan ke bawah lereng, juga dari atas tembok dilempar-lemparkan batu-batu sebesar kepala orang ke bawah sehingga batu-batu ini pun bergulingan ke bawah menyambut pasukan musuh! Diserang secara bertubi-tubi dan men¬dadak ini, Pasukan Srigala menjadi ter¬kejut. Mereka berusaha menyingkir dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi banyak pula di antara mereka yang ter¬timpa dan tertumbuk batu-batu besar sehingga ramailah suara mereka yang di¬serang oleh batu-batu ini. Terpaksa mereka mundur secara tidak teratur dan dalam penyerbuan pertama ini Pasukan Srigala kehilangan dua ratus orang lebih. Milana melihat dari atas dan nampak olehnya betapa pintu gerbang tertutup kembali dan bendera merah di atas me¬nara itu bergerak-gerak memberi tanda. Tembok benteng musuh kembali menjadi sunyi dan tidak nampak seorang pun perajuritnya! Milana menarik napas panjang. Hebat, pikirnya. Benar-benar Jenderal Kao Liang telah bekerja untuk musuh! Baik, dia pun harus melawan dengan kekerasan! Dia memberi kesempatan agar Pasu¬kan Srigala memulihkan tenaga dan meng¬atur kembali keberesan pasukan itu. Ke¬mudian terdengar aba-abanya nyaring, “Lepaskan panah berapi!” Pasukan anak panah lalu berindap-indap memencar dari depan, kanan dan kiri, dan tak lama kemudian berluncuran¬lah anak panah yang membawa api me¬nuju ke benteng itu. Akan tetapi, karena benteng itu berlapis-lapis, maka anak-anak panah berapi itu hanya mengenai tembok benteng di sebelah dalam, tidak mengenai bangunan-bangunan di dalam benteng. Betapapun juga, hujan anak panah berapi itu membuat para perajurit di dalam benteng terpaksa berlindung dan memadamkan api begitu anak panah itu menimpa tembok sebelah dalam. Semen¬tara itu, diam-diam Milana lalu memberi perintah kepada pasukan untuk menggali lubang-lubang naik ke lereng itu. Kemudian, tiba-tiba Puteri Milana memerintahkan tiga pasukan, yaitu Pasu¬kan Harimau, Pasukan Naga, dan Pasukan Singa untuk menyerbu dari kanan kiri dan tengah, didahului oleh pasukan yang mengerjakan penggalian-penggalian itu. Kembali hujan anak panah dan batu, yang dibalas oleh serangan anak panah dari pasukan kerajaan. Seperti juga tadi, ketika pasukan penyerbu sudah mulai naik ke lereng, batu-batu besar berjatuh¬an dari atas dan keluar dari pintu ger¬bang. Akan tetapi kini pasukan-pasukan itu sudah siap. Cepat mereka bertiarap ke dalam lubang-lubang itu sehingga batu-batu yang menggelundung itu me¬lewati tubuh mereka. Ada pula yang terkena, akan tetapi tidak begitu banyak dan sebagian besar pasukan selamat dan setelah hujan batu mereda, mereka terus mendaki naik sambil menggali lubang-lubang berikutnya. Siasat Milana ini ber¬hasil dan akhirnya tiga pasukan itu dapat bergabung dan sambil bersorak-sorak mereka lari menuju ke depan. Akan te¬tapi, tiba-tiba mereka disambut oleh teriakan yang mengejutkan dan dari da¬lam tanah di depan tembok benteng itu terbuka lubang-lubang dan ternyata di situ terdapat pasukan-pasukan pendam yang sudah lama menanti. Begitu keluar dari tempat persembunyian mereka, pa¬sukan pendam ini melepaskan anak panah dari kanan kiri, sedangkan pasukan inti menyerbu dari tengah, dan kini pintu gerbang terbuka dan bersama dengan bu¬nyi tambur dan teriakan-teriakan meng¬gegap-gempita, keluarlah pasukan besar menyerbu dari tengah, menghimpit pasu¬kan kerajaan dari kanan kiri dan tengah. Terjadilah pertempuran yang hebat, akan tetapi pasukan kerajaan sama sekali ti¬dak mampu untuk mendesak musuh. Bah¬kan mereka yang mencoba untuk mendekati tembok, menerima siraman-siram¬an air panas dari atas tembok sehingga mereka terpaksa mundur kembali! Me¬lihat ini, kembali Milana memerintahkan mundur semua pasukan. Serangan yang ke dua itu pun gagal dan ternyata lebih dari seribu orang anak buah pasukan tewas! Setelah dua kali kegagalan ini dan melihat betapa, tembok benteng itu kem¬bali sunyi, Milana lalu menarik mundur pasukannya dan membiarkan mereka me¬ngaso. Dia sendiri lalu mengadakan pe¬rundingan dengan para panglima kerajaan menghadapi benteng musuh yang demikian kuatnya. Dia tahu atau dapat men¬duga bahwa yang menggerakkan bendera merah di menara itu tentulah Jenderal Kao, atau setidaknya tentulah pembantu jenderal yang pandai itu. Untuk menyer¬bu secara nekat dan membobolkan benteng dengan kekerasan, agaknya lebih dulu akan mengorbankan banyak sekali perajurit dan hasilnya pun belum dapat menyakinkan, mengingat betapa kuatnya penjagaan di benteng itu. Malam tiba dan Milana masih me¬lakukan perundingan dan mencari siasat bersama para panglima pembantunya, mencari-cari kemungkinan untuk menyer¬bu dengan lain cara. *** Sementara itu, pendekar Gak Bun Beng yang mendahului pasukan isterinya, menyusup-nyusup melalui hutan di sepan¬jang tepi Sungai Huang-ho dan dia me¬lihat Kok Cu dan Ceng Ceng yang ber¬sembunyi di tepi sungai. Dia lalu muncul di depan suami isteri pendekar itu. Kok Cu dan isterinya terkejut sekali ketika tiba-tiba melihat bayangan ber¬kelebat. Orang yang datang ini sama sekali tidak mereka ketahui, tanda bahwa orang ini hebat sekali ilmunya. Akan tetapi ketika Ceng Ceng melihat siapa adanya orang itu, dia girang bukan main. “Paman Gak Bun Beng....!” serunya ketika melihat priayang berdiri sambil tersenyum di depannya itu. Juga Kok Cu menjadi girang dan cepat dia memberi hormat. Melihat pen¬dekar ini, hati Ceng Ceng menjadi besar dan cepat dia bertanya, “Paman, kapan¬kah pasukan Bibi Milana akan menyerbu ke sini?” “Dalam satu dua hari ini, kini telah berangkat setelah menduduki Lok-yang.” “Ah, Paman. Benteng itu kuat bukan main, dipimpin oleh....“ Ceng Ceng tidak melanjutkan karena merasa tidak enak kepada suaminya. “Aku sudah tahu. Jenderal Kao Liang, ayah mertuamu itu terpaksa karena se¬mua keluarganya ditawan, bukan? Tentu ada apa-apanya ini. Aku akan menyelidiki lebih dulu ke dalam, dan sebaiknya kali¬an menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu. Eh, apakah kalian tidak bertemu dengan Suma Kian Bu? Dia sudah lebih dulu meninggalkan kota raja menuju ke sini!” Kok Cu dan Ceng Ceng saling pan¬dang dengan heran lalu menggeleng kepala. “Kami bertemu dengan Ang Tek Hoat yang mencari Puteri Syanti Dewi dan dia memasuki lembah, entah apa jadinya dengan dia.” Ceng Ceng lalu menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Tek Hoat. Mendengar ini, Gak Bun Beng mengerutkan alisnya. “Sungguh aneh sekali, mengapa Syanti Dewi kembali terbawa-bawa dalam pem¬berontakan ini dan dia berada di lembah? Ah, benteng di lembah itu mengandung banyak rahasia, dan hal ini makin men¬dorongku untuk lebih dulu masuk me¬nyelidiki ke sana.” “Keadaan mereka kuat sekali.... Paman Gak,” kata Kok Cu yang merasa agak kaku menyebut paman kepada pen¬dekar itu, akan tetapi karena memang pendekar itu adalah suami dari Puteri Milana, bibi dari isterinya, maka dia pun menyebut paman. Di sana terdapat Im-kan Ngo-ok, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan banyak lagi tokoh-tokoh kaum sesat. Karena putera kami juga tertawan di sana, maka kami terpaksa menahan diri dan mencari kesempatan untuk dapat menyelundup masuk dan menolong semua keluarga ayah.” Lalu Si Naga Sakti ini bercerita tentang putera¬nya yang juga terculik dan tahu-tahu sudah dibawa oleh penculik itu ke dalam benteng dan menjadi tawanan bersama keluarga ayahnya pula. Mendengar ini, Gak Bun Beng meng¬geleng kepalanya dengan kagum dan juga penasaran sekali. “Ah, agaknya Pangeran Liong Bian Cu putera Pangeran Liong Khi Ong yang ternyata juga menjadi Pangeran Nepal ini ternyata lebih cerdik dan berbahaya daripada ayahnya dahulu. Untuk mencapai cita-citanya, dia tidak segan-segan menggunakan segala macam kecurangan untuk memaksa Jenderal Kao membantunya dan membuatmu tidak berdaya pula dengan menguasai putera¬mu.” “Kalau hanya seorang anggauta ke¬luarga saja yang ditawan, kami berdua tentu sanggup untuk menyelamatkannya, akan tetapi anggauta keluarga sedemikian banyaknya, tidak mungkin menggunakan kekerasan menolong mereka semua,” kata Kok Cu dengan penasaran. “Paman Gak, kalau Paman sudah ber¬hasil memasuki benteng, harap Paman sudi mengamat-amati keadaan putera kami, Kao Cin Liong.” Gak Bun Beng mengangguk. Dia mak¬lum bahwa bagi Kok Cu tidak mungkin mengajukan permintaan seperti itu karena selain puteranya, juga ayah bunda¬nya, dan keluarga ayahnya semua ter¬tawan di sana, akan tetapi bagi Ceng Ceng sebagai seorang ibu, tentu saja yang diingat hanyalah keselamatan putera¬nya. “Jangan khawatir, tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin agar mereka itu tidak sampai terancam.” Bun Beng lalu bangkit berdiri. “Nah, sebaiknya memang kalau kalian menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu sehingga dalam kekacauan itu mereka tidak begitu memperhatikan kalian. Sebelum itu, ke¬hadiran kalian di sana hanya membahaya¬kan keselamatan keluarga kalian yang ditawan. Sampai jumpa,” Setelah berkata demikian, Gak Bun Beng lalu meloncat pergi. Diam-diam Ceng Ceng merasa berbesar hati setelah bertemu dengan pendekar itu karena dengan adanya ban¬tuan pendekar sakti itu, keselamatan puteranya lebih terjamin. Ke manakah perginya Kian Bu dan Hwee Li? Mereka itu beberapa hari lebih dulu dari Gak Bun Beng meninggalkan kota raja menuju ke benteng di lembah. Huang-ho, mengapa setelah Bun Beng sudah tiba di situ, dua orang muda ini belum kelihatan bayangannya? Ternyata mereka berdua itu meng¬ambil jalan memutar. Mereka berdua sudah mengerti benar akan kekuatan di dalam benteng, dan sedikit banyak Hwee Li sudah mengenal keadaan di sekeliling benteng itu. Maka mereka lalu mencari akal, yaitu hendak menyelidiki benteng itu dari samping, melalui jurang yang amat curam dan sukar, oleh karena itu mereka menggunakan waktu berharl-hari untuk mencari jalan melalui tempat yang amat sukar dan tak mungkin dilalui oleh pasukan atau manusia biasa itu. Sampai beberapa hari lamanya Kian Bu dan Hwee Li mencari-cari jalan rahasia yang menurut Hwee Li terdapat di sekitar jurang itu, namun tanpa hasil. Kian Bu mencela Hwee Li, mengatakan bahwa mungkin tidak ada jalan rahasia itu dan Hwee Li menjadi uring-uringan. “Aku belum gila,” jawabnya marah. “Kalau tidak ada, perlu apa aku bersusah payah mengambil jalan ini? Memang pintu rahasia itu belum kulihat di se¬belah sini, akan tetapi aku sudah tahu di sebelah dalamnya menembus di taman, di belakang rumpun bambu kuning.” Mereka duduk di atas batu, menyeka peluh karena hari amat panas dan me¬reka sudah lelah sekali. Tiba-tiba Kian Bu meloncat berdiri. “Aku pergi dulu....“ bisiknya, matanya terus mengincar ke kiri, di mana ter¬dapat semak-semak belukar. “Mau apa? Ada apa?” Hwee Li ber¬tanya. “Sssttt, kulihat berkelebatnya bayang¬an kelinci gemuk di sana tadi. Perutku lapar, aku akan menangkapnya untuk makan.” Kian Bu lalu berjingkat-jingkatan bergerak cepat tanpa suara mencari kelinci yang baru saja dilihatnya. Sebentar saja bayangan pemuda itu sudah le¬nyap di balik semak-semak. Hwee Li merasa panas hatinya karena agaknya keterangannya tentang jalan atau pintu rahasia itu tidak dipercaya oleh Kian Bu. Dia bangkit berdiri, membanting-banting kakinya dan mulailah dia mencari lagi, mencari sendiri karena hatinya merasa penasaran sekali. Diteliti¬nya setiap batu, setiap rumpun alang¬alang atau semak-semak. Sampailah dia di tepi jurang dan tiba-tiba dia tertegun memandang ke kanan dan cepat tubuhnya bergerak memutar, matanya terbelalak dan mukanya perlahan-lahan berubah merah, tanda bahwa dia mulai marah sekali melihat apa yang sedang terjadi di seberan jurang itu! Apakah yang sedang dilihatnya? Yang menimbulkan kemarahan hati Hwee Li ternyata adalah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Seperti telah kita ketahui, dua orang muda ini pun setelah lolos dari tangan Im-kan Ngo-ok lalu pergi me¬nyelidiki benteng. Akan tetapi karena ¬mereka maklum bahwa menyelidiki dari depan amatlah berbahaya, mereka lalu mengambil jalan memutar dan menyeli¬diki dari samping, melalui jurang-jurang seperti yang dilakukan oleh Kian Bu dan Hwee Li. Ketika mereka harus menyeberangi sebuah jurang yang amat berbahaya, keduanya menggunakan akal. Untuk me¬loncati jurang itu tidaklah mungkin ka¬rena di seberang sana terdapat semak-semak berduri sehingga tidak diketahui bagaimana keadaan tanah di tepi jurang di seberang. Oleh karena itu, Kian Lee lalu mengumpulkan akar-akar yang pan¬jang dan kuat, disambung-sambungnya, kemudian dia mengikatkan ujungnya pada sebuah batu sebesar kepala orang dan melontarkan batu itu ke seberang sampai akar yang merupakan tambang itu melibat pada sebatang pohon dan ditariknya se¬hingga menegang dan cukup kuat untuk dipakai sebagai jembatan menyeberang. Dan keduanya sedang menyeberangi tali dari akar yang kuat itu ketika Hwee Li melihat mereka. Biarpun Siang In memiliki ginkang yang amat tinggi dan baginya merupakan pekerjaan amat mu¬dah untuk menyeberang dan berjalan di atas tali seperti itu, jangankan hanya sepanjang itu, biarpun lima kali lebih panjang pun dia sanggup melakukannya. Akan tetapi, dara ini ternyata merupakan seorang yang mudah merasa ngeri kalau berada di tempat yang curam, maka begitu dia mulai melangkah dan melihat ke bawah, dia menjerit tertahan, “Aihhh.... aku.... aku ngeri....!” Dan dia lalu meng¬gerakkan payungnya, dibukanya payung itu dan dipergunakannya untuk membantu keseimbangan tubuhnya! Padahal kalau dia tidak merasa ngeri, sambil berlari biasa pun dia sanggup melintasi jurang itu melalui tambang. Melihat wajah dara itu mendadak menjadi pucat, Kian Lee menjadi tidak tega dan juga khawatir kalau-kalau sa¬king ngerinya dara itu menjadi pingsan dan hal itu tentu saja amat berbahaya. Karena itulah, dia pun lalu berjalan di belakang dara itu dan memegang tangan kiri Siang In sehingga Siang In menyebe¬rangi tali akar itu dengan tangan kanan memegang payung dan tangan kiri digan¬deng Kian Lee. Dan pemandangan ini¬lah yang membuat wajah Hwee Li men¬jadi merah saking marahnya. Cemburu menyesakkan dadanya. Dia melihat Kian Lee bergandeng tangan demikian mesra¬nya dengan seorang dara cantik yang memegang payung, seorang dara yang genit! Tanpa disadarinya, tangan kanan¬nya sudah menyambar sebuah batu sebesar kepala orang! Menurut hatinya yang panas karena cemburu, ingin dia melontarkan batu itu untuk menyambit tali itu agar putus, akan tetapi dia teringat bahwa kalau tali itu putus, bukan hanya dara itu yang akan terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi juga Kian Lee! Maka ketika dia melihat betapa di ujung jurang itu ter¬dapat tempat dangkal penuh lumpur, yaitu setelah hampir tiba di tepi jurang, dia menanti sampai dua orang itu berada di atas genangan lumpur itu, lalu dia menyambitkan batu di tangannya. “Crottt....!” Batu itu menimpa air lumpur dan tentu saja air lumpur itu muncrat ke atas dan Siang In yang ber¬ada di depan itu paling banyak terkena lumpur pakaiannya. Tentu saja kedua orang itu terkejut bukan main. Ketika Siang In menoleh dan melihat bahwa yang menyambitkan batu sehingga air lumpur memercik ke pakaiannya itu ada¬lah seorang gadis pakaian hitam yang cantik manis dan yang berdiri sambil bertolak pinggang dan sengaja menter¬tawakannya dengan mengejek, menjadi panas perutnya. Dia lupa akan kengerian¬nya, melepaskan tangan Kian Lee dan dengan sekali lompat dia telah tiba di tepi jurang melampaui semak-semak ber¬duri, lalu langsung dia berlari mengham¬piri Hwee Li! “Bocah setan, engkaukah yang me¬lempari lumpur itu tadi?” bentak Siang In marah sekali. Payungnya masih ter¬buka dan kini ujungnya yang runcing itu ditodongkan ke depan. “Kalau kutusukkan payungku ini, mampus kau karena ke¬lancanganmu itu!” “Eh, eh, engkau mau membunuh aku? Bocah iblis, mudah saja kau bicara! Se¬belum payung bututmu itu bergerak, lehermu sudah putus oleh pedangku ini!” Setelah berkata demikian, sekali tangan kanannya bergerak Hwee Li telah men¬cabut pedangnya! NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar